• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Untuk membuat negaranya sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Untuk membuat negaranya sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika,"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang teori-teori yang akan dipakai penulis dalam menganalisis.

2.1 Konsep Modernisasi

Untuk membuat negaranya sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika, pemerintah Meiji menjalankan berbagai usaha untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Bahkan agar dapat menjadi sebuah peradaban seperti peradaban Barat, bangsa Jepang pun mengadopsi kebudayaan, nilai, serta pemikiran dari negara-negara Barat. Hal tersebut merupakan upaya modernisasi yang dilakukan bangsa Jepang demi menjadi sebuah bangsa modern.

Modernitas menurut Giddens dalam Barker (2004) adalah suatu periode historis yang mengikuti Zaman pertengahan. Ini adalah suatu tatanan pasca-tradisional yang ditandai dengan perubahan, inovasi, dan dinamisme. Intuisi modernitas dapat dilihat dalam pandangan yang terdiri dari :

• industrialisasi (transformasi alam;perkembangan lingkungan yang diciptakan) • pengawasan (kontrol informasi dan pengawasan)

• kapitalisme (akumulasi modal dalam konteks kerja kompetitif dan pemasaran produk)

• kekuatan militer (kontrol atas sarana kekerasan dalam konteks industrialisasi perang)

(2)

Berman dalam Barker (2004) menyatakan bahwa munculnya industrialisme, kapitalisme, pengawasan dan negara bangsa disebut juga modernisasi. Modernisasi mengacu kepada bentuk-bentuk budaya manusia yang terkait dengan modernisasi. Menjadi modern berarti mendapatii diri kita dalam lingkungan yang menjanjikan kita pada petualangan, kekuasaan, kegembiraan, transformasi diri dan dunia. Pada saat yang sama hal itu mengecam dengan merusak segala yang kita punya, segala yang kita ketahui, segala yang dari diri kita. Citra diri modernisme adalah salah satu daya tarik, janji, kemajuan teknologi dan pudarnya tradisi dengan digantikan yang baru. Ini adalah dunia kemajuan sosial, pembangunan perkotaan dan penyingkapan diri.

Mengenai Modernisasi Schoorl (1989) menjelaskan bahwa modernisasi masyarakat secara umum dapat dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua bidang kehidupan masyarakat.

Menurut Adetiani dalam Kuwabara (1983) mengenai modernisasi mengatakan bahwa modernisasi terdiri dari enam elemen yaitu :

• demokrasi dalam politik • kapitalisme dalam ekonomi

• pergantian barang buatan tangan dan sistem pabrik pra modern menjadi produksi pabrik disertai dengan pengetahuan, teknologi dan mekanisasi yang maju,

• pendidikan massa

• adanya kekuatan militer nasional dan kebebasan.

(3)

berjalan pada tingkatan yang berbeda serta mengkuti pola yang berbeda pula. Menurut Inkeles dalam Weiner (1989 : 88) mengemukakan bahwa :

The changing nature of human from the traditional way to the modern way often means they have to get rid of the thinking and the feeling which had been exist for centuries and by doing this means get rid of the tenet.

Yang artinya :

Perubahan sifat manusia dari yang lebih tradisional menjadi yang lebih modern sering berarti melepaskan cara berpikir dan berperasaan yang telah berpuluh-puluh tahun serta berabad lamanya; dan meninggalkan cara-cara ini sering sekali meninggalkan prinsip.

Lebih lanjut Schoorl (1989) mengatakan bahwa proses modernisasi berjalan melalui proses akulturasi, yang artinya terjadi melalui suatu kontak dengan masyarakat Barat. Dalam proses akulturasi itu bermacam-macam elemen Barat diambil alih, yang tidak sungguh-sungguh berhubungan dengan masyarakat modern, misalnya pakaian Barat dan bentuk-bentuk rekreasi Barat. Dan salah satu kesimpulan Schoorl mengenai modernisasi adalah :

Along with the modernization processes, the westernization happens because the development of the modern society occurred in west culture on western style, while the western style often considered as the only possibilities

Yang artinya :

Bersama-sama dengan proses modernisasi itu terjadi suatu proses westernisasi karena perkembangan masyarakat modern itu terjadi di daerah kebudayaan Barat dan tersajikan dalam bentuk Barat, sedang bentuk Barat itu sering dipandang sebagai satu-satunya kemungkinan yang ada.

(4)

2.1.1 Konsep Modernisasi Budaya

Kata ”kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi” atau ”akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan: ”hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Arti kata kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990 : 80) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Mengenai modernisasi kebudayaan, Tominaga dalam Tobing (2006) menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa menciptakan kebudayaan. Pada zaman kuno dan zaman pertengahan, manusia diikat oleh tradisi,kebiasaaan-kebiasaan, tahayul-tahayul ataupun hal gaib. Modernisasi kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang menuntut rasionalisasi dalam bidang-bidang agama, pemikiran melalui gerakan pencerahan, revolusi agama, renaisance untuk lepas dari ikatan irasional seperti halnya tradisi, tahayul, kebiasaan-kebiasaan, magis dan lain-lain.

Lebih lanjut Tominaga berpendapat bahwa kindaika atau modernisasi itu mengakibatkan adanya perubahan sosial budaya dalam masyarakat disertai dengan perubahan pranata yang ada di dalamnya.

(5)

Di dalam aspek budaya, negara yang modern juga mencakup masyarakat yang modern, yang juga masih bisa menerima kebudayaan lama, dengan konsekuensi menjaga pusat tempat yang menghasilkan kekayaan (negara) dan kapasitas asumsi komersial yang menarik walaupun terletak di pedalaman sekalipun. Maksud dari kapasitas asumsi ini merupakan daerah yang dapat menjadi potensi sejarah atau wisata, yang dikenal kerena memiliki suatu daya tarik tersendiri (Weiner, 1996:137)

Modernisasi adalah perubahan ekonomi, politik dan sosial budaya dimana perubahan ini disesuaikan dengan karakteristik masyarakatnya. Bagi suatu masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi, berdasarkan makna modernisasi tersebut, kondisi masyarakatnya menghasilkan karakteristik masyarakat yang modern. Karakteristik tersebut mencakup kestabilan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial serta partisipasi masyarakat umum dalam dunia politik maupun kebudayaan (Yurista, 2006: 16)

2.2 Konsep Westernisasi

Modernisasi pada kenyataannya menjadi sinonim dengan westernisasi. Bagi orang Jepang berbicara mengenai Eropa dan Jepang adalah hal yang mengenai negara mereka sendiri dalam beberapa hubungannya dengan beberapa negara Barat yang menjadikan negara Barat sebagai model atau acuan pada bagian penting saat modernisasi.

Dalam upaya modernisasi tidak semua pengadopsian dan penerapan segala hal yang berhubungan dengan Barat itu merupakan sebuah proses modernisasi. Pengadopsian dan penerapan segala hal yang berhubungan dengan Barat di segala sektor kehidupan terkadang berbenturan dengan nilai-nilai dan jati diri dan kepribadian sebuah bangsa. Hal

(6)

ini bahkan dapat mengakibatkan sebuah kecenderungan sikap pengagunganterhadap Barat, yang disebut dengan Westernisasi.

Menurut Furuta (1994:188-191) mengemukakan adanya gejala dalam proses perkembangan negara dan manusia, bahwa:

Dalam perkembangan negara dan manusia, akan menimbulkan suatu fenomena atau perubahan pada suatu masyarakatnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah ”cutere shock” yaitu ”pertemuan antar budaya” atau kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya asing. ”Cultere shock” merupakansuatu yang dialami oleh hampir semua orang yang berada di tengah-tengah lingkungan budaya asing.

Furuta juga menambahkan bahwa, pada umumnya gejala tersebut menekan pada pukulan emosional yang diderita seseorang dalam menghadapi suatu budaya asing. Fenomena ini dapat menimbulkan seseorang kurang mampu dalam menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan budaya asing. Dengan demikian, mereka ini mampu membedakan dan memanfaatkan budaya bangsanya dengan budaya asing. Dalam keadaan tertentu, mereka ini mampu merumuskan suatu budaya baru yang mengandung ciri-ciri dari kedua budaya tersebut.

2.2.1 Akulturasi

Menurut Soejono Soekanto (1990 : 88-89), akulturasi ialah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok masyarakat dengan suatu kebudayaannya dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asing. Dengan demikian, lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing tersebut melebur ke dalam kebudayaan asli, dengan tidak menghilangkan kepribadian kedua unsur kebudayan tersebut.

(7)

Unsur-unsur kebudayan yang mudah diterima dalam akulturasi adalah kebudayaan materil, teknologi ekonomi yang manfaatnya cepat dirasakan dan mudah dioperasikan, misalnya kebutuhan pertanian (alat-alat, benih, pupuk, dan obat pemberantas hama), kebudayaan yang mudah disesuaikan dengan kondisi setempat, misalnya kesenian, olahraga dan hiburan dan kebudayaan yang pengaruhnya kecil, misalnya model pakaian dan model potongan rambut.

Ciri-ciri individu yang mudah menerima kebudayan asing adalah golongan muda yang belum identitas dan kepribadian yang mantap (masa berjiwa labil dan emosional), golongan masyarakat yang hidupnya belum menaiki status penting, kelompok masyarakat yang hidupnya tertekan, misalnya kaum minoritas, pengangguran, dan penduduk terpencil.

Mengenai akulturasi Koentjaraningrat (2005 : 115) mengatakan bahwa akulturasi merupakan istilah yang dalam antropologi mempuyai beberapa makna (Acculturation, atau Culture Contract). Ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.

Proses akulturasi memang sudah ada sejak dulu kala, tetapi proses akulturasi dengan sifat yang khusus baru ada ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi pada awal abad ke-15 dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa si Afrika, Asia, Oceania, Amerika Utara dan Amerika Latin. Mereka membangun pusat-pusat kekuatan di berbagai tempat

(8)

di sana yang menjadi pangkal dari pemerintah-pemerintah jajahan, dan yang berakhir pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mencapai puncak kejayaan.

2.2.2 Asimilasi

Arti dari kata asmilasi menurut Koentjaraningrat (2005 : 160) adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan dari golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Koentjaraningrat (1990 : 255) mengatakan bahwa asimilasi timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifat khasnya, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaan lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.

2.3 Konsep Masyarakat Jepang Tradisional

Sifat masyarakat Jepang tradisional yang meonjol adalah peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat,

(9)

juga pada umat manusia yang belum terkena pengaruh individualisme (Suryohadiprojo, 1989:42)

Sebagai bangsa yang hidup di kepulauan, rakyat Jepang di masa purbakala kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Akibatnya sesuatu yang datang dari luar dianggap sebagai ancaman yang membahayakan dirinya. Mereka pada dasarnya konservatif, yaitu suatu bangsa yang berusaha memelihara dan meneruskan nilai-nilainya sendiri. Tetapi di lain pihak, sifat rakyat Jepang menunjukkan naluri yang amat kuat untuk kelangsungan hidupnya. Karena itu ia didorong untuk menerima atau bahkan mengambil hal-hal baru dari luar, jikalau hal itu dirasakan bermanfaatuntuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Sebelum Perang Dunia II keadaan sosial masyarakat Jepang dapat dikategorikan sebagai bangsa yang belum sejahtera. Ini dikarenakan mayoritas masyarakat Jepang mata pencahariannya adalah petani, buruh dan nelayan yang hidupnya susah. Selain itu terdapat tingkatan dalam masyarakat. Sebelum restorasi Meiji ada penggolongan bagi kaum bangsawan, samurai, petani dan pedagang yang merupakan ranking golongan dalam masyarakat. Sesudah restorasi Meiji ranking antara golongan itu secara formal dihapuskan. Peranan wanita Jepang dibandingkan dengan kaum pria belumlah seluas seperti negara-negara lainnya, yang masih sangat menyolok antara pria dan wanita terutama dalam pekerjaan. Dan itulah sebabnya mengapa para orang tua yang memiliki anak gadis, umumnya anak gadisnya diserahkan ke rumah geisha dengan tujuan mendapatkan pelatihan agar bisa bekerja sebagai geisha. Karena pada mulanya gadis yang menjadi geisha adalah anak yang kurang mampu hidupnya. (Suryohadibrojo,1992:165).

(10)

Geisha mewujudkan dengan tepat aspek-aspek feminitas yang hilang dari seorang istri. Dimana seorang istri itu sederhana dan geisha agak istimewa. Seorang istri agak pendiam, maka geisha itu jenaka dan pandai berbicara. Jika seorang istri kurang romantis dan kurang memiliki daya tarik maka geisha memiliki daya tarik tersendiri (Dalby, 1998:177) Liza Dalby menambahkan Istri-istri di Jepang umumnya tidak menarik, mereka sangat terikat dengan rumah tangganya sampai mereka tidak bisa berbicara tentang hal lain. Kita di Jepang sangat memerlukan wanita yang bisa berinteraksi secara sosial dengan pria. Karena itulah ada geisha di Jepang.

2.4 Geisha

Kata Geisha memang sudah dikenal di hampir seluruh dunia, bahkan bangsa barat pun mengenalnya sebagai sebuah simbol dari kecantikan wanita Asia. tetapi jika kita teliti dan telusuri lagi tentang makna geisha, terdapat sebuah arti tersendiri yang terkandung dari kata geisha tersebut.

Menurut Lesley Downer (2002) mengatakan makna secara harafiah, geisha (芸者) berasal dari kata gei (芸) yang bearti seni dan sha (者) yang berarti orang, dengan demikian geisha merupakan ”orang seni” atau orang yang memiliki keahlian dalam bidang seni, atau lebih sering diartikan sebagai ”artis”.

Di Jepang geisha dianggap seperti artis yang menghibur para pengunjung dengan hiburan seni. Seperti yang tercantum dalam sebuah website, bahwa:

単語 芸者は日本語の“芸術家”を意味する。芸者は専門の女主人である お茶屋 呼ばれる茶家の様々な美行芸術によってゲストを心に抱く。巧妙

geisha は美、優美、功妙な才能、魅力、及び洗練を示さなければなら

(11)

Artinya:

Dalam bahasa Jepang kata geisha diartikan sebagai “artis”. Geisha merupakan pelayan profesional yang menghibur tamu dengan macam-macam kesenian di rumah teh yang disebut ochaya. Geisha yang sukses harus bisa menampilkan kecantikan, keanggunan, artistik, menarik dan kehalusan.

(http://marian.creighton.edu/japan/geisha.html)

Profesi geisha ini secara tidak langsung ikut andil dalam rangka pelestarian kesenian dan budaya tradisional Jepang. Dalam kehidupan geisha kita msih bisa menemukan unsur ini, seperti yang dikutip dalam sebuah website bahwa:

The geisha is described as a ”century old professional entertainer” the geisha is an important part of tradisional Japanese social life. Geisha are masters in the arts, trained in music, calligraphy, Sado (tea ceremony), poetry, conversation and social graces as well as threes tringed instrument called shamisen. They dress in traditional kimonos, stunning in their elegance. Basic wooden geta clogs are worn for footwear, and hair is up in bun type coiffurs trimmed with metallic accessories. Geisha literally translate means “beauty person” or “person who lives by the art”.

Artinya :

Untuk menggambarkan geisha sebagai seorang ”profesional enterteiner sejati” merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan sosial di Jepang. Geisha merupakan ahli seni, yang menghibur para tamu dengan musik, kaligrafi, upacara minum teh (sado), puisi,percakapan/obrolan, serta bermain shamisen. Mereka menggunakan kimono tradisional yang memancarkan kecantikan mereka. Alas kaki yang dihiasi bakiak dari kayu, serta gaya rambut khas yang dihiasi hiasan rambut menyala.. Dari sini dapat kita katakan bahwa geisha diartikan sebagai ”wanita cantik” atau ”orang yang hidup dengan seni”.

(www.essayfinder.com)

Menurut Downer, 2000 menjelaskan bahwa geisha adalah seorang penari, musisi, entertainer dan pandai bercakap-cakap. Mereka bukanlah seorang pelacur bahkan sebaliknya mereka adalah seorang yang berkelas tinggi.

(12)

彼女たちは芸のプロフェッショナルです。お客様にいい加減な姿は決 して見せないという礼様を守っている。ただ美しいだけではない、伝 統を守った本物の芸を必ず見せてくれる。仕事として尊敬できる芸事 のプロフェッショナルしか様は紹介したくないし、そういったプロフ ェッショナルな芸を外国の人たちに体験してほしいんです。

Yang artinya adalah :

Mereka seniman yang sungguh profesional. Mereka selalu menjaga tata krama untuk tidak memperlihatkan keburukan para tamunya. Mereka tidak hanya indah, tetapi mereka juga mempertahankan tradisi seni yang sesungguhnya. Saya mengharapkan orang-orang di luar negeri dapat menikmati seni asli yang profesional yang tidak diperkenalkan sebagai pekerjaan seni yang profesional.

Dunia hiburan di Jepang selama jaman Edo (1600-1867), khususnya hiburan yang menyangkut soal wanita, benar-benar berada dalam pengawasan pemerintah. Prostitusi merupakan hal yang legal, tetapi harus dengan ijin dan pengawasan (Dalby, 1998 : 56). Profesi geisha dimulai pada periode Edo (1600-1868). Geisha yang pertama kali muncul pada periode itu adalah penghibur pria yang disebut dengan hōkan dan taiko-mochi. Hokan dan taiko-mochi ini adalah pelawak atau penabuh drum yang datang ke pesta-pesta yang dadakan oleh yujo. Yujo seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya adalah kata yang digunakan untuk menyebut pelacur pada jaman Edo yang mempuniyai ijin dari pemerintah Jepang. Pada tahun 1751 beberapa pelanggan di rumah pelacuran Shimabara merasa heran ketika melihat penabuh drum wanita (onna taiko-mochi). Penabuh drum ini disebut dengan geiko, kata yang masih dipakai sebagai sebutan untuk geisha di daerah Kyoto. (Dalby,1998:58).

Jumlah geisha pada 1920 di Jepang sekitar 8000-an, namun semakin lama jumlah geisha semakin berkurang. Berkurangnya jumlah geisha ini antara lain disebabkan oleh

(13)

makin populernya wanita penghibur modern di bar-bar gaya Barat yang disebabkan oleh westernisasi (Dalby, 1998 : 84).

Sebelum PD II seorang geisha umumnya mempunyai seorang pelindung yang membiayai hidupnya, dan setiap geisha (芸者)harus melewati suatu upacara deflorasi (deflowering ceremony/mizuage), yakni menghilangkan kegadisannya dengan seorang tamu penting, sebelum ia memperoleh status resmi sebagai geisha (芸者). Namun pada masa kini mereka dapat hidup dengan hanya bergantung pada gaji dan persenan saja, sehingga mereka tidak perlu lagi menggantungkan dirinya pada seorang pelindung.

Akan tetapi, akan terasa sedikit sulit bagi para pengunjung untuk ke daerah seperti Gion, distrik yang menyediakan hiburan di Kyoto, bekas ibukota Jepang, untuk mengunjungi Ochaya. Seperti yang dikatakan oleh Shozo (2007:5) :

お客様として「お茶屋」で遊ぶには、単に榷力があっても、純金融資産 をー億円以上所有するのお金持ち層であっても、そこのお茶屋で遊んで 居られるを客様の、ご紹介か同伴でなければ入れません。ご紹介か同伴 「お茶屋」で遊び、あそびも慣れ、遊び方のマナーも知り、継続して遊 べる資方もある人と、お茶屋の女将に判断されて、出入りを認められて、 初めて選ばれたー流人のを遊びと言えるのです。

Yang terjemahannya adalah

Agar bisa masuk ke “ochaya” tertentu, seorang pelanggan membutuhkan lebih dari sekedar kekuasaan semata, dan bahkan seorang yang kaya yang mempunya kekayaan lebih dari 100 juta yen pun memerlukan undangan atau ditemani oleh seseorang yang sudah diakui oleh “ochaya” tersebut agar bisa masuk. Hanya pelanggan yang sudah dikenal atau ditemani ke “ochaya” dan dihibur disana yang terbiasa dengan jenis hiburan dan etika disana, dan yang punya cukup uang untuk berkunjung secara regular akan diterima oleh nyonya rumah (pimpinan geisha) dan diijinkan untuk datang dan pergi dengan bebas; pada tingkat itu, maka mereka bisa dianggap telah terpilih untuk menikmati seni tingkat tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Pentingnya pemahaman konsep reproduksi virus yang bertujuan agar siswa mampu mengaplikasikan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-harinya tanpa miskonsepsi dan gambar

Pada pelaksanaanya ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan agar sistem pendidikan (pembelajaran) jarak jauh dapat berjalan dengan baik yaitu tingkat perhatian

Terlepas dari kemungkinan terbatasnya fasilitas belajar berupa buku-buku dan lingkungan belajar yang belum memadai untuk mendukung pembelajaran bahasa Inggris bagi

Kualitas bahan bangunan dan desain bangunan menjadi pertimbangan konsumen karena kualitas yang baik akan memberikan ketahanan dan kenyaman dalam rumah, serta desain

Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blora Tahun 2016-2021 ini akan menjadi acuan dalam penyusunan

Melihat keadaan bahwa tidak hanya kebudayaan tradisional, tetapi kebudayaan pop Jepang juga diakui sebagai salah satu soft-power yang dapat digunakan dalam diplomasi, penulis

Perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak

Menurut Willems, mungkin metodenya tersebut belum dapat menghasilkan estimasi usia kronologis anak yang akurat pada populasi lain, tetapi penelitian Ye X et al pada