• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF) SKRIPSI RISTA KURNIA DEWI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF) SKRIPSI RISTA KURNIA DEWI"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF)

SKRIPSI

RISTA KURNIA DEWI

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

(2)

KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

RISTA KURNIA DEWI 1113096000014

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

RISTA KURNIA DEWI. Kandungan Nutrisi dan Tingkat Kecernaan In Vitro Pada

Tiga Varietas Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Dibimbing oleh TEGUH

WAHYONO dan DEDE SUKANDAR.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan tingkat kecernaan in

vitro dari tiga varietas Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Analisis kandungan

nutrisi meliputi bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK), ekstrak eter (EE), neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF). Analisis kecernaan in vitro meliputi Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik (KcBO) dan produk fermentasi rumen yaitu pH, konsentrasi NH3 dan total volatile fatty acid (TVFA). Hasil yang didapat pada penelitian menunjukkan

kandungan nutrisi dan tingkat kecernaan in vitro pada ketiga varietas Sorghum

Hydroponic Fodder (SHF) memiliki beda nyata. Kandungan nutrisi tertinggi

dihasilkan oleh SHF Samurai 1 dengan nilai PK dan EE sebesar 19,80% dan 10,97%. Kecernaan BK dan BO tertinggi pada SHF Pahat dengan nilai 65,21±5,32% dan 65,96±5,42%. Hasil tertinggi yang didapat dari produk fermentasi rumen yaitu pH, konsentrasi NH3 dan total volatile fatty acid (TVFA) terdapat pada SHF Samurai 2 dengan nilai masing-masing 7,03±0,19; 6,13±0,24 mM dan 105,62±21,7 mM. Kandungan nutrisi dari ketiga varietas SHF memiliki nilai yang cukup untuk dijadikan sebagai sumber pakan ternak. Begitu pula dengan hasil kecernaan in vitro yang didapat lebih dari 60% yang menunjukkan bahwa SHF dapat dicerna dengan baik.

Kata kunci : In vitro, kandungan nutrisi, kecernaan, Sorghum Hydroponic Fodder

(7)

ABSTRACT

RISTA KURNIA DEWI. Nutrient content and level of In vitro digestibility of three

varieties Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Supervised by TEGUH WAHYONO and DEDE SUKANDAR.

The aim of this research is for knowing nutrition content and in vitro level digestibility of three varieties Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Nutrition content analyze includes dry matter (DM), organic matter (BO), crude protein (CP), ether extract (EE), neutral detergent fiber (NDF) and acid detergent fiber (ADF). Analysis digestibility in vitro include dry material digestibility (DMD), organic materials digestibility (OMD) and rumen fermentation product include pH, concentration of NH3 and total volatile faty acid (TVFA). The result showed that no significantly different on nutrition content and in vitro digestibility level of three varieties Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). SHF Samurai 1 has highest crude protein and EE value by 19, 80% and 10.97%. DMD and OMD of SHF Pahat has highest value is 65, 21 ± 5.32% and 65.96 ± 5.42%. The highest fermentation rumen product (pH, NH3 and TVFA) obtained by SHF Samurai 2 (7.03 ± 0.19; 6.13 ± 0.24mM and 105.62 ± 21.7 mM). The results of in vitro digestibility show that SHF has better native grass.

Keywords: In vitro, nutrion content, digestibility, Sorghum Hydroponic Fodder (SHF)

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmaanirrahiim

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat

rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Kandungan Nutrisi dan Tingkat Kecernaan In Vitro Pada Tiga

Varietas Sorghum Hydroponic Fodder (SHF)” sehingga terlaksana sesuai

dengan harapan. Tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Penelitian ini

dilaksanakan di Laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)

BATAN, Jalan Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia pada

bulan Februari sampai April 2017.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan dalam

menempuh pendidikan Strata 1 (S1) di Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya terutama kepada:

1. Teguh Wahyono, M.Si, selaku pembimbing I yang senantiasa membimbing

dan memberikan segala ilmunya kepada penulis dengan penuh kesabaran

(9)

ix

2. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku pembimbing II yang telah memberikan

bimbingannya kepada penulis dan selaku Ketua Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Dr. Sandra Hermanto, M.Si, selaku penguji I yang telah memberikan

masukan dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan

keikhlasan.

4. Anna Muawanah, M.Si, selaku penguji II yang telah memberikan masukan

dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

5. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan doa serta dukungan moril

maupun materil.

7. Pegawai BATAN PAIR Laboratorium Nutrisi Ternak (saudari Tia, Bapak

Edi, Bapak Dedi, Bapak Haryono, dll.) yang senantiasa membantu penulis

selama penelitian berlangsung.

8. Yulia dan Ariani sebagai patner kerja, Sinta, Syifa, Ersa, Ardhi, Dini dan

rekan seperjuangan Kimia 2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

(10)

x

Nasihat, kritik dan saran pada skripsi ini yang membangun dari pembaca

sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan.

Jakarta, Januari 2018

(11)

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... 1 DAFTAR LAMPIRAN ... 2 BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 5 1.3. Hipotesis ... 5 1.4. Tujuan Penelitian ... 6 1.5. Manfaat pengujian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Hijauan Pakan Ternak ... 7

2.2. Sorgum ... 10

2.3. Kandungan Kimia pada Sorgum ... 15

2.4. Hydroponic Fodder ... 17

2.5. Ruminansia ... 19

2.6. Pencernaan Ternak Ruminansia ... 20

2.6. Kecernaan In Vitro ... 24

2.7. Analisis Kandungan Nutrisi Pakan ... 27

2.8. Volatile Fatty Acid (VFA) ... 29

(12)

xii

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 34

3.2. Alat dan Bahan ... 34

3.2.1. Alat ... 34

3.2.2. Bahan ... 35

3.3. Tahapan Penelitian ... 35

3.4. Prosedur Kerja ... 36

3.4.1. Pembuatan Larutan Pupuk Cair ... 36

3.4.2. Penanaman Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015) ... 36

3.4.3. Pemanenan Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015) ... 37

3.4.4. Analisis Kandungan Nutrisi SHF ... 37

3.4.5. Analisis In Vitro Dua Tahap (Tilley and Terry, 1963) ... 41

3.4.6. Analisis statistik ... 45

3.5. Bagan Alir Penelitian ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Profil Nutrisi ... 47

4.1.1. Bahan Kering (BK) ... 47

4.1.2. Bahan Organik (BO) ... 49

4.1.3. Protein Kasar (PK) ... 50

4.1.4. Ekstrak Eter (EE) ... 53

4.1.5. Neutral detergent fiber (NDF) dan Acid detergent fiber (ADF) ... 54

4.2. Kecernaan In Vitro ... 58

4.2.1. Nilai pH ... 58

(13)

xiii

4.2.3. Produksi Total Volatile Fatty Acid (TVFA) ... 62

4.2.4. Kecernaan BO (KcBO) ... 64

4.2.5. Kercernaan BK (KcBK) ... 64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1. Simpulan ... 69

5.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sorgum hasil mutasi radiasi PAIR-BATAN ... 11

Gambar 2. Struktur selulosa (Gascoigne, 1960) ... 12

Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Fangel dan Wegener, 1995) ... 16

Gambar 4. Struktur lignin (Fangel dan Wegener, 199l)... 16

Gambar 5. Sistem pencernaan ruminansia (Fariani, 2008) ... 17

Gambar 6. Skema pencernaan karbohidrat didalam rumen dan perubahan asam... 30

Gambar 7. Proses metabolisme protein pada ruminansia (Sakinah, 2005) ... 33

Gambar 8. Bagan alir penelitian... 46

Gambar 9. Proses pembentukan asam amino (Kamal, 1994) ... 51

Gambar 10. Skema pemisahan menggunakan detergent (Van Soet, 1982) ... 55

Gambar 11. Hasil analisis pH SHF setelah diinkubasi selama 48 jam ... 67

Gambar 12. Hasil konsentrasi NH3 SHF setelah diinkubasi selama 48 jam. ... 65

Gambar 13. Hasil Produksi TVFA SHF setelah diinkubasi selama 48 jam.. ... 59

Gambar 14. Hasil KcBO SHF setelah inkubasi selama 48 jam... ... 61

(15)

1

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi nutrisi dalam sorgum sebagai pakan ternak………12

Tabel 2. Data nilai kandungan nutrisi varietas sorgum………..……….13

Tabel 3. Komposisi nutrisi limbah sorgum sebagai pakan ternak………...14

Tabel 4. Nilai daya cerna in vitro dan in vivo sorgum………...….15

Tabel 5. Jumlah bateri dan protozoa rumen pada sapi……….23

Tabel 6. Profil nutrisi SHF dengan 9 hari waktu tanam………..47

(16)

2

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil kandungan nutrisi ... 79

Lampiran 2. Kecernaan in vitro dan produk fermentasi rumen ... 81

Lampiran 3. Uji statistik kandungan nutrisi SHF ... 83

Lampiran 4. Uji statistik kecernaan in vitro ... 86

Lampiran 5. Dokumentasi penelitian ... 89

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hewan ternak seperti ruminansia merupakan salah satu hewan yang menjadi

sumber protein hewani. Hal tersebut karena hewan ini mampu memanfaatkan bahan

makanan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hijauan seperti rumput atau

limbah pertanian yang tidak dikonsumsi oleh manusia dapat dikonversikan ke dalam

makanan bernilai gizi tinggi. Makanan yang bernilai gizi tinggi tersebut adalah

sumber protein hewani berupa daging, telur dan susu. Kebutuhan masyarakat

Indonesia akan protein hewani semakin meningkat, sehingga harus diimbangi dengan

peningkatan produktivitas ternak. Sebagaimana juga dijelaskan di dalam Al-Qur’an

surah Al-Mu’minun ayat 21:

اَهيِف ْمُكَل َو اَهِنوُطُب يِف اَّمِم ْمُكيِقْسُنۖ ًة َرْبِعَل ِماَعْنَ ْلْا يِف ْمُكَل َّنِإ َو

َهْنِم َو ٌة َريِثَك ُعِفاَنَم

َنوُلُكْأَت ا

Artinya: Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat

pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang

ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah

yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu makan (QS.

Al-Mu’minun: 21).

Dari ayat Al-qur’an pada surah Al-Mu’minun ayat 21 di atas dijelaskan bahwa

(18)

2

binatang ternak, ruminansia juga membutuhkan pakan atau hijauan dalam

melangsungkan kehidupannya. Menurut ACIAR (2008), hijauan makanan ternak

yang dipergunakan untuk ternak ruminansia sebagian besar berupa rumput-rumputan,

sehingga rumput memegang peranan penting dalam penyediaan pakan dan telah

umum digunakan oleh peternak. Pakan hijauan yang diberikan sebaiknya hijauan

yang mempunyai kandungan nutrisi yang baik, tinggi dan disukai oleh ternak, seperti

rumput lapangan yang memiliki kandungan protein kasar (PK) sebesar 8,20% (Akbar,

2007).

Berbagai teknologi dapat diaplikasikan untuk mengatasi kebutuhan akan

tanaman pakan di lahan terbatas. Salah satunya adalah budidaya tanaman pakan

secara hidroponik. Hidroponik merupakan suatu cara bertanam tanpa media tanah.

Budidaya tanaman pakan menggunakan sistem hidroponik (hydroponic system)

menawarkan solusi yang tepat dalam penyediaan hijuan pakan yang memiliki

keterbatasan lahan dan iklim dalam budidaya tanaman pakan dan juga untuk

penyediaan hijauan pakan yang cepat dan bernutrisi tinggi (Krismawati, 2012).

Keuntungan dari budidaya tanaman secara hidroponik adalah keberhasilan

tanaman untuk tumbuh dan berproduksi lebih terjamin, perawatan lebih praktis dan

gangguan hama lebih terkontrol, pemakaian pupuk lebih hemat, tanaman yang mati

lebih mudah diganti dengan tanaman yang baru, tidak membutuhkan banyak tenaga

kasar karena metode kerja lebih hemat dan memiliki standarisasi, tanaman dapat

tumbuh lebih pesat dan dengan keadaan yang tidak kotor dan rusak, hasil produksi

lebih continue dan lebih tinggi dibanding dengan penanaman ditanah, beberapa jenis

(19)

3

produk non-hydroponic, tidak ada resiko kebanjiran, erosi, kekeringan, atau

ketergantungan dengan kondisi alam dan tanaman hidroponik dapat dilakukan pada

lahan atau ruang yang terbatas, misalnya di atap, dapur atau garasi (Krismawati,

2012).

Beberapa tanaman yang di kembangkan sebagai sumber pakan ternak adalah

sorgum. Sorgum (Sorghum spp.) mempunyai kandungan gizi dan serat kasar yang

cukup memadai. Sorgum juga dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak karena

sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, bahkan kandungan proteinnya lebih

tinggi daripada beras (Sirappa, 2003). Sorgum yang digunakan pada penelitian ini

adalah sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2. Sorgum Pahat merupakan hasil

pemuliaan varietas sorgum yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN) yang menggunakan teknik iradiasi sinar gamma untuk memperbaiki sifat

agronomi dan kualitas sorgum (biji dan hijauan).

Varietas sorgum Samurai 1 dan Samurai 2 merupakan varietas yang

dihasilkan melalui pemuliaan mutasi radiasi dari sorgum Pahat sebagai varietas

mutan. Beberapa kelebihan sorgum Pahat sebagai varietas mutan adalah memiliki

produktivitas biji tinggi (5 ton/ha), batang semi pendek (158 cm), rendah tanin

(0.012%) dan multifungsi. Keunggulan Samurai 1 adalah produktivitas biji lebih

tinggi daripada Pahat (7.5 ton/ha), biomasa tinggi, kadar gula batang tinggi (12-18%)

sehingga cocok untuk bahan bioetanol. Samurai 2 memiliki keunggulan produktivitas

tinggi, biomasa total tanaman tinggi 47 ton/ha, kebal terhadap penyakit karat daun

(20)

4

Penelitian ini menggunakan teknik in vitro. Teknik in vitro atau yang dikenal

dengan teknik mengukur daya degradabilitas secara laboratoris adalah suatu teknik

alternatif untuk memecahkan permasalahan yang terdapat pada teknik in vivo

(Soebarinoto et al., 1990). Kecernaan suatu bahan pakan untuk ternak ruminansia

dapat dihitung secara akurat pada skala laboratorium dengan percobaan menggunakan

cairan rumen dan pepsin (Zakariah, 2012). Pada penelitian ini, teknik in vitro yang

digunakan adalah metode dua tahap Tilley dan Terry. Dua tahap in vitro pada

percobaan ini yaitu: tahap proses pencernaan fermentatif dan tahap proses pencernaan

secara hidrolisis (Andayani, 2010). Fase pencernaan fermentatif merupakan fase yang

pertama. Bahan pakan di fermentasi secara anaerob dalam cairan rumen yang

merupakan sumber mikroba rumen dan larutan buffer yang merupakan saliva buatan.

Fase selanjutnya adalah fase pencernaan hidrolitis. Pada fase kedua ini dilakukan

proses pencernaan hidrolitis atau enzimetis yaitu pencernaan oleh larutan asam

khlorida-pepsin pada kondisi aerob.

Berdasarkan penelitian Wahyono et al (2015) tentang evaluasi fermentabilitas

ransum kerbau yang mengandung sorgum dengan pendekatan In Sacco, In Vitro dan

RUSITEC membuktikan bahwa silase jerami sorgum samurai 2 sebagai sumber serat

mampu menggantikan sumber serat dari jerami sorgum Pahat. Maka di dalam

penelitian ini akan dilihat pengaruh varietas setiap sorgum yang dipanen pada umur 9

hari terhadap kandungan nutrisi dan tingkat kecernaan in vitro. Pengaruh varietas

diamati melalui penanaman sorgum varietas Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2

(21)

5

Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang telah dipanen kemudian diuji

fermentabilitasnya secara in vitro menggunakan metode dua tingkat Tilley and Terry

(1963). Kandungan nutrisi yang di uij meliputi kandungan bahan kering (BK), bahan

organik (BO), protein kasar (PK), ekstrak eter (EE), neutral detergent fiber (NDF)

dan acid detergent fiber (ADF). Tingkat kecernaan in vitro yang diukur meliputi

kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO). Produk

fermentasi rumen yang diukur meliputi konsentrasi NH3, volatile fatty acid (VFA),

pH.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah sorgum Pahat, sorgum Samurai 1 dan sorgum Samurai 2 yang

ditanam secara hidroponik memiliki kandungan nutrisi yang tinggi untuk

hijauan pakan ternak ?

2. Bagaimana kecernaan in vitro dari sorgum Pahat, sorgum Samurai 1 dan

sorgum Samurai 2 yang di tanam secara hidroponik ?

1.3. Hipotesis

1. Hijauan sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang ditanam secara

hidroponik memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.

2. Sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang ditanam secara hidroponik

(22)

6 1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan tingkat

kecernaan in vitro pada tiga varietas sorgum yaitu varietas Pahat, Samurai 1 dan

Samurai 2 yang di tanam secara hidroponik sebagai pakan ternak ruminansia.

1.5. Manfaat pengujian

Penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah akan keterbatasan

lahan untuk budidaya pakan ternak dengan alternatif budidaya secara hidroponik.

Selain itu, pada penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi

tentang kandungan nutrisi dan kecernaan secara in vitro dari sorgum yang

(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hijauan Pakan Ternak

Pakan adalah kebutuhan mutlak yang harus selalu diperhatikan dalam

kelangsungan hidup pemeliharaan ternak, apalagi pada ternak ruminansia yang

memerlukan sumber hijauan yang proporsinya lebih besar. Pemberian pakan dengan

cara dibatasi adalah yang cukup baik, tetapi kuantitas dan kualitasnya harus

diperhitungkan agar mencukupi kebutuhan ternak. Perlu dilakukan penyusunan

ransum yang didasarkan kepada kelas, jenis kelamin, keadaan fisiologis dan prestasi

produksi ternak bersangkutan (Santosa, 2006). Pakan digunakan untuk kebutuhan

harian hidup pokok, produksi dan bereproduksi. Sapi membutuhkan pakan berupa

hijauan 10% dari berat badan dan pakan tambahan berupa konsentrat 1-2% dari berat

badan berupa dedak halus, bungkil kelapa, gaplek atau ampas tahu (Tabrany, 2004).

Hijauan diartikan sebagai pakan yang mengandung serat kasar atau bahan

yang tak tercerna relatif tinggi. Konsentrat adalah pakan yang mengandung serat

kasar atau bahan yang tak tercerna relatif rendah. Contoh pakan hijauan yaitu rumput

gajah dan contoh konsentrat yaitu bungkil inti sawit (Siregar, 1993).

Bahan pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan untuk

kehidupan ternak tanpa menyebabkan penyakit dan keracunan. Beberapa hal penting

yang harus diperhatikan dalam memilih bahan pakan antara lain adalah (a) bahan

pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar

(24)

9 (b) bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan dalam jumlah

yang mencukupi keperluan, (c) bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan

sedapat mungkin, mempunyai fluktuasi harga yang tidak terlalu besar, (d) bahan

pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, (e) bahan pakan

harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya

hampir setara, (f) bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau

tidak menampakkan perbedaan warna, bau atau rasa dari keadaan normal

(Santosa,1995).

Kemampuan ternak ruminansia dalam mengkonsumsi pakan dipengaruhi oleh

banyak faktor, seperti faktor ternak itu sendiri, faktor pakan yang diberikan dan faktor

lainnya. Faktor ternak meliputi bobot badan, status fisiologik, potensi genetik, tingkat

produksi dan kesehatan ternak. Faktor pakan meliputi bentuk dan sifat pakan,

komposisi zat-zat gizi, toksisitas atau anti nutrisi. Sedangkan faktor lain meliputi

suhu dan kelembapan udara, curah hujan, lama siang atau malam dan keadaan ruang

kandang serta tempat pakan (Santosa, 1995).

Pakan dari tumbuh-tumbuhan dapat berupa hasil tanaman maupun hasil

sisanya misalnya jagung, dedak halus dan jerami, sedangkan pakan asal hewan lebih

banyak dari hasil produksi sisa yang sudah digunakan oleh manusia yaitu misalnya

tepung ikan, tepung tulang, daging dan lain-lainnya. Karena di dalam tubuh ternak

terdiri atas zat-zat gizi, maka ternak memerlukan zat-zat gizi dari luar yang dapat

dipakai oleh ternak untuk menjaga kehidupan dan produksi (Kusumo, 1994).

Ditambahkan Kusumo (1994) bahwa zat yang ada dalam pakan terdiri atas

(25)

10 disebut zat gizi atau nutrien. Zat gizi inilah yang diperlukan oleh ternak, sesuai

dengan umur, besarnya ukuran tubuh ternak, jenis ternak dan tingkat produktivitas

suatu ternak terhadap kebutuhan tertentu akan suatu zat gizi (nutrient requirement).

2.2. Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor L.(Moench)) termasuk jenis tanaman serealia yang

berasal dari Ethiopia (Somantri et al., 2007). Sorgum digunakan sebagai bahan

pangan untuk manusia, pakan ternak dan bahan baku industri karena mengandung

nilai gizi yang cukup tinggi (Soeranto, 2007). Rismunandar (1989) menyatakan

bahwa sorgum digunakan sebagai pakan ternak dan sebagai pangan manusia pada

musim kering dimana ketersediaan bahan pangan lain menurun dan OISAT (2011)

menjelaskan bahwa sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.

Tanaman sorgum yang digunakan sebagai pakan ternak unggas berupa biji,

sedangkan untuk ternak ruminansia menggunakan daun dan batang (Somantri et al.,

2007). Sorgum digunakan sebagai sumber hijauan karena mengandung serat kasar

yang cukup tinggi pada daun yaitu sekitar 32,2% (Hartadi et al., 1997). Sorgum

mempunyai struktur akar yang kuat dan dilapisi lilin, sehingga tanaman sorgum

relatif tahan kering dan dapat digunakan sebagai cadangan makanan pada musim

kemarau. Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut, penggunaan sorgum sebagai

pakan ternak mulai dilakukan. Indrawan (2002) menggunakan daun dan batang

sorgum hasil mutasi oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional. Gambar 1 berikut ini

merupakan gambar sorgum hasil mutasi yang dilakukan oleh BATAN. Berikut ini

(26)

11

Gambar 1. Sorgum hasil mutasi radiasi PAIR-BATAN (Dokumentasi pribadi, 2017)

Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Poales Famili : Poaceae Genus : Sorgum

Spesies : Sorgum bicolor

Limbah sorgum (daun dan batang segar) dapat dimanfaatkan sebagai hijauan

pakan ternak. Potensi daun sorgum manis sekitar 14-16% dari bobot segar batang

atau sekitar 3 t daun segar/ha dari total produksi 20 t/ha. Soebarinoto et al (1996)

melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami 2,62 +

0,53 t bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari

(Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Daun sorgum tidak dapat diberikan secara

(27)

12 sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu. Komponen nutrisi yang terdapat

dalam tanaman sorgum disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komponen nutrisi dalam sorgum sebagai pakan ternak

Perakitan varietas sorgum bukan hanya dilakukan oleh Badan Litbang

Pertanian tetapi juga instituti lain seperti BATAN (Badan Tenaga Nuklir) yang

menggunakan teknik iradiasi sinar gamma untuk memperbaiki sifat agronomi dan

kualitas sorgum (biji dan hijauan). Induksi mutasi untuk meningkatkan keragaman

genetik tanaman sorgum menghasilkan satu varietas pada tahun 2013 yang diberi

nama Pahat (pangan sehat) untuk dikembangkan sebagai bahan pangan dan pakan

alternatif di daerah kering (Soeranto et al. 2002).

Dari sorgum Pahat tersebut kemudian BATAN melakukan pemuliaan kembali

yang menghasilkan varietas baru yaitu sorgum Samurai 1 dan sorgum Samurai 2.

Ketiga varietas sorgum tersebut dihasilkan melalui pemuliaan mutasi radiasi yang

memanfaatkan teknologi nuklir sehingga menghasilkan varietas mutan sorgum yang

berpotensi dalam industri pangan (kadar gula tinggi) dan bioetanol serta memiliki

palatabilitas tinggi. Tujuan pemuliaan sorgum dengan teknik mutasi radiasi adalah

Nutrien (% BK) Bahan Kering Bahan Organik Protein Kasar Ekstrak Ether Serat Kasar

Ekstrak Tanpa Nitrogen Ca P 90.78 90.70 4.41 4.56 31.69 50.04 0.32 0.06 Sumber: Purwantari (2008)

(28)

13 untuk menghasilkan tanaman yang memiliki genotipe tahan terhadap kondisi lahan

sub-optimal, namun tetap memiliki produktivitas dan kualitas yang tinggi.

Beberapa kelebihan sorgum Pahat sebagai varietas mutan adalah memiliki

produktivitas biji tinggi (5 ton/ha), batang semi pendek (158 cm), rendah tanin

(0.012%) dan multifungsi. Keunggulan Samurai 1 adalah produktivitas biji lebih

tinggi daripada Pahat (7.5 ton/ha), biomasa tinggi, kadar gula batang tinggi (12-18%)

sehingga cocok untuk bahan bioetanol. Samurai 2 memiliki keunggulan produktivitas

tinggi, biomasa total tanaman tinggi 47 ton/ha, kebal terhadap penyakit karat daun

dan busuk pelepah (Sihono, et al., 2013). Ada pula data nilai kandungan nutrisi dari

sorgum pahat dan sorgum samurai 2 disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Data nilai kandungan nutrisi varietas sorgum Perlakuan Bahan Kering

(BK) % Protein Kasar (PK) % ABU % NDF % ADF % Sorgum Pahat 93.23 10.09 12.02 79.96 48.02 Sorgum Samurai 2 93.28 8.66 11.79 78.99 50.34

Sumber: Wahyono et al. (2016)

Sebagai komoditas tanaman pangan, pengembangan sorgum di Indonesia

masih menghadapi sejumlah kendala baik teknis maupun sosial ekonomi. Selain itu,

pemerintah juga belum menempatkan sorgum sebagai prioritas dalam program

perluasan areal tanam dengan alasan sorgum bukan kebutuhan pokok, sehingga

perluasan sorgum tidak masuk dalam rencana strategis dan belum ada anggaran

khusus (Direktorat Serealia, 2013). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman

(29)

14 1990 menunjukkan luas tanam sorgum di Indonesia di atas 18.000 ha dan tahun 2011

luas tanam sorgum menurun menjadi 3.607 ha (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,

2012).

Tabel 3. Komposisi nutrisi limbah sorgum dan bahan lainnya sebagai pakan ternak

Limbah Protein kasar % Lemak % Serat kasar % Abu % Daun Sorgum 7,82 2,60 28,94 11,43 Rumput gajah 6 1,08 34,25 11,79 Pucuk tebu 5,33 0,90 35,48 9,69 Ubi kayu 20,40 6 22,80 9,90 Jerami Sorgum 4,40 1,60 32,30 8,90 Padi 4,50 1,50 28,80 20 Jagung 7,40 1,50 27,80 10,80 Kacang tanah 11,10 1,80 29,90 18,70 Kedelai 10,60 2,80 36,30 7,60 Ubi jalar 11,30 2,5 24,90 14,50 Sumber: Poespodiharjo (1983)

Nutrisi daun sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu. Komposisi

kimia dari limbah sorgum dibandingkan dengan limbah pertanian lainnya disajikan

pada Tabel 3. Sedangkan data nilai daya cerna dan komponen serat dari limbah

sorgum dibandingkan dengan limbah lainnya disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan

data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa nutrisi jerami sorgum tidak kalah

dibanding jerami jagung dan pucuk tebu.

Penurunan luas lahan ini berkaitan dengan tidak masuknya perluasan areal

tanam sorgum ke dalam rencana strategis dan belum ada anggaran khusus (Direktorat

Serealia, 2013) sehingga data perluasan areal tanam sorgum pada tahun 2014 belum

diperoleh secara konkrit. Kenyataan ini merupakan peluang sekaligus tantangan agar

produktivitas sorgum ditingkat petani dapat meningkat dengan meningkatkan

(30)

15

Tabel 4. Nilai daya cerna in vitro dan in vivo serta fraksi serat limbah sorgum

Komponen Jerami Daun ubi

kayu

Pucuk tebu

Sorgum Jagung Kacang tanah

Bobot kering (%) 39,80 39,80 29,30 23,50 37,40 Dinding sel (%) 81,80 79,50 69,40 62,40 86,50 Serat (%) 76, 73,50 62 58,50 81,50 Hemiselulosa (%) 5,80 6 7,40 3,40 5 Lignin (%) 16 12,80 6,80 14,20 9,20 Silika (%) 4,40 20,40 1,90 1,60 4,60 BKTIV (%) 39,40 32,70 67,30 54,30 39,40 BOTIV (%) 39,20 30,70 59,00 48,70 36,30

Daya cerna in vivo

TNT (%) 33 36,60 67,20 54,30 39,40

Protein tercerna (%) 1 0,60 3,90 - 1,50

ET (kkal/kg) 1.766 902 2,992 - 1.917

Sumber: Hartadi et al. (1981)

Keterangan: BKITV: Bahan Kering Tanpa In Vitro; BOITV: Bahan Organik Tanpa

In Vitro; TNT: Trinitrotoluene.

2.3. Kandungan Kimia pada Sorgum

Sorgum memiliki kandungan serat pangan yang tinggi. Serat pangan yang

terdapat pada sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, (Laroche et al., 2006).

Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang terdapat pada struktur sel dimana struktur

selulosa dapat dilihat pada gambar 2. Kadar selulosa dan hemiselulosa pada tanaman

pakan yang muda mencapai 40% dari bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi

selulosa dan hemiselulosa makin bertambah (Tillman et al., 1998). Selulosa

merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa

pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman

(31)

16

Gambar 2. Struktur selulosa (Gascoigne, 1960)

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat

molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat

kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah

dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa,

galaktosa, xilosa dan arabinosa. Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada gambar 3.

Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang

meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin

membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Suparjo, 2010).

Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Fangel dan Wegener, 1995)

Lignin adalah gabungan beberapa senyawa yang hubungannya erat satu sama

lain, mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, namun proporsi karbonnya lebih

(32)

17 dimana lignin sangat tahan terhadap degradasi kimia, termasuk degradasi enzimatik

(Tillman et al., 1989). Lignin sering digolongkan sebagai karbohidrat karena

hubungannya dengan selulosa dan hemiselulosa dalam menyusun dinding sel, namun

lignin bukan karbohidrat. Hal ini ditunjukkan oleh proporsi karbon yang lebih tinggi

pada lignin (Suparjo, 2008). Pengerasan dinding sel kulit tanaman yang disebabkan

oleh lignin menghambat enzim untuk mencerna serat dengan normal. Hal ini

merupakan bukti bahwa adanya ikatan kimia yang kuat antara lignin, polisakarida

tanaman dan protein dinding sel yang menjadikan komponen-komponen ini tidak

dapat dicerna oleh ternak (McDonald et al., 2002).

Gambar 4. Struktur lignin (Fangel dan Wegener, 199l)

2.4. Hydroponic Fodder

Hidroponik adalah budidaya tanaman pada media tanam selain tanah dan

(33)

18 2008). Hydroponic fodder dapat dijadikan sebagai teknologi alternatif untuk

memproduksi pakan hijauan. Teknik hidroponik memiliki kemampuan untuk

menghasilkan produk berkualitas selain itu sistem hidroponik tidak tergantung

dengan musim sehingga tanaman dapat ditanam sepanjang tahun dan dapat ditanam

di lahan yang sempit dengan sistem green house. Budidaya tanaman dengan sistem

hidroponik umumnya dilakukan di dalam green house (Suhardiyanto, 2009).

Pemanfaatan teknik hidroponik untuk penanaman hijauan pakan diharapkan

dapat mengatasi keterbatasan produksi hijauan sebagai pakan sapi perah dan dapat

mengatasi kekurangan kandungan nutrisi pada pakan terutama vitamin esensial yang

sangat dibutuhkan sapi perah. Hijauan pakan yang diproduksi dengan teknik

hidroponik memiliki kandungan tinggi protein dan energi metabolisme yang sangat

mudah dicerna oleh hewan (Cader, 2002).

Budidaya sistem hidroponik fokus pada cara pemberian air dan hara yang

optimal, sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman, dan kondisi lingkungan

sehingga tercapai hasil yang maksimum (Prihmantoro dan Indriani, 2001). Unsur hara

atau nutrisi diberikan ke tanaman dengan cara dilarutkan dalam air, kemudian

disirkulasikan ke akar tanaman secara berkala atau pun terus menerus tergantung dari

jenis sistem hidroponik yang dipakai (Lingga, 2000). Nutrisi yang digunakan dalam

budidaya dengan sistem hidroponik adalah nutrisi AB mix. Nutrisi AB Mix

mengandung 16 unsur hara esensial yang diperlukan tanaman, dari 16 unsur tersebut

6 diantaranya diperlukan dalam jumlah banyak (makro) yaitu N, P, K, Ca, Mg, S, dan

10 unsur diperlukan dalam jumlah sedikit (mikro) yaitu Fe, Mn, Bo, Cu, Zn, Mo, Cl,

(34)

19 Salah satu tantangan dalam memproduksi hijauan pakan (green fodder)

dengan sistem hidroponik yaitu tumbuhnya jamur. Keadaan lingkungan (suhu,

kelembaban dan cahaya) yang kurang mendukung dapat menyebabkan jamur

berkembang yang kemudian merusak tanaman dan menyebabkan masalah kesehatan

pada ternak yang diberi pakan berjamur. Kerusakan pada biji jagung biasanya

disebabkan oleh jamur, sehingga diperlukan disinfektan untuk mengurangi

pertumbuhan jamur. Hypocloride aman digunakan dan bersifat bakterisid.

Disinfektan ini dipakai dengan cara perendaman selama 15 menit. Larutan ini

merupakan disinfektan yang sangat aktif pada semua bakteri, virus, jamur, parasit dan

beberapa spora (Anusavice, 2004).

Sutiyoso (2004) mengungkapkan bahwa keberhasilan sistem hidroponik ini

dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya kelembaban, temperatur dan angin.

Pemberian mulsa dimaksudkan untuk mencegah hilangnya air akibat penguapan,

memperkecil perbedaan suhu antara siang dan malam hari, mencegah penyinaran

langsung dari matahari yang menyebabkan kerusakan pada tanaman terutama pada

saat perkecambahan. Disamping itu, mulsa akan dapat mempertahankan kelembaban

nisbi udara dipermukaan tetap meningkat sehingga kecepatan penguapan dapat

dibatasi dan kelembaban udara dapat dipertahankan (Doring et al. 2006 dan Djazuli,

1986).

2.5. Ruminansia

Ruminansia adalah mamalia berkuku genap seperti sapi, kerbau, domba,

(35)

20 ruminansia berasal dari bahasa Latin “ruminare” yang artinya mengunyah kembali

atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan

memamah biak. Hijauan seperti rumput atau limbah pertanian yang tidak dimakan

oleh manusia dapat dikonversikan ke dalam makanan bernilai gizi tinggi yang dapat

dikonsumsi oleh manusia (Direktorat Jendral Budidaya Ternak Ruminansia, 2009).

Ternak ruminansia dapat dibagi menjadi dua kelompok, pertama kelompok

ternak ruminansia besar yaitu sapi dan kerbau dan kelompok ternak ruminansia kecil

yaitu kambing dan domba (Blakely dan Bade, 1998). Ternak ruminansia adalah

hewan ternak yang pada sistem pencernaanya mempunyai alat pencernaan yang

berbentuk rumen (perut besar). Berdasarkan susunan alat-alat pencernaanya hewan

ternak dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu ternak berlambung tunggal dan ternak

berlambung jamak. Kelompok ternak berlambung jamak inilah yang biasa di sebut

sebagai ternak ruminansia. Dalam rumen (perut besar) ternak ruminansia terdapat

berjuta-juta mikroba yang hidup bersimbiosis dengan ternak inang dan sangat

berguna dalam proses pencernaan. Dengan mikroba-mikroba tersebut, ternak

ruminansia mampu memanfaatkan bahan makanan berkadar serat tingi seperti

rumput-rumputan dan dedaunan menjadi makanan (Fariani, 2008).

2.6. Pencernaan Ternak Ruminansia

Pencernaan merupakan serangkaian proses perubahan fisik maupun kimia

yang dialami bahan pakan ketika berada dalam saluran pencernaan. Pencernaan

mekanik ruminansia terjadi di mulut dengan tujuan memperkecil ukuran partikel

(36)

21 Proses pencernaan kimiawi dibantu oleh enzim pencernaan yang dihasilkan oleh

organ pencernaan (Van Soest, 1994).

Ruminansia memiliki perut majemuk yang terdiri dari rumen, retikulum,

omasum dan abomasum yang ditunjukkan pada gambar 5. Rumen merupakan

struktur terbesar yang tersusun dari 1/7 sampai 1/10 massa ternak. Pada bagian ini

merupakan tempat berlangsungnya proses fermentasi terbesar. Kondisi dalam rumen

adalah anaerobic dengan suhu 38-42○C. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan

tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh buffer karbonat dari saliva karena

adanya VFA dan amonia. Saliva yang masuk ke dalam rumen berfungsi sebagai

buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Selain itu saliva juga

berfungsi sebagai zat pelumas dan surfaktan yang membantu dalam proses mastikasi

dan ruminasi (Arora, 1995).

Rumen merupakan bagian saluran pencernaan vital pada ternak ruminansia.

Pada rumen terjadi pencernaan secara fermentatif dan pencernaan secara hidrolitik.

Pencernaan fermentatif membutuhkan bantuan mikroba dalam mencerna pakan

terutama pakan dengan kandungan selulase dan hemiselulase yang tinggi. Sedangkan

pencernaan hidrolisis membutuhkan bantuan enzim dalam mencerna pakan. Protein

pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi asam amino dan

oligopeptida. Selanjutnya asam amino mengalami katabolisme lebih lanjut dan

menghasilkan amonia, VFA, dan CO2. Ternak ruminansia besar seperti sapi potong

dan sapi perah dapat memanfaatkan pakan dengan kandungan nutrisi yang sangat

(37)

22

Gambar 5. Sistem pencernaan ruminansia (Fariani, 2008)

Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam

rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen

dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses

remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan

tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulum rumen

yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk

pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulum

rumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan retikulo rumen.

Rumen dihuni tidak kurang dari empat jenis mikroba yaitu: bakteri, protozoa,

fungi dan virus (Preston dan Leng, 1987). Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah

bakteri total kerbau (16,20 x 108 sel/ml) lebih tinggi daripada sapi (13,20 x 108

sel/ml). Persentase bakteri selulolitik dari total bakteri, pada kerbau (42,3 %) lebih

(38)

23 yang melaporkan bahwa aktivitas bakteri selulolitik dalam cairan rumen kerbau lebih

tinggi daripada cairan rumen sapi. Akibatnya laju degradasi dan kecernaan benang

kapas pada cairan rumen kerbau jauh lebih cepat daripada cairan rumen sapi sehingga

kecernaan pada cairan rumen kerbau lebih tinggi. Sama seperti populasi bakteri total,

jumlah protozoa rumen pada kerbau (2,8 x 105 sel/ml) lebih tinggi dibandingkan sapi

(1,5 x 105sel/ml) (Pradhan, 1994). Hal inilah yang membuat tingkat efisiensi

kecernaan ransum pada kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi (Ruangprim et al.,

2007).

Tabel 5. Jumlah bakteri dan protozoa rumen pada sapi dan kerbau yang diberi pakan

berserat tinggi

Mikrobiota Sapi Kerbau

Bakteri (x 108sel/ml) Selulolitik 2,58 6,86 Proteolitik 0,41 0,54 Amilolitik 8,63 11,05 Total Bakteri 13,2 16,20 Protozoa (x 105 sel/ml) Total Protozoa 1,15 1,59 Sumber: Pradhan (1994)

Bakteri pencerna pati yaitu Streptococcus bovis, Ruminobacter amylophilus,

Prevotella ruminicola, Succinomonas amylophilus dan Selenomonas ruminantium.

Sedangkan bakteri pencerna selulosa adalah Ruminococcus flavefaciens, R. albus, F.

succinogenes dan B. fibrisolvens. Bakteri tersebut mempunyai enzim yang mampu

menghancurkan karbohidrat kompleks menjadi glukosa dan VFA (Freer dan Dove,

(39)

24 rumen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi amonia dan VFA yang merupakan sumber

kerangka karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan protein mikroba.

Sutardi (1979) menyatakan bahwa adanya bakteri dan protozoa yang hidup

dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna ransum yang mengandung

serat kasar tinggi. Pernyataan ini didukung pula oleh Arora (1995) yang menyatakan

bahwa protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna

partikel-partikel pati sehingga dapat mempertahankan pH dan menghasilkan

konsentrasi VFA rendah, selain itu protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi

kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesis vitamin B kompleks

dan asam amino sangat rendah. Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri

yaitu 1010-1012 sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh

protozoa yang populasinya mencapai 105-106 sel/ml cairan rumen (Hungate, 1966).

2.6. Kecernaan In Vitro

In vitro adalah suatu kegiatan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan

mengikuti keadaan yang sesungguhnya pada ternak tersebut. Secara tidak langsung

kita dapat mengamati kegiatan yang terjadi di dalam rumen dengan cara in vitro

(Arora, 1989). Kondisi yang dapat dimodifikasi dalam hal ini antara lain penggunaan

larutan penyangga dan media nutrisi, tabung fermentasi, pengadukan dan fase gas,

suhu fermentasi, pH optimum, sumber inokulum, kondisi anaerob, periode waktu

fermentasi serta akhir proses fermentasi (Candra, 2013). Metode in vitro

dikembangkan untuk memperkirakan kecernaan dan tingkat degradasi rumen

(40)

25 ini biasa digunakan untuk evaluasi pakan, meneliti mekanisme fermentasi mikroba

dan untuk mempelajari aksi terhadap faktor antinurisi, aditif dan suplemen pakan

(Lopez, 2005).

Metode in vitro sering digunakan untuk mengetahui kecernaan hewan, pakan

dan hasil proses pencernaan dalam saluran pencernaan ternak. Teknik in vitro

memberikan hasil analisa yang cepat dalam proses yang murah dan jumlah yang

digunakan sangat sedikit (Tisserand, 1989). Kelebihan metode in vitro adalah hasil

penelitian dapat diperoleh dalam waktu singkat beberapa bahan makanan yang tidak

dapat diberikan secara tunggal pada hewan, kecernaannya dapat diteliti dengan

metode in vitro tidak diperlukan pengumpulan feses atau sisa makanan, sehingga

dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Sedangkan kekurangannya adalah

menggunakan waktu standar, padahal waktu lamanya bahan makanan berada dalam

rumen bervariasi menurut jenis dan bentuk makanan, tidak terjadi penyerapan zat-zat

makanan seperti yang terjadi pada hewan hidup (Rusdi, 2000).

Metode in vitro yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode

evaluasi nilai nutrisi pakan dengan melalui pengukuran kecernaan menggunakan

mikroorganisme rumen dari cairan rumen segar. Metode ini memakai dasar sistem

pencernaan dua tahap Tilley dan Terry (1963). Tahap pertama meliputi perlakuan

fermentasi bahan pakan termasuk hijauan dalam fermentasi in vitro menggunakan

mikroba cairan rumen yang merupakan sumber mikroba rumen dan larutan buffer

yang merupakan saliva buatan segar selama 48 jam pada kondisi anaerob. Pencernaan

tahap kedua adalah pencernaan hidrolisis komponen bahan kering oleh asam

(41)

26 mensimulasi pencernaan dalam rumen dan tahap kedua mensimulasi pencernaan yang

terjadi di dalam organ alat pencernaan pasca rumen. Nilai koefisien cerna yang

diperoleh dari teknik analisis in vitro tersebut mendekati hasil dengan sistem in vivo

(Tilley dan Terry, 1963).

Metode in vitro Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Makkar

(2002) merupakan proses metabolisme nutrien pakan yang terjadi di dalam rumen dan

abomasum atau di luar tubuh ternak. Metode ini sering digunakan untuk menduga

kecernaan komponen bahan pakan dalam saluran pencernaan ternak. Teknik in vitro

ini memberikan hasil analisa yang cepat dan proses yang murah, serta dapat

digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Namun metode ini

sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding sel (Makkar,

2002).

Inkubasi 48 jam digunakan untuk mengetahui konsentrasi produk akhir

fermentasi sebelum terjadi pencernaan hidrolitik oleh enzim pepsin. Keragaman hasil

fermentasi dapat terjadi akibat berbagai faktor termasuk kualitas cairan rumen yang

digunakan. Jumlah dan jenis mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi

tergantung kepada jenis dan pola pemberian pakan serta waktu pengambilan cairan

rumen setelah pemberian pakan. Dengan teknik yang sama kecernaan bahan organik

dapat ditentukan dengan mengukur kadar bahan organik bahan pakan dan residu

(42)

27

2.7. Analisis Kandungan Nutrisi Pakan

Analisis kandungan nutrisi atau bisa disebut analisis proksimat adalah

analisisis dengan hasil yang diperoleh hanya mendekati nilai yang sebenarnya, oleh

karena itu untuk menunjukkan nilai dari sistem analisis proksimat selalu dilengkapi

dengan istilah minimum atau maksimum sesuai dengan manfaat fraksi tersebut

(Kamal, 1998). Dari sistem analisis proksimat dapat diketahui adanya 5 macam fraksi

yaitu: 1). Air, 2). Abu, 3). Protein kasar, 4). Lemak kasar (ekstrak ether), 5). Serat

kasar dan 6). Khusus untuk BETN nilainya dicarihanya berdasarkan perhitungan

yaitu: 100% dikurangi jumlah dari kelima fraksi yang lain. Analisis ini didasarkan

atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tilman et al., 1998).

Air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada

pemanasan dalam beberapa waktu pada suhu 105-110 ºC dengan tekanan udara bebas

hingga mempunyai bobot tetap. Penentuan kandungan kadar air dari suatu bahan

bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut (Kamal, 1998).

Setelah pemanasan tersebut sampel bahan pakan disebut sebagai sampel bahan kering

dan penggunaanya dengan sampel disebut kadar air (Tillman et al.,1998). Kadar air

dalam bahan pakan terdapat dalam bentuk air bebas, air terikat lemah dan air terikat

kuat. Faktor yang mempengaruhi kadar air yaitu pengeringan dan kandungan air dari

suatu bahan pakan (Sutardi, 2006).

Kadar abu adalah banyaknya sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan.

Suatu bahan apabila dibakar sempurna pada suhu 500 – 600 ºC selama beberapa

waktu, semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O yang menguap.

(43)

28 (Fosfor), dan S (Belerang), oleh karena itu abu tidak dapat dan gas lain untuk

menunjukan adanya zat anorganik didalam pakan secara tepat baik secara kualitatif

maupun kuantitatif. Kadar abu dari pakan yang berasal dari hewan dan ikan dapat

digunakan sebagai indeks untuk kadar Ca (Kalsium) dan P (Fofsor), yang juga

merupakan tahap awal penentuan berbagai mineral yang lain (Kamal,1998).

Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau hasil pertanian setelah

diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih dan terdiri dari selulosa, dengan

sedikit lignin dan pentosa. Serat kasar juga merupakan kumpulan dari semua serat

yang tidak bisa dicerna, komponen dari serat kasar ini yaitu terdiri dari selulosa,

pentosa, lignin, dan komponen-komponen lainnya. Komponen dari serat kasar ini

serat ini tidak mempunyai nilai gizi akan tetapi serat ini sangat penting untuk proses

memudahkan dalam pencernaan didalam tubuh agar proses pencernaan tersebut

lancar (peristaltic) (Hermayati et al., 2006). Analisis kadar serat kasar adalah usaha

untuk mengetahui kadar serat kasar bahan baku pakan. Zat-zat yang tidak larut

selama pemasakan bisa diketahui karena terdiri dari serat kasar dan zat-zat mineral,

kemudian disaring, dikeringkan, ditimbang dan kemudian dipijarkan lalu didinginkan

dan ditimbang sekali lagi. Perbedaan berat yang dihasilkan dari penimbangan

menunjukkan berat serat kasar yang ada dalam makanan atau bahan baku pakan

(Murtidjo, 1987).

Protein kasar adalah nilai hasil bagi dari total nitrogen amonia dengan faktor

16% (16/100) atau hasil kali dari total nitrogen amonia dengan faktor 6,25 (100/16).

Nitrogen yang terdapat di dalam pakan tidak hanya berasal dari protein saja tetapi ada

(44)

29 (non–protein nitrogen/ NPN). Nilai yang diperoleh dari perhitungan diatas merupakan

nilai dari apa yang disebut protein kasar (Kamal,1998). Kadar protein suatu bahan

pakan secara umum dapat diperhitungkan dengan analisis kadar protein kasar.

Analisis kadar protein ini merupakan usaha untuk mengetahui kadar protein bahan

baku pakan. Analisis kadar protein digunakan untuk menguji kadar protein,

ditentukan kadar nitrogennya secara kimiawi kemudian angka yang diperoleh

dikalikan dengan faktor 6,25 = (100 : 16). Faktor tersebut digunakan sebab nitrogen

mewakili sekitar 16% dari protein (Murtidjo, 1987).

2.8. Volatile Fatty Acid (VFA)

Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari

karbohidrat. Di dalam rumen, polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida oleh

enzim-enzim mikroba rumen. Kemudian monosakarida tersebut, seperti glukosa,

difermentasi menjadi VFA (Volatile Fatty Acid) berupa asetat, propionat dan butirat,

serta gas-gas CH4 dan CO2. VFA yang terbentuk akan diserap melalui dinding rumen

dan gas CH4 serta CO2 akan hilang melalui eruktasi (McDonald et al., 2002). Proses

ini disebut juga glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA ke dalam sistem peredaran

darah yang kemudian VFA diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah

yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia

(Lehninger, 1982).

Menurut Arora (1995), peranan VFA sangat penting sebagai sumber energi

utama bagi ternak dan merupakan produk akhir fermentasi gula. Namun, selain itu

(45)

30 Nilai VFA sebagai sumber energi hanya berbeda sedikit, akan tetapi keefisienannya

sebagai kerangka karbon jauh berbeda (Sutardi et al., 1980). Konsentrasi VFA

tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al., 2002), sedangkan

konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen, yaitu

80-160 mM (Sutardi, 1979). Skema pembentukan VFA dapat dilihat pada Gambar 6

(McDonald et al., 2002).

Gambar 6. Skema pencernaan karbohidrat didalam rumen dan perubahan asam piruvat menjadi VFA (McDonald et al., 2002)

VFA dalam rumen yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba berkisar

antara 70-150 mM (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA dapat

mengindikasikan kemudahan suatu nutrien dalam pakan terutama karbohidrat dan

(46)

31 dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan yang berkaitan erat dengan

aktivitas dan populasi mikroba rumen (Hartati, 1998). Perubahan komposisi VFA

didalam rumen sangat berhubungan dengan bentuk fisik pakan, komposisi pakan,

tarafdan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan.

Konsentrasi VFA selain dipengaruhi oleh jenis ransum yang dikonsumsi

,dipengaruhi juga oleh jenis ternak ruminansia tersebut. Ulya (2007) memaparkan

bahwa konsentrasi VFA pada ternak sapi lebih kecil daripada ternak kerbau, kambing

dan domba. Hal ini disebabkan oleh mikroba ternak sapi kurang mampu

memfermentasi karbohidrat pada BBJP. Pradhan (1994) juga menyatakan bahwa

populasi bakteri total dalam cairan rumen sapi lebih rendah daripada kerbau sehingga

enzim yang dihasilkan mikroba pada cairan rumen kerbau lebih banyak dibandingkan

sapi. Enzim sangat berguna dalam memecah karbohidrat kompleks menjadi molekul

yang sederhana seperti VFA.

2.9. Amonia (NH3)

NH3 merupakan nitrogen yang paling banyak dibutuhkan mikroorganisme

rumen yang bersama dengan kerangka karbon dari sumber energi akan disintesa

menjadi protein mikroba. Hungate (1966), menjelaskan bahwa mikroorganisme

sangat penting untuk mengatur kecepatan tumbuh dan efisiensi penggunaan makanan

bagi ruminansia dan nutrisi mikroorganisme ini sangat penting untuk induk semang.

Faktor-faktor pembatas untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah ketersediaan

ammonia, asam amino, sulfur dan mineral (Tamminga, 1982). Apabila nutrisi tidak

(47)

32 NH3 yang tidak digunakan oleh bakteri akan diserap oleh dinding rumen (Van Soest,

1982).

Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan

menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al., 2002). Selain itu,

tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi

kadar NH3. Pengukuran NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi

protein dan penggunaanya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu

setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah

pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah

tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Kadar NH3 yang

dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar

antara 4-12 mM atau setara dengan 5,6-16,8 mg/100 ml (Sutardi, 1980).

NH3 merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein

mikroba (Sakinah, 2005). NH3 hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi

protein mikroba, sebagian akan diserap ke dalam darah. NH3 yang tidak terpakai

dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui

urine dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Proses metabolisme protein dan

pembentukan NH3 ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk mencegah dampak yang buruk

dari pemenuhan nitrogen amonia asal urea, produksi NH3 di dalam rumen akan

diproduksi terus-menerus walaupun sudah terjadi akumulasi (Sutardi, 1977).

Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam

(48)

33

(49)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Bidang Pertanian

Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-BATAN),

yang beralamat di Jalan Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari sampai April 2017.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember, rak penanaman,

paralon hidroponik untuk saluran pengairan, talang air untuk wadah benih sorgum

yang akan di tanam, plastik hitam besar, timbangan digital, pengaduk, timbangan

pakan, penggiling besar, timbangan analitik (Sartorius), termos, oven (Fisher),

erlenmeyer, gelas ukur, hot plate (Kika), labu takar, spatula, bulb, gegep, cawan petri,

cawan porselin, cawan masir, desikator, tabung centrifuge 100 ml dan rak tabung,

sumbat karet yang dilengkapi dengan klep gas (rubber policemen with slit),

thermometer, gelas silinder, labu penyaring, kain kasa, pipet volumetrik, pH meter,

stirrer, buret, inkubator (Polystat), waterbath, seperangkat alat destilasi TVFA

(Glascol), cawan conway, pompa vakum, sintered glass, buret, statif, tanur listrik

(Pyrolabo), High Speed Centrifuge (Vario), tabung gas CO2 dan Nitrogen Analyzer

(50)

35

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sorgum berbagai

varietas yaitu pahat, samurai 1 dan samurai 2 yang diperoleh dari Pusat Aplikasi

Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN, pupuk cair mineral AB Mix dengan komposisi

pupuk A unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan pupuk B unsur hara mikro (Fe,

Mn, Zn, B, Cu, Mo), 10% larutan pemutih (NaClO; Natrium Hipoklorit), larutan Acid

Detergent Solution (ADS) yang terdiri dari campuran (H2SO4 98%; Cetyl Trimethyl

Amonium Bromide (CTAB); Akuades), larutan Neutral Detergent Solution (NDS)

yang terdiri dari campuran (Akuades; natrium-lauryl sulfat; disodium ethylene

diaminetetraacetate (EDTA); Na2B4O7.10H2O; Na2HPO4, larutan pepsin HCl, HCl

0,1 N, petroleum ether, larutan Mc Dougall (larutan makromineral, mikromineral,

buffer, resazurin), cairan rumen dari kerbau fistula Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi

(PAIR)-BATAN, gas CO2, indikator pp, aquadest, rumput lapangan yang berasal dari

kawasan PAIR-BATAN dan vaselin.

3.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini meliputi beberapa tahapan yang dibagi menjadi tiga tahapan

besar, yaitu tahapan pertama merupakan tahap budidaya SHF meliputi tahap

pembuatan pupuk cair, penanaman, dan pemanenan. Tahap kedua adalah analisis

kandungan nutrisi meliputi analisis Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein

Kasar (PK), Ekstrak Eter (EE), Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent

Fiber (ADF). Tahap terakhir adalah tahap analisis tingkat kecernaan SHF secara in

(51)

36 (KcBO) dan produk fermentasi rumen (NH3, pH dan VFA). Penelitian ini

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 1 kontrol positif

dengan lima pengulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysis of

variance (ANOVA) pada IBM SPSS versi 20.0.

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1. Pembuatan Larutan Pupuk Cair

Pupuk cair untuk hidroponik biasanya menggunakan pupuk hidroponik AB

Mix. Pembuatan larutan pupuk cair yaitu dengan mencampurkan larutan pupuk A:

larutan pupuk B 5 ml : 5 ml kedalam 1 l air.

3.4.2. Penanaman Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015)

Penanaman dilakukan pada biji sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang

sebelumnya direndam selama semalam di dalam air. Biji sorgum yang telah direndam

semalaman, kemudian direndam dalam larutan hipoklorit selama 20 menit lalu

dibilas. Biji sorgum lalu dipindahkan ke media hidroponik yaitu talang air yang

sebelumnya telah dialiri 10% larutan pemutih selama 15 menit untuk meminimalisir

tumbuhnya jamur pada biji sorgum, kemudian dibilas dengan air bersih dan

diangin-anginkan selama lebih kurang 10 menit untuk menghilangkan bau dari larutan

pemutih tersebut.

Penyebaran biji sorgum pada talang air disebar dengan kerapatan 0.36 g cm-2

dan ditutup dengan plastik hitam besar, kemudian dialiri larutan pupuk cair selama

dua menit setiap dua jam sekali. Lama penutupan dengan plastik hitam besar adalah 2

(52)

37 tumbuh kecambah. Selanjutnya penanaman dilakukan terbuka tanpa plastik sampai

waktu panen tiba yaitu hari ke 9.

3.4.3. Pemanenan Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015)

Pemanenan dilakukan pada umur 9 hari setelah penanaman. Pemanenan

dilakukan dengan memisahkan bagian tumbuhan (daun, batang, dan akar) dari

medianya kemudian ditimbang berat segarnya dan dianalisis BK dan BO (Nugroho,

2015). Hasil SHF umur panen 9 hari diangin-anginkan diudara terbuka selama dua

sampai tiga hari. Selanjutnya SHF dikeringkan pada oven bersuhu 60oC selama dua

hari dan digiling serta disaring pada ukuran 2 mm (Wahyono, 2015). SHF dengan

umur panen 9 siap digunakan untuk analisis kandungan nutrisi dan analisis kecernaan

secara in vitro.

3.4.4. Analisis Kandungan Nutrisi SHF

3.4.4.1. Analisis Bahan Kering dan Abu (AOAC, 2005)

Pada tahap pengukuran kadar air dan bahan kering, pertama-tama cawan

porselen dicuci dengan akuades. Lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC

selama 1 hari. Kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan

ditimbang (a). Cawan yang telah ditimbang kemudian ditambah sampel sorgum yang

berbeda varietas masing-masing sebanyak 1 gr (b). Masing-masing dilakukan

pengulangan sebanyak 5 kali. Selanjutnya dimasukkan dalam oven selama 1 hari

pada suhu 105oC. Lalu dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang

(c). Kemudian masukkan ke dalam tanur selama 6 jam pada suhu 600oC, didiamkan

(53)

38 ditimbang (d). Selanjutnya dilakukan perhitungan Kadar Bahan Kering (BK), Kadar

Bahan Organik (BO), Kadar Air dan Kadar Abu dengan rumus sebagai berikut:

% Kadar BK = x 100%

% Kadar BO = x 100%

% Kadar Air = 100 - BK

% Kadar Abu = 100 – BO

Keterangan:

a = berat cawan kosong (gr)

b = berat cawan yang diisi dengan sampel (gr)

c = berat cawan berisi sampel yang sudah dikeringkan (gr) d = berat cawan berisi sampel yang sudah jadi abu (gr)

3.4.4.2. Analisis Protein Kasar (PK), Ekstrak Eter (EE), Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF)

Protein Kasar ditentukan dengan menggunakan instrumen Nitrogen Analyzer.

Kras gas Helium dan Oksigen dibuka dan tombol Power PC dinyalakan. Software

pada PC dibuka dan pilihan Connection diklik lalu klik Autoconnect. Send Setting to

Analyzer dipilih untuk mengirim data agar sesuai dengan yang kita inginkan dengan

suhu combustion 1050˚C dan suhu reduction 600˚C lalu alat siap untuk analisis

dengan tanda berkedipnya lampu indikator. Menu view dipilih lalu Live Signal

Monitor dan Autozero Nitrogen diklik lalu tunggu sampai garis datar pada signal

(54)

39 lalu pilih New dan File Name. Jumlah sampel yang akan dianalisis dipilih dengan

memasukkan Berat Sampel, Position, dan Identification, serta Concentration TN

46,7% (urea) kemudian pilih OK.

Masing-masing sampel ditimbang (SHF Pahat, SHF Samurai 1 dan SHF

Samurai 2) 100 mg lalu ditempatkan ke crucible dan dimasukkan ke wadah

autosampler. Pilih analisis lalu klik New, File Name dimasukkan, dan simpan lalu

dipilih File Template yang sudah dibuat sebelumnya. Menu Start Analysis diklik.

Untuk mematikan instrumen, Setting dan Stand-by diklik. Dipilih Stand-by On dan

ditunggu hingga suhu Combustion 250˚C dan Reduction 30˚C. Saat Combustion

sudah tercapai suhu tersebut, pilih Exit. Tombol Power dimatikan dan PC dimatikan

serta tutup kran gas Oksigen dan Helium. Sampel melalui 2 tahapan, yaitu tahap

pembakaran dengan suhu tinggi 1000˚C dan tahap reduksi. Setelah itu, N2 diukur

dengan Thermal Conductivity Detection (TCD). Sinyal hasil pengukuran dari TCD

dapat dikonversikan ke total kandungan nitrogen atau dalam bentuk %.

Analisis ekstrak eter dilakukan dengan menimbang sampel 0,5 – 1 gram (X)

kemudian dibungkus dengan kertas saring bebas lemak. Kemudian sampel

dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama satu malam. Lalu bungkusan

sampel ditimbang tanpa didinginkan (Y). Setelah ditimbang, bungkusan dimasukkan

ke dalam sokhlet dan diekstraksi dengan menggunakan petroleum ether selama 8 jam.

Hasil sokhlet kemudian kembali di oven pada suhu 105oC selama semalam. Sampel

kembali ditimbang tanpa didinginkan (Z) (AOAC, 1990).

Gambar

Tabel 1. Komponen nutrisi dalam sorgum sebagai pakan ternak
Tabel 2. Data nilai kandungan nutrisi varietas sorgum  Perlakuan  Bahan Kering
Tabel 3. Komposisi nutrisi limbah sorgum dan bahan lainnya sebagai pakan ternak
Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Fangel dan Wegener, 1995)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil kajian literatur tentang hasil belajar kognitif menggunakan model pembelajaran langsung pada siswa sekolah dasar dapat disimpukan bahwa dari 15 artikel

bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Probolinggo Tahun 2013 - 2018 telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo

Kalibrasi adalah memastikan kebenaran nilai-nilai yang ditunjukkan oleh instrument ukur atau sistem pengukuran atau nilai-nilai yang diabadikan pada suatu bahan ukur dengan

:silator 3olpits termasuk jenis osilator (3. :silator colpits tersusun dari dua buah kapasitor yang disusun seri dan sebuah induktor tunggal. Kelebihan osilator colpits

Hewan uji DM tipe 2 resisten insulin dapat dilihat dari parameter: (1) uji kadar glukosa darah preprandial dan postprandial; (2) uji aktivitas hipoglikemik dari

Menjelaskan gambaran umum tentang lokasi penelitian, serta menganalisa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik untuk menentukan unsur berencana dalam

Hasil penelitian Fatimah (2005) menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asin yang diambil dari pusat pasar Kota Medan positif mengandung formalin, kemudian hasil

Selain itu, pemilik industri ini juga mengatakan kalau tidak mudah merubah sikap para pekerja untuk menerapkan penataan tempat kerja yang baik, karena dari diri