• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang. kosong diantara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1995).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang. kosong diantara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1995)."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanah

1. Definisi Tanah

Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1995).Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran (Hendarsin, 2000).

Bowles (1991), tanah adalah campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut :

a. Berangkal (boulders), yaitu potongan batuan yang besar, biasanya lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran ukuran 150 mm sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut sebagai kerakal (cobbles) atau pebbes.

(2)

b. Kerikil (gravel), yaitu partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.

c. Pasir (sand), yaitu batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm. Berkisar dari kasar (3 mm sampai 5 mm) sampai halus (< 1mm). d. Lanau (silt), yaitu partikel batuan yang berukuran dari 0,002 mm

sampai 0,074 mm.

e. Lempung (clay), yaitu partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.

f. Koloid (colloids), partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm.

2. Komposisi Tanah

Tiga fase elemen tanah seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1.

(3)

Hubungan volume-berat :

V = Vs + Vv = Vs + Vw + Va

Dimana :

Vs = volume butiran padat Vv = volume pori

Vw = volume air di dalam pori Va = volume udara di dalam pori

Apabila udara dianggap tidak memiliki berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan :

W = Ws +Ww

Dimana :

Ws = berat butiran padat Ww = berat air

Hubungan volume yang umum dipakai untuk suatu elemen tanah adalah angka pori (void ratio), porositas (porosity) dan derajat kejenuhan (degree of saturation) sebagai berikut ini :

a. Angka Pori

Angka pori atau void ratio (e) adalah perbandingan antara volume pori dan volume butiran padat, atau :

𝐞 =𝑽𝒗 𝐕𝐬 b. Porositas

Porositas atau porosity (n) adalah perbandingan antara volume pori dan volume tanah total, atau :

(4)

𝐧 = 𝑽𝒗 𝐕

c. Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan atau degree of saturation (S) adalah perbandingan antara volume air dengan volume pori, atau :

𝐒 =𝑽𝒘 𝐕𝐯

Hubungan antara angka pori dan porositas dapat diturunkan dari persamaan, dengan hasil sebagai berikut :

𝒆 = 𝑽𝒗 𝑽𝒔 = 𝒏 𝟏 − 𝒏 𝒏 = 𝒆 𝟏 + 𝒆 d. Kadar Air

Kadar air atau water content (w) adalah perbandingan antara berat air dan berat butiran padat dari volume tanah yang diselidiki, atau : 𝐰 =𝑾𝒘

𝐖𝐬 e. Berat Volume

Berat volume (γ) adalah berat tanah per satuan volume, atau : 𝛄 = 𝑾

𝐕

f. Berat Spesifik

Berat spesifik atau Spesific gravity (Gs) adalah perbandingan antara berat satuan butir dengan berat satuan volume.

𝑮𝒔 = 𝜸𝑺 𝜸𝑾

(5)

3. Batas-Batas Konsistensi Tanah

Seorang ilmuwan dari Swedia yang bernama Atterberg berhasil mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus pada kadar air yang bervariasi, sehingga batas konsistensi tanah disebut dengan batas-batas Atterberg. Kegunaan batas-batas Atterberg dalam perencanaan adalah memberikan gambaran secara garis besar akan sifat-sifat tanah yang bersangkutan. Bilamana kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan menjadi sangat lembek. Tanah yang batas cairnya tinggi biasanya mempunyai sifat teknik yang buruk yaitu kekuatannya rendah, sedangkan kompresibilitas tinggi sehingga sulit dalam hal pemadatannya. Oleh karena itu, atas dasar air yang dikandung tanah, tanah dapat diklasifikasikan ke dalam empat keadaan dasar, yaitu : padat, semi padat, plastis dan cair, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Batas-Batas Atterberg

a. Batas cair (LL) adalah kadar air tanah antara keadaan cair dan keadaan plastis.

(6)

c. Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis, dimana tanah tersebut dalam keadaan plastis, atau :

PI = LL – PL

Indeks plastisitas (PI) menunjukkan tingkat keplastisan tanah. Apabila nilai indeks plastisitas tinggi, maka tanah banyak megandung butiran lempung. Klasifikasi jenis tanah menurut Atterberg berdasarkan nilai indeks plastisitas dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Hubungan Nilai Indeks Plastisitas dengan Jenis Tanah

IP Jenis Tanah Plastisitas Kohesi

0 Pasir Non Plastis Non Kohesif

< 7 Lanau Rendah Agak Kohesif

7 - 17 Lempung Berlanau Sedang Kohesif

> 17 Lempung Murni Tinggi Kohesif

Sumber : Bowles, 1989.

4. Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terinci (Das, 1995).

(7)

Sistem klasifikasi dimaksudkan untuk menentukan dan mengidentifikasikan tanah dengan cara sistematis guna menentukan kesesuaian terhadap pemakaian tertentu dan juga berguna untuk menyampaikan informasi tentang karakteristik dan sifat-sifat fisik tanah, serta mengelompokkannnya berdasarkan suatu kondisi fisik tertentu dari tanah tersebut dari suatu daerah ke daerah lain dalam bentuk suatu data dasar.

Sistem klasifikasi tanah yang ada mempunyai beberapa versi, hal ini disebabkan karena tanah memiliki sifat-sifat yang bervariasi. Adapun beberapa metode klasifikasi tanah yang ada antara lain :

a. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur

Departemen Pertanian AS telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi ukuran butir melalui prosentase pasir, lanau dan lempung yang digambar pada grafik segitiga Gambar 2.3.

Cara ini tidak memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebabkan adanya kandungan (baik dalam segi jumlah dan jenis) mineral lempung yang terdapat dalam tanah. Untuk dapat menafsirkan ciri-ciri suatu tanah perlu memperhatikan jumlah dan jenis mineral lempung yang dikandungnya.

Sistem ini relatif sederhana karena hanya didasarkan pada sistem distribusi ukuran butiran tanah yang membagi tanah dalam beberapa kelompok, yaitu :

(8)

Lanau : Butiran dengan diameter 0,05 – 0,02 mm.

Lempung : Butiran dengan diameter lebih kecil dari 0,02 mm.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 30 40 50 60 70 80 90 100 Prosentase pasir Pr o sen ta se lan au Pro sen tase lem pun g Lempung Lempung berlanau Tanah liat berlempung Tanah liat Pasir Tanah liat berpasir Pasir bertanah liat Tanah liat berlanau Lanau Lempung berpasir Tanah liat dan lempung berpasir

Tanah liat dan lempung

berlanaur 2

0

Sumber : Braja M. Das (1998)

Gambar 2.3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur

b. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/ USCS)

Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System (USCS) diajukan pertama kali oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya dan selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian American Society for Testing and Materials

(9)

(ASTM) memakai USCS sebagai metode standar untuk mengklasifikasikan tanah. Menurut sistem ini tanah dikelompokkan dalam tiga kelompok yang masing-masing diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis (Hendarsin, 2000), yaitu :

1) Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos ayakan No.200 < 50 %.

Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini :

a) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada saringan No. 4.

b) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara ukuran saringan No. 4 dan No. 200.

2) Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No. 200 > 50 %.

Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C) dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada grafik plastisitas.

3) Tanah Organis

Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat sebagai bahan bangunan yang diinginkan.

(10)

Tanah khusus dari kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini adalah partikel-partikel daun, rumput, dahan atau bahan-bahan yang regas lainnya.

Tabel 2.2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified

Jenis Tanah Simbol Sub Kelompok Simbol Kerikil Pasir Lanau Lempung Organik Gambut G S M C O Pt Gradasi Baik Gradasi Buruk Berlanau Berlempung WL<50% WL>50% W P M C L H Sumber : Bowles, 1989. Keterangan :

W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik),

P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk),

L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50),

(11)

Tabel 2.3. Sistem Klasifikasi Tanah USCS T ana h be rbut ir ka sa r≥ 50% but ir an te rta ha n s ar in ga n N o. 200 K er ik il 50% ≥ f ra ks i ka sa r te rta ha n s ar in ga n N o. 4 K er ik il be rs ih (ha nya ke rik il ) GW

Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

K la sif ik as i be rda sa rka n pr os ent as e but ir an ha lu s ; K ur ang da ri 5% l ol os s ar in ga n no.200: GM , G P , S W , S P . L ebi h da ri 12% lo lo s s ar in ga n no.200 : GM , G C , S M , S C . 5% 12% l ol os sa rin ga n N o.200 : B ata sa n kl as if ik as i ya ng me m punya i sim bol dobe l Cu = D60 > 4 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60 GP

Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW K er ik il de nga n B ut ir an ha lu

s GM Kerikil berlanau, campuran

kerikil-pasir-lanau Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol GC Kerikil berlempung, campuran

kerikil-pasir-lempung Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7 Pa sir ≥ 50% f ra ks i ka sa r lo lo s s ar in ga n N o. 4 Pas ir be rs ih ( ha nya pa sir ) SW

Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus Cu = D60 > 6 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60 SP

Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW P as ir de nga n buti ra n ha lu s

SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol SC Pasir berlempung, campuran

pasir-lempung Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7 T ana h be rbut ir ha lu s 50% a ta u l ebi h l ol os a ya ka n N o. 200 L ana u da n l em pung ba ta s c air ≤ 50% ML

Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung

Diagram Plastisitas:

Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol. 60 50 CH 40 CL 30 Garis A CL-ML 20 4 ML ML atau OH 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Garis A : PI = 0.73 (LL-20) CL

Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean

clays)

OL

Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah L ana u da n l em pung ba ta s c air ≥ 5 0% MH

Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis

CH

Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays)

OH

Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi

Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi

PT

Peat (gambut), muck, dan

tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi

Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488 Sumber : Hary Christady, 1996.

Batas Cair (%) B ata s P la sti s (%)

(12)

c. Sistem klasifikasi AASHTO

Sistem Klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 dan mengalami beberapa kali revisi hingga tahun 1945 dan dipergunakan hingga sekarang, yang diajukan oleh Commite on Classification of Material for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board (ASTM Standar No. D-3282, AASHTO model M145). Sistem klasifikasi ini bertujuan untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (sub-base) dan tanah dasar (subgrade).

Dalam sistem ini tanah dikelompokkan menjadi tujuh kelompok besar yaitu A1 sampai dengan A7. Tanah yang termasuk dalam golongan A-1 , A-2, dan A-3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan batas plastis.

(13)

Tabel 2.4. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASTHO

Klasifikasi umum Tanah berbutir

(35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200

Klasifikasi kelompok A-1 A-3 A-2

A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7

Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Maks 50 Maks 30 Maks 15 Maks 50 Maks 25 Min 51

Maks 10 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Maks 35

Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL)

Indeks Plastisitas (PI) Maks 6 NP

Maks 40 Maks 10 Min 41 Maks 10 Maks 40 Min 11 Min 41 Min 41 Tipe material yang

paling dominan

Batu pecah, kerikil dan pasir

Pasir halus

Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung

Penilaian sebagai bahan

tanah dasar Baik sekali sampai baik

Klasifikasi umum Tanah berbutir

(Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200

Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-6

A-7 A-7-5* A-7-6** Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Min 36 NNNNNN

Min 36 Min 36 Min 36

Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)

Maks 40 Maks 10 Maks 41 Maks 10 Maks 40 Maks 11 Min 41 Min 11 Tipe material yang

paling dominan Tanah berlanau Tanah Berlempung

Penilaian sebagai bahan

tanah dasar Biasa sampai jelek

* untuk A-7-5 : PI ≤ LL – 30 ** untuk A-7-6 : PI > LL - 30 Sumber : Das (1998).

Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria di bawah ini : 1. Ukuran Butir

Kerikil : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 75 mm dan tertahan pada saringan diameter 2 mm (no. 10).

(14)

Pasir : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 2 mm dan tertahan pada saringan diameter 0,0075 mm (no. 200)

Lanau dan lempung : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 0,075 (No. 200).

2. Plastisitas

Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung dipakai bilamana bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis indeks plastisnya 11 atau lebih.

3. Apabila batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) di temukan di dalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya, maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi, persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.

Data yang akan didapat dari percobaan laboratorium telah ditabulasikan pada Tabel 2.4. Kelompok tanah yang paling kiri kualitasnya paling baik, makin ke kanan semakin berkurang kualitasnya.

Gambar 2.4 menunjukkan rentang dari batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI) untuk tanah data kelompok A-2, A-4, A-5, A-6, dan A-7.

(15)

Gambar 2.4. Nilai-Nilai Batas Atterberg untuk Subkelompok

Tanah. (Hary Christady, 1992).

B. Tanah Lempung

Tanah lempung merupakan agregat partikel-partikel berukuran mikroskopik dan submikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur penyusun batuan, dan bersifat plastis dalam selang kadar air sedang sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan. Selain itu, permeabilitas lempung sangat rendah (Terzaghi dan Peck, 1987).

1. Sifat Tanah Lempung

Sifat khas yang dimiliki oleh tanah lempung adalah dalam keadaan kering akan bersifat keras, dan jika basah akan bersifat lunak plastis, dan kohesif, mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar dan itu terjadi karena pengaruh air.

(16)

Sifat-sifat yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut (Hardiyatmo, 1999) :

a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm. b. Permeabilitas rendah.

c. Kenaikan air kapiler tinggi. d. Bersifat sangat kohesif.

e. Kadar kembang susut yang tinggi.

2. Karakteristik Mineral Lempung

Adapun cara mengidentifikasi sifat tanah lempung langsung dari uji lapangan dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Sifat Tanah Lempung

Tipe Tanah Sifat Uji Lapangan

Lempung

Sangat Lunak Meleleh diantara jari ketika diperas

Lunak Dapat diperas dengan mudah

Keras Dapat diperas dengan tekanan jari yang kuat Kaku Tidak dapat diperas dengan jari, tapi dapat

ditekan dengan jari Sangat Kaku Dapat ditekan dengan jari Sumber : Hary Christady (1992)

Tanah lempung terdiri sekumpulan partikel-partikel mineral lempung dan pada intinya adalah hidrat aluminium silikat yang mengandung ion-ion Mg, K, Ca, Na dan Fe. Mineral-mineral lempung digolongkan ke dalam empat golongan besar, yaitu kaolinit, smectit (montmorillonit), illit (mika hidrat) dan chlorite. Tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus

(17)

diantaranya kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air yang relatif tinggi, dan mempunyai gaya geser yang kecil.

C. Daya Dukung Tanah

Dalam perencanaan jalan raya, kuat dukung tanah dasar sangat mempengaruhi tebal perkerasan, semakin tinggi kuat dukung tanah, maka tebal perkerasan yang diperlukan semakin tipis untuk menahan beban lalu lintas. Daya dukung tanah dasar (subgrade) dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar air, dll (Hendarsin,2000).

Ada beberapa metode untuk menentukan daya dukung tanah seperti CBR (California Bearing Ratio), k (Modulus Reaksi Tanah Dasar), Mr (Resilient Modulus), Skala Penetrasi Konus Dinamis/DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dan HCP (Hand Cone Penetrometer). Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan jalan ditentukan dengan mempergunakan pemeriksaan CBR. CBR di peroleh dari hasil pemeriksaan sampel tanah yang telah disiapkan di laboratorium atau langsung di lapangan.

Namun dalam penelitian ini yang digunakan untuk menentukan nilai daya dukung tanah adalah CBR (California Bearing Ratio) Laboratorium dan Skala Penetrasi Konus Dinamis/DCP (Dynamic Cone Penetrometer). Pengujian kuat dukung tanah ini dilakukan untuk mendapatkan korelasi parameter nilai CBR antara hasil uji CBR Laboratorium dan uji Skala Penetrasi Konus Dinamis/DCP (Dynamic Cone Penetrometer).

(18)

1. California Bearing Ratio (CBR)

Metode perencanaan perkerasan jalan yang umum digunakan yaitu dengan cara-cara empiris, yang biasa dikenal adalah cara CBR (California Bearing Ratio). Metode ini dikembangkan oleh California State Highway Departement sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade).

Menurut AASHTO T-193-74 dan ASTM D-1883-73, California Bearing Ratio adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu beban terhadap beban standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama. Nilai CBR akan digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. Harga CBR itu sendiri adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban. Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan contoh tanah, CBR dapat dibagi atas :

1. CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR).

Metode pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston pada kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gardan truk. 2. CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR).

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold yang berisi contoh tanah yang dikeluarkan

(19)

dan direndam dalam air selama 4 hari sambil diukur pengembangannya (swelling). Setelah pengembangan tidak terjadi lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR.

3. CBR laboratorium (laboratory CBR).

CBR laboratorium dapat disebut juga CBR rencana titik. Tanah dasar yang diperiksa merupakan jalan baru yang berasal dari tanah asli, tanah timbunan atau tanah galian yang dipadatkan sampai mencapai 95% kepadatan maksimum. Dengan demikian daya dukung tanah dasar merupakan kemampuan lapisan tanah yang memikul beban setelah tanah itu dipadatkan. Oleh karena itu, nilai CBR laboratorium adalah nilai CBR yang diperoleh dari contoh tanah yang dibuat dan mewakili keadaan tanah tersebut setelah dipadatkan.

Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston dengan luas 3 sqinch dengan kecepatan gerak vertikal ke bawah 0,05 inch/menit, proving ring digunakan untuk mengukur beban yang dibutuhkan pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur (dial). Penentuan nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan pondasi jalan adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan rumus sebagai berikut:

Nilai CBR pada penetrasi 0,1” =

Nilai CBR pada penetrasi 0,2” = Dimana :

A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1” B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2” 100% x 3000 A 100% x 4500 B

(20)

Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil perhitungan kedua nilai CBR.

Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi bahan standar.

Tabel 2.6. Beban Penetrasi Bahan Standar

Penetrasi (inch) Beban Standar (lbs) Beban Standar (lbs/inch) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 3000 4500 5700 6900 7800 1000 1500 1900 2300 6000

2. Skala Penetrasi Konus Dinamis (DCP)

Pengujian cara dinamis ini dikembangkan oleh TRL (Transport and Road Research Laboratory), Crowthorne, Inggris dan mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1985/1986. Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai CBR (California Bearing Ratio) tanah dasar, timbunan, dan atau suatu sistem perkerasan. Pengujian ini dilakukan dengan mencatat data masuknya konus yang tertentu dimensi dan sudutnya, ke dalam tanah untuk setiap pukulan dari palu/hammer yang berat dan tinggi jatuh tertentu pula. Pengujian alat ini dipakai pada pekerjaan tanah karena mudah dipindahkan ke semua titik yang diperlukan tetapi letak lapisan yang diperiksa tidak sedalam pemeriksaan tanah dengan alat sondir.

(21)

Pengujian dilaksanakan dengan mencatat jumlah pukulan (blow) dan penetrasi dari konus (kerucut logam) yang tertanam pada tanah/lapisan pondasi karena pengaruh penumbuk kemudian dengan menggunakan grafik dan rumus, pembacaan penetrometer diubah menjadi pembacaan yang setara dengan nilai CBR. Berdasarkan hasil dari penelitian yang lampau, banyak hubungan DCP dan CBR digambarkan pada rumus berikut ini:

Log(CBR) = a + b log (DCPI)

Dimana:

DCPI = nilai DCP (mm/blow).

a = nilai konstanta antara 2,44 – 2,60

b = nilai konstanta antara 1,07 – 1,16

Transport And Road Research Laboratory mengembangkan prosedur pengujian lapis perkerasan dengan DCP, menggunakan beberapa hubungan sebagai berikut :

- Van Buuren, 1969, (Konus 60o), Log CBR = 2,632 – 1,28 (Log DCP)

- Kleyn & Harden, 1983, (Konus 30o), Log CBR = 2,555 – 1,145 (Log DCP)

- Smith & Pratt, 1983, (Konus 30 o), Log CBR = 2,503 – 1,15 (Log DCP)

- TRL, Road Note 8, 1990, (Konus 60o), Log CBR = 2,48 – 1,057 (Log DCP) .

(22)

Sampai saat ini alat DCP yang sudah banyak dikenal dan digunakan adalah DCP yang diperkenalkan oleh TRL yang dilaporkan pada Overseas Road Note 31, grafik hubungan yang digunakan adalah perumusan dari Smith & Pratt, 1983 untuk konus 30o dengan persamaan Log CBR = 2,503 – 1,15 (Log DCP) dan TRL, 1990, untuk konus 60o dengan persamaan Log CBR = 2,48 – 1,057 (Log DCP), sebagai berikut :

Gambar 2.5. Grafik Ketentuan Untuk Konversi Hasil Uji DCP Dengan

Konus 30° dan 60°.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembacaan penetrasi saat uji DCP harus mencapai kedalaman 800mm, dengan catatan bahwa pembacaan penetrasi awal pada 0 pukulan sangat jarang tepat berada pada kedalaman 0 mm. Untuk mendapatkan nilai indeks DCP, jumlah pukulan yang diperlukan untuk mencapai kedalaman 800 mm sangat diperlukan. Biasanya, bila tidak mencapai kedalaman 800 mm, catatan pembacaan penetrasi akan menyimpang karena berdasarkan pembacaan penetrasi terakhir atau perkiraan

(23)

jumlah penetrasi tertentu yang diinginkan(Green & Plessis,2009). Tetapi harus ditekankan bahwa nilai CBR yang ditetapkan demikian merupakan nilai setempat. Telah diketahui benar-benar bahwa kapasitas dukung dari setiap tanah dapat dinaikkan besar sekali, pada dasarnya dengan dua cara:

(i) dengan pemadatan dan

(ii) dengan menggunakan drainase yang tepat.

Pada umumnya kerapatan setempat dari setiap tanah asli berkisar antara 75 - 85% dan dengan pemadatan, kerapatan dapat dinaikkan sampai 90 - 100% dari kerapatan maksimum. Dengan cara ini kapasitas dukung dapat ditingkatkan. Jadi nilai CBR yang diperoleh dari sumber bahan (tempat) yang potensial dengan menggunakan DCP dapat dianggap aman.

Selama pengujian DCP, harus juga diperhatikan mengenai kondisi drainase di lapangan. Kebanyakan tanah adalah peka terhadap drainase dan khususnya tanah dengan CBR yang rendah - tanah liat, lumpur, pasir halus sampai medium, yang mengandung lempung dan/atau lumpur – sangat tergantung pada kadar airnya. Jika tanah semacam itu pada kondisi kenyang air karena drainasenya jelek, maka beberapa tanah tersebut hampir kehilangan sama sekali seluruh kapasitas dukungnya. Kerikil, pasir dan bahkan lumpur atau pasir berlempung adalah kurang mudah diserang dan dapat bertahan terhadap kondisi drainase yang jelek. Masalah ini akan terlihat pada saat pembacaan DCP diplotkan dalam grafik hubungan kedalaman penetrasi dan jumlah pukulan, ketika sudut kemiringan grafik pada lapisan tertentu tampak jauh lebih kecil dibandingkan lapisan lainnya.

(24)

D. Kuat Tekan Tanah Lempung

1. Uji Kuat Tekan Bebas

Kuat tekan bebas adalah besarnya gaya aksial per satuan luas pada saat sampel tanah mengalami keruntuhan atau pada saat regangan aksial telah mencapai 20% (pilih yang lebih dahulu tercapai saat pengujian). Uji tekan bebas termasuk hal yang khusus dari uji triaksial unconsolidated undrained,UU (tak terkonsolidasi-tak terdrainase). Kondisi pembebanan sama dengan yang terjadi pada uji triaksial, hanya tekanan selnya nol (σ3 = 0).

Tegangan aksial yang diterapkan di atas benda uji berangsur-angsur ditambah sampai benda uji mengalami keruntuhan. Pada saat keruntuhannya, karena σ3 = 0, maka:

σ1 = σ3 + Δσf = Δσf = qu ,

dengan qu adalah kuat tekan bebas (unconfined compression strength). Secara teoritis, nilai Δσf pada lempung jenuh seharusnya sama seperti yang diperoleh dari pengujian-pengujian triaksial unconsolidated-undrained dengan benda uji yang sama. Sehingga diperoleh:

su = cu = qu/2,

dimana su atau cu adalah kuat geser undrained dari tanahnya. Uji kuat tekan bebas adalah salah satu cara untuk mengetahui geser tanah. Uji kuat tekan bebas bertujuan untuk menentukan kekuatan tekan bebas suatu jenis tanah yang bersifat kohesif, baik dalam keadaan asli (undisturbed), buatan

(25)

(remoulded) maupun tanah yang dipadatkan (compacted). Konsistensi tanah lempung dapat ditentukan berdasarkan kekuatan kompresinya (qu),

sebagaimana dalam tabel 2.7 terlihat bahwa konsistensi dibagi menjadi 6 kategori dari sangat lunak sampai keras, yaitu antara nilai kompresibilitas (qu)

antara 0 sampai dengan lebih besar dari 4. Tabel ini dapat digunakan sebagai acuan untuk tanah kohesif yang lain.

Tabel 2.7. Deskripsi Lempung Berdasarkan Kompresibilitas

Konsistensi Nilai qu (kg/cm2) Sangat Lunak < 0,25 Lunak 0,25 – 0,50 Sedang 0,50 – 1,0 Kaku 1,0 – 2,0 Sangat Kaku 2,0 – 4,0 Keras > 4,0

(Sumber : Terzaghi & Peck, 1967)

2. Sensitivitas Tanah

Pada tanah-tanah lempung yang terdeposisi (terendapkan) secara alamiah dapat diamati bahwa kekuatan tekanan tak tersekap berkurang banyak, bila tanah tersebut diuji ulang lagi setelah tanah tersebut menderita kerusakan struktural (remoulded) tanpa adanya perubahan dari kadar air. Sifat berkurangnya kekuatan tanah akibat adanya kerusakan struktural tanah tersebut disebut kesensitifan (sensitifity).

Tingkat kesensitifan dapat ditentukan sebagai rasio (perbandingan) antara kekuatan tanah yang masih asli dengan kekuatan tanah yang sama setelah

(26)

terkena kerusakan (remoulded), bila kekuatan tanah tersebut diuji dengan cara tekanan tak tersekap. Jadi, sensitifitas diperoleh (acquired sensitivity) dinyatakan dalam persamaan:

ST =

qu tanah asli qu tanah terganggu

Rasio kesensitifan sebagian besar tanah lempung berkisar antara 1 sampai 8, biarpun pada beberapa tanah-tanah lempung maritim yang mempunyai tingkat flokulasi yang sangat tinggi didapat juga harga rasio kesensitifan yang dapat berkisar antara 1,0 sampai 8,0. Ada beberapa jenis tanah lempung tertentu yang akibat kerusakan tersebut dapat tiba-tiba berubah menjadi cair. Tanah-tanah seperti itu sebagian besar dijumpai di daerah Amerika Utara dan daerah semenanjung Skandinavia yang dulunya tertutup es. Tanah-tanah lempung seperti ini biasa dinamai sebagai quick clays. Karena beberapa jenis lempung mempunyai sifat sensitif terhadap gangguan yang berbeda-beda, maka perlu diadakan pengelompokan yang berhubungan dengan sifat sensitifnya. Klasifikasi secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Sensitifitas Lempung (Peck et al, 1951)

Sensitifitas Lempung ≈ 1 Tidak sensitif 1 - 2 Sensitifitas rendah 2 - 4 Sensitifitas sedang 4 - 8 Sensitif 8 - 16 Sensitifitas ekstra >16 Quick

(27)

Kehilangan kekuatan setelah adanya kerusakan struktural pada tanah dapat terjadi terutama karena memang sudah ada perubahan-perubahan yang berarti dari struktur dasar partikel tanah asli selama berlangsungnya proses sedimentasi dari tanah tersebut pada mulanya. Bila setelah adanya kerusakan tersebut sampel tanah dibiarkan tidak terusik (juga tanpa adanya perubahan dari kadar airnya), tanah tersebut akan lambat laun pulih kekuatannya. Peristiwa ini disebut sebagai thixotrophy. Thixotrophy adalah proses pulihnya kembali kekuatan tanah, yang melemah akibat kerusakan struktural, sebagai fungsi dari waktu. Hilangnya kekuatan tanah tersebut lambat laun dapat kembali apabila tanah tersebut dibiarkan beristirahat. Sebagian besar tanah pada kenyataannya hanya thixotrophy parsial. Artinya bahwa hanya sebagian saja dari kekuatan tanah yang hilang akibat kerusakan tersebut yang lambat laun dengan berjalannya waktu akan kembali. Perbedaan yang ada antara kekuatan tanah mula-mula (asli) dan kekuatan tanah setelah pulih akibat thixotrophy diperkirakan akibat dari struktur partikel tanah yang tidak sepenuhnya pulih seperti sediakala. Durasi waktu yang digunakan tanah untuk beristrahat juga harus diperhatikan, karena makin lama tanah dibiarkan maka kadar air dalam tanah akan menguap, sehingga kekuatan tanah dapat lebih kuat dari tanah aslinya..

E. Penelitian Terdahulu Yang Terkait

Beberapa penelitian yang menjadi bahan pertimbangan dan acuan penelitian ini dikarenakan adanya beberapa kesamaan metode akan tetapi dengan perlakuan yang berbeda pada sampel tanah yang digunakan, antara lain :

(28)

1. Pengaruh Penambahan Kapur Ca(OH)2 Dan Abu Sekam Padi Pada Tanah Lempung (Clay) A-7-6 Terhadap Nilai CBR Tanah Dasar (Subgrade) Pada Perkerasan Jalan.

Penelitian yang dilakukan oleh Devi Siagian (2012) adalah mengenai penggunaan kapur dan abu sekam padi sebagai alternatif lain bahan pencampur guna menstabilkan tanah lempung yang diharapkan mampu meningkatkan mutu tanah dengan menjadikan nilai CBR dan kuat tekan tanah sebagai acuan mutu tanahnya. Kombinasi pencampuran abu sekam padi dengan variasi 4%, 8%, dan 12% dengan kapur sebesar 4,5%.

Gambar 2.6 Grafik Perbandingan Pengaruh Pencampuran Tanah Asli +

4,5% Kapur + 8% Abu Sekam Padi Terhadap Nilai PI, CBR Laboratorium dan UCS.

(29)

Penelitian ini menyatakan bahwa penggunaan kombinasi pencampuran kapur dan abu sekam padi dapat meningkatkan nilai daya dukung tanah berdasarkan lamanya waktu pemeraman.Dapat dilihat bahwa nilai UCS berbanding lurus dengan nilai CBR, akan tetapi nilai kuat tekan tanah dapat meningkat lebih cepat selama waktu pemeraman.

2. Pengukuran Nilai California Bearing Ratio (CBR) Lapis Perkerasan Aspal Dengan Alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP).

Penelitian yang dilakukan oleh Rika Sylviana (2013) adalah menjajaki kemungkinan penggunaan alat DCP untuk mengukur nilai CBR selain pada tanah tapi pada perkerasan aspal makadam.

Tabel 2.9. Hasil Pengujian DCP Pada Lapisan Aspal

CBR tiap lapis perkerasan setelah pada kolom “kedalaman” dimasukkan data hasil melihat ketebalan lapisan yang sebenarnya. Kemudian angka pada kolom ”ketebalan” dan ”CBR” dimasukkan pada rumus CBRmewakili maksudnya agar dari beberapa nilai CBR yang ada pada lapisan perkerasaan tersebut diwakili dari hasil perhitungan CBRmewakili. Dari hasil penelitian ini, alat DCP standar dengan cone

(30)

30° dapat digunakan untuk mengukur nilai CBR struktur perkerasan setingkat lapis penetrasi aspal makadam dan struktur di bawahnya. Alat DCP standar dengan cone 30° dapat digunakan sebagai alternatif pengganti alat benkelmean beam, untuk jalan dengan struktur perkerasan setingkat lapis penetrasi aspal makadam dan struktur di bawahnya.

3. Hubungan Nilai CBR Laboratorium Dan DCP Pada Tanah Yang Dipadatkan Pada Rusa Jalan Wori-Likupang Kabupaten Minahasa Utara.

Pengujian yang dilakukan oleh Prisila Lengkong (2013) adalah untuk meneliti hubungan nilai CBR Laboratorium dan DCP pada tanah yang dipadatkan di ruas jalan Wori-Likupang Kabupaten Minahasa Utara. Pengujian DCP di lapangan dilakukan satu kali pada 8 titik di ruas jalan Wori-Likupang, yang hasilnya dibandingkan dengan nilai CBR laboratorium dari 5 sampel tanah yang diambil dari lokasi pengujian.

Tabel 2.10. Hasil Pengujian DCP dan CBR Laboratorium Pada Ruas

(31)

Gambar 2.7. Grafik Hubungan DCP dan CBR Pada Ruas Jalan

Dari hasil analisis data pada lima titik dengan lima sampel yang berbeda diperoleh hasil yang memuaskan sekitar 80% karena dari hasil tersebut diperoleh empat data hasil yang hampir sama yaitu pada STA 28+200, STA 28+300, STA 28+400 dan STA 29+000, sehingga hal ini membuktikan penggunaan alat DCP untuk penentuan CBR tanah di lapangan berdasarkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk suatu data perencanaan konstruksi jalan tanpa harus melakukan pengujian CBR lebih lanjut di laboratorium.

4. Laboratory Evaluation Of In-Situ Tests As Potential Quality Control/Quality Assurance Tools.

Penelitian yang dilakukan oleh Ekrem Seyman (2003) adalah untuk meneliti perkembangan beberapa pengujian lapangan dengan

(32)

menggunakan pengujian laboratorium yaitu Humboldt Geogauge, Light Falling Weight Deflectometer (LFWD) dan Uji DCP yang akan dikorelasikan dengan berbagai sifat mekanik pada sampel. Dalam penelitiannya Ekrem sempat menyinggung bahwa penggunaan DCP telah berkali-kali berusaha dihubungkan dengan sifat-sifat mekanik yang dimiliki oleh tanah selain nilai CBR dan berbagai penggunaan lain dari DCP seperti kemampuannya untuk menganalisa lapisan tanah berdasarkan nilai CBR dan bahkan menentukan titik lemah pada lapisan dengan menunjukkan titik-titik dimana lapisan memiliki CBR terlemah. Sampel yang digunakan adalah 2 kotak berukuran 5 x 3 x 2 ft3, yang dipersiapkan berisi lapisan tanah.

(33)

Gambar 2.9. Hubungan antara DCPI dan CBR

Penelitian ini menyatakan bahwa DCP memiliki hasil paling konsisten dalam lapisan yang berbeda. DCP merupakan alat paling efektif untuk mengidentifikasi lapisan yang berbeda ketika perbandingan kedalaman dan pukulan dimasukkan dalam grafik. DCPI dapat mengukur pada kedalaman melebihi bats Geogauge dan LFWD dan tidak mudah terpengaruh kerusakan kecil pada sampel. Sehingga DCP dapat digunakan untuk memperkirakan CBR lapangan dan bahkan dapat digunakan untuk mengetahui keelastisan atau kekakuan dari material.

Gambar

Gambar 2.1. Tiga Fase Elemen Tanah
Gambar 2.2. Batas-Batas Atterberg
Tabel 2.1. Hubungan Nilai Indeks Plastisitas dengan Jenis Tanah  IP  Jenis Tanah  Plastisitas  Kohesi
Gambar 2.3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur
+7

Referensi

Dokumen terkait

sosial, tetapi dalam perkembangan sangat dipengaruhi oleh pemimpin sebagai sosok kharismatik, hal ini mengakibatkan adanya ketergantungan dari para anggotanya pada sosok

permukiman. b) Pusat ini ditandai dengan adanya pampatan agung/persimpangan jalan (catus patha) sebagai simbol kultural secara spasial. c) Pola ruang desa adat yang berorientasi

HAFISZ TOHIR DAERAH PEMILIHAN SUMATERA SELATAN I.. Oleh karena itu Anggota DPR RI berkewajiban untuk selalu mengunjungi ke daerah pemilihan telah ditetapkan sesuai dengan

Konsentrasi K+ dlm larutan tanah merupakan indeks ketersediaan kalium, karena difusi K+ ke arah permukaan akar berlangsung dalam larutan tanah dan kecepatan difusi tgt pada

Alhamdulillahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam semoga telimpah kepada junjungan pejuang islam Nabi besar Muhammad

  This  system  is created  to make the  students  in  STT  X easier to download 

Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan stakeholder dan kompetensi lulusan yang mempunyai daya saing di dunia kerja, maka FISIP Universitas Brawijaya akan

Kemudian Customer Service akan meminta informasi kepada nasabah pelapor seperti nomor telepon nasabah pelapor yang dapat dihubungi, nomor kartu Anjungan Tunai Mandiri