BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Efektivitas.
Efektivitas adalah unsur mencapai tujuan atau sasaran yang telah
ditentukan oleh organisasi. Efektivitas merupakan pengukuran tecapainya suatu
tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini efektivitas menekankan bagaimana
menemukan program, tujuan, pekerjaan atau target yang benar untuk dilaksanakan
sehingga tujuan akhir dapat tercapai secara maksimal ( Handayaningrat, 1982:5).
Menurut Sondang P. Siagian, Efektivitas adalah pemanfaatan sumber
daya, saran dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan
sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang
dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai, tidaknya
sasaran yang telah ditetapkan bersama. Jika hasil kegiatan semakin mendekati
sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya (Siagian, 2001:24).
Efektivitas merupakaan hubungan antara output dengan tujuan, semakin
besar kontribusi atau sumbangan output terhadap pencapaian tujuan maka
semakin efektif organisasi, program maupun kegiatan. Efektivitas berfokus pada
outcome atau hasil program atau kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang
dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan (Mahmudi,2005:92).
Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan sejauh mana suatu
target yang direncanakan organisasi. Dalam hal ini ada ketentuan terhadap waktu
pelayanan yang diberikan. Apabila program atau kegiatan tersebut tidak sesuai
dengan tujuan serta sasaran yang disepakati maka program atau kegiatan tidak
dilakukan secara efektif.
Efektivitas dan efisiensi adalah dua hal yang berbeda. Efektivitas adalah
melakukan hal yang benar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.
Efisiensi merupakan melakukan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar.
Dalam hal ini efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan
yang telah disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik
maupun tidak.
Efektifitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional
dalam melaksanakan program–program kerja yang sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya, secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan
sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat
melaksanakan semua tugas–tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya.
Dalam mengukur Efektivitas suatu program atau kegiatan perlu
diperhatikan beberapa indikator, yaitu:
a. Pemahaman program
b. Ketepatan sasaran
c. Tepat waktu
e. Perubahan nyata ( Sutrisno, 2007: 125-126)
2.2 Pemberdayaan
2.2.1 Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang menjadi kata “berdaya”
artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, berdaya artinya
memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau
mempunyai daya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan dalam bahasa
Indonesia merupakan terjemahan dari empowerment dalam bahasa Inggris.
Shardlow (1998 : 32) mengatakan pada intinya : pemberdayaan membahas
bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan
sesuai dengan keinginan mereka.
Pemberdayaan adalah suatu hal yang bertujuan meningkatkan keberdayaan
dari mereka yang dirugikan sehingga membutuhkan akses dalam memenuhi
hidupnya. Pemberdayaan merupakan upaya memberi keberanian dan kesempatan
pada individu untuk mengambil tanggung jawab perorangan guna meningkatkan
dan memberikan kontribusi pada tujuan organisasi. Pemberdayaan masyarakat
harus mengikuti pendekatan sebagai berikut (Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ;
pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan.
Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang
dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program
ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat
mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai
dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu,
sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam
merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya
peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok,
karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya. Lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika
penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif
dan dilihat dari penggunaan sumber daya yang lebih efisien.
Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.
Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk
individu–individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka
pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah
perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau
mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan
diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian berpartisipasi
dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas–tugas
kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan
sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses (Suharto
2.2.2 Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya dalam meningkatkan
kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas
hidup, kemandirian, dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan
keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah serta berbagai pihak untuk
memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang ingin
dicapai.
2.2.3 Tahap-tahap Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat memiliki tahap-tahap dalam proses kegiatan
atau program. Tahapan-tahapan pemberdayaan menurut Rukmianto terbagi atas
beberapa tahapan yaitu :
1. Tahap persiapan
Pada tahap ini, kegiatan atau program memiliki dua tipe tahap persiapan
yang harus dikerjakan seperti :
a. Penyiapan petugas, yaitu adanya tenaga pemberdayaan masyarakat
yang mampu menjalankan suatu program atau kegiatan.
b. Penyiapan lapangan, merupakan syarat dalam suksesnya suatu
program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara
non-direktif.
2. Tahap pengkajian
Pada tahap pengkajian, proses yang dilakukan adalah secara individual
petugas sebagai agen berusaha mengidentifikasikan masalah (kebutuhan
yang diperlukan), serta sumber yang dimiliki klien.
3. Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan
Petugas sebagai agent of change secara partisipasif mencoba melibatkan
warga untuk berpikir tentang masalah yang dihadapi dan cara
mengatasinya. Dalam hal ini diharapkan, masyarakat mampu memikirkan
beberapa alternatif program dan kegiatan yang akan dilakukan.
4. Tahap performulasian rencana aksi
Pada tahap ini, Petugas dan masyarakat membayangkan dan menuliskan
rencana jangka pendek suatu program dan kegiatan serta cara dalam
mencapai tujuan dan kesepakatan.
5. Tahap pelaksanaan program dan kegiatan
Tahap pelaksanaan program dan kegiatan adalah tahap yang paling penting
dalam proses pemberdayaan. Program dan kegiatan yang telah
direncanakan dengan baik dapat melenceng dalam proses pelaksanaannya
di lapangan bila tidak ada kerjasama antara petugas dan warga masyarakat
maupun kerjasama antar warga, pertentangan antara kelompok warga yang
dapat menghambat pelaksanaan program atau kegiatan.
6. Tahapan evaluasi
Dalam tahapan ini, pengawasan suatu tenaga pemberdayaan masyarakat
memberikan evaluasi suatu program atau kegiatan yang melibatkan
masyarakat. Keterlibatan warga pada tahap ini diharapkan akan
internal. Sehingga dalam jangka panjang akan membentuk sistem dalam
masyarakat yang mandiri dengan pemanfaatan sumber daya.
7. Tahap terminasi
Ini adalah tahap pemutusan hubungan secara formal dengan komunitas
sasaran (Rukmianto, 2002: 182-195).
2.3 Anak
2.3.1 Pengertian Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1tahun) usia
bermain/oddler (1- 2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun)
hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara anak satuu dengan yang
lain mengingat latar belakang anak berbeda. (Hurlock, 1980: 45)
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kemudian menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, juga menjelaskan tentang pengertian anak yaitu
sebagai berikut:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
2.3.2 Hak-hak Anak
Undang-undang No.23 tahun 2002 memuat 20 hak–hak anak yang diatur
oleh undang-undang tersebut. Setiap anak memiliki hak yaitu:
1. Untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
3. Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan usianya, dalam bimbingan orang tua.
4. Untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya.
5. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagi anak asuh atau anak angkat
oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
6. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosial.
7. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
8. Selain hak anak sebagimana dimaksud, khusus bagi anak yang
sedang bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus.
9. Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan.
10. Untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, beriman, bereaksi dan berkreasi sesuai denga
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.
11. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
12. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi
c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e. Ketidakadilan,
f. Perlakuan salah lainnya.
13. Untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan
aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
14. Untuk memperoleh perlindungan dari:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
e. Pelibatan peperangan
15. Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
16. Memperoleh kebebasan sesuai hukum
17. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakuakan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
18. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.
19.Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
20.Setiap anak menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
Undang-undang ini juga mengatur bahwa dalam hal orang tua,
wali, atau pengasuh anak tidak diperbolehkan melakukan segala bentuk
perlakukan sebagaimana dimaksud yaitu melakukan diskriminasi,
eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
(Samawati, 2012:80-83).
2.3.3 Masalah sosial anak
Masalah sosial anak adalah anak yang mengalami permasalahan sosial
yang diakibatkan oleh anak rawan yang dapat diartikan sebagai suatu situasi,
kondisi dan tekanan yang menyebabkan belum atau tidak terpenuhinya
hak-haknya dan dilanggar hak-haknya. Anak akan tersisih dari kehidupan normalnya dan
terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Sering menjadi korban
situasi sosial, terekploitasi dan mengalami diskriminasi, serta perlakuan salah oleh
lingkungannya (Suyanto, 2003:4).
Anak yang memiliki masalah sosial menimbulkan beberapa masalah
sosial. Masalah sosial yang terjadi pada anak :
1. Anak terlantar
2. Putus sekolah
3. Anak yang dilacurkan
4. Anak jalanan
5. Anak perempuan korban pelecehan dan kekerasan seksual
7. Anak korban pedofilia
8. Pengungsi Anak
9. Putus Sekolah
Dan pada umumnya anak yang menjadi warga binaan di penelitian yang
telah diteliti adalah anak terlantar dan putus sekolah.
2.3.3.1 Anak Terlantar
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat 2 dikatakan bahwa
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembangan serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini anak
merupakan suatu hal yang harus dijaga, dilindungi, serta diberikan perhatian yang
khusus dalam mempersiapkan anak sebagai penerus bangsa.
Menurut Undang –undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
mengatakan bahwa tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis
dan sosial anak merupakan tanggung jawab orang tua. Undang–undang tersebut
juga mengatakan anak–anak yang tidak memiliki orang tua mempunyai hak untuk
diasuh oleh negara atau lembaga lain.
Faktor penyebab terjadi Anak Terlantar :
1. Tidak adanya orang tua
2. Orang tua bercerai
4. Bencana alam.
Anak terlantar sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori
anak rawan atau anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (Children in need
of special protection). Dalam buku Pedoman Pembinaan Anak Terlantar yang
dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) disebutkan bahwa yang
disebut anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi
kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.
Seorang anak dikatakan terlantar, bukan sekedar karena sudah tidak lagi
memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, terlantar disini
juga dalam pengertian ketika hak–hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar,
untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian
orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan (Suyanto Bagong, 2003:213).
Ciri-ciri anak terlantar:
1. Mereka biasanya berusia 5-18 tahun, dan merupakan anak yatim, piatu,
atau anak yatim piatu.
2. Anak terlantar acap kali adalah anak yang lahir dari hubungan seks diluar
nikah dan kemudian mereka tidak ada yang mengurus karena orang tuanya
tidak siap secara psikologis maupun ekonomi untuk memelihara anak yang
3. Anak yang kelahirannya tidak direncanakan atau tidak diingankan oleh
kedua orang tuanya atau keluarga besarnya, sehingga cenderung rawan
diperlakukan salah.
4. Meski kemiskinan bukan satu–satunya penyebab anak ditelantarkan dan
tidak pula keluarga miskin akan menelantarkan anaknya. Tetapi,
bagaimanapun harus diakui bahwa tekanan kemiskian dan kerentanan
ekonomi keluarga akan menyebabkan kemampuan mereka memberikan
fasilitas dan memenuhi hak anaknya menjadi terbatas.
5. Anak yang berasal dari keluarga yang broken home, korban perceraian orang tuanya, anak yang hidup ditengah kondisi keluarga yang
bermasalah–pemabuk, kasar, korban PHK, terlibat Narkotika dan
sebagainya.
2.3.3.2 Anak Putus Sekolah
Dalam Konvensi Hak Anak yang telah di ratisifikasi oleh Pemerintah
Indonesia sebenarnya telah disebutkan dan diakui bahwa anak–anak pada
hakekatnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mereka
seyogyanya tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini. Namun demikan,
akibat tekanan kemiskinan, kurangnya animo orang tua terhadap arti penting
pendidikan, dan sejumlah faktor lain , maka secara sukarela maupun terpaksa anak
Menurut hasil kajian Sukamdinata (dalam Suyanto, 2010:342) faktor
utama penyebab anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi atau karena orang
tua tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak–anaknya. Disamping itu,
tidak jarang terjadi orang tua meminta anaknya berhenti sekolah karena mereka
membutuhkan tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan orang tua.
Secara garis besar, karakteristik anak yang putus sekolah adalah:
1. Berawal dari tidak tertib mengikuti pelajaran disekolah, terkesan
memahami belajar hanya sekedar kewajiban masuk kelas, dan
mendengarkan guru berbicara tanpa dibarengi dengan kesungguhan untuk
mencerna pelajaran secara baik.
2. Akibat prestasi yang rendah, pengaruh keluarga, atau karena pengaruh
teman sebaya, kebanyakan anak yang putus sekolah selalu ketinggalan
pelajaran dibanding teman–teman sekelasnya.
3. Kegiatan belajar dirumah tidak tertib, dan tidak disiplin, terutama karena
tidak didukung oleh upaya pengawasan dari pihak orang tua.
4. Perhatian terhadap pelajaran kurang dan mulai didominasi oleh kegiatan
lain yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran.
5. Kegiatan bermain dengan teman-teman sebayanya meningkat pesat.
6. Mereka yang putus sekolah kebanyakan berasal dari keluarga ekonomi
Sebagian Anak terlantar dan Anak putus sekolah yang kurang mampu,
terutama anak yatim atau yatim piatu, umumnya tinggal di panti dan hidup
dibawah asuhan pengelola panti. Di dalam panti mereka diberikan perawatan dan
penjagaan oleh pekerja sosial baik panti milik pemerintah Indonesia (UPT Dinas
Kesejahteraan dan Sosial) serta lembaga swasta lainnya.
2.3.4 Warga Binaan Anak
Warga binaan adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial yang
mendapat pelayanan dan binaan oleh suatu lembaga untuk meningkatkan
kemndirian dan dapat menjalankan keberfungsian sosialnya. Warga binaan anak
adalah warga binaan penyandang masalah kesejahteraan sosial khusus anak yang
mendapatkan pelayanan dan binaan oleh suatu lembaga untuk meningkatkan
kemandirian dan dapat menjalankan keberfungsian sosial anak kelak di
masyarakat dan lingkungannya.
2.3.5 Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan upaya agar setiap anak tidak dirugikan,
bersifat melengkapi hak-hak lain,dan menjamin bahwa anak akan menerima apa
yang dibutuhkan agar dapat hidup berkembang dan tumbuh dengan wajar.
Pembangunan dan perlindungan anak sangat diperlukan dalam
mewujudkan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan,
mewujudkan pembangunan dan perlindungan anak untuk melaksanakan
komitmen pemerintah di tingkat Internasional dalam pemenuhan hak anak
sebagaimana yang telah diratifikasi dengan Keputusan Pemerintah No.36 Tahun
Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan anak
merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin,
yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas)
tahun.
2.4 Pelayanan Sosial
2.4.1 Pengertian Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki
hubungan dengan lingkungan sosialnya. Pelayanan sosial disebut juga sebagai
pelayanan kesejahteraan sosial. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial
adalah sistem yang terorganisir dari usaha–usaha sosial dan lembaga–lembaga
sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam
mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka
mengembangkan kemampuan secara penuh, serta mempertinggi kesejahteraan
selaras dengan kebutuhan–kebutuhan keluarga dan masyarakat.( Wibhawa dkk,
2010 : 24).
Dari defenisi di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized
2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan
yang sejahtera dalam arti singkat kebutuhan pokok seperti sandang,
pangan, papan dan kesehatan, dan juga relasi –relasi sosial dengan
lingkungannya.
3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan
“kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya
maupun dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam Undang–Undang No. 11 tahun 2009 tentang Ketentuan –ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial Pasal 1, dijelaskan bahwa: “Kesejahteraan sosial
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan materiil, spritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya”.
Berdasarkan defenisi diatas, dapat diketahui bahwa :
1. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup
fungsi termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan,
perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.
2. Pelayanan Sosial dalam arti sempit atau juga pelayanan kesejahteraan
sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan
yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga
Semakin tersebarnya dan dipraktekannya secara universal pelayanan
sosial, maka pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang
membutuhkan pertolongan khusus.
2.4.2 Fungsi–fungsi Pelayanan Sosial
Bentuk–bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi–fungsinya adalah
sebagai berikut :
a) Pelayanan akses yang mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah,
nasehat, dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai
tujuan dengan menggunakan pelayanan yang tersedia.
b) Pelayanan terapi yang mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi,
termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan
yang diberikan oleh badan–badan yang menyediakan konseling pelayanan
anak, lanjut usia, pelayanan sosial mendidik, dan sekolah perawatan bagi
orang–orang jompo dan lanjut usia.
c) Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi
dan anak, keluarga bencana, pendidikan keluarga, pelayanan reaksi bagi
pemuda dan masyarakat dan masyarakat yang dipusatkan atau community
centre (Nurdin, 1989:50).
Pada umumnya pelayanan sosial diklasifikasikan sebagi berikut:
a. Kesejahteraan keluarga
c. Pelayanan penitipan bayi
d. Pelayanan Kesejahteraan Anak
e. Pelayanan Rehabilitasi bagi Penyalahgunaan NAPZA
f. Pelayanan kepada lanjut usia
g. Pelayanan rehabilitasi bagi penderita cacat dan pelanggar hukum
h. Pelayanan bagi para migran dan pengungsi
i. Kegiatan kelompok bagi para remaja
j. Pekerjaan Sosial Medis
k. Pusat–pusat pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat
l. Pelayanan Sosial yang berhubungan dengan proyek–proyek
perumahan.
2.4.3 Dasar-dasar Pelayanan Sosial
Dalam Undang –undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial disebut sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yaitu organisasi
sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraaan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
Panti Sosial atau lembaga Kesejahteraan Sosial memiliki posisi strategis,
karena memiliki posisi strategis, karena memiliki tugas dan tanggungjawab
1. Bertugas dalam mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang
dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin.
2. Bertugas melakukan rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa percaya
diri, dan tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya, dan meningkatkan
kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
mendukung kemandirian di masyarafkat.
3. Memberikan pelayanan pemakanan sesuai dengan standar gaji pembinaan
fisik, agama, psikologis, sosial dan pendidikan disekolah bagi anak
sekolah usia sekolah, agar mampu berperan aktif di lingkungan
masyarakat.
4. Bertugas untuk mengembalikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) ke masyarakat melalui penyiapan sosial, penyiapan masyarakat
agar mengerti dan menerima kehadiran kembali dan membantu penyaluran
ke berbagi sektor kerja dan usaha produktif.
5. Melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong
peningkatan taraf hidup kesejahteraan pribadi, meningkatkan rasa
tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat,
mendorong partispasi masyrakat untuk menciptakan iklim ytang mendun
kung pemulihan dan memfasilitasi dukungan psiko-sosial dari keluarga.
Fungsi Teknis yang diberikan sebuah lembaga Pelayanan Sosial adalah
sebagai berikut:
b. Konsultasi
c. Pelayanan penampungan pengasramaan dan perawatan serta pendidikan
d. Pembinaan fisik dan mental
e. Bimbingan sosial secara individu , kelompok dan masyarakat.
f. Penyiapan dan pelaksanaan pemberian sandang dan pangan sesuai
standart gaji.
g. Pelayanan kesehatan bagi warga binaan
h. Penyiapan dan pelaksanaan penyaluran kembali ke keluarga,
masyarakat/ lingkungan kerja usaha (resosialisasi)
Sedangkan fungsi utamanya, antara lain sebagai : pusat lembaga
pelayanan kesejahteraan sosial, pusat pengembangan kesempatan kerja, pusat
informasi kesejahteraan sosial, lembaga pendidikan.
2.4.4 Standar Pelayanan Sosial dalam Panti
Standar panti sosial adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja
tertentu bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan lembaga pelayanan sosial
lainnya yang sejenis. Standarisasi panti telah dituangkan dalam Lampiran
Keputusan Menteri Sosial RI Nomor : 50/HUK/2004 tentang standarisasi Panti
Sosial atau Pedoman Akreditasi Panti Sosial, sebagai landasan untuk menetapkan
Ada dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar
khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu
yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial atau lembaga
pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial.
Standar umum panti sebagaimana yang dimaksud adalah :
1. Kelembagaan
a. Legalitas Organisasi, mencakup bukti legalitas dari instansi yang
berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan
profesionalnya.
b. Visi dan Misi, memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi.
c. Organisasi dan tata kerja, memiliki struktur organisasi tata kerja dalam
rangka penyelenggaraan
2. Sumber Daya Manusia, mencakup 2 aspek yaitu:
a. Aspek penyelenggaraan panti, terdiri dari 3 unsur :
a) Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan kepala –kepala unit yang
ada dibawahnya
b) Unsur Operasional, meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing
rohani, dan pejabat fungsional lainnya.
c) Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh, juru masak,
b. Pengembangan personil panti
Panti Sosial memiliki program pengembangan Sumber Daya Manusia
3. Sarana dan Prasarana meliputi :
a. Pelayanan Teknis, mencakup peralatan assesment, bimbingan sosial,
keterampilan fisik dan mental.
b. Perkantoran, memiliki ruang kantor, ruang pertemuan (aula), ruang tamu,
kamar mandi, WC, peralatan kantor seperti alat komunikasi, alat
transportasi dan tempat penyimpanan dokumen.
c. Umum, memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci, kerapihan
diri, belajar, kesehatan, dan peralatan lainnya.
4. Pembinaan
Memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun sumber tidak
tetap.
5. Pelayanan Sosial Dasar
Pelayanan Sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari –hari klien,
meliputi: makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan dan kesehatan.
6. Monitoring dan evalusi meliputi:
a. Monev Proses, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang diberikan
b. Monev Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap klien, untuk melihat
tingkat pencapaian dan keberhasilan klien setelah memperoleh proses
pelayanan (Sitompul, 2011)
2.5 Kesejahteraan Anak
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin
pertumbuhan dan hperkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani,
maupun sosial. Hal ini diatur dalam undang–undang No. 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa bahwa anak
memiliki hak sebagai berikut :
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang di dalam keluarga maupun didalam
asuhan khusus untuk tumbuh kembang yang wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan
berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
2.6 Kerangka Pemikiran
Pada zaman ini, masalah anak yang ditelantarkan menjadi persoalan yang
banyak diperbincangkan di media massa seperti koran, televisi dan radio. Anak
terlantar yang tidak memiliki keluarga harus mampu memenuhi kebutuhan hidup
dan mencari nafkah sendiri melalui mengemis, mengamen, berjualan koran dan
sebagainya. Selain daripada hal itu, anak terlantar yang sering disebut anak
jalanan mencari rezeki dengan mencopet serta merampok di daerah padat
penduduk yang memiliki tempat–tempat yang ssering dikunjungi orang–orang.
Permasalahan ini menjadi hal yang sangat sulit dipecahkan oleh
pemerintah Indonesia. Anak yang merupakan aset bangsa menjadi tidak terkendali
ketika anak tidak diasuh serta di lindungi oleh sebuah keluarga. Hal yang terjadi
adalah anak menjadi jahat, tidak memiliki nilai dan moral yang baik dan mengacu
pada tindakan–tindakan negatif yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat
serta anak menjadi musuh negara ketika anak memiliki perilaku yang merugikan
negara.
Sebagaimana diketahui bahwa anak adalah penerus masa depan bangsa,
maka pemerintah memberikan perlindungan serta hak yang seharusnya diterima
oleh seluruh anak di Indonesia. Pemerintah memberikan perlindungan kepada
anak dan perlindungan bagi anak agar anak tidak mendapatkan permasalahan
sosial serta memberikan kemandirian untuk anak terlantar agar kemudian hari
anak mampu menjalankan fungsinya di masyarakat.
Pelayanan Sosial yang memberikan perlindungan serta kemandirian bagi
anak terlantar akan ditampung di Pelayanan Sosial dan diberikan keterampilan
serta pengasramaan agar anak bisa melanjutkan pendidikannya sesuai dengan usia
sekolah anak. Pelayanan Sosial Anak memberikan pelayanan pemakanan sesuai
dengan standart gizi, memberikan pembinaan fisik, agama, sosial, pendidikan
serta keterampilan bagi anak usia sekolah, agar mampu berperan aktif di
lingkungan sekolah.
Dalam meningkatkan pendidikan dan keterampilan khususnya anak
berumur sekolah yang putus sekolah dibutuhkan tempat atau wadah bagi anak
agar anak mampu melanjutkan sekolahnya dan menemukan keterampilan yang
mampu menambahkan minat anak dalam berkreasi di masa depan. Hal yang
dilakukan adalah memberikan sekolah gratis di seluruh sekolah negeri dan
memberikan bimbingan keterampilan bagi anak yang dibinan dalam lembaga
pelayanan sosial dalam bidang anak.
Pelayanan Sosial Anak dan Lanjut Usia Siborongborong adalah salah
satu lembaga yang memberikan program keterampilan dalam memberikan minat
anak binaan untuk menggali sumber daya anak. Anak binaan diberikan bebas
biaya sekolah di sekolah negeri yang ada baik tingkat SD, SMP, SMA/SMK,
sehingga anak tidak terbeban dengan biaya sekolah. Dalam Pelayanan Sosial
Anak diberikan tempat atau wadah bagi anak yang terlantar sebuah pengasramaan
sebagai tempat tinggal anak selama dibina di pelayanan sosial. Hal ini dilakukan
agar anak tidak tinggal dijalanan dan bisa dilindungi baik secara internal dan
Melihat keefektivan program pemberdayaan warga binaan anak di
Pelayanan Sosial Anak , dapat dilihat dari indikator (Sutrisno, 2007:125-126) agar
mencapai keberhasilan dalam mencapai sasaran dan tujuan kegiatan yaitu:
1. Pemahaman program, yaitu dilihat dari sejauh mana klien dapat
memahami dan mengetahui program pemberdayaan warga binaan anak
melalui keterampilan yang diberikan oleh Pelayanan Sosial Anak dan
Lanjut Usia Siborongborong.
2. Tepat Sasaran, yaitu dilihat apakah anak sudah diberikan pemahaman
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan program yang dilakukan
3. Tepat waktu, yaitu dilihat dari apakah penggunaan waktu untuk program
pemberdayaan keterampilan bagi anak sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan.
4. Tercapainya tujuan, yaitu dilihat dari cara pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan Pelayanan Sosial bagi anak.
5. Perubahan nyata, yaitu dilihat bagaimana suatu kegiatan yang dilakukan
memberikan dampak dan memberikan perubahan nyata bagi anak ataupun
klien.
Skematisasi kerangka pemikiran merupakan transformasi narasi
yang merenagkan hubungan atau konsep-konsep atau variabel-variabel
penelitian menjadi sesuatu yang berbentuk skema, artinya yang ada
(Siagian,2011: 132). Untuk itu skematisasi kerangka pemikiran dalam
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 1
Bagan Alur Pikir
UPT Pelayanan Sosial Anak dan
Lanjut Usia Siborongborong
Indikator Efektivitas Pelaksanaan Program dilihat dari:
1. Pemahaman Program
2. Tepat sasaran
3. Tepat waktu
4. Tujuan dan manfaat
5. Perubahan Nyata
Efektif Tidak Efektif
Warga Binaan Anak
Keterampilan Jok
(Warga Binaan Anak Laki-laki)
Keterampilan Salon
2.7 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.7.2 Defenisi Konsep
Konsep adalah bagian vital dari metodologi penelitian, karena apabila
konsep penelitain dibagun secara asal-asalan maka akan mengacaukan bagian
vital lainnya. Konsep juga dibangun dengan maksud agar masyarakat lmiah
maupun konsumen penelitian memahamin apa yang dimaksud dengan pengertian
variabel, indikator, parameter, maupun skala pengukuran yang dikehendaki
peneliti dalam penelitiannya(Bungin, 2001: 73).
Dalam suatu penelitian, defenisi konsep menunjukkan bahwa si peneliti
ingin membatasi salah pengertian akan konsep yang diteliti. Peneliti memberikan
gambaran kepada pembaca peneltian itu dengan menggunakan konsep sesuai
dengan yang diinginkan dan yang dimaksudkan oleh si Peneliti, defenisi konsep
merupakan pengertian terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu
penelitian (Siagian, 2011: 136-138).
Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri–ciri yang berkaitan
dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal–hal yang sejenis.
Konsep diciptakan dengan mengelompok objek–objek atau peristiwa yang
mempunyai ciri–ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan
dan mendefenisikan istilah–istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta
suatu persamaan persepsi dan menghindari salah pengertian yang dapat
Memahami pengertian mengenai konsep–konsep yang akan digunakan,
maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:
1. Efektivitas dalam penelitian ini adalah tercapainya tujuan ataupun
sasaran yang telah disepakati oleh pembuat program yang hasil dari
preogram tersebut berjalan baik ataupun tidak.
2. Pemberdayaan dalam penelitian ini adalah suatu program yang
memiliki tujuan dalam hal meningkatkan keberdayaan dari mereka
yang tidak mampu melakukan suatu kegiatan yang tidak bisa mereka
lakukan sehingga mereka harus mengembalikan keberfungsian sosial
mereka.Dalam hal ini, pemberdayaan yang diberikan kepada warga
binaan adalah keterampilan yang diikuti oleh warga binaan anak di
UPT Pelayanan Sosial Anak dan Lanjut Usia Siborongborong.
Keterampilan dibagi atas 2 Keterampilan berdasarkan jenis kelamin
warga binaan anak.
3. Masalah sosial anak dalam penelitian ini adalah Masalah sosial anak
adalah anak yang mengalami permasalahan sosial yang diakibatkan
oleh anak rawan yang dapat diartikan sebagai suatu situasi, kondisi dan
tekanan yang menyebabkan belum atau tidak terpenuhinya hak-haknya
dan dilanggar haknya.
4. Warga binaan anak dalam penelitian ini adalah warga binaan
penyandang masalah kesejahteraan sosial khusus anak yang
meningkatkan kemandirian dan dapat menjalankan keberfungsian
sosial anak kelak di masyarakat dan lingkungannya.
5. Pelayanan sosial dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas yang
bertujuan untuk memperbaiki hubungan dengan lingkungan sosialnya.
Pelayanan sosial disebut juga sebagai pelayanan kesejahteraan sosial.
6. Pelayanan sosial anak dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas yang
bertujuan untuk memperbaiki hubungan dengan lingkungan sosialnya.
Pelayanan sosial disebut juga sebagai pelayanan kesejahteraan sosial
yang dimana pelayanan yang dilakukan di khususkan kepada anak.
2.7.2 Defenisi Operasional
Defenisi Operasional adalah unsur penelitian yang memberitashukan
bagaiamana cara merngukur suatu variabel. Dengan kata lain defenisi
operasioanal penelitian adalah semacam petunjuk pelaksanakan berupa tata cara
untuk mengukur variabel( Nasution, 2001: 17).
Defenisi Operasional adalah langkah lanjutan dalam perumusan defenisi
konsep. Defenisi konsep ditujukan untuk mengethaui keseragaman pemahan
tentang konsep-konsep baik berupa obyek peristiwa maupun fenomena yang
diteliti, sehingga defenisi operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep
Adapun indikator dalam penelitian ini adalah
a. Bentuk –bentuk pemberdayaan oleh Pelayanan Sosial Anak.
1. Pendidikan
2. Spritual
3. Bakat dan keterampilan
4. Bantuan Sosial
5. Kemandirian
6. Kasih Sayang
b. Efektivitas pelaksanaan program pemberdayaan warga binaan anak ,
diukur oleh indikator:
1. Pemahaman Progam meliputi:
a.Sumber informasi mengenai program pemberdayaan
b.Pengetahuan mengenai program pemberdayaan warga binaan anak
c.Pemahaman responden setelah mendapatkan informasi tentang program
d.Pengenalan akan sasaran dan program
2.Tepat sasaran meliputi:
a.Klien menerima dan menjalankan bantuan
c. Penerima bebas biaya sekolah
3.Tepat Waktu meliputi:
a.Frekuensi awal pelaksanaan program sampai akhir pelaksanaan program
b.Keberlangsungan program
4. Tercapainya tujuan meliputi:
a.Perkembangan kegiatan
b.Terpenuhinya tujuan
c.Kemudahan akses bagi warga binaan anak
5. Perubahan nyata, meliputi:
a. Penerapan program warga binaan dalam berkreasi jika diluar dan di
dalam panti