• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Struktur dan Makna Tari Barong Banjar pada Upacara Perkawinan Masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Struktur dan Makna Tari Barong Banjar pada Upacara Perkawinan Masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM SUKU BANJAR

KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT

2.1 Gambaran Umum Suku Banjar

2.1.1 Letak Geografis dan Kondisi Kabupaten Langkat

(2)

Desa Tanjung Ibus sebagai tempat penelitian, berada di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Kabupaten ini terletak pada koordinat 3º-14” sampai 4º-13” Lintang Utara serta 97º-52” sampai 98º-45” Bujur Timur dengan ketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo, sebelah Barat dengan Nanggroe Aceh Darussalam, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai.

Kabupaten Langkat memiliki keadaan alam yang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi. Keadaan alam yang bervariasi ini dimanfaatkan masyarakat dan pemerintah untuk mengelola lahan pertanian, perkebunan, serta pertambangan minyak bumi dan gas alam. Keadaan alam pegunungan, sungai-sungai, pantai-pantai, serta flora dan fauna yang berada di kabupaten ini menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan dari dalam dan luar negeri.

(3)

kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya berada di atas rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat. Kecamatan Secanggang dengan luas 243,78 km² memiliki tingkat kepadatan penduduk 6613 jiwa/km² sedangkan rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat adalah 300 jiwa/km².

(4)

Dilihat dari tabel di atas, terlihat bahwa suku Banjar menjadi suku mayoritas yang menghuni di hampir semua desa di Kecamatan Secanggang, serta desa Tanjung Ibus, menjadi salah satu desa dengan jumlah suku Banjar terbanyak. Daerah ini juga berada di sekitar pesisir pantai. Hal ini juga yang memungkinkan tersebarnya suku banjar, dikarenakan masuknya pendatang pada umumnya melalui laut.

2.1.2 Data kependudukan Desa Tanjung Ibus

(5)

Menurut Fauzi (2006: 62), migrasi besar-besaran orang Banjar ke Sumatera dan Malaysia terjadi tahun 1868 setelah terjadi Perang Banua Lawas di Kalimantan. Hal ini dibuktikan ketika orang Banjar secara resmi datang pada tahun 1900, mereka mendapati bahwa sudah ada suku Banjar yang mendiami daerah pesisir pantai Kabupaten Langkat. Oleh karena itu, suku Banjar menjadi penduduk mayoritas yang menghuni kabupaten di sepanjang Kabupaten Langkat. Di Kecamatan Secanggang yang terletak di pantai Selat Malaka, suku Banjar menjadi penduduk mayoritas, terutama di Desa Tanjung Ibus, Kebun Kelapa, Sungai Ular, Secanggang, Kepala Sungai, dan Selotong.

2.1.3 Mata pencaharian

(6)

masuk dan tidak bisa keluar lagi. Bentuk dari alat ini dan bentuknya bermacam-macam ada yang besar ada untuk menangkap ikan besar seperti ikan tauman, belida dan kalui. Bentuk yang kecil untuk menangkap ikan kecil seperti sepat siam, pupuyu dan kepar.

(7)

Foto 2.3 : Lunta/ jala untuk menangkap ikan (sumber : budaya-urangbanjar.blogspot.com)

Foto 2.4 : Bubu / lukah terbuat dari rotan, bentuknya bermacam – macam ada yang besar dan ada yang kecil sesuai ukuran ikan yang akan

(8)

Foto 2.5 : Pangilar, alat penangkap ikan sepat khas Banjar, tanpa umpan ikan secara berombongan masuk dan tidak bisa keluar lagi.(sumber :

budaya-urangbanjar.blogspot.com)

Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus terkenal pandai mengolah makanan dengan cara mengawetkan / mamaja. Ilmu memasak tradisional Suku Banjar masih melekat hingga saat ini, turun temurun dari leluhur yang dibawa dari tanah

kelahiran, karena “ ujar urang bahari”, semua kebaikan dan keburukan melalui

perut, jadi makanlah yang halal jangan yang haram, karena isi perut adalah segala-gala iman. Jadi memasak adalah unsur budaya yang sangat penting, sebab mempengaruhi harkat dan martabat seseorang. Makanan khas Banjar yang terkenal hingga kini di Kalimantan Selatan maupun di Desa tanjung Ibus adalah

Wadi‟ dan Mandai. Dua jenis kuliner menggiurkan yang tidak ada pada suku lain

manapun. Dua cara mengawetkan tersebut yaitu :

(9)

tidak mudah busuk. Ikan yang di proses seperti ini disebut Wadi`. Ikan olahan yang di fermentasi ini awet hingga satu tahun lamanya di dalam toples. Untuk mengkonsumsinya menjadi lauk, ikan wadi` harus di goreng terlebih dahulu, atau ditambahkan sedikit bawang. Untuk olahan lainnya, wadi` juga sangat enak dimasak dengan bungkusan daun pisang dipais/dipepes. Wadi` di Desa Tanjung Ibus merupakan makanan langka yang sangat diminati masyarakat di Desa Tanjung Ibus tersebut. Wadi bisa ditemukan ketika musim penghujan datang, dimana banyak terdapat ikan-ikan sawah untuk diolah menjadi wadi`.

Foto 2.6 : Cara mengawetkan ikan dengan digarami yang banyak agar ikan tidak busuk( sumber: archive.kaskus.co.id)

(10)

beserta bawang. Hanya sesederhana itu memasaknya, sangat enak jika disajikan dengan nasi panas.

Foto 2.7 : Ikan yang difermentasi (sumber: yusfasanti1712.bligspot.com)

Kadang-kadang dalam waktu-waktu tertentu mandai bisa menjadi sangat di favoritkan untuk dimakan mengalahkan daging sapi atau ayam atau ikan-ikan lainnya sebagai lauk.

(11)

Foto 2.8 : Bakul Pabarasan, bakul tempat Foto 2.9: Lanjung, keranjang yang di menyimpan beras, terbuat dari kulit Bamban. Gunakan untuk membawa

hasil pertanian, diletakkan dipunggung.

(sumber : www.rancahpost.co.id dan hasanzainuddin.wordpress.com)

Foto 2.10 : Seorang wanita / bibinik Banjar sedang menganyam tikar purun yang merupakan salah satu home industri Suku Banjar. (sumber :

www.fotografindo.com)

(12)

Kata kalimantan menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006) Kalimantan atau Klemantan berasal dari kata Sanksekerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal(a): musim, waktu dan manthan(a): membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan.

Diwilayah Serawak, bagian malaysia timur dikenal kata Lamantah yang artinya sagu mentah, yang pada zaman dahulu menjadi salah satu makanan pokok masyarakat setempat, dari kata lamantah itulah nanti menjadi kata „Kelamantan‟

yang dimaksudkan kepada penduduk setempat makanan pokoknya sagu.

Dari cerita masyarakat di Kalimantan selatan, khususnya suku Banjar,

mengenai kata „Kalimantan‟ berasal dari dua gabungan kata „Kali‟ dan „Mantan‟

disini untuk kata „kali‟ dapat diartikan dengan „Sungai‟ sedangkan „Mantan‟ adalah singkatan dari kata “Jumantan” atau kata lain dari “intan”, yang kalau

diterjemahkan kata Kalimantan berarti sungai yang banyak mengandung berbagai macam intan/berlian.

(13)

kedatangan orang Eropa ke Indonesia terutama di Kalimantan, Borneol merupakan salah satu sumber daya alam yang dicari bangsa Eropa di Kalimantan.

Selain itu kata Borneo juga menunjuk pada satu Kerajaan dipulau Utara Kalimantan yaitu Kerajaan Brunei Darussalam yang sering disinggahi pedagang Eropa pada masa kolonial, dimana Kerajaan Brunei pada saat itu merupakan sebuah Kerajaan yang paling menonjol dipulau Kalimantan sekitar abad ke 16. Karena kesulitan lidah orang Eropa menyebut kata Brunei akhirnya menjadi terbiasa dengan sebutan Borneo. Sekarang ini Kalimantan atau Borneo merupakan wilayah yanh dimiliki oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan juga Brunei Darussalam (maedafarhansyah07.blogspot.com buku syahrani)

2.2.1 Migrasi suku Banjar ke Sumatera Timur

Foto 2.11 : Migrasi besar-besaran suku Banjar ke Sumatera Timur (sumber: http://erwin-siregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html)

Pemadaman merupakan kosa kata bahasa banjar yang artinya sama

(14)

merantau atau melakukan migrasi terutama keluar Kalimantan Selatan. Sejak akhir abad ke-19 atau awal-awal abad ke-20banyak orang Banjar yang melakukan migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Sehingga tak mengherankan orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir, Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli Serdang , Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng, di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado, Gorontalo, Kendari, Makasar, Maluku, dan lain sebagainya. Atau di daerah-daerah yang menjadi bagian negara luar Indonesia, seperti Parit Buntar di Perak, Tanjung Karang di Selangor dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand.

Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di Nusantara. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka.

(15)

Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi kesana untuk membuka lahan dan membuat bangunan (L. Potter dalam Tundjung, 2008:6).

Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 116-118), fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan mereka, namun dikarenakan oleh faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain.

Bambang Purwanto dalam A. Muthalib (2008:24) menyatakan bahwa ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan semakin intensif, orang Bugis dan Banjar semakin banyak yang membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timurSumatera.

Terkait dengan latar belakang migrasi orang Banjar, maka selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan).

(16)

Orang Belanda (termasuk orang Eropa lainnya) sebagai kelas tertinggi, memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Pembangunan seperti di bidang pendidikan, tempat rekreasi, perumahan, bioskop, dan fasilitas penting lainnya adalah untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Eropa. Hanya orang kulit putih atau yang dipersamakan yang boleh memasuki fasilitas penting tersebut, sedangkan Bumiputera adakalanya dilarang masuk karena ada tanda-tanda tertentu bertulisan larangan, seperti: “Verboden toegang voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing” (Saleh, 1981-1982:37).

Perlakuan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dikenakan antara golongan pribumi dengan orang Eropa atau Timur Asing, melainkan juga antara golongan pribumi muslim dengan pribumi penganut agama Kristen. Pada tahun 1920-an, guru-guru agama, guru-guru sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dikenakan kewajiban oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan Ordonnantie Heeren Dienst yang menyangkut erakan atau kerja rodi, sedangkan guru-guru agama Kristen, Penyebar Injil, dan Kepala Jemaat, dan Guru-guru Sekolah Zending justru dibebaskan dari kewajiban itu.

(17)

Terhadap pribumi pemerintah Hindia Belanda mengenakan berbagai pungutan seperti Pajak Pencaharian, Pajak Tanah, Pajak Kepala, Pajak Erakan (uang kepala), Bea Masuk, Pajak Penyembelihan dan berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Selain itu, setiap orang, kecuali golongan pangreh praja, yang berumur antara 18-45 tahun dapat dikenakan kerja rodi (kerja erakan) yang sangat memberatkan rakyat yang kesemuanya untuk kepentingan Pemerintah HindiaBelanda.

Mengenai pajak erakan (uang kepala), misalnya: (1) Tiap 1 orang petani yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang ladang dalam setahun harus bayar pajak sawah-ladangnya, walaupun hasilnya sangat kurang. Sawah dikenakan wajib pungut sebesar “tujuh puluh lima sen” (f 0,75), dan pajak ladang wajib bayar “lima puluh sen” (f. 0,50); (2) Tiap 1 orang berusia lanjut 50 s.d. 55 tahun harus bayar wajib pajak kepala per tahun “lima puluh sen” (f. 0,50). Tiap 1 orang

dewasa (kawin/belum) umur 18 tahun ke atas harus bayar wajib pajak seperti tersebut di atas. Meski umur muda akan tetapi jika akan melaksanakan perkawinan, dia wajib kena pungut pajak kepala(Wajidi,2008:18).

(18)

eksodus ke pesisir Timur Sumatera seperti Kuala Tungkal, Sapat, Tembilahan. Sampai tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar di daerah Sapat dan Tembilahan mencapai 250.000 orang (Saleh et al,1978/1979: 51).

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ahmad Fauzi (2010:2) diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang dengan perincian kab. Langkat 70.000 orang, Deli Serdang 30.000 orang, Serdang Bedagai 50.000 orang, Asahan 20.000 orang, kabupaten/kota lainnya kurang lebih 10.000 orang.

Informasi lain sebagaimana disebutkan A. Muthalib (2008:26) bahwa orang Banjar yang telah bermukim di Indragiri Hilir pada tahun 1900 sekitar seribu jiwa. Lima belas tahun kemudian (1915) jumlah mereka meningkat drastis, yakni 18.798 jiwa. Pada akhir perang Dunia I atau dekade kedua abad ke-20, jumlah mereka diperkirakan 20 ribu jiwa. Selain ke pesisir Sumatera, puluhan ribu penduduk Hulu Sungai juga pergi untuk menetap di Melaka (Sjamsuddin, 2001: 9). Mungkin yang dimaksud Sjamsuddin di Malaya, bukan di Melaka. Kalau di Melaka tidak ada orang Banjar seramai itu, kerana Melaka bukan tumpuan migrasi orang Banjar.

(19)

37.484 orang. Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk Banjar di Malaya bertambah 7.503 orang menjadi 45.351 orang. Perak, Johor dan Selangor masih merupakan negeri di mana jumlah orang Banjar paling ramai. Dalam tiga negeri inilah tinggal 96% orang Banjar di Malaya.

Proses migrasi orang Banjar memang sudah terjadi pada abad ke-18 ketika Belanda melakukan campur tangan dalam perebutan tahta antara Pangeran Nata dan Pangeran Amir yang berujung kepada kekalahan Pangeran Amir dan akhirnya dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Untuk menghindari dari penangkapan dan hukuman dari pihak kolonial Belanda, maka pengikut Pangeran Amir melakukan eksodus ke berbagai tempat yang dirasa aman. Migrasi orang Banjar keluar Kalsel semakin banyak ketika terjadinya Perang Banjar yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun (1859-1906). Dan migrasi itu mencapai puncaknya pada dekade-dekade pertama abad ke-20, disaat Pemerintah Hindia Belanda telah semakin intens menancapkan kekuasaan dan menjalankan pemerintahan kolonial yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi.

(20)

dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau Jawa.

Ketika Islam berkembang pesat di Kesultanan Banjar yang mengharuskan penganutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah bagi yang mampu, maka kemampuan orang Banjar berlayar mengarungi samudera semakin terasah. Adalah hal biasa jika orang Banjar melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah dengan menaiki kapal layar sendiri pulang pergi selama setahun lamanya. Kemampuan memiliki, menguasai teknologi perkapalan dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar dari satu pulau ke pulau lain dan menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman untuk mencari tempat bermukim. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menumpang kapal uap milik maskapai Belanda yang hanya merapat di Bandar besar saja.

(21)

dikuasai orang-orang Cina yang telah lama mendapat perlakuan istimewa yang diterimanya dari pemerintah, di samping eksploitasi pemerintah kolonial sendiri di bidang ekonomi (Wajidi, 2007: 123).

Dengan semakin sedikitnya perahu-perahu Banjar yang melayari lautan, maka semakin jarang orang Banjar di perantauan atau sebaliknya untuk saling berkunjung. Akibatnya untuk waktu sekarang masing-masing pihak mengalami kesulitan untuk menelusuri kembali sanak keluarga keluarganya. Sebagian dari mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel, karena kerabatnya di banua masih dikenali. Namun tidak sedikit pula yang putus sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari Kalsel (seperti dari Barabai, Kandangan, Alabio, Nagara, Amuntai, Kelua), namun dimana atau di kampung apa padatuan mereka dahulunya berada mereka tidak mengetahuinya.

(22)

Di daerah Sumatera Timur ini suku Banjar mendapatkan daerah pertanian yang relatif lebih subur di pesisir pantai Kabupaten Asahan, Serdang Bedagai, Deli Serdang, dan Langkat tepatnya di Tanjung Ibus, Sungai Ular, Desa Kedbun Kelapa, Hamparan Perak, Pantai Cermin, dan Pantai Labu. Mereka mengolah persawahan untuk ditanami padi, berkebun kelapa dan lain-lain dengan membuka hutan-hutan disekitar daerah tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka pemerintah Belanda menjadi tukang-tukang pembuat bangsal (tempat pengasapan tembakau) sebagian lagi menjadi mandor-mandor perkebunan dan buruh-buruh non kontrak. Kedatangan masyarakat/orang Banjar pada periode tahun 1900 ini merupakan migran spontan setelah mendapat informasi dari saudara-saudara mereka yang datang pada periode pertama dan kedua, bahwa di Deli banyak lapangan untuk mencari nafkah.

Menurut cerita, sekelompok Suku Banjar yang datang dari Kalimantan melapor kepada Sultan Langkat, dan Sultan Langkat memberi mereka pemukiman di sekitar kecamatan Secanggang, hingga sekarang di desa kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat banyak bermukim suku Banjar. Diterimanya orang Banjar secara resmi oleh Sultan Langkat karena faktor kesamaan agama, dan orang Banjar terkenal sebagai penganut islam yang taat dan fanatik (https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis-banjar/)

(23)

Ketika orang Banjar meninggalkan kampung halamannya, mereka merupakan pengamal ajaran agama Islam yang taat, karena Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam yang menerapkan syariat Islam kepada rakyatnya.

Suku Banjar berprinsip, madam itu untuk mendapatkan ketenangan hidup lahir dan bathin. Mereka bertekad untuk hidup bersama dirantau dengan baik, yang didasari oleh kekuatan iman dan Islam. Prinsip keimanan Suku Banjar tersirat dalam sebuah filsafat : “ WAJA SAMPAI KAPUTING” yang artinya

Ibarat Sebatang Besi, dari pangkal sampai pucuk seluruhnya bagaikan Baja, yaitu prinsip hidup yang istiqomah, selagi hayat dikandung badan, dari lahir sampai meninggal dunia. Suku Banjar berprinsip bahwa alam yang terbentang luas ini merupakan ciptaan Allah untuk seluruh manusia, karenanya dimanapun kita berada, daerah tersebut merupakan milik bersama, harus dijadikan tempat tinggal yang aman dan nyaman (Fauzi,2006: 70).

Keberadaan Suku Banjar dalam kehidupan di tanah Deli dapat diidentifikasi dalam beberapa hal, diantaranya :

1. Dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan

Sejak zaman Kesultanan, masa merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan sampai sekarang Suku Banjar tetap aktif dalam setiap aspek perjuangan dan pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh Banjar berperan dalam masyarakat, dalam jabatan-jabatan formal dipemerintahan maupun non-formal dalam masyarakat di Tanah Deli.

(24)

Dalam bidang ini banyak orang Banjar yang menjadi tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru agama, Kepala-kepala KUA. Menurut pengamatan di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi guru agama, termasuk di perkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang Islam yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya guru agama.

3. Dalam bidang pendidikan

Di bidang pendidikan suku Banjar sudah mulai mengikuti perkembangan, jika dahulu orang Banjar hanya mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah agama saja, sekarang diantara anak-anak Banjar sudah banyak yang menuntut ilmu di sekolah umum dan kejuruan bahkan sudah banyak yang menjadi Tentara dan Polri. Tetapi masih ada Suku Banjar yang bersifat egois dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemajuan anak-anak mereka, salah satu contoh dalam bidang pendidikan banyak orang banjar yang tidak mau mengeluarkan dana untuk membiayai pendidikan anak-anaknya sehingga sangat sedikit putra-putri Banjar yang melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi.

(25)

kebudayaaannya sendiri baik dikarenakan factor akulturasi sehingga pada akhirnya melahirkan entitas – entitas baru yang merujuk identitas itu berdasarkan pada kewilayahan dan bahasa pergaulan sehingga menjadikan penduduk melayu borneo itu berumpun – rumpun bangsa yang beragam. Hal ini lah yang terjadi padabangsa banjar yang mendeklarasikan sebagai melayu – islam di abad 14 lewat momentum kebagkitan kesultanan banjar di selatan borneo dari sekumpulan peduduk asli yang mengikrarkan diri secara politik dan cultural menjadi bangsa dengan sebutan baru yaitu bangsa banjar. Melayu di tanah borneo mengembangkan tata adat dan budayanya sendiri yang menjunjung tinggi nilai – nilai islam sebagai sendi utamanya. Kerajaan- kerajaan di borneo rata-rata berbasis melayu – islam sebagai pijakan dasar / falsafah kerajaaan /kesultanan yang menghasilkan peradaban masyarakat melayu dengan ke khasannya tersendiri di kawasan tanah borneo. Jadi dalam konteks membangun peradaba adat melayu tidaklah bisa dipisahkan dengan nilai- nilai agama yang memang dalam sejarahnya sudah bersenyawa hingga menjadi tatanan peradaba adat melayu di tanah borneo .

Ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran

tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenekmoyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seributahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya.

(26)

pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satugelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak memeluk agama Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”. Memeluk Islam merupakan

kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri).

(27)

Koentjaraningrat (1996: 155): Akulturasi adalah suatu proses social yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsure-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ki dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Akulturasi dalam adat Perkawinan masyarakat banjar di Langkat, ada perpaduan kebudayaan dengan melayu, hal ini bisa dilihat dengan prosesi acaranya. Masyarakat melayu di Langkat dalam upacara perkawinan

menggunakan upacara “Tepung Tawar” yang merupakan kebudayaan melayu.

(28)

sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut). Orang yang hendak ditepungtawari biasanya didudukkan pada tempat khusus semacam peteraana. Di atas kedua pahanya diletakkan kain panjang untuk menjaga kemungkinan tidak kotor atau basah oleh air tepung tawar. Lalu, si penepung tawar mengambil sedikit-sedikit bahan-bahan tepung tawar.

Selain Tepung Tawar masyarakat melayu tersebut menggunakan “Bale -Bale “,. Balai dinamakan juga pulut balai bagi masyarakat Melayu sangat penting. Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan dan menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai. Balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang pengorbanan atau pun inti (kelapa parut dimasak dengan gula aren). Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai. Setelah itu balai diletakkan di tengah-tengah majelis sehingga memperindah pemandangan. Biasanya jika acara seremonial seperti perkawinan, bunga telur dibagi-bagi kepada undang yang hadir, bisanya peserta marhaban jika acara itu memanggil kelompok marhaban.

(29)

suatu tempat yang terbuat dari kayu memiliki kaki 4 buah dan tempat yang bertingkat-tingkat. di dalamnya ada pulut yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning, di atasnya ada ikan bakar/ayam bakar, pada pulut ditancapkan Merawal (bendera kertas) dan digantung telur ayam. Dipuncaknya ditancapkan Kepala Balai. Bale tadi diangkat dan diputarkan di atas kepala orang yang diupah-upah. Menyampaikan kata-kata upah-upah dan diakhiri dengan menyarungkan kain sarung.

Meskipun mengadopsi upacara dari kebudayaan melayu masyarakat Banjar tidak menghilangkan kebudayaan mereka sendiri yakni dalam prosesi acara pernikahan masih menggunakan upacara Siraman, Pecah Telur dan lainnya. Demikian juga dengan penggunaan bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa Banjar mempunyai hubungan dengan bahasa Kedayan (Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan sering pula disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh pendatang.

(30)

rumah suku Banjar. Rumah yang dijadikan rumah adat Banjar adalah rumah bubungan tinggi/rumah panggung dan sama-sama memiliki atap dengan daun nipah yang banyak terdapat di rawa-rawa. Atap daun nipah ini memberi kesejukan dibawahnya meskipun cuaca sedang sangat terik dan panas.

Untuk mata pencaharian suku Banjar dan melayu di Langkat, memiliki kesamaan dan beragam profesi, tetapi sebagian besar hidup sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi,ubi, jagung, dan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Di daerah pesisir biasanya menjadi nelayan. Di luar itu mereka memilih sebagai pedagang, nelayan, sektor pemerintahan dan sektor swasta. Di sisi lain beberapa dari mereka menjadi buruh di perkebunan dan lain-lain.

Sistem ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan terpadu yang tersusun secara sistematis sehingga membentuk prinsip metode rasional untuk tujuan tertentu. Ciri khas sistem ilmu pengetahuan banjar dan melayu, berkembangnya pendidikan tradisional, utamanya pendidikan agama islam yang

dikenal sebagai „pengajian‟. Pelajaran yang di berikan oleh tuan guru dalam

pengajian adalah tauhid, fiqih dan ilmu tasawuf.

(31)

2.3 Sistem Kepercayaan Suku Banjar

2.3.1 Agama pada Suku Banjar

Masukknya agama islam : perang banjar pertama adalah perang antara pangeran tumenggung dengan keponakannya pangeran samudra. Perang ini merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar yang akhirnya menyerat rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal abad 16. Kekuatan besar pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut. Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan dari sultan suriansyah melalui kekuasaaanya.

(32)

Kerajaan Banjar yang beragama Islam. Menurut Anwar (2004: 27), Kerajaan Banjar yang berpusat di Banjar Masin dan Martapura adalah kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam. Sejak saat itu, orang Banjar menyatakan diri Islam dan menerapkan kesenian bercorak Islam dalam kehidupannya, baik di Kalimantan Selatan maupun di daerah perantauannya.

Masyarakat yang mendiami kab. Langkat pada umumnya menganut agama Islam yang juga menjadi salah satu ciri dari suku Melayu yaitu Agama Islam. Menurut Wilkinson dalam Takari dan Dewi (2008: 46), “Seorang Melayu adalah beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam.” Ciri kemelayuan

yang identik dengan Islam ini masih dipertahankan hingga sekarang. Oleh karena itu, Kabupaten Langkat masih dipandang sebagai daerah Melayu karena mayoritas penduduknya beragama Islam (90%). Penduduk yang lain beragama Kristen Protestan (7,56%), Kristen Katholik (1,06%), Buddha (0,95%), Hindu (0,09%), dan lainnya (0,34%).

Di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi guru agama, termasuk diperkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang islam yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya guru agama.

Dalam bidang seni baca Al Qur‟an banyak pula putera-puteri Banjar yang menjadi

(33)

tahunnya diperkirakan lebih dari 15% dari jemaah hajinya adalah suku banjar. Aktifitas keagamaan di desa-desa yang penduduknya Suku Banjar dapat pula dilihat dari banyaknya Masjid-masjid dan Musholla, pengajian-pengajian, perwiritan-perwiritan dan madrasah-madrasah, juga seni yang bernafaskan Islam. Di setiap desa minimal terdapat satu buah masjid dan di dusun-dusun terdapat pula Musholla-musholla, demikian juga hampir setiap desa terdapat Madrasah baik Diniyah, TPA dan lain-lain. Pengajian perwiritan baik laki-laki maupun perempuan selalu mewarnai kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, kesenian yang dilestarikan adalah kesenian yang Islami, seperti Madihin dan Barong Banjar. Madihin adalah syair yang dinyanyikan dengan iringan gendang yang menceritakan suka dan duka orang Banjar dan dipertunjukkan oleh pamadihin sewaktu acara perkawinan, terutama keluarga pemuka adat Banjar. Sebaliknya, Barong Banjar adalah tarian yang dipertunjukkan oleh orang Banjar yang telah turun temurun mengikuti acara adat Banjar dalam menyambut bulan Muharram dan perkawinan adat Banjar yang dilaksanakan oleh keluarga raja atau pemuka adat Banjar.

2.3.2 Kerajaan Banjar dan Hukum Islam

(34)

samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut. Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan

darisultansuriansyahmelaluikekuasaaanya. Hukum islam bersifat universal bahkan merupakan hukum yang sangat

konstekstual, dimana hukum Islam tidak terikat waktu dan tempat, yaitu dapat berlaku dimana saja dibelahan bumi ini, kapan saja dan dalam situasi bagaimanapun karena berdasarkan Al Qur‟an dan sunnah Rasulullah.

Sebelum Kerajaan Banjar terbentuk, Islam telah lama masuk kedaerah ini, artinya telah terbentuk masyarakat Islam di daerah-daerah Kalimantan Selatan termasuk disekitar Kerajaan. Oleh karena itu ketika dilaksanakan penerapan hukum Islam di Kerajaan sebelumnya beragama Hindu, maka tidak menimbulkan keresahan sosial.

(35)

Syamsuddin Al Banjari yang menulis buku “ Asal Kejadian Nur Muhammad

“ sebuah kita kajian Tasauf. Sementara kitab fiqih yang dipedomani masyarakat

pada waktu itu adalah kitab Shirathol Mustaqim karangan ulama besar dari Aceh Nuruddin Ar Raniri. Karena banyak yang memakai bahasa Aceh, orang Banjar kurang mengerti tetapi ini menandakan bahwa hubungan Kerajaan Banjar dengan Kerajaan Aceh sudah cukup baik.

Pada abad 18 dan 19 perkembangan hukum Islam sangat pesat karena peran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang mampu mengintensifkan dakwah dan membina kader-kader ulama. Dakwah yang dilaksanakan Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya melalui lisan, tetapi juga dakwah bil hal dan dakwah bil kitab. Beberapa kitab beliau dalam bidang fiqih ditulis dalam bahasa Melayu dan Banjar. Tulisan-tulisan beliau yang terkenal diantaranya Kitab Parukunan Besar, Fathul Jawad, Luatalul Ajlam, Kitabun Nikah, Kitab Faraid, dan yang paling populer sampai saat ini adalah Kitab Sabilal Muhtadin. Kitab-kitab tersebut telah disinggung dalam riwayat singkat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

(36)

Sultan Adam benar-benar memberi nuansa demokratis berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah, apakah dalam masalah tanah, jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Misalnya tanah baik yang subur maupun yang tidak subur dikuasai oleh Kerajaan, tetapi siapapun yang menggarap tidak boleh ada orang yang melarangnya kecuali ada bukti tanah tersebut sedang digarap, dan siapa saja yang menggarap ialah yang memilikinya.

Sultan Adam memerintah Kerajaan Banjar tahun 1825-1857, beliau merupakan seorang Sultan yang sangat taat dan keras dalam menjalankan hukum Islam, dan termasuk seorang Sultan yang sangat serius memperhatikan perkembangan Islam. Ketika masih muda Sultan Adam banyak belajar kepada anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Mufti Haji Jamaluddin.

Menurut sejarah, naskah asli Undang-Undang Sultan Adam ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Arab Melayu, dan oleh para peneliti sejarah naskah ditulis dengan huruf latin bahasa Melayu Banjar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda tahun 1917.

2.4 Kebudayaan Dalam Suku Banjar

2.4.1 Kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dan Sumatera

Utara

(37)

kesenian. Beberapa kreasi-kreasi seni yang masih ada di Kalimantan Selatan diantaranya :

1. Bakisah, yaitu seni tutur tanpa tabuhan (musik). Seorang tukang kisah bercerita seorang diri yang kadang-kadang disertai dengan gerakan tubuh untuk menguatkan alur cerita.

2. Wayang Banjar, ini tidak berbeda dengan wayang daerah lain, khususnya wayang Jawa. Tetapi ada beberapa ciri khas dari Wayang Banjar diantaranya :

- Penonton berada di depan layar, yaitu dibagian bayang-bayang - Irama gamelan lebih khas dan dinamis

- Dalang tidak hanya sebagai penyampai cerita, membawakan dialog-dialog, tetapi juga menyinden dan mengatur gamelan

3. Hadrah, adalah jenis kesenian bernuansa Islam yang dulunya berhubungan dengan penyebaran agama Islam sehingga lagu-lagu yang dibawakan juga adalahlagu-lagu pujian kepada Allah dan Nabi dalam bahasa Arab. Kesenian ini dilengkapi dengan alat-alat musik (gamelan) yang ditabuh oleh 5 sampai 7 orang.

(38)

5. Lamut, juga suatu olah vokal dengan iringan tetabuhan oleh pembawa cerita secara solo (seorang).

Jenis kesenian yang terakhir sudah sangat jarang ditampilkan, karena sudah sangat sedikit seniman yang mengusainya, disamping itu kurangnya minat generasi muda yang menyaksikannya. Begitu juga kesenian Banjar di Sumatera Utara, terutama di Langkat. Seni budaya Banjar sudah sangat langka didapati di Langkat, wayang banjar boleh dikatakan tidak ada lagi. Di beberapa daerah silat Banjar masih dikembangkan tetapi juga langka. Sampai tahun 70-an di Suku Banjar Langkat masih banyak didapati pelaksanaan kegiatan adat terutama pada saat pesta perkawinan, diantaranya acara Batamat yaitu acara khatam Al Qur‟an yang dilakukan oleh pengantin. Pada saat itu terlihat acara unik bagacak hintaluk (rebutan telur). Ketika tiba pada saat membaca surat alfiil (Alam Tarakaifa). Kemudian pada saat pengantin sedang batatai (bersanding) dilakukan acara basilat (bersilat) dihadapan pengantin.

Selanjutnya acara beridang, yaitu acara makan dengan cara duduk diatas tikar secara bersama-sama, dan biasanya dilaksanakan pada sekitar pukul 9 pagi, seluruh yang hadir termasuk anak-anak disuruh makan. Sehari sebelum acara nikah dan bersanding disebut hari bamula, dimana para keluarga dan tetangga melakukan persiapan dengan mengerjakan bahan-bahan yang akan dimasak untuk hidangan pada hari pernikahan tersebut. Saudara-saudara, keluarga da tetangga membawa beras, ayam dan bahan-bahan yang akan diolah pada hari tersebut.

(39)

baapi-api, juga diadakan suatu acara dimana keluarga pengantin laki-laki

menyediakan hahadap yang diserahkan pada pihak pengantin perempuan. Bahadap tersebut berisi bibit kelapa (paung niur), kelapa,pisang, ayam, beras,

beras pulut, kayu bakar, garam dan bahan-bahan bumbu masak lainnya.

Di beberapa daerah orang Banjar di Secanggang masih ada kebiasaan tulak bala bahuma, yaitu setelah menanam padi di sawah (batanjang) masyarakat

membaca yasin di Musholla atau Masjid dan membawa ketupat untuk dimakan bersama. Mereka berdoa agar tanaman padi yang baru ditanam tidak diganggu hama, bencana dan lain-lain. Demikian juga ada acara tepung tawar paung banih (bibit padi) sebelum di taradak (disemai). Tepung tawar tersebut adalah memercikkan air yang telah dibacakan surat yasin kebibit padi yang akan disemai. Dahulu acara mengilas (merontokkan padi dari tangkainya) yang disebut bairik benih, merupakan acara yang sangat mengasyikkan, biasanya mengilas padi

dilakukan secara bergotong-royong. Pada saat bairik banih tersebut sering diadakan acara baahui, yaitu acara berbalas pantun. Tuan rumah menyediakan makan dan snack yang terbuat dari beras ketan (pulut).

Beberapa bait pantun baahui adalah :

U uma si diang (Alangkah enak si perempuan)

Manggantung kalambu salagi siang (Menggantung kelambu selagi siang)

Malam naya kita bawayang (Nanti malam kita berwayang)

Abah si utuh jadi dadalang (Si suami jadi dalang)

Ahuy ahuy aahuy... (Ahuy ahuy aahuy...)

(40)

Banyaknya orang urang tulak kahulu (Banyaknya orang pergi kehulu) Tulak kahulu manabang gatah (Pergi ke hulu memotong getah)

Nyamannya urang babini balu (Enaknya orang mendapat janda)

Hanyar kawin sudah barumah (Baru menikah sudah berumah)

Ahuy ahuy aahuy.... (Ahuy ahuy aahuy...) .

Setelah dibersihkan dan dijemur, padi dimasukkan ke dalam lulung atau kindai, yaitu tempat penyimpanan padi yang terbuat dari tepas atau papan

berbentuk bulat atau segi empat. Perbedaan kindai dengan lulung dapat dilihat dari kapasitas muatnya. Lulung dapat menyimpan padi antara 1 ½ sampai 2 ton, biasanyadibuat dari tepas berbentuk bulat, sementara kindai berkapasitas lebih dari 2 ton, terbuat dari papan berbentuk segi empat. Untuk mengangkat hasil pertanian orang Banjar sering menggunakan lanjung, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan yang diletakkan dipunggung dan talinya tertumpu diatas bahu.

Saat ini kindai, lulung dan lanjung sudah sulit didapat dirumah-rumah orang Banjar, mungkin karena dianggap kurang praktis jika dibanding dengan goni dan sebagainya.

(41)

2.4.2 Sistem kekerabatan

Suku Banjar menganut sistem kekerabatan bilateral, yakni menurut garis ayah dan ibu. Untuk menentukan kelompok kekerabatannya, biasanya dilihat dari garis keturunan darah. Misalnya, garis kekerabatan dengan mengambil seorang tokoh atau satu keluarga atau nenek moyang tertentu sebagai pangkal keturunan. Akan tetapi, di dalam kenyataan hidup bermasyarakat, garis ayah lebih dominan karena ayah berperan dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh ibu, seperti menjadi wali anak yang menikah atau menjadi imam dalam sholat berjamaah sesuai dengan hukum Islam yang dianutnya.

Di dalam kehidupan sehari-hari, orang Banjar mengenal tiga kelompok kekerabatan, yaitu mamarina, dangsanak, dan kamanakan. Mamaria adalah kelompok saudara ayah/ibu, dangsanak adalah kelompok saudara kandung, dan kamanakan adalah anak-anak dari abang/adik kandung. Di samping itu, terdapat istilah minantu (menantu), mintuha (mertua), dan pawarangan (besan).

Secara hierarkis, orang Banjar memiliki cara memanggil diri dan antar sesama dengan panggilgan tertentu. Untuk menyebut diri sendiri digunakan istilah ulun yang berarti aku atau saya sedangkan untuk istilah kamu digunakan kata

ikam atau kawu. Penyebutan nama diri dalam sistem kekerabatan suku Banjar

(42)

orang yang hubungan keluarga di bawah ulun disebut utuh (anak laki-laki), diang atau galuh/aluh (anak perempuan), cucu (anak dari anak), buyut (anak dari cucu),

intah (anak dari buyut).

Di samping itu, terdapat istilah kekerabatan untuk kelompok mamaria atau saudara ayah/ibu. Istilah kekerabatan itu adalah julak (saudara ayah/ibu yang paling tua), gulu‟ (saudara ayah/ibu yang nomor dua), angah atau tangah (saudara ayah/ibu yang pertengahan), dan busu (saudara ayah/ibu yang termuda). Penggunaan istilah kekerabatan itu dapat diganti dengan istilah pakacil (paman) dan makacil (bibi). Akan tetapi, untuk saudara ayah/ibu yang lebih tua digunakan panggilan patuha/matuha.

Adanya peristilahan yang muncul dari hubungan perkawinan dalam sistem kekerabatan suku bangsa Banjar maka orang Banjar tidak boleh menyebut nama kepada orang yang status keluarganya lebih tinggi daripadanya. Dengan kata lain, orang yang lebih muda tidak boleh memanggil orang yang lebih tua dengan memanggil nama. Orang yang lebih tua sering digunakan kata (andika atau pian sampian).

2.4.3. Bahasa Banjar

2.4.3.1 Eksistensi bahasa Banjar

(43)

dengan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu. Kedua, sejak masa Sultan Suriansyah pada abad ke – 16, penyebaran agama Islam disebarluaskan (didakwahkan) dengan bahasa Banjar, dan hingga sekarang kondisi ini masih tetap berjalan terutama di pedesaan-pedesaan Kalimantan Selatan. Dalam kehidupan sejarah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari diungkapkan bahwa buku-buku agama diterjemahkan dan ditulis beliau dalam bahasa Banjar, artinya bahasa Banjar tidak hanya sebagai sarana komunikasi tetapi juga digunakan sebagai sarana dakwah. Ketiga, bahasa banjar sudah cukup lama digunakan sebagai bahasa pergaulan, tidak hanya di Kalimantan tetapi di Tembilahan Riau juga ada dan dijadikan bahasa sehari-hari padahal penduduk disana bermacam-macam suku bangsa.

2.4.3.2 Dialektika bahasa Banjar

Menurut Oemar Dahlan dalam (fauzi,2006: 20), menjelaskan bahwa orang-orang yang berasal dari daerah lain yang pernah menetap beberapa tahun di Kalimantan Selatan, meskipun tidak mempelajarinya secara khusus kebanyakan mengerti bahasa Banjar, setidaknya secara pasif. Sangat banyak kata dalam bahasa banjar yang mirip dengan kata Melayu.

(44)

tulung, merdeka diucapkan mardika, mobil diucapkan mubil, heran diucapkan hiran, dan sebagainya.

Selain itu, ada beberapa kata yang dalam pengucapannya kurang hurufnya menurut ucapan dalam bahasa Indonesia, misalnya takajut yang menurut bahasa Indonesia terkejut, bajalan yang dalam bahasa Indonesia diucapkan berjalan.

Dalam bahasa Banjar apabila suatu kata benda, huruf akhirnya hidup (vokal) terutama huruf tersebut diakhir kalimat, maka sering ditambah bunyi huruf hamzah dalam mengucapkannya, misalnya kuda pengucapannya kuda‟, bini pengucapannya bini‟, banyu pengucapannya banyu‟, dan sebagainya.

2.4.4 Rumah adat Banjar

2.4.4.1 Bentuk rumah adat Banjar

Seperti halnya suku bangsa lainnya di Indonesia, suku Banjar juga mempunyai bentuk rumah adat sendiri yang spesifikasi dan konstruksi bangunannya memiliki filosofis dan historis. Ada 11 macam (tipe) rumah adat Banjar yang masing-masing juga memiliki konstruksi yang khas. Sebelas macam rumah adat Banjar tersebut adalah :

(45)

2. GAJAH BALIKU, merupakan bangunan tempat tinggal bagi para saudara raja Banjar, memiliki bubungan tinggi tetapi atap sindang langit, memiliki anjungan.

3. GAJAH MANYUSU, merupakan bangunan hunian para warit raja yaitu keturunan para gusti. Bangunan ini tidak memiliki bubungan yang tinggi tetapi memiliki anjung.

4. BALAI LAKI, sebagai tempat hunian para pungawa, mantri dan prajurit pengawal Sultan Banjar. Bangunan ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan beranjung.

5. BALAI BINI, merupakan bangunan bagi para puteri atau keluarga pihak wanita. Rumah ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan beranjung.

6. PALIMASAN, yaitu suatu bangunan yang diperuntukkan bagi Bendaharawan Kesultanan Banjar, karena dikenal sebagai wadah emas dan perak. Bentuk bubungan depan seperti limas, menyebabkan bangunan ini dinamakan palimasan. Banguna rumah ini tidak memiliki anjung. 7. PALIMBANGAN, sebagai bangunan rumah tempat tinggal para pemuka

agama, ulama dan saudagar. Bangunan ini sama besarnya dengan palimasan dan tidak memiliki anjung.

(46)

9. TADAH ALAS, merupakan bangunan rumah bagi rakyat Banjar. Bangunan ini memiliki atap tumpang didepan, yang membedakan dengan bangunan lainnya. Rumah ini memiliki anjung.

10.JOGLO, adalah bangunan hunian bagi para Tionghoa di Banjarmasin. Bangunan rumah ini dufungsikan pula sebagai gudang barang dagangan,karena mereka pada umumnya adalah pedagang.

11.LANTING, adalah bangunan rumah yang terapung dipinggir sungai Martapura,tempat tinggal orang Banjar di sepanjang batang banyu. Bangunannya kecil dan sederhana, bertumpu pada batang-batang kayu besar sebagai landasan pelampung.

Beberapa ciri arsitektur tradisional Banjar, khususnya mengenai bangunan-bangunan rumah adat Banjar yang masih dapat dijelaskan, sebagai berikut :

1. Bangunan dalam konstruyksi bahan kayu, karena alam Indonesia terutama Kalimantan banyak hutan, sementara pada saat itu belum dikenal semen. 2. Rumah panggung, yaitu bangunan rumah yang didukung oleh sejumlah

tiang yang tinggi dari kayu ulin yang bertumpu pada dasar tanah dengan pondasi yang panjangnya sampai kepangkal atap, sementara tongkat yang bertumpu pada dasar tanah hanya sampai dasar lantai saja.

(47)

4. Sebagian bangunan memiliki anjung disamping kiri dan kanan, yaitu anjung Kiwa dan anjung Kanan, dan masing-masing memiliki satu jendela pada dinding bagian depan.

5. Atap rumah yang dipergunakan adalah atap sirap yang terbuat dari kayu ulin, tetapi ada juga yang menggunakan atap rumbia.

6. Hanya memiliki dua buah tangga, yaitu tangga hadapan dan tangga belakang, yang memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil, yaitu lima, tujuh, sembilan atau sebelas.

7. Lawang (pintu) rumah depan dan belakang terletak seimbang di tengah, dan hanya ada dua pintu yaitu lawang hadapan dan lawang padu (belakang).

8. Adanya “tawing halat” (dinding pembatas) yang membatasi antara

“panampik besar” (ambin sayap) dengan “palidangan” (ambin dalam).

Pada posisi pintu kembar dua dalam posisi yang sama dan seimbang.

2.4.4.2 Makna simbolik ornamen rumah adat Banjar bubungan tinggi

Ada beberapa makna simbolik untuk ornamen Rumah Adat Banjar bubungan tinggi, diantaranya:

(48)

2. Ganjil, bilangan anak tangga yang berjumlah 5,7,9 dan 11, jarajak (kisi-kisi) lulungkang (jendela) yang terdiri dari 5, 7, 9 atau 11 menunjukkan bahwa bilangan ganjil merupakan bilangan yang mengandung arti lambang ke Esaan Tuhan, sesuai dengan Hadist Rasulullah dari Baihaqi : Sesungguhnya Allah itu Esa (ganjil) Dia menyenangi yang ganjil.

3. Kanas (nanas), ornamen bermotif buah kanas atau nenas ditempatkan pada sungkul kiri dan kanan tangga hadapan (depan) rumah adat Banjar bubungan tinggi, mengandung makna adanya nuansa senang terhadap rumah dan penghuninya atau mengandung arti undangan silaturahmi bagi tamu dan juga untuk mencegah sifat-sifat berkarat atau negatif seperti sombong, iri hati, malas, dan sebagainya. Hal ini ditafsirkan dari buah nenas masak yang disenangi semua orang untuk makanan yang menyenangkan seperti manisan atau rujak, sementara nenas yang muda dimanfaatkan sebagai pembersih karat barang-barang logam seperti kuningan, perak dan lain-lain.

4. Bertingkat, lantai rumah adat Banjar bubungan tinggi selalu bertingkat atau memiliki perbedaan tinggi, tetapi dilindungi oleh atap. Ini mengandung arti bahwa kehidupan manusia juga berbeda-beda atau bertingkat-tingkat, ada yang senang, susah, miskin dan sebagainya, tetapi tetap dilindungi haknya sebagai insan makhluk Allah SWT.

(49)

tumbuhan keluarga palem yang memiliki rumpun yang kuat dan kokoh. Maka kekuatan harus dibentuk dari kekuatan sinergi masyarakat.

6. Paku Alai,dijadikan motif bagi ornamen ukiran layang-layang dipucuk bubungan tinggi, mengandung makna manfaat, karena tumbuhan yang tumbuh di tanah gambut dan berair ini sangat akrab dengan petani dan selalu dijadikan sayur bahan makanan.

7. Sindang Langit, adalah nama bagian atap yang mengarah kedepan dalam konstruksi atap sengkuap pada pada rumah tradisional Banjar bubungan tinggi, mengandung arti perjuangan hidup melawan dan menentang yang mungkin ditemui dalam setiap perjalanan hidup.

8. Tombak, motif tombak diaplikasikan pada layang-layang yang ada dipucuk bubungan rumah adat Banjar bubungan tinggi,memiliki makna lambang kewaspadaan terhadap marabahaya. Tombak adalah senjata tradisional orang Banjar untuk mempertahankan diri dari kemungkinan gangguan atau serangan musuh.

(50)

perjuangan, tidak layak hanya berpangku tangan bila ingin sukses dalam hidup.

Foto 2.12 : Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak samping( sumber : www.binggor.com)

(51)

2.4.4.3Makna simbolik Senjata khas Banjar

Orang Banjar memiliki senjata khas yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, ke mana pun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jati diri). Dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.

Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian.

Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

(52)

Matikai, Samba, Kotawaringin Timur.Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan.

Berikut adalah struktur atau bagian-bagian dari Mandau; 1. Bilah mandau

Foto 2.14 : Bilah Mandau yang terbuat dari lempengan besi (sumber : www.kaskus.co.id)

Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.

(53)

api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh di atasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)

(54)

pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau

Foto 2.16 : Sarung mandau (sumber : folksofdayak.wordpress.com)

Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.

(55)

proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna (http://forum.vivanews.com/).

2.4.5 Upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar

2.4.5.1 Upacara adat perkawinan (bakakahawinan)

Menurut Fauzi dalam ( Erma 2009: 94 ) dalam kebudayaan Banjar

pernikahan atau perkawinan merupakan kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual, adalah penyatuan jasmani dan rohani antara lelaki dan perempuan yang disahkan baik oleh agama mau pun norma - norma sosial. Salah satu sunnah Rasulullah yang baik dan perlu diketahui oleh masyarakat ramai adalah pernikahan (perkawinan) seorang laki-laki dengan perempuan, yang hikmahnya agar masyarakat mengetahui bahwa seorang perempuan tersebut telah bersuami sehingga terhindar dari fitnah. Oleh karena itu masyarakat selalu menyertakan acara-acara adat dalam perkawinan tersebut. Menurut suku Banjar perkawinan bertujuan antara lain adalah untuk :

a. Melanjutkan keturunan orang tua

b. Memenuhi tanggung jawab orang tua terhadap anak dan menunjukkan jalan yang benar, agar anak terhindar dari perbuatan zina.

c. Membangun rumah tangga berbahagia berdasarkan agam islam bagi anak. d. Mempertemukan dan menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga

(56)

Dalam budaya Banjar perkawinan dalam lingkungan kerabat selalu lebih diutamakan karena orang tua telah mengetahui keberadaan calon menantu dan keluarganya. Oleh karena itu perkawinan dengan saudara sepupu menurut orang Banjar akan lebih mengeratkan persaudaraan, disamping alasan telah mengetahui keturunannya. Komentar yang selalu menjadi alasan adalah “inya bukan urang lain” yang artinya‟ dia bukan orang lain‟.

Tetapi para pemuda terutama di kota berpendapat bahwa saudara sepupu adalah saudara dekat, hampir sama dengan saudara sendiri. Cara menentukan jodoh seseorang lazim dilakukan dengan dua cara. Pertama orang tua mencarikan jodoh untuk anaknya. Cara ini biasanya dengan permufakatan orang tua dua belah pihak yaitu pihak anak laki-laki dan pihak perempuan. Si anak setuju dan mengikuti rencana tersebut. Kedua, pemuda dan pemudi bebas menentukan calonnya sendiri, sementara orang tua tinggal meresmikan setelah menyetujuinya. Cara inilah sekarang yang paling banyak dilakukan.

Dalam pelaksanaan perkawinan adat Banjar dapat dilihat tiga tahapan pelaksanaannya. Pertama tata cara adat pada waktu sebelum hari perkawinan. Kedua pelaksanaan acara-acara pada saat hari perkawinan dan ketiga adalah

acara-acara yang dilakukan pada waktu sesudah hari perkawinan. Dalam tata cara pra (sebelum) perkawinan dilaksanakan beberapa upacara adat, diantaranya : a. BASUSULUH, adalah menanyakan secara langsung data-data si gadis. Utusan

(57)

b. BADATANG, sering juga disebut Bapara , yaitu acara melamar dari pihak laki-laki yang datang kerumah pihak perempuan. Pada waktu melamar kadang-kadang utusan hanya dua atau tiga orang saja, tetapi kadang-kadang-kadang-kadang dengan rombongan yang lumayan banyaknya, tergantung pada situasi. Bila calon mempelai ada hubungan keluarga, biasanya yang melamar tidak begitu banyak. Sebelum datang melamar, pada waktu basusuluh telah dijanjikan waktu kedatangannya.

c. BAPAPAYUAN, adalah merupakan acara menentukan jujuran (mahar). Acara ini dilakukan dirumah pihak laki-laki. Apabila jujuran telah disepakati maka dilakukan acara maatar patalian (tanda ikatan).

d. MAATAR PATALIAN, (mengantar tanda ikatan) yang terdiri dari pakaian calon mempelai perempuan secara lengkap. Maatar Patalian ini sebenarnya bisa saja ketika waktu bapapayuan, tetapi sering dilakukan pada upacara tersendiri. Pada acara ini kadangkala diselipkan acara tukar cincin.

e. BAANTAR JUJURAN, adalah upacara yang dilakukan untuk menyerahkan mas kawin yang berupa jujuran atau uang mahar. Tempat acara adalah dirumah mempelai perempuan. Uang mahar tersebut dihitung di tengah umum dalam acara tersebut, jika jumlahnya sudah sesuai, maka diteruskan kepada orang tua calon mempelai perempuan, yang dimasukkan ke dalam bakul. Baantar jujuran sering juga disebut Manaikakan jujuran.

Sementara itu dalam tata cara perkawinan ada beberapa acara yang dilakukan, yaitu :

(58)

Nikah (akad nikah) merupakan prosesi yang paling sakral dalam setiap acara perkawinan, termasuk perkawinan dalam masyarakat suku Banjar, karena merupakan sunnah Rasulullah.

Nabi Muhammad SAW menyatakan yang artinya :

“ Nikah itu adalah sunnahku, maka siapa yang tidak melaksanakan

sunnahku,ia bukan golonganku

Orang Banjar sebagai masyarakat yang terkenal fanatik terhadap agama islam, yang konsekwen menjalankan ajaran agama, menjalankan upacara nikah sebagai puncak dari acara perkawinan. Oleh karena itu pada upacara pernikahan selalu dihadirkan para alim ulama untuk mempersaksikan prosesi sunnah tersebut. Biasanya sebagai wali, orang tua (abah) mempelai perempuan langsung menjadi wali dan menikahkan anaknya yang disaksikan penghulu / tuan kadhi dan para tutuhaan, bubuhan dan para undangan. Srtelah akad nikah dilaksanakan, diberikan nasihat kepada kedua mempelai dan diakhiri dengan doa. Di antara isi doa yang dimohonkan adalah agar kedua mempelai tetap dalam keimanan kepada Allah SWT dan taat menjalankan perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya, di dalam doa yang dimohonkan agar pasangan pengantin berbahagia sebagaimana pasangan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Khadijah dan Siti Aisyah, seperti ibrahim AS dengan Siti Hajar dan Siti Sarah, seperti Yusuf AS dengan Zulaiha.

(59)

- Gotong royong mencari kayu di hutan untuk keperluan bamasak (memasak keperluan acara pernikahan)

- Gotong royong manungkat pandal yaitu memperkuat tiang rumah dengan tiang yang terletak di permukaan tanah, agar rumah mampu menampung orang banyak yang menghadiri upacara perkawinan tersebut.

- Gotong royong membuat balai (ranjang pengantin).

- Gotong royong manumbuk banih ( menumbuk padi) sampai menjadi beras yang siap dimasak.

- Gotong royong mancari iwak (mencari ikan) untuk keperluan acara perkawinan.

b. BADUDUS

Badudus atau bapapai adalah upacara memandikan pengantin sebelum

upacara perkawinan dilaksanakan. Upacara tradisional ini dilaksanakan oleh wanita yang sudah lanjut usianya. Banyu(air) yang dipergunakan untuk mandi tersebut adalah air yang bercampur kembang dan bermacam-macam benda perlambang yang mempunyai arti tertentu. Upacara badudus atau bapapai ini dengan tata cara adat.

c. Mahias Pangantin

Seperti halnya pengantin-pengantin didaerah lain, pada pengantin banjar juga dilaksanakan acara merias pengantin. Namun pada pengantin Banjar orang yang menjadi juru rias pengantin tersebut adalah perempuan untuk pengantin perempuan dan laki-laki untuk pengantin laki-laki.

(60)

Upacara ini dilakukan mulai dirumah pihak pengantin laki-laki untuk dipersiapkan dibawa kerumah pengantin perempuan. Sambil berdoa pengantin laki-laki melangkahkan kaki turun dari rumah(biasanya dimulai melangkahkan kaki kanan), pada saat itu dikumandangkan shalawat Nabi oleh para Tetua (orang-orang tua/tokoh masyarakat) dan oleh hadirin semua sambil menabur beras kuning.

e. Maarak Pangantin Lalaki

Selanjutnya rombongan pengantin mulai bergerak (naik kendaraan atau berjalan kaki). Beberapa ratus meter dari rumah mempelai perempuan (tempat acara perkawinan)rombongan berhenti. Pada saat itu ditampilkan atraksi kesenian yang dibawakan oleh rombongan. Mempelai laki-laki dilindungi/dinaungi payung yang dibawa bergerak dengan gaya seperti menari, dan rombongan mempelai laki-laki bergerak perlahan-lahan mendekati rumah tempat acara perkawinan tersebut.

f. Batatai

(61)

diserahkan kepada mempelai perempuan dengan cara melemparkan kepangkuan kedua mempelai.

Acara selanjutnya adalah Batutungkal atau disebut Batapung Tawar, yang dilakukan oleh orang tua kedua mempelai serta para sanak keluarga dan para tutuhaan yang hadir. Sementara itu dalam acara perkawinan Suku Banjar selalu dilaksanakan acara khatam al Quran oleh pengantin baik laki-laki maupun perempuan. Acara ini disebut Batamat.

Acara Batamat biasanya dilakukan setelah acara akad nikah, atau kadang-kadang dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah. Secara filosofis acara ini adalah sebuah penyaksian bahwa seorang anak yang akan memasuki bahtera

rumah tangga harus dapat membaca Al Qur‟an dengan benar dan telah khatam Al

Qur‟an (Batamat) adalah manakala bacaan Al Qur‟an tersebut sampai pada surat

Alfiil, maka telur rebus yang diletakkan di balai di perebutkan oleh hadirin terutama anak-anak.

Menurut tradisi, ini hakikat dari perebutan telur tersebut adalah siapa yang berhasil merebut telur dan memakannya sampai habis dengan cepat, maka yang bersangkutan akan cekatan dalam menuntut ilmu agama dan akan mudah mencerna pelajaran agama yang diberikan kepadanya.

Pada saat Pasca (sesudah acara perkawinan) dilaksanakan beberapa kegiatan diantaranya:

a. Bajajagaan

(62)

digelar kesenian yang berperan sebagai penghibur para keluarga dan orang-orang yang pada siang harinya bekerja membantu persiapan-persiapan upacara di rumah mempelai perempuan.Kesenian yang ditampilkan biasanya kesenian khas daerah Banjar , seperti bakisah, wayang dan sebagainya.

b. Basusujud/Bailang

Basusujud adalah acara sungkem kepada orang tua pengantin laki-laki di rumah mereka, selanjutnya pengantin berkunjung ke rumah para keluarga untuk diperkenalkan, acara ini disebut bailang, biasanya dilakukan malam hari di bawa oleh seorang wanita yang sudah berkeluarga. Yang dikunjungi adalah keuarga kedua belah pihak, dan mereka memberi uang kepada pengantin sebagai tanda agar pengantin tetap hidup bahagia selalu.

c. Adat Menetap Sementara

Selesai acara perkawinan, kedua pengantin sementara menetap di rumah orang tua pengantin perempuan, kehidupan seperti itu disebut Bakumpul Mintuha atau Bakarubut Mintuha dimana mertua yang memegang tampuk kekuasaan, sementara menantu merupakan abdi mertua. Biasanya masa menetap sementara di rumah mertua ini tergantung kesepakatan, atau mereka dapat hidup mandiri.

2.4.5.2 Upacara Basunat/Khitan

(63)

remaja), sedangkan untuk anak perempuan biasanya dilakukan setelah berusia lebih dari setahun atau bahkan dilakukan sesaat setelah si anak perempuan lahir.

Dalam budaya Banjar, acara khitan biasa disebut dengan acara basunat dilaksanakan menurut hari baik,dan bulan baik, biasanya Sya‟ban, Syawal,

Zulhijjah atau Zulkaidah. Acara basunat biasanya berhubungan dengan adat-istiadat, yaitu kenduri sebagai rasa syukur dan memohon keselamatan kepada Allah SWT.

Pada acara basunat, terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Bagi anak perempuan, basunat adalah peristiwa biasa sekedar prasyarat untuk menyempurnakan keislamannya, perempuan yang disunat tidak akan mengalami penderitaan akibat rasa sakit sebagaimana laki-laki. Sedangkan anak laki-laki, basunat juga sebagai menyempurnakan keislamannya tetapi bagi anak laki-laki basunat merupakan peristiwa yang gawat sehingga pasca basunat harus diberikan perlakuan khusus.

Gambar

Tabel 2.1

Referensi

Dokumen terkait