• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di RSUD DR. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2011-2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di RSUD DR. Hadrianus Sinaga Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2011-2016"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Difinisi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat, yang menyebabkan predominan resistensi insulin sampai dengan predominan kerusakan sel β. Kerusakan sel β yang ada bukan suatu autoimmune mediated (Rustama dkk, 2010).

2.2 Etiologi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus disebabkan oleh penurunan produksi insulin oleh sel-sel beta pulau Langerhans. Jenis Juvenilis (usia muda) disebabkan oleh predisposisi herediter terhadap perkembangan antibodi yang merusak sel-sel beta atau degenerasi sel-sel beta. Diabetes jenis awitan maturitas disebabkan oleh degenerasi sel-sel beta akibat penuaan dan akibat kegemukan/obesitas.Tipe ini jelas disebabkan oleh degenerasi sel-sel beta sebagai akibat penuaan yang cepat pada orang yang rentan dan orang yang obesitas diperlukan insulin dalam jumlah besar untuk pengolahan metabolisme dibandingkan dengan orang normal. Faktor lain yang dapat berperan adalah: Kelainan genetik, usia, gaya hidup stres, pola makan yang salah dan infeksi (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

2.3 Patogenesis Diabetes Melitus

(2)

positif. Namun, keluarga penderita dengan DM tipe 1 berada pada risiko yang lebih tinggi (15 sampai 20 kali lipat) mempunyai risiko DM tipe 1 dibandingkan dengan populasi yang tidak ada keturunan diabetes. Risiko penyakit hingga 5 kali lebih tinggi ketika ayah memiliki penyakit daripada ketika ibu diabetes (Chugh, 2011).

Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA adalah glikoprotein permukaan sel yang menunjukkan variabilitas ekstrem melalui polimorfisisme pada gen pemberi kode. Tetapi sistim HLA bukan faktor dominan pada patogenesis DM tipe 1 Sistim HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang

berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala-gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan. Proses ini akan berlangsung dalam beberapa bulan sampai tahun sebelum manifestasi klinisnya timbul (Rustama dkk, 2010).

DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi hormon insulin, karena jumlah reseptor insulin pada permukaan sel berkurang, meskipun jumlah insulin tidak berkurang. Hal ini menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel insulin, walaupun telah tersedia. Kondisi ini disebabkan obesitas terutama tipe sentral, diet tinggi lemak, dan rendah karbohidrat, kurang olahraga, serta faktor keturunan (Irianto, 2014).

2.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

(3)

1. Diabetes Tipe 1 (penghancuran sel β, biasanya mengarah pada defisiensi insulin absolut).

2. Diabetes Tipe 2 (disebabkan oleh kombinasi resistensi insulin dan disfungsi sekresi insulin sel β.

3. Diabetes tipe khusus lain (disebabkan oleh kondisi seperti defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, induksi obat atau zat kimia, seperti steroid, infeksi, bentuk tidak lazim dari diabetes dimediasi imun, dan sindrom genetilk lain terkadang berhubungan dengan diabetes).

4. Diabetes Gestasional (diabetes yang terjadi pertama kali saat kehamilan). 2.4.1 Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 merupakan bentuk DM yang ditandai oleh gangguan pada sekresi serta kerja insulin. Kedua defek ini terdapat pada DM klinis. Penyebab yang jumlahnya banyak dan bervariasi untuk terjadinya kelainan ini telah terindetifikasi (Gibney, et al.,2008).

Pada DM tipe 1 defisiensi insulin karenya kerusakan sel-sel Langerhans yang berhubungan dengan tipe HLA spesifik, predisposisi pada insulitis fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-sel pulau Langerhans di pankreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

(4)

Indonesia, statistik mengenai diabetes tipe 1 belum ada, diperkirakan hanya sekitar 2-3 persen. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian tidak terdignosis atau tidak diketahui (Tandra dan Hans, 2013).

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 adalah jenis yang paling sering didapatkan. Biasanya timbul pada usia di atas 40 tahun, namun bisa pula timbul pada usia di atas 20 tahun. Sembilan puluh hingga Sembilan puluh lima persen dari penderita diabetes adalah diabetes tipe 2 (Tandra dan Hans, 2013).

Penderita diabetes tipe 2 dapat menghasilkan insulin. Akan tetapi, insulin yang dihasilkan tidak cukup atau tidak bekerja sebagaimana mestinya di dalam tubuh. Ketika tidak terdapat cukup insulin atau insulin tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh (D’Adamo dan Whitney, 2009).

(5)

Otot adalah pengguna glukosa yang paling banyak sehingga resistensi insulin mengakibatkan kegagalan ambilan glukosa oleh otot. Fenomena resistensi insulin ini terjadi beberapa dekade sebelum onset DM dan telah dibuktikan pada saudara kandung DM tipe 2 yang normoglikemik.

Selain genetik, faktor lingkungan juga mempengaruhi kondisi resistensi insulin. Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Seiring dengan progresifitas penyakit maka produksi insulin ini berangsur menurun menimbulkan klinis hiperglikemia yang nyata.

Hiperglikemia awalnya terjadi pada fase setelah makan saat otot gagal melakukan ambilan glukosa dengan optimal. Pada fase berikutnya dimana produksi insulin semakin menurun, maka terjadi produksi glukosa hati yang berlebihan dan mengakibatkan meningkatnya glukosa darah pada saat puasa. Hiperglikemia yang terjadi memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah ada dan disebut fenomena glukotoksisitas (Soegondo, 2009).

Pasien DM juga cenderung mengalami komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Faktor etiologi meliputi faktor genetik, usia, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (Gibney, et al., 2008).

2.5 Epidemiologi Diabetes Melitus 2.5.1 Distribusi dan Frekuensi a. Menurut Orang

(6)

diderita oleh penduduk berusia 45-64 tahun. Berdasarkan data Profil Kesehatan Sumatera Utara (2013), prevalensi penderita DM cenderung banyak pada usia 55-64 tahun yaitu sebanyak 6,9%

Berdasarkan Riskesdas (2013), proporsi penderita DM meningkat seiring meningkatnya usia dengan kategori umur 15-24 tahun sebesar 1,10%, 25-34 tahun 2,70%, 35-44 tahun 6,10%, 45-54 tahun 9,70%, 55-64 tahun 11,50%, 65-74 tahun 13,20%, 75+ tahun 13,20% sedangkan proporsi penderita DM menurut jenis kelamin laki-laki sebesar 5,60% dan perempuan 7,70%.

Berdasarkan penelitian Sartika (2007), di RSU Sipirok tahun 2004-2006, proporsi terbesar penderita DM terdapat pada umur ≥ 40 tahun yaitu sebesar 87,0 %, sedangkan proporsi umur < 40 tahun sebesar 13,0%.

b. Menurut Tempat

Menurut IDF (Internasional Diabetes Federation), prevalensi global diabetes di masyarakat (20-79 tahun) pada tahun 2013 adalah 382 juta orang menderita diabetes dengan prevalensi 83 per 1.000 penduduk. Amerika utara dan Karibia adalah wilayah dengan prevalensi tinggi yaitu 36,755 orang dengan diabetes 11 per 1.000 penduduk, Timur Tengah dan Afrika Utara dengan 34,571 orang dengan diabetes 92 per 1.000 penduduk, dan wilayah Pasifik Barat sebanyak 138,195 orang, wilayah ini tinggi dengan orang penderita diabetes meskipun dengan prevalensi 86 per 1.000 tetapi mendekati prevalensi dunia.

(7)

daerah urban rural sebesar 69 per 1.000 penduduk (Mihardja dkk, 2015).

Berdasarkan laporan hasil Riskesdas tahun 2013 oleh Kementrian Kesehatan RI menunjukkan proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9%. Proporsi perkotaan tahun 2013 sebesar 6,8% sedangkan di daerah pedesaan tahun 2013 sebesar 7%. Dibandingkan di daerah perkotaan, daerah pedesaan memiliki proporsi yang lebih tinggi.

c. Menurut Waktu

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), tahun 2012 sekitar 347 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes, dan diperkirakan bahwa kematian akibat diabetes akan meningkat dua pertiga kali antara tahun 2008 dan 2030. Beban diabetes meningkat secara global, khususnya di negara-negara berkembang. Pada tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke-10 jumlah penderita DM terbanyak di dunia dengan jumlah 7,3 juta orang dan jika hal ini berlanjut diperkirakan pada tahun 2030 penderita DM dapat mencapai 11.8 juta orang. Orang dengan DM memiliki peningkatan risiko mengembangkan sejumlah masalah kesehatan akibat komplikasi akut maupun kronik (IDF, 2011).

2.5.2 Determinan a. Genetik

(8)

Tidak seperti diabetes tipe 1, diabetes tipe 2 tidak berhubungan dengan gen pada area HLA. Sejauh ini, 19 varian gen telah dijelaskan dan divalidasi berhubungan dengan diabetes tipe-2 (Bilous dan Donelly, 2015).

b. Usia Lanjut

Prevalensi diabetes melitus yang terdiagnosis pada penduduk usia di atas 65 tahun menurut data Riskesdas tahun 2007 adalah 4,6%. Diabetes melitus pada lansia seringkali tidak disadari karena gejala-gejala diabetes seperti sering haus, sering berkemih, dan penurunan berat badan tersamarkan akibat perubahan fisik alamiah lansia yang mengalami penurunan, sehingga diabetes yang tidak terdiagnosis ini akan terus berkembang menjadi komplikasi yang dapat berakibat fatal (Rosyada dan Trihandini, 2007).

Data di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung menunjukkan angka prevalensi diabetes melitus mencapai 35,5% dengan 76,2% mengalami komplikasi. Sebanyak 13 poli lansia puskesmas kecamatan Jatinegara juga menunjukkan angka prevalensi diabetes melitus yang tak jauh berbeda yaitu mencapai 29,3% pada lansia usia 60-69 tahun dan 20,8% pada lansia usia ≥ 70 tahun (Rosyada dan Trihandini, 2007).

c. Pola makan dan obesitas (kegemukan)

(9)

lebih sensitif terhadap regulasi enzim lipolisis dan hormon endokrin terkait dengan resistensi insulin pada DM tipe 2.

Peningkatan ukuran lingkar pinggang akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan komplikasi DM. Pengukuran lingkar pinggang sebesar 94 cm untuk pria dan 80 cm untuk wanita membutuhkan manajemen penurunan berat badan yang ideal untuk mengurangi risiko, meskipun memiliki indeks massa tubuh (IMT). Lingkar pinggang adalah prediktor risiko diabetes yang lebih baik dibandingkan parameter lainnya, dan dapat digunakan sebagai distribusi prediksi jaringan adiposa di daerah perut (Kirtishanti dkk, 2013).

d. Kurangnya aktifitas fisik

(10)

e. Kehamilan

Diabetes Melitus yang terjadi pada saat kehamilan disebut DM Gestasi (DMG). Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai suatu toleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi ini berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapat terapi insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah menjadi intoleransi glukosa. Meskipun memiliki perbedaan pada awal perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe 1 dan 2 yang hamil maupun DMG memiliki penatalaksanaan yang kurang lebih sama (Adam dan Purnamasari, 2009).

Hal ini dapat terjadi pada pasien diabetes tipe 2 selama kehamilan apabila perubahan pola makan dan gaya hidup tidak dijalankan setelah kehamilan, maka sebagian besar (>75%) wanita dengan diabetes gestasional akan menderita DM tipe 2 di masa depan (Greenstein dan wood, 2007).

f. Infeksi

(11)

Banyak orang dewasa dengan awitan terkini diabetes tipe 1 mengidap infeksi virus coksackie B berdasarkan hasil pemeriksaan serologis atau klinis, terutama serotipe B4. Kerusakan sel beta pulau Langerhans yang diidentifikasi telah dideteksi pada anak yang meninggal akibat terinfeksi virus coksackie B (Bilous dan Donelly, 2015).

2.6 Gejala Klinik Diabetes Melitus

Berbagai gambaran klinis dan biokimia dapat digunakan untuk memutuskan pasien menderita diabetes tipe 1 atau tipe 2. Pada diabetes tipe 1 ditandai dengan awitan mendadak gejala berat dari haus dan ketoasidosis (muntah, hiperventilasi, dehidrasi), penurunan berat badan terkini, biasanya tampak kurus, ketosis spontan, tidak ditemukan rantai C-peptida, dan ditemukan penanda autoimun (seperti sel antibodi pada sel pulau pankreas).

Pada diabetes tipe 2 biasanya awitan tersembunyi dari kelelahan, haus, poliuria, nokturia, dan tidak ditemukannya ketoasidosis, berat badan biasanya berlebih atau obesitas, infeksi yang sering seperti urin, kulit, dan dada. Gejala dapat dirasakan sedikit atau diabaikan oleh penderita. Seringkali menunjukkan gambaran lain sindrom metabolik seperti hipertensi, serta rantai C-peptida dapat dideteksi (Bulous dan Donelly, 2015).

2.7 Diagnosis Diabetes Melitus

(12)

darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM pemeriksa glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Purnamasari, 2009).

Gangguan glikemia puasa 6,1-6,9 5,6-6,0 5,6-6,0

Diabetes ≥7,0 ≥6,1 ≥6,1

Glukosa darah 2 jam

Normal <7,8 <7,8 <6,7

Gangguan toleransi glukosa 7,8-11,0 7,8-11,0 6,7-9,9

Diabetes ≥11,1 ≥11,1 ≥10,0

Sumber :Bilous dan Donelly, 2015

Terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis diabetes: 1) HbA1c ≥6,5% (48 mmol/mol).

2) Kadar glukosa plasma acak (sewaktu-waktu) ≥11,1 mmol/L (200 mg/dL) pada individu yang memiliki gejala khas diabetes.

3) Kadar glukosa plasma puasa ≥7,0 mmol/L (126 mg/ dL).

(13)

2.8 Komplikasi Diabetes Melitus 2.8.1 Tuberkulosis paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).

Pada pasien DM didapatkan beberapa defisiensi imun seluler. Kadar gula darah yang tinggi akan memicu terjadinya defek imunologis yang berdampak pada penurunan fungsi neutrofil, monosit, maupun limfosit. Selain itu, hiperglikemi kronik dapat menyebabkan gangguan fungsi paru dengan menyebabkan penebalan dan perubahan struktur pada membran basalis (Tirtana, 2011).

Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf otonom dapat berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi penurunan elastisitas recoil paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida.

(14)

kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan infeksi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan sistem imun pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosispada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati,

makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien DM (Wulandari & Sugiri, 2013).

2.9 Upaya Pencegahan 2.9.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah cara yang digunakan untuk orang-orang yang belum sakit artinya yang masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah altenatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-anak-kanak-anak (Suyono, 2009).

2.9.2 Pencegahan Sekunder

(15)

penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.

Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. Salah satu komplikasi DM yang serin terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes (PERKENI, 2011).

2.9.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

(16)

sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011).

2.10 Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 2.10.1 Edukasi/Penyuluhan

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pendeita untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak (Ndraha, 2014).

2.10.2 Diet Diabetes

(17)

lebih dari satu rantai glukosa, sebelum diserap ke dalam aliran darah akan terurai lebih dulu menjadi satu rantai glukosa melalui proses pencernaan.

Makanan yang mengandung karbohidrat alamiah berserat dianjurkan, misalnya roti yang terbuat dari biji gandum, sayuran, dan kacang-kacangan, serta buah segar. Sebagai pedoman asupan kalori bagi penderita DM, komposisi kalori yang dianjurkan adalah karbohidrat 60%-70%, lemak 20%-25%, dan protein 10%-15% (Irianto, 2014).

2.10.3 Latihan Fisik

Diet dan olahraga harus dilakukan secara bersamaan, sebagai sarana untuk mengontrol gula darah yang cukup ampuh bagi penderita DM. Disamping itu, olahraga juga membuat insulin bekerja lebih efektif, membantu menurunkan berat badan, memperkuat jantung, serta mengurangi stres. Olahraga yang dianjurkan adalah aerobik, misalnya jalan, jogging, bersepeda, berenang.

Prinsip yang harus diterapkan adalah frekuensi, intensitas, dan tempo latihan, yaitu frekuensi latihan, 3-4 kali seminggu dengan teratur, intensitas latihan sebaiknya dipilih sedang yaitu, sekitar 70 persen dari detak jantung maksimal. Detak jantung maksimal seseorang adalah 220 dikurangi usia orang yang bersngkutan, serta tempo latihan sebaiknya 30 sampai 60 menit setiap kali berolahraga (Irianto, 2014).

2.10.4 Intervensi Farmakologis

(18)

1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu golongan pemicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid), golongan peningkat sensitivitas terhadap insulin (tiazolidindion), golongan penghambat gluconeogenesis (metformin), golongan penghambat absorpsi glukosa (glukosidase alfa), dan golongan DPP-IV inhibitor.

Golongan sulfonilurea diberikan pada pasien yang tidak gemuk karena meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, misalnya Glibenklamid dengan nama obat paten Daonil atau Euglucon. Golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan penekanan pada sekresi insulin fase pertama, misalnya Repaglinid dengan nama obat paten Novonorm. Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, misalnya Pioglitazon dengan nama obat paten Actos. Golongan metformin berfungsi mengurangi produksi glukosa hati, misalnya Glucophage. Golongan glukosidase alfa berfungsi mengurangi absorpsi glukosa di usus halus sehingga menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan, misalnya Akarbose dengan nama obat paten Glucobay (Andriani, 2011).

2) Insulin

(19)

karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Andriani, 2011).

2.11 Kerangka Konsep

Karakteristik penderita DM Tipe 2 dengan komplikasi 1. Sosiodemografi

Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pekerjaan

Status perkawinan Daerah Asal 2. Sumber biaya

3. Lama rawatan rata-rata 4. Jenis pengobatan

5. Keadaan sewaktu pulang 6. Hasil pemeriksaan

Gambar

Tabel 2.7. Kriteria Diagnosis DM

Referensi

Dokumen terkait

Laporan skripsi dengan judul “Sistem Informasi Reward Pegawai pada Universitas Muria Kudus Berbasis Web” telah dilaksanakan dengan menganalisa permasalahan yang ada

[r]

21/CV.BJ/IV/2015; Tanggal 23 April 2015 untuk Paket Pekerjaan Jasa Konstruksi Pembangunan Shelter Kantor SAR Mataram berdasarkan Hasil Evaluasi POKJA ULP Kantor SAR

Prabu Pandhu Dewanata nduwe garwa loro kang aran Dewi Kunthi lan Dewi Madrim.. Karo Dewi Kunthi, Prabu Pandhu kagungan puta telu yaiku Puntadewa, Werkudara lan

Berdasarkan tahapan dan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen penawaran, dengan

Berdasarkan tahapan dan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen penawaran, dengan

Pihak lain yang bukan Direktur Utama/Pimpinan Perusahan/Pengurus Koperasi yang namanya tidak tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar, sepanjang pihak lain

Panitia Pengadaan Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan paskakualifikasi untuk paket Pekerjaan