• Tidak ada hasil yang ditemukan

243166194 MAKALAH PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "243166194 MAKALAH PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA docx"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA PRO KONTRA UJIAN NASIONAL

DI INDONESIA

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Ujian Akhir Semester Pada Mata Kuliah TPKI

Dosen Pembimbing : Mulyawan S. Nugraha, M. Ag. M.Pd

Disusun Oleh : MARYAH ULFAH NIM : 0891.01.1060 SEMESTER III B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI Jl. Veteran I No. 36 Telp. (0266) 225 464 Suakbumi 43111 TAHUN 2010 M / 1431 H

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai pemerintah tidak konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor penentu kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia.

Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.

(2)

4,25, tahun 2006 4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25 dan tahun 2009 angka kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.

Angka kelulusan siswa terus dinaikkan dari tahun ke tahun berikutnya, tidak akan menjadi persoalan jika hasil evaluasi Ujian Nasional diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang diketahui dari hasi Ujian Nasional tersebut memiliki nilai kelulusan rata-rata rendah.

Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung sejak lim tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali

diberlakukan secara nasional.

Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.

Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui terjadinya pro dan kontra dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah rampung, karena bukan masalah boleh ataupun tidak boleh Ujian Nasional dilaksanakan, tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan Ujian Nasional ditingkatkan. “Tujuan penyelenggaraan Ujian Nasional tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lagi terutama terkait penentu kelulusan atau standar

nasional,” ujarnya.

Pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari kemajuan dunia pendidikan. Mohammad Nuh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun anak didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi

pendididkan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif.

Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan penulis melihat kenyataan pada era ini,

perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat umumnya mengenai Ujian Nasional banyak pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan di atas penulis merasa tertarik untuk membuat makalah ini dengan memilih judul : “ PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Di dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil sebuah judul “PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA”. Dengan orientasi untuk memberikan gambaran umum dari seputar dunia pendidikan di Indonesia itu sangat luas maka penulis batasi dengan pembatasan sebagai berikut:

1) Bagaimana pengertian Ujian Nasional ? 2) Bagaimana peran dan fungsi Ujian Nasional?

3) Bagaimana jika Ujian Nasional menjadi salah satu kebutuhan? 4) Bagaimana dampak negatif dari Ujian Nasional?

5) Bagaimana solusi dari Ujian Nasional? C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan utama penulisan pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut :

1) Untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Akhir Semester mata kuliah Teknik Penulisan Karya Ilmiah (TPKI).

2) Untuk mencoba kemampuan penulis sendiri membuat makalah dan untuk memperoleh pengalaman.

(3)

D. Langkah-langkah Penulisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penulisan

D. Langkah-langkah Penulisan (sistematika) BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ujian Nasional B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional C. Ujian Nasional Salah Satu Kebutuhan D. Dampak Negatif Ujian Nasional E. Solusi Dari Ujian Nasional BAB III PENUTUP

A. Simpulan B. Saran-saran BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ujian Nasional

Pada era globalisasi ini, semua negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada Ujian Nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan yang tidak lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, pada bab XVI pasal 57 sampai dengan 59 tentang evaluasi menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.

Manfaat standard setting ujian akhir, diantaranya:

1) Adanya batasan kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kompetensi minimum. 2) Adanya standar yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai standar minimum pencapaian kompetensi.

B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional

Di antara berita masalah hukum yang belum berkeadilan, masih ada berita masalah pendidikan yang juga tak kalah seru. Ujian nasional akan dimajukan waktunya, dan sungguh sangat

(4)

lulus sertifikasi pastilah ada banyak masalah, khususnya masalah isi kantong yang belum menyebar merata ke semua guru. Itulah yang saya baca dari koran kompas cetak bagian opini hari ini, Jum’at 20 November 2009.

Masalah pendidikan memang masalah pelik, dan tidak semua orang bisa memahaminya dengan cara-cara yang bijaksana. Tentu dari kebijakan menteri pendidikan nasional yang baru, kita berharap ada terobosan yang berbeda dari menteri pendahulunya.

Perbedaan itu misalnya berani menghapus Ujian Nasional karena Ujian Nasional mematikan kreatifitas siswa dan guru. Ujian Nasional hanya melatih siswa menjawab soal-soal pilihan ganda dan semua soal Ujian Nasional itu bisa di drill dengan latihan soal-soal terus menerus. Bagi mereka yang mempunyai uang banyak mungkin tak ada kesulitan dalam memberikan materi tambahan, tetapi bagi mereka yang tak punya uang, maka harus belajar ekstra keras berlatih soal-soal.

Untuk bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional, anda tak perlu sekolah, cukup masuk

bimbingan belajar (bimbel) selama beberapa bulan, dijamin anda pasti lulus. Bila tak lulus, janji mereka, uang kembali 100 %.

Ujian Nasional tidaklah cocok dijadikan penentu kelulusan siswa. Sebab, masih banyak ukuran kelulusan yang bisa dilakukan, misalnya dengan sistem tes masuk perguruan tinggi, sehingga bila ada peserta didik yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka peserta didik itu harus ikut tes sesuai dengan jenjang yang akan dimasukinya. Seleksi tes perguruan tinggi tak melihat nilai siswa, tetapi kemampuan siswa. Mereka yang tak lolos tes, otomatis akan terlibas oleh mereka yang lulus tes.

Selain masalah Ujian Nasional, ada masalah sertifikasi guru yang belum tuntas dan masih terus dievaluasi. Pelaksanaan sertifikasi guru memang belum menyenangkan semua pihak. Guru diibaratkan seperti kelinci percobaan dari para penentu kebijakan yang sebenarnya kebijakan ini dipaksakan. Satu sisi jelas guru harus disertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme mereka, tetapi di sisi lain masalahnya adalah banyak guru yang kurang bersabar dalam menunggu giliran sesuai dengan jenjang kepangkatannya, dan kurang bersyukur dengan apa yang telah didapatkan, sehingga banyak kita lihat guru yang sudah tersertifikasi justru mengalami penurunan kinerja. Akhirnya Ujian Nasional dan sertifikasi adalah masalah yang memusingkan menteri, dan kita doakan beliau mampu mengatasinya dengan kebijakan yang “smart” . Berlaku adil dan menyenangkan semua pihak. Kita pun berharap guru semakin bermartabat. Guru di sekolah mampu menjalankan tugasnya dengan baik, dan dosen di perguruan tinggi tidak terlalu asyik mengerjakan tugasnya di luar, untuk mencari tambahan penghasilan sehingga banyak mahasiswa yang tidak terbina dengan baik.

Semoga saja kita bisa memberikan dorongan positif agar pelaksanakan Ujian Nasional dan sertifikasi ini berjalan sesuai dengan harapan semua pihak. Tidak 100 % mungkin memang, tetapi setidaknya masalah pendidikan di negeri ini terselesaikan dengan tepat dan cepat. Fungsi Ujian Nasional SMA, SMK, dan MA sebagai bahan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Fungsi evaluasi nasional tidak lagi merupakan syarat kelulusan tetapi terutama adalah untuk mengevaluasi sampai di mana pencapaian mutu pendidikan, baik secara kewilayahan maupun nasional.

C. Ujian Nasional Sebagai Kebutuhan

(5)

dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh tiap satuan pendidikan dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah yang berada di wilayah A dengan sekolah yang berada di wilayah B. Karena karakteristik suatu wilayah pasti berbeda sesuai dengan topografi dan kondisi budayanya.

Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, dilakukan penilaian secara sistematis. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, penilaian dilakukan oleh pendidik secara

berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Satuan pendidikan atau sekolah juga harus melakukan penilaian kepada siswa untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) semua mata pelajaran melalui ujian sekolah. Namun selain penilaian dari kedua pihak tersebut adalagi penilaian yang dilakukan oleh pemerintah untuk menilai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu kelompok mata pelajaran iptek melalui Ujian Nasional.

Ujian Nasional Bukan Representasi Pencapaian Kompetensi Siswa.

Pertanyaan yang boleh diajukan adalah perlukah Ujian Nasional dilakukan untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan? Padahal guru dan sekolah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses pembelajaran pun sudah melakukan penilaian yang menurut hemat saya sudah sangat representatif untuk mengetahui kompetensi siswa, bahkan hasilnya lebih valid dalam menggambarkan pencapaian belajar siswa karena dilakukan secara berkesinambungan dan disesuaikan dengan kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran siswa.

Permasalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan Ujian Nasional adalah banyaknya praktek kecurangan, mulai dari joki jawaban ujian sampai dengan mark up nilai ujian nasional. Tuntutan nilai ketuntasan minimum yang semakin tinggi adalah salah satu indikasi penyebab praktek kecurangan dalam Ujian Nasional.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 66 menyebutkan bahwa Ujian Nasional adalah salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah, bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan

teknologi. Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian hasil belajar di perguruan tinggi, yang proses penilaiannya hanya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (perguruan tinggi) yang bersangkutan. Jika pada perguruan tinggi saja penilaian bisa dilakukan oleh dosen dan perguruan tinggi yang bersangkutan saja, maka tidak akan ada masalah berarti jika saja Ujian Nasional dihapuskan, karena pada tingkatan perguruan tinggi pun penilaian yang dilakukan oleh pendidik dan perguruan tinggi yang bersangkutan sudah representatif untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan.

(6)

Untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah, karena satuan pendidikan (sekolah) biasanya

melakukan pelaporan hasil belajar siswa secara berkala kepada dinas pendidikan yang menaungi sekolah tersebut. Selain itu pemerintah pusat punya badan khusus yang disebut dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan yang ditetapkan BSNP yang terdiri dari standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan adalah acuan bersama satuan pendidikan dalam mengelola proses pembelajarannya.

Untuk mensinergiskan pencapaian minimal profesionalitas pendidikan mungkin keberadaan badan bagian dari pemerintah yang capable dalam memformulasikan standar minimal secara nasional seperti BSNP diakui sangat dibutuhkan. Namun formulasi yang dilakukan hendaknya secara konsep dan teori adalah sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran oleh satuan pendidikan. Pelaksanaannya dikembalikan lagi ke satuan pendidikan, disesuaikan dengan sejauh mana pemerintah daerah tempat satuan pendidikan tersebut bernaung dalam memberikan dan meningkatkan fasilitas yang layak untuk proses pembelajaran.

Kondisi daerah yang berbeda pastinya memberikan pengaruh terhadap satuan pendidikan yang dinaunginya. Alhasil ini pun berdampak pada hasil belajar siswa yang berada di daerah tersebut. Ujian Nasional dengan standar nilai minimal yang sama tidak memungkinkan digunakan karena kondisi tiap daerah tidak sama, ada yang pendapatan daerahnya tinggi sehingga fasilitas

belajarnya lengkap dan menunjang pembelajaran siswa dan tidak dinafikan pula masih banyak daerah tertinggal di negeri ini yang tentunya hanya memenuhi kebutuhan fasilitas belajar satuan pendidikan di daerahnya seadanya atau bahkan jauh dari standar nasional yang sudah ditetapkan. D. Dampak Negatif Ujian Nasional

Perhelatan rutin tahunan Ujian Nasional telah usai. Sebagai sebuah kebijakan pemerintah Ujian Nasional jelas ada sisi positif (manfaat) dan juga ada sisi negatifnya (madharat). Untuk kasus Ujian Nasional, manfaatnya jelas ada, dampak/ekses negatif dari Ujian Nasional itu jauh lebih besar dibanding dengan manfaatnya. Tulisan ini sengaja hanya akan mencoba menguak dampak negatif dari pelaksanaan Ujian Nasional dengan sistem yang ada sekarang. Bukankah Ujian Nasional yang sungguh telah menghabiskan dana negara atau uang rakyat yang sangat banyak itu, langsung maupun tidak langsung, sebenarnya telah meninggalkan efek negatif terhadap masyarakat di dalam mempersepsi keberadaan pendidikan nasional?.

Dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini adalah bergesernya paradigma (wijhat al- Nadzar) bagi para praktisi pendidikan, peserta didik dan wali pseserta didik.

(7)

Akibatnya, mata pelajaran yang tidak di Ujian Nasional kan akhirnya menjadi dinomorduakan, termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan Ujian Nasionalnya tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan Ujian Nasional hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada beberapa sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian

Nasionalnya tidak fair-play alias tidak jujur. Artinya, dalam pelaksanaan Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah itu panitianya dan tentu dengan “restu” kepalanya secara langsung atau tidak langsung membantu siswa supaya lulus Ujian Nasional, misalnya dengan cara memberi kunci jawaban kepada peserta Ujian Nasional, dan juga bisa dengan cara menggunakan siswa pandai untuk “dicontoh” oleh peserta didik yang memang lemah.

Sebenarnya untuk mendeteksi sebuah sekolah/madrasah bertindak curang atau tidak itu tidak terlalu sulit, di antaranya menanyakan kepada para peserta didik yang baru saja menyelesaikan belajarnya (tamat). Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebuah sekolah/madrasah itu melakukan curang/ tidak. Di samping itu, di dunia pendidikan kita sekarang ini muncul

“keanehan-keanehan”. Pertanyaannya adalah “ada apa denganmu panitia Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah?” Sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya itu tidak jujur dan tidak fair-play, sebenarnya lembaga pendidikan tersebut telah melakukan “kejahatan intelektual” secara berjama’ah. Siapa yang paling berdosa, tidak lain adalah panitia Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah yang tentu saja “dikomandani” oleh kepala

sekolah/kepala madrasahnya. Dengan melakukan kecurangan, berarti telah menafikan nilai-nilai akademis dari sebuah kegiatan pendidikan yaitu kejujuran (fairness) dan obyektifitas

(objectivity) itu sendiri. Kalau dalam wilayah ilmu itu tidak jujur, jelas itu merupakan bentuk “kejahatan intelektual”. Bagi sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya curang, maka akan berdampak pada peserta didik di kelas bawahnya yang tahun berikutnya akan melaksanakan Ujian Nasional. Mereka para adik kelas yang mwngetahui bahwa kakak kelas dalam Ujian Nasionalnya itu dibantu oleh guru, maka jelas mereka akan “ogah-ogahan” dalam belajar karena mereka tahu bahwa nanti pada saat UJian Nasional pasti akan dibabntu oleh guru sebagaimana kakak kelasnya dulu.

Ketiga, dampak negatif terhadap wali peserta didik adalah bahwa sekarang ini sudah banyak wali peserta didik yang beranggapan bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya yaitu apabila anaknya lulus Ujian Nasional. Degan demikian para wali peserta didik sudah tidak lagi

memperdulikan apakah anaknya itu akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi tambah mandiri, berwawasan luas, kretaif dan inovatif atau tidak?. Yang penting apabila sudah lulus Ujian Nasional berarti sudah berhasil. Konsekuensi asumsi yang demikian adalah wali peserta didik kemudian menjadi kurang respek terhadap pengawasan dan pendampingan belajar anaknya. Orang tua baru akan peduli terhadap belajar anaknya ketika Ujian Nasional sudah dekat, sementara untuk saat-saat di luar menjelang Ujian Nasional, anak tidak pernah dimotivasi untuk belajar secata continue.

Di samping apa yang telah diuraikan di atas, sebenarnya dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini juga melanda ke lembaga-lembaga /para pengelola pendidikan non pemerintah. Harus diingat bahwa para pengelola lembaga pendidikan non-pemerintah dalam membangun gedung/ RKB dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lain itu, dananya berasal dari hutang bank. Kemudian guru dan karyawannya 100% swasta .

(8)

kalau sampai terjadi banyak yang tidak lulus Ujian Nasional akan dapat berakibat fatal dan bahkan bisa terjadi “kiamat” di lembaga pendidikan tersebut. Sebab, secara empirik, lembaga pendidikan non pemerintah yang demikian itu, sebenarnya bukan saja berfungsi sebagai wahana pencerdasan anak bangsa/peserta didik tetapi juga berfungsi ekonomis, yakni sebagai “lahan penghidupan” bagi guru dan pegawai yang berada di dalamnya beserta keluarganya. Dengan demikian kelulusan Ujian Nasional itu ada hubungannya dengan “dapur”.

Pelaksanaan Ujian Nasional sering kali mengorbankan siswa dan guru, di tingkat akhir sekolah pembelajaran siswa hanya difokuskan untuk lulus Ujian Nasional dengan pemberian pelajaran tambahan yang bisa menyebabkan siswa stress.

Ada yang berpendapat Ujian Nasional malah menghambat perkembangan anak didik. Ujian Nasional merupakan pemborosan untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa dalam peningkatan perkembangan anak didik.

E. Solusi

Untuk menghindari pro dan kontra tentang perlu-tidaknya ada Ujian Nasional, maka penulis menawarkan alternatuf solusi. Pertama, kembalikan fungsi Ujian Nasional itu sebagai sekedar alat “pemetaan” (mapping) kualitas pendidikan, bukan sebagai alat penentu kelulusan. Jadi, Ujian Nasional itu berfungsi seperti sistem Ebtanas yang model dahulu. Artinya anak tetap mendapat STTB dan nilai Ebtanas sebagai lampiran dari STTB tersebut. Ketika Ujian Nasional tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan Ujian Nasional di sekolah/madrasah jelas cenderung akan lebih fair-play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya tidak lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik, diserahkan kepada sekolah/madrasah. Kedua, apabila Ujian Nasional itu tetap dijadikan alat penentu kelulusan, maka agar Ujian Nasional itu lebih demokratis dan adil, batas kelulusan (passing-grade) yang dijadikan patokan kelulusan itu jangan hanya ada satu seperti sekarang, tapi paling tidak ada tiga tipologi /strata passing-grade, misalnya : tipe A dinyatakan lulus dengan passing grade 5,1, tipe B lulus dengan passing grade 4,1 dan tipe C lulus dengan passing grade 3,1. Dan sejak awal

pendaftaran Ujian Nasional peserta didik sudah mendaftar Ujian Nasional dengan preferensi tipe /passing-grade yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Sekarang ini kan tidak adil. Sekolah/madrasah yang pinggiran, sekolah/madrasah yang gurunya belum memenuhi standar, sekolah/madrasah yang sarprasnya sangat tidak memenuhi, passing-grade-nya disamakan dengan sekolah yang sudah berstandar SSN. Dimana letak keadilannya?. Apabila tiga tipologi passing-grade itu sejak awal sudah ditawarkan kepada peserta didik yang akan melaksanakan Ujian Nasional berarti telah ada keadilan dalam dunia pendidikan kita. Peserta didik yang mendapat nilai tinggi tentu akan masuk ke sekolah-sekolah favorit- sementara yang nilainya rendah akan memilih sekolah/madrasah yang sekiranya mau menerima dirinya sesuai dengan nilai hasil Ujian Nasional/Nilai Ebtanas Murni yang dimilki.

(9)

A. Simpulan

Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan dengan sistem yang digunakan dalam bidang pendidikan. Yang terakhir kurikulum yang digunakan dalam system pendidikan nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara substansi dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh tiap satuan pendidikan dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal.

Ada yang bahagia karena berhasil lulus dan ada sekelompok kecil yang bersedih karena tidak berhasil lulus. Yang lulus belum berarti mereka lebih pintar daripada yang tidak lulus tidak mengindikasikan bahwa mereka lebih bodoh.

Satu hal lagi yang dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa tidak semua siswa menjadi lebih rajin dalam mempersiapkan menghadapi Ujian Nasional. Pemerintah mungkin lupa akan adanya kecerdasan majemuk dan sifat para siswa yang memang sangat beragam.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Barat, Ginandjar Kartasasmita, menyatakan menolak penyelenggaraan Ujian Nasional dengan alasan Ujian Nasional mengurangi hak guru menilai prestasi siswanya selama belajar di sekolah tersebut. Sedangkan Sofyan Yahya, anggota dewan DPD lainnya, menyayangkan sikap pemerintah yang bersikeras melaksanakan Ujian Nasional meski sudah ada putusan kasasi dari Mahkamah Agung (KOMPAS, 15 Desember 2009).

B. Saran-saran

Dari beberapa sumber yang saya baca, Ujian Nasional memang sangat dibutuhkan karena dengan standar tersebut saya bisa termotivasi untuk lebih giat belajar untuk mencapai hasil yang

maksimal.

Sebaiknya Ujian Nasional, tidak perlu terus dinaikkan setiap tahunnya. Karena akan membuat peserta didik menjadi sangat terbebani dengan nilai standarisasi itu. Upaya yang harus lebih diperhatikan siswa dianjurkan sewaktu mengikuti kegiatan belajar tambahan harus serius dan bersungguh-sungguh.

Ujian Nasional sangat penting karena itu merupakan barometer atau ukuran keberhasilan peserta didik sejauh mana siswa menyerap atau menerima materi yang disampaikan pengajar, karena kalau peserta didik yang berhasil menerima materi tersebut pasti lulus, tapi itu kembali pada pengajar dan yang memberi materi tersebut.

Selain mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah sebaiknya peserta didik dibekali keterampilan, agar peserta didik bisa mengembangkan keterampilannya setelah keluar dari sekolahnya.

(10)

PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL BAB I

Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Ujian nasional 2013 menimbulkan banyak permasalahan dalam pelaksanaannya. Bahkan tiada hari tanpa masalah, dan sepertinya pantas kalau ujian nasional dikatakan kacau balau. Betapa tidak karut marut ini mulai terjadi sejak proses pengandaan naskah soal, pendistribusian naskah soal, sampai pada pengerjaan oleh siswa peserta ujian di kelas. Bahkan akan sampai pada pemeriksaan atau proses pemindaian hasil ujian pada LJUN.

Proses penggandaan bermasalah dengan terlambatnya penyelesaian dari pihak percetakan untuk 11 propinsi yakni pada wilayah bagian tengah Indonesia. Untuk masalah ini terjadi saling tuding dari pihak percetakan, Kemdikbud, BSNP, dan pengawas perguruan tinggi. Namun pak Menteri Dikbud (Prof. M. Nuh) menyatakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap problem UN 2013, meski enggan mundur karena hal itu.

Mengatasi problem pendistribusian soal ke pelosok daerah, terpaksa presiden turun tangan menginstruksikan TNI dan Polri untuk mengerahkan segala kemampuan untuk membantu distribusi soal. Tak tanggung-tanggung TNI melibatkan pesawat hercules dan foker untuk mengangkut soal ke 11 propinsi tujuan, bahkan sampai disertai dengan pengawalan Pak Wamendikbud. Sedangkan polri terlibat langsung dalam pengawalan naskah soal sampai ke kabupaten. Namun karena persebaran sekolah yang beragam, maka sekolah yang terletak jauh di pelosok atau terpencil menjadi tambah terlambat. Bahkan beberapa sekolah di Luwu Sulawesi Selatan (Bastem) dan di Kolaka Utara harus mengerjakan soal ujian pada malam hari dengan penerangan lampu minyak.

Ketika pengerjaan soal berlangsung ternyata masih banyak pula masalah yang di alami oleh siswa dan panitia penyelenggara sekolah. Beberapa sekolah tidak mendapatkan jatah soal UN, Soal tidak cukup untuk semua peserta, dan kertas LJUN yang tipis sehingga mudah sobek. Ketika naskah soal tidak tersedia dan/atau soal tidak cukup, panitia terpaksa berinisiatif untuk mengadakan naskha soal dan LJUN dengan memfoto kopi sendiri untuk sejumlah siswa di sekolahnya.

Problem naskah soal dan LJUN yang foto copy-an ini lah yang akan menimbulkan masalah lanjutan pada proses pemeriksaan hasil ujian. LJUN foto copy-an hanya berupa LJUN sementara, dan petugas teknis harus memindahkan data dan jawaban siswa pada LJUN sementara ke LJUN komputer yang semestinya. LJUN komputer/LJK yang digunakan harus disesuaikan

dengan barcodesoal yang digunakan siswa dalam UN. Oleh karena itu, prosesnya akan butuh waktu lebih lama atau yang lebih mudah dilakukan dengan cara manual.

Sebagaimana telah ditetapkan oleh BSNP bahwa untuk menjaga keotentikan hasil ujian nasional, maka naskah soal dan LJUN memiliki barcode yang sama. LJUN-pun menyatu dengan naskah soal. Ketika siswa hendak mengerjakan ujian, terlebih dahulu harus memisahkan LJUN dari naskah soal agar tidak kusut atau rusak. Namun sebuah kasus kecerbohan pengawas terjadi pada sebuah sekolah penyelenggara ujian nasional. Kasusnya terjadi di SMAN 1 Towuti Kabupaten Luwu timur Sulawesi selatan, di mana guru pengawas ruang ujian memisahkan naskah soal dan LJUN sebelum dibagikan ke siswa. LJUN lalu dibagi secara acak dalam satu ruangan.

(11)

kepala sekolah (Adam, S.Pd.) mengalami kepanikan. Beruntung kelebihan soal dari ruangan ujian lain di sekolah itu, cukup untuk peserta ujian di ruang bermasalah tadi.

Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai pemerintah tidak konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor penentu kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia.

Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang terdapat pada makalah ini yaitu sebagai berikut :

1. Asal usul munculnya ujian nasional ? 2. Tujuan penyelenggaraan ujian nasional ?

3. Apa saja masalah yang terjadi padapelaksanaan ujian nasional tahun 2013 ini ? 4. Bagaimana solusi masalah Ujian nasional tahun 2013 ini?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan seperti apa problematika Ujian Nasional 2013.

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan studi perbandingan dalam upaya peningkatan mutu ujian nasional yang dianggap relevan, terutama terkait masalah problematika Ujian Nasional 2013.

2. Manfaat Praktis

Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi dalam khazanah pengetahuan tentang ujian nasional bagi penulis khususnya dan pembaca pada umunya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asal Usul Munculnya Ujian Nasional

Yang namanya Ujian Nasional atau UN pasti semua orang baik dewasa sampai anak-anak tahu. Namun mengenai sejarah panjang mengenai ujian untuk penentuan kelulusan peserta didik pada setiap tingkatan mulai dari jaman perjuangan hingga sekarang tentu tidak banyak yang

mengetahui, terutama bagi mereka yang tidak mengalaminya. Pada postingan kali ini saya ingin sedikit menceritakan tentang sejarah perkembangan ujian di Indonesia dari awal hingga

sekarang.

Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem ujian nasional telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan, perkembangan ujian nasional tersebut yaitu :

(12)

Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk semua mata pelajaran. bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.

2. Periode 1972 – 1982

Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah di mana setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan hasil pemrosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing sekolah/ kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum. Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar sekolah.

3. Periode 1982 – 2002

Pada tahun 1982 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “pararel” untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan soal dilakukan didaerah. Pada EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q) dan nilai EBTANAS murni (R)

4. Periode 2002-2004

Pada tahun 2002, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan

kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Untuk kelulusan siswa pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. 5. Periode 2005 – sekarang

Mulai tahun 2005 untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian sederhana di kelas bahasa dan sastra Jepang, Universitas Bina Nusantara semester enam, tampak bahwa teori kognitif yang diejawantahkan melalui strategi

Pada menjalankan kuasa-kuasa yang diberi oleh Seksyen 168, Kanun Tanah Negara, notis adalah dengan ini diberi bahawa adalah dicadangkan hendak mengeluarkan hakmilik

Pada tahapan ini lebih menekankan pada aktivitas bagaimana architecture sistem informasi dikembangkan. Pendefinisian architecture sistem informasi dalam tahapan ini

Dengan data yang sama penulis coba mengubah data dari ordinal ke interval dengan menggunakan teknik transformasi MSI (Method of Successive Interval) setelah itu dilakukan

Adapun tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui besarnya manfaat yang didapat dari air baku dan air irigasi, besarnya alokasi biaya untuk masing-masing

Kasryno, et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pertanian di

Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa perolehan total skor untuk indikator konsep diri dalam penggunaan waktu kelompok eksperimen sebelum diberikana layanan

Bila ukuran sampel kecil (<20), atau terdapat frekuensi harapan kurang dari 5, maka data hendaknya di analisi dengan prosedur uji pasti fisher..