• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

4 ANALISIS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU SURIMI

4.1 Pendahuluan

Usaha penangkapan ikan khususnya penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pukat udang dengan target utama adalah udang (udang putih dan jerbung) beberapa dilakukan di Laut Arafura. Namun demikian, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun 2007 bahwa status pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di Laut Arafura menggambarkan bahwa untuk komoditi penaid, sudah tidak memiliki peluang. Hal ini selaras dengan hasil tangkapan udang dari kapal-kapal pukat udang yang memiliki kecenderungan menurun dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Selain mengalami penurunan dalam hal jumlah, juga mengalami penurunan dalam hal ukuran udang yang semakin mengecil. Selain menangkap udang sebagai hasil tangkapan utama, kapal pukat udang juga menangkap ikan demersal dan pelagis kecil seperti ikan kakap, sebelah, biji nangka, kurisi, layur, peperek dan berbagai jenis ikan lainnya sebagai hasil tangkap sampingan (by-catch).

Hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang hingga saat ini umumnya dimanfaatkan dalam jumlah kecil yakni dimanfaatkan oleh ABK kapal untuk keperluan konsumsi baik selama operasi penangkapan maupun untuk dibawa pulang. Selain itu pemanfataan by-catch juga sangat terbatas pada jenis ikan tertentu yang memiliki nilai ekonomis penting, sedangkan ikan-ikan lainnya umumnya dibuang kembali ke laut. Hal ini merupakan peluang bagi industri surimi dengan memanfaatkan (by-catch) sebagai bahan baku industri pengolahan surimi.

Ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan sangat diperlukan bagi industri surimi mengingat peluang pasar surimi yang sangat besar baik pasar domestik maupun untuk keperluan ekspor. Surimi merupakan bahan baku dalam pembuatan berbagai produk olahan lanjutan seperti sosis, nuget, bakso dan produk hasil perikanan lainnya, oleh karena itu, perlu dilakukannya analisis ketersediaan bahan baku surimi yang bersumber dari pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran ketersediaan bahan baku surimi secara kuantitatif mencakup ketersediaan saat ini dan yang akan datang.

(2)

4.2 Metode Penelitian

4.2.1 Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara (interview) terhadap

stakeholder terkait dengan usaha penangkapan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura.

Acuan dalam wawancara tersebut adalah kuesioner dengan substansi pertanyaan mengenai hal-hal sebagai berikut:

1) Identifikasi kapal dan alat tangkap, meliputi nama kapal, ukuran kapal dan alat tangkap serta alat bantu penangkapan ikan

2) Hasil dan produksi penangkapan, meliputi wilayah penangkapan, jumlah trip per tahun, produksi per trip, jenis hasil tangkapan utama, jenis hasil tangkap sampingan serta rasio hasil tangkapan

3) Pengolahan hasil tangkap sampingan selama ini, meliputi alasan dan kendala pengelolaan

4) Alternatif pengumpulan hasil tangkap sampingan untuk surimi yakni dalambentuk ikan utuh, minced atau bentuk kedua-duanya yang diangkut dengan menggunakan kapal angkut (carrier).

Responden yang diwawancarai adalah pemilik kapal/manajer penangkapan/nakhoda kapal penangkapan udang di Sorong yang merupakan perusahaan besar yang memiliki armada penangkapan pukat udang. Penentuan hasil tangkapan udang menggunakan data dari 21 kapal yang mewakili 5 perusahaan penangkapan udang di Sorong dengan kisaran ukuran 100 - 300 GT.

4.2.2 Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif yakni menggambarkan adanya keragaan armada pukat udang di Provinsi Papua Barat meliputi spesifikasi kapal dan alat tangkap, daerah tangkapan serta waktu (lama) penangkapan dilakukan. Selain itu, juga digambarkan mengenai hasil tangkapan utama dan sampingan, rasio tangkapan dan jenis-jenis ikan hasil tangkapan.

(3)

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Hasil tangkapan utama

Target utama dalam operasi penangkapan di Laut Arafura adalah udang jerbung atau

banana shrimp (Penaeus merguensis) dan udang windu (Penaeus monodon), selain itu ada

beberapa spesies udang dogol atau endeavour shrimp (Metapenaeus spp) dengan harga jual berkisar antara Rp 45.000 hingga Rp 50.000 per kg. Produksi udang di Arafura sepanjang tahun 2002 – 2006 sangat bervariasi dengan jumlah rata-rata 26.837 ton per tahun. (Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006). Sementara itu, armada pukat udang yang berpangkalan di Sorong – Provinsi Papua Barat berjumlah 102 unit. Dalam 1 trip, masing-masing unit melakukan operasi selama 51 hari dan hauling 301 kali dan menghasilkan tangkapan seperti pada Tabel 8.

Tabel 8 Data rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun 2006

No Periode Hauling Hasil Tangkapan (kg) Total

Utama Sampingan Dimanfaatkan

1 Minggu I 45 2.370 23.475 849 25.845 2 Minggu II 48 2.156 27.351 990 29.507 3 Minggu III 45 2.492 24.377 987 26.869 4 Minggu IV 47 2.810 25.021 949 27.831 5 Minggu V 43 1.627 21.619 800 23.246 6 Minggu VI 49 1.263 24.005 905 25.268 7 Minggu VII 24 1.143 13.149 449 14.292 51 hari 301 13.861 158.997 5.929 172.867

Sumber : Perusahaan penangkapan udang yang berpangkalan di Sorong (diolah)

Perbandingan antara hasil tangkapan utama dengan sampingan dalam 1 (satu) trip operasi penangkapan, persentase udang yang diperoleh yang dibandingkan dengan jumlah keseluruhan hasil tangkapan adalah hanya sebesar 8 persen. Jumlah ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan sampingan yakni sebesar 92 persen per trip (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah hasil tangkapan sampingan selalu lebih besar daripada jumlah hasil tangkapan utama.

Produksi perikanan di Provinsi Papua Barat pada periode 1997 – 2004 mengalami peningkatan sebesar 83,15 persen. Demikian pula dengan jumlah armada mengalami peningkatan sebesar 101,7 persen untuk perahu tanpa motor, 83.42 persen untuk motor tempel

(4)

dan 127,19 persen untuk kapal motor (Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2006) seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 9 Perbandingan rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun 2006

No Periode Pemanfaatan Hasil Tangkapan

Utama Sampingan Rasio Dimanfaatkan

1 Minggu I 9% 91% 1 : 10 3.62% 2 Minggu II 7% 93% 1 : 13 3.36% 3 Minggu III 10% 90% 1 : 10 4.05% 4 Minggu IV 10% 90% 1 : 10 3.79% 5 Minggu V 7% 93% 1 : 13 3.70% 6 Minggu VI 5% 95% 1 : 19 3.77% 7 Minggu VII 8% 92% 1 : 12 3.41% 51 hari 8% 92% 1 : 12 3.71%

Sumber : Perusahaan penangkapan udang yang berpangkalan di Sorong (diolah)

Saat ini, usaha perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan yang dikhususkan di Provinsi Papua Barat dilakukan oleh 12 perusahaan yang didominasi oleh beberapa perusahaan besar yakni PT Alfa Kurnia Fish Enterprise (AKFE), PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development (IMPD) dan PT West Irian Fishing Industries (WIFI). Adapun keragaan armada penangkapan pukat udang di Sorong – Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 10 Produksi ikan dan jumlah armada di Papua Barat periode tahun 1997 – 2004

Tahun Produksi Ikan (Ton)

Jumlah Armada (Unit)

PTM MT KM Total 1997 138 413 18,909 2,388 1,052 22,349 1998 160 501 28,526 3,616 1,763 33,905 1999 182 008 28,528 3,656 1,925 34,109 2000 205 912 28,541 3,736 1,938 34,215 2001 212 131 31,960 3,859 1,093 36,912 2002 217 976 32,607 4,035 2,031 38,673 2003 246 685 36,280 4,258 2,238 42,776 2004 253 510 38,140 4,380 2,390 44,910

Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2006) Keterangan : PTM : Perahu Tanpa Motor (< 5GT) MT : Motor Tempel (< 5 GT) KM : Kapal Motor (> 91 - 303 GT)

(5)

Secara spesifik, identitas beberapa kapal yang tercantum pada Tabel 11 yang mewakili tiap-tiap perusahaan.

Tabel 11 Spesifikasi kapal dan alat tangkap pukat udang dari perusahaan penangkapan yang berpangkalan di Sorong – Provinsi Papua Barat

No Perusahaan

Identifikasi Kapal

Nama Ukuran Alat Tangkap Alat Bantu 1 PT. Irian Marine

Product Develoment KM. Aman No. 6

24.72 x 6.90 x 2.95 m

Pukat Udang (Hp

24 m, Gp 27 m) Otter Board 2 PT. Dwi Bina Utama KM. Binama 23.77 x 6.50 x

3.0 m

Pukat Udang (Hp 18 m, Gp 21.6 m)

Otter Board, Wire Rope, Winch,

TED

3 PT. Alfa Kurnia Fish

Enterprise KM. Kurnia No. 2

27.10 x 7.20 x

3.20 m Pukat Udang

Test Net, Otter Board, TED, TEST/Main Winch 4 PT. West Irian Fishing Industries KM. Udang No. 20 38.39 x 7.52 x 8.15 m Pukat Udang (Gr

32 m) Try Net, Winch 4.3.2 Hasil tangkap sampingan

Selain udang, terdapat pula berbagai jenis ikan lainnya yang ikut terjaring oleh kapal penangkap pukat udang yang bukan merupakan tangkapan utama. Berdasarkan data perusahaan, diperoleh informasi bahwa jenis-jenis ikan hasil tangkap sampingan antara lain kuro, petek, layur, tiga waja, kuniran, layang, sebelah, lidah, bawal, swanggi, kembung dan gulamah (Tabel 11). Ikan-ikan tersebut dihargai di pasaran berkisar antara Rp 3.000 per kg hingga Rp 9.000 per kg. Adapun jenis ikan dan komposisi dari hasil tangkap sampingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 14.

Gambar 14 Beberapa jenis ikan hasil tangkap sampingan kapal pukat udang (Welly 2008). Gerot-gerot ( Pomadasys sp) Lidah ( Cygnoglosus sp)

Gulamah (Argyrosomus amoyensis)

Tiga waja (Johnius dussumieri)

Beloso (Saurida tumbil)

Lencam (Lethrinus sp)

Biji nangka (Openeus sp)

(6)

Tabel 12 Jenis dan persentase by-catch serta alternatif pemanfaatan

No

Jenis ikan Persentase Alternatif

pemanfaatan

1 Kakap (Lutjanus sp) 2,03

Utuh dan olahan lainnya 2. Bawal (Formio dan Pampus) 1,25

3. Kembung (Rastrelliger sp) 1,28 4. Ketang-ketang (Drepane sp) 2,31 5. Layur (Trichiurus sp) 1,38 6. Tenggiri (Scomberomorus sp) 1.43 7. Baronang (Siganus sp) *) 1,28 Jumlah 10,96 8. Gulamah (Argyrosomus amoyensis) 3,65

Surimi

9. Sebelah (Psettodes sp) 1,29

10. Biji Nangka (Openeus sp) 1,04

11. Terubuk (Hilsa sp) *) 0,42

12. Alu-alu (Sphyraena sp) 0,47

13. Bambangan (Lutjanus sp) 4,73

14. Beloso (Saurida sp) 4,4

15. Kurisi (Nemiptherus sp) 1,6

16. Pisang-pisang (Caesio chrysozonus) 1,46

17. Cendro (Triacanthus sp) 0,83

18. Lencam (Lethrinus sp) 3,38

19. Tiga Waja (Johnius dussumieri) 5,63 20. Kerong-kerong (Therapon sp) 0,62 21. Swangi (Priacanthus tayenus) 1,62 22. Gerot-gerot (Pomadasys sp) 1,45 23. Mata besar (Scolopsis sp) 0,72

24. Krisi (Pentapodus sp) 0,21

25. Ekor kuning (Anthias sp) 0,73

Jumlah 34,25

26. Selar Kuning (Selaroides sp) 0,73

Tepung ikan dan olahan lainnya 27. Ikan buntal (Lagocephalus sp) 0,48

28. Lemuru (Sardinella sp) 0,61

29. Nomei (Harpodon sp) 0,72

30. Peperek (Leiognathus sp) 49,65

31. Bulu Ayam (Thryssa sp) 0,65

32. Japuh (Dusumieria sp) 0,72

33. Trompet (Fistularia sp) 0,35

34. Pinjalo (Pristipomoides sp) 0,88

Jumlah 54,79

Jumlah Total 100 100

Sumber : Sumiono (2000) diolah *) Perlu diverifikasi ulang

(7)

Dalam pemanfaatannya, hasil tangkap sampingan tersebut dapat dikatagorikan menjadi 3 katagori kelaikan pemanfaatan berdasarkan jenis ikan, yaitu jenis ikan ekonomis penting seperti kakap merah, kerapu, bawal, kembung, layur dan tenggiri secara ekonomis dimanfaatkan dalam bentuk utuh atau fillet beku yang jumlahnya diperkirakan mencapai 10,96%; jenis ikan yang laik untuk dimanfaatkan sebagai surimi, antara lain ikan beloso, gulama, biji nangka, kurisi, dll berjumlah 34,25% dan jenis ikan non ekonomis yang tidak laik untuk surimi seperti ikan peperek, lemuru, bulu ayam dan lain-lain sejumlah 54,79% untuk dijadikan ikan asin dan tepung ikan.

Rasio tangkapan utama dan sampingan bervariasi menurut daerah penangkapan dan waktu. Allops (1981) menyatakan bahwa di daerah tropis rata-rata rasio HTS terhadap udang berkisar 10:1. Menurut Widodo (1998), HTS bervariasi antara 8 – 13 kali hasil tangkapan udang. Hasil survey (Tabel 9) menunjukkan rasio udang dan by-catch adalah 1 : 12, hal ini sesuai dengan Sumiono (2000) yang menyebutkan rasio udang dan HTS pada penangkapan di laut Arafura adalah 1 : 12 dengan sebagian besar berupa ikan demersal, hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Badrudin (2004) di Laut Arafura menyebutkan bahwa rasio udang dan HTS adalah 1 : 12. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap (2006), dengan mengunakan rasio 1 : 12 terlihat bahwa sepanjang tahun 2002 sampai dengan 2006 akan tersedia HTS yang dapat digunakan sebagai bahan baku surimi rata-rata sebesar 322.048 ton per tahun (Gambar 15).

Sumber : Data Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun 2002-2006 (diolah)

Gambar 15 Grafik hasil tangkapan udang dan perkiraan by-catch di Indonesia Timur (Arafura) tahun 2002-2006. 0 100000 200000 300000 400000 1 2 3 4 5 Produksi (Tahun) 2002 2003 2004 2005 2006

Udang Laut (Ton) 24673 30044 27001 25635 26834

By Catch (Ton) 29607 36052 32401 30762 32200

PRODUKSI (Ton/Tahun)

GRAFIK HASIL TANGKAPAN UDANG LAUT DAN PERKIRAAN "BY CATCH" DI INDONESIA TIMUR (ARAFURA) TAHUN

(8)

4.4 Pembahasan

Usaha perikanan tangkap di Provinsi Papua Barat yang dilakukan oleh 12 perusahaan seperti PT Alfa Kurnia Fish Enterprise (AKFE), PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development (IMPD) dan PT West Irian Fishing Industries (WIFI) pada umumnya mengoperasikan kapal pukat udang dengan target tangkapan utama adalah udang. Kapal pukat udang tersebut umumnya beroperasi di Laut Arafura dan berpangkalan di Sorong, Papua Barat. Adapun jumlah kapal pukat udang yang berpangkalan di Sorong dan beroperasi di Laut Arafura adalah sebanyak 102 unit armada, sedangkan jumlah kapal pukat udang yang beroperasi di LautArafura secara keseluruhan adalah sebanyak 502 unit armada. Kapal-kapal pukat udang yang ada rata-rata berukuran antara 91 GT hingga 303 GT, dengan kekuatan mesin berkisar antara 425 PK hingga 1200 PK. Kapal-kapal tersebut melakukan penangkapan di Laut Arafura, Samudera Pasifik, Laut Timor (ZEEI), Perairan Irian Barat serta di Teluk Cenderawasih, seperti yang terlihat pada Gambar 16. Daerah penangkapan tersebut telah sesuai dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) kapal-kapal tersebut.

Gambar 16 Wilayah pengelolaan perikanan kapal penangkapan pukat udang.

Kapal-kapal pukat udang dalam melakukan operasi 1 (satu) trip atau selama 51 hari, melakukan hauling sebanyak 301 kali dengan jumlah hasil tangkapan untuk setiap hauling rata-rata sebesar 46,05 kg, sehingga diperoleh total tangkapan utama berupa udang banana sebesar 13.861 kg atau 13,86 ton per trip (Tabel 8). Hasil tangkapan tersebut relatif sama

(9)

dengan kapal lainnya yang beroperasi di Laut Arafura yakni untuk KM Aman (PT IMPD) sebesar 17 ton per trip (54 hari), KM Binama (PT Dwi Bina Utama) sebesar 16 ton per trip (50 hari) dan KM Kurnia (PT AKFE) sebesar 20 ton per trip (52 hari) pada tahun 2005. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sejak tahun 2003 hingga 2005, jumlah hasil tangkapan utama pukat udang untuk setiap trip-nya cenderung sama. Berdasarkan hasil hauling terhadap kapal-kapal penangkap pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura dan berpangkalan di Sorong, terlihat bahwa dari 301 kali hauling diperoleh hasil tangkap sampingan sebanyak 158.997 kg atau 158,997 ton per kapal per trip yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan diperkirakan HTS yang dihasilkan kapal penangkap udang yang berpangkalan di Sorong sebesar 81.090 ton per tahun (Tabel 8).

Jumlah kapal yang beroperasi dengan alat tangkap pukat udang di perairan Laut Arafura adalah sebanyak 502 unit (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2006) sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah hasil tangkap sampingan dalam waktu 1 (satu) tahun adalah sebesar 399.082 ton. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi bahwa dalam banyaknya trip adalah 5 (lima) kali untuk setiap kapal dalam setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil penelitian pada beberapa kapal yang beroperasi di Laut Arafura, terlihat bahwa dalam 1 trip akan dihasilkan hasil tangkapan utama (udang) rata-rata sebesar 14 ton (8%) dan HTS 159 ton (92%). Dari data tersebut diperkirakan dalam 1 tahun per 1 unit kapal akan menghasilkan HTS rata-rata sebesar 795 ton sehingga jumlah HTS yang dihasilkan dari 502 unit kapal yang beroperasi di Laut Arafura adalah sebesar 399.000 ton per tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purbayanto, et al. (2004) yang menyatakan bahwa HTS diperkirakan mencapai 332.186,40 ton per tahun. Rasio hasil tangkapan utama dengan sampingan yakni berkisar antara 1 : 12 (Tabel 9). Hal ini berarti untuk setiap 1 kg udang yang diperoleh, maka akan diperoleh hasil tangkap sampingan (ikan lain) sebesar 12 kg. Menurut data statistik perikanan tangkap (2006), produksi udang sepanjang tahun 2002 – 2006 sebesar 26.834 ton, apabila digunakan rasio 1 : 12 maka sepanjang tahun 2002 s/d 2006 akan tersedia HTS 322.048 ton per tahun.

Berdasarkan data hasil tangkap sampingan (Tabel 12), 10,96% dari total HTS adalah jenis-jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk utuh maupun fillet (kakap, kerapu, tenggiri, layur, dll) sebagai bahan baku produk ekspor, sebesar 54,79% merupakan jenis-jenis ikan yang hanya dapat diolah sebagai ikan asin dan tepung ikan (peperek, lemuru, bulu ayam, dll), sedangkan 34,25% lainnya merupakan jenis HTS demersal yang laik diolah menjadi

surimi (ikan sebelah, biji nangka, pisang-pisang, kurisi, dll). Apabila total

(10)

maka akan tersedia bahan baku surimi rata-rata sebesar 136.685 ton per tahun atau setara dengan surimi 43.739 ton per tahun (rendemen 32%).

Besarnya hasil tangkap sampingan yang dihasilkan oleh kapal penangkap pukat udang, tidak sebanding dengan pemanfaatannya. Berdasarkan survei terhadap kapal-kapal penangkap yang berpangkalan di Sorong (Tabel 9), pemanfaatan hasil tangkap sampingan hanya sebesar 3,71 persen dari total HTS, sedangkan 96,29 persen lainnya tidak dimanfaatkan. Menurut Letelay dan Malawat (1995), HTS yang dibuang kembali ke laut dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun dan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen. Hasil tangkap sampingan yang dimanfaatkan adalah jenis ikan ekonomis penting yang biasanya dijadikan bahan konsumsi anak buah kapal (ABK) selama pelayaran, dijadikan buah tangan ABK buat keluarga atau bahkan dijual oleh ABK baik ditengah laut maupun setelah berlabuh sebagai sumber pendapatan sampingan bagi ABK. Terlihat bahwa hasil tangkap sampingan pukat udang di Indonesia khususnya di wilayah perairan Arafura belum dikelola dengan baik. Sementara itu, di Thailand pengelolaan hasil tangkap sampingan pukat udang sudah diatur dengan baik. Industri penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul (Kungsuwan 1996).

Kesediaan bahan bahan baku HTS pukat udang di Laut Arafura sebesar 399.082 ton/tahun dan belum termanfaatkan secara maksimal bahkan mayoritas dibuang kembali ke laut sehingga memerlukan perhatian semua pihak untuk upaya pemanfaatannya dan di sisi lain perlu diupayakan mengurangi jumlah HTS yang demikian besar.

Operasi pukat udang di Laut Arafura diduga belum sepenuhnya mematuhi Keppres No. 85 tahun 1982, dimana pengoperasian pukat udang hanya diperbolehkan di Laut Arafura dan dilengkapi dengan TED. Menurut Monintja dan Sudjastani (1985), penggunaan pukat udang yang dilengkapi TED akan meloloskan 42,5% HTS dibandingkan bila tidak menggunakan TED dengan kemampuan yang sama dalam penangkapan udang. Apabila sistem pengawasan penggunaan TED pada pukat udang dilakukan dengan baik dan dipatuhi oleh industri penangkapan udang di Laut Arafura, maka ketersediaan bahan baku HTS akan menjadi 229.472,2 ton/tahun dan bahan baku yang laik untuk surimi sebesar 66.546,92 ton/tahun.

Minimnya pemanfaatan hasil tangkap sampingan tidak seiring dengan dukungan pemerintah melalui penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong tahun 2004 tentang ketentuan pembongkaran ikan hasil tangkap sampingan kapal pukat udang untuk konsumsi masyarakat Kota Sorong. Bahkan surat

(11)

Keputusan tersebut didukung pula melalui instruksi Walikota Sorong tahun 2004 yang mengatur setiap perusahaan pukat udang untuk menjual hasil tangkap sampingan yang diperoleh sebesar 10 persen kepada masyarakat lokal. Meskipun demikian, pemanfaatan hasil tangkap sampingan masih tetap minim disebabkan oleh beberapa kendala yakni kapasitas palka kapal yang terbatas hanya untuk udang sebagai tangkapan utama, mahalnya biaya operasional untuk pengangkutan hasil tangkap sampingan dari fishing ground ke daratan, belum tersedianya industri pengolahan dalam upaya pemanfaatan hasil tangkap sampingan ke dalam bentuk olaha. kurangnya minat masyarakat di Provinsi Papua Barat untuk melakukan pengolahan ikan serta pemanfaatan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku untuk olahan dianggap terlalu mahal dan tidak efisien.

Gambar

Tabel 8 Data rata-rata hasil tangkapan kapal pukat udang dalam 1 trip tahun 2006
Tabel 10 Produksi ikan dan jumlah armada di Papua Barat  periode tahun 1997 – 2004
Tabel 11 Spesifikasi kapal dan alat tangkap pukat udang dari perusahaan penangkapan   yang berpangkalan di Sorong – Provinsi Papua Barat
Gambar  16  Wilayah pengelolaan perikanan kapal penangkapan pukat  udang.

Referensi

Dokumen terkait

Perikanan budi daya adalah merupakan alternatif pengembangan usaha, baik pada skala usaha penangkapan sudah mengalami penurunan, m aupun dalam taraf m em anfaatkan hasil

Karena mereka diberikan oleh banyaknya informasi rumah yang dijual, dimana masing-masing rumah memiliki kriteria-kriteria yang sangat beragam dan tidak

28299 INDUSTRI MESIN KEPERLUAN KHUSUS LAINNYA YTDL Kelompok ini mencakup industri berbagai mesin-mesin industri khusus lainnya yang belum termasuk kelompok sebelumnya,

Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional untuk menilai hubungan antara gejala klinis neurologi dengan (CT Scan otak dan atau MRI) pada kanker paru metastasis ke

Permasalahan penelitian tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Pertama, apa yang menjadi urgensi aksesi Protokol Madrid

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan teknik bleeding, penggunaan media pendingin dan interaksi antar perlakuan terhadap mutu fillet ikan kakap putih,

Kombinasi proses fermentasi yang dilanjutkan dengan pemanasan autoklaf menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan beberapa sifat fungsional yang menguntungkan yaitu

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, data dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data