• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tercantum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tercantum"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tercantum tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi bangsa dan seluruh tumpah dara Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta kedilan sosial.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

Pembangunan kesehatan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; bahwa masyarakat

(2)

selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai suatu yang bersifat konsumtif/ pemborosan. Di sisi lain para pengambil kebijaksanaan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai kebutuhan utama dan investasi berharga. Namun setelah berlakunya Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, maka terjadi suatu perobahan karena kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Kesehatan adalah orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Istilah dan makna dari kesehatan bahwa siapapun berhak untuk menerima dan mendapatkan hal tersebut maka ditetapkanlah suatu defenisi tentang kesehatan yaitu, setiap tindakan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat, diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2009.

Salah satu tindakan di bidang kesehatan ada yang disebut tindakan medis, tindakan ini biasanya dilakukan oleh seorang yang berprofesi dokter. Ketika seorang dokter melakukan tindakan terhadap sesorang pasien tak jarang melakukan tindakan yang disebut “Medikal

(3)

error”, meskipun istilah ini tidak dapat dimasukkan secara langsung ke dalam konteks hukum. Seperti kesalahan, karena dapat saja di artikan sebagai kelalaian (hukum). Sedangkan menurut J.Guwandi, (2005:2) “medikal error” tidak selalu dikaitkan dengan sanksi, Medikal error dapat dimaafkan, walaupun menurut ukuran hukum termasuk yang berat. Dengan demikian, maka harus diakui bahwa ada saling tumpang tindih antara.“medikal error dan medikal negligence.

Hukum medis mengenal dan memakai istilah “malpraktek/kelalaian medis namun tidaklah sama dengan istilah error, karena salah satu tolak ukurnya adalah akibat yang timbul dari tindakan yang dilakukan seseorang. Dalam bidang medik dahulu dianuti/anggapan bahwa akibat dari tindakan medik dapat dipisahkan dari hubungan antara dokter-pasien hanya saja kini sudah ditinggalkan. Dewasa ini sudah mulai ada pengertian bahwa terdapat suatu kaitan tentang cara bagaimana pemberian pelayanan dan perlakuan itu diberikan yang akan mempengaruhi penerimaan akibat yang timbul.

Kewajiban bagi seorang dokter adalah akan bekerja secara berdasarkan “Sumpah Hipocrates” tetapi pasien juga mempunyai hak dan kewajiban sama seperti seorang dokter. Terkait dengan hak dan kewajiban baik bagi seorang dokter maupun seorang pasien itu harus diketahui. Salah satu kewajiban dokter adalah bila akan melakukan suatu tindakan harus melakukan persetujuan terlebih dahulu dengan pasien walaupun dalam teori mengatakan bahwa Informed consent

(4)

bisa dilakukan bisa tidak, boleh secara tertulis boleh lisan dan itu semua dianggap sah bila telah dilakukan secara prosedur dan aturan yang berlaku.

Menurut Pasal 1 Butir (a) PERMENKES Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 yang kemudian dicabut dengan PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (Pasal 1 angka 1) dinyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran ialah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa tanpa adanya persetujuan dari pasien, tindakan apapun tidak sah dilakukan oleh dokter kecuali bila pasien dalam keadaan gawat darurat. Menurut J. Guwandi dalam bukunya dikatakan bahwa informend consent dibagi dalam dua bentuk yaitu dinyatakan (expresed) yang dapat dilaksanakan secara lisan dan tertulis serta tersirat atau dianggap diberikan. (inflaid or treat Consent) artinya dalam keadaan biasa (normal or conctutive consent) dan dalam keadaan gawat darurat disebut emergensi .

Hal ini tersebut harus dapat dibedakan dengan malpraktek, yang menurut Munir Fuady bahwa setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang–orang di bawah pengawasan atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasien, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan managemen penyakit yang dilakukan

(5)

secara melanggar hukum kepatutan, kesusilaan dan prinsip–prinsip profesional baik dilakukan dengan sengaja atau kurang hati–hati yang menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggung jawab baik secara administratif, perdata maupun pidana. Hakekatnya malpraktek secara harafiah artinya kegagalan dalam melakukan tugas. Informed consent dilakukan oleh dokter atau Rumah Sakit sebelum terjadinya suatu tindakan medis terhadap pasien.

Berkaitan dengan pelaksanaan Informed consent, menurut penulis harus lebih jauh diselidiki bagaimana penerapan Informed consent dan eksistensinya dalam pelayanan medis, itulah sebabnya mengapa penulis tertarik untuk mengambil topik penerapan persetujuan melakukan tindakan (Informed consent) dan malpraktek dokter dalam pelayanan medis di Rumah Sakit. Hal ini tercantum pada PERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yaitu bahwa sebelum melakukan suatu tindakan medis, harus didahului oleh penjelasan-penjelasan yang menyangkut tindakan, resiko, yang akan dilakukan pada pasien. Apabila hal ini tidak dilakukan oleh dokter tersebut maka dokter tersebut dianggap lalai dalam menjalankan profesi dan hukumnya. Informed consent tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya suatu tuntutan didepan pengadilan atau membebaskan dokter/rumah sakit dari tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian. Pernyataan

(6)

persetujuan hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin persetujuan dari pasien terhadap tindakan yang akan dilakukan, terlebih apabila dikemudian hari pasien menuduh dokter melakukan penganiyayaan. Menurut Sumaryono, fungsi kode etik profesi memiliki 3 makna (a) sebagai sarana kontrol sosial; (b) sebagai pencegah campur tangan pihak lains dan (c) sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.

Hubungan terapeutik terjadi karena dua alasan: (1) karena dokter (secara pribadi) setuju menjalin perjanjian terapetik dengan pasien; (2) karena hukum/Undang-Undang, yaitu : bila dokter bekerja di Rumah Sakit (sebagai sub-ordinat atau mitra) sehingga ia harus melaksanakan kewajiban Rumah Sakit (mengelola pasien Rumah Sakit) dan bila dokter melihat orang dalam keadaan emergensi sehingga ia wajib melakukan Good Samaritan (Pasal 531 KUHP). Hubungan hukum dokter dan pasien setidaknya mengandung dua aspek yaitu aspek hukum pidana dan perdata. Bila dilihat dari hukum perdata maka hubungan dokter dan pasien adalah sebagai subjek hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata yang berisi pedoman/ukuran bagaimana para pihak melakukan hubungan hukum. Dilihat dari hubungan hukum antara dokter dan pasien yakni terdapat suatu kata sepakat yang maknanya untuk mengikat diri dalam melaksanakan pengobatan, maka disinilah terjadinya apa yang disebut perikatan (verbintenis).

(7)

yang memasuki tubuh atau alat-alat tubuh atau liang-liang tubuh yang dapat merobek keutuhan jaringan. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 45 (1) menekankan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan; persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien diberikan penjelasan secara lengkap, (2) penjelasan sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis dari tindakan, (3) persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan, (4) setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi, harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani yang berhak memberikan persetujuan. Dalam penjelasan pasal 45 dikatakan yang dimaksud tindakan medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.

Dalam Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 pasal 37 menekankan bahwa setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di rumah sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Dalam penjelasan dikatakan setiap tindakan kedokteran harus memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien tidak cakap atau dalam keadaan darurat. Persetujuan tersebut diberikan secara lisan atau tertulis. Persetujuan tertulis hanya diberikan pada tindakan kedokteran beresiko tinggi. Tindakan atau prosedur invasif adalah

(8)

tindakan atau prosedur yang memasuki tubuh atau alat-alat tubuh atau liang-liang tubuh yang dapat merobek keutuhan jaringan.

Meskipun secara normatif sudah ditegaskan pengaturan mengenai informed consent, namun dalam prakteknya masih terdapat permasalahan terkait hal tersebut, misalnya kasus malpraktik yang terjadi di RSU Prof Dr. R. D. Kandou Manado Nomor 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 yang dituangkan dalam putusan MA No 365 K/Pid/2012 tanggal 22 September 2012. Menurut Artijo (2013), dalam putusan tersebut ditemukan berbagai macam tuduhan terkait informed consent di antaranya para terdakwa tidak menyampaikan penjelasan kepada keluarga korban tentang kemungkinan resiko yang terjadi terhadap diri korban akibat operasi dengan kondisi fisik lemah dan tanpa adanya persetujuan sehingga dengan kealpaan/kelalaian tersebut berakibat fatal yakni kematian Siska Makatei. Para terdakwa kemudian diputuskan bersalah berdasarkan Pasal 359 KUHP yang berbunyi barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun (Direktori Putusan MA RI, 2013). Selain itu, terdapat kasus lain di mana diduga tidak adanya informed consent dalam tindakan kedokteran yang beresiko besar seperti kasus Muhidin di Sukabumi dan kasus Anna Marlina di Batam.

Informed consent adalah suatu bagian yang harus dilaksanakan oleh setiap dokter dengan benar, jelas dan tepat. Karena ini merupakan suatu alat perlindungan hukum baik bagi dokter

(9)

maupun pasien, sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat tindakan dilakukan setidaknya pasien sudah mendapatkan penjelasan dengan benar dan baik serta dia menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan pada informed consent. Pada hakekatnya informed consent menurut Rozovsky adalah suatu proses komunikasi, bukan suatu formulir. Demikian pula Appelbaum, et al. Menekankan consent as a prosess non an event. Tercapainya kesepakatan antara dokter dan pasien adalah pokok dari informed consent. Formulir yang ditandatangi oleh pasien hanya sekedar sebagai pembuktian bahwa telah terjadi kesepakatan. Secara yuridis suatu informed consent yang ditandatangani seorang pasien dapat dianggap sebagai surat pernyataan.

Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran tahun 2011 dinyatakan setiap dokter dalam melakukan tindakan medik harus memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat atau wali atau pengampunya. Landasan filosofis. Informed consent diperlukan karena: (1) Tuntutan dari patient's autonomy; (2) Melindungi status pasien sebagai human being; (3) Mencegah pemaksaan dan tipu daya; (4) Mendorong self-criticism dokter; (5) Membantu proses rasional dalam pembuatan keputusan (process rational decision-making); (6) Mengedukasi masyarakat. Informed consent juga penting : (1) Manakala tindakan medis tidak mencapai tujuan; (2) Merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia (dignity and rights of each

(10)

human being).

Pada dasarnya semua tindakan invasif harus mendapat persetujuan tertulis dari pasien setelah pasien mendapat penjelasan atau informasi dengan kualitas yang cukup dan pasien dapat mengambil keputusan. Landasan etis menghendaki agar setiap dokter dalam menjalankan profesinya senantiasa memperhatikan empat prinsip dasar moral: (1) Beneficence (to do good); (2) Non-maleficence (to do no harm); (3) Justice (as a fairness or as distributive justice); (4) Autonomy (the right to make decision about one's health care). Jadi informed consent pada tindakan invasif bukan hanya isu hukum terapi juga isu moral dan etik sebab menyangkut hak autonomy (hak pasien membuat keputusan).

Hubungan dokter, pasien dan rumah sakit selain merupakan hubungan medik, tapi juga hubungan hukum. Sebagai hubungan medik, makan hubungan tersebut diatur dalam kaidah-kaidah hukum medik.

Dari sisi landasan hukum, berbeda dari negara common law, di Indonesia informed consent diatur oleh Statute Law. (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; (2) Undang-Undang-Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran; (3) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; (4) PP tentang Tenaga Kesehatan; (5) Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran No. 290 Tahun 2008; (6) Permenkes No. 1419/Menkes/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktek Dokter dan Dokter gigi.

(11)

invasif tidak disertai informed consent adalah : (1) merupakan bukti adanya unsur pidana, yajtu perbuatan tercela (actus reus) dan sikap batin yang salah (mens rea); (2) merupakan bukti adanya unsur tindakan melawan hukum sehingga dokter bisa digugat; (3) merupakan bukti adanya tindakan dokter yang tidak patuh terhadap Hukum Disiplin, sehingga dokter dapat diadili oleh MKDKI.

Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum perikatan terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama pada Pasal 1320 K.U.H.Perdata, mensyaratkan adanya kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya. Maksud dari sepakat para pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan adalah persetujuan (consent) dari dokter untuk melakukan tindakan medik atas dirinya.

Persetujuan dari pasien sebelum dokter melakukan tindakan medik, aspek hukum yang lain dapat dikaitkan dengan Pasal 351 K.U.H.Pidana tentang penganiyayaan, Bab XX, Pasal 351 K.U.H. Pidana, menyatakan bahwa jika seseorang memasukkan pisau ke badan orang lain yang menimbulkan luka, maka perbuatan tersebut termasuk penganiyaan, jika seseorang membius orang lain maka hal

(12)

inipun termasuk penganiyayaan. Adapun dalam pelayanan jasa kesehatan, hal tersebut tetap merupakan penganiyayaan, kecuali; 1. Orang yang di lukai tersebut memberikan persetujuan

2. Tindakan medik tersebut berdasarkan suatu indikasi medik dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit

3. Tindakan medik dilakukan sesuai ilmu kedokteran”.

Berkaitan dengan pelaksanaan Informed consent perlu diketahui juga bahwa dokter ahli yang berada di RSU Anutapura berjumlah 21 orang dengan jumlah rata-rata operasi per bulan pada tahun 2013 sebanyak 157 pasien; dan dokter ahli yang berada di RS Undata berjumlah 33 orang dengan jumlah rata-rata operasi per bulan pada tahun 2013 sebanyak 251 pasien. .

Berdasarkan pemikiran bahwa di satu sisi Informed consent merupakan suatu standar dalam melakukan pelayanan kepada pasien dengan fungsi memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan dokter, dan di sisi lain masih terdapat banyak kasus terkait tidak dilakukannya prosedur informed consent, maka peneliti memilih topic penerapan informed consent dalam pelayanan kesehatan Rumah Sakit di Palu sesuai Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan informed consent dalam pelayanan kesehatan Rumah Sakit di kota Palu sesuai Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan Informed consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu?

(13)

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejauh mana penerapan informed consent dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan Rumah Sakit di kota Palu sesuai Permenkas 290/MENKES/PER/III/2008?

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan Informed consent pada pelayanan Rumah Sakit di Kota Palu.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan informed consent di Palu.

2. Untuk mengetahui cara pemberian informasi (Informed) oleh penerima persetujuan tindakan medik (dokter) kepada pemberi persetujuan tindakan medik (pasien dan atau keluarganya yang berkompeten).

BAB II

(14)

A. Pengertian dan Bentuk Informed consent

Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent. Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.

Istilah informed consent secara implisit telah tercakup tentang informasi dan persetujuan. Persetujuan yang diberikan setelah orang yang bersangkutan diberi informasi. Setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 589 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, istilah inilah yang resmi dipakai. Selanjutnya, Permenkes tersebut dicabut dengan Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM). Istilah PTM tersebut dalam praktiknya masih disamakan dengan tindakan medis atau informed consent. Maksud dari informed atau memberi penjelasan di sini adalah semua keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medik apa yang akan dilakukan dokter serta hal-hal yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga.

Dalam Permenkes Nomor 589 Tahun 1989 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar

(15)

penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh pasien tersebut. Pengertian yang demikian persetujuan tindakan medik bisa dilihat dari dua sudut yaitu, pertama membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian umum dan kedua membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 disebutkan bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pengertian tersebut memberi batasan yang lebih tegas, terutama mengenai pengertian keluarga, yaitu keluarga terdekat.

Namun dalam pelayanan kesehatan sering kali pengertian kedua dikenal yaitu persetujuan tindakan medik yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien atau keluarga pada tindakan operatif atau tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu dahulu persetujuan tindakan medik ini dikenal dengan Surat Ijin Operasi atau Surat Persetujuan pasien dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut.

Setelah diterbitkannya Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan medis tersebut, sudah banyak perubahan tentang pengertian dan pemahaman kalangan kesehatan mengenai Infoment Consent ini. Menurut Appelbaum (J. Guwandi, 2008 : 51), mengatakan bahwa infoment consent bukan sekedar

(16)

formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan terhadap dokter pasien merupakan dasar seluruh proses tentang infoment consent. Formulir itu hanya merupakan pengkukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati (infomend consent is a proses, not an event)”.

Informasi yang harus diberikan adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang akurat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan dan resiko yang dapat ditimbulkan. Menurut Munir Fuady (dalam buku Sumpah Hipocrates, 2005 : 54) menyatakan sebaiknya isi minimal dari informasi dirinci, misalnya :

1. Prosedur dan hasil diagnosis; 2. Nama, maksud dan tujuan operasi; 3. Resiko, komplikasi, alternative operasi;

4. Prosedur, keterbatasan pengobatan, perasaan sehat;

5. Tingkat kesuksesan/ kegagalan operasi dan luasnya tindakan

B. Masalah atau Kendala Dalam Informed consent

Guru Besar di Bidang Kedokteran, Ratna Suprapti Samil (2001:46) mengatakan ada 2 (dua) bentuk persetujuan tindakan medik / informed consent yaitu: Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter

(17)

disini adalah tindakan yang bisa dilakukan atau sudah diketahui umum.

Misalnya, pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, melakukan penjahitan luka dan sebagainya. Sebetulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk informed consent dalam arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya. Impliet consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent, artinya bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tertulis, bila akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa, dalam keadaan yang demikian kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak terjadi salah pengertian.

Misalnya, pemeriksaan dalam vagina, mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum, persetujuan dilakukan secara lisan. Bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasive, persetujuan tindakan medik dilakukan secara tertulis.

(18)

C. Informed consent Sebagai Dasar Pembelaan Dokter

Aspek hukum tentang informed consent berkaitan dengan syarat sahnya suatu perjanjian sangat relefan untuk dibahas. Ketentuan perdata yang antara lain berlaku adalah perihal “perikatan” dan yang sangat berhubungan dengan tanggung jawab professional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Dokter adalah suatu profesi kedokteran yang mempunyai fungsi yang selalu terikat dengan etika kedokteran.

Didalam menjalankan profesinya sebagai dokter tetap harus memperhatikan dan taat pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh profesi dan hukum. Informed consend adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh dokter yang untuk mendapatkan persetujuan dari pasien dan keluarga.Apabila seorang doketer telah memenuhi ketiga syarat tersebut, maka ia tidak dapat dikenakan Pasal 351 K.U.H.P. tentang penganiyaan. Ketiga syarat tersebut harus semuanya dipenuhi, satu sama lain saling terkait dan saling berhubungan. Menurut Leden Marpaung dalam (2001:45) mengatakan bahwa upaya tersebut meniadakan de matrieele wederchtelykheid yaitu, menghilangkan sifat yang bertentangan dengan hukum dan disebut buitenwettelyke schuld-iutsluitngsgrond (dasar penindasan culpa di luar undang-undang). Selain itu juga di kenal prinsip AVAS yang berarti afwezighyd van alle schuld, tidak terdapat suatu kelalaian sama sekali“.

Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa persetujuan pasien itu mutlak dibutuhkan dalam suatu tindakan medis agar dokter tidak dipersalahkan melakukan penganiayaan. Pernyataan persetujuan ini

(19)

sah apabila sebelumnya diberikan dulu informasi yang cukup (voldoende informative). Suatu persetujuan tidak sah jika sebelumnya dokter tidak memberikan informasi, atau informasi yang diberikan itu sangat minim atau tidak cukup.

D. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter

UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran yang didalamnya diatur tentang hak dan kewajiban dokter maupun pasien. Adapun kewajiban dokter atau dokter gigi di atur dalam Pasal 45 Ayat Ayat (1) : Mengatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan;

Ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat persetujuan secara lengkap;

Ayat (4): Persetujuan sebagai mana yang dimaksud dapat diberikan secara tertulis atau lisan;

Pasal 46 Ayat (8): Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medik; Pasal 48 Ayat (9): Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

praktek kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.

Hak Pasien dalam menerima pelayanan kedokteran : Pasal 45 Ayat (3) menyatakan:

(20)

b) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lainnya,

c) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, d) Menolak tindakan medis,

e) Mendapat isi rekam medis.

Kewajiban Pasien dalam menerima pelayanan kedokteran :

a) Memberikan yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatan. b) Mematuhi nasehat dan petunjuk dari dokter dan dokter gigi c) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan

kesehatan

d) Imbalan jasa atau pelayanan yang diterimanya.

E. Malpraktik Dalam Pelayanan Medik

Malpraktek dalam bahasa asing ( Inggris ) disebut dengan “malpractice menurut Peter Salim “The Contemporary English Indonesia Dictionary” berarti perbuatan atau tindakan yang salah. “Malpractice” juga berarti praktik yang buruk(badpractise) yang menunjukkan pada setiap sikap tindak yang keliru. Sedangkan menurut John M. Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Bahasa Inggris Indonesianya, “malpractice” berarti cara pengobatan yang salah. Ruang lingkupnya yaitu, kurangnya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban professional atau didasarkan kepada kepercayaan.

Bahasa Belanda malpraktik disebut “Kunstfout” (seni salah) merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi di sini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan yang mengakibatkan sesuatu hal yang fatal (misalnya mati, cacat karena lalai, lebih lanjut

(21)

Pasal 359, 360, dan 361 KUHP). Menurut J. Guwandi, batasan pengertian malpraktek (2004 : 3-4)yaitu :

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau

melalaikan kewajiban.

c. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang- undangan”.

Beberapa pengertian tentang malpraktek di atas, kiranya dapat diperjelas dengan pengertian malpraktik dalam buku “The Dentist and the Law” (ditulis oleh Charles Wendell Carnahan), diterjemahkan yaitu : Arti umum, malpractice adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak memenuhi standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah dirugikan itu, meliputi kesalahan pemberian diagnosa, selama operasi, dan sesudah perawatan.

Lebih lanjut dikatakan, Malpraktik mempunyai pengertian yang luas, yaitu:

a. Arti umum : suatu praktik (khususnya praktek dokter) yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. b. Arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktik dapat terjadi dalam :

1) Menentukan diagnosis, misalnya : diagnosisnya sakit maag tetapi ternyata pasien sakit liver yang berbahaya.

2) Menjalankan operasi, misalnya : seharusnya yang dioperasi adalah mata bagian kanan tetapi yang dilakukan pada mata bagian kiri.

3) Selama menjalani perawatan.

4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.

(22)

Malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien. Rumusan tentang kesalahan melakukan profesi seperti yang terdapat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang- undangan yang lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :

1) Melalaikan kewajiban,

2) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah atau jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan. 3) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga

kesehatan,

4) Melanggar sesuatu ketentuan menurut/ berdasarkan undang– undang”.

Ketentuan mengenai malpraktek pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tersebut hampir sama dengan pengerti an malpraktik yang dikemukakan oleh J.Guwandi.

1. Bentuk Malpraktek

Malpraktek menurut kedokteran dapat dikategorikan dalam beberapa bidang hukum Adami Chazawi, mengatakan :

a) Malpraktek dalam bidang hukum pidana, ditemukan antara lain karena:

(23)

2) Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP)

3) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka- luka (melanggar Pasal 351, 359, 360 dan 361 KUHP) 4) Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 -1, 294 – 2, 285

dan 286 KUHP);

5) Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348, 349, dan 350 KUHP);

6) Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh penderita (Pasal 322 KUHP);

7) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (Pasal 322 KUHP);

8) Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut (Pasal 351 KUHP);

9) Euthanasia (Pasal 344 KUHP)”.

Khusus mengenai masalah mengakibatkan matinya orang atau terluka karena kesalahan (Pasal 359, 360,361 KUHP), di dalam ilmu hukum pidana, kesalahan dapat disebabkan karena kesengajaan tersebut adalah dalam arti kelalaian atau kealpaan. Jadi tidak sengaja sebelumnya seperti dalam hal penganiayaan. Ada beberapa jenis malpraktek yang terdapat dalam bidang hukum perdata dan dalam bidang hukum administratif.

2. Hubungan antara Malpraktek dan Informed Consent

Seperti yang kita ketahui bahwa informed consent didalamnya memuat tentang perlunya pemberian informasi terhadap tindakan medik serta resiko-resiko dari tindakan itu dan setelah pemberian informasi terhadap tindakan medik kepada

(24)

pasien. Setelah adanya informasi dan persetujuan baru dokter tersebut dapat melakukan tindakan medik terhadap pasien .

Adanya informed consent tersebut merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap hak individu atas kesehatan dan untuk menentukan pilihannya memilih tindakan medik yang terbaik menurut dirinya sendiri. Sehingga jika dokter tidak melakukan prosedur penerapan informed consent tentu saja tindakan medik yang dilakukan dokter tersebut tidak dan dapat dimintakan pertanggung jawaban. Pengertian di atas tentang informed consent, maka dapat dipahami bahwa informed consent terdiri dari hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan. Meski kedua hak tersebut dapat berdiri sendiri, namun dalam praktek, dan pengertian informed consent keduanya mempunyai korelasi yang satu sama lain saling menunjang dan saling berkaitan, yaitu:

a. Suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien tanpa dilandasi oleh suatu informasi dari Dokter yang tidak memadai dan adequate atau tanpa informasi sama sekali maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Hal ini bahwa persetujuan yang diberikan oleh pasien tersebut pasien dalam keadaan khilaf atau tidak memahami apa yang disetujuinya. Terlebih lagi bila hal yang tidak diinformasikan justru merugikan pasien.

(25)

b. Selanjutnya informasi yang selengkapnya apapun dari dokter kapada pasiennya bila tidak disertai dengan persetujuan atau izin pasien untuk dilaksanakannya suatu tindakan medis, maka dokter tidak dapat melakukan tindakan medis yang ia inginkan. Hak pasien untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya harus dihormati oleh siapapun termasuk termasuk oleh dokter yang merawatnya sekalipun.

Apabila dokter tetap melakukan tindakan medis pada diri pasien, sedang ia tidak mendapatkan persetujuan atau tidak memberi informasi maka tindakan tersebut dapat digolongkan bentuk pelanggaran terhadap informed consentnya.

F. Landasan Teori.

Sesuai dengan pembahasan pada awal latar belakang masalah maka untuk menjawab permasalahan dibutuhkan suatu landasan teori yang menjadi tumpuan sebagai pisau analisa yaitu grand theory (teori Utama), yang mengacu pada teori Negara hukum kesejahteraan (welfaarts–rechsstaat). Dimanfaatkannya teori negara hukum kesejahteraan dilandasi oleh pertimbangan bahwa informed consent adalah bagian dari proses pelayanan medik yang akuntabel dan transparan dalam memperoleh masyarakat Indonesia yang sehat, sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Selanjutnya digunakan teori perlindungan hukum sebagai middle range theory, bahwa eksistensi hukum dalam masyarakat merupakan sarana yang bertujuan untuk menciptakan ketentraman,

(26)

ketertiban dan keteraturan warga, sehingga atas kondisi itu, diharapkan hubungan dan interaksi antar warga yang satu dengan warga yang lainnya dapat terjaga kepentingannya. Sedang untuk applied theory digunakan legal system theory dari Friedmann dan teori penegakan hukum dari Soerjono Soekanto.

G. Kerangka Pikir

Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dan Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan. Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent, dalam praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik. Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka

(27)

peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008, yang berbunyi “semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut didasarkan pada adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: Pasal 45 ayat :

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;

d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan

(28)

tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

Kewajiban bagi seorang dokter tentu akan bekerja secara profesional dengan berdasarkan “Sumpah Hipocrates” tetapi pasien juga mempunyai hak dan kewajiban sama seperti seorang dokter. Terkait dengan hak dan kewajiban baik bagi seorang dokter maupun seorang pasien itu harus diketahui. Salah satu kewajiban dokter adalah apabila akan melakukan suatu tindakan sebaiknya melakukan persetujuan terlebih dahulu yang disebut “ Informed consent”

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada seorang dokter untuk melakukan tindakan medis;

Pasien Dokte r informa si Keputusan (informed

(29)

Gambar 2.1 : Ragaan prosedur Informed consent

Tindakan medis yang dapat dilakukan oleh dokter seperti penyuntikan atau melakukan operasi tanpa persetujuan, seorang dokter melakukan tindakan medik seperti mengoperasi pasien dapat dipertanggungjawabkan secara pidana ( Hukum Pidana ) berdasarkan pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan.

Bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis

yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 Permenkes Nomo 290 Tahun 2008 dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent); Menolak (refusal) Setuju (concent) Tandatangan menolak Tandatangan Menyetujui

(30)

b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;

c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Tujuan Informed consent:

1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. 2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu

kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko

Informed consent apabila dikaitkan dengan hukum perikatan terdapat dalam Pasal 1320 K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama pada Pasal 1320 K.U.H.Perdata, mensyaratkan adanya kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya. Maksud dari sepakat para pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan adalah persetujuan (consent) dari dokter untuk melakukan tindakan medik atas dirinya.

(31)

Gambar 2.2 : Bagan Kerangka pikir PERMENKES 290/MENKES/ PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran SUBSTANSI HUKUM: - Harmonisasi Hukum - Sanksi Hukum STRUKTUR HUKUM - Tingkat Pendidikan - Pengetahuan/Pemahaman hukum - Profesionalisme

SARANA DAN FASILITAS - Alat-alat untuk operasi

Sectio caseria

- Alat-alat untuk anastesi - Ruangan operasi yang

memadai BUDAYA HUKUM - Kesadaran Hukum - Kebiasaan/Perilaku Tenaga Medis OUT PUT: Optimalnya Perlindungan Hukum dan Dokter dan Pasien

(32)

H. Definisi Operasional

1. Informed consent adalah suatu persetujuan antara dokter dengan pasien dalam melakukan suatu tindakan.

2. Pasien adalah seorang yang sakit baik secara fisik maupun psikologi.

3. Tenaga Medik adalah seorang yang mempunyai keahlian khusus di bidang kesehatan.

4. Malpraktek adalah suatu tindakan yang menyalahi suatu prosedur tetap, dimana tenaga medik itu bekerja.

5. Pelayanan Medik adalah pelayanan yang diberikan kepada orang sakit baik secara fisik maupun psikologi.

BAB III

(33)

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Non Doktrinal, yang memberi gambaran secara detail tentang variabel yang diteliti yaitu penerapan Informed consent dan kendala dalam penerapan Informed consent.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum (RSU) Anutapura dan RSUD Undata yang telah menerapkan Informed consent di Kota Palu. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari-Juli 2014.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian menarik kesimpulan. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda, kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan ciri atau sifat yang sama. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan karakteristik yang berkaitan dengan variabel penelitian, sedangkan unit populasi adalah tenaga dokter sepesialis yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu dan Rumah Sakit Umum Anutapura Palu yang berjumlah 54 orang (21 dokter spesialis dari RSU Anutapura dan 33 dokter spesialis dari RSUD Undata), perawat yang mendampingi dokter spesialis yang berjumlah 20 orang dan pasien sebanyak 26 orang.

(34)

Sampel adalah sebagai unit pengamatan/karakteristik yang diperoleh dari populasi. Sugiyono (2008) menyatakan bahwa sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan apakah perlu mempergunakan sampel atau tidak, antara lain :

a. Besar populasi, semakin besar jumlah populasi semakin perlu ada sampel.

b. Biaya yang diperlukan dalam pengumpulan data atau penelitian.

c. Keuntungan dan kemudahan yang diperoleh dalam memperoleh data.

d. Jumlah tenaga pengumpul data yang tersedia.

Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling, pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan cirri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini adalah 20 orang dokter spesialis dan 20 orang perawat asistensi, serta 24 orang pasien yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu dan Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Jumlah sampel ini sudah mewakili jumlah dokter spesialis yang ada pada kedua RS tersebut.

D. Pengumpulan Data

(35)

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan melalui penelitian. Sedangkan data sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari Bahan hukum primer, berupa bahan-bahan hukum yang mengikat berupa Undang-Undang dan peraturan pelaksana yang lainnya yaitu peraturan dalam hukum perjanjian dan peraturan di bidang kedokteran yang berkaitan dengan persetujuan tindakan medis.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu, untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian primer di lapangan. Penelitian ini didukung metode pendekatan:

a. Pendekatan Perundang-Undangan b. Pendekatan Konsep

c. Pendekatan Komparatif

Penelitian ini didukung dengan penelitian kepustakaan, yaitu meneliti data-data sekunder. Faktor yuridisnya adalah seperangkat aturan-aturan hukum perjanjian pada umumnya dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum

(36)

kesehatan atau kedokteran, yang merupakan cabang dari ilmu hukum dan sangat berkaitan erat dengan penelitian ini. Sedangkan faktor empirisnya adalah dokter, perawat, bidan dan pasien di Rumah Sakit serta sampel lain yang terkait dalam pelaksanaan informed consent.

3. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan yang diambil, maka spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Bersifat deskriptif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang diteliti. Metode ini berusaha menggambarkan peraturan yang berlaku yang kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut pelaksanaan perjanjian antara dokter dengan pasien.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Observasi /pengamatan langsung di lapangan. b. Wawancara pada responden

c. Pemberian kuesioner kepada responden.

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

(37)

menjawabnya. Peneliti pada waktu yang telah dijadwalkan akan meneliti beberapa hal yang telah ditentukan. Pelaksanaan penelitian tersebut sebagai berikut :

1) Meneliti formulir informed consent di Rumah Sakit Undata dan Rumah Sakit Anutapura, kemudian menganalisanya berdasarkan perundangan yang berlaku di Indonesia apakah sudah sesuai atau belum.

2) Meneliti pelaksanaan informed consent di Rumah Rumah Sakit Undata dan Rumah Sakit Anutapura kemudian menganalisanya berdasarkan perundangan yang berlaku di Indonesia apakah sudah sesuai atau belum.

Pada kuesioner menggunakan skala Gutman dengan alternatif jawaban dalam bentuk “YA” dan “TIDAK” yaitu pertanyaan-pertanyaan positif 10 item pernyataan negatif 2 item dengan tehnik penentuan skor yaitu pernyataan + bila responden menjawab YA maka diberi nilai 1 dan jika jawaban responden TIDAK maka diberi nilai nol.

Penulis akan melakukan konfirmasi pertanyaan serupa terhadap pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis. Penulis akan membandingkan tingkat pemahaman pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis dengan pemahaman dokter terhadap tindakan medis yang sudah dilakukan. Penulis akan mengamati satu persatu

(38)

pelaksanaan informed consent terhadap setiap kasus yang akan dilakukan tindakan medis.

5. Pengolahan Data

Setelah semua data dikumpulkan dengan teknik pemberian angket/kuesioner, maka dilakukan pengolahan data dengan cara mengelompokkan data yang diperoleh dari kuesioner yang telah diisi oleh responden menurut batas ruang lingkup masalahnya sehingga mempermudah analisis data yang akan disajikan sebagai hasil penelitian.

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan.

6. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan cara deskriptif dengan melihat presentase data yang terkumpul dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, kemudian dicari jumlah presentase yang terbesar dari jumlah masing-masing responden, selanjutnya dihubungkan dengan menggunakan teori kepustakaan yang ada. Distribusi frekuensi menggunakan rumus sebagai sebagai berikut:

Rumus:

P= f x 100% = ...% N

Keterangan: P : Presentase

(39)

f : Jumlah subjek yang ada pada kategori tertentu N : Jumlah atau keseluruhan responden

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Informed Consent dalam Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Kota Palu

1. Penerapan Informed Consent

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, lokasi penelitian ini adalah RSU Anutapura dan RSUD Undata di Kota Palu.

Rumah Sakit Umum (RSU) Anutapura Palu berlokasi di Jalan Kangkung No. 1 Palu Kecamatan Palu Barat, menempati lahan seluas 33.540 m2 dengan luas bangunan hingga saat ini seluas 13.639,93 m2, dengan lokasi yang strategis dan dikelilingi oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya sehingga sangat potensial untuk pengembangan di masa mendatang. RSU Anutapura Palu merupakan rumah sakit rujukan bagi fasilitas kesehatan yang menjadi milik pemerintah Kota Palu,

(40)

sehingga keadaan geografis dan demografi RSU Anutapura Palu digambarkan dari Keadaan geografis dan demografi Kota Palu.

Berdasarkan data dari situs resmi RSU Anutapura (www.rsuanutapura.com), diperoleh beberapa hal penting yang patut diketahui yaitu sebagai berikut:

a. Visi RSU Anutapura: Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Prima, Terjangkau dan Menjadi Rumah Sakit Pendidikan di Kawasan Indonesia Timur.

b. Misi RSU Anutapura:

1) Menyediakan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit sebagai Rumah Sakit Rujukan yang Representatif

2) Memberikan Pelayanan Kesehatan secara profesional, ramah dan beretika serta bertanggung jawab

3) Meningkatkan dan Mengembangkan Sumber Daya Manusia 4) Menjadikan Rumah Sakit sebagai tempat Penelitian dan

pengabdian Masyarakat.

c. Tujuan pelayanan kesehatan RSU Anutapura: 1) Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui:

1) Mengembangkan, meningkatkan dan menyempurnakan secara terus menerus dan sistimatis serta terencana sarana dan prasarana pelayanan kesehatan.

2) Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber daya yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan secara sistematis dan terencana. 3) Mengembangkan dan menyusun sistim pelayanan yang

cepat, efektif, efisien, nyaman dan terkendali serta terawasi dengan baik.

(41)

1) Menambah peralatan medis dan penunjang medis sesuai perkembangan teknologi serta sistim pelayanan dan penanganan serta pengelolaannya.

2) Menambah secara sistimatis Sumber Daya Manusia sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi kedokteran.

3) Menyusun dan mengembangkan sistim Organisasi Badan Rumah Sakit Umum Kota Palu yang ramping, efektif, efisien dan mempunyai daya kerja yang optimal.

4) Mengembangkan sistim pembangunan dan pengembangan Rumah Sakit yang ramah lingkungan serta nyaman dan aman bagi semua.

5) Mengembangkan sistim kerja, budaya kerja yang teliti, terampil, tepat dan tanpa cacat.

d. Sasaran

1) Tersedianya sarana dan prasarana rumah sakit 2) Meningkatnya mutu pelayanan medis

3) Meningkatnya mutu pelayanan keperawatan 4) Tersedianya tenaga yang cukup dan profesional

5) Meningkatnya pelayanan rujukan melalui pembinaan rujukan antar Rumah Sakit.

6) Tercapainya sistem Administrasi pembangunan Rumah Sakit yang lebih terarah.

e. Nilai-Nilai Dasar: Customer Focus dengan keyakinan dasar yang kuat yang ditanamkan pada seluruh personil/pegawai Rumah Sakit Umum Anutapura Kota Palu agar memiliki komitmen/nilai Profesional (Bekerja Sesuai Tugas dan Fungsi), Acountabel (Bertanggung Jawab), Legitimate (Berlandaskan Hukum), Understand (Pengertian). Artinya bahwa Seluruh pegawai RSU Anutapura Palu bekerja secara Profesional dan Bertanggungjawab

(42)

sesuai dengan Hukum atau Peraturan yang berlaku sehinggga tercipta rasa saling pengertian dan kasih sayang antara dokter, perawat dan pasien yang dibangun berdasarkan f alsafah bahwa setiap Pasien adalah pelanggan yang patut dihargai dan dilayani dengan penuh kearifan; Pasien merupakan bagian dari masyarakat umum sehingga menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan mereka adalah tanggungjawab kita; Layanan yang diberikan adalah pelayanan sosial, menyeluruh dilandasi iman, ikhlas dengan menerapkan filosofi Rumah Sakit Umum.

f. Tenaga Medis

1) Dokter Ahli 21 orang, dengan keahlian sebagai berikut:

No Kualifikasi Dokter Ahli Jumlah Keterangan

1 Dokter Spesialis Bedah 3 orang PNS

2 Dokter Spesialis Kandungan 3 orang PNS 3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam 2 orang PNS 4 Dokter Spesialis Kes.Anak 2 orang PNS 5 Dokter Spesialis Anesthesi 1 orang PNS

6 Dokter Spesialis Mata 1 orang PNS

7 Dokter Spesialis Saraf 2 orang PNS

8 Dokter Spesialis Patologi Klinik 1 orang PNS 9 Dokter Spesialis Kulit & Kelamin 1 orang PNS 10 Dokter Spesialis Bedah Ortopedi 1 orang PNS 11 Dokter Spesialis Radiologi 1 orang PNS

12 Dokter Spesialis Jiwa 1 orang Part Time

13 Dokter Spesialis PatologiAnatomi 1 orang PNS 14 Dokter Spesialis Gigi dan Mulut 1 orang Part Time

Tabel 4.1 Deskripsi Dokter Ahli RSU Anutapura

2) Dokter Gigi: 6 orang PNS

(43)

4) Kefarmasian: 46 orang PNS, 5 Orang Tenaga Volunter 5) Gizi: 37 orang PNS, 12 Tenaga Volunter

g. Sarana Pelayanan:

1) Instalasi Gawat Darurat (IGD) 2) Poliklinik THT

3) Poliklinik Penyakit Dalam 4) Poliklinik Penyakit Anak 5) Poliklinik Penyakit Bedah 6) Poliklinik Kandungan 7) Poliklinik KB

8) Poliklinik Mata

9) Poliklinik Penyakit Saraf 10)Poliklinik Jiwa

11) Poliklinik Kulit dan Kelamin 12)Poliklinik Gigi dan Mulut 13)Poliklinik Paru

14)Poliklinik Psikologi

h. Instalasi pelayanan Penunjang Medik: 1) Instalasi Radiologi ( Rontgen ) 2) Instalasi Laboratorium

3) Instalasi Farmasi ( Apotik ) 4) Instalasi Gizi

(44)

6) Instalasi Endoscopy

7) Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit (IPSRS)

8) Poliklinik Orthopedi.

Di lain pihak, RSUD Undata, berdasarkan data dari situs resminya (www.rsundata.com), berdiri sejak tanggal 7 Agustus 1972, berlokasi di pesisir teluk Palu, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah No. 59/DH.TAP/1972, dan diberi nama UNDATA yang memiliki arti “Obat Kita”. Kata ini sekaligus bermakna tentang layanan kesehatan dalam cakupan bersifat prefentif, kuratif, dan rehabilitatif pada tatanan kebersamaan “Mosangu Mosipakabelo”. Di awal kelahirannya, RSUD Undata dikelola oleh 1 dokter spesialis, 4 dokter umum dengan kapasitas tempat tidur 90 orang dan sejumlah tenaga perawat, non perawat dan tenaga non medis. Sesuai SK. Menteri Kesehatan No. 93/Menkes/SK/1995, RDUD Undata berubah dari kelas RS Type C menjadi kelas TS Type B Non Pendidikan, dan pada tahun berikutnya diakui sebagai pusat rujukan tertinggi di Sulawesi Tengah dengan Peraturan Daerah Nomor. 6 Tahun 1996. RSUD Undata berubah statusnya menjadi Rumah Sakit Kelas B Pendidikan sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No. 445/73.7/DinKes G-ST tanggal 29 Agustus 2003, Surat Keputusan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur No.

(45)

046/KEP/-PPTKTI/VII/2003. Tanggal 7 Juli 2003, didukung oleh Surat Keputusan Rektor Universitas Tadulako No. 4022 j 28 PG/2003 yang diperuntukkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan dan sebagai lahan praktek bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako ke depan.

Pada periode Agustus 2009, RSUD Undata pindah ke banguna baru berlokasi di Jl. Trans Sulawesi- Tondo-Palu Timur, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No. 445/400/RO/.ADM KESRAMAS Tanggal 06 Agustus 2009 dan Surat Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Tengah No. 13/P.JMP-DPRD/2009. Tanggal 24 Juni 2009. Dari awal perjalanannya hingga kini, RSUD Undata telah dipimpin oleh 6 Direktur yang telah mewarnai sepanjang perjalanan RSUD Undata sampai saat ini.

Beberapa hal penting lain yang dapat diketahui mengenai RSUD Undata ialah sebagai berikut:

d. Visi: Menjadi Rumah Sakit yang Terdepan dan Terbaik di Provinsi Sulawesi Tengah

e. Misi:

1) Meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang profesional serta menyiapkan dan megembangkan sumber daya manusia; 2) Meningkatkan Pendapatan Rumah sakit dan Kesejahteraan

karyawan; dan

3) Meningkatkan kerjasama dengan mitra rumah sakit.

f. Tugas Pokok: Menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu, dan merencanakan

(46)

penanganan Limbah Rumah Sakit, serta melaksanakan upaya rujukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, RSUD Undata menganut asas-asas:

1) Asas Kepastian Hukum;

2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3) Asas Kepentingan Umum;

4) Asas Keterbukaan; 5) Asas Proporsionalitas; 6) Asas Profesionalitas; dan 7) Asas Akuntabilitas.

g. Fungsi:

1) Pelayanan Medis;

2) Pelayanan Penunjang Medis dan Non Medis; 3) Pelayanan Asuhan Keperawatan;

4) Pelayanan Rujukan;

5) Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan; 6) Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan; 7) Pengelolaan Administrasi dan Keuangan. h. Ketenagaan:

1) Dokter Spesialis 33 orang dengan rincian sebagai berikut:

Spesialis Jumlah dan Nama

Anak 3 orang:

dr. Kartin Akune Sp.A dr. Andi Amsar Praja Sp.A dr. Suldiah Sp.A

Obstetri & Ginekology

2 orang:

1. dr. Juniati Caroline Simanjuntak, Sp.OG 2. dr. Dewa Sp.OG

Penyakit Dalam 6 orang:

1. dr. Nurdin Atjo Sp.PD 2. dr. Rustam Amirudin Sp.PD 3. dr. Abdullah Ammarie Sp.PD 4. dr. Sarniwati Sp.PD

5. dr. Komang Adi Sujendra Sp.PD 6. dr. Nur Fitriani Nurdin Sp.PD

Bedah 3 orang:

1. dr. Alfreth Langitan, Sp.B

2. dr. Roberty David Maelissa, Sp.B 3. dr. Engelberth A.I. Salim, Sp.B

(47)

Saraf 2 orang:

1. dr. Isnaniah, Sp.S

2. dr. Jenny Sampe,M, Kes Sp.S

THT 1 orang:

1. dr. Christian Lopo, Sp.THT

M a t a 3 orang:

1. dr. Kaharudin Asta, Sp.M 2. dr. Frangky Baharutan,Sp.M 3. dr. Saul Daniel Rapar,Sp.M

Jiwa 1 orang:

1. dr. Dewi Suryani Angjaya, Sp.J Kulit & Kelamin 2 orang:

1. dr. Seniwati Ismail, Sp.KK 2. dr. Nurhidayat, Sp.KK Radiologi 1 orang:

1. dr. Robert Mangiri, Sp.Rad. M.Sc

Anastesi 3 orang:

1. dr. Faridnan, Sp.A

2. dr. Ferry Lumintang, Sp.A 3. dr. Sofyan Bulango, Sp.A Patologi &

Anatomi 1 orang:1. dr. Wardana M. Harun, SP.PK

Jantung 2 orang:

1. dr. Ramang Napu, SpJP.(K) FIHA 2. dr. Venice Chairiadi, Sp.JP.FIHA

Ortopedi 2 orang:

1. dr. Muh. Ardi Munir, M.Kes, Sp.OT 2. dr. Harris Tata, M.Kes, Sp.OT Bedah Mulut 1 orang:

1. drg. Muh. Gazali, Sp.BM

Tabel 4.2 Deskripsi Dokter Spesialis RSUD Undata

2) Dokter Gigi: 6 orang yaitu drg. Andi Rosadi Palaloi, drg. Santi Agustini, drg. Peny Setyowati, drg. Esther Soyan, drg. Cheriati Muin, drg. Herry Mulyadi, M.Kes

i. Sarana Pelayanan:

1) Poliklinik Penyakit Dalam: Poliklinik Penyakit Dalam Umum, Poliklinik Geriatry, Poliklinik Konsul Penyakit Dalam

(48)

2) Poliklinik Jantung 3) Poliklinik Penyakit Anak

4) Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan 5) Poliklinik Bedah

6) Poliklinik Penyakit Mata

7) Poliklinik Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan 8) Poliklinik Konsultasi Jiwa

9) Poliklinik Syaraf

10)Poliklinik Penyakit kulit dan Kelamin 11) Poliklinik Konsultasi Gizi

12)Poliklinik Kesehatan Gigi dan Mulut

j. Pelayanan Penunjang: Instalasi Radiologi seluas 510 M 2 buka 24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter Spesialis Radiologi, Instalasi Laboratorium seluas 510 M 2 buka 24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Dokter Spesialis Patologi Anatomi, Instalasi ICU/ICCU seluas 228 M 2 buka 24 jam setiap harinya di bawah tanggung jawab seorang Dokter Spesialis Anesthesi dan Dokter Spesialis jantung, Instalasi Bedah Sentral seluas 680 M 2 dengan 5 ( lima ) buah Kamar Operasi, Instalasi Rehabilitasi Medik seluas 200 M 2 buka 24 jam setiap hari kerja di bawah tanggung jawab Dokter Spesialis Syaraf dan dilayani oleh 6 (enam) orang fisiotherapis, Instalasi Gizi seluas 212 M 2 melayani pemberian makanan pasien Rawat Inap sesuai standar gizi dan memberikan konsultasi gizi, baik pasien Rawat Jalan maupun Rawat Inap.

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang dibagikan kepada 26 dokter spesialis dari kedua RS di atas (28 Januari-15 Juli 2014), dibuatlah tabulasi sebagai berikut:

(49)

Pertanyaan

Jawaban Reponden

Dokter Pasien Perawat

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

f % f % f % f % f % f %

Apakah dokter selalu melakukan informed consent sebelum dilakukan tindakan medis 20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0 Apakah informed consent dilakukan

secara sukarela atau terpaksa

20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0

Apakah informasi mengenai tindakan medis yang diberikan oleh dokter terkait dengan alternatif tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien

20 100 0 0 20 83,3 4 16,7

Apakah informasi tersebut diberikan secara langsung oleh dokter sendiri dan tidak melalui tenaga kesehatan lainnya seperti perawat 20 100 0 0 18 75 6 25 0 0 0 0 Apakah informasi yang diberikan tersebut lengkap terkait tindakan medis dan resikonya 14 70 6 (infor masi yang pokok 30 19 79,2 5 (info rma si sing kat saja ) 20,8 0 0 0 0 Apakah informasi yang diberikan dokter dapat dipahami oleh pasien/keluarganya

17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85

Apakah diperlukan adanya komunikasi secara intens dengan dokter sebelum dilakukan tindakan medis tertentu terutama yang berkaitan dengan tindakan medis berat (operasi/bedah)

20 100 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0

Apakah persetujuan tindakan medik harus dilakukan dalam bentuk tertulis dan/atau otentik

17 85 3 15 21 87,5 3 12,5 3 15 17 85

Apakah pernah terjadi penolakan karena informasi tentang tindakan kedokteran yang diberikan kurang

(50)

dipahami

Apakah informed

consent memberikan

keyakinan kepada pasien supaya pasien mengetahui prosedur tindakan medis yang dilakukan dokter 0 0 0 0 24 100 0 0 0 0 0 0 Apakah informed consent membantu pasien mendapatkan informasi tentang penyakitnya 0 0 0 0 20 83,3 4 16,7 0 0 0 0 Apakah informed consent membuat pasien mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi

0 0 0 0 4 16,7 20 83,3 0 0 0 0

Tabel 4.3 Tabulasi Jawaban Responden

Tabulasi jawaban responden di atas dapat dianalisi lebih jauh. Terhadap pertanyaan “apakah dokter selalu melakukan informed consent sebelum dilakukan tindakan medis”, 26 orang dokter spesialis dari kedua RS di atas memilih jawaban “ya” dan sekaligus berpendapat bahwa pemberian informed consent merupakan hal yang sangat penting. Dengan demikian di Kota Palu, penerapan informed consent telah dilakukan sebagaimana perintah Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Secara prosentase dapat dikatakan bahwa 100% pelayan kesehatan di Palu (dalam hal ini dokter yang melakukan pembedahan atau operasi) telah melakukan informed consent dengan pemikiran bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang bukan memenuhi formalitas peraturan perundang-undangan, melainkan tindakan yang didasari pada penghormatan terhadap martabat manusia.

Gambar

Gambar 2.1 : Ragaan prosedur Informed consent
Gambar 2.2 : Bagan Kerangka pikirPERMENKES 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan KedokteranSUBSTANSI HUKUM:-Harmonisasi Hukum-Sanksi Hukum STRUKTUR HUKUM-Tingkat Pendidikan-Pengetahuan/Pemahamanhukum-Profesionalisme
Tabel 4.1 Deskripsi Dokter Ahli RSU Anutapura
Tabel 4.2 Deskripsi Dokter Spesialis RSUD Undata
+2

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana aturan-aturan hukum internasional tentang pemanasan global, bagaimana perangkat hukum Internasional mengatur tentang

Adeodatus Yohanes Kopong: “Pengembangan Media Pembelajaran Fisika Ludo In Physics untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik SMA 17 Agustus 1945 Surabaya

identifikasi melalui suara echolokai juga dapat membedakan jenis kelamin dari jenis yang sama pada empat jenis yang diamati yaitu R..

Oksida serium yang merupakan penyusun utama mantel gas yang menghasilkan cahaya  putih bila dipanaskan dengan nyala api dan muncul sebagai katalis hidrokarbon dalam oven

i. Harga bayangan bibit. Jenis bibit bawang merah yang digunakan yaitu varietas manjung yang merupakan varietas lokal sehingga penentuan harga bayangan dari bibit

Dalam buku yang ditulis Julius Pour tertulis, bahwa pada tanggal 13 Februari 1967, Jenderal Nasution secara terbuka mencurigai Presiden Soekarno terlibat dalam

Pikolih tetilik puniki, inggih ipun (1) kaiwangan Ejaan Bahasa Bali Yang Disempurnakan sane wenten ring sajeroning sasutaran awig-awig subak Kacangbubuan, desa adat

Daerah tempat kapal melempar sauh di luar pelabuhan digunakan sebagai tempat penungguan sebelum kapal bisa masuk ke dalam pelabuhan, baik karena sedang menunggu