BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang menjamin setiap warga negaranya untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sesuai dengan
Pasal 28 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.2Perkawinan merupakan
kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan
merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar percaturan
hukum. Akibat perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri yang kemudian
dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak
mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan timbullah hubungan hukum
dengan antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.3
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada
serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan
bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga
dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya
perkawinan barat, hal mana berakibat lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya, lain
masyarakat lain aturannya.4
2
Pasal 28 (b) Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen)
3 Martiman prodjohmidijojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta,
2007, hal. 1.
4
Salah satu produk badan legislatif di negara kita yang menyentuh secara langsung
perikehidupan masyarakat bangsa kita adalah Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
(LNRI 1974 No. 1 TAMBAHAN LNRI No. 3019). Undang-undang Perkawinan nasional yang
diundangkan tanggal 2 Januari 1974 ini berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 yakni
sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sevagai peraturan pelaksananya.
Untuk kelancaran pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaannya tersebut, dikeluarkan pula petunjuk pelaksanaannya, antara lain termuat
dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun
1975, Instruksi Direktur Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam No. D/INS/117/1975, dan
petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0808/75.
Tujuh setengah tahun kemudian setelah Undang-undang Perkawinan berlaku secara efektif,
keluarlah Pila Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil (TAMBAHAN LNRI No. 3250) yang mulai berlaku sejak diundangkannya tanggal 21
April 1983. Ketentuan-ketentuan teknis Peraturan Pemerintah ini termuat di dalam Surat
Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 48/SE/1990.5
Kehadiran Undang-undang yang mengatur segala masalah perkawinan yang selaras
dengan perkembangan dan dinamika masyarakat ini, sebenarnya sudah lama sekali
didambakan oleh masyarakat bangsa kita, bahkan sejak tahun lima puluhan, akan tetapi karena
beberapa hambatan maka baru pada awal tahun 1974 berhasil diciptakan Undang-undang
5
Perkawinan nasional yang bersifat unifikasi yang berlaku bagi seluruh warga negara
Indonesia6
Sementara itu, perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.7
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 itu tercantum
juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal, ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka
waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya dan
tidak boleh diputuskan begitu saja, karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya
dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak, pemutusan perkawinan
dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa.8
Sebelum perkawinan dilangsungkan seringkali didahului dengan peristiwa pertunangan.
Tetapi peristiwa pertunangan ini bukan lembaga yang wajib diikuti, terserah kepada kedua
belah pihak. Apabila telah ada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melangsungkan
perkawinan, dan kedua belah pihak menghendaki adanya pertunangan. Lembaga pertunangan
tidak diatur dengan perundang-undangan, tetapi tumbuh sebagai perkembangan hukum.
Kesepakatan ini tentunya didahului dengan lamaran, yaitu permintaan atau tawaran yang
dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.9
6
Ibid.
7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 8
Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 13.
9
Setelah mencapai kesepakatan antara mempelai pria dan mempelai wanita barulah
perkawinan dapat dilangsungkan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai
berikut ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12:10
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
2. Adanya izin kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang berusia dibawah 21 tahun; 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai
16 tahun;
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin;
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;
6. Bagi suami isttri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya;
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Di Indonesia sendiri, masih berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan juga bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan
hukum agama dan harus dilakukan pndaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan
setempat. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di Luar Negeri
dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah didaftarkan di lembaga pencatatan
setempat dan mendapat surat bukti perkawinan.11
Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum perkawinan kita juga
mensyaratkan kepada setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di Luar
Negeri untuk segera mendaftarkan perkawinannya tersebut di lembaga pemerintah
sekembalinya ke Indonesia.12
Jika perkawinan yang tidak harmonis keadaannya, tidak baik dibiarkan berlarut-larut,
sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami-istri, perkawinan yang demikian diputus
10 Riduan Syahrani, Loc.cit 11
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, Lentera Hati, Ciputat, 2010, hal. 7.
12
cerai. Tentu berakibat pada anak-anak putra-putrinya, yang tidak pernah berbuat salah
menanggung akibat perbuatan orang tuanya.13 Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan
Nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai
hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal, dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan
karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat
dielakkan oleh manusia. Nampaknya baik dalam KUH Perdata maupun Undang-undang No. 1
Tahun 1974 putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.14
Adapun Perceraian itu sendiri merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan
tersebut sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya
adalah suatu perceraian. Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia hanya dapat
dilakukan di Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri
(khusus untuk yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan
Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang
masih menjunjung tinggi adat ketimuran, dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang
sakral. Namun demikian, angka perceraian kerap melonjak tinggi di beberapa Pengadilan
Agama di Indonesia.15
Mengapa perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri yang
tidak bisa diharapkan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga ini dijadikan sebagai
salah satu alasan perceraian oleh pembuat Undang-undang? Kiranya hal ini mudah saja
dipahami, sebab perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri
13
Martiman Prodjohamidjojo, loc.cit
14 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 149. 15
Siti Nuraini, Perkawinan dan Perceraian, Internet,
membuat rumah tangga laksana neraka dunia, dimana suami istri di dalamnya tersiksa, jauh
dari rasa ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan yang justru menjadi tujuan perkawinan.16
Apa saja yang melatar-belakangi terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami dan
istri ini, tentu macam-macam sebabnya, bisa karena tekanan ekonomi rumah tangga, bisa
karena cara hidup dan pandangan hidup yang berbeda, bisa karena kehidupan beragama yang
berbeda dan sebagainya. Sampai sejauh mana perselisihan dan pertengkaran antara suami dan
istri itu mengakibatkan suami istri yang bersangkutan tidak bisa diharapkan lagi hidup rukun
dalam rumah tangga adalah persoalan yang relatif sifatnya. Hakimlah yang menilai dan
menetapkannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada.17
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku,
tindakan, ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat
melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus
ditunjang dengan kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu dengan masalah-masalah dalam
keluarganya.18 Atas dasar pokok fikiran tersebut di atas, maka telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil.19
16
Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 65.
Jadi, Pegawai Negeri Sipil yang ingin melangsungkan perceraian harus
mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai perundang-undangan yang berlaku, agar Pegawai
Negeri Sipil terhindar dari sanksi-sanksi berat akibat dari melanggar peraturan-peraturan
tersebut.
17 Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 56. 18
Pasal 1 huruf (e) Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983
19
Berdasarkan uraian di atas dan berbagai masalah hukum yang timbul yang berkaitan
dengan perceraian yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, telah mendorong untuk meneliti
dan menelaah masalah tersebut yang selanjutnya akan dituangkan dalam judul skripsi
mengenai “PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI LINGKUNGAN KOTA TEBING TINGGI MENURUT
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU” .
Judul ini sangat menarik, dikarenakan agar para Pegawai Negeri Sipil tidak semena-mena
melakukan perceraian tanpa mengindahkan syarat-syarat yang ada, dan alangkah baiknya
Pegawai Negeri Sipil untuk mengikuti syarat-syarat yang ada agar terhindar dari sanksi-sanksi
pelanggaran disiplin berat.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Upaya-upaya apa yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai
Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian?
2. Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian di lingkungan
Pemerintah Kota Tebing Tinggi?
3. Bagaimana putusan Pengadilan Agama tentang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
C. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis
bagi pembaca.
Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara teoretis
Manfaat penelitian yang bersifat teoretis adalah sebagai bahan masukan yang dapat
dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para pembaca yang ingin memperdalam kajian
dan pengetahuan tentang perceraian, khususnya perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
2. Secara praktis
Manfaat penelitian bersifat praktis diharapkan agar tulisan ini dapat dijadikan sebagai
bahan rujukan dalam mempelajari hukum perkawinan dan perceraian, khususnya pada
perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, praktisi hukum perkawinan dan perceraian, dan
pihak-pihak terkait lainnya
D. Tujuan Penulisan
Adapun diantaranya yang menjadi tujuan penulis melakukan penelitian dan penulisan
skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi
terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian
2. Untuk mengetahui apa saja sanksi yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang
3. Untuk mengetahui bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan peceraian dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
E. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.20 Penelitian merupakan suatu kerja ilmiah
yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten.21 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.22 Penelitian pada dasarnya merupakan
suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati sesuatu objek yang mudah terpegang
oleh tangan.23 Pada dasarnya sesuatu yang dicari tidak lain adalah pengetahuan atau lebih
tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai
untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Dengan demikian, metode penelitian
adalah suatu upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan
metode tertentu.24
Penulisan skripsi ini berusaha untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang
diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsi. Bahan-bahan tersebut haruslah
20
Mukti Fajar Nurdewata, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 94.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 1.
22
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 38.
23Ibid
., hal. 27.
24Ibid
mempunyai hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian/Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dan
penelitian empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian kepustakaan atau studi
dokumen yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan
hukum lain.25
Penelitian ini meliputi asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan
perundang-undangan, dan beberapa buku mengenai perkawinan dan perceraian,
khususnya pada perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Penelitian empiris merupakan penelitian berupa studi lapangan dengan
melakukan wawancara kepada Pejabat setempat dan Pegawai Negeri Sipil yang
melakukan perceraian di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan metode
pendekatan yuridis.
Tujuan penelitian normatif dan penelitian empiris ini adalah untuk mengetahui
upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri
Sipil yang akan bercerai. Untuk mengetahui sanksi yang diberikan Pemerintah Kota
Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan bercerai, dan untuk
mengetahui apa akibat hukum dari perceraian tersebut.
Dengan demikian syarat-syarat yang harus dilakukan Pegawai Negeri Sipil
yang akan melakukan perceraian dapat berjalan sebagaimana mestinya dan juga agar
Pegawai Negeri Sipil terhindar dari sanksi pelanggaran disiplin berat.
25
2. Data dan Sumber Data
Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer (primary data) adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.26
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum
Islam, Hukum Adat, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Surat Edaran Nomor :
48/SE/1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya,situs internet, pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek
telaahan penelitian.27
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
umum, majalah dan jurnal ilmiah. surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi
tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan
dengan penelitian ini.
3. Alat Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab
semua masalah yang menjadi objek penelitian dengan cara :
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 12.
27
a. Penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan
dengan judul skripsi ini yang bersifat teoretis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai
dasar dalam penelitian.28
b. Penelitian lapangan (field research) yakni dengan mengadakan wawancara kepada
Pejabat setempat dan Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian di
lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam
bentuk suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.29 Analisis data dilakukan secara kualitatif,
rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data sekunder, kemudian
disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Analisis data lalu
dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder terhadap data primer untuk mendapatkan
penyelesaian permasalahan yang diangkat.
F. Keaslian Penulisan
Penelitian ini dilakukan atas gagasan dari peneliti sendiri juga melalui masukkan yang
berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. Sepanjang yang telah
ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian
tentang, ”PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI LINGKUNGAN KOTA TEBING TINGGI MENURUT
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU belum pernah dilakukan. Oleh karenanya penelitian ini
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Perss, 2007, hal. 21.
29
sangat jauh dari unsur plagiat. Penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dan
setiap bab dibagi dalam beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya
secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan ke dalam 5
(lima) bab terperinci.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan apa yang menjadi latar belakang permasalahan, penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penelitiaan serta
sistematika penelitian.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Perceraian, dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian
perceraian, syarat sah nya perceraian, pembagian harta dalam perceraian.
Bab III Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, dalam bab ini diuraikan mengenai putusnya
perkawinan karena perceraian, putusnya perkawinan karena kematian, dan akibat hukum yang
timbul dari putusnya perkawinan tersebut.
Bab IV Akibat Perceraian Yang Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kota
Tebing Tinggi, dalam bab ini merupakan uraian hasil penelitian yang mencakup upaya-upaya
yang dilakukan Pemerintah Kota terhadap PNS yang bercerai, sanksi bagi PNS yang bercerai,
Bab V Penutup, bab ini adalah bagian yang memuat kesimpulan dan saran, pada bagian