• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama meskipun mereka kembar. Hal tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan non fisik yang merupakan keadaan wajar. Setiap orang dalam banyak hal seperti warna kulit, bentuk jasmani, minat, potensi atau kecerdasan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari disamping individu yang secara fisik normal, ada pula individu yang memiliki fisik tidak normal, yang sering dikenal penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas menyadarkan kita secara nyata bahwa mereka merupakan sesosok manusia yang diberikan kekurangan secara fisik, namun bukanlah orang yang berbeda. Kita secara sadar memandang dan bersikap empati terhadap mereka. Mereka pun tidak ditempatkan sebagai makhluk asing yang dipandang berbeda, namun harus diperlakukan dengan penuh empati dan rasa kasih sayang, sama seperti makhluk Tuhan lainnya. Kesetaraan merupakan tujuan penting bagi penyandang disabilitas karena tidak sedikit diskriminasi yang dilekatkan bagi mereka.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 1 ayat 3 yaitu : “Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dan Pasal 6 ayat 6 mengatakan bahwa setiap penyandang cacat berhak atas hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat”.

Di Indonesia, populasi penyandang disabilitas secara kuantitas cenderung meningkat dan diperkirakan akan terus bertambah karena berbagai sebab seperti, kecelakaan lalu lintas,

(2)

kecelakaan pabrik (tempat kerja), efek samping dari obat- obatan, gizi buruk, gaya hidup dan sebagainya.

Kementerian Sosial Republik Indonesia (2010) mencatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 1.163.508 jiwa, dan data ini digunakan dalam Renstra Kemensos RI dan PRJMN 2010-2015. Data tersebut mungkin masih jauh dari yang sebenarnya. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai disabilitas menjadi penyebab yang menyulitkan pendataan penyandang disabilitas dan terlebih lagi masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang mempunyai disabilitas terutama di pedesaan. Selain itu, penyandang disabilitas kurang terwakili dalam sistem perlindungan. Mereka kesulitan menjangkau pendidikan (Escape Survey, 2004), dan hampir 90% penyandang disabilitas di negara berkembang tidak akses ke sekolah (United Nations, 2006).

Menurut estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, hanya 10 % penyandang disabilitas yang akses ke sistem pendidikan. Data Susenas 2009 menunjukkan (43.87 %) penyandang disabilitas usia sekolah usia (7-17 tahun) belum pernah mengikuti pendidikan, sepertiganya (35.87 %) sedang sekolah dan sekitar (20.26 %) berstatus tidak sekolah lagi. Selain itu, menurut hasil pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Kementerian Sosial (2009) di 24 propinsi, terdapat 65.727 anak, yang terdiri dari 78.412 penyadang disabilitas dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 penyandang disabilitas dengan kedisabilitasan sedang dan 46.148 penyandang disabilitas dengan kedisabilitasan berat (Pusat Pengkajian Data Pengolahan Data dan Informasi vol.III.no.2/II/P3DI/Desember/2011).

Jumlah penyandang disabilitas di Sumatera Utara diperkirakan mencapai ribuan hingga jutaan. Namun perhatian pemerintah terhadap mereka terasa masih sangat minim. Padahal, sebagai rakyat Indonesia, mereka juga berhak mendapatkan fasilitas yang memadai seperti rakyat Indonesia lainnya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID)

(3)

Sumut menyebutkan, tercatat sedikitnya ada 3.000 anak penyandang cacat di daerah ini. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah setiap tahun. Tidak hanya karena bertambahnya jumlah kelahiran bayi, namun jumlah kasusnya juga cenderung meningkat setiap tahun.

Sayangnya, jumlah tersebut tidak diimbangi dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tersedia di daerah ini. Hingga akhir tahun lalu, tercatat hanya ada 16 sekolah Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan hanya dua Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) di Sumatera Utara. Beberapa diantaranya ada di Kota Medan. Jumlah tersebut jelas tidak sebanding dengan jumlah anak

disabilitas yang mencapai 3000 anak

(http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/02/03/76670/peduli_disabilitas/#.UzwpEaIlmd diakses pada tanggal 3 april 2014 pukul 14.32).

Kajian Kementrian Sosial tahun 2008 menunjukkan sebagian besar penyandang disabilitas berada dalam keluarga miskin, yang faktanya menunjukkan mereka sulit mendapatkan hak dasarnya sebagai anak secara wajar dan memadai. Banyak situasi seperti pada keluarga miskin tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi, tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan khusus sesuai dengan kedisabilitasannya dari orangtua atau keluarga, kondisi khas karena berbagai keterbatasan kemampuan keluarga miskin. Orientasi orangtua lebih prioritas pada upaya untuk memenuhi kelangsungan hidup keluarga, dan mengabaikan keperluan anaknya yang disabilitas karena sumber dana yang terbatas.

Kehadiran penyandang disabilitas merupakan bagian dari keseluruhan komunitas masyarakat yang memerlukan perhatian dari seluruh elemen terkait di dalamnya baik dalam suatu keluarga dan lingkungan sosial secara sosiologis terkadang menimbulkan masalah yang mengakibatkan ketidakberfungsian sosial keluarga dan lingkungan serta perlakuan salah

(4)

terhadap mereka. Sehingga memerlukan penanganan serta pelayanan yang terpadu, terarah, berkesinambungan serta profesionalisme.

Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, maka penyandang disabilitas masuk ke dalam kategori penyandang cacat fisik, yang merupakan individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau mengalami kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh.

Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut, membuat penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik. Bagi individu yang mengalami cacat fisik sering mendapatkan perlakuan yang berlebihan dan lingkungan sekitar seperti rasa belas kasihan yang membuat individu yang mengalami cacat tubuh menjadi sulit untuk mengembangkan kemandirian (Ashriati, Alsa & Suprihatin, 2006:32)

Keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas, ayah dan ibunya ada yang merasa malu. Akibatnya mereka tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga anak-anak tersebut tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya.dan kemudian mereka menjadi beban keluarganya.

Selain itu. para penyandang disabilitas kerap menghadapi beban dan hambatan tersendiri. Terutama dalam hal bersosialisasi dan pengembangan diri. Mereka sering dihinggapi perasaan inferior, minder, tidak percaya diri, dan tak berdaya. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerimaan lingkungan terhadap kaum disabilitas yang terkesan masih sangat diskriminatif dan memandang sebelah mata. Banyak masyarakat masih memandang kaum disabilitas sebagai individu yang lemah, invalid, terbatas, tidak produktif,

(5)

dan bahkan ada yang menganggap parasit karena bergantung pada bantuan manusia yang berfisik normal.

Sikap dan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang negatif, menyebabkan mereka merasa kurang percaya diri menjadi rendah diri dan merasa tidak berguna, bagi mereka memiliki hubungan dengan orang lain yang sering tidak baik dikarenakan penyandang disabilitas merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya.

Penyandang disabilitas juga menjadi orang yang sangat sensitive terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cendrung conform terhadap orang lain atau grup karena adanya tekanan group yang akhirnya membuat tidak percaya diri (Ryff & Singer, 2008:23).

Pengembangan potensi kepribadian penyandang disabilitas yang terhambat mengakibatkan penyandang disabilitas menjadi pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain (Lauster, 2002:16)

Tingkat pendidikan ibu bapak yang rendah, mengakibatkan ketidaktahuan ibu bapak tentang bagaimana mengasuh atau memberi stimulus yang tepat bagi perkembangan anaknya yang disabilitas. Kondisi lain ada ibu bapak secara sosial dan psikologis belum siap menerima anak penyandang disabilitas, bahkan ada ibu bapak menolak kehadiran anaknya penyandang disabilitas. Stigma masyarakat terhadap anak disabilitas terkadang masih kuat pada kumpulan masyarakat ini, karena rendahnya pengetahuan dan faktor sosial budaya (Byrne, 2002:28 ).

Greenspan (dalam Hallahan & Kauffman, 2006:23) mengatakan bahwa penyandang disabilitas sangat peduli pada body image, penerimaan diri teman- temannya. Kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian prestasi. Karena body imade

(6)

menggambarkan keseluruhan mengenai dirinya, hal ini akan membentuk kepercayaan diri yang dimiliki individu penyandang disabilitas.

Kepercayaan diri setiap individu bersifat individual artinya, setiap individu mempunyai ukuran percaya diri yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh pengalaman masa lampau yang terdiri dari keberhasilan atau kegagalan individu dan menjalani kehidupannya hal ini yang dipengaruhi oleh sejauhmana penerimaan masyarakat pada individu. Jika mereka merasa dirinya diterima maka akan muncul perasaan aman dan nyaman untuk melakukan segala hal yang mereka inginkan (Santock, 2003:13).

Kepercayaan diri terbentuk melalui dukungan sosial dari dukungan orang tua dan dukungan orang sekitarnya. Kesadaran keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu dukungan keluarga khususnya orang tua sangat dibutuhkan, orang tua menjadi hal yang mendasar dari pembentukan kepercayaan diri seorang individu dimana dengan peran orang tua individu akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis terhadap dirinya, dengan menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis terhadap dirinya, dengan adanya komunikasi dan hubungan yang hangat antara orang tua dengan anak akan membantu anak dalam memupuk kepercayaan dirinya (Rini, 2002:15).

Dukungan orang tua, keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya sangat berperan penting terhadap pembentukan kepercayaan diri pada penyandang disabilitas. Seseorang akan menghargai diri sendiri apabila lingkungannya pun menghargainya, misalnya : orang tua maupun mayarakat yang menunjukkan sikap menolak pada penyandang disabilitas dan dianggap oleh masyarakat tidak berdaya akan merasa dirinya bahkan tidak berguna dan dapat mengakibatkan penyandang disabilitas merasa rendah diri, merasa tidak berdaya, merasa tidak pantas, merasa frustasi, merasa bersalah dan merasa benci (Somantri, 2006:19)

(7)

Penyandang disabilitas yang mendapatkan dukungan merasa tidak sendiri dalam penderitaannya karena lingkungan sosial akan menjadi stimulant untuk mengurangi rasa takut dan menolong mereka dalam membangun kepercaayan diri. Dengan demikian dukungan yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan dan timbul rasa percaya diri dan kompeten.

Di Kota Medan terdapat panti sosial yang melayani para penyandang disabilitas agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yaitu Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 25/HUK/1998 tanggal 15 April 1998 secara resmi dikukuhkan menjadi salah satu Unit Pelaksanaan Teknis di lingkungan Kanwil Departemen Sosial Sumatera Utara dengan program rujukan regional pelayanan dan rehabilitasi sosial khusus bagi penyandang disabilitas dari daerag Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan Riau (Profil Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, 2011).

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara mempunyai misi yaitu melakukan perlindungan, peningkatan harkat dan martabat, serta kualitas hidup penyandang disabilitas serta mengenmbangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat.

Adapun kegiatan yang telah dilakukan sampai saat tahun 2014 meliputi bimbingan fisik, mental dan keterampilan yaitu pembinaan fisik, mental psikologis dan mental keagamaan dan juga mendapatkan bimbingan keterampilan. Selanjutnya para penyandang disabilitas yang ada didalam panti tersebut diberikan resosialisasi maksudnya untuk mempersiapkan para penyandang disabilitas terjun ke masyarakat, keluarga maupun disalurkan ke lapangan kerja yang tersedia atau instansi pengirim.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis tertarik meneliti “Dukungan keluarga Bagi Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas Di Panti

(8)

Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara” sebagai judul penelitian saya yang akan dituangkan dalam skripsi.

1.2 Perumusan Masalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, maka masalahyang dapat dirumuskan oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dukungan keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dukungan keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka:

a. Pengembangan konsep dan teori – teori yang berkenaan dengan dukungan keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas

b. Pengembangan kebijakan dan model pemberdayaan penyandang disabilitas.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaan penelitian serta sistematika penulisan.

(9)

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitandengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangkapenelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umumlokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti

BAB V : ANALISI DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh darihasil penelitian dan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan datanya dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Software Neural Network (NN). Model yang diperoleh berupa aplikasi artificial intelligent untuk aktifitas

Berdasarkan hasil yang didapat Non Performing Loan (NPL) berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Capital Adequacy ratio (CAR) pada Bank Umum Konvensional Swasta Nasional,

d. Sasaran dan strategi jangka menengah/panjang Perseroan. Merekomendasikan kepada Dewan Komisaris mengenai calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi

Fokus penelitian penulis adalah pola komunikasi antarpribadi orang tua kepada anak usia kanak - kanak, khususnya anak dengan usia kanak – kanak akhir yakni 6 – 11 hingga 13

guru yang membantu pelajar mencapai hasil dan matlamat pembelajaran melalui aktiviti individu atau kumpulan. Fasilitator bertindak sebagai -

Hasil yang terukur oleh X-Y plotter pada Gambar 10 merupakan respon- sitas sistem sensor fiber optik terhadap perubahan stress dan strain yang terjadi selama benda uji

sampai di rumah Terdakwa ditemukan dari dalam kamar tidur Terdakwa 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan sisa Narkotika dengan sebutan shabu-shabu, 1

Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, beberapa mahasiswa memiliki lebih dari satu keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja