BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perawatan Menjelang Ajal
2.1.1 Ciri / Tanda Klien Lanjut Usia Menjelang Kematian
Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan, yang merupakan proses menuju akhir kehidupan atau kematian. Kematian adalah apabila seseorang tidak
lagi teraba denyut nadinya, tidak bernafas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan beberapa reflek, serta tidak ada kegiatan otak.
Dalam proses menjelang ajal, ada beberapa ciri-ciri atau tanda-tanda seseorang lansia menuju kematian yakni, (1) Gerakan dan pengidraan menghilang
secara berangsur-angsur. Biasanya dimulai pada anggota tubuh, khususnya kaki dan ujung kaki, (2) Gerakan peristaltik usus menurun, (3) Tubuh klien lanjut usia tampak menggembung, (4) Badan dingin dan lembap, terutama pada kaki, tangan,
dan ujung hidung, (5) Kulit tampak pucat, berwarna kebiruan / kelabu, (6) Denyut nadi mulai tidak teratur, (7) Nafas mendengkur berbunyi keras (stridor) yang disebabkan oleh adanya lender pada saluran pernafasan yang tidak dapat
dikeluarkan oleh klien lanjut usia, (8) Tekanan darah menurun, dan (9) Terjadi gangguan kesadaran atau ingatan menjadi kabur (Nugroho, 2008).
2.1.2Tahap Kematian
Tahap-tahap ini tidak selamanya berurutan secara tetap, tetapi saling tindih. Kadang-kadang seorang klien lanjut usia melalui satu tahap tertentu untuk
kemudian kembali ke tahap itu. Apabila tahap tertentu berlangsung sangat singkat, bias timbul kesan seolah-olah klien lanjut usia melompati satu tahap, kecuali jika
Tahap pertama (penolakan), tahap ini adalah kejutan atau penolakan.
Biasanya sikap itu ditandai dengan komentar, selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa mau menimpa semua orang, kecuali dirinya.
Klien lanjut usia biasanya terpengaruh oleh sikap penolakannya sehingga tidak memperhatikan fakta yang mungkin sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan telah menekan apa yang telah ia dengar atau mungkin akan meminta
pertolongan dari berbagai sumber professional dan nonperofesional dalam upaya melarikan diri dari kenyataan bahwa mau sudah di ambang pintu.
Tahap kedua (marah), tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali. Sering kali klien lanjut usia akan mencela setiap orang dalam
segala hal. Ia mudah marah terhadap perawat dan petugas kesehatan lainnya tentang apa yang telah mereka lakukan. Pada tahap ini, klien lanjut usia lebih menganggap hal ini merupakan hikmah, daripada kutukan. Kemarahan ini
merupakan mekanisme pertama diri klien lanjut usia. Pada saat ini, perawat kesehatan harus hati-hati dalam memberi penilaian sebagai reaksi yang normal terhadap kematian yang perlu diungkapkan.
Tahap ketiga (tawar-menawar), kemarahan biasanya mereda dank lien lanjut usia dapat menimbulkan kesan dapat menerima apa yang sedang terjadi
pada dirinya. Akan tetapi pada tahap tawar-menawar ini banyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan rumah tangga mereka sebelum maut tiba, dan mempersiapakan jaminan hidup bagi orang tercinta yang ditinggalkan.
Tahap keempat (sedih/depresi), hal ini biasanya merupakan saat yang menyedihkan klien lanjut usia sedang dalam suasana berkabung. Di masa lampau,
sendiri. Bersama dengan itu, ia harus meninggalkan semua hal yang
menyenangkan yang dinikmatinya. Selama tahap ini, klien lanjut usia cenderung tidak tidak banyak bicara dan sering menangis. Saatnya bagi perawat untuk duduk
dengan tenang di samping klien lanjut usia yang sedang melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
Tahap kelima (menerima/asertif), tahap ini ditandai oleh sikap menerima
kematian. Menjelang saat ini, klien lanjut usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai dan mungkin tidak ingin bicara lagi karena sudah menyatakan
segala sesuatunya. Tawar-menawar sudah lewat dan tibalah saatnya kedamaian dan ketenangan. Seseorang mungkin saja lama ada dalam tahap menerima, tetapi
bukan tahap pasrah yang berarti kekalahan. Dengan kata lain, pasrah pada maut bukan berarti menerima maut.
2.1.3 Perawatan Menjelang Ajal
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Seorang perawatan professional dalam merawat lanjut usia yang tidak akan ada harapan mempunyai keterampilan yang multi kompleks, sesuai dengan peran yang dimiliki, perawatan harus mampu memberikan pelayanan keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia yang sedang
menghadapi sakaratul maut tidaklah selamanya mudah, klien lanjut usia akan memberikan reaksi-reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan
cara klien lanjut usia menghadapi hidup. Menurut Dadang Hawari (1977), orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian sehingga
pembinaan kerohanian dan memenuhi kebutuhan psikologis saat klien menjelang ajal perlu mendapat perhatian khusus.
2.2 Konsep Lansia 2.2.1 Pengertian Lansia
Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya yang lanjut mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Oleh karena itu, kesehatan manusia lanjut usia perlu mendapat perhatian khusus dengan tetap
dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam pembangunan (UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 138). Menurut
Hardywinoto dan Setiabudi (2005) kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun keatas.
2.2.2 Batasan Usia Lanjut
Birren dan Jenner, membedakan usia menjadi: (1) Usia Biologis, yang menunjuk kepada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada dalam keadaan
hidup tidak mati, (2) Usia Psikologis, menunjuk kepada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya,
diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya (Nugroho,
2008).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi: (1)
Usia Pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-59 tahun, (2) Usia lanjut (elderly), antara 60-74 tahun, (3) Usia tua (old), antara 75-90 tahun, (4) Usia sangat tua (very old), usia diatas 90 tahun. Sedangkan menurut DEPKES RI
membagi Lansia sebagai berikut: (1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa virilitas, (2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai
masa presenium, (3) Kelompok usia lanjut (65 tahun keatas) sebagai masa senium.
2.2.3 Proses Menua
Secara teknis proses menua (aging process) berlangsung setelah konsepsi, istilah menua (aging) tidak sinonim dengan tua (aged, misalnya aged adult). Aged adult atau lanjut usia adalah orang dewasa yang sistem-sistem biologisnya telah
dewasa (matur). Dan karena usianya yang sudah lanjut terjadi perubahan-perubahan struktur dan fungsi. Perubahan itu sangat berjalan mulus sehingga tidak
menimbulkan ketidakmampuan atau dapat terjadi sangat nyata dan berakibat ketidakmampuan total (Soejono cit Adriani, 2009).
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua adalah suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun
sosial akan saling berinteraksi antara satu dengan yang lain.
2.3 Budaya
2.3.1 Definisi Kebudayaan
Soekanto (2009) mengungkapkan bahwa kata “kebudayaan” berasal dari
bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata
buddi yang berarti budi atau akal. Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal budi manusia.
Sementara itu, istilah culture atau kebudayaan berasal dari bahasa Latin, yaitu colore, yang berarti mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani. Dari kata
colore menjadi culture, kebudayaan berarti segala daya dan keinginan manusia
untuk mengolah dan mengubah alam.
Koentjaraningrat (1990) memberi definisi kebudayaan sebagai
keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka memenuhi kehidupan masyarakat. Taylor (1924) mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan, dan kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dewantara (1967) mendefinisikan kebudayaan sebagai buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat. Kluckhohn & Kelly (1945) mengungkapkan bahwa
Dari berbagai definisi tersebut, kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil
karya, rasa, cipta manusia berupa pikiran, gagasan, ide, norma, aktivitas manusia, hasil fisik, hasil perbuatan, dan karya manusia dalam memenuhi kebutuhan untuk
mencapai tujuan hidupnya(Sunaryo, 2014). 2.3.2 Sifat dan Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia yang selalu berhadapan
dengan segala macam masalah dan kebutuhan. Masalah dan kebutuhan ini harus dipecahkan dan diselesaikan agar usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya
dapat terpenuhi. Dengan demikian, pokok pangkal dari terbentuknya suatu kebudayaan adalah karena setiap individu mempunyai tugas untuk hidup dan
mengadakan interaksi dengan alam lingkungannya sesuai dengan kebutuhan pribadi atau kelompoknya.
Setiap kelompok manusia (masyarakat) mempunyai kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan yang lain. Pada umumnya, kebudayaan mempunyai sifat dan hakikat, yaitu: (1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari tindakan dan perilaku manusianya, (2) Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada
lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya generasi itu, (3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam perilakunya, (4)
Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan, dan perilaku yang diterima/ditolak yang harus dilakukan atau dilarang.
2.3.3 Isi Utama Kebudayaan
Isi utama kebudayan adalah segala macam ide dan gagasan manusia yang banyak timbul dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat itu. Isi
merupakan sistem perencanaan untuk menentukan dan menyimpulkan gagasan
dari hasil pengamatan alat indera. Pengetahuan merupakan akumulasi dari segala yang didapatkan dari usahanya melalui pancaindera. Jadi, pengetahuan adalah
segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Sistem pengetahuan dikelompokkan menjadi pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang
tumbuh-tumbuhan dan hewan, pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia, serta pengetahuan tentang ruang dan
waktu.
Isi kebudayaan yang kedua adalah nilai. Nilai merupakan kumpulan dari
semua sikap dan perasaan yang selalu diperlihatkan melalui perilaku manusia tentang baik-buruk, dan benar-salah, baik terhadap objek material maupun non-material. Nilai memajukan prestasi yang dicapai seseorang; meningkatkan
ketaatan, tunduk, dan rasa hormat kepada orang tua; memotivasi perbuatan dan perilaku yang baik dalam masyarakat; dan menumbuhkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Isi kebudayaan yang ketiga adalah pandangan hidup. Pandangan hidup merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan atau individu
tertentu didalam masyarakat. Pandangan hidup dapat terwujud dalam bentuk agama, keyakinan atau kepercayaan atau prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh individu atau golongan dalam masyarakat.
Isi kebudayaan yang keempat adalah religi. Religi atau agama dan sistem kepercayaan lainnya sering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama adalah
Koentjaraningrat (1990) mengemukakan bahwa sistem religi berdasarkan pada
getaran jiwa dan emosi keagamaan (religious emotional) yang menyebabkan suatu benda, tindakan, atau gagasan mendapat nilai keramat. Sistem religi
mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka dan surga.
Isi kebudayaan yang kelima adalah persepsi. Persepsi merupakan
pandangan sesorang yang bersifat individual terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan keadaan yang terjadi di masyarakat.
Isi kebudayaan yang keenam adalah etos. Istilah etos berasal dari kata ethos yang berarti watak yang khas. Watak khas terpancar dari suatu kebudayaan
yang disebut dengan etos kebudayaan. Etos kebudayaan menjadi pandangan hidup yang khas dari suatu golongan masyarakat tertentu yang membedakannya dari masyarakat lainnya.
2.3.4 Kebudayaan di Indonesia
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, yang tinggal di berbagai daerah, memiliki beraneka ragam kebudayaan.Pertama, bahasa. Bangsa Indonesia
memilki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, namun tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa daerah masing-masing. Kedua, sistem pengetahuan. Di desa,
sistem pengetahuan masih tradisional, sedangkan di kota besar sudah modern. Ketiga, organisasi sosial.Secara formal, organisasi sosial mencakup tingkat pemerintahan desa hingga pemerintahan pusat.Secara informal, di dalam
organisasi sosial masih terdapat ketua adat atau ketua suku.
Keempat, sistem peralatan hidup dan teknologi. Masih banyak masyarakat
peralatan yang tradisional.Kelima, sistem mata pencaharian hidup. Di daerah
pedesaan masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan perkebunan sementara di kota besar sudah lebih maju. Keenam, sistem religi. Masyarakat
Indonesia masih banyak mewariskan sistem kepercayaan nenek moyang, dengan wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga dan sebagainya. Ketujuh, sistem kesenian. Sistem kesenian dapat
meliputi cerita, hikayat, syair, dan hasil-hasil kesenian yang berupa benda antik, masjid, candi, kuil dan benda hasil kerajinan tradisional. Ini menandakan bahwa
kebudayaan di Indonesia sangat beragam dan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat dalam melakukannya (Sunaryo, 2014).
2.3.5 Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat. Adapun fungsi kebudayaan bagi masyarakat yakni meliputi (1) melindungi diri
terhadap lingkungan alam, (2) memberikan kepuasan materil atau spiritual bagi manusia dan masyarakat, (3) memanfaatkan alam dan bila mungkin menguasai alam dan teknologi yang diciptakan oleh manusia, dan (4) mengatur tata tertib
dalam pergaulan kemasyarakatan dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial. 2.3.6 Teori Transkultur Keperawatan
Budaya adalah sesuatu yang besifat kompleks yang mengandung pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya memiliki
kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan, serta budaya diisi dan
ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri tanpa disadari.
Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih
diinginkan atau suatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu
pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan,
dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi.
Perkembangan teori keperawatan menurut Smith & Liehr (2008) terbagi menjadi empat tahap, yaitu metha theory, grand theory, middle theory,dan practice theory. Salah satu dari tahap middle range theory disebut teori
transkultural keperawatan. Teori transkultural keperawatan termasuk kedalam disiplin ilmu Antropologi, namun kemudian dikembangkan dalam konteks keperawatan. Menurut Marriner-Tomey (1994, dalam Sunaryo 2014),
transkultural keperawatan merupakan suatu arah utama dalam keperawatan, yang berfokus pada studi komparatif dan analisis tentang budaya dan sub budaya yang
berbeda di dunia, yang menghargai perilaku caring, layanan keperawatan, nilai-nilai, keyakinan tentang sehat-sakit, serta pola-pola tingkah laku yang bertujuan mengembangkan batang tubuh ilmiah dan humanistik guna memberi tempat