BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Jo.
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak
Pidana Korupsi.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa
korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk pada
dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai
pegawai yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu
kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima
upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain yang pada
akhirnya kebiasaan tersebut akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat
merugikan keuangan negara.
Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi,
yaitu sebagai berikut :26
1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.
2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit
bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan
26
pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan
di jalan, pelabuhan dan sebagainya.
3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu
pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi
hanya dengan surat-surat keputusan saja.
4. Penyuapan, yaitu seseorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada
seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
5. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran
uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan
mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas
pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau
berhak bila dilakukan secara adil.
Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya 7 (tujuh) bentuk dan 30 jenis
perbuatan korupsi (diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi), mulai dari Pasal 2 sampai
Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut :27
1. Kerugian Keuangan / Perekonomian Negara
a. Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara.
2. Suap – Menyuap (sogokan atau pelicin)
27
a. Menyuap pegawai negeri (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena
jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima
hadiah yang berhubungan dengan jabatannya).
b. Menyuap hakim.
c. Menyuap advokat.
d. Hakim dan advokat menerima suap.
3. Penggelapan dalam Jabatan
a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan penggelapan.
b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.
c. Pegawai negeri merusak bukti (korupsi).
d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti.
e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti.
4. Pemerasan
5. Perbuatan Curang
a. Pemborong berbuat curang.
b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang.
c. Rekanan TNI/Polri berbuat curang.
d. Pengawas Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
e. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi
dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan
dalam perbuatan tindak pidana korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana tersebut rinciannya adalah sebagai
berikut:28
1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perkonomian negara,
2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
3. Pasal 5 Ayat (1) huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
4. Pasal 5 Ayat (1) huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
28
5. Pasal 5 Ayat (2) : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b,
6. Pasal 6 Ayat (1) huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
7. Pasal 6 Ayat (1) huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
8. Pasal 6 Ayat (2) : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
9. Pasal 7 Ayat (1) huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaaan perang;
10. Pasal 7 Ayat (1) huruf b : setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan
11. Pasal 7 Ayat (1) huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang;
12. Pasal 7 Ayat (1) huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.
13. Pasal 7 Ayat (2) : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c.
14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut
15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.
16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang bersangkutan,
yang dikuasai karena jabatannya;
17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut;
18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
21. Pasal 12 huruf b : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas
umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang;
26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kerugian keuangan negara;
a. Pasal 2
2. Suap – Menyuap;
a. Pasal 5 ayat (1) huruf a
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b
c. Pasal 5 ayat (2)
d. Pasal 6 ayat (1) huruf a
e. Pasal 6 ayat (1) huruf b
f. Pasal 6 ayat (2)
g. Pasal 11
h. Pasal 12 huruf a
i. Pasal 12 huruf b
j. Pasal 12 huruf c
k. Pasal 12 huruf d
l. Pasal 13
3. Penggelapan dalam jabatan;
a. Pasal 8
b. Pasal 9
c. Pasal 10 huruf a
d. Pasal 10 huruf b
e. Pasal 10 huruf c
4. Pemerasan;
a. Pasal 12 huruf e
b. Pasal 12 huruf f
5. Perbuatan curang;
a. Pasal 7 ayat (1) huruf a
b. Pasal 7 ayat (1) huruf b
c. Pasal 7 ayat (1) huruf c
d. Pasal 7 ayat (1) huruf d
e. Pasal 7 ayat (2)
f. Pasal 12 huruf h
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
a. Pasal 12 huruf i
7. Gratifikasi;
a. Pasal 12B Jo. Pasal 12C
Selain bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak
pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, terdapat tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 21, 22, 23 dan
24 Bab III Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
terdiri atas :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21)
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal
22 jo. Pasal 28)
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
(Pasal 22 jo. Pasal 35)
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36)
6. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31).
Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 bersifat lebih rinci
dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya,
berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maka
tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.
Secara leksikal, kata “ Pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata
majemuk “tanggungjawab” yang berarti keadaan wajub menanggung segala
sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap
sendiri dan orang lain. Selain itu, kata “tanggungjawab” merupakan kata benda
dasar, kata “tanggungjawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”
menjadi “pertanggungjwaban” yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau
suatu yang dipertanggungjawabkan.29
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana
(criminalliability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk
memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang
dirugikan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh,
menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum pidana.
Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan perbuatan pidana,
karena perbuatan pidana menentukan sejauh mana seseorang dapat dimintai
pertanggungjawabanya. Menurut Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhkan pidana) apabila kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana. Dengan demikian bahwa, pertanggungjawaban pidana
tergantung pada dilakukanya tindak pidana, dalam artian bahwa adanya unsur
kesalahan seperti melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu, baru seseorang itu
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.30
Menurut ajaran dualistis antara perbuatan pidana dengan
pertanggungjawaban pidana walaupun berkaitan erat haruslah dipisahkan karena
ajaran dualistis beranggapan bahwa unsur pembentuk pidana hanyalah perbuatan.
Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang
29
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta,Halaman 1139
30
padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya
sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan
sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan
lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.31 Oleh karena itu berdasarkan ajaran
dualistis tersebut maka antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban
pidana adalah berbeda namun berkaitan erat.
Pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana
membawa konsekuaensi bahwa belum tentu jika seseorang telah terbukti
melakukan perbuatan pidana, dapat dimintai pertanggungjawabanya karena bisa
saja orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggung
jawabannya misalnya karena orang tersebut gila, atau mungkin orang tersebut
dipaksa untuk melakukan perbuatan itu.
Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku
bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung
mempertanggung jawabkan perbuatannya, pertanggung jawaban dikenakan
kepada orang yang mewakilinya.32
Seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggung
jawabnya apabila orang tersebut telah memenuhi 3 elemen, antara lain:33
1. Kemampuan untuk bertanggungjawab;
2. Adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan, dimana
sikap batin ini melahirkan 2 bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan.
31
Ibid., hal.26 32
Hakim, Rahmat.Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung : CV. Pustaka Setia.2000. hal. 175-177
33
Dimana syarat kesengajaan adalah weten en wilen (mengetahui dan
menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian;
3. Tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis
besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana juga merupakan pertanggungjawaban orang
terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang
dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka,
terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi
terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah
melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu
tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut.34
Pada tindak pidana korupsi sendiri, subjek yang dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Noor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, yaitu sebagai berikut:
1. Korporasi
34
2. Pegawai Negeri, yang meliputi;
a. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Kepegawaian;
b. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan Negara atau Daerah;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi.
Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut maka dapat dilihat bahwa
pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi itu dapat dibebankan kepada
seseorang dan korporasi. Dimana jika seseorang yang melakukan tindak pidana
Korupsi maka pertanggungjawaban pidana dapat langsung dibebankan kepada
orang tersebut, asal saja orang tersebut telah memenuhi 3 elemen untuk
menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawabanya. Namun jika
Korporasi yang melakukan tindak pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 20
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pengurusnya saja, ataupun korporasinya saja, atau dapat juga
memberikan peluang alternatif pilihan kepada penuntut umum untuk memberikan
Dakwaan dan Tuntutan.35
C. Sanksi dalam Tindak Pidana Korupsi
Pemberian sanksi merupakan bentuk pertanggungjawaban yang
dibebankan kepada seseorang yang telah terbukti melakukan perbuatan pidana,
serta orang tersebut telah memenuhi 3 elemen penting agar seseorang itu dapat
dimintai pertanggung jawabanya. Dimana dengan diberikanya sanksi kepada
seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah bertujuan agar
seseorang itu dapat segera sadar dan insyaf atas kesalahan yang telah dilakukanya
dan tidak mengulangi kesalahanya lagi, selain itu juga pemberian sanksi ini
bertujuan juga memberikan pengajaran kepada masyarakat agar tidak melakuan
perbuatan yang sama dengan pelaku tindak pidana.
Pada tindak pidana korupsi sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana
korupsi adalah sebagai berikut:
1. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi:
a. Pidana mati
Pidana mati dapat diberikan kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
35
negara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 Undnag-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, yang dilakukan dalam keadaan tertentu seperti, pada saat
terjadi bencana alam, peperangan, kericuhan, dan lain sebagainya;
b. Pidana Penjara
1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. (Pasal 2)
2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Pasal 3)
3) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua
belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus
ratus juta rupiah) bagi setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi
atau menggagalkan langsung atau secara tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka
atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
4) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun atau paling lama 12 (dua
belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36.
c. Pidana tambahan
1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau
barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana
tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) Tahun;
4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat
5) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu
1 (satu) Bulan sesudah putusan pengadilanyang telah berkekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut;
6) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara
yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi, dan lamanya pidana tersebut sudah
diputuskan dalam pengadilan
2. Terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi
Terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi, bahwa
hukuman pokok yang relevan bagi korporasi adalah hukuman denda, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang
secara tegas mengatakan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya berupa pidana denda semata, dengan ketentuan bahwa maksimum
pidananya ditambah dengan 1/3 (sepertiga)-nya.36
36
Selain dapat dikenakan pidana pokok, terhadap korporasi juga dapat
dikenakan pidana tambahan sebagaimana yang daitur dalam Pasal 18 ayat 1
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang dapat berupa:37
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik tepidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1(satu) tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.
Mengenai pemberian sanksi pidana kepada korporasi, maka harus melalui
suatu prosedur sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 20 ayat 1 sampai
ayat (5) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, adalah sebagai berikut:38
1. Dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya;
37
Ibid.,hal.155
38
2. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama;
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut
dapat diwakilkan kepada orang lain;
4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan;
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
D. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak orde
lama pada tahun 1960 melalui dibentuknya Undang-undang Nomor 24 Tahun
1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan “Operasi Tertib” yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan Iptek, modus
operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-undang yang
diciptakan tersebut gagal dilaksanakan.
Pada masa reformasi, dibentuk Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan lebih efektif
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, dan Pada Tahun 2001
diadakan perubahan atas undang-undang ini dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk lebih menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dengan
membentuk suatu lembaga pemerintah yang independen dengan tugas dan
wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi/KPK.
Adapun agenda Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah :39
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
39
2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Adapun upaya pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu :
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan
penyelenggara negara;
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
3. Menyelenggaran program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang
pendidikan;
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi;
5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam pemberantasan
korupsi selama 10 Tahun teraskhir diantaranya yakni :
1. Meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)
Tahun 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.
2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi 2010-2025.
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011.
6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011.
7. Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang
Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014.
Selain Upaya dari Pemerintah, warga masyarakat juga diharapkan dapat
berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dalam
upaya pencegahan masyarakat diharapkan aktif mengikuti pendidikan antikorupsi,
membantu aparat hukum dan pemerintah dalam melakukan sosialisasi antikorupsi,
melakukan pengawasan terhadap kinerja terhadap aparat negara (pegawai negeri,
penyelenggara negara dan aparat hukum), serta mengawasi pelaksanaan proyek
pembangunan. Dan dalam pemberantasan, warga masyarakat dapat berperan
dengan melaporkan atau mengadukan dugaan terjadinya korupsi yang diketahui
atau dialaminya kepada penyidik kepolisian, kejaksaan atau KPK.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam pecegahan dan
pemberantasan korupsi juga diatur dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu :
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi.
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada
penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi.
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c,;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksaanan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peran serta warga masyarakat dalam upaya pecegahan, penindakan, dan
pengungkapan terjadinya korupsi sangat dibutuhkan, karena korupsi merupakan
kejahatan luar biasa yang membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Pencegahan, penindakan, dan pengungkapan perkara korupsi tidak
mungkin hanya dibebankan kepada aparat pelaksana hukum dan pemerintah saja,
harus ada partisipasi warga masyarakat dan semua pihak yang konsen terhadap
pemberantasan korupsi, karena menghambat pemenuhan kesejahteraan rakyat
dengan menyelewengkan uang negara.40
40