BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis Paru (TB Paru) 2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang bersifat kronis
(menahun) dan sudah lama menjadi permasalahan kesehatan di dunia.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis yang dalam istilah Latin disebut Mycobacterium tuberculosis.
Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh ilmuan Jerman yang bernama
Robert Koch dan dipublikasikan kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret
1882. Penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan, akan tetapi kuman
tersebut ditularkan dari seseorang ke orang lain dan menyerang organ paru-paru
manusia (Aditama, 2002).
Secara umum, sifat kuman tuberkulosis memiliki ukuran panjang 1 – 10
dan lebar 0,2 – 0,6 dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak
meiliki selubung, tetapi memiliki lapisan luar yang tebal dan terdiri dari lipoid.
Bakteri ini memiliki sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pewarnaan dan
tidak akan luntur dengan bahan kimia apapun termasuk asam alkohol sehingga
sering disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik,
kuman ini juga tahan dalam keadaan kering dan bersifat dorman dan aerob.
Kuman ini akan mati pada pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan kadar
udara terutama ditempat yang lembab dan gelap, namun kuman tuberkulosis tidak
tahan terhadap sinar ultraviolet langsung ataupun aliran udara (Kunoli, 2013).
2.1.2 Cara Penularan
Sumber penularan penyakit adalah dari penderita TB Paru pada BTA (+).
Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif
tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh
karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc
dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien
TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nucle).
Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan
dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka
akan semakin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak telihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Kemenkes
2.1.3 Risiko Penularan TB Paru
Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Penderita TB paru dengan BTA (+) memberikan risiko penularan lebih besar dari
penderita TB paru dengan BTA (-). Risiko setiap tahunnya ditunjukkan dengan
(Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) yaitu proporsi penduduk yang
berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti diantara 1000
penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia
bervariasi antara 1 – 3 %. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi
tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2009).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
meningkatnya risiko penularan pasien TB Paru, antara lain :
- Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring).
- Terdapatnya batuk atau tenaga yang mendorong kuman tersebut keluar.
- Dahak BTA positif.
- Terdapatnya kavitas paru.
- Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin
(Kemenkes RI, 2012).
2.1.4 Gejala – Gejala TB Paru
Gejala TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala sistemik dan
gejala respiratorik (Aditama, 2002).
a. Gejala sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam tidak tinggi
selama lebih satu bulan, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
b. Sedangkan gejala repiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk.
Batuk bisa berlangsung secara terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Hal
ini terjadi apabila sudah melibatkan brochus. Gejala respiratorik lainnya adalah
batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa
dahak (sputum). Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk berdarah
disebabkan karena pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang
sudah lanjut. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak nafas dan apabila
pleura sudah terkena, maka disertai pula dengan rasa nyeri pada dada.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
2.2 Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) 2.2.1 Pengertian
Puskesmas menurut Kepmenkes RI No. 75 Tahun 2014 adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
2.2.2 Upaya Kesehatan Masyarakat
Upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas menurut
Kemenkes RI (2014), adalah :
1. Pelayanan promosi kesehatan.
2. Pelayanan kesehatan lingkungan.
3. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana.
4. Pelayanan gizi.
5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
2.3Program Penanggulangan TB Paru 2.3.1 Rencana Global Pengendalian TBC
STOP TB Par tnership (The Partnership) merupakan gerakan global yang
dimulai pada tahun 2000 dengan tujuan untuk mempercepat aksi sosial dan politik
dalam upaya menghentikan penyebaran TB paru di seluruh dunia. Visi The
Partnership adalah dunia bebas TBC. Visi ini akan dicapai melalui empat
misinya, yaitu :
1. Menjamin bahwa setiap penderita TBC mempunyai akses yang efektif
terhadap diagnosis, pengobatan dan penyembuhan.
2. Menghentikan penularan TBC.
3. Mengurangi ketidak adilan beban sosial dan ekonomi TBC.
4. Mengembangkan dan melaksanakan strategi preventif, diagnosis dan
pengobatan yang baru untuk menghentikan TBC.
Target yang ditetapkan The Partnership sebagai tonggak pencapaian
1. Pada tahun 2005, setidaknya 70% yang terinfeksi TBC dapat didiagnosis
dengan DOTS dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Persentase ini
selanjutnya dipertahankan atau ditingkatkan sampai dengan tahun 2015.
2. Beban global penyakit TBC (prevalensi dan kematian) pada tahun 2015 akan
berkurang 50% dari tahun 1990.
3. TBC bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat global pada tahun
2050.
Selain itu, The Partnership juga mempunyai komitmen untuk mencapai
target MDG yang relevan untuk TBC yaitu: “to have halted and begun to reverse
the incident of TB” pada tahun 2015. Dalam waktu 10 tahun, akan diterapkan
strategi ganda, yaitu akselerasi pengembangan dan penggunaan peralatan yang
lebih baik, dan pelaksanaan strategi baru WHO untuk mengendalikan TBC,
menggunakan DOTS dan ISTC.
Rencana Global 2006-2015 menerapkan enam elemen utama dalam
strategi baru WHO untuk menghentikan TBC. Strategi tersebut adalah :
1. Menerapkan dan memperkuat ekspansi DOTS yang berkualitas,
meningkatkan penemuan kasus dan angka kesembuhan melalui pendekatan
yang berfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat
menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang miskin
dan rentan.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan
cara memperluas kegiatan TB/HIV bersama, DOTS-Plus dan pendekatan lain
3. Memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan dengan
bekerjasama dengan program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya
dalam memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk melaksanakan
dan mengevaluasi hasilnya dan dalam menyampaikan dan mempelajari
pencapaian dalam program pengendalian TBC.
4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan, pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis
public-private mix (PPM) dengan menggunakan ISTC.
5. Melibatkan penderita TBC dan masyarakat agar memberikan kontribusi
dalam pelayanan yang efektif.
6. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian untuk obat, diagnosis dan
vaksin baru serta meningkatkan kinerja program (Depkes RI, 2006).
2.3.2 Program Nasional Penanggulangan TB Indonesia
Berdasarkan Kemenkes RI (2014), strategi nasional dalam
penanggulangan TB Paru di Indonesia antara lain :
a. Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”
b. Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat dan madani dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu
dan berkeadilan.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
c. Tujuan
Tujuan dalam pengendalian TB Paru adalah untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
d. Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN
2015-2019 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk
dari 297 menjadi 245, Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru BTA
(+) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Target utama pengendalian
TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat
dari hanya sekitar 1 - 2% per tahun menjadi 3 - 4% per tahun dan penurunan
angka mortalitas > 4 - 5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia
bisa mencapai target penurunan insidens sebesar 20% dan angka mortalitas
sebesar 25% dari angka insidens tahun 2015.
2.3.3 Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse)
Berdasarkan pendapat Permatasari (2005) Strategi DOTS merupakan
strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh
WHO sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Sebelum
pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB paru yang dapat
kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB paru BTA (+) yang
ditemukan.
Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek
dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk memfokuskan
perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan penderita dengan
pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus di observasi (observed)
dalam menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang
pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan (treatment) yang tertata dalam
sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup. Kemudian
setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek
(short course) standard yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus
ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan
tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama,
2002).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan penyakit TB (Kemenkes RI, 2014). Tujuan dari
pelaksanaan DOTS adalah untuk menjamin kesembuhan bagi penderita penyakit
TB paru, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (Sari,
2001). Strategi DOTS mempunyai lima komponen :
6. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB Nasional
Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis
adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik.
Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk
menjadikan tuberkulosis sebagai perioritas utama dalam program kesehatan.
Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat program nasional
yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk (guideline) yang
menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan dalam sistem kesehatan
umum yang ada, dan diperlukan dukungan pendanaan dalam hal sarana, prasarana
dan peralatan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan
program menjadi kegiatan nyata di masyarakat.
7. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk
penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan
strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi
baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan
pengobatannya. Pemeriksaan mikroskopis ini merupakan pendekatan penemuan
kasus secara pasif yang merupakan cara paling efektif dalam menemukan kasus
tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan
foto toraks, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di
8. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi
langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO)
Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika
menelan obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standar. Dalam aturan
pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 bulan dengan
menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat harus
berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus
lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis kepada seluruh pasien
tuberkulosis.
Pengawasan pengobatan secara langsung sangat penting selama tahap
pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat dimakan
dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat. Dengan pengawasan
pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan
kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan
masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan
memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan
pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan,
terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab
terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis.
9. Kesinambungan persediaan OAT
Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu,
adalah perencanaan dan pemeliharaan sediaan obat pada berbagai tingkat
daerah. Maka dari itu diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang
baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang
ditangani pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat sediaan
di masing-masing gudang yang ada, dan lain-lain.
10. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB Paru
Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi
kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar laboratorium
yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan
pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan. Setiap
pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita yang
telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten. Kemanapun pasien
ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan
pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (WHO, 1999).
2.4Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Menurut Kemenkes RI (2014), OAT yang digunakan dalam program
penanggulangan TB dengan DOTS terdiri dari :
1. Isoniasid / INH (H)
Isoniasid bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman
Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister)
yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan
sama unuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
3. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35
mg/kg BB.
4. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
30 mg/kg BB.
2.5Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja
mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya
efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi klinis pasien selama
masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera diketahui dan
ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara
mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek
samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada
petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu
melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengambil obat. Efek samping
yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu
pengobatannya.
Efek samping ringan OAT antara lain tidak nafsu makan, mual, sakit
perut, nyeri sendi, kesemutan seperti rasa terbakar di telapak kaki atau tangan,
warna kemerahan pada air seni (urine), dan mengalami flu sindrom (demam,
menggigil, lemas, sakit kepala, nyeri tulang). Sedangkan efek samping berat OAT
adalah bercak kemerahan kulit dengan atau tanpa rasa gatal, gangguan
pendengaran, gangguan keseimbangan, bingung, mual, muntah, gangguan
penglihatan, purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut, penurunan produksi urine.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan
sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara
mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan
sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping
2.6Tatalaksana Penderita TB Paru 2.6.1 Penemuan Penderita TB Paru
Penemuan pasien tuberkulosis bertujuan mendapatkan pasien TB dengan
melakukan kegiatan mulai dari penjaringan terhadap pasien TB, pemeriksaan fisik
dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta
tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya
pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap
fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melakukan
pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Menurut Depkes RI (2009),
penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka
penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke Unit Pelayanan
Kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara
aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat.
1. Strategi Penemuan Pasien TB
Strategi dalam menemukan penderita TB paru menurut Kemenkes RI
(2014), antara lain :
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampak TB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan dengan
dukungan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama
masyarakat.
d. Melibatkan semua fasilitas kesehatan untuk mempercepat penemuan dan
mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti
pada pasien dengan HIV, DM dan malnutrisi
2. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko
tinggi terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh dan lain-lain
3. Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB
4. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan dan gejala
yang sama dengan gejala TB.
2. Pemeriksaan Dahak (sputum)
a. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
- S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga
pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi
pada hari kedua.
- P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di fasyankes.
- S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misal :
- Pasien TB ekstra paru.
- Pasien TB anak.
- Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes
cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis
dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
kuman tuberkulosis terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan,
uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah
tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu / Quality Assurance (QA). Hal ini
dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi
OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi
OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas
kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi (Kemenkes RI, 2014).
2.6.2 Diagnosis TB Paru
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada
tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan
hasil pemeriksaan yang dilakukannya pada pasien itu. Kedua, hasil pemeriksaan
laboratorium untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan/atau basil
tuberkulosis secara pembiakan/kultur. Ketiga, hasil pemeriksaan rontgen dada
yang akan memperlihatkan gambaran paru orang yang diperiksanya. Selain ketiga
patokan utama ini kadang-kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari
hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan yang lain (Aditama, 1994).
a. Diagnosis TB Paru
- Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
pemeriksaan dahak sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
b. Diagnosis TB Ekstra Paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus)
pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan
sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang
kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi,
Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis TB paru
2.6.3 Klasifikasi Penyakit TB Paru
Untuk menentukan klasifikasi penyakit TB paru, ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014) :
a. Berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit
1. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
1. TB paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
(sewaktu-pagi-sewaktu) hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
2. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, ulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
- TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.
d. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pasien tuberkulosis berdasarkan hasil uji kepekaan dari Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dapat diklasifikasikan berupa :
- Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
- Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
- Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
- Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
- Resistan Rifa mpisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
2.6.4 Tipe Penderita TB Paru
Menurut Kemenkes RI (2014), klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu :
1. Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Pindahan (Transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.6.5 Pengobatan TB Paru
Menurut Kemenkes RI (2014), pengobatan TB adalah salah satu upaya
paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian akibat kuman
TB, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan angka penularan TB, dan
mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat. Pengobatan TB meliputi 2
tahapan, yaitu :
1. Tahap awal
Pada tahapan awal, pengobatan diberikan kepada pasien selama setiap hari
dengan maksud untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh dari kuman yang mungkin
sudah resisten pada semua pasien baru. Pada tahap ini obat harus diberikan
selama 2 bulan dengan pengawasan langsung oleh PMO. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyakit, daya penularan
sudah menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
2. Tahap Lanjutan
Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan hal yang penting untuk
membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh total dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
Pengobatan pada penderita TB dengan memadukan obat anti tuberkulosis
yang direkomendasihkan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) dalam Penanggulangan Nasional
Penanggulangan TB di Indonesia menurut Kemenkes RI (2014) dibagi menjadi
dua kategori, antara lain :
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan
Enthambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama
4 bulan (4H3R3).
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
c. Pasien TB ekstra paru
2. Kategori 2 : (2HRZES) / (HRZE) / 5(HRE)3
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan
sterptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E) setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin
diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Paduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam bentuk paket
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien dan paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Sedangkan paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Paduan OAT ini disediakan program DOTS untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan
dengan OAT-KDT sebelumnya (pengobatan ulang), seperti :
a. Pasien kambuh.
b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
2.6.6 Pengawasan Menelan Obat
Untuk menjamin keteraturan pengobatan maka diperlukan adanya
Pengawasan Minum Obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan
dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam meminum
obatnya secara teratur dan tuntas. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan,
misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain
lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal
dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya
atau anggota keluarga (Kemenkes RI, 2014).
Persyaratan PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien.
Adapun tugas PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah :
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana
pelayanan kesehatan.
2.6.7 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Paru
Menurut Kemenkes RI (2014), pemantauan kemajuan dan hasil
pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak
secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).
Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif.
Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila
tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan
ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.
Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk
memantau kemajuan hasil pengobatan :
1. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
- Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
- Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada
bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan)
2. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :
a. Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori
1) :
- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak
- Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT
tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap
positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.
- Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).
b. Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2) :
- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak
teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
- Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR (Multi drug
resistan).
- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR.
- Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT
tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang
dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan
ke 5).
- Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan.
- Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan
dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB
MDR.
- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR.
- Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori
1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab
belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2
dari awal.
- Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan
dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus
diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji
kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh
karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan,
pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Menurut Kemenkes RI (2014), dalam hasil pengobatan pasien TB dibagi 6
kriteria, antara lain :
1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada
akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
3. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.
4. Meninggal, yaitu pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
5. Putus berobat (loss to follow-up), yaitu pasien TB yang tidak memulai
pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih.
6. Tidak dievakuasi, yaitu pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah
(transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya
2.6.8 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita dalam melakukan pengobatan meliputi evaluasi klinik,
bakteriologik, radiologik, efek samping obat secara klinik, serta evaluasi peraturan
berobat (Aditama, 2002).
1. Evaluasi klinik
a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan.
b. Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit.
c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 bulan pengobatan)
a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
b. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
c. Bila ada fasilitas biakan maka dilakukan pemeriksaan biakan.
3. Evaluasi radiologik (0 - 2 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan
c. Pada akhir pengobatan
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek
samping obat sesuai pedoman.
5. Evalusi keteraturan berobat
a. Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut.
b. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.
2.7 Fokus Penelitian
Pada prinsipnya keberhasilan penatalaksanaan program pengobatan
tuberkulosis dengan strategi DOTS dapat diukur melalui indikator masukan
(input), proses (process), dan luaran (output). Oleh karena itu fokus penelitian
dapat disusun sebagai berikut :
Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian
sebagai berikut :
1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis paru dengan strategi
DOTS agar dapat berjalan dengan baik, meliputi : Komitmen politis, Tenaga
Kesehatan, Sarana dan Prasarana, Pendanaan.
a. Komitmen politis adalah keputusan pemerintah untuk menjadikan
tuberkulosis sebagai prioritas penting atau utama dalam program
kesehatannya, termasuk dukungan dana.
b. Tenaga kesehatan adalah petugas kesehatan yang terlibat dalam
penanggulangan TB Paru dan telah mendapatkan pelatihan dalam
penanggulangan tuberkulosis serta menerapkan strategi DOTS dalam
penatalaksanaan program pengobatan tuberkulosis paru meliputi dokter
puskesmas, petugas paru dan petugas laboratorium.
c. Sarana dan prasarana termasuk didalamnya yaitu : tersedianya OAT,
peralatan untuk pemeriksaan laboratorium (pot dahak, kaca sediaan, foto
toraks), formulir pencatatan dan pelaporan untuk menunjang keberhasilan
pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS.
d. Pendanaan adalah adanya materi dalam bentuk uang yang digunakan untuk
pelaksanaan penanggulangan TB Paru.
2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi : Diagnosis TB (penemuan
pasien), pengobatan TB Paru dengan pengawasan menelan obat, ketersediaan
OAT, pencatatan dan pelaporan untuk pemantauan serta hasil pengobatan TB.
3. Keluaran (output) adalah hasil dari suatu penatalaksanaan program
penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS, diharapkan cakupan
penemuan kasus meningkat serta semua penderita TB Paru dapat ditangani