• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Finance) Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM MENGENAI PERJANJIAN SECARA UMUM DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1. Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang

lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.”22

“Perjanjian adalah Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal” Perjanjian atau bisa disebut juga dengan persetujuan bentuknya berupa rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan ataupun

ditulis. Artinya pihak-pihak yang saling berjanji setuju untuk melakukan sesuatu.

Para pihak yang mengadakan perjanjian adalah agar antar mereka berlaku suatu

perikatan hukum sehingga mereka terikat satu sama lain karena janji yang telah

mereka berikan.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai

berikut :

23

“Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak,

dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu Menurut M. Yahya Harahap perjanjian adalah:

22

R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2001), hal. 36

(selanjutnya disebut sebagai R.Subekti 1) 23

(2)

hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu.”24

“Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan

atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada

satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain

untuk menunaikan prestasi.”

Menurut Wirjono Projodikioro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah :

25

“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian Setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap

mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang

menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum

yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam

bidang kekayaan.

Pengertian perjanjian juga diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan: “Suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam

ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk)

dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

24

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 6 25

(3)

juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.”26

a. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang

Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan

kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Dari beberapa pengertian di

atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian, antara lain:

Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang

dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk

melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu

perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak

yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang

berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak

tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan

berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari

satu atau lebih badan hukum.27

1) Adanya persetujuan atau kata sepakat

Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah

konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek

yang diperjanjikan.

26

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65 (selanjutnya disebut sebagai Mariam Darus 2)

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang

(4)

2) Adanya tujuan yang ingin dicapai

Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai

kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui

perjanjian.28

b. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan

Dengan membuat perjanjian, pihak yang

mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk

menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat

sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap

siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau

tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan

dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah

mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus

lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan

maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak

untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati.

Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap

orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau

prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau

lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.29

28

Wirjono Prodjodikoro (1), Op.cit., hal. 84 29

(5)

c. Adanya bentuk tertentu.

Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat

oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat

pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan

suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk

itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian,

bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan

pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.30 d. Adanya syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian

sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam

perjanjian.31

Dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata dinyatakan: “Semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya, dan selanjutnya dalam Ayat (3) dinyatakan: “Suatu perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bila suatu perjanjian dibuat secara sah,

maka perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang dan secara serta merta Selain pengertian perjanjian, syarat sahnya sebuah perjanjian juga harus

dipahami, suatu perjanjian dikatakan mengikat atau tidak terhadap para pihak

yang membuatnya tergantung kepada sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat

oleh para pihak.

30

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 66 31

(6)

akan mengikat para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Selain itu,

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik agar kedudukan para pihak

menjadi seimbang antara yang satu dengan yang lainnya.

Untuk membuat suatu perjanjian yang sah menurut hukum harus memenuhi

empat syarat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata,yang

berbunyi:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan

pada para pihak, kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah

persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih

dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah penyataannya, karena

kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui oleh orang lain. Ada lima

cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

bahasa yang sempurna dan tertulis;

1) Bahasa yang sempurna secara lisan;

2) Bahasa yang tidak sempurna tetapi dapat diterima oleh pihak lawan.

3) Bahasa isyarat tetapi dapat diterima oleh pihak lawannya; 4) Diam atau membisu, tetapi dapat dipahami atau diterima pihak

lawan.32

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu

dengan bahasa yang sempurna secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara

32

(7)

tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat

bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Maksudnya adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan

menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan

perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai

wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang

ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang

untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah

dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau

sudah kawin dan tidak dibawah pengampuan.

c. Suatu hal tertentu

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau

mengenai bendanya. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, suatu hal

tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling

sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak

menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.33

Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak

ditegaskan di dalam perjanjian mengenai :34

1) Jenis barang,

2) Kualitas dan mutu barang,

3) Buatan pabrik dan dari Negara mana,

33

Komariah,Hukum Perdata, (Malang : UMM Press, 2008) , hal. 175 34

(8)

4) Buatan tahun berapa, 5) Warna barang,

6) Ciri khusus barang tersebut, 7) Jumlah barang,

8) Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.

Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya

tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis

objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

Sebab yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu

sendiri. Jadi sebab tidak berarti sesuatu yang menyebabkan

seseorang membuat perjanjian yang dimaksud.35

Menurut Subekti, “Sebab harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa

yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian.”36 Menurut Pasal

1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh

undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Akibat

hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal, mengakibatkan

perjanjian itu batal demi hukum.

Syarat-syarat diatas mutlak harus dipenuhi oleh para pihak yang akan

mengadakan perjanjian karena apabila tidak terpenuhinya salah satu syarat maka

akan terdapat dua opsi atas perjanjian tersebut yaitu pembatalan oleh salah satu

pihak atau dapat batal demi hukum.

35

Komariah, Op.Cit., hal. 175 36

(9)

2. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu:

a. Perjanjian Atas Beban dan Perjanjian Cuma-Cuma

Pasal 1314 KUH Perdata membedakan antara perjanjian yang dibuat

dengan cuma-cuma dan perjanjian atas beban, dan memberikan

perumusan perjanjian cuma-cuma sebagai berikut :

”Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang

lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.”

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya : hibah.

Adapun perjanjian atas beban menurut Pasal 1314 KUH Perdata adalah:

”Suatu perjanjian atas beban, adalah perjanjian yang mewajibkan

masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak

berbuat sesuatu”.

Perjanjian atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi yang

satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana kontra prestasinya

bukan sematamata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu hanya

sekedar menerima kembali prestasinya sendiri.37

37

(10)

b. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang

dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah,

hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban.38

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan

kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak

serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu dengan lainnya.

maksudnya, bahwa bila mana dalam perikatan yang muncul dari

perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain

berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.39

c. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Riil dan Perjanjian Formil

Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah

terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.

Perjanjian Riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi

barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal

1741 KUH Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUH

Perdata.

Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat

tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat

dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh

pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah,

38

Achmad Busro, Hukum Perikatan, (Semarang : Oetama, 1985), hal. 4 39

(11)

undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT,

perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.40

d. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat,

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada

pihak lain. Menurut KUH Perdata perjanjian jual beli saja belum lagi

mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual

kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan

harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan)

e. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang

membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda

tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu

sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal ini perjanjian jual

beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga

perjanjian jual beli sementara (voorlopig koopcontrak).41

f. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama

Perjanjian bernama (benoemd)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama

sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur

40

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003), hal. 82

41

Moch. Chidir Ali & Ahmad Samsudin Mahmud, Pengertian-Pengertian Elementer

(12)

dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang

paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam

Bab V s/d bab XVIII KUH Perdata yaitu:

1) Bab V tentang Jual-Beli (Pasal 1457-1540)

2) Bab VI tentang Tukar-Menukar (Pasal 1541-1546)

3) Bab VII tentang Sewa-Menyewa (Pasal 1548-1617)

4) Bab VIII tentang Persekutuan (Pasal 1618-16520)

Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) Di luar

perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu

perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi

terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas

dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang

mengadakannya, lahirnya perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan

berkontrak yang berlaku dalam hukum perjanjian, seperti perjanjian

sewa beli, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan lain-lain.42

g. Perjanjian Campuran (contractus sui generis) 43

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur

perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa

menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jual-beli), dan juga

memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu, ada berbagai

paham antara lain:

42

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 66-69 43

(13)

1) Paham pertama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sai generalis).

2) Paham kedua menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

3) Paham ketiga menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).

3. Asas-Asas Perjanjian

Dalam khasanah hukum perjanjian di kenal beberapa asas yang menjadi

dasar para pihak di dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu

perjanjian. Asas perjanjian itu harus merupakan suatu kebenaran yang bersifat

fundamental, disamping itu asas semestinya tidak dapat ditimpangi, kecuali ada

hal-hal yang dianggap luar biasa dan lebih jelas kandungan meteri

kebenarannya.44

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Pada hukum perjanjian berlaku beberapa ketentuan mengenai asas-asas

yang merupakan dasar keberlakuan hukum perjanjian. Asas-asas tersebut antara

lain:

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari

kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.45

44

Chairuman Pasaribu dan Suhra Wardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam

(Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 68 45

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 86

Dengan kebebasan

berkontrak berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan

(14)

dalam perjanjian. Pasal-pasal di dalam Buku III KUH Perdata baru

mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri

kepentingannya atau mengaturnya dalam perjanjian, tetapi tidak

lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu

diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. Kebebasan berkontrak

memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara

bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di

antaranya:46

1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4) bebas menentukan bentuk perjanjian;

5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

b. Asas Itikad Baik (geode trouw)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik”.

Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang

dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut

sama sekali tidakm dimaksudkan untuk merugikan kepentingan

debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak ketiga

46

(15)

lainnya di luar perjanjian.47

1) Iktikad baik dalam pengertian yang subyektif, dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.

Di dalam huku m perjanjian, itikad baik

mempunyai dua pengertian, yaitu:

2) Itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.48

c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian

hukum berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,

sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh

melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh

para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal

1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”.49

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi

kontrak tersebut karena kontra tersebut mengandung janji-janji yang

47

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 80 48

A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta

Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal. 19

49

(16)

harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana

mengikatnya undang-undang.50

d. Asas persesuaian kehendak (konsensualisme)

Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan

dengan sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah

dihapus oleh gereja kemudian terbentuklah paham bahwa dengan

adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah

memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal

1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai

syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu

diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat

pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang

mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu

yang disyaratkan oleh undang-undang.51 e. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian

Asas ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi

para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu

hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat

keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang

telah diatur dalam undang-undang.

Asas berlakunya suatu perjanjian ini diatur dalam Pasal 1315 KUH

Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat

50

Riduan Syahrani, Op.cit., hal. 5 51

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

(17)

mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya

suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian diatur juga

dalam Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan

hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak

ketiga; tidak dapat pihak Ketiga mendapat manfaat karenanya; selain

dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.52

f. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi

dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui

kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk

melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan

kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur

seimbang.

g. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan

di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas

kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran

52

(18)

tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam

masyarakat.53

h. Asas Kepastian Hukum

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian sebagai

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

i. Asas Obligator

Dimaksudkan dalam asas Obligator perjanjian yang dibuat oleh

pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban

saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah

apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan

(zakelijke overeenkomsi) yaitu melalui penyerahan (livering).54 j. Asas Moral

Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.

Asas-asas tersebut diatas merupakan asas-asas yang menjadi dasar

dari keberlakuan hukum perjanjian, jadi setiap perjanjian harus

memenuhi asas tersebut agar sah dan dapat dipertahankan secara

hukum.55

B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian dan Batasan Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah

53

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 87-89 54

Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Perjanjian Menurut Hukum Indonesia

(Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1999), hal. 61 55

(19)

“hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.”56

Hukum perlindungan konsumen tidak sebatas diatur didalam Undang -

Undang Perlindungan Konsumen saja. Hukum perlindungan konsumen juga

terdapat dalam hukum umum dan undang - undang lain misalnya Undang -

Undang No. 5 Tahun 1999 Tentaang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Undang - Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,

dan Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal tersebut

ditegaskan dalam ketentuan Pasal 64 Undang - Undang Perlindungan Konsumen

yaitu:

Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 Angka 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya

disingkat UUPK 8/1999 adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

57

Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan

konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan “Segala ketentuan peraturan perundang - undangan yang bertujuan

melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang - undang ini diundangkan,

dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak

bertentangan dengan undang - undang ini.”

56

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 9 57

(20)

yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan

barang/jasa. Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan

dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan

kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi

perdagangan. Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam

hukum perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha

dalam aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata.58

Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak

yang mengadakan hubungan atau bermasalah dalam bermasyarakat itu tidak

seimbang. Dengan adanya hukum yang secara khusus mengatur mengenai

perlindungan konsumen, maka terwujudnya kepastian hukum dalam hal

pemberian perlindungan kepada konsumen akan terjamin.59

Mengingat sifatnya yang seringkali berhubungan dengan bidang atau

cabang hukum lainnya, hukum perlindungan konsumen dapat memasuki baik

ranah hukum publik, maupun hukum privat.60

Wilayah hukum privat yang dimasuki hukum perlindungan konsumen

adalah:61

a. Hukum perdata, khususnya mengenai perikatan, yakni mengenai aspek- aspek kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha.

58

Happy Susanto, Hak - Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta : Visimedia, 2008), hal. 19

59

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum:Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 66-67

(selanjutnya disebut Az. Nasution 1) 60

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk, (Jakarta : Panta Rei, 2005), hal. 34

61

Intan Nur Rahmawanti dan Rukiyah Lubis, Win – Win Solution Sengketa

(21)

b. Hukum bisnis atau hukum perdata niaga, khususnya mengenai pengangkutan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), monopoli, persaingan usaha, asuransi, dan lain-lain.

Adapun wilayah hukum publik yang dimasuki hukum perlindungan

konsumen adalah:62

a. Hukum pidana, dalam hal kriminalisasi dalam berbagai ketentuan standar, isi, takaran, label, etiket, pengelabuan dalam promosi, iklan, lelang, pencantuman klausula baku, dan lain-lain.

b. Hukum administrasi, dalam hal ketentuan sanksi administratif.

c. Hukum tata usaha negara, dalam hal kewenangan pejabat-pejabat perizinan dan pengawasan.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan, “Perlindungan Konsumen berasaskan

manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta

kepastian hukum.” Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang ini menguraikan,

perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5

(lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: 63

a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar - besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangn antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

62

Ibid.

63

(22)

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagikan menjadi 3 (tiga) asas yaitu:64

a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen,

b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

c. Asas kepastian hukum.

Setelah melihat asas-asas dalam hukum perlindungan konsumen, tentunya

terdapat juga tujuan dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dapat dijumpai

dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang

bertujuan untuk :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak - haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang mejamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

64

(23)

Keenam tujuan diatas merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam

pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam

tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan

kedalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan

keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan e. Sementara tujuan untuk

memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan b termasuk

huruf c dan e serta f. Tujuan khusus yang diarahkan untuk kepastian hukum

terlihat dalam rumusan huruf d. Tujuan dalam perlindungan konsumen itu semata

- mata untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

C. Hubungan Hukum antara Konsumen dan Pelaku Usaha

Hubungan hukum (rechtbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek

hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan

hak dan kewajiban pihak yang lain.65 Hubungan hukum dapat terjadi antara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum dengan benda. Hubungan antara

sesama subyek hukum dapat terjadi antara orang, orang dengan badan hukum, dan

antara sesama badan hukum. Hubungan hukum antara subyek hukum dengan

benda berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas benda tersebut,

baik benda berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak.66

65

Soeroso R, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 269

66

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2012), hal. 254

(24)

hukum memiliki syarat-syarat yaitu adanya dasar hukum dan adanya pristiwa

hukum.67

Secara umum, hubungan antara pelaku usaha (produsen) dengan konsumen

merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan itu

terjadi karena para pihak saling menghendaki dan mempunyai tingkat

ketergantungan yang tinggi antara pihak yang satu dengan yang lainnya.68

Hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang tercipta secara

individual dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain :

Saling

ketergantungan tersebut merupakan fakor kuat yang menyebabkan hubungan

antara pelaku usaha dan konsumen itu berlangsung secara terus menerus, sesuai

dengan tingkat ketergantungan dan kebutuhan yang tidak terputus-putus.

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha terjadi sejak proses produksi,

distribusi di pemasaran dan penawaran. Rangkaian perbuatan dan perbuatan

hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan mempunyai akibat hukum baik

terhadap semua pihak maupun terhadap pihak-pihak tertentu saja.

69

1. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;

2. Penawaran dan syarat perjanjian;

3. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya;

4. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu

Secara garis besar, dalam pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain,

ada dua kelompok pihak yang terlibat, yaitu : 70

67

Soeroso, Op.Cit., hal. 271 68

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 9

69

(25)

1. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa Pada umumnya, pihak ini berlaku sebagai :

a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor);

b. Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen); c. Penyalur barang atau jasa

2. Kelompok konsumen

Pihak ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :

a. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial);

b. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (tujuan nonkomersial)

Secara umum, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dapat

dibagi menjadi dua, antara lain :71 1. Hubungan langsung

Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen terikat secara langsung dengan perjanjian

2. Hubungan tidak langsung

Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena ada pihak lain diantara konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada produsen yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan dirinya. Untuk menuntut produsen pada hubungan ini dapat dilakukan dengan alasan produsen telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan adanya kesalahan produsen.

Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi

untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari

penyelesaian. Dalam praktik sehari-hari, terjadi beberapa tahap transaksi

konsumen sebagai berikut :72

70

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hal. 24

71

Ibid., hal. 34-35. 72

(26)

1. Tahap Pra-Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta pertimbangan fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Informasi tentang barang atau jasa memiliki peranan penting pada tahap ini. Informasi yang bertanggung jawab (informative information) merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Keputusan konsumen mengenai pilihan barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice) sangat tergantung pada kebenaran dan pertanggungjawaban informasi yang disediakan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan barang atau jasa konsumen.

2. Tahap Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa barang telah terjadi. Syarat peralihan kepemilikan, cara-cara pembayaran atau hak dan kewajiban merupakan hal-hal pokok bagi konsumen.

3. Tahap Purna-Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi telah terjadi dan pelaksanaan telah diselenggarakan. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati kemudian, ternyata tidak sesuai dengan deskripsi oleh produsen, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap ini. Dalam hal asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya sudah termasuk masalah pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.

D. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak adalah “suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum

atau suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum.”

Maka dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima.

Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,

(27)

“dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi

oleh hukum. Kepentingan itu sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk

dipenuhi.” Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang

pemenuhannya dilindungi oleh hukum”.73

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki beberapa hak dan

kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang

bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika

ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan

menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk

memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja

ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.74

Secara umum, ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara

internasional, yaitu :

75

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari segi

pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan

konsumen. Berkaitan dengan hal ini, intervensi, tanggung jawab dan

peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan

keamanan konsumen sangat penting. Oleh karena itu, pengaturan dan

regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga

73

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2003), hal. 50 (selanjutnya disebut sebagai Sudikno Mertokusumo 2)

74

Ibid.

75

(28)

konsumen dari perilaku produsen yang berdampak dapat merugikan

dan membahayakan keselamatan konsumen.

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif yang

dimiliki konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu

barang dan/atau jasa. Apabila tanpa ditunjang hak untuk

mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut,

dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan

berarti.Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar,

terutama lewat iklan, sehingga hak untuk memilih ini lebih banyak

ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.

c. Hak untuk memilih (the right to choose)

Hak ini memiliki arti yang sangat fundamental bagi konsumen jika

dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap

keterangan atau informasi mengenai suatu barang yang akan

dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan secara

lengkap dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung

maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi

seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa

kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam

(29)

pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, setiap keluhan

maupun harapan konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau

jasa yang dipasarkan oleh produsen harus didengar.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menambahkan satu hak

lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga keseluruhan dari hak tersebut

dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”.76

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa hak-hak yang diterima seorang

konsumen adalah:

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturam perundang-undangan lainnya.

76

(30)

Di samping hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun dua hak

konsumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban produk, antara lain :77

a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta aman.

Dengan adanya hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk yang dibelinya sering kali diperdaya oleh pelaku usaha.

b. Hak untuk mendapat kerugian.

Jika barang yang dibelinya itu terdapat cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, maka ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Akan tetapi, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang terdapat cacat atau rusak, harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka dengan kondisi tersebut, tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang dibelinya.

Hak tersebut di atas pada intinya adalah untuk meraih kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal

yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang

penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak aman atau membahayakan

keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga

untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya

berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur.

Setiap hubungan hukum di bidang perdagangan barang dan/atau jasa pasti

melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya. Selain ada hak, konsumen juga

memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban adalah “suatu beban atau tanggungan

77

(31)

yang bersifat kontraktual”. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang

sepatutnya diberikan.

UUPK tidak hanya mengatur hak konsumen tetapi juga

kewajiban-kewajibannya. Pasal 5 UUPK menyebutkan mengenai kewajiban-kewajiban

konsumen, yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.78

Kewajiban ini dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil

yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.79 2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pelaku Usaha menurut Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen memberi pengertian tentang pelaku usaha:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan: “pelaku usaha yang diikat oleh

undang-undang ini adalah para pengusaha yang berada di Indonesia, melakukan usaha di

Indonesia.” Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,

78

Indonesia, Undang - Undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 5

79

(32)

korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Pelaku

usaha disini dilarang memperdagangkan sediaan informasi dan pangan yang

rusak, cacat, atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi

secara lengkap dan benar.80

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

UUPK tidak hanya mengatur hak-hak konsumen tetapi juga mengatur

perilaku pelaku usaha sehingga secara tidak langsung juga akan turut

mempengaruhi perilaku dunia usaha untuk melakukan persaingan yang lebih sehat

dan jujur. Untuk mengatur perilaku pelaku usaha, maka Pasal 6 UUPK telah

mengatur hak-hak dan kewajiban pelaku usaha yang diatur sebagai berikut:

Hak ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menuntut harga berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang serupa, maka para pihak perlu menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian hak ini adalah harga yang wajar.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Menyangkut hak pelaku usaha pada butir b, c, d merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.81

80

Indonesia, Undang - Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat 3

81

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 51

(33)

Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Pangan, dan undang- undang lainnya juga mengatur hak-hak pelaku usaha. Berkenaan dengan berbagai undang-undang tersebut, maka harus diingat bahwa UUPK merupakan payung bagi semua aturan lainnya berkenaan dengan perlindungan konsumen.82

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

Hak pelaku usaha di atas juga disertai oleh kewajiban bagi pelaku usaha.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :

Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Di dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan pembelian barang dan/atau jasa. Penekanan iktikad baik lebih kepada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna jual penjualan. Bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.83

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.84

(34)

Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban produsen/pelaku usaha adalah

beritikad baik dalam menjalankan usahanya, memberikan informasi,

memperlakukan konsumen dengan cara yang sama, menjamin produk-produknya,

memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji, dan memberi kompensasi.

Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen sebagaimana di

atur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, tampak bahwa hak dan kewajban produsen

bertimbal-balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Artinya, apa yang menjadi hak dari

konsumen merupakan kewajiban produsenlah untuk memenuhinya, dan

sebaliknya apa yang menjadi hak produsen adalah kewajiban konsumen.85

85

Referensi

Dokumen terkait

KATA PENGANTAR .... BAB I.PENDAHULUAN ... Latar Belakang Masalah ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Kegunaan Penelitian ... Metode Penelitian ... Sistematika Pembahasan

Hasil studi menunjukkan bahwa perusahaan dapat menerapakan sistem yang efektif untuk CRM dimana data diubah menjadi informasi dan pengetahuan untuk mendukung pengambilan

Level Marketing terhadap proses keputusan pembelian.. digunakan dalam penelitian adalah metode Asosiatif dengan pendekatan. kuantitatif. Hasil dari penelitian tersebut yaitu

Dari evaluasi kinerja protokol DYMO untuk sistem monitoring lahan pertanian dengan lama waktu simulasi yang berbeda yaitu 6, 10, dan 20 jam, banyaknya traffic

Secara Parsial, variabel sistem multi level marketing (X) memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian pada Produk

Aktivitas antimikroba pada ekstrak daging gonggong Bintan rebus bercangkang tebal yang mengandung protein histon sebagai pangan favorit di Bintan memiliki kemampuan

Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah sikap masyarakat pengguna jasa layanan transportasi udara di Surabaya pasca pemberitaan

Ekonomis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dan data promosi pariwisata, penambahan area atau destinasi pariwisata bagi Kawasan Pantai Utara Bali