• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGANN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) IWAN AMINUDIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGANN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) IWAN AMINUDIN"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

IWAN AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

IWAN AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

IWAN AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertaasi ini.

Bogor, Januari 2012

Iwan Aminudin NIM. E 061040131

(3)
(4)

IWAN AMINUDIN. The Development Stands on Production Natural Forest in TPTII Silvicultural System. Advisory Committee : ANDRY INDRAWAN (as Chairman), PRIJANTO PAMOENGKAS and BASUKI WASIS (as Members).

TPTII silvicultural system are expected to increase the productivity of forests through stripline planting system. Planting lane on one side allows the growth of Meranti type group, but on the other hand alleged damages arising out of land and vegetation changes. This study aims to analyze the structure and composition of the residual stand on logged-over natural forests, to evaluate plant growth Red Meranti (Shorea leprosula) and is identify soil quality on production of natural forest management in the application of TPTII silvicultural system. The research was carried out in working area IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Ketapang District, West Kalimantan Province. Growth of S. leprosula is predicted to reach the first cycle at the age of 25 years, with a diameter increment reached 1.67 cm/year, with an average diameter of 41.83 cm and the productivity reached 91.79 m3/ha. The potential total production of 255.34 m3/ha of TPTII higher than TPTI which only had the potential value of production amounting to 192.43 m3/ha. S. leprosula plant stand structure resembles the forest plantations spread diameter bell-shaped curve, while the residual stand structure following the pattern of distribution of natural forests inverted J-shaped curve. Changes in vegetation is shown from the community similarity index (IS) value. The diversity

index(H’) ware varies value, generally ware same higher value at TPTII, TPTI

and Virgin Forest. Land degradation can be seen from some of the parameters of chemical properties, soil physics and biology. Soil characteristics at different TPTII logged over area, TPTI logged over area and Virgin Forest. TPTII silvicultural systems have advantages in terms of timber production potential, but has the disadvantage of the soil quality.

(5)
(6)

IWAN AMINUDIN. Perkembangan Tegakan pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII. Dibimbing oleh : ANDRY INDRAWAN, PRIJANTO PAMOENGKAS DAN BASUKI WASIS.

Sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun di sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman Shorea

leprosula pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta

memprediksi produktivitasnya, menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya dan mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan.

Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan TPTII yang berumur 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun yang terletak pada blok tebangan TPTII tahun 2010 (TPTI 1983), 2009, 2008, 2007, 2006, dan 2005. Pengambilan data primer pada blok KPPN (Kawasan Konservasi Plasma Nutfah) merupakan areal representasi dari Virgin Forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen.

Riap diameter Shorea leprosula pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cm/th, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cm/th. Daur pertama tanaman

Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII akan diperoleh

pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman Shorea leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m3/ha. Struktur tegakan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng.

Pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah terjadi perubahan vegatasi, hal ini dapat terlihat dari nilai indeks persamaan komunitas (IS). Nilai indeks tersebut pada hutan bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) sangat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama , yaitu pada tingkat sedang. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur

(7)

sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder.

Penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi total dari TPTII yaitu sebesar 255,34 m3/ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m3/ha.

Dalam penerapan Sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan

Virgin Forest. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi

tanah.

Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang. Jalur Antara harus dipertahankan dan difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi sebagai penciri (Karakterisasi) keberlanjutan hutan alam. Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi kayu, akan tetapi mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya memodifikasi terhadap sistem silvikultur TPTII, dualisme penebangan, antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan Jalur Tanam perlu dicoba untuk dihilangkan. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pembuatan Jalur Tanam.

(8)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendididkan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)
(10)

TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

IWAN AMINUDIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia)

(2) Dr. Ir. Supriyanto. DEA (Staf Pengajar Bidang Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka :

(1) Dr. Ir. Iman Santoso, MS (Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia)

(2) Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. (Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB)

(12)

Nama : Iwan Aminudin Nomor Pokok : E 061040131

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Ketua

Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc F. Trop Dr. Ir. Basuki Wasis, MS.

Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir.Naresworo Nugroho, MS Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr

(13)
(14)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul ” Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ”. Disertasi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penghargaan dan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS., Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. dan Dr Ir. Basuki Wasis, MS., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas waktu, perhatian, bimbingan dan dorongan semangat yang tulus kepada penulis dalam penyusunan Disertasi ini.

2. Ketua dan Staf Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB.

3. Dr.Ir. Supriyanto, DEA dan Prof (Ris) Dr.Ir. Pratiwi, M.Sc selaku penguji pada ujian tertutup.

4. Dr. Ir. Iman Santoso, MS dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmama, MS. Selaku penguji pada ujian terbuka

5. Segenap Management dan Staf IUPHHK PT. Sukajaya Makmur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di lokasinya.

6. Secara khusus penulis ingin mempersembahkan Karya Tulis ini buat seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas Dorongan dan doa dari istri tercinta Nuning Nursari serta putra-putri tersayang Arini, Arrifa, Ilyas dan Ilyasa.

Doa yang tulus penulis panjatkan, semoga Allah SWT membalas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis dengan berkah dan pahala-Nya. Amin. Semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi pengembangan pengusahaan hutan alam di Indonesia.

Bogor, Januari 2012 Penulis

(15)
(16)

Penulis lahir di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 9 Pebruari 1970, merupakan putra keempat dari 9 bersaudara, dari ayah Mulyana dan ibu Entin Kartini. Pada tanggal 11 April 1998 penulis menikah dengan Nuning Nursari, STP, daan dikaruniai empat orang anak yaitu Arini Nurhaqiqi, Arrifa Murodhiya Alhaq, M Arkaz Ilyas dan M Arsyad Ilyasa.

Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari SDN Guntur I Garut, SMPN III Garut dan SMAN I Garut. Jenjang Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada tahun 1990 di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas kehutanan IPB. Pada tahun 2000 Penulis mengikuti Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pasca Sarjana IPB, lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama Penulis langsung melanjutkan studi Program Doktor pada lembaga yang sama.

Sebagai seorang sarjana kehutanan penulis banyak beraktivitas dalam dunia praktisi pengusahaan hutan. Beberapa perusahaan IUPHHK/HPH dan HTI pernah menjadi tempat penulis berkarya diantaranya HTI Trans PT. Rimba Rokan Hulu Riau (Suya Dumai Group) , HPH PT. Kalhold Tolitoli Sulawesi Tengah (Kalimanis Group), HPH PT. Bina Balantak Raya Luwuk Banggai Sulawesi Tengah (CCM Group) dan PT. Multi Wahana Wijaya Sorong Irian Jaya. Aktifitas lainnya, sejak tahun 2000 sampai sekarang Penulis menekuni dunia akademisi menjadi staf pengajar pada Program Studi Agribisnis dan Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mata kuliah yang diampu oleh penulis antara lain : Ilmu Tanaman, Ilmu Tanah, Agroklimatologi, Hama dan Penyakit Tanaman, Teknik Budidaya Hortikultura, Teknik Produksi Tanaman dan mata kuliah lainnya yang relevan dengan budidaya pertanian dan kehutanan.

(17)

Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN ...1 1.1. Latar Belakang...1 1.2. Perumusan Masalah ...4 1.3. Tujuan Penelitian...5 1.4. Hipotesis ...6 1.5 Manfaat Penelitian...6 1.6 Kerangka Pemikiran ...6 II. TINJAUAN PUSTAKA ...9

2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia ... 9 2.2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)...15

2.3. Perubahan Ekosistem Hutan Dalam Penerapan Sistem Silvikultur ...17

2.4. Pertumbuhan Tanaman ...24

2.5. Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur ...28

III. METODE PENELITIAN………. 35

3.1. Waktu dan Tempat...35

3.2. Metode Penelitian ...35

3.2.1. Rancangan Plot Penelitian ...35

3.2.2. Pengambilan Data Vegetasi...36

3.2.3. Pengambilan Data Pertumbuhan Tanaman...37

3.2.4. Pengambilan Data Tanah...37

3.2.5. Analisis Data Vegetasi...39

3.2.6. Distribusi Diameter Tegakan Tinggal ... 42

3.2.7. Pertumbuhan Tanaman ...42

3.2.8. Potensi Produksi Pada Beberapa Sistem Silvikultur ...43

3.2.9. Analisis Data Tanah...46

3.2.10 Pendugaan Nilai Tengah, Keragaman dan Uji Beda Nyata...46

3.2.11. Analisis Biplot ...47

3.2.12. Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Tinggi Tegakan Shorea leprosula ... 47

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

(18)

4.5. Iklim... 52

4.6. Kondisi Vegetasi Hutan... 53

4.7. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat... 54

4.8. Aksesibilitas... 54

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 57

5.1. PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula)... 57

5.1.1. Sejarah Pengelolaan Tanaman... 58

5.1.2. Pertumbuhan Diameter... 59

5.1.3. Pertumbuhan Tinggi... 62

5.1.4. Model Pertumbuhan Tanaman Meranti merah (Shorea leprosula)... 65

5.1.5. Prakiraan Potensi Tegakan... 68

5.1.6. Distribusi Pertumbuhan Diameter... 70

5.1.7. Persentase Tumbuh... 74

5.1.8. Luas Areal Efektif... 75

5.2. PERKEMBANGAN VEGETASI HUTAN ALAM... 76

5.2.1. Perkembangan Vegetasi Tingkat Semai... 77

5.2.2. Perkembangan Vegetasi Tingkat Pancang... 83

5.2.3. Perkembangan Vegetasi Tingkat Tiang... 88

5.2.4. Perkembangan Vegetasi Tingkat Pohon... 93

5.2.5. Kanekaragaman Jenis Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest... 98

5.2.6. Kesamaan Komunitas Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest... 100

5.2.7. Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem Silvikultur TPTII... 101

5.2.8. Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest... 103

5.2.9. Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Pohon... 105

5.2.10 Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI... 110

5.3. KARAKTERISTIK TANAH HUTAN PADA SISTEM SILVIKULTUR TPTII……… 117

5.3.1. Perubahan Kualitas Tanah dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII... 117

5.3.1.1. Perubahan Sifat Kimia Tanah... 118

5.3.1.2. Perubahan Sifat Fisik Tanah... 125

5.3.1.3. Perubahan Sifat Biologi Tanah... 131

5.3.2. Status Hara Tanah Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin Forest ... 132

5.3.3. Strategi Pemulihan Kualitas Tanah... 135

5.3.4. Sifat-sifat Tanah yang Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman ………. 140

(19)

5.3.5.2. Perbedaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan TPTI… 143 5.3.5.3. Perbedaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan Virgin

Forest ………. 143

5.3.5.4. Kesamaan Karakteristik Tanah antara TPTI dan Virgin Forest ………. 144

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 147

6.1. Kesimpulan... 147

6.2. Saran... 148

DAFTAR PUSTAKA 149

(20)

1. Luas Areal IUPHHK PT.Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas lereng... 2. Deskripsi Satuan Peta Tanah Yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT.Suka Jaya Makmur... 3. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan

Camp 128 Pada Bulan Desember 2004... 4. Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Sistem Silvikultur TPTII... 5. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada

Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII... 6. Prediksi Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) per

pohon Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII ... 7. Prediksi Potensi Produksi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula)

Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII... 8. Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest

Pada Tingkat Permudaan Semai... 9. Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest

Pada Tingkat Permudaan Pancang... 10. Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest

Pada Tingkat Permudaan Tiang... 11. Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest

Pada Tingkat Pohon... 12. Prediksi Potensi Produksi Pada Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI

Dalam Satuan m3/ha... 13. Perubahan Kandungan Hara Tanah Dalam Sistem Silvikultur TPTII... 14. Perubahan Beberapa Sifat Kimia Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII... 15. Perubahan Sifat Fisik Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur

50 51 52 60 64 67 69 106 108 109 110 113 119 124 127

(21)

TPTII... 17. Peubah Sifat-sifat Tanah dan Umur yang Teruji Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman Shorea leprosula Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII ...

(22)

1. Skema Kerangka Berpikir Penelitian Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII ... 2. Skema Pelaksanaan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia

Intensif (TPTII)... 3. Kurva Pertumbuhan Tanaman... 4. Bentuk Plot Contoh Pengamatan Vegetasi dan Pengambilan

Sampel Tanah ... 5. Peta Areal Kerja PT. Suka Jaya Makmur... 6. Grafik Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Merah (S.

leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII...

7. Grafik Pertumbuhan Tinggi Tanaman Meranti Merah (S.

leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII...

8. Model Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Penerapan Silvikultur TPTII... 9. Penyebaran Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Penerapan Silvikultur TPTII... 10. Persentase Tumbuh Tanaman S. leprosula Pada Jalur Tanam

Dalam Silvikultur TPTII... 11. Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin

forest...

12. Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 13. Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 14. Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Permudaan Tingkat Semai

Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI Dibandingkan Dengan Virgin forest...

15. Grafik Nilai Indeks Dominansi Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest...

8 17 24 36 49 62 64 66 72 75 77 80 81 82 83

(23)

17. Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 18. Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi

Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 19. Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi

Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 20. Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Pancang Pada

Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan Virgin forest... 21. Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Tiang Pada

Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 22. Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi

Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 23. Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 24. Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi

Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 25. Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan

Virgin forest...

26. Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest.... 27. Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 28. Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi

Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 29. Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi

Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTII dan Virgin forest...

30. Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan

85 86 87 88 89 90 91 91 92 93 94 95 96

(24)

Bekas Tebangan TPTII,TPTI dan Virgin forest... 32. Grafik Rata-rata Nilai Indeks Kesamaan Komunitas Pada Hutan

Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan Virgin

forest...

33. Struktur Tegakan Sisa Pada Hutan Bekas Tebangan Dengan Menerapkan Sistem Silvikultur TPTII Mengikuti Pola Sebaran Hutan Alam Berbentuk Kurva J Terbalik... 34. Perbandingan Kurva Struktur Hutan Bekas Tebangan Antara TPTII, TPTI dan Virgin forest, Semua Kurva Mengikuti Pola J Terbalik... 35. Grafik Prediksi Potensi Produksi Hutan Alam Produksi Dalam Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI... 36. Grafik perbandingan kandungan unsur Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha)... 37. Grafik perbandingan kandungan unsur Nitrogen (N) dan Pospor

(P) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha)... 38. Grafik perbandingan kandungan unsur Karbon (C) dan Kalium (K) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha... 39. Diagram Biplot Karakteristik Sifat Tanah Pada Hutan Produksi....

99 100 102 104 115 134 134 135 146

(25)

1. Penghitungan prediksi potensi tegakan pada penerapan berbagai sistem silvikultur... 2. Rekapitulasi perhitungan riap diameter Petak Ukur Permanen (PUP) PT. Sukajaya Makmur RKT 2005 Tahun Pengukuran 2005 dan 2006 .... 3. Hasil analisis regresi antara tinggi dan diameter pohon pada PUP di areal PT. Sukajaya Makmur... 4. Daftar nama jenis pohon yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sukajaya Makmur ... 5. Peta areal keja IUPHHK PT. Sukajaya Makmur ... 6. Hasil analisis regresi berganda antara tinggi pohon dan umur serta sifat-sifat tanah ... 7. Hasil uji beda nyata Tukey (uji T) pada beberapa sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII di PT. Sukajaya Makmur ... 8. Regresi diameter dengan umur pada tanaman Meranti merah (Shorea

leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII...

9. Regresi tinggi dan diameter pada tanaman Meranti merah (Shorea

leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII...

10. Hasil Uji T sifat-sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII dengan umur tanaman 1 sampai 5 tahun...

163 175 176 177 180 181 182 187 188 189

(26)

1.1. Latar Belakang

Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya dunia usaha di sektor kehutanan sebagai akibat besarnya dominasi pengusahaan hutan dalam bentuk konsesi HPH atau IUPHHK serta diperburuk lagi dengan praktek perambahan hutan, penebangan liar dan penyelundupan kayu. Keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dipertanyakan, masih bisakah sektor kehutanan bangkit kembali pada masa yang akan datang. Peran sektor kehutanan dalam pembangunan banyak dipertanyakan, utamanya yang terkait dengan pengelolaan hutan alam Indonesia dalam bentuk konsesi HPH (IUPHHK).

Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 menjadi penanda awal lahirnya pengelolaan hutan dalam bentuk konsesi HPH. Kebutuhan modal yang besar guna mengejar pertumbuhan ekonomi telah memalingkan penguasa Orde Baru ke arah sektor kehutanan sebagai sumber devisa. Pada awal tahun 1969 tercatat 53 unit konsesi HPH dan meningkat sampai 632 unit pada akhir tahun 1980-an dengan luas konsesi mencapai sekitar 64,3 juta ha. Pada masa tersebut merupakan era emas sektor kehutanan, devisa dari eksport produksi sektor kehutanan pada puncaknya mencapai USD 8 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Atas pencapaian tersebut sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah Migas. Setelah era tersebut sampailah pada masa keterpurukan. Pada tahun 2003 jumlah HPH yang beroperasi hanya tinggal 266 unit dengan luas konsesi tinggal 28,1 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa merosok tajam menjadi tinggal USD 1,5 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Kondisi tersebut berlanjut sampai saat ini, sektor kehutanan tidak lagi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap devisa nasional bahkan menjadi beban dan masalah bagi pembangunan nasional.

Dunia kehutanan memang terpuruk tetapi belum mati, oleh karena itu untuk memulai kembali kebangkitan kehutanan di Indonesia langkah pokok yang harus

(27)

dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan

mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, terutama pada hutan produksi sehingga pada hutan produksi tersebut tetap terjadi kelestarian fungsi produksi dan ekologi. Diperlukan redesign kelola produksi untuk membangkitkan kembali sektor kehutanan. Terkait kelola produksi dan peningkatan produktivitas perlu penelaahan kembali sistem-sistem silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia.

Sistem silvikultur memegang peranan sentral dalam pengelolaan hutan karena didalamnya terdapat pengaturan mengenai daur tebang, riap, tahapan kegiatan dari seluruh penebangan kayu sampai pada kegiatan penanaman pengayaan pada kawasan hutan bekas tebangan (Indrawan 2008). Kesalahan dalam penerapan sistem silvikultur akan berakibat pada kerusakan hutan.

Sistem silvikultur yang menjadi landasan praktek pengusahaan hutan alam tropis di luar Jawa adalah keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Dalam perjalanannya sistem silvikultur TPI disempurnakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Keputusan tersebut dioperasionalkan dengan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts-IV/BPHH/1989 tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Konsep sistem silvikultur TPTI yang semula diyakini mampu melestarikan sumberdaya hutan ternyata belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Salah satu fenomena utama yang mengemuka sebagai akibat kondisional di atas adalah menurunnya luas hutan alam yang dikelola dengan sistem tebang pilih dari 59,6 juta hektar (tahun 1990) menjadi 28,7 juta hektar (tahun 2007). Kondisi tersebut juga tercermin dari penurunan produktivitas kayu bulat dari 28 juta m3 menjadi hanya 9,1 juta m3. Riap tahunan juga menurun dengan rerata 0,46 m3/ha/tahun (Ditjen BPK 2010).

(28)

Dalam kondisi berat dan kompleknya problema kegiatan pengusahaan hutan tersebut, diperlukan sebuah terobosan solusi. Sebagai landasan utama aktivitas kelola hutan, maka sistem silvikultur merupakan salah satu kunci solusi. Diperlukan penyempurnaan sistem silvikultur yang mampu mengatasi berbagai problema akibat dinamika dan perubahan lingkungan strategis di berbagai tingkatan. Konfigurasi kawasan hutan alam produksi yang dewasa ini didominasi oleh hutan bekas tebangan atau logged over area (LoA) yang produktivitas dan potensi tegakannya cenderung menurun. Konsekwensi dari kondisi tersebut maka penerapan sistem silvikultur hutan alam harus memenuhi beberapa syarat yaitu: mampu meningkatkan produktivitas lahan, mendongkrak potensi dan riap tegakan, menjamin kepastian hukum tenurial dan keamanan berusaha serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Untuk menjawab tantangan permasalahan tersebut maka digagaslah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sebagai landasan hukum, telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BHPA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Sistem Silvikultur TPTI Intensif.

Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan suatu teknik silvikultur yang memadukan tindakan maupun prinsip-prinsip dasar silvikultur. Prinsip-prinsip tersebut adalah pemuliaan pohon, perbaikan tapak/tempat tumbuh dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit (Indrawan 2008). TPTII lebih dikenal dengan istilah Silvikultur intensif (SILIN) dipandang merupakan cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan yang secara intensif dilakukan untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang dikehendaki dan disesuaikan dengan lingkungan setempat, dengan harapan dapat menyempurnakan sistem silvikultur TPTI yang sudah selama 30 tahun diterapkan pada hutan alam di Indonesia. Sistem silvikultur TPTII berkembang sebagai salah satu upaya untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang semakin rusak.

Sistem silvikultur TPTII mampu mengatasi kelemahan sistem silvikultur TPTI dalam hal pengontrolan hasil penanaman, namun apakah sitem silvikultur tersebut mampu mengatasi kelemahan yang paling penting dalam pengelolaan hutan alam, yaitu meningkatkan produktifitas hutan. Untuk menjawab pertanyaan

(29)

tersebut sangat diperlukan agar kegagalan yang berujung pada deforestasi dan degradasi hutan tidak terulang kembali serta tercipta kepastian dan kegairahan usaha di bidang pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi hutan (IUPHHK/HPH) telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro maupun sifat tanah . Berbagai studi menunjukan adanya peningkatan kehilangan unsur hara sebagai akibat deforestasi . Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktifitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumber daya hutan di daerah tropis.

Menurut Wasis (2005), pengelolaan sumberdaya alam (hutan) akan lestari jika mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Sejalan dengan pendapat tersebut Lal (1995) mengemukakan pendapat, pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan unsur hara yang rendah karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari (Lal 1995). Dengan kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok (intrinsic part) yang mencakup kapasitas yang melekat pada sifat tanah tersebut untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek dinamik (dinamic part) yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah tersebut. ( Carter et al. 1997).

Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan , sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul kekhawatiran adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi. kedua hal tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus mendapat jawaban pasti.

(30)

Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem akibat penerapan sistem silvikultur TPTII maka diperlukan penelitian untuk melihat bagaimana kondisi kualitas tanah pada areal TPTII umur 0,1,2,3, 4, 5 tahun dan hutan alam primer sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah, indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur TPTII. Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam penelitian ini adalah meliputi sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi tanah. Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur vertikal dan horizontal pada plot yang sama.

Beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

a. Apakah pada areal hutan alam terjadi peningkatan produktivitas setelah dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.

b. Sejauh mana perkembangan tegakan sisa pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.

c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tegakan pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui perkembangan tegakan dan mengetahui produktivitas tegakan hutan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII, sedangkan tujuan khusus adalah :

a. Mengevaluasi pertumbuhan tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) pada jalur tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya.

b. Menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya.

c. Mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan.

(31)

1.4. Hipotesis

a. Sistem silvikultur TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan

b. Tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda dengan tegakan sebelumnya.

c. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK.

b. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan.

c. Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder diantaranya yaitu : pemegang IUPHHK, Kementrian Kehutanan RI, dan peneliti dalam menetapkan sistem silvikultur, seberapa besar pengaruh keterkaitannya.

d. Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai produktivitas lahan yang saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditingkat pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada IUPHHK.

e. Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Kementrian Kehutanan untuk pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi.

1.6. Kerangka Pemikiran

Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, multi fungsi (multiple functions), yaitu kayu dan jasa ekosistem (ecosystem services) sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Sebagai respon atas konsep tersebut, kebijakan pengelolaan hutan bekas tebangan mengalami modifikasi dari TPTI menjadi TPTI-Intensif. Secara umum, praktek tebang pilih menyebabkan perubahan baik pada vegetasi, iklim mikro maupun kondisi tanah. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut (tanah, iklim dan vegetasi) sangat menentukan produktivitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di daerah tropis. Dalam cakupan pengelolaan hutan alam poduksi aspek tanah dan vegetasi merupakan dua faktor utama yang menjadi pijakan penerapan silvikultur.

(32)

Pengelolaan sumberdaya hutan akan lestari jika tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman secara jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal yang cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam (Jalur Bersih). Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi secara spesifik keanekaragaman jenis, kemudian dipertanyakan.

Untuk memahami dan mengetahui produktivitas hutan akibat penerapan TPTII maka diperlukan suatu penelitian terhadap komponen ekosistem hutan, diantaranya adalah struktur dan komposisi tegakan sisa, pertumbuhan tanaman Meranti pada jalur tanam dan kondisi tempat tumbuh (site). Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat kecenderungan ketiga aspek tersebut pada areal IUPHHK yang menerapkan sistem silvikultur TPTII.

Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap komponen ekosistem hutan yang meliputi biodiversitas jenis vegetasi, pertumbuhan tanaman target dan kualitas tanah. Dengan demikian akan tersusun sebuah informasi dari pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap ekosistem hutan yang merupakan indikator penilaian produktivitas hutan.

(33)

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Penelitian Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur TPTII

(34)

2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia

Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap kegiatan penanaman/pengayaan (enrichment

planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi

tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008).

Menurut Nyland (2002) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1997) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sitem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending), dan pemanenan (Harvesting/removing).

Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all aged-stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting).

(35)

Menurut Manan (1976), sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun.

b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi , seperti sistem silvikultur THPA dan THPB.

Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari dua puluh tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mozaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multisistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya.

Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada satu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.

Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of

American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari

kegiatan pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural

system).

Tehnik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi , sosial, dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Tehnik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

(36)

a. Tehnik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), memanipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (intregated pest management). Tehnik

pengendalian ini diterapkan dalam sistem TPTI intensif.

b. Tehnik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis)

c. Tehnik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan

Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan.

Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan surat keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per hektar.

Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi diameter 25 cm sebanyak 25 pohon per hektar serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM.

Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasannya pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegiatan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).

(37)

Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pembinaan hutan.

Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil penanaman/pengayaan (Enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tengagara Barat dan

Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem

TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso et al. (2008) kelemahan sistem TPTI adalah:

a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh. b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu

35 tahun. Seharusnya siklus tebang ditentukan berdasarkan riap dan dinamika struktur tegakan hutan.

c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan di hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder.

Menurut Wahyono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal hutan yang potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3/ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3/ha/th (Ditjen BPK 2010).

Menurut Santosa et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUUPHK dengan

(38)

menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari.

Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008).

Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran hutan, perubahan akibat ekses ekonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif.

Menurut Suhendang (2008) paradigma baru pengelolaan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to natural forest). Menurut Mitlohner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis.

Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged

stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar

(rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) tehnik silvikultur tebang rumpang menunjukan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.

(39)

Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25-100 m . Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 453/Kpts-II/1997) yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5x25 meter.

Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukan hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1072/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali kepada sistem TPTI kecuali PT. Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT. Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999).

Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar dari perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan tehnik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, tehnik manipulasi lingkungan

(40)

dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.

2.2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m (Ditjen BPK 2005).

Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari tehnik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlohner 2009). Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah (Wahyudi 2009).

Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK termasuk di dalamnya PT. Sukajaya Makmur, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan surat keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007. Pedoman teknis sistem silvikultur TPTII mengacu kepada Keputusan Dirjen BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005.

Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon ditebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.

(41)

Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK 2005) adalah : a. Penataan areal (P-3)

b. Risalah hutan (P-3)

c. Pembukaan wilayah hutan (P-2) d. Pengadaan bibit (P-1)

e. Penyiapan lahan yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan Jalur Tanam (P-1)

f. Penanaman (P)

g. Pemeliharaan tanaman yang meliputi :

1) Penyiangan dan pemulsaan 1,II, III (P+1, P+2, P+3) 2) Penyulaman I dan II (P+0, P+1)

3) Pemupukan I dan II (P +0, P+1)

4) Pembebasan Vertikal I dan II (P+1 , P+3) h. Penjarangan I dan II (P+5 dan P+10) i. Perlindungan tanaman (terus menerus) j. Penelitian dan pengembangan

k. Pemanenan kayu (P+31)

Sistem TPTII ini merupakan sistem silvikultur yang dalam pengelolaan hutan alam dapat mengakomodasi beberapa tuntutan sekaligus, yaitu tuntutan terhadap peningkatan produktivitas (kayu), kepastian usaha, kepastian kawasan dan tuntutan sosial ekonomi masyarakat setempat (Soekotjo, 2005). Menurut Suparna (2005) sistem TPTII memiliki beberapa ciri-ciri mendasar, yaitu :

a. Diterapkan sistem Reduced Impact Logging (RIL).

b. Ruang tumbuh tegakan dibuka optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan limit diameter pohon yang ditebang sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan terakomodasi secara seimbang.

c. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan memasukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar Jalur Tanam 20-25 m.

d. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman.

(42)

Gambar 2. Skema pelaksanaan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intersif (TPTII)

Keterangan :

O : Titik tanam, jarak tanam dalam jalur 2,5 m dan jarak antar jalur 20 m

a – b : Jalur Tanam dan bebas naungan dengan lebar 3 m c – d : Jalur Antara dengan lebar 17 m

2.3. Perubahan Ekosistem Hutan Dalam Penerapan Sistem Silvikultur

Ekosistem adalah suatu sistem di alam yang terdiri dari komponen biotik (organisme) dan abiotik (non hayati) dimana terjadi interaksi antara kedua komponen tersebut. Pendekatan untuk mempelajari ekosistem dapat dilakukan melalui studi mekanistik (orientasi pada proses), empirik, struktur (komponen penyusun ekositem) dan fungsi (interaksi antara komponen penyusun). Studi tersebut dapat mencakup skala yang berbeda mulai dari tingkat plot sampai regional. Studi struktur dan fungsi ekosistem dalam rangka pengelolaan hutan sangat penting karena kontribusinya dalam memberikan pemahaman terhadap proses yang terjadi dari suatu perubahan baik yang diakibatkan oleh manusia atau alam (Anonimous 2004). Struktur ekosistem menggambarkan komponen-komponen penyusun ekosistem dalam berbagai sudut pandang atau dengan kata lain membahas apa yang berinteraksi, seperti komponen abiotik dan biotik, produsen dan konsumen, dan lain-lain, sedangkan fungsi ekosistem berhubungan

Jalur Tanam Jalur Tanam

a - b a - b

(43)

dengan interaksi dinamis antar komponen ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu untuk melihat bagaimana mereka berinteraksi.

Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas dalam ekosistem didefinisikan sebagai laju tahunan produktivitas primer bersih (net primery productivity=NPP) yaitu total kuantitas fotosintesis (gross primary

productivity = GPP) dikurangi respirasi (Bruenig 1996), sedangkan produktivitas

primer kotor (GPP) adalah total produksi primer yaitu jumlah energi cahaya yang dirubah menjadi energi kimia. Dengan kata lain produktivitas primer bersih (NPP) dialokasikan pada beberapa bagian pohon dan disimpan atau digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan.

Produktivitas suatu ekosistem bervariasi menurut tipe hutan, lanskap dan komposisi jenis (Perry 1994). Dua faktor utama yang menentukan perbedaan produktivitas menurut tipe hutan, yaitu energi matahari dan lama musim pertumbuhan. Perbedaan produktivitas juga ditentukan oleh lanskap seperti ketersediaan hara, air, suhu dan komposisi jenis. Ada saling keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi produktivitas suatu ekosistem, sebagai contoh suhu dan kelembaban berpengaruh secara langsung terhadap proses dekomposisi bahan organik yang penting perannya bagi suplai ketersediaan hara dalam suatu ekosistem. Demikian juga dengan komposisi jenis, makin beragam komposisi jenis suatu ekosistem maka makin optimal ekosistem tersebut dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah hilangnya hara dari suatu ekosistem, sehingga dalam hubungannya dengan produktivitas maka ekosistem tersebut lebih stabil.

Dipertahankannya stabilitas ekosistem hutan beserta komponen-komponennya dalam batas kapasitas produksi hutan optimum serta tidak terganggunya sistem ekologi merupakan sasaran yang harus dicapai guna kelestarian ekosistem hutan. Stabilitas ekosistem merupakan ukuran keseimbangan dinamis dalam suatu struktur ekosistem. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan.

(44)

Komponen stabilitas ekosistem meliputi :

a. Resistensi, menunjukan kemampuan suatu ekosistem untuk melanjutkan fungsinya untuk tetap stabil ketika terjadi adanya suatu gangguan.

b. Resiliensi, merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu ekosistem (Anonimous 2004), yaitu :

a. Frekwensi dan intensitas kerusakan ekosistem baik alami maupun yang diakibatkan oleh manusia

b. Keragaman species dan interaksi antar komponen ekositem c. Laju perubahan hara

Meskipun beberapa ahli ekologi setuju bahwa keragaman berperan penting terhadap laju proses ekosistem seperti laju dekomposisi dan produktivitas, namun data terkini hanya didasarkan pada prediksi dan argumen yang berlaku umum (Bengtsson et al. 2000). Sedikit penelitian yang mendukung pendapat di atas. Tilman et al. (1996) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan bahwa ada pengaruh positif antara keragaman dengan produktivitas, sementara Ruch dan Oesterheld (1997) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan yang sebaliknya. Kaitannya dengan penurunan keanekaragaman jenis terhadap suatu ekositem ternyata ada overlapping kondisi ekologi suatu spesies sehinga meskipun terjadi pengurangan terhadap keanekaragaman spesies maka stabilitas ekosistem tersebut masih tetap bertahan. Sementara itu ada pernyataan bahwa dengan makin meningkatnya keragaman spesies maka makin stabil suatu ekosistem (Anonimous 2003). Alasan yang dikemukakan adalah bahwa dengan adanya penambahan spesies pada suatu ekosistem maka fungsi ekositem tersebut akan meningkat sehingga menjadi lebih stabil.

Beberapa argumen menyatakan bahwa isu penebangan hutan mengundang kontraversi, pada satu sisi mengatakan bahwa kestabilan ekosistem hutan akan tetap terpelihara melalui pengelolaan yang tepat sementara pendapat lain justru mengkhawatirkan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan secara cepat setelah dilakukan pembukaan lahan hutan (Lal 1986). Salah satu akibat dari

(45)

penebangan hutan pada tingkat regional adalah terganggunya fungsi hidrologi yang ditandai oleh adanya perbedaan debit air yang mencolok antar musim, yaitu besarnya fluktuasi aliran sungai pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Dalam kondisi ekstrim apabila hutan dibuka pada areal yang lebih luas akan meningkatkan kemungkinan banjir. Pada tingkat lokal (site) dapat terjadi perubahan tingkat iklim mikro, kesuburan tanah dan vegetasi (Lal 1995).

Secara umum faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban udara mengalami perubahan akibat berkurangnya tutupan vegetasi. Permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga menyebabkan fluktuasi suhu dan kelembaban lebih besar. Kondisi ini mempercepat laju dekomposisi dan pelepasan hara (Vitousek 1981). Pelepasan Ammonium dari proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber N dalam tanah hutan, dan penyerapan ammonium dan nitrat oleh tanaman dan mikroba sebagai pengikat N yang sangat besar. Proses lainnya yaitu masukan yang berasal dari atmosfir, pencucian dan denitrifikasi juga merupakan tambahan dan pengurangan N tetapi umumnya sedikit sekali (<10%) dibanding proses mineralisasi tahunan. Intervensi manusia terhadap hutan termasuk penebangan hutan untuk peruntukan lain menyebabkan peningkatan mineralisasi N di dalam tanah hutan. Pada saat yang sama penyerapan N oleh tanaman menurun hingga 2 atau beberapa tahun setelah penebangan. Ammonium diperkirakan meningkat pada ekosistem yang terganggu (Vitoseuk dan Matson 1985).

Pembukaan lahan hutan atau pengurangan serapan N oleh pohon akan mengurangi juga kompetisi terhadap N dan akan menstimulasi produksi nitrat dan pencucian tetapi proses ini cenderung normal lagi ketika lahan mulai tertutup oleh vegetasi. Penebangan hutan menyebabkan sebagian besar N hasil mineralisasi (sekitar 85%) dioksidasi menjadi nitrit. N hasil mineralisasi dapat dikonversi menjadi nitrat jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Terdapat dua faktor utama yang mengendalikan laju nitrifikasi, yaitu keberadaan ammonium dan oksigen (Vitousek dan Matson 1985). Selanjutnya ditambahkan oleh Van Migroet dan Johnson (1993) bahwa laju nitrifikasi sangat berfluktuasi menurut besaran skala studi (regional, ekositem, atau tegakan hutan). Variabilitas tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan seperti suhu dan

(46)

kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N. Nitrat akan mengalami beberapa kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman (Robertson 1989). Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut (Vitousek dan Matson 1985).

Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah. Definisi degradasi bersifat subyektif (Lamb 1994), memiliki pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo (1994) memberikan illustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi (Lamb 1994).

Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada

(47)

berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekwensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan tersebut.

Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman (1992) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk maupun jasa. Katagori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan katagori kedua berhubungan dengan degradasi tanah insitu yang berupa degradasi kimia (penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara) dan atau fisika tanah (pemadatan tanah) (Barrow 1991; Oldeman 1992). Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian proses alami atau akibat dari intervensi manusia (Barrow 1991).

Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik di dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapsitas pegang air, ketersediaan hara tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas (0-30) kehilangan sekitar 20 – 60% dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami. Terjadinya penurunan karbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat.

Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi akibat penebangan hutan (Lal 1995) adalah :

Gambar

Gambar 1. Skema  Kerangka  Berpikir  Penelitian  Perkembangan  Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur TPTII
Gambar 4. Bentuk plot contoh pengamatan vegetasi dan  pengambilan  sampel tanah
Tabel  4. Pertumbuhan  diameter  tanaman S.  leprosula pada jalur  tanam  dalam sistem silvikultur TPTII.
Gambar  7. Grafik  pertumbuhan tinggi  tanaman S.  leprosula pada  jalur  tanam dalam sistem silvikultur TPTII
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil jerami kedua varietas tersebut nyata lebih tinggi pada perlakuan tanpa olah tanah dengan pemberian bahan organik, baik berupa jerami segar maupun pupuk kandang.

Berdasarkan pengertian–pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa biaya produksi merupakan biaya–biaya yang digunakan dalam proses produksi meliputi biaya bahan baku,

Penjawat awam kita perlu melaksanakan dasar program dan aktiviti yang telah direncanakan oleh pihak kerajaan yang memerintah dengan bersungguh-sungguh dan..

Bilamana salah satu Pihak memerlukan kerja sama pihak lain di luar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia dan Kementerian Perminyakan dan

Biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan terbitnya Keputusan ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Nomor: DIPA-083.01.1.017216/2017 tanggal 7

Jika tungku diberi beban dimana bagian panas total tersedia yang akan diambil oleh beban ternyata lebih kecil maka akan menghasilkan efisiensi yang rendah. Pembebanan berlebih dapat

Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Suni. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, kuesioner, dan dokumentasi. Sedangkan teknik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui saluran pemasaran tahu dan tempe, untuk mengetahui struktur pasar yang terjadi pada setiap saluran pemasaran tahu dan tempe,