• Tidak ada hasil yang ditemukan

GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAN KELEMBAGAAN EKONOMI PERDESAAN YANG MANDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAN KELEMBAGAAN EKONOMI PERDESAAN YANG MANDIRI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan

Dunia pertanian saat ini berada pada babak baru, yaitu dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang sangat mendasar dan berdampak luas terhadap pembangunan pertanian. Dua diantara kebijakan tersebut adalah pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025 dan telah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun 1980-an. Kelahiran UU ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan kehutanan. Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non Kementerian, yang akan merumuskan secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan.

Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Kementerian Pertanian mentargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun semenjak awal 1990-an Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani.

Point utama yang ingin disampaikan adalah perlu dihindari pengem bangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan usaha kecil di perdesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki.

GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN)

SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAN KELEMBAGAAN EKONOMI PERDESAAN YANG MANDIRI

Oleh :

Ir. Joko Sutopo, M.Sc Penyuluh Pertanian Madya Pada Bakorluh Provinsi Sumatera Barat

(2)

Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak tumbuh.

II. Pengembangan Kelembagaan Dalam Rancangan RPPK

Pengembangan kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena ia merupakan komponen utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan. Salah satu ciri RPPK adalah pelibatan banyak pihak sekaligus. RPPK melibatkan hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses implementasinya. Atas dasar itu, koordinasi dan sinkronisasi di antara berbagai pihak yang terkait akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik dalam perumusan RPPK maupun dalam mewujudkannya. Secara teoritis, “koordinasi” dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan.

Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Pada tingkat lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan pengembangan infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa pemberdayaan penyuluh pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian.

Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan telah menyebabkan belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan keuntungan yang diterima petani relatif rendah. Dari sisi kelembagaan akan dijumpai kendala yang bersifat fungsional, karena pendekatan strategi revitalisasi pertanian yang terkesan sektoral. Apabila tujuan utama (ends) dari revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, maka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan haruslah dilihat sebagai instrumen saja (means).

Dalam tabel ”Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian”, disebutkan ada 11 kebijakan yang dicakup dalam RPPK sektor pertanian. Dalam tabel tersebut terlihat pembedaan antara ”Kebijakan Pengembangan Kelembagaan” (point nomor 5) dengan ”Kebijakan Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani” (point nomor 7). Tampaknya pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan banyak kalangan, bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam dokumen RPPK,

(3)

berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan pengembangan kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu produk-produk. Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani” terdapat kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi petani di perdesaan.

Pembedaan seperti ini memperlihatkan bahwa “kelembagaan” adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005), yang berpendapat bahwa “institutions determine social organization”. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.

Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di tingkat petani. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi relative besar. Kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar kementerian, lembaga, atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas dan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian.

Pada tataran pusat tersebut terdapat banyak kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan moneter,kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM dan pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan pengembangan ketahanan pangan.

III. Revitalisasi Kelembagaan Ekonomi Petani

Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk pengembangan usaha (KUA dan

(4)

koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi (kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain. Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi, dan Kelompok Usaha Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh, dapat menjalankan seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir. Namun, ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam aktivitas ekonomi secara langsung.

Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi, namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan. Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan dapat menggantikan peranan mereka.

Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi pertanian ataupun informasi pasar, Kementerian Pertanian telah membenahi kelembagaan penyuluhan. Penataan kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi sampai ke desa, juga penyediaan Biaya Operasional Penyuluh (BOP) bagi penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan penyusunan buku kerja bagi penyuluh pertanian.

Pengembangan kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas. Keberhasilan Program Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur yaitu didukung oleh political will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan subsidi, delivery system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi penyuluhan, serta prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen untuk berbagai fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan saprotan dan modal usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan pendekatan individu, namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usaha taninya.

(5)

kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas. Disini terlihat bahwa, pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu sebagai “kendaraan” untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari luar desa. Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga yang mewakili kebutuhan petani sebagai representative institution, namun awal terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat.

Kelembagaan usaha petani tingkat desa akan dibimbing, dilatih dan didampingi guna memperoleh akses terhadap informasi pasar, teknologi dan permodalan. Dengan demikian, pada tahun-tahun mendatang fasilitasi dan pengukuran pembangunan pertanian oleh dinas dan instansi di daerah maupun oleh propinsi dan pemerintah harus dilakukan melalui Gapoktan yang ada di masing-masing desa yang beranggotakan seluruh petani, peternak, dan nelayan di desa tersebut. Gapoktan tersebut akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi lembaga usaha yang mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas. Lembaga pendamping yang utama adalah dinas pertanian setempat, di mana para penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan. Penguatan dari sisi lain adalah melalui implementasi berbagai kegiatan pemerintah yang didistribusikan ke desa, dimana Gapoktan selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang memungkinkan.

IV. Kesalahan Dalam Pengembangan Kelembagaan Selama Ini

Dalam program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat perdesaan selama ini, hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan baru ke perdesaan. Kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk menjalankan program tersebut. Namun demikian, penggunaan strategi pe-ngembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan. Berikut diuraikan berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan, khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution), agar dapat dihindari : (1) Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka dapat meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang- orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya; (2) Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim, setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok yang sudah ada; (3) Menerapkan pola generalisasi,

(6)

sehingga struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi teknis di Pantura Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan kelembagaan kurang memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas, norma, kebutuhan, dan lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al., 2003); (4) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach; (5) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia; dan (6) Pengembangan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material cukup. Sebagai contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan) dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain- lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik.

V. Prinsip Pengembangan Kelembagaan Perdesaan

Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengembangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang semakin menguat, dan jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat proyek”. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu: (1) konteks otonomi daerah, (2) pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan (3) kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai salah satu komponen kelembagaan perdesaan, saling terkait secara fungsional dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal.

VI. Pengembangan Kelembagaan sebagai Bentuk Pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata dasar “empower” bermakna sebagai “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “... taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing self- reliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap

(7)

individual, kelompok sosial, maupun terhadap komunitas.

Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne (1997), disebutkan bahwa pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan mengupayakan bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah tercapainya “kemandirian”.

Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada inklusivitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional (World Bank, 2005).

Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan di mana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia. Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal.

Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut. Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam kehidupan

(8)

politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang lama.

VII. Pengembangan Kelembagaan dalam Upaya Mewujudkan Kemandirian

Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), inisiatif lokal sangat diperlukan dalam pembangunan perdesaan, baik dari sisi pemerintah maupun komunitas setempat. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan apabila pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.

Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara terdesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, di mana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan yang ada dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.

Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia, atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma pembangunan Indonesia. Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi pemberdayaan desa seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa. Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa

(9)

haruslah bersifat kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.

Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat. Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog diban- dingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A., Supena F., Syahyuti, dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Amien, M. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

North, D. C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/ laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2014.

Payne, M. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press Ltd., London. Hal. 266.

Robin, L. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/bromley.htm, 25 Oktober 2014.

Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge.Chapter 1 dan 10.

.World Bank. 2005. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development. (http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EI D=482, 11 Mei 2014).

Zuraida, D. dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Data disini akan menjelaskan berkenaan apa saja prolematika guru dalam pembelajaran di MIS Nurul Huda di desa Kiapak (salah satu desa tertinggal) Kecamatan

Three tier test akan memungkinkan guru dan siswa mengidentifikasi miskonsepsi sehingga memberikan gambaran kepada guru tentang penguasaan siswa terhadap materi yang

Paling tidak siapapun tidak akan pernah terhindar dari masalah waris, dimana seseorang bisa menjadi pewaris (pemberi waris) dan atau menjadi ahli waris (penerima

Indikator yang menjadi permasalah- an Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) dirumah tangga yang paling banyak terjadi di Dusun Sawahan yakni peng- gunakan air bersih, mencuci

Dengan menggunakan model iklim regional REMO dibuat tiga skenario untuk menganalisis pengaruh penurunan luas tutupan lahan hutan terhadap iklim di pulau Kalimantan.. Skenario

Istilah pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari suku kata “pari” yang berarti keliling atau bersama, dan “wisata” yang berarti perjalanan, Jadi

Aplikasi pembelajaran dunia hewan untuk pembelajaran ini penulis menggunakan perangkat lunak Eclipse IDE dan Android Development Tools (ADT). Aplikasi berisi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang atas Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi penelitian yang berjudul “ Karakterisasi Tetua dan