• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2010

TENTANG

PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAGETAN,

Menimbang : a. bahwa keberadaan sumberdaya hutan memiliki potensi untuk meningkatkan daya dukung dan memberi manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan daerah apabila dikelola secara optimal sesuai peraturan perundang-undangan;

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang kehutanan menyangkut pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan di daerah diperlukan pengaturan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Hutan Hak dan Penatausahaan Hasil Hutan;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3234); 4. Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

(2)

5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 6. Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

7. Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4423) sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang– Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 8. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Ijin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa

Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);

(3)

12. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);

17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak;

18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.8/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara;

19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;

(4)

20. Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor 4 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Magetan (Lembaran Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2008 Nomor 4);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MAGETAN dan

BUPATI MAGETAN

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Magetan.

2. Bupati adalah Bupati Magetan.

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Magetan.

5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang selanjutnya disingkat Dinas adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan. 6. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha lainnya. 7. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

(5)

8. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

9. Lahan masyarakat adalah lahan perorangan atau masyarakat di luar kawasan hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan pertanian, dan kebun.

10. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

11. Hasil hutan adalah benda–benda hayati beserta turunannya yang dihasilkan dari kawasan hutan negara, hutan rakyat, hasil perkebunan berupa kayu, non kayu, flora, dan fauna.

12. Hasil hutan lelang adalah hasil hutan kayu/bukan kayu yang berasal dari pelelangan sah.

13. Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat yang selanjutnya disebut kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas hutan hak dan/atau lahan masyarakat.

14. Kayu bulat rakyat adalah kayu dalam bentuk gelondong yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan/atau lahan masyarakat.

15. Kayu olahan rakyat adalah kayu dalam bentuk olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan/atau lahan masyarakat antara lain berupa kayu gergajian, kayu pacakan, dan arang.

16. Penatausahaan hasil hutan adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, penebangan atau pemanenan, pengukuran dan pengujian, pengumpulan, pengangkutan/peredaran, pengolahan dan pelaporan.

17. Insentif adalah semua bentuk dorongan spesifik atau rangsangan/stimulus yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok.

18. CITES (Convention on International Trade and Endangered Species

of Wild Fauna and Flora) adalah Konvensi Internasional mengenai perdagangan jenis flora (tumbuhan alam) dan fauna (satwa liar) adalah perjanjian internasional antarnegara yang bertujuan yang terancam kepunahan.

(6)

19. Appendix Convention on International Trade and Endangered Species of Wild Fauna and Flora yang selanjutnya disingkat dengan Appendix CITES adalah lampiran CITES yang memuat daftar flora dan fauna sesuai kriteria kelangkaannya bagi kepentingan perdagangan.

20. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.

21. Ijin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan atas nama Bupati yang meliputi Ijin Penebangan Pohon, Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu dengan kapasitas sampai dengan 2000 m³, Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu, Ijin Pemanfaatan Jasa Lingkungan, dan Ijin Pemanfaatan Flora dan Fauna (Pemeliharaan sarang burung walet/sriti).

22. Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah Industri yang mengolah kayu bulat menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

23. Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah pengolahan bahan baku bukan kayu yang dipungut dari hutan, meliputi antara lain: rotan, sagu, nipah, bambu, kulit kayu, daun, buah atau biji, getah, dan hasil hutan ikutan antara lain berupa arang kayu.

24. Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IUIPHHK adalah ijin mendirikan industri untuk mengolah kayu bulat (KB) dan atau Kayu Bulat Kecil (KBK) menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

25. Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat IUIPHHBK adalah ijin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.

26. Kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ (dua ribu meter kubik) per tahun adalah jumlah total kapasitas produksi dari satu atau beberapa jenis produksi IPHHK dari satu pemegang ijin yang terletak di satu lokasi tidak lebih dari 2000 m³ (dua ribu meter kubik) per tahun.

(7)

27. Perluasan Industri Primer Hasil Hutan yang selanjutnya disebut perluasan adalah perubahan kapasitas produksi dan/atau perubahan jenis produksi yang menyebabkan jumlah total kapasitas produksi bertambah dari yang telah diijinkan.

28. Tanda Daftar Industri yang selanjutnya disingkat TDI adalah ijin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang ijin oleh pejabat yang berwenang bagi industri skala kecil.

29. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang oleh Undang-Undang diberi wewenang khusus penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan.

30. Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II TUJUAN

Pasal 2

Tujuan pembentukan Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Hutan Hak dan Penatausahaan Hasil Hutan adalah sebagai dasar pijakan penyelenggaraan urusan dan kewenangan mengenai pengelolaan hutan dan penatausahaan hasil hutan di Kabupaten Magetan.

BAB III

STATUS DAN FUNGSI HUTAN HAK

Pasal 3

(1) Tanah yang telah dibebani hak atas tanah dapat ditunjuk sebagai hutan hak menurut fungsinya.

(8)

a. Sertifikat Hak Milik, atau Leter C, atau girik, atau surat keterangan lain yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Dasar Kepemilikan lahan;

b. Sertifikat Hak Pakai; atau

c. Surat dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya.

(3) Hutan hak mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:

a. fungsi konservasi yaitu hutan hak yang berada di kawasan lindung yang berfungsi konservasi;

b. fungsi lindung yaitu hutan hak yang berada di kawasan lindung; dan

c. fungsi produksi yaitu hutan hak yang berada di kawasan budidaya.

BAB IV

WEWENANG, KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH

Bagian Kesatu Wewenang

Pasal 4

Kewenangan Pemerintah Daerah meliputi :

a. pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan meliputi penyusunan rencana pengembangan dan pembinaan pengelolaan; b. pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar hutan

meliputi bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, dan kemitraan masyarakat setempat;

c. pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten;

d. penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah kabupaten;

e. pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten;

(9)

1. pemberian Ijin Usaha atau Ijin Perluasan Industri Primer Hasil Hutan Kayu untuk kapasitas produksi maksimal 2000 m3 per tahun; dan

2. pemberian Ijin Usaha atau Ijin Perluasan Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu;

g. pemberian ijin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam lampiran Appendix CITES.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 5

(1) Dalam hal hutan hak telah ditunjuk sebagai fungsi lindung dan/atau fungsi konservasi, maka Pemerintah Daerah wajib memberi insentif kepada pemegang hak.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga Tanggung Jawab

Pasal 6

(1) Penunjukan fungsi hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. inventarisasi hutan hak; b. pemetaan hutan hak; dan c. penunjukan hutan hak.

(2) Penunjukan fungsi hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh Bupati sesuai Peta Hutan Hak yang telah disiapkan oleh Dinas berdasarkan pada pemetaan hutan hak.

(3) Inventarisasi hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Dinas melalui survei mengenai keadaan fisik, keadaan flora dan fauna, serta keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan melibatkan pemegang hak.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Bupati.

(10)

BAB V

HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN MASYARAKAT PEMEGANG HAK

Bagian Kesatu Hak

Pasal 7

Pemegang hak, berhak untuk: a. mendapatkan pelayanan; b. menikmati kualitas lingkungan;

c. memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya; d. memperoleh insentif; dan

e. menentukan bentuk pemanfaatan hutan.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 8

(1) Pemegang hak berkewajiban memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

(2) Upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.

(3) Pemegang hak wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutan hak.

(4) Pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain dalam bentuk perlindungan dari kebakaran, hama, penyakit, dan pendudukan atas hutan hak (okupasi).

(11)

Bagian Ketiga Larangan

Pasal 9

(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi, pemegang hak dilarang :

a. mengambil komoditas yang menjadi ciri khas tertentu dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya;

b. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; c. menebang pohon;

d. membangun sarana dan prasarana permanen; e. mengganggu fungsi konservasi;

f. mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas hutan hak yang berfungsi konservasi; dan/atau

g. menambah jenis tumbuhan yang tidak asli.

(2) Dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung, pemegang hak dilarang :

a. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; b. menebang pohon;

c. membangun sarana dan prasarana permanen; d. mengganggu fungsi lindung;

e. mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas hutan hak yang berfungsi lindung; dan/atau

f. mengubah bentang alam dan lingkungan.

BAB VI

PEMANFAATAN HUTAN HAK

Pasal 10

(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi atau fungsi lindung dapat dilakukan sepanjang tidak menggangu fungsinya. (3) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi dilaksanakan

dengan tetap menjaga kelestarian dan meningkatkan fungsi pokoknya.

(12)

Pasal 11

Pemanfaatan hutan hak dapat berupa: a. pemanfaatan lahan;

b. pemanfaatan hasil hutan kayu;

c. pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan d. pemanfaatan jasa lingkungan.

Pasal 12

(1) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi dapat berupa: a. pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan

b. pemanfaatan jasa lingkungan.

(2) Kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain berupa :

a. mengambil rotan; b. mengambil madu;

c. mengambil tanaman obat-obatan;

d. mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya; dan/atau

e. perburuan satwa liar yang tidak dilindungi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain berupa :

a. usaha wisata alam;

b. usaha olah raga tantangan; c. usaha pemanfaatan air;

d. usaha perdagangan karbon; dan/atau e. usaha penyelamatan hutan dan lingkungan

Pasal 13

(1) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dapat berupa: a. pemanfaatan lahan;

b. pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan c. pemanfaatan jasa lingkungan.

(2) Kegiatan pemanfaatan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa :

a. pemanfaatan lahan di bawah tegakan;

b. usaha budidaya tanaman obat atau tanaman hias; c. usaha budidaya jamur;

(13)

d. usaha budidaya perlebahan;

e. usaha budidaya sarang burung walet/sriti; dan/atau f. usaha perbenihan tanaman hutan.

(3) Kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa :

a. mengambil rotan; b. mengambil madu;

c. mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya; dan/atau

d. perburuan satwa liar yang tidak dilindungi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa :

a. usaha wisata alam;

b. usaha olah raga tantangan; c. usaha pemanfaatan air;

d. usaha perdagangan karbon; dan/atau e. usaha penyelamatan hutan dan lingkungan.

Pasal 14

(1) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi dapat berupa: a. pemanfaatan hasil hutan kayu;

b. pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan c. pemanfaatan jasa lingkungan.

(2) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain berupa :

a. usaha budidaya tanaman kayu-kayuan sejenis; dan/atau

b. usaha budidaya tanaman kayu-kayuan campuran berbagai jenis. (3) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain berupa : a. usaha budidadaya tanaman obat

b. usaha budidaya tanaman hias; c. usaha budidaya tanaman pangan;

d. usaha budidaya tanaman penghasil buah, getah, dan minyak atsiri;

e. usaha budidaya tanaman bambu dan rotan; f. usaha budidaya jamur;

g. usaha budidaya perlebahan;

(14)

i. usaha budidaya persuteraan alam;

j. usaha perbenihan tanaman hutan; dan/atau

k. usaha penangkaran satwa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain berupa :

a. usaha wisata alam;

b. usaha olah raga tantangan; c. usaha perdagangan karbon;

d. usaha penyelamatan hutan dan lingkungan; dan/atau e. usaha pemanfaatan air;

BAB VII PERIJINAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 15

(1) Setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan penebangan pohon yang tumbuh pada hutan hak atau lahan masyarakat di luar kawasan hutan negara, wajib meminta ijin.

(2) Pemegang Ijin Tebang yang melakukan penebangan pohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menanam kembali minimal 2 (dua) kali lipat dari jumlah pohon yang ditebang.

Pasal 16

(1) Setiap orang atau koperasi yang mendirikan usaha/perluasan IPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³, wajib melaporkan dan meminta ijin kepada Bupati melalui Dinas.

(2) Ketentuan untuk IUIPHHK antara lain:

a. IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ per tahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi yang menggunakan bahan baku berasal dari hutan tanaman baik dari hutan Negara maupun hutan hak/hutan rakyat.

(15)

b. Pemegang IUIPHHK sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib mengajukan ijin perluasan apabila perluasan produksi melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas ijin produksi yang diberikan.

c. Pemegang IUIPHHK sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat melakukan perluasan produksi sampai dengan 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diijinkan tanpa ijin perluasan.

Pasal 17

(1) Setiap orang atau badan yang mendirikan usaha/perluasan IPHHBK wajib melaporkan dan meminta ijin kepada Bupati melalui Dinas.

(2) Ketentuan untuk IUIPHHBK antara lain:

a. IPHHBK skala kecil wajib memiliki TDI yang diperlakukan sebagai IUIPHHBK;

b. setiap pendirian atau perluasan IPHHBK skala menengah dan skala besar, wajib memiliki IUIPHHBK atau ijin perluasan;

c. TDI sebagaimana dimaksud pada huruf a hanya dapat diberikan kepada Perorangan atau Koperasi;

d. IUIPHHBK sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diberikan kepada Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMD, dan BUMN; e. pemegang IUIPHHBK dan TDI wajib mengajukan ijin perluasan

apabila perluasan produksi melebihi 30 %(tiga puluh perseratus) dari kapasitas ijin produksi yang diberikan;dan

f. pemegang IUIPHHBK dan TDI dapat melakukan perluasan produksi sampai dengan 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas ijin produksi yang diberikan tanpa mengajukan ijin perluasan, dengan ketentuan tidak menambah bahan baku dan wajib menyampaikan laporan kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 18

Setiap orang atau badan usaha yang memelihara burung walet atau sriti wajib melaporkan dan meminta ijin kepada Bupati melalui Dinas.

(16)

Pasal 19

Setiap orang atau badan usaha yang bergerak dalam pemanfaatan jenis tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang dan tidak terdaftar dalam Appendix CITES, wajib mengajukan ijin usaha kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan ijin sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua Masa Berlakunya Ijin

Pasal 21

(1) Masa berlakunya ijin tebang adalah 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya ijin dimaksud dan dapat diperpanjang apabila diperlukan.

(2) Ijin Usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 berlaku selama usaha/industri yang bersangkutan beroperasi.

(3) Beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila usaha/industri berproduksi secara kontinyu, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.

(4) Apabila usaha/industri tidak beroperasi selama 1 tahun dikenakan sanksi pencabutan ijin usaha industrinya.

Bagian Ketiga

Perubahan Komposisi Jenis Produksi, Penurunan Kapasitas Produksi dan Peremajaan Mesin

Pasal 22

(1) Perubahan komposisi jenis produksi dan/atau kapasitas ijin produksi tanpa menambah kebutuhan bahan baku dan jumlah total kapasitas ijin produksi dapat dilakukan oleh pemegang Ijin Usaha Industri (IUI) dengan mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas untuk IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ per tahun.

(17)

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 23

(1) Penurunan kapasitas ijin produksi dapat dilakukan berdasarkan: a. usulan pemegang ijin usaha industri; atau

b. hasil evaluasi.

(2) Dalam hal pemegang ijin usaha industri melakukan penurunan kapasitas ijin produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penurunan kapasitas ijin produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 24

(1) Peremajaan mesin (reengineering) dapat dilakukan dengan :

a. penggantian mesin-mesin yang rusak/tua dan tidak efisien untuk tujuan peningkatan efisiensi dan produktivitas industri;

b. penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan diversifikasi bahan baku industri; atau

c. penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan pengurangan atau pemanfaatan limbah/sisa produksi.

(2) Pemegang ijin usaha industri yang melakukan peremajaan mesin produksi utama wajib mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas untuk IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ per tahun.

(3) Mesin produksi utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah mesin-mesin produksi pada jenis industri tertentu yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas produksi, yaitu:

a. pada industri penggergajian kayu : breakdown saw, band saw; b. pada industri veneer : rotary lathe, slicer;

c. pada industri kayu lapis (plywood) dan Laminated Veneer Lumber : rotary lathe, slicer, hot press; dan

(18)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan peremajaan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat

Hak, Kewajiban, dan Larangan Pemegang Ijin Usaha Industri

Pasal 25

Setiap Pemegang IUIPHHK dan IUIPHHBK memiliki hak untuk : a. memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya; dan

b. mendapatkan pelayanan yang baik dari Pemerintah Daerah dalam pengurusan ijin.

Pasal 26

Pemegang IUIPHHK dan IUIPHHBK, wajib :

a. menjalankan usaha industri sesuai dengan ijin yang dimiliki;

b. mengajukan ijin perluasan, apabila melakukan perluasan produksi melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diijinkan;

c. menyusun dan menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) setiap tahun;

d. menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi pemenuhan dan penggunaan bahan baku serta produksi;

e. membuat atau menyampaikan Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) atau Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK);

f. membuat dan menyampaikan Laporan Mutasi Hasil Hutan Olahan (LMHHO);

g. melakukan kegiatan usaha industri sesuai dengan yang ditetapkan dalam ijin; dan

h. melaporkan secara berkala kegiatan dan hasil industrinya kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 27

Pemegang IUIPHHK dan IUIPHHBK dilarang : a. memperluas usaha industri tanpa ijin;

(19)

c. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;

d. menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sah (illegal); dan/atau

e. melakukan kegiatan industri yang tidak sesuai dengan ijin yang diberikan.

Bagian Kelima

Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB)

Pasal 28

(1) Setiap permohonan ijin usaha dan permohonan ijin perluasan industri primer hasil hutan wajib menyampaikan Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB).

(2) Sumber bahan baku industri primer hasil hutan dapat berasal dari hutan tanaman, baik dari hutan negara maupun hutan hak.

Pasal 29

(1) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) kayu yang berasal dari hutan negara berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang diketahui oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi asal bahan baku. (2) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), dilengkapi/dilampiri dengan dokumen Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

(3) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) kayu yang berasal dari hutan hak, baik yang berasal dari dalam maupun luar kabupaten, berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan pemasok/pemilik yang diketahui oleh Kepala Instansi Kabupaten yang membidangi Kehutanan dimana bahan baku berada.

(4) JPBB sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilengkapi dengan rencana pengadaan bibit, penanaman di lahan sendiri atau kerjasama penanaman di lahan masyarakat.

(20)

(5) Dalam hal jangka waktu kontrak telah habis masa berlakunya, pemegang ijin usaha industri wajib membuat kontrak baru/perpanjangan dan menyampaikan kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 30

(1) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) untuk hasil hutan bukan kayu berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli hasil hutan bukan kayu dengan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu atau ijin pemungutan hasil hutan kayu, atau ijin pemanfaatan hutan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) untuk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat atau kebun rakyat berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan pemasok/pemilik.

(3) Kontrak kerjasama suplai/jual beli hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diketahui oleh Kepala Instansi Kabupaten yang membidangi Kehutanan asal bahan baku.

Bagian Keenam

Perubahan dan Penggantian Nama Pemegang Ijin

Pasal 31

(1) Nama pemegang ijin dalam ijin usaha industri dapat diubah atau diganti dengan dua sebab :

a. perubahan nama tanpa mengubah badan hukum pemegang ijin; atau

b. penggantian nama dengan mengubah/ganti badan hukum pemegang ijin.

(2) Pemegang ijin usaha industri yang melakukan perubahan atau penggantian nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan perubahan nama yang tercantum dalam ijin usaha industri kepada Bupati melalui Dinas.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan perubahan atau penggantian nnama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

(21)

BAB VIII

PENGANGKUTAN HASIL HUTAN

Pasal 32

(1) Hasil hutan berupa kayu (baik kayu bulat maupun kayu olahan) dan/atau bukan kayu (rotan dan gaharu) yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat yang akan diangkut dari lokasi ke tempat lain, wajib disertai dengan dokumen angkutan yang sah. (2) Setiap orang atau badan usaha yang akan mengangkut hasil hutan

kayu dari hasil pendem, hasil lelang, dan hasil bongkaran rumah wajib disertai dengan dokumen angkutan yang sah, sesuai jenis kayu yang akan diangkut.

(3) Dokumen yang termasuk surat keterangan sahnya hasil hutan hak/rakyat yang digunakan dalam pengangkutan hasil hutan adalah sebagai berikut :

a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat cap Kayu Rakyat (SKSKB-KR);

b. Surat Keterangan Asal-Usul (SKAU);

c. Surat Angkutan Kayu Hasil Bongkaran Rumah (SAKBR); d. Surat Angkutan Kayu Hasil Lelang (SAL);

e. Nota atau Kuitansi penjualan atas nama pemilik hasil hutan dan bermaterai cukup; atau

f. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) atas nama Industri Pengolahan Kayu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan jenis dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX

PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 33

(1) Bupati melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan

(22)

(2) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis dan operasional dilakukan oleh Kepala Dinas.

Bagian Kedua Pembinaan

Pasal 34

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 meliputi pemberian: a. bimbingan; b. pelatihan; dan/atau c. supervisi. Bagian Ketiga Pengendalian Pasal 35

Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 meliputi kegiatan:

a. monitoring; b. evaluasi; dan c. tindak lanjut.

BAB X

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 36

(1) Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan hutan hak diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah Daerah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. penatausahaan hasil hutan pada wilayah pengelolaannya; b. pemberdayaan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan; c. mitra pelaksana kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat; d. perlindungan dan pengamanan hasil hutan; dan

(23)

(3) Dalam mengembangkan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pemerintah Daerah menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran tentang rehabilitasi hutan dan lahan miliknya melalui pendidikan dan penyuluhan serta pemberian insentif dalam bentuk bantuan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

BAB XI

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 37

(1) Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan di luar pelanggaran pidana, akan dikenakan sanksi administratif.

(2) Pemberian sanksi dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 38

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan

atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan agar keterangan dan laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan;

(24)

c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli di bidang tata usaha hasil hutan; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan

ruangan atau tempat pada saat pemeriksaaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana tata usaha hasil hutan ;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan menurut hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

BAB XIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 39

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 9 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(25)

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 tentang Tata Usaha Hasil Hutan dan Retribusi Izin Pengelolaan Hasil Hutan (Lembaran Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2003 Nomor 53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 41

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Magetan.

Ditetapkan di Magetan

pada tanggal 11 November 2010

BUPATI MAGETAN

TTD

SUMANTRI

Diundangkan di Magetan pada tanggal 5 Mei 2011

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MAGETAN

TTD

ABDUL AZIS

(26)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2010

TENTANG

PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

I. UMUM

Keberadaan sumberdaya hutan memiliki potensi untuk meningkatkan daya dukung dan memberi manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan daerah apabila dikelola secara optimal sesuai peraturan perundang-undangan.

Pemanfaatan hutan hak bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan hak dengan tidak mengurangi fungsinya, sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan melalui perijinan dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan daya saing usaha serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat.

Dalam rangka penyelenggaraan urusan dan kewenangan mengenai pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan, sebagai dasar pijakan penyelenggaraan dipandang perlu untuk mengatur pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan dalam suatu Peraturan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

(27)

Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan hak adalah pemanfaan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Pasal 11

Pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu meliputi penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran.

Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Dokumen Ijin Tebang adalah bukti kepemilikan yang sah hasil hutan Kayu Rakyat.

Yang dimaksud dengan lahan masyarakat di luar kawasan hutan negara meliputi:

a. lahan milik desa;

(28)

c. lahan lain-lain (sekitar jalan, sungai, waduk, dan sebagainya) yang bukan merupakan hak perorangan.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18

Yang dimaksud dengan ijin adalah ijin pengelolaan tempat usaha/pemeliharaan sarang burung walet dan atau burung sriti.

Pasal 19

Yang dimaksud dengan tumbuhan dan satwa liar adalah tumbuhan dan satwa liar yang keberadaannya dianggap semakin langka dan/atau merupakan tumbuhan dan satwa yang menjadi maskot/yang diunggulkan daerah.

Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas.

(29)

Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan Jenis-jenis dokumen angkutan untuk kayu bulat/olahan rakyat dan hasil hutan bukan kayu merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan yang berfungsi sebagai bukti legalitas dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang asal usulnya berasal dari hutan hak/rakyat.

SKAU diterbitkan oleh Pejabat Penerbit SKAU di desa/kelurahan yang bersangkutan tempat hasil hutan tersebut diangkut.

SKSKB Cap KR diterbitkan oleh Pejabat Penerbit SKSKB. Nota atau Kuitansi penjualan dari Penjual.

Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 33

Cukup jelas. Pasal 34

Pemberian bimbingan ditujukan terhadap penyusunan prosedur dan tata kerja. Pemberian pelatihan ditujukan terhadap sumberdaya aparatur.

Supervisi ditujukan terhadap pelaksanaan kegiatan penatausahaan hasil hutan. Pasal 35

Yang dimaksud dengan monitoring adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi serta pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.

Yang dimaksud dengan evaluasi adalah kegiatan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan terkait dengan pelayanan publik. Yang dimaksud dengan tindak lanjut merupakan tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.

Pasal 36

Cukup jelas. Pasal 37

(30)

Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas.

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran latency dilakukan secara langsung dari command prompt dan tidak dilakukan untuk setiap per hop behaviour seperti pada pengukuran jitter dan packet loss ,

positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja pada UMKM yang menerima KUR. 2) Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitriana (2012)

Kalau Dhanawaty memfokuskan pada bahasa Bali yang digunakan penuturnya yang berada di daerah transmigran secara sinkronis, penelitian ini justru sebaliknya, yaitu memfokuskan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah XPXP GDODP SHQHOLWLDQ LQL DGDODK ³Apakah dengan menggunakan metode eksperimen pada pembelajaran

Kadar air cookies tertinggi adalah pada perlakuan P2 (9,41%) Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa penggunaan

terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas

Meskipun sinyal yang didapat dari domain waktu tidak dapat secara langsung menunjukkan gejala kerusakan elemen suatu mesin, dikarenakan beberapa data yang saling berhimpitan,

Jln. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tindak tutur ekspresif dalam film Kehormatan di Balik Kerudung. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif