23
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA
A. Pengaturan Hukum Perjanjian
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313,
disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih
berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan
sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan
hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan. 15
Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya
KUHPerdata tidak secara tegas memberikan defenisi mengenai perikatan, akan
tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata yang didefenisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Sekalipun dalam KUHPerdata defenisi dari
perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam Pasal 1233
KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-Undang, perikatan
juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu
15
24
merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan, karena
perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.16
Menurut para ahli hukum, ketentuan pasal 1313 KUH Perdata memiliki
beberapa kelemahan yaitu tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut
perjanjian, tidak terlihat asas konsensualisme, dan bersifat dualisme. Menurut
Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang
atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan.17 Sedangkan menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian menurut
Communis Opinio Doctorum (pendapat para ahli) adalah suatu perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.18 Menurut
Prof. R. Subekti menulis bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu.19
Yang menjadi Subjek dari suatu Perjanjian adalah:
Sedangkan perjanjian didefenisikan sebagai suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
20
1. Manusia Biasa
diakses Kamis, 05 Maret 2015 pukul 21:55
17
Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 2013, hal.93 18
diakses Selasa,
10 Maret 2015 pukul 22:20 19
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, 2001, hal.122 20
25
Manusia biasa (natuurlijke persoon), manusia sebagai subyek hukum telah
mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum
yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa
menikmati hak perdata tidak tergantung pada hak kenegaraan. Setiap manusia
pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak
sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap
seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan
hukum adalah sebagai berikut :
a. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum
(telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
b. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH
perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
- orang yang belum dewasa ;
- mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;
- orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
2. Badan Hukum
Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni
orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai
subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti
26
berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat
melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali
terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat
bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Objek dari perjanjian , Hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang
dimaksudkan disebut prestasi, yang menurut undang-undang bisa berupa
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. 21
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para
pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi
yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.22
Secara umum kontrak atau perjanjian lahir pada saat tercapainya
kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari
perjanjian tersebut. Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat
terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih Setelah subjek hukum dala perjanjian telah jelas, termasuk mengenai
kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus
menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling
dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian perjanjian serta
syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
21ibid
22
27
ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:23
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu
perjanjian.
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu; dan
d. suatu sebab yang halal.
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata tersebut diatas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Kesepakatan
24
Tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak yang
saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak
lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum
terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Selama perundingan,
setiap pihak bebas menarik diri tanpa sanksi, setelah persetujuan itu dicapai
penarikan diri dapat menjadi pelanggaran perjanjian.25
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal.108
Cara untuk terjadinya
penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak
tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah
terjadi penawaran dan penerimaan. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan
28
Sesungguhnya yang dijumpai disini bukanlah suatu kesamaan kepentingan para
pihak, melainkan keinginan yang satu justru sebaliknya dari keinginan yang lain.
Namun “keberlawanan” itu menghasilkan kesepakatan.26 Dengan adanya
keterbalikan atau keberlawanan itu, maka terjadilah pertemuan kehendak yang
saling setuju mengenai barang dan harga serta syarat-syaratnya sehingga terjadilah
kesepakatan. Sebagai hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu
kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal
1321 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila
siberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak
karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari
kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi
kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian
yang cacat (defective agreement).27
26
I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.46 27 Ibid
, hal.47
Ketidaksahan yang disebabkan karena kesepakatan yang diberikan secara
tidak bebas, mengakibatkan perjanjian itu dibatalkan. Sebenarnya ada dua
kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi yaitu:
a. Kemungkinan pertama adalah, pembatalan atas perjanjian tersebut yang
pembatalannya dimintakan kepada hakim atau melalui pengadilan. Ini yang
disebut dapat dibatalkan.
b. Kemungkinan kedua adalah, perjanjian itu batal dengan sendirinya, artinya
29
Kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana
kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan
lisan, symbol-simbol tertentu, atau diam-diam.
Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan
dengan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta
dibawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan
pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain
yang diberi wewenang untuk itu. Berbeda dari akta dibawah tangan yang tidak
melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.28
Perbedaan prinsip antara akta dibawah tangan dengan akta autentik adalah
karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta dibawah tangan selalu
dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik
selalu dianggap asli kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta
dibawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta dibawah tangan
dibebani untuk membuktikan keaslian tersebut, sedangkan kalau suatu akta
autentik disangkali, pemegang akta autentik tersebut tidak perlu membuktikan
keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan
bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta
dibawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik
30
Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak
terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual
yang hanya menjual satu macam jualan pokok, contoh kecilnya yaitu seperti pada
penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka penjual
soto tersebut akan mengantarkan satu mangkok soto. Cara terjadinya kesepakatan
dengan simbol-simbol tertentu mungkin juga banyak terjadi pada
perjanjian-perjanjian yang terlarang, seperti jual beli narkoba dan hal-hal terlarang lainnya.30
Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, seperti halnya
dalam perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil
penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau kemana tujuan mobil
tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai
ditujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga tidak
mengucapkan sepatah katapun kepada supir mobil tersebut, namun pada dasarnya
sudah terjadi perjanjian pengangkutan.31
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian, khususnya syarat kesepakatan yang
merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak
adanya kesepakatan para pihak maka tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun
terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan
bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang
biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan
perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh
30Ibid
, hal.16
31
perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena
hal-hal diantaranya:32
a. kekhilafan atau kesesatan (dwaling);
b. ancaman atau paksaan (bedreiging, dwang);
c. penipuan (bedrog);
d. penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat
kehendak yang terakhir tidak diatur di dalam BW, namun lahir kemudian dalam
perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam BW
dapat dilihat dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW yang masing-masing
menentukan sebagai berikut.
Pasal 1321 BW:
“Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1449 BW:
“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan,
menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”.
Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan terjadinya cacat pada
kesepakatan tersebut secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Rabu, 11
32
Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang
diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan
keliru.
Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena
ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan
bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada
dasarnya tidak ada kesepakatan.
Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak
lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau
melepaskan sesuatu.
Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat
(posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan
keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan
baginya. Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat kehendak yang
keempat karena tidak diatur dalam BW, sedangkan tiga lainnya yaitu
penipuan, kekhilafan, dan paksaan telah diatur didalam BW. 33
Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa,
yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal 1330 BW). Dalam hal ini undang-undang
beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan atau perjanjian apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak
cakap. Jadi, pada prinsipnya semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian
2. Kecakapan
33
33
kecuali ia dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang, ini merupakan general
legal presumption (Pasal 1329 BW).
Mengenai ketidakcakapan ini, pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa
orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah “Orang-orang
yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang perempuan
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang-orang yang
telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu”.34 Khusus mengenai perempuan dalam hal yang telah ditetapkan dalam
undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan
laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang
yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak
tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat
perjanjian tertentu.35
Pada dasarnya seseorang yang mengadakan perjanjian mempunyai niat
serius untuk mengikatkan diri (niat kontraktual), mengerti aka nisi dan persyaratan
perjanjian, sadar akan tanggung jawab yang dipikulkan dipundaknya serta
akibatnya sehingga orang tersebut haruslah cakap menurut hukum.36
Secara sederhana dapat dipahami bahwa apabila ada orang yang
pemikirannya belum matang, sakit ingatan atau gila, atau dalam keadaan tidak
sadar karena pengaruh obat-obat terlarang dapat diperkirakan orang yang
bersangkutan tidak cukup mampu (onbevoegd) untuk memahami situasi yang
34
digolongkan tidak pantas sehingga tidak cakap (onbekwaam) untuk melakukan
perbuatan hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan tindakan hukum, orang
belum dewasa (minderjarig atau underage) diwakili oleh walinya sedangkan
untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent) diwakili oleh
pengampunya karena dianggap tidak mampu untuk bertindak sendiri.37
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak,
maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari
dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara
tegas. Selanjutnya barang tersebut harus suatu barang yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp.
3. Suatu Hal Tertentu
38
Jadi, satu hal tertentu yang
dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian
jumlahnya dapat ditentukan atau dapat dihitung. Sebab apabila suatu objek
perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya,
perjanjian yang demikian adalah tidak sah.
37ibid
35
4. Suatu Sebab Yang Halal
Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum islam, tetapi
yang dimaksud sebab yang hal adalah bahwa isi kontrak atau perjanjian tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.39
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian
dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila:
40
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena menyangkut
subyek. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena
menyangkut obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau
tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan
perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. a. Tidak bertentangan dengan undang-undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
41
diakses Jumat, 13 Maret 2015 pukul 20:50
41
36
C. Hapusnya Suatu Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:42
1. Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata
dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang.
Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie.
Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH
Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan
karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Penawaran adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah
kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan
Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti
dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang
debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri. Setelah penawaran
pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
42
37
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera
Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.43
3. Pembaharuan utang atau novasi
Pembaharuan utang atau novasi adalah suatu pembuatan perjanjian baru
yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH
Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau
novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek
dari perjanjian itu.44
4. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Perjumpaan utang atau Kompensasi adalah suatu cara penghapusan atau
pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan
utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur
mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan
kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi
dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua
belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
i. Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang
berlawanan dengan hukum.
ii. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan.
43ibid
38
iii. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang
telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).45
5. Percampuran utang
Percampuran utang adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang
(kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana
utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya,
atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
6. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu
perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari
segala kewajibannya.46
7. Musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang terutang adalah jika barang tertentu yang menjadi
obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,
hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar
kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
45ibid
39
8. Batal atau Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang
telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat
dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang
melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian. Menurut Prof. Subekti permintaan
pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:47
i. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
ii. Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di
depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan
kekurangan dari perjanjian itu.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang
apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu
kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
10.Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah
suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 1967 KUH Perdata
40
disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan,
maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka
perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.48
Sebelum lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai
perjanjian kerja tunduk pada Pasal 1601 a KUHPerdata yang memberikan
pengertian perjanjian kerja sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian
dengan mana pihak yang kesatu, buruh, mengikatkan untuk di bawah pimpinan
pihak yang lain, majikan, untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan
menerima upah”.
D. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian perjanjian kerja
sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak”.
49
Imam Soepomo mengkritisi perumusan ini, karena dianggapnya tidak
lengkap. Hal ini disebabkan dalam pengertian diatas yang mengikatkan diri
hanyalah pihak buruh saja, tidak pihak lainnya yaitu majikan. Padahal pada tiap
48ibid
49
41
perjanjian, ada 2 pihak timbal balik yang mengikatkan diri adalah kedua belah
pihak yang bersangkutan.
Sarjana lain memberikan pengertian perjanjian kerja dengan lebih tegas,
merangkum pendapat dari Imam Soepomo, antara lain oleh Aloysius Uwiyono
sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara buruh atau
pekerja dengan pengusaha, dimana buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada
pengusaha, dilain pihak pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah”.50
Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan
hukum, yaitu hubungan kerja dan mengandung 3 ciri khas, yaitu adanya
pekerjaan, adanya perintah, adanya upah.51
Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja atau buruh dalam rangka untuk
mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No.
13 Tahun 2003, upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.52
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003, Perjanjian kerja dibuat secara terrtulis atau lisan. Perjanjian kerja
50 ibid 51 ibid 52
42
yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya
dibedakan menjadi dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.
Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dibuat atas dasar:
a. kesepakatan kedua belah pihak
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dikaji lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 BW. Perjanjian kerja
adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan syarat
sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW yaitu adanya
kesepakatan, kecakapan berbuat hukum, hal tertentu, dan sebab yang halal.53
Selanjutnya suatu perjanjian kerja harus memenuhi syarat formil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, yaitu:54
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
53Ibid
, hal.42-43 54Ibid
43
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja atau buruh;
c. jabatan atau pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja atau buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yan berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja atau buruh dan pengusaha masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.
Selain itu, masih terdapat beberapa ketentuan mengenai perjanjian kerja
yang diatur didalam Pasal 55 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja tidak
dapat ditarik kembali dan/atau dirubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
E. Bentuk-bentuk Perjanjian Kerja
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dapat
dibuat secara lisan dan tertulis. 55
55
44 1. Bentuk Perjanjian Kerja secara Lisan
Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 syarat sahnya
perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. kesepakatan kedua belah pihak
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata-kata sepakat mengikatkan diri pada Pasal 52 ayat (a)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini adalah asas konsensualisme yang menentukan
adanya perjanjian. Artinya, pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu telah
dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat. Dengan kata lain, perjanjian itu
sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan
tidak memerlukan bentuk yang formil (tertulis).56
Pasal 52 ayat (b) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, mempersyaratkan
para pihak yakni pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja sebagai
penerima kerja mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum. Dalam memori penjelasan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan
adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat
56Ibid,
45
perjanjian, sedangkan bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian
adalah orang tua atau walinya.
Berdasarkan Pasal 1320, 1329, dan 1330 KUHPerdata, subjek hukum yang
membuat perjanjian harus cakap untuk melakukan tindakan hukum menurut
hukum. Hakikat subjek hukum dibedakan antara pribadi kodrati (natuurlijk
person), yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum (recht person), dan
badan hukum seperti perseroan terbatas.
Mengenai syarat subjektif, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 menentukan bahwa pihak dalam perjanjian kerja adalah subjek hukum
dan tidak membatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata tetapi
juga termasuk subjek hukum publik, yakni badan hukum yang mengemban
kepentingan publik yang dikelola atau ditangani oleh negara.57
Berdasarkan Pasal 52 ayat (d) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Pasal
1320 KUHPerdata, 1335-1337 KUHPerdata, suatu perjanjian kerja harus
berdasarkan suatu sebab yang halal. Maksud sebab disini adalah tujuan atau
maksud yang dikehendaki dari suatu perjanjian kerja. Adapun yang dimaksud
Berdasarkan Pasal 52 ayat (c) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, suatu
perjanjian kerja harus mempunyai pekerjaan yang diperjanjikan. Hal tersebut
mengandung makna bahwa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kerja
harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
46
dengan halal adalah isi perjanjian kerja tersebut tidak boleh melanggar
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.58
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.13 Tahun 2003,
ditentukan hal-hal yang harus terdapat dalam suatu perjanjian kerja tertulis,
yaitu:
2. Bentuk Perjanjian Kerja secara Tertulis
Beberapa bentuk perjanjian kerja mengecualikan asas konsensualitas, yakni
untuk perjanjian-perjanjian yang memerlukan atau dipersyaratkan oleh
undang-undang harus diadakan secara tertulis. Dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 ditentukan bilamana peraturan perundang-undangan menentukan
bahwa suatu bentuk perjanjian harus tertulis, harus dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti halnya ketentuan
mengenai perjanjian kerja waktu yang dipersyaratkan dalam Pasal 57
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 harus tertulis.
59
58ibid,
hal.4 59ibid
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja atau buruh;
c. jabatan atau pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
47
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat tidak memenuhi syarat-syarat awal sahnya
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
butir (a) dan (b), yakni jika tidak ada kesepakatan dari pihak pekerja dan pihak
pengusaha atas suatu perjanjian kerja, serta bila ada dari para pihak, baik itu
pihak pekerja ataupun pengusaha tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan (Pasal 52 ayat (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus menerus) dan jenis suatu
pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan
kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (Pasal 56 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003).
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Sebagaimana ketentuan yang mengatur masalah ketenagakerjaan
sebelumnya, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga
mengatur hubungan kerja untuk waktu tertentu yaitu hubungan kerja yang
didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu terrtentu (PKWT).60
60
48
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan
perjanjian waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu.61
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat dalam bentuk tertulis
dengan huruf latin dan tidak menggunakan bahasa Indonesia maka dinyatakan
sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu sejak terjadinya hubungan Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat didasarkan pada:
a. Jangka waktu tertentu;
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dalam
huruf latin dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kewajiban menuangkan
perjanjian kerja jenis ini kedalam bentuk tertulis adalah untuk melindungi salah
satu pihak apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja.
Bukan tidak mungkin jika salah pihak misalnya pekerja atau buruh tetap minta
dipekerjakan setelah selesainya perjanjian kerja waktu tertentu yang diperjanjikan.
Apabila tidak ada perjanjian tertulis yang dibuat sebelumnya maka pihak
pengusaha dapat dituntut untuk terus mempekerjakan pekerja atau buruh sehingga
hubungan kerja berubah menjadi hubungan kerja untuk waktu tidak tentu
(PWKTT) yang biasa disebut pekerja atau buruh tetap.
61
49
kerja. Perjanjian kerja waktu tertentu dilarang mensyaratkan adanya masa
percobaan. Apabila syarat masa percobaan tersebut dicantumkan, maka syarat
tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja jenis ini hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat, dan kegiatan pekerjaan akan selesai
dalam waktu tertentu, jadi bukan pekerjaan yang bersifat tetap.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan pada jangka waktu
tertentu dapat diandalkan untuk paling lama 2(dua) tahun dan hanya dapat
diperpanjang 1(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1(satu) tahun.62
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja atau buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap (Pasal 1 angka 2 Kep. 100/Men/VI/2004).
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
63
62
Maimun, Op.Cit., hal.44-46 63
Hidayat Muhamaram, Op. Cit., hal.10
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan masa
percobaan selama tiga bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha dilarang
membayarkan upah minimum yang berlaku (Pasal 60 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003). Jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja
waktu tidak tertentu, selama waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak
mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemebritahuan penghentian
50
Dalam memori penjelasan Pasal 60 ayat (1) ditentukan bahwa syarat masa
percobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan
dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat
masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dapat dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan,
ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam hal perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui
masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang
bersangkutan (Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Surat
pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat (Pasal 63 Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003):64
64ibid
a. nama dan alamat pekerja;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan