• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas biologi yang didominanasi oleh pohon-pohonan tanaman keras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. komunitas biologi yang didominanasi oleh pohon-pohonan tanaman keras"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Hutan dan Kehutanan

Secara sederhana, ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi yang didominanasi oleh pohon-pohonan tanaman keras (Arief,2001).

Sedangkan menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan diartikan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainya tidak dapat dipisahkan. Kumpulan pohon-pohon yang dikategorikan sebagai hutan jika kelompok pohon-pohon tersebut mempunyai tajuk-tajuk cukup yang cukup rapat (BKSDH, 2002).

Kehutanan adalah suatu kegiatan yang bersangkut paut dengan pengelolaan ekosistem hutan dan pengurusanya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Tujuan pembangunan kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang terdiri atas, pengelolaan hutan produksi berfungsi ekonomi dan ekologi yang sama kuat atau seimbang, pengelolaan hutan konservasi yang berfungsi ekologi, dan pengelolaan hutan kebun kayu sebagai fungsi ekonomi. Saat sekarang telah ditetapkan bahwa pembangunan dan perkebunan dititik beratkan pada pemanfaatan sumber daya hutan dan kebun pada kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial secara seimbang (Arief, 2001).

(2)

Pengertian Agroforestri

Menurut International Centre for Research in Agroforestri (ICRAF) (1999), Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman perpohonan di lahan pertanian atau padang pengembalaan untuk memeperoleh berbagai produk yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi penggunaan lahan. Selanjutanya Lundgren dan Rainteree (1982) dalam Hairiah, K., dkk (2000) mengajukan ringkasan banyak definisi Agroforestri dengan rumusan sebagai berikut: Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) dengan tanaman pertanian dan atau/hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Dari defenisi tersebut dapat dikutip secara lengkap, bahwa Agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memilki unsur-unsur:

1. Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia 2. Penerapan teknologi

3. Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan 4. Waktu bisa bersaman bisa bergiliran

(3)

Jenis Agroforestri

Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau Agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut de Foresta dan Michon (1997) dalam Hairiah, K, dkk (2000), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem Agroforestri sederhana dan sistem Agroforestri kompleks.

1. Sistem Agroforestri Sederhana

Sistem Agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.

Salah satu bentuk Agroforestri Sederhana yang paling banyak dikembangkan yaitu tumpangsari atau taungya yang banyak dijumpai di Jawa melalui program perhutanan sosial dari PT Perhutani. Petani diberi ijin menanam tanaman pangan di antara pohon-pohon jati muda dan hasilnya untuk petani, sedangkan semua pohon jati tetap menjadi milik PT Perhutani. Bila pohon telah dewasa, terjadi naungan dari pohon, sehingga tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim. Jenis pohon yang ditanam adalah yang menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehinggga akhirnya terjadinya perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur.

2. Sistem Agroforestri Kompleks

Sistem Agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja

(4)

ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Menurut ICRAF (1996) dalam de Foresta (2000), Penciri utama dari sistem Agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest.

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim Agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’,

yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (de Foresta, 2000).

Sejarah dan Perkembangan Agroforestri

Menurut Wiersum (1982; 1987) praktek Agroforestri, baik yang tradisional maupun yang secara ilmiah dikembangkan saat ini dimulai dari sistem berkebun (gardening) yang banyak di jumpai di daerah Asia Tropis. Praktek berkebun semacam itu kemungkinan besar dimulai dari tanaman yang tumbuh spontan dari biji-biji yang dibuang di lahan-lahan pertanian sekitar tempat tinggal atau mempertahankan/memelihara pohon-pohon dan permudaan yang sudah ada. Baru pada perkembangan selanjutnya dilakukan budidaya penanaman. Tradisi pemeliharaan perpohonan dan kebun pada areal perladangan, perkarangan dan tempat-tempat penting lainya oleh masyarakat tradisional itu dikarenakan

(5)

nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan. Sejak awal tahun 70-an ada pendapat akan pentingnya peran perpohonan dalam mengatasi berbagai problema petani kecil dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan bahan pangan. Tujuan peningkatan produksi pangan melalui program revolusi hijau yang dlaksanakan pada waktu itu memang dapat dicapai. Akan tetapi sebagian besar petani tidak punya cukup modal untuk ikut dalam program tersebut. Selain itu status kepemilikan lahan sebagian petani masih belum pasti. Berbagai kajian telah dikembangkan untuk melahirkan konsep-konsep baru dalam pendekatan agroforestry. Sebagai pemanfaatan lahan lainnya agroforestry dikembangkan untuk memberikan manfaat kepada manusia atau meningkatan kesejahteraan manusia (Hairiah K.,dkk , 2000).

Klasifikasi Agroforestri

Klasifiaksi berdasarkan sistem produksinya dibagi menjadi : 1. Agroforestri berbasiskan hutan (Forest Based Agroforestry)

Merupakan agroforestri yang diawali dengan pembukaan sebagian areal hutan dan/atau berlukar untuk aktifitas pertanian dan dikenal dengan sebutan Agroforest

2.Agroforestri bebasiskan pada pertanian (Farm Based Agroforest)

Dianggap lebih lengakap dan teratur dengan agroforest produk tanaman pertanian dan pertenakan. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktifitas.

(6)

Agroforestri yang dikembangkan di kebun perkarangan rumah yang disebut dengan Agroforestri perkarangan. Di berbagai daerah di Indonesia, perkarangan biasanya ditanam pohon buah-buahan dengan tanaman pangan.

( Sardjono M.A.,dkk 2000).

Berbagai Macam Praktek Agroforestri di Indonesia. 1. Repong Di Pesisir Krui, Lampung.

Kelompok masyarakat di Pesisr Krui Lampung Barat telah berhasil membangun puluhan ribu Agroforestri damar sebanyak 50.000 Ha dengan pusatnya di sekitar kota Krui, dimana tutupan Agroforestri damar mendominasi seluruh daerah perbukitan. Budidayanya terus meningkat sejak 1930. Sekitar 80% getah damar di Krui pada tahun 1936 berasal dari budidaya. Agroforestri damar yang di usahakan oleh masyarakat Krui ternyata selain dapat menopang kelanjutan penghidupan petani juga terbukti mampu menjaga fungsi-fungsi pelestarian lingkungan. Kebun damar di Pesisir Krui adalah contoh keberhasilan sisitem yang dirancang dan dilaksanakan sendiri oleh penduduk setempat dalam mengelola hutan secara lestari dan menguntungkan. Saat ini 80% dari resin damar Indonesia dihasilkan dari agroforest di Pesisir Krui, yang bukan dari hutan alam. Jadi dapat dikatakan bahwa agroforest damar berfungsi sebagai hutan, secara biologi kebun-kebun itu merupakan hutan, yakni kesatuan tumbuhan dan binatang yang kompleks dengan perpaduan proses-proses biologis yang dalam jangka panjang dapat berkembang dengan baik.

2. Pelak di Jambi

Sistem pertanian tebas bakar di Kerinci telah berkembang menjadi tipe sistem Agroforestri ladang, yakni sistem Agroforestri dengan siklus budidaya

(7)

perpohonan bergantian dengan tanaman musiman. Istilah ladang di Kerinci disebut sebagai pelak yakni sistem Agroforestri kompleks dengan komponen utama atau kulit manis, dipadukan berbagai spesies perpohonan asal hutan. Sistem Agroforestri Pelak ditandai dengan keluwesan produksi, keberlanjutan ekologi dan sosial serta cara-cara penguasaan sumber daya alam oleh masyarakat yang dilakukan secara teratur.

3. Kebun Durian Campuran di Gunung Palung, Kalimantan Barat.

Perbedaan antara Agroforestri dengan kebun perkarangan telah cukup banyak di lakukan, sedikitnya ada lima ciri dasar Agroforestri yang melekat pada sistem kebun durian campuran di Desa Benawai Agung Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat yaitu:

a. Dilihat dari prespektif ekonomi, sistem-sistem Agroforestri dibangun terutama sebagai sumber pemasukan uang, ciri khas Agroforestri adalah untuk menghasilkan produk yang bisa dipasarkan. Sebab itu sistem ini hanya berkembang apabila pasar berkembang.

b. Dilihat dari prespektif sejarah penggunaan lahan, kebun durian berasal dari perkarangan dan/ atau dari petak perladangan berputar dan diransang oleh pasar.

c. Dilihat dari prespektif ekologi, sistem Agroforestri mencakup areal yang relatif luas, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon besar atau sedang dan keadaan ekologi lebih homogen.

d. Dilihat dari Prepektif penggunaan lahan Agroforestri tidak berdiri sendiri, tetapi bagian mosaik spektrum tata guna lahan.

(8)

e. Dilihat dari prepektif sosial politik, sistem Agroforestri cendrung tidak diperhatikan oleh pemerintah dalam pengambilan keputusan lain. Karena ketimpangan pengetahuan pemerintah dengan pengetahuan lokal.

4. Tembawang di Kalimantan Barat

Distribusi penggunaan lahan yang di gunakan untuk Agroforestri adalah 20% termasuk penggunaan untuk ladang 4% dan tembawang 5%. Agroforestri tembawang di kalimantan di bangun dengan menanam pohon asli dari hutan alam kalimantan, kecuali karet di lahan bekas ladang padi. Perpohonan yang ditanamai tumbuhan bersama tumbuhan lain. Campur tangan manusia umumnya terbatas pada pemanenan hasil dan diawal musim berbuah yaitu penyiangan selektif terhadap semak yang tidak bermanfaat untuk mendukung spesies spontan yang bermanfaat seperti tanaman muda dan tanama tua.

Ciri Agroforestri tembawang ini yaitu:

a. Tembawang milik bersama, hak pemanfaatanya dimilki bersama-sama penduduk satu desa atau lebih.

b. Tembawang waris tua berusia 3 sampai 6 generasi yang dimilki oleh kelompok- kelompok seketurunan

c. Tembawang waris muda berusia 1 sampai 2 generasi dan hak pemanfaatanya dimilki bersama-sama oleh keluarga besar

d. Tembawang pribadi, tembawang muda dimiliki secara perorangan (de Foresta dkk, 2000)

5. Parak Di Maninjau

Lebih kurang 10.000 ha lahan sudah digunakan untuk Agroforestri Parak di Maninjau. Agroforestri di Maninjau merupakan kebudayaan pertanian yang

(9)

berkembang sejak zaman belanda. Teknik tersebut berawal dari penanaman pohon pada lahan bekas tegakan hutan yang sebelumnya ditanami padi. Kemudian teknik tersebut mengalami perkembangan menjadi kegiatan pengembangan kebun pohon campuran berupa tanamaan musiman dan tanaman tahunan, secara keseluruhan jenis tanaman yang diusahakan merupakan jenis tanaman komersil yang tetap

mempertahankan spesies-spesies asli yang ada di daerah tersebut (Okkung Pak, 1982 dalam de Foresta, dkk, 2000 ).

Konsep Parak yang telah diikembangakan ratusan tahun lamanya oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk nyata dari community based forest management, suatu pengelolaan sumber daya hutan yang mengedepankan bentuk persepsi masyarakat. Parak merupakan peristilahan yang telah lama dikenal di Minangkabau. istilah ini digunakan oleh masyarakat untuk menyebutkan suatu satuan kawasan yang didalamnya berisikan berbagai jenis tanamaan dan karakter vegetasi yang khas. Eksistensi parak di Minangkabau merupakan budaya yang telah berakar bertahun-tahun. Pola bertani yang diterapkan oleh orang Minang sejak dulu memang tidak hanya mengandalkan dari suatu komoditi saja. Banyak komoditi yang diusahakan sehingga akan meminimalkan kerugian jika salah satu komiditi mengalami gagal panen. Pola bertani seperti ini mengkombinasikan antara tanaman muda, tanaman tahunan dan tanaman tua. Parak pada umumnya tidak homogen baik dalam komposisi maupun strukturnya. Perbedaan kombinasi antara tanaman dan antara komponen yang dibudidayakan dengan yang tumbuh sendiri adalah hasil kriteria sejarah ekonomi. Namun komponen-komponen tadi membentuk kanopi yang lebat dan mirip hutan (CBFM WARSI, 2002).

(10)

Kebijakan Nasional dan Hukum Adat

Masa transisi dari pemerintahan terpusat ke otonomi daerah memunculkan berbagai ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kesulitan dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan kehutanan secara formal. Ketidak pastian hukum, konflik sosial yang melibatkan masyarakat sekitar hutan perencanaan hutan yang tidak akurat, kekurangan koordinasi, serta praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang marak dilingkungan kehutanan menyebabkan pengelolaan hutan di Indonesia makin menjauh dari komitmen normatif yang direncanakan sendiri (Bank Dunia 2001 dalam Nurochmat (2005).

Menurut Fisher (2000) dalam Nurochmat (2005), devolusi kehutanan dapat berjalan dengan baik hanya jika pengelolaan di tingkat lokal memiliki kapasitas yang memadai dalam pengelolaan hutan dan dengan kewenangan yang dimilki dapat membuat keputusan melaksanakan kebijakan pengelolaan hutan dengan baik. Ada hal yang naif jika berpikir bahwa masyarakat lokal yang diberikan kesempatan mengelola sumber daya hutan hanya menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena dalam prakteknya umumnya mereka mengambil keuntungan dan juga memelihara sumber daya hutan. Pengakuan dan pengaturan atas hak masyarakat tradisional dan masyarakat hukum adat sering kali juga menjadi masalah terkait dengan kewenangan menilai eksistensi masyarakat tardisional dan masyarakat hukum adat. Kesalahan dalam mengambil kebijakan menyangkut hak masyarakat tradisional dan masyarakat adat dapat menimbulkan masalah lain yang serius seperti konflik sosial dan kepastian hukum dalam masalah tata guna lahan.

(11)

Pengertian Hukum Adat

Istilah hak ulayat di pakai di dalam UUPA Tahun 1960 adalah suatu istilah yang berasal dari masyarakat hukum adat Minangkabau, tetapi diangkat keatas secara nasional untuk mengacu kepada, atau mewakili hak-hak yang sejenis dengan itu. Artinya hak-hak yang sejenis di berbagai masyarakat hukum adat itu muatan isinya mungkin sedikit berbeda-beda tetapi isinya sama. Berbagai penjelasan mengenai hukum adat dapat dilihat pada uraian berikut :

1. Makna hukum adat

Pada umunya hukum adat adalah aturan-aturan tak tertulis. Menurut pakar hukum adat, Prof. Dr. Mr Soekanto,(1954:2) dalam Suhardjito, (1999), mendefenisikan hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan, tidak dikodifisir, bersifat paksaan dan mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum. Secara sosiologis, hukum adat berbeda dari hukum positif (legal/formal) bukan saja karena yang satu tak terkodifisir dan lain yang terkodifisir, tetapi juga karena hukum positif itu lahir secara ditetapkan (enacted). Sedangkan hukum adat timbul sendiri melalui porses panjang dalam masyarakat (crescive)

2. Norma Hukum Adat

Semua bentuk hukum yang berupa undang-undang, peraturan maupun hukum adat, dan sebagainya dapat dipandang sebagai masuk kategori yang disebut sebagainya norma, yaitu prinsip-prinsip pengatur yang menjadi pedoman bagi manusia, bagaimana seharusnya manusia berkelakukan. Bentuk dan sifat norma itu sendiri ada bermacam-macam, dan dapat di susun secara beraturan. Bierstedt, (1970) dalam Suhardjito, (1999) menyederhanakan norma menjadi tiga yaitu ”Folksways” (adat istiadat ; kebiasaan), ”mores” dan hukum.

(12)

3. Kekuatan dan kelemahan

Kekuatan dan kelemahan hukum adat sejauh ini hanya mengetahui tentang kriterium yaitu efektifitas, yaitu sejauh mana sesuatu norma dan aturan dapat dipatuhi. Berbagai pandangan mengenai kekuatan dan kelemahan hukum adat dapat dilihat :

Konflik antara hukum (legal) dan “mores” bukan saja mungkin terjadi tetapi sudah sering terjadi. Dalam berbagai kasus “mores” lah yang sering keluar. Artinya kekuatan suatu hukum itu tergantung pada mores yang memadai. Dalam padangan sosiologi, hukum adat pada dasarnya lebih mengacu pada kepada mores dari pada hukum.

Pada umumnya hukum itu kuat dalam masyarakat yang kecil, budaya yang tertulis belum berkembang, dan pembagian pekerjaan belum rumit, masyarakat lebih homogen, setiap warga saling dikenal antara yang satu dengan yang lain. Dalam masyarakat yang lebih kompleks, hubungan sosial menjadi kompleks pula. Bukan lagi hubungan pribadi, tetapi hubungan-hubungan itu lebih didasarkan pada fungsi dari status, karena banyaknya berbagai kelompok sosial yang saling tumpang tindih, yang masing-masing mempunyai “mores” nya sendiri-sendiri.

Karena itu diperlukan hukum legal yaitu hukum yang terbentuk dalam masyarakat yang mempunyai organisasi politik, yaitu pemerintah. Jika diukur dari efektifitasnya, hukum adat itu pada ummnya lebih kuat. Tetapi karena lingkupnya kecil, maka justru disinilah letak kelemahanya, jika secara begitu saja diangkat ketingkat nasional. Dalam kata lain perlu dimoderenisir tanpa menghilangkan unsur-unsur kekuatan hukumnya (Wiradi, 1996 dalam Suhardjito, 1999).

(13)

Kepemilikan Sumber Daya Hutan di Indonesia

Mengacu kepada Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960 tentang pengaturan tanah (termasuk hutan) pasal 20 dan UUPA 1967 pasal 21, ada dua macam hak terhadap sumberdaya tanah di Indonesia yaitu hak milik dan hak menguasai oleh negara. Hak milk merupakan hak yang dipegang oleh perorangan atau individu, hanya badan usaha tertentu sebagai kekecualian yang ditetapkan oleh pemerintahan dan dapat memperoleh hak milik. Hak-hak individu dibedakan kedalam beberapa tipe yaitu:

1. Hak pemilikan, terutama menunjuk pada hak menanam atau menggunakan sebidang tanah untuk tempat tinggal bagi masyarakat selama waktu tertentu 2. Hak garap yang secara teoritis habis sekali panen, tetapi dapat diperbaharui

setiap selesai panen, hak ini dapat dipegang oleh anggota masyarakat ataupun pihak luar

3. Hak preferensi pemegang mempunyai hak untuk menanam di masa datang. 4. Hak pilihan eksklusif, seseorang berhak untuk membeli sebidang tanah

seharga yang ditawarkan pembeli lain yang prospektif.

5. Hak pemanfaatan yang dipegang oleh individu sebagai anggota kelompok kerabat yang memegang pemilikan

Disebut juga dalam UUPA 1960 dan UUPA 1967 tanah milik tradisional (tanah adat atau tanah hak ulayat dan hutan adat disebut sebagai bagian dari tanah negara sedangkan dalam penjelasan umum UUPA 1967 Hutan negara itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan peraturan perundangan maupun hukum adat dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Dengan demikian pengaturan terhadap hutan negara harus memperhatikan aturan-atauran dari

(14)

masyarakat hukum adat karena sistem hukum yang berkembang saat ini di Indonesia, hak-hak yang ada menjadi sangat terbatas dalam mengkoordinir kepentingan masyarakat. Hak masyarakat adat yang seharusnya diakui, dihormati dan dilindungi dan mendapat tempat selayaknya dalam sistem hukum nasional saat ini begitu juga hukum dan institusi adat (Moniaga, 1998 dalam Suhardjito,1999).

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini menawarkan sebuah pembacaan feminis pascakolonial terhadap narasi gundik seorang Lewi yang tercatat dalam Hakim-hakim 19 yang berfokus pada suara subaltern dari

Ada beberapa cara untuk menilai kondisi kesehatan perusahaan dengan mengunakan analisis kinerja keuangan,namun dalam hal ini penulis hanya menggunakan analisis rasio

Hasil pengujian yang sudah dilakukan terhadap sistem klasifikasi gangguan jiwa skizofrenia menggunakan algoritme support vector machine menghasilkan akurasi terbaik

a) Masyarakat yang diusulkan sebagai calon penerima penghargaan adalah mereka yang memberikan kontribusi nyata dan memenuhi persyaratan umum antara lain: (i)

Uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) uji perbedaan dua rata-rata untuk melihat (a) perbedaan self-efficacy terhadap matematika pada mahasiswa yang

Tadi secara istilahi atau epistimologis disebutkan, “Islam” adalah satu agama dan sistem ajaran Ilahiyah (ketuhanan) yang berasal dari Allah SWT yang disampaikan

(2) Road Map Reformasi Birokrasi Kata Mojokerto Tahun 2016 - 2019 sebagaimana dimaksud ayat (1) berkedudukan dan berfungsi sebagai dokumen perencanaan jangka

Jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur kurang dari 15 tahun dengan petani utama laki-laki tercatat sebesar 58 rumah tangga, lebih tinggi daripada petani utama perempuan