• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Pengembangan Karir

2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Karir

Pengembangan karir sangat diharapkan oleh setiap karyawan yang bekerja di suatu perusahaan. Pengembangan karir tercermin dalam gagasan bahwa orang selalu ingin bergerak maju dan meningkat dalam pekerjaan yang dipilihnya. Pengembangan karir didalam perusahaan sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di perusahaan tersebut. Apabila terdapat suatu proses pengembangan karir yang baik maka keinginan karyawan untuk meningkatkan kinerja semakin tinggi.

Dengan adanya pengembangan karir maka karyawan akan mendapatkan hak-hak yang lebih baik dari apa yang telah mereka dapatkan sebelumnya baik material maupun non material. Hak-hak yang bersifat material dapat berupa kenaikan pendapatan, perbaikan fasilitas dan sebagainya. Sementara hak-hak yang bersifat non material dapat berupa perubahan status sosial, rasa bangga dan sebagainya.

(2)

sebelumnya. Untuk itu karyawan harus memiliki sebuah perencanaan karir masa depan. Rivai (2008 : 290) mengatakan bahwa “pengembangan karir adalah proses peningkatan kemampuan kerja individu yang dicapai dalam rangka mencapai karir yang diinginkan”. Dalam hal ini proses pengembangan karir merupakan usaha sesorang yang dilalui melalui proses dengan meningkatkan kemampuan kerja yang karyawan miliki sehingga mereka mampu meningkatkan kinerja dan berhasil mencapai karir yang diinginkan. Karyawan tidak akan bekerja diperusahaan tersebut apabila tidak terdapat sebuah sistem pengembangan karir yang jelas karena karyawan bekerja untuk mencapai target karir yang mereka inginkan. Mondy (2008 : 243) “Pengembangan karir adalah pendekatan formal yang digunakan organisasi untuk memastikan bahwa orang dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat tersedia jika dibutuhkan”. Pengembangan karir merupakan suatu pendekatan formal didalam sebuah organisasi dimana organisasi mampu menentukan karyawan dengan kualifikasi yang tepat serta pengalaman yang tepat jika dibutuhkan didalam sebuah jabatan. Pengalaman kerja yang dimiliki karyawan juga merupakan salah satu hal yang mampu membantu karyawan dalam mencapai sasaran karir mereka. Pengertian pengembangan karir menurut Flippo (2000 : 243) dapat diartikan sebagai “sederetan kegiatan kerja yang terpisah-pisah namun masih merupakan atau mempunyai hubungan yang saling melengkapi, berkelanjutan, dan memberikan makna bagi kehidupan seseorang”.

(3)

menjadi lebih baik. Bagi karyawan pengembangan karir merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan motivasi kerja dalam usaha untuk mencapai target karir yang mereka inginkan. Semakin tinggi pencapaian karir seseorang didalam sebuah perusahaan maka karyawan semakin mampu dalam meningkatkan taraf dan kualitas hidup yang lebih baik dari kehidupannya yang sebelumnya.

2.1.1.2 Faktor-faktor Pengembangan Karir

Siagian (2006 : 2015) menyatakan ada tujuh cara yang dapat dilakukan untuk melihat dimensi dari pengembangan karir, antara lain:

1. Prestasi Kerja

Faktor yang paling penting untuk meningkatkan dan mengembangkan karir seorang karyawan adalah pada prestasi kerjanya dalam melakukan tugas yang dipercayakan kepadanya. Tanpa prestasi yang memuaskan, sukar bagi seorang pekerja untuk diusulkan oleh atasan agar dipertimbangkan untuk dipromosikan ke pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi dimasa depan.

2. Pengenalan oleh Pihak Lain

Adalah berbagai pihak yang berwenang memutuskan layak tidaknya seseorang dipromosikan seperti atasan langsung dan pimpinan bagian kepegawaian yang mengetahui kemampuan dan prestasi kerja seorang pegawai.

3. Kesetiaan Pada Organisasi

Merupakan dedikasi seorang karyawan yang ingin terus berkarya dalam organisasi tempatnya bekerja untuk jangka waktu yang lama.

(4)

Pembimbing adalah orang yang memberikan nasehat-nasehat atau saran-saran kepada karyawan dalam upaya mengembangkan karirnya

5. Dukungan Para Bawahan

Merupakan dukungan yang diberikan para bawahan dalam bentuk mensukseskan tugas manajer yang bersangkutan

6. Kesempatan Untuk Bertumbuh

Merupakan kesempatan yang diberikan kepada karyawan untuk meningkatkan kemampuannya, baik melalui pelatihan-pelatihan, kursus, dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya.

7. Berhenti Atas Kemauan Sendiri

Merupakan keputusan seorang karyawan untuk berhenti bekerja dan beralih ke institusi pendidikan lain yang memberikan kesempatan lebih besar untuk mengambangkan karir.

2.1.1.3 Tujuan Pengembangan Karir

Untuk menghadapi tuntutan dan tugas sekarang dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan, pengembangan karyawan merupakan keharusan mutlak. Kemutlakan itu tergambar pada berbagai jenis manfaat yang dapat dipetik daripadanya, baik organisasi, para karyawan maupun bagi pertumbuhan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara berbagai kelompok kerja dalam suatu organisasi. Berarti semuanya bermuara pada peningkatan produktivitas kerja organisasi secara keseluruhan.

(5)

kesempatan karir yang tersedia diperusahaan saat ini dan dimasa mendatang”. Karena itu, usaha pembentukan sistem pengembangan karir yang dirancang secara baik akan dapat membantu karyawan dalam menentukan kebutuhan karir mereka sendiri, dan menyesuaikan antara kebutuhan karyawan dengan tujuan perusahaan.

Menurut Sutrisno (2009 : 182) pengembangan karir bertujuan untuk : a. Memberikan kepastian arah karir karyawan dalam kiprahnya di lingkup

organisasi.

b. Meningkatkan daya tarik organisasi atau institusi bagi para karyawan yang berkualitas

c. Memudahkan manajemen dalam menyelanggarakan program-program pengembangan sumber daya manusia, khususnya dalam rangka mengambil keputusan dibidang karir serta perencanaan sumber daya manusia organisasi atau perusahaan yang selarasa dengan rencana pengembangan organisasi.

d. Memudahkan administrasi kepegawaian, khususnya dalam melakukan administrasi pergerakan karyawan dalam hal karir promosi, rotasi, ataupun demosi jabatan.

2.1.1.4 Bentuk-bentuk Pengembangan Karir

(6)

Pengertian mengenai ketiga hal tersebut dapat dijelaskan dibawah ini :

1. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan perusahaan yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan, dan pengetahuan para karyawan sesuai dengan pekerjaan masing-masing karyawan.

2. Promosi

Promosi diartikan sebagai perubahan posisi/jabatan dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Perubahan ini biasanya akan diikuti dengan meningkatnya tanggungjawab, hak, serta status sosial seseorang. Dalam pelaksanaanya, suatu promosi harus didasarkan pada syarat-syarat tertentu yang bagi setiap organisasi dapat berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan organisasi itu sendiri. Adapun syarat yang dipergunakan ini dapat member jaminan bahwa tenaga kerja yang dipromosikan ini layak dan pantas untuk menduduki jabatan/pekerjaan yang akan ditempati. Berikut ini contoh syarat yang harus dipenuhi seorang karyawan dalam promosi diantaranya kejujuran, loyalitas, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, tanggung jawab, kepemimpinan, kerjasama, dan inisiatif.

3. Mutasi

(7)

fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan lain dibidang yang berbeda pada suatu perusahaan. Mutasi terkadang dapat dijadikan sebagai tahapan awal atau batu loncatan untuk mendapatkan promosi di waktu mendatang. Hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan.

Tujuan mutasi adalah :

1. Untuk meningkatkan produktivitas karyawan

2. Untuk menciptakan keseimbangan antar tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau jabatan.

3. Untuk memperluas atau menaambah pengetahuan karyawan 4. Untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaannya

5. Untuk memberikan perangsang dalam meningkatkan karir karyawan yang lebih tinggi

6. Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan Sebab-sebab pelaksanaan mutasi digolongkan sebagai berikut : 1. Permintaan Sendiri

Mutasi atas permintaan sendiri adalah mutasi yang dilakukan atas keinginan sendiri dari karyawan yang bersangkutan dan dengan mendapat persetujuan pimpinan organisasi. Mutasi permintaan sendiri pada umumnya hanya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama baik antarbagian maupun pindah ketempat lain

(8)

Alih tugas produktif (ATP) adalah mutasi karena kehendak pimpinan perusahaan untuk meningkatkan kinerja dengan menempatkan karyawan yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan kecakapannya.

2.1.2 Konflik Peran Ganda

2.1.2.1 Pengertian Peran Ganda

Peran adalah bagian yang dimainkan individu pada setiap keadaan dan cara tingkah lakunya untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran diwujudkan dalam perilaku. Peran ganda dapat didefinisikan dimana seseorang memiliki jabatan atau posisi atau keadaan yang lebih dari satu sehingga membuat orang tersebut memiliki tanggungjawab yang lebih banyak (Indriyani, 2009:14). Dengan banyaknya peran yang dimiliki seseorang maka timbulah konflik peran

ganda

.

2.1.2.2 Pengertian Konflik Peran Ganda

Konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Menurut Tampubolon (2008:140) konflik umumnya berasal dari ketidaksesuaian dan pembagian sumber daya yang tidak rasional.

(9)

tangga. Wanita dengan peran konflik peran ganda memiliki tingkat stress yang lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan peran tunggal. Mereka harus mampu membagi waktu dengan seimbang antara dunia kerja dan dunia rumah tangga.

Definisi konflik peran ganda menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran yang mana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga bertentangan. Selain itu Khan (dalam Behr, 1995) menyatakan bahwa konflik peran ganda merupakan adanya ketidakcocokan antara harapan - harapan yang berkaitan dengan suatu peran dimana dalam kondisi yang cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan atau tekanan akan sangat bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Duxburry dan Higgins (2003) sejalan dengan pernyataan sebelumnya, namun ia menambahkan dampak yang ditimbulkan dari konflik peran ganda yaitu partisipasi seseorang pada satu peran menyulitkan partisipasi pada peran yang lainnya.

Menurut Netemeyer dkk (dalam Hennesy, 2005) mendefinisikan “konflik peran ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggungjawab yang berhubungan dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu, dan ketegangan dalam keluarga”. Hennesy (2005) juga memberikan defenisi dari konflik peran ganda yaitu, “konflik yang terjadi ketika konflik sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga”.

(10)

berbeda yang dimiliki seseorang”. Dalam pekerjaan, seorang wanita yang profesional diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya dalam pekerjaan. Sedangkan di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi, dan menjaga suami dan anaknya.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda adalah salah satu bentuk konflik antar peran yang diakibatkan pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain, kewajiban pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga, permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga yang disebabkan harapan dari dua peran yang berbeda. Konflik peran ganda muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang. Di pekerjaan, seorang wanita yang professional diharapkan untuk agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya pada pekerjaan. Di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyanyangi dan menjaga suaminya.

2.1.2.3 Dimensi Konflik Peran Ganda

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) konflik peran ganda memiliki sifat yang bidirectional dan multidimensi. Adapun bidirectional yang dimaksud terdiri dari:

a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab pekerjaan yang mengganggu tanggungjawab terhadap keluarga.

(11)

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) multidimensi dari konflik dapat muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work family conflict maupun family work conflict memiliki masing-masing 3 dimensi

yaitu:

a. Time Based Conflict

Yang dimaksud dengan time based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung dari alokasi waktu kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki individu.

Peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah berlomba mendapatkan waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan dalam satu peran secara umum tak bisa di curahkan kepada aktivitas dalam peran lainnya. Time based conflict memiliki 2 bentuk; (a) tuntutan waktu dari peran yang satu membuat

individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain; (b) adanya tuntutan waktu, dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba memenuhi tuntutan peran yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:

(12)
(13)

tuntutan daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan tingginya tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Cartwright, Keith & Schefer, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Kesimpulannya, jadwal kerja, orientasi kerja, pernikahan, anak – anak, dan pola pekerjaan pasangan seluruhnya mungkin menghasilkan tekanan untuk berpartisipasi secara luas dalam peran pekerjaan atau peran keluarga. Konflik dialami ketika tekanan –tekanan waktu ini tidak kompetibel dengan tuntutan domain peran lain.

b. Strain Based Conflict

Yang dimaksud dengan strain based conflict yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.

Strain based conflict muncul saat ketegangan yang diakibatkan dari

menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya yang lain. Peran – peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan akibat peran yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain. Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:

1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

(14)

dukungan dari atasan juga menyebabkan tingginya konflik peran pekerjaan (Jones & Butler, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan seperti budaya kerja yang berubah – ubah, stres dalam komunikasi dan konsentrasi yang dibutuhkan dalam menjalankan pekerjaan, menurut Bruke dkk (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) memiliki hubungan yang positif dengan konflik pekerjaan – keluarga. Selain itu, penggunaan sebagian besar waktu untuk melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan ketegangan. Seperti,jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta adanya kerja lembur dapat menyebabkan time based conflict begitu juga strain based conflict. Walaupun keduanya merupakan konsep yang berbeda, namun ada beberapa sumber konflik yang dapat digolongkan kepada kedua dimensi konflik tersebut.

2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat mengurangi tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Holahan & Gilbert, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Beutell &Greenhaus (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) perempuan yang memiliki orientasi karier yang berbeda dengan suaminya, merasakan tingkatan konflik antar peran yang lebih tinggi. Besar kemungkinan perbedaan pasangan dalam keyakinan – keyakinan fundamental dapat melemahkan sistem dukungan mutual dan dapat menghasilkan stres.

(15)

waktu ekstensi juga dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan ketegangan.

c. Behaviour Based Conflict

Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk peran yang lain. Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain. Atau perilaku – perilaku yang diharapkan muncul pada saat menjalankan peran yang satu kadang bertentangan dengan ekspektasi dari peran yang lain. Misalnya seorang ibu yang diharapkan menekankan perilaku yang tegas, stabil secara emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus & Beutell, 1985), diharapkan oleh anggota keluarganya untuk berperilaku hangat, penuh kasih sayang, emosional dan peka saat berinteraksi dengan mereka.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: 1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah work ambiguity dan work involvement. Yang dimaksud dengan work involvement adalah sebuah konsep

yang menjelaskan tentang respon psikologis individu tentang perannya dalam pekerjaan serta tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, dan pentingnya pekerjaan tersebut terhadap gambaran dan konsep dirinya (Lodahl & Kehner, 1965, Yogev & Brett, 1985, dalam Duxburry & Higgins, 1991)

(16)

Sumber konflik dari keluarga misalnya adalah peran yang membingungkan di dalam keluarga (ambigu), konflik intra keluarga, dukungan sosial dan family role involvement (Carlson, Kecmar, & Williams, 2000, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Family role involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentfikasikan dirinya dengan peran – peran dalam keluarga, pentingnya keluarga terhadap konsep diri dan gambaran dirinya serta komitmen individu terhadap peran – peran dalam keluarga (Yogev & Brett, 1985 dalam Duxburry & Higgins, 1991).

Dimensi – dimensi yang diungkapkan oleh Greenhaus &Beutell (1985) merupakan elemen – elemen yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga. Setiap dimensi memiliki sumber konflik yang sesuai dengan definisi dimensi.

2.1.2.4 Strategi Penyelesaian Konflik Peran Ganda

Setiap permasalahan tentunya memiliki jalan yang keluar yang baik. Penanganan yang baik terhadap suatu masalah tentunya tidak akan memberikan dampak negative tetapi akan memberikan dampak positif. Penanganan konflik peran ganda seharusnya dapat memberikan solusi baik oleh individu maupun perusahaan, agar keharmonisan rumah tangga dapat tercapai dan tujuan dari perusahaan juga dapat tercapai. Terdapat dua startegi dalam mengatasi konflik peran ganda yaitu :

(17)

Strategi yang harus dilakukan oleh seorang individu dalam manajemen waktu yang baik, sehingga akan terciptanya keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan sehingga dapat memberikan peran yang maksimal untuk masing-masing peran yang dilakukan.

b. Strategi Perusahaan

Menurut Nelson dan Quick (2010) ada beberapa strategi perusahaan yang harus dilakukan agar konflik peran ganda dapat diminimalisir dan tidak mengganggu pekerjaan yaitu :

1. Waktu kerja yang fleksibel

2. Adanya jadwal kerja yang alternative 3. Adanya fasilitas penitipan anak 4. Kebijakan izin keluarga

5. Job sharing

Antara individu dan perusahaan haruslah bersama-sama menentukan kebijakan apa yang diambil sehingga tidak merugikan masing-masing pihak. Dan yang terpenting pekerja wanita tidak mengalami stress yang berpengaruh terhadap kinerja perusahaan maupun mutu dari kehidupan berkeluarga wanita tersebut sehingga tidak mengurangi keharmonisan dalam keluarga.

2.1.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

(18)

a. Time pressure, jika waktu yang digunakan untuk bekerja lebih banyak, maka waktu yang digunakan untuk keluarga semakin sedikit.

b. Family size and support, jika anggota keluarga semakin banyak jumlahnya maka akan semakin banyak konflik yang akan timbul. Apabila dengan banyaknya jumlah anggota keluarga yang memberikan dukungan maka akan sedikit terjadi konflik.

c. Job satisfaction, konflik akan dirasakan lebih sedikit apabila kepuasan kerja seorang karyawan tersebut tinggi.

d. Marital and life satisfaction, apabila seorang wanita bekerja, maka semakin banyak konsekuensi negative dalam pernikahannya.

e. Size of firm, konflik peran ganda mungkin juga dipengaruhi oleh banyak karyawan yang bekerja didalam perusahaan tersebut.

2.1.3 Kompensasi

2.1.3.1 Pengertian Kompensasi

Kompensasi sangat penting bagi karyawan sebagai individu, karena besarnya kompensasi merupakan pencerminan atau ukuran nilai pekerjaan. Sebaliknya besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi prestasi kerja, motivasi, dan kepuasan kerja karyawan (Nova, 2012 : 1).

(19)

Menurut Sikula dalam Mangkunegara (2007 : 83) bahwa: ”Kompensasi merupakan sesuatu yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang sebanding. Dalam kepegawaian, hadiah yang bersifat uang merupakan kompensasi yang diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan dari pelayanan mereka”.

Menurut Mondy (2008) ”kompensasi adalah total seluruh imbalan yang diterima para karyawan sebagai pengganti jasa yang telah mereka berikan. Tujuan umum pemberian kompensasi adalah untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi karyawan”.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kompensasi adalah segala bentuk balas jasa yang diberikan kepada karyawan atas kontribusinya terhadap perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Didalam perusahaan, sistem pemberian kompensasi dapat menjadi motivasi bagi karyawan untuk bekerja lebih baik dan dapat meningkatkan kinerja karyawan.

2.1.3.2 Jenis-jenis Kompensasi

Salah satu tujuan pokok karyawan dalam bekerja adalah untuk memperoleh kompensasi yang sering kali berupa gaji yang diterima karyawan secara periodik. Kompensasi diadakan agar karyawan dapat memenuhi seluruh atau sebagian kebutuhan dan keinginan karyawan. Perusahaan memberikan kompensasi sebagai salah satu bentuk penghargaan atau jasa yang telah diberikan oleh karyawan melalui hasil kerja.

(20)

Kompensasi finansial terdiri dari 2 macam yaitu : 1. Kompensasi finansial langsung

a. Upah, menurut Diana dan Setiawati (2011 : 174) diartikan sebagai bahwa upah diberikan atas dasar kinerja harian. Upah adakalanya juga didasarkan pada unit produk yang dihasilkan. Sedangkan Rivai (2004 : 375) mengartikan upah sebagai imbalan finansial langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan.

b. Gaji, menurut Mardi (2011 : 107) merupakan sebuah bentuk pembayaran atau sebuah hak yang diberikan oleh sebuah perusahaan atau instansi kepada pegawai.

c. Bonus, menurut Mathis dan Jackson (2000 : 369) mendefinisikan bonus sebagai pembayaran satu kali yang tidak menjadi bagian dari gaji pokok karyawan.

d. Insentif

(21)

terlalu mudah tentunya tidak menguntungkan bagi perusahaan. Sedangkan yang terlalu sulit menyebabkan karyawan frustasi.

2. Kompensasi Finansial Tidak Langsung/ Tunjangan, yang terdiri atas: a. Program Asuransi, merupakan jaminan atau pertanggungan kepada karyawan dan keluarga mereka apabila terjadi suatu resiko finansial atas diri mereka sesuai dengan jumlah polis yang disepakati. Jaminan ini diberikan oleh perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi. Menurut Rivai (2004 : 398) jaminan asuransi yang dapat diberikan kepada karyawan antara lain adalah asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi karena ketidakmampuan fisik atau mental karyawan, dan jaminan asuransi lainnya.

b. Program pensiun, menurut Rivai (2004 : 401) program ini diberikan kepada yang telah bekerja pada perusahaan untuk masa tertentu, dan merupakan program dalam rangka memberikan jaminan keamanan finansial bagi karyawan yang sudah tidak produktif. Program ini bukanlah sesuatu yang diharuskan oleh pemerintah sehingga hanya perusahaan swasta bertaraf nasional maupun internasional saja yang biasanya menggunakan program ini selain instansi pemerintah yang memang diwajibkan memberikan dana pensiun kepada pegawai tetapnya.

(22)

sakit, cuti dan liburan, bebas dari kehadiran, serta asuransi pengangguran.

B. Kompensasi Non Finansial

Kompensasi non finansial adalah suatu bentuk kompensasi yang mampu memenuhi keadaan psikologis karyawan selama bekerja diperusahaan tersebut. Kompensasi ini dapat berhubungan dengan pekerjaan seperti pemberian tugas-tugas yang menarik, tantangan baru dalam pekerjaan, tanggungjawab menarik, pengakuan dari perusahaan, dan rasa pencapaian. Selain berhubungan dengan pekerjaan, kompensasi non finansial juga dapat berhubungan dengan suasana tempat kerja seperti kebijakan-kebijakan perusahaan yang sehat, lingkungan kerja yang nyaman, supervise yang kompeten serta teman kerja yang menyenangkan sehingga karyawan merasa senang bekerja diperusahaan tersebut.

2.1.3.3 Tujuan Kompensasi

Hasibuan (2012 : 121) memberikan beberapa tujuan kompensasi yaitu : a. Ikatan kerjasama

Dengan pemberian kompensasi terjalinlah ikatan kerja sama formal antara majikan dengan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, sedangkan pengusaha/majikan wajib membayar kompensasi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

(23)

Dengan balas jasa, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoisnya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari jabatannya.

c. Pengadaan Efektif

Jika program kompensasi ditetapkan cukup besar, pengadaaan karyawan yang qualified untuk perusahaan akan lebih mudah.

d. Motivasi

Jika balas jasa yang diberikan cukup besar, manajer akan lebih mudah memotivasi bawahannya.

e. Stabilitas Karyawan

Dengan program kompensasi atas prinsip adil dan layak serta eksternal konsistensi yang kompentatif maka stabilitas karyawan lebih terjamin karena turn-over relative kecil.

f. Disiplin

Dengan pemberian balas jasa yang cukup besar maka disiplin karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta menaati peraturan-peraturan yang berlaku.

g. Pengaruh Serikat Buruh

Dengan program kompensasi yang baik pengaruh serikat buruh dapat dihindarkan dan karyawan akan konsentrasi pada pekerjaanya.

(24)

Jika program kompensasi sesuai dengan Undang-Undang ketenagakerjaan yang berlaku (seperti batas upah minimum), maka intervensi pemerintah dapat dihindarkan.

Sedangkan menurut Handoko (2011 : 156) tujuan kompensasi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Memperoleh personalia yang qualified

b. Mempertahankan para karyawan yang ada sekarang c. Menjamin keadilan

d. Menghargai perilaku yang diinginkan e. Mengendalikan biaya-biaya

f. Memenuhi peraturan-peraturan legal

Dari pengertian diatas terlihat bahwa kompensasi merupakan alat pengikat perusahaan terhadap karyawannya, dan sebagai faktor penarik serta pendorong seorang menjadi karyawan yang sukses. Dengan demikian kompensasi mempunyai fungsi yang cukup penting di dalam memperlancar jalannya roda organisasi/perusahaan.

2.1.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Kompensasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi, antara lain sebagai berikut (Hasibuan, 2011 : 126) :

1) Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja

(25)

2) Kemampuan dan Kesediaan Perusahaan

Apabila kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar semakin baik maka tingkat kompensasi akan semakin besar. Tetapi sebaliknya, jika kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar kurang maka tinggkat kompensasi relatif kecil.

3) Serikat Buruh/Organisasi Karyawan

Apabila serikat buruhnya kuat dan berpengaruh maka tingkat kompensasi semakin besar. Sebaliknya jika serikat buruh tidak kuat dan kurang berpengaruh maka tingkat kompensasi relatif kecil.

4) Produktifitas Kerja Karyawan

Jika produktifitas kerja karyawan baik dan layak dan banyak maka kompensasi akan semakin besar. Sebaliknya kalau produktifitas kerjanya buruk serta sedikit maka kompensasinya kecil.

5) Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya

Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya menetapkan besarnya batas upah/balas jasa minimum. Peraturan pemerintah ini sangat penting supaya pengusaha tidak sewenang-wenang menetapkan besarnya balas jasa bagi karyawan.

Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dari tindakan sewenag-wenang. 6) Biaya hidup

(26)

7) Posisi Jabatan Karyawan

Karyawan yang menduduki jabatan lebih tinggi akan menerima gaji/kompensasi lebih besar. Sebaliknya karyawan yang menduduki jabatan yang lebih rendah akan memperoleh kompensasi/gaji yang kecil. Hal ini wajar karena seseorang yang mendapat wewenang dan tanggung jawab yang besar harus mendapatkan gaji/kompensasi yang lebih besar pula.

8) Pendidikan dan Pengalaman Karyawan

Jika pendidikan lebih tinggi dan pengalaman kerja lebih lama maka gaji/balas jasa akan semakin bear, karena kecakapan serta keterampilannya lebih baik. Sebaliknya, karyawan yang berpendidikan rendah dan pengalaman kerja yang kurang maka tingkat gaji/kompensasinya kecil.

9) Kondisi Perekonomian Nasional

Apabila kondisi perekonomian nasional sedang maju maka tingkat upah/kompensasi akan semakin besar, karena akan mendekati kondisi full employment. Sebaliknya, jika kondisi perekonomian kurang maju maka tingkat

upah rendah, karena terdapat banyak pengganggur. 10) Jenis dan Sifat Pekerjaan

(27)

2.1.4 Intention to Leave (Keinginan Meninggalkan Perusahaan)

2.1.4.1 Pengertian Intention to Leave

Intention to leave adalah minat untuk mengundurkan diri permanen

secara sukarela ataupun tidak dari suatu organisasi (Robbins, 2001). Miller (2007) menyebutkan bahwa keinginan untuk keluar (intention to leave) pada beberapa literature disebut juga turnover intention (Chaaban, 2006), anticipated turnover (Hinshaw & Atwood, 1985), dan intention to quit (Mowday, Stress, & Peter, 1979).

Menurut Glissmeyer, Bishop & Fass, 2008 (dalam I Ilhami Yucel, 2012 : 45) Turnover Intention didefinisikan sebagai sikap yang mempengaruhi niat untuk berhenti dan benar-benar berhenti dari organisasi.

Firth (2004) mendefinisikan keinginan untuk keluar atau intention to leave adalah “kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri”. Keinginan untuk keluar sangat dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja, rendahnya tingkat komitmen organisasi dan tingginya stress kerja yang disebabkan oleh job stressor.

(28)

2.1.4.2 Indikasi Terjadinya Intention to Leave

Menurut Harnoto (2009 : 2) Intention to leave ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain : absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menantang atau proses kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggungjawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan intention to leave karyawan dalam sebuah perusahaan.

1. Absensi yang meningkat. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggungjawab dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.

2. Mulai malas bekerja. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja ditempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan.

(29)

4. Peningkatan protes terhadap atasan. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakuka protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.

5. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggungjawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan meninggalkan perusahaan.

2.1.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Untuk Keluar (Intention to Leave)

Mor Barak, Nissli, dan Levin (2001) menambahkan tiga kategori yang menjadi turnover antecedent yaitu, faktor demografis (personal dan work-related), profession perception (komitmen organisasi dan kepuasan kerja), dan

organizational condition (keadilan dalam memberikan kompensasi dan budaya

organisasi).

a. Faktor demografis

(30)

pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan temuan Leontaridi dan Ward (2002). Pekerja minoritas yang berbeda gender, etnik, jenis kelamin, atau usia dengan lingkungan tempat bekerja memiliki intention to leave yang lebih besar. Sedangkan individu yang memiliki masa kerja lebih lama dan jabatan yang lebih tinggi cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Mor Barak, Nissli, dan Levin (2001) menambahkan bahwa faktor demografis merupakan predictor intention to leave.

b. Professional Perception

(31)

Sebagian besar karyawan pada berbagai sektor organisasi cenderung mengasosiasikan kondisi organisasi dengan job stress. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat job stress yang tinggi akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaannya. Job stress sangat berkorelasi dengan turnover, role overload, dan ketidakjelasan deskripsi pekerjaan. Dukungan kerja dari karyawan lain dan atasan dapat mereduksi tingkat job stress pada karyawan. Leontaridi dan Ward (2002) menambahkan bahwa job stress merupakan determinan dari intention to leave pada pekerjaan. Hal ini lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki Avey, Luthans, dan Jensen (2009) memiliki hasil penelitian yang serupa, yaitu job stress memiliki hubungan positif yang signifikan dengan intention to leave. Semakin tinggi job stress pada individu, semakin tinggi pula intention

to leave pada individu. American Psychological Assocation (2007, dalam

Avey, Luthans, dan Jensen 2009) mengidentifikasi bahwa pekerjaan yang menjadi sumber utama stress adalah beban kerja yang berat, harapan kerja yang tidak menentu, dan panjangnya jam kerja.

Mobley (1986) dalam Rodly (2012) menyatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan karyawan berpindah dari tempat kerjanya namun faktor determinan keinginan berpindah diantaranya adalah :

1. Kepuasan Kerja

(32)

untuk meninggalkan organisasi meliputi kepuasan akan upah dan promosi, kepuasan atau supervise yang diterima, kepuasan dengan rekan kerja dan kepuasan akan pekerjaan dan isi kerja.

2. Komitmen Organisasi

Karena hubungan kepuasan kerja dengan keinginan meninggalkan tempat kerja hanya menerangkan sebagian kecil varian maka jelas model proses intention to leave karyawan harus menggunakan variabel lain diluar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel penjelas. Perkembangan selanjutnya dalam studi intention to leave memasukkan konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang turut menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen organisasional dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada respon emosional (affective) individu kepada keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah pada respon emosional atau aspek khusus dari pekerjaan.

Menurut Griffet (1995) dalam Rodly (2012) bahwa hampir semua model intention to leave dikarenakan oleh tingkat kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang rendah yaitu :

a. Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap intention to leave. Hasil studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja

(33)

b. Komitmen organisasi adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya intention to leave dibanding kepuasan kerja.

2.1.4.4.1 Dimensi Keinginan Untuk Keluar (Intention to Leave)

Dimensi keinginan pindah karyawan diukur dengan indikator sebagai berikut (Mas’ud, 2004) :

1. Sering berfikir keluar dari pekerjaan sekarang

2. Kemungkinan meninggalkan pekerjaan yang sekarang

3. Kemungkinan individu akan meninggalkan organisasi apabila ada kesempatan yang lebih baik.

2.2 Penelitian Terdahulu

Rinaldi Adji (2015) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Kompetensi dan Kompensasi terhadap Intention to Leave pada PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pengembangan karir, kompetensi, dan kompensasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intention to leave karyawan PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan.

(34)

leave pada PT. Bank CIMB Niaga Cabang Pematang Siantar. Dan yang paling dominan mempengaruhi tingkat intention to leave pada Bank CIMB Niaga Cabang Pematang Siantar adalah jenjang karir.

Ana Sri Wahyuni (2014) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention Karyawan Pada Perusahaan Jasa Konstruksi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Faktor Internal yang secara signifikan dan berpengaruh positif terhadap turnover intention karyawan adalah Komitmen Organisasional dan Hubungan Karyawan dengan Atasan. Faktor Eksternal yang secara signifikan dan berpengaruh positif terhadap turnover intention karyawan pada perusahaan jasa konstruksi adalah Gaji, Insentif, dan Sikap Atasan.

Komariah et al (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Konflik Peran Ganda, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi Terhadap Turnover Intention Karyawan Pada CV Bartec Semarang”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa variabel Konflik Peran Ganda berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Turnover Intention karyawan. Sedangkan Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention karyawan.

Khairunneezam Mohd Noor (2011) melakukan penelitian dengan judul “Work-Life Balance and Intention to Leave among academics in Malaysian Public Higher Education Institution”. Berdasarkan hasil penelitian ini

(35)

signifikan terhadap Kepuasan Kerja. Keseimbangan Kehidupan Kerja berpengaruh negative dan signifikan terhadap Intention to Leave.

Najaf Aghaei, Keivan Moshiri & Shahnaz Shahrbanian (2012) melakukan penelitian dengan judul “Relationship Between Organizational Justice and Intention to Leave in Employees of Sport and Youth Head Office of Tehran”. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Keadilan Organisasional berpengaruh Negatif dan Signifikan terhadap Intention to Leave karyawan.

Safiah Omar (2013) melakukan penelitian dengan judul “Career Adaptability and Intention to Leave Among ICT Professionals : An Exploratory

Study”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penyesuaian Karir berpengaruh

negative dan signifikan terhadap Intention to Leave.

Assist.Prof.Dr.Kurtlus KAYMAZ (2014) melakukan penelitian dengan judul “Effect of Loneliness at Work on The Employees’ Intention to Leave”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kesendirian dalam Bekerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Intention to Leave.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Metode

Penelitian Hasil Penelitian

Adji (2015)

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Kompetensi, dan Kompensasi terhadap Intention to Leave di PT Pelabuhan

a. Intention to Leave

(36)

Pardomuan PT Bank CIMB Niaga Cabang Pematang

a. Intention to Leave

Analisis intention to leave pada PT. Bank CIMB Niaga Cabang Pematang Siantar. Dan yang paling dominan

mempengaruhi tingkat intention to leave pada Bank CIMB Niaga Cabang adalah Gaji, Insentif, dan Sikap Atasan.

KAYMAZ (2014)

Effect of Loneliness at Work on The

a. Intention to Leave

Analisis and Intention to Leave Among ICT and Intention to Leave in Employees of Sport and Youth Head Office of Tehran

Dependen a. Organizational Justice

Independen

a. Intention to Leave

Analisis

(37)

Komariah

a. Turnover Intention

Analisis signifikan terhadap Turnover Intention. Sedangkan

variabel Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention Karyawan.

Khairunnee zam (2011)

Work-Life Balance and Intention to Leave among academics in

a. Wok-Life Balance

Independen

a. Intention to Leave

Intervening a. Job Satisfaction b. Organisational

Menurut Rivai (2008 : 106) pengembangan karir dalam suatu perusahaan berpengaruh pada intention to leave karyawan. Karyawan tidak mau selama mereka bekerja hanya bertahan diposisi yang itu-itu saja, karyawan pasti ingin menduduki posisi yang lebih tinggi seiring berjalannya waktu. Karyawan akan bertahan pada perusahaan yang memberikan kesempatan besar dalam pengembangan karir sedangkan tingkat keinginan ingin berpindah akan meningkat jika kesempatan pengembangan karir disuatu perusahaan itu rendah.

(38)

maka karyawan akan terus meningkatkan kinerja mereka yang akan berdampak pada keberhasilan perusahaan. Untuk itu perusahaan harus benar-benar mampu merancang sistem kompensasi secara efektif dan efisien karena kompensasi merupakan titik sentral dalam hubungan kerja, maka perlu dirumuskan untuk mewujudkannya adalah dengan membangun sistem yang dimaksud. Pendapat Sutrisno (2009 : 198) mengemukakan bahwa pemberian kompensasi sangat penting bagi karyawan karena besar kecilnya kompensasi berpengaruh pada niat karyawan untuk keluar dari suatu perusahaan. Semakin besar kompensasi yang diterima, niat karyawan untuk berpindah kerja ketempat lain akan berkurang karena karyawan telah merasa dihargai dengan kontribusi yang telah mereka lakukan untuk perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil kompensasi yang diberikan perusahaan maka niat karyawan untuk berpindah tempat kerja akan semakin besar dikarenakan mereka tidak mendapatkan timbal balik yang sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan untuk perusahaan.

(39)

konflik peran ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggungjawab yang berhubungan dengan pekerjaan menganggu permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga. Hennessy (2005) selanjutnya mendefinisikan konflik peran ganda ketika konflik yang terjadi sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang menganggu kehidupan rumah tangga.

Definisi yang telah dijabarkan diatas maka dapat diketahui bahwa sistem pengembangan karir, konflik peran ganda, dan kompensasi berpengaruh terhadap intention to leave karyawan. Berdasarkan teori pendukung diatas maka, kerangka

konseptual pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Rivai (2008), Sutrisno (2009), dan Hennessy (2005) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.4 Hipotesis

Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (2010 : 84) pengertian hipotesis adalah dugaan sementara yang digunakan sebelum dilakukannya penelitian. Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah diuraikan peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

Sistem Pengembangan Karir

(X1)

Konflik Peran Ganda (X2)

Kompensasi (X3)

(40)

1. Sistem pengembangan karir berpengaruh signifikan terhadap keinginan untuk keluar (Intention to Leave) karyawan wanita pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

2. Konflik peran ganda berpengaruh signifikan terhadap keinginan untuk keluar (Intention to Leave) karyawan wanita pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan 3. Kompensasi berpengaruh signifikan terhadap keinginan untuk keluar

(Intention to Leave) karyawan wanita pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan 4. Sistem pengembangan karir, konflik peran ganda, dan kompensasi

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Schum} terhadap Fscherichia coli tidak dapat disetarakan dengan antibiotic pembanding kloramfenikol karena diameter daerah hambatan ekstrak kloroform tidak masuk

Ubah field status pada table keuangan menjadi status_keu dgn type data varchar size 15 Ini juga gampang ….. alter table keuangan change status

[r]

merupakan menu yang memanfaatkan teknologi Augmented Reality berfungsi untuk menampilkan objek tiga dimensi bangun ruang yang sudah terdaftar dalam sistem, dengan cara

[r]

kesempurnaan, dengan kata lain pengembangan manusia yang.. Jurnal el-Hikmah Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang 113 menyembahdan bertaqwa kepada Allah sebagaimana

[r]

Aplikasi multimedia ini didukung oleh gambar-gambar yang menarik, suara-suara yang mendukung penjelasan materi, serta text yang akan memberikan penjelasan dari bagian-bagian