SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Ria Mariana Wiratman
039114021
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Ria Mariana Wiratman
039114021
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Oleh:
RiaMariana Wiratman
NIM: 039114021
ia Penguji
,$i,r', gs3.iyn
Yogyakarr4 ..?.
1..{l!l..lott
Fakultas PsikologiSanata Dharma Dekan
ffi
hp.,tr
#d ffi,&d
Fcd
&ts
tr
q-w
tlJ KetuaSekretaris Anggota
u1
r.i.:
S;lvia'b$orina M.Y.Nf., s.Psi., M
iv
Mama terkasih, yang tidak pernah berhenti
v
dan noda melekat pada tanganku,
maka biarlah apa yang kutabur, dimakan orang lain,
dan biarlah tercabut apa yang tumbuh bagiku”
(Ayub 31 : 7 – 8)
“Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya”
(Pengkhotbah 3 : 11)
“Segala sesuatu dapat kutanggung di dalam Dia
yang memberi kekuatan kepadaku”
Sa5na meqmakm d€nge sesun8guhoya dfiipsi )ryry nrlis
ini
memud karyalau
bsgim ka5ra orang*
ry
yang telah sa]'as€hdfil
dalan hfipm dan daftr pustalq s*cgaimana hyahya
krya
ilmiah.VognUrya' 26 Jmuni 201I
Penulis
RiaMariam Winman
vii
Ria Mariana Wiratman
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kemandirian anak ditinjau dari pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua dalam penelitian ini terdiri dari pola asuh otoriter, demokratis, permisif-indiferen, dan permisif-indulgen. Subjek penelitian ini berjumlah 116 siswa kelas VI SD Tarakanita Bumijo yang berusia 11 – 12 tahun. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berbentuk skala. Skala penelitian tersebut terdiri dari skala kemandirian anak dan skala pola asuh orang tua. Koefisien reliabilitas skala kemandirian sebesar 0.877. Sedangkan koefisien pola asuh orang tua dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah 0.920 untuk pola asuh demokratis, 0.891 untuk pola asuh indiferen, 0.858 untuk pola asuh otoriter, dan 0.796 untuk pola asuh indulgen. Analisis data dengan menggunakan teknik Anava Satu Jalur memperoleh hasil nilai probabilitas sebesar 0.957. Hasil tersebut menunjukkan probabilitas lebih besar dari 0.05. Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini ditolak, dimana tidak ada perbedaan tingkat kemandirian anak ditinjau dari pola asuh orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penelitian kepustakaan dengan penelitian lapangan. Penelitian ini memperhitungkan faktor pola asuh orang tua sedangkan faktor usia dan interaksi dengan teman sebaya yang turut berperan dalam proses kemandirian kurang diperhitungkan.
viii
Ria Mariana Wiratman
ABSTRACT
This research was aimed to know whether or not there were differences of children autonomy in upbringing patterns perspective. Parents’ upbringing patterns in this research consist of authoritarian, democratic, permissive-indifferent, and permissive-indulgent upbringing pattern. The subjects of this research were 116 sixth grade students of Tarakanita Bumijo Elementary School aged between 11 – 12 years old. The method of data collection in this research was by using scales. The scales consist of autonomy scale and upbringing pattern scale. The reliability of autonomy scale was 0.877. However, the reliability of upbringing patterns from the highest to the lowest were 0.920 for democratic pattern, 0.891 for indifferent pattern, 0.858 for authoritarian pattern, and 0.796 for indulgent pattern. Data analysis using Oneway Anova technique found that the probability was 0.957. The result showed that the probability was more than 0.05. Hence, the hypothesis on this research was refused, in which there was no difference between children autonomy related to parents’ upbringing pattern. It shows that there is a difference between library and field research. This research focused on parents’ upbringing pattern factor but age factor and interaction with friends of same ages which take part in process of autonomy are less considered.
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dbarma
Nama
No. Mahasiswa
: Ria Mariana Wiratuan : 0391 14021
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya merrberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Perbedaan TinEkat Kemandirian Anek Ditinjan deri Pola Asuh Oreng Tua beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
hak
rmtuk menyimpan,mengalihkan dalam bentuk media lain" mengelolanya dalam beNrtrft pangkalan data, meldistibusikan s@ara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta
iiin
dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.Demikianpernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuatdi Yogyakarta
Padatanggal :26 Januari 2011
ll( Yang menyatakan,
x
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa puji
syukur juga penulis panjatkan kepada Bunda Maria, Bunda Pembimbing-ku.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini penulis selesaikan melalui proses
yang panjang. Proses tersebut diwarnai dengan suka dan duka, tawa dan tangisan,
kegembiraan dan keputusasaan. Namun semuanya itu pada akhirnya membawa
penulis menjadi lebih tekun dan bersemangat untuk membuktikan kepada semua
orang yang telah menaruh harapan dan kepercayaan kepada penulis, bahwa
penulis dapat membuat mereka bangga meskipun hasil yang penulis
persembahkan pun tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah berperan secara
langsung ataupun tidak langsung dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dengan
dukungan mereka, penulis dapat menjalani dan menyelesaikan proses yang
panjang tersebut dengan baik.
1. Terima kasih kepada Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Bapak Minta Istono,
S.Psi., M.Si. selaku Wakil Dekan, Ibu Titik Kristiyani, M.Psi. selaku
Kaprodi, dan Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Psi. selaku Wakil
Kaprodi yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera
xi
skripsi yang terus memberikan dukungan, masukan, dan selalu sabar
membantu serta membimbing penulis dalam proses penyelesaian yang
panjang ini.
3. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan masukan kepada penulis dalam memperbaiki skripsi
ini.
4. Bapak Y. Agung Santoso, M.A. dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko,
S.Psi., M.Si. yang telah memberikan masukan ketika penulis mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan skripsi.
5. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang memberikan dukungan kepada penulis sejak awal penulis
kuliah.
6. Papa dan Mama yang selalu mendoakan dan menyayangi penulis, terima
kasih atas segalanya.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan banyak
pengetahuan dan pengalaman selama penulis kuliah.
8. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gi yang telah
membantu kelancaran berbagai urusan perkuliahan penulis selama di
xii
yang berusaha selalu ada untuk penulis. Meskipun kita jauh tapi hati kita
akan selalu dekat .
11. Dewi “Iwed” my sibling dan Tino “Asep” her fiancé, thanks for
everything.
12. Rekan-rekan kerja penulis di Bailamos Dance School, always love dance...
always love ballet! Ballet selalu bisa membangkitkan semangatku.
Kompak selalu yaa…
13. Arie Frederik, makasih atas bantuan statistiknya.
14. Teman-teman Psikologi Angkatan 2003, Aprinta, Martin, Ronald, dan
semuanya.. thanks for our togetherness… and thanks for being my sparing
partner in the crucial time.
Penulis
xiii
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv
HALAMAN MOTTO ………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi
ABSTRAK ……….. vii
ABSTRACT ……… viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …… ix
KATA PENGANTAR ………... x
DAFTAR ISI ………... xiii
DAFTAR TABEL ………... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Perumusan Masalah ……… 6
C. Tujuan ………. 6
D. Manfaat ………... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….… 8
xiv
B. Pola Asuh Orang Tua ………... 13
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ………... 13
2. Jenis-jenis Pola Pengasuhan Orang Tua ………. 14
3. Unsur-unsur Umum Pola Asuh Orang Tua ……… 22
4. Unsur-unsur pada Pola Pola Asuh Otoriter, Demokratis, Indifferent, dan Indulgent ………...……….. 24
5. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua ………. 25
C. Masa Kanak-kanak Akhir ……… 29
1. Batasan Masa Kanak-kanak Akhir ……….…………....… 29
2. Aspek-aspek Perkembangan Masa Kanak-kanak Akhir …….... 29
D. Kemandirian Masa Kanak-kanak Akhir ……….. 32
E. Hubungan Kemandirian Anak dengan Pola Asuh Orang Tua ….… 33 F. Hipotesis ……….. 36
SKEMA ………. 37
BAB III METODE PENELITIAN ……….. 38
A. Desain Penelitian ………. 38
B. Variabel Penelitian ……….. 38
C. Definisi Operasional ……… 38
1. Kemandirian Anak ……...………..……. 38
xv
G. Validitas, Seleksi Aitem, dan Reliabilitas ………... 45
1. Validitas ………. 45
2. Seleksi Aitem ………. 45
3. Reliabilitas ……….……… 50
H. Pengkategorian Pola Asuh ………... 51
I. Analisis Data ……… 53
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 54
A. Persiapan Penelitian ……….… 54
B. Pelaksanaan Penelitian ………. 55
C. Hasil Penelitian ……… 56
1. Deskripsi Subjek Penelitian ……….. 56
2. Deskripsi Data Penelitian ……….. 56
3. Uji Asumsi Data Penelitian ………... 58
D. Pembahasan ……….… 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 67
A. Kesimpulan ……….. 67
B. Saran ……….… 67
DAFTAR PUSTAKA ……….. 68
xvi
Tabel 2 : Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak
Sebelum Uji Coba ……….. 43
Tabel 3 : Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua
Sebelum Uji Coba ……….. 44
Tabel 4 : Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak
Setelah Uji Coba ………. 46
Tabel 5 : Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak
Untuk Penelitian ………. 47
Tabel 6 : Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua
Setelah Uji Coba ………. 48
Tabel 7 : Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua
Untuk Penelitian ………. 49
Tabel 8 : Usia dan Jenis Kelamin Subjek ……….…. 56
Tabel 9 : Data Kemandirian Subjek ………. 56
Tabel 10 : Kemandirian Subjek Berdasarkan Pola Asuh ………….…57
Tabel 11 : Hasil PenghitunganOne-Sample
Kolmogorov-Smirnov Test………. 59
Tabel 12 : Hasil PenghitunganLevene’s Test
for Equality of Variance………. 59
xviii
Skala B (Skala Pola Asuh Orang Tua) ………. 77
LAMPIRAN B : Skor Kemandirian Anak …...……… 81
Skor Pola Asuh Otoriter ………... 97
Skor Pola Asuh Demokratis ………. 105
Skor Pola Asuh Indifferent ………... 113
Skor Pola Asuh Indulgent ……… 121
LAMPIRAN C : Reliabilitas Kemandirian Anak ……… 123
Reliabilitas Pola Asuh Otoriter ……… 125
Reliabilitas Pola Asuh Demokratis ……….. 127
Reliabilitas Pola Asuh Indifferent ………... 129
Reliabilitas Pola Asuh Indulgent ………. 131
Pengkategorian Pola Asuh ……… 132
LAMPIRAN D : Hasil Analisis Uji Normalitas ……….. 134
Hasil Analisis Uji Homogenitas ………... 136
Hasil Uji Hipotesis (Analisis Anova) ..……… 136
Hasil Post Hoc Test ……….. 137
Hasil Analisis Homogeneous Subsets ……….. 137
LAMPIRAN E : Surat Ijin Penelitian ……….. 139
1 A. Latar Belakang
Dalam hidup berkomunitas di dunia ini, manusia perlu membentuk suatu
hubungan yang harmonis dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan kodratnya
sebagai makhluk sosial dimana manusia memerlukan bantuan dari orang lain.
Seorang manusia tidak dapat hidup sendirian di dunia ini, tetapi harus hidup
bersama dengan manusia lainnya dan selalu berusaha untuk membentuk suatu
ikatan atau hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Namun
demikian, bukan berarti seseorang harus selalu bergantung pada bantuan orang
lain. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern, setiap
individu semakin dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dan diharuskan
untuk mampu memecahkan masalahnya sendiri. Dengan demikian, untuk dapat
hidup dan berkembang tanpa selalu menggantungkan diri pada orang lain,
individu memerlukan sikap mandiri. Kemandirian merupakan aspek dalam
kepribadian yang sangat menentukan bagaimana seorang individu dapat
menghadapi berbagai peristiwa dalam kehidupannya dan memungkinkan dirinya
untuk bekerja maupun bertingkahlaku tanpa terus-menerus bergantung pada
Kemandirian menjadi suatu hal yang penting karena tanpa adanya
kemandirian seseorang cenderung tidak mampu memutuskan dan melakukan
segala sesuatu tanpa bantuan dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan beberapa
fenomena yang peneliti amati, seorang anak yang tidak mandiri karena terbiasa
dibantu dan diarahkan oleh orang lain akan menjadi ragu-ragu dalam bertindak
dan cenderung merasa dirinya tidak mampu bertindak sendiri. Contohnya, saat
seorang siswa kelas 6 SD tidak mau bersekolah maupun mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler jika ibunya tidak menungguinya dan tidak mau makan jika ibunya
tidak menyuapinya makan. Akibatnya, setiap hari ibunya harus menunggui anak
tersebut dari pagi hingga siang hari juga pada sore harinya ketika anak tersebut
mengikuti ekstrakurikuler, dan di sela-sela waktu istirahat siang menyuapi
anaknya makan. Kemandirian dapat mengantar setiap individu menjadi makhluk
yang produktif dan efisien serta membawa ke arah kemajuan, karena kemandirian
mampu mendorong setiap individu untuk berprestasi (Masrun, Haryanto, Harjito,
Utami, Bawani, Arritonang, dan Sutjipto, 1986). Pembinaan kemandirian sangat
penting dan perlu diberikan kepada anak, agar setelah dewasa anak sudah terbiasa
hidup mandiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain, dalam arti bahwa anak
akan selalu berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
mengandalkan bantuan dari orang lain.
Kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pola
asuh keluarga. Menurut Taryati, Harnoko, Mudjijono, dan Suhatno (1995),
keluarga merupakan tempat seorang anak tumbuh dan berkembang, serta
merupakan perwujudan kasih sayang, model perilaku, sumber pendidikan dan
bimbingan, serta kelompok sosial pertama sebelum seorang anak mengenal dunia
luar. Meskipun semua anggota keluarga yang lebih besar atau lebih tua usianya
ikut berperan dalam pembinaan kepribadian seorang anak, yang paling penting
dalam pembinaan kemandirian itu adalah orang tua. Orang tua bertanggungjawab
dalam membimbing, mendidik, mendisiplinkan, dan melindungi anak untuk
mencapai pendewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Proses tersebut melibatkan suatu interaksi antara orang tua dengan anak di dalam
keluarga. Interaksi antara orang tua dan anak inilah yang disebut sebagai pola
pengasuhan orang tua. Sears (dalam Dewi, 2002) mengatakan bahwa pola
pengasuhan anak merupakan keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak
yang melibatkan sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua dalam memelihara anak.
Tujuannya adalah mendidik anak agar mampu bertanggungjawab dalam
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan sehingga tidak
mengganggu orang lain.
Peran pola asuh dan pendampingan orang tua dalam kehidupan anak
sangatlah besar, demikian pula dalam pembinaan kemandirian anak. Hal tersebut
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Astuti dalam Familia (2004) bahwa dalam
hal kemandirian, peran pola asuh orang tua dan lingkungan sebenarnya lebih besar
dari pengaruh genetis. Bagaimana seorang anak dididik dan dibesarkan oleh orang
tua dalam sebuah keluarga akan membawa dampak yang sifatnya bukan
sementara, namun termanifestasi selama hidup anak tersebut, baik dalam perilaku,
pengertian yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pola
pikir diartikan sebagai kerangka berpikir. Sedangkan cara pandang dapat diartikan
sebagai cara melihat, menganggap, atau memperlakukan sesuatu. Dengan kata
lain, bagaimana cara orang tua mendidik dan membesarkan anak akan
mempengaruhi perilaku, kerangka berpikir, juga cara anak dalam melihat,
menganggap, dan memperlakukan sesuatu. Hal ini didukung oleh pernyataan
Hendriati (dalam Ayahbunda, 2002) bahwa cara orang tua mengasuh dan
mendidik anak akan berperan penting dalam pembentukan kepribadian anak.
Selain itu, Conger (1977) menyatakan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak
akan mempengaruhi perkembangan kemandirian. Berkaitan dengan hal di atas,
Dowling (dalam Sylva & Lunt, 1988) berpendapat bahwa kesempatan untuk
mengembangkan kemandirian harus diutamakan dalam setiap bidang pengasuhan
anak. Anak yang mampu membuat keputusan dan bertindak atas inisiatif sendiri
akan cepat bertumbuh dengan percaya diri.
Ada beberapa model pola asuh orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan
demokratis (Hurlock, 1980). Para ahli kemudian membedakan pola asuh permisif
menjadi permissive-indulgent dan permissive-indifferent (Santrock, 2002). Pola
asuh otoriter menetapkan peraturan-peraturan yang keras dan teguh, serta
mengharuskan anak mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Jika anak tidak
mengikuti peraturan, ia akan diberi hukuman yang keras. Pola asuh permisif tidak
mengajarkan peraturan-peraturan kepada anak dan tidak menghukum anak karena
melanggar peraturan. Pada pola asuhindulgent, orang tua sangat memanjakan dan
tidak terlibat dalam kehidupan anak dan cenderung menelantarkan. Pola asuh
demokratis memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan
tersebut tidak mutlak. Orang tua tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas, tanpa
berlaku kasar. Kumari dan Susmiati (2005) dalam sebuah penelitian terapan
mengenai kemandirian mengungkapkan bahwa rendahnya frekuensi komunikasi
antara orang tua dan anaknya, serta kurangnya perhatian orang tua terhadap
prestasi belajar anak berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan jasmani dan
rohani anak secara maksimal.
Penelitian mengenai hubungan antara pola asuh dengan kemandirian
sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Anggriany dan Astuti (2003). Namun
demikian, subjek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswi. Dalam penelitian
mengenai hubungan antara pola asuh berwawasan jender dengan Cinderella
Complex ini terungkap bahwa tingginya hubungan antara pola asuh berwawasan
jender dan Cinderella Complex menunjukkan betapa besar pengaruh lingkungan
keluarga atau pola asuh orang tua terhadap tumbuh dan berkembangnya
ketergantungan secara psikologis atau ketakutan akan kemandirian pada
perempuan. Hal tersebut menyebabkan seorang perempuan tidak mempunyai
keberanian untuk memanfaatkan sepenuhnya kekuatan otak dan kreativitasnya.
Pada penelitian kali ini, peneliti mengambil subjek yang berbeda yaitu anak kelas
6 SD. Anak kelas 6 SD berusia sekitar 11 – 12 tahun. Periode umur tersebut
berada pada akhir masa kanak-kanak dimana tugas-tugas perkembangan anak
Berdasarkan hal di atas, timbul pertanyaan apakah ada perbedaan
kemandirian pada anak usia 11 - 12 tahun. Selain itu, penelitian yang Anggrainy
dan Astuti lakukan hanya sebatas melihat hubungan antara pola asuh dengan
kemandirian saja. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat ada atau tidaknya
perbedaan tingkat kemandirian anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada perbedaan tingkat
kemandirian pada anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua.
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah ada perbedaan
tingkat kemandirian pada anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoretis :
Di bidang Psikologi Perkembangan dan Kepribadian, penelitian dan hasilnya
ini bermanfaat untuk kepentingan pengembangan bidang
perkembangan-kepribadian, khususnya pengembangan konsep pola asuh orang tua terhadap
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi peneliti, penelitian dan hasilnya ini merupakan kesempatan untuk
dapat menganalisis, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan di
bidang psikologi, baik secara teoretik maupun aplikasinya.
b. Bagi para pembimbing, guru, serta orang tua, hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai cermin dalam membina kemandirian anak didik
8 A. Kemandirian
1. Pengertian Kemandirian
Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri
(Poerwodarminto, dalam Lukman, 2000). Soekadji (dalam Prasetyo, 2005)
menyatakan bahwa mandiri artinya mampu mengatur diri sendiri sesuai dengan
hak dan kewajiban yang dimilikinya, mampu menentukan nasib sendiri, tidak
menggantungkan diri kepada orang lain sampai batas kemampuan, dan
bertanggungjawab atas keputusannya, tindakan, dan perasaan sendiri. Bhatia
(dalam Kushartanti, 2004) mengemukakan, independency adalah suatu perilaku
yang aktivitasnya diarahkan kepada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan
dari orang lain, bahkan mencoba memecahkan atau menyelesaikan masalahnya
sendiri tanpa meminta bantuan kepada orang lain. Masrun, dkk. (1986)
berpendapat bahwa kemandirian adalah modal dasar bagi manusia dalam
menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya. Kemandirian
mendorong orang untuk berprestasi dan berkreasi sehingga menjadi makhluk yang
produktif, efisien, dan membawa diri ke arah kemajuan.
Teori lain yang menjelaskan mengenai kemandirian adalah teori
Psychological Needs dari Murray. Teori ini menganggap bahwa perilaku
kebutuhan psikologis tersebut adalah kebutuhan untuk mandiri (need for
autonomy). Kebutuhan untuk mandiri tercermin dalam perilaku yang sesuai
dengan kehendak sendiri, menyatakan buah pikiran sendiri, bebas dalam
mengambil keputusan, merasa mempunyai kebebasan untuk mengerjakan segala
sesuatunya sesuai dengan kebutuhannya, menghindari situasi dimana ia
diharapkan menyesuaikan dirinya, dan mengerjakan sesuatu tanpa memperdulikan
apa yang dipikirkan orang lain (Hall & Lindzey, 1970).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian
merupakan kemampuan individu untuk berdiri sendiri, mengembangkan diri
sendiri dalam semua aspek kehidupannya, mengatur dan menentukan nasib sendiri
sesuai dengan hak dan kewajibannya, serta bertanggungjawab atas keputusan,
tindakan, maupun perasaan sendiri. Hal tersebut diikuti oleh kemampuan untuk
menyatakan buah pikiran sendiri, berperilaku dengan mencoba memecahkan,
menyelesaikan masalahnya, serta mengerjakan sesuatu dengan kehendak sendiri
tanpa mengharapkan pengarahan, bantuan, ataupun menggantungkan diri kepada
orang lain hingga batas kemampuan yang ia miliki.
2. Ciri-ciri Kemandirian
Ciri-ciri lain sikap mandiri menurut beberapa ahli (dalam Lukman, 2000)
antara lain :
a. memenuhi diri atau identitas diri
b. memiliki kemampuan inisiatif
d. mencukupi kebutuhan sendiri
e. bertanggungjawab atas tindakannya
f. mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu
g. dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih.
Hetherington (dalam Masrun dkk., 1986) mengemukakan bahwa
kemandirian ditandai dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif dan
mengatasi masalah, penuh ketekunan dalam bekerja, memperoleh kepuasan dari
usahanya, serta berkeinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan dari orang
lain. Selain itu, komponen-komponen utama kemandirian menurut Masrun, dkk.
(1986) adalah :
a. Bebas
Komponen ini ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas
kehendak sendiri, bukan karena orang lain.
b. Progresif dan ulet
Komponen ini meliputi adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh
ketekunan, merencanakan, serta mewujudkan harapan-harapan.
c. Inisiatif
Komponen ini mencakup kemampuan untuk berpikir dan bertindak
secara original, kreatif, dan penuh inisiatif. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1990), inisiatif diartikan sebagai usaha (tindakan)
d. Pengendalian dari dalam
Komponen ini ditunjukkan dengan adanya perasaan mampu untuk
mengatasi masalah yang dihadapinya atau kemampuan mengendalikan
tindakannya, serta kemampuan mempengaruhi lingkungan atas usahanya
sendiri.
e. Kemantapan diri
Komponen ini meliputi rasa percaya diri terhadap kemampuan diri
sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya
sendiri.
Berdasarkan beberapa ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemandirian
ditandai oleh tindakan yang bebas (dilakukan atas kehendak sendiri), progresif
dan ulet, penuh inisiatif, memiliki pengendalian dari dalam diri, serta adanya
kemantapan diri.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Kemandirian tidak terbentuk dengan sendirinya. Kemandirian terbentuk
melalui proses yang panjang dengan banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian antara lain jenis kelamin, usia,
inteligensi, pendidikan, dan pola asuh orang tua.
a. Jenis kelamin
Seorang pria cenderung dianggap lebih mandiri daripada wanita. Hal ini
sesuai dengan pendapat bahwa ciri kepribadian maskulin yang khas
kepribadian feminin yang khas ditandai oleh ketergantungan, kepasifan,
dan kepatuhan (Hurlock, 1978). Aspek-aspek pada ciri kepribadian
maskulin tersebut mencerminkan kemandirian dalam diri pria dan
aspek-aspek pada ciri kepribadian feminin mencerminkan ketidakmandirian
dalam diri wanita.
b. Usia
Menurut Hurlock (1980), ketergantungan seorang anak yang lebih besar
tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya karena anak tersebut sudah
dapat melakukan banyak hal untuk diri sendiri tanpa memerlukan
bantuan dari orang lain. Dengan kata lain, semakin bertambahnya usia
seseorang, maka kemandirian dalam dirinya diharapkan akan semakin
bertambah pula.
c. Inteligensi
Nuryanto (dalam Kushartanti, 2004) menyatakan bahwa faktor
inteligensi dalam proses penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan
penyesuaian diri, secara tepat dapat menampilkan suatu kemandirian
yang mantap pada individu. Dalam usaha untuk menentukan sikap
mandiri, diperlukan adanya kemampuan berpikir yang baik agar
sikapnya dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.
d. Pendidikan
Masrun, dkk. (1986) berpendapat, pendidikan adalah usaha manusia
dengan penuh tanggung jawab membimbing anak didik menuju
sekolah, kepribadian dan sikap para guru akan mempengaruhi anak
didik. Guru membentuk suasana bagi anak untuk berperilaku lebih bebas
dan memberi tanggung jawab lebih besar. Suasana tersebut diharapkan
akan memberi keuntungan bagi perkembangan kepribadian anak, dalam
hal ini perkembangan kemandiriannya.
e. Pola asuh orang tua
Salim dan Salim (1991) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua
adalah cara orang tua menjaga, merawat, dan membimbing anak agar
dapat berdiri sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Susana (dalam
Familia, 2004) bahwa orang tua secara bertahap harus mendampingi dan
melatih anak menggunakan potensi diri yang ia miliki untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya kepada orang
lain.
Kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis kelamin,
usia, inteligensi, pendidikan dan pola asuh orang tua.
B. Pola Asuh Orang Tua
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut Hauck (1995), pola asuh adalah kecenderungan sikap dan
perilaku yang ditunjukkan oleh pengasuh (orang tua) ketika berinteraksi dengan
anak asuhnya (anak). Balson (1993) berpendapat bahwa pola asuh adalah
cara-cara orang tua dalam mengasuh anaknya. Susilowati (dalam Psikologi Plus, 2007)
khusus dalam usaha mengendalikan dan mensosialisasikan anak. Sedangkan
Maccoby (dalam Barus, 2003) menggunakan istilah pola pengasuhan orang tua
untuk menggambarkan interaksi orang tua dan anak yang di dalamnya orang tua
mengekspresikan sikap-sikap, nilai-nilai, minat-minat, dan harapan-harapannya
dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah
kecenderungan cara-cara orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya, dalam
usaha mengendalikan dan mensosialisasikan anak, yang di dalamnya orang tua
mengekspresikan sikap, nilai, minat, dan harapannya dalam mengasuh dan
memenuhi kebutuhan anak.
2. Jenis-jenis Pola Pengasuhan Orang Tua
Setiap orang tua memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengasuh
anak-anaknya (Atkinson, 1993). Hurlock (1980) membagi pola asuh orang tua menjadi
tiga jenis, yaitu pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis.
a. Pola asuh otoriter
Dalam pola asuh yang bersifat otoriter, orang tua menetapkan
peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi
peraturan-peraturan tersebut, tanpa ada usaha untuk menjelaskan kepada anak
mengapa ia harus patuh. Anak juga tidak diberi kesempatan untuk
bermusyawarah maupun mengemukakan pendapat tentang adil-tidaknya
Dengan kata lain, orang tua memerintah dan memaksa anak tanpa kompromi,
tanpa ada komunikasi antara orang tua dengan anak.
Orang tua juga mengawasi semua aktivitas yang anak lakukan. Selain
itu, sikap keras dianggap sebagai sikap yang harus dilakukan dalam pola asuh
otoriter, karena hanya dengan sikap tersebut anak menjadi penurut. Dengan
demikian, jika anak tidak mengikuti peraturan maka ia akan dihukum yang
seringkali kejam dan keras, serta yang dianggap sebagai cara untuk mencegah
pelanggaran peraturan di masa mendatang. Hukuman yang diberikan oleh
orang tua dapat berupa hukuman fisik maupun mental. Contohnya adalah
menampar, memukul, mencubit, mengucilkan anak-anak di kamar, menyuruh
tidur (terkadang tanpa makan), melarang anak melakukan hal-hal yang disukai
(seperti menonton acara TV yang digemari), mengancam akan meninggalkan
atau tidak mencintainya, membandingkan anak dengan saudara-saudara yang
lebih baik, mengomeli dan berulang-ulang mengomentari pelanggarannya, dan
lain sebaginya.
Orang tua tidak pernah mempertimbangkan alasan mengapa seorang
anak melanggar peraturan karena orang tua menganggap bahwa anak
mengetahui peraturan tersebut dan dengan sengaja melanggarnya. Orang tua
kurang tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan individual dan kurang
mengayomi anak. Selain itu, orang tua juga tidak memberikan hadiah bagi
anak yang telah mematuhi peraturan karena orang tua menganggap kewajiban
seorang anak adalah mematuhi peraturan yang ada. Setiap pemberian hadiah
melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat (Hurlock, 1980; Gunarsa,
1986; Hendriati dalam Ayahbunda, 2002; Simonds dalam Kushartanti, 2004;
Baumrind & Hetherington dalam Santrock, 2002).
b. Pola asuh permisif
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pola asuh otoriter cenderung
memaksa anak untuk mematuhi peraturan dan hukuman yang dibuat oleh
orang tua secara kaku, keras, dan tanpa kompromi. Sebaliknya, secara garis
besar pola asuh permisif justru didasarkan pada pemikiran bahwa melalui
akibat dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku
secara sosial. Komunikasi antara anak dan orang tua bersifat dua arah, namun
dialog yang ada tidak bersifat memberdayakan. Hal tersebut disebabkan orang
tua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi
batasan-batasan dari tingkah lakunya sehingga anak terbiasa mengatur dan
menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik (orang tua merasa bahwa anak
harus tahu sendiri).
Anak tidak diajarkan peraturan-peraturan oleh orang tua dan
diperkenankan untuk berbuat sesuai dengan apa yang dipikirkannya sendiri
(kebebasan dan kendali mutlak ada di tangan anak). Anak juga tidak dihukum
karena sengaja melanggar peraturan. Dengan kata lain, orang tua tidak
memiliki kontrol terhadap anak mereka. Mereka juga selalu memenuhi segala
keinginan yang diminta anak (Hurlock, 1980; Hendriati dalam Ayahbunda,
2002; Walgito dalam Widayanti & Iryani, 2005; Gunarsa, 1986; Lerner dalam
Selanjutnya, para ahli perkembangan berpendapat bahwa pola asuh
permisif dibagi dalam dua bentuk, yaitupermissive-indulgent dan
permissive-indifferent(Santrock, 2002).
1) Permissive-indulgent
Pada pola asuh ini, orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak
tetapi menerapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Menurut
Susilowati (dalam Psikologi Plus, 2007), orang tua permissive-indulgent
cenderung tidak menuntut perilaku yang matang dan juga tidak kaku,
bahkan orang tua sangat membolehkan anak mengatur diri mereka sendiri.
Hal tersebut didukung oleh pendapat Baumrind, Lamborn, Steinberg, Rice,
Conger, Thornburg, Kimmel, Popkin, Santrock, Berk, dan Craig (dalam
Barus, 2003), bahwa orang tua dengan pola asuh ini berperilaku serba
menerima, lunak, dan lebih pasif dalam pembiasaan disiplin. Mereka
mengumbar cinta kasih, tetapi menempatkan sedikit sekali tuntutan
terhadap perilaku anak, dan memberi kebebasan yang tinggi bagi anak
untuk bertindak sesuai dengan kemauan anak. Orang tua ini cenderung
meyakini bahwa pengawasan adalah pelanggaran terhadap kebebasan anak
dan mengganggu perkembangan anak yang sehat. Anak dapat makan atau
tidur kapan saja mereka suka atau melakukan apa saja sesuka hati tanpa
adanya pembatasan atau aturan-aturan yang mengikat. Orang tuaindulgent
tidak melatihkan kebiasaan-kebiasaan atau tata aturan yang baik, dan juga
membebaskan anak dari tugas-tugas pekerjaan rumah sehari-hari. Anak
Kesalahan-kesalahan anak diabaikan begitu saja dan mereka sangat anti
terhadap penggunaan hukuman. Orang tua semacam ini cenderung
memanjakan anak, melindungi anak secara berlebihan, menjauhkan anak
dari pemaksaan dan keharusan-keharusan, dan enggan meluruskan
penyimpangan-penyimpangan perilaku anak.
2) Permissive-indifferent
Orang tua indifferent sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
Mereka mencoba melakukan apa saja dengan maksud untuk
meminimalkan waktu dan tenaga untuk mempedulikan anak. Orang tua
menunjukkan sedikit sekali komitmen dalam mengasuh anak. Orang tua
ini hanya memiliki sedikit waktu dan perhatian yang diluangkan untuk
anak. Akibatnya, mereka terpaksa menanggulangi tuntutan-tuntutan
pengasuhan dengan berbuat apa saja yang dapat mereka lakukan, sekedar
untuk menghindari kesulitan-kesulitan. Mereka menanggapi
tuntutan-tuntutan anak selama hal-hal ataupun barang-barang yang diperlukan anak
dapat diperoleh secara mudah, akan tetapi mereka sangat lemah dan
cenderung mengabaikan dalam beberapa usaha yang melibatkan
tujuan-tujuan jangka panjang, seperti membangun dan melaksanakan peran-peran
mengenai pekerjaan rumah dan perilaku sosial yang dapat diterima secara
umum. Orang tua hanya tahu sedikit saja tentang aktivitas anak-anaknya,
menunjukkan perhatian yang sangat sedikit terhadap
pengalaman-pengalaman anak di sekolah atau dengan teman-temannya. Mereka hampir
bahkan menelantarkan anak. Kebutuhan-kebutuhan anak diabaikan, suka
duka, keberhasilan, dan kegagalan serta kesulitan-kesulitan anak tidak
mendapat respon (Steinberg, Berk, & Rice dalam Barus, 2003).
c. Pola asuh demokratis
Berbeda dengan kedua pola asuh sebelumnya, pola asuh demokratis
menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat,
serta memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila
ia menganggap peraturan itu tidak adil. Hal ini disebabkan oleh adanya
komunikasi yang bersifat timbal-balik antara anak dan orang tua. Orang tua
mengusahakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa
kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan tersebut.
Orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Selain
itu, orang tua juga memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun
kebebasan tersebut tidak mutlak dan dijalankan dengan bimbingan orang tua,
serta membutuhkan pengertian yang penuh antara kedua belah pihak, yaitu
anak dan orang tua.
Keinginan dan pendapat anak diperhatikan dan apabila sesuai dengan
norma-norma yang orang tua miliki maka disetujui untuk dilakukan.
Sebaliknya jika tidak sesuai maka ada penjelasan yang rasional dan objektif
dari orang tua. Penjelasan tersebut diberikan sambil meyakinkan perbuatan
anak, jika perbuatan tersebut baik maka anak perlu membiasakannya, namun
jika perbuatan tersebut tidak baik hendaknya tidak diperlihatkan lagi. Dalam
disesuaikan dengan kesalahan perbuatan anak dan diusahakan tidak lagi
berupa hukuman fisik. Penghargaan terhadap usaha-usaha anak untuk
menyesuaikan diri dengan harapan sosial yang tercakup dalam
peraturan-peraturan diperlihatkan orang tua melalui pemberian hadiah terutama dalam
bentuk pujian dan pengakuan sosial.
Dengan kata lain, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis
cenderung bersifat fleksibel dan berusaha untuk mengerti akan kebutuhan
yang harus dipenuhi oleh anaknya. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengkritik
anak bila anak tersebut berbuat sesuatu yang tidak disetujui, namun mereka
juga tidak ragu-ragu untuk memberikan penghargaan terutama dalam bentuk
pujian (Hurlock, 1980; Hendriati dalam Ayahbunda, 2002; Baumrind dalam
Santrock, 2002; Gunarsa, 1986; Lerner dalam Afrimaryanti, dkk., 2005;
Hauck, 1995).
Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa tiap pola asuh memiliki
kriteria masing-masing. Orang tua dengan pola asuh otoriter cenderung kurang
tanggap terhadap kebutuhan individu anak dan kurang mengayomi anak. Tidak
ada komunikasi antara orang tua otoriter dengan anak dan orang tua cenderung
memaksa anak tanpa kompromi (anak hanya sebagai pelaksana). Disiplin yang
digunakan bersifat kaku, keras, dan memaksa (hukuman yang diberikan berupa
hukuman fisik maupun mental), serta tidak ada penghargaan dari orang tua kepada
anak baik berupa hadiah ataupun pujian. Sebaliknya, pola asuh
menjauhkan anak dari berbagai tuntutan, dan enggan meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang anak lakukan. Sedangkan orang tua permissive-indifferent
cenderung berusaha melakukan apapun untuk meminimalkan waktu dan tenaga
untuk mempedulikan anak. Kedua pola asuh permisif tersebut miskin disiplin
karena orang tua tidak memiliki kontrol atas anak. Komunikasi antara orang tua
dengan anak bersifat dua arah namun tidak memberdayakan karena orang tua
permisif membiarkan anak untuk berpikir sendiri (anak harus tahu sendiri tanpa
perlu diberitahu). Bahkan pada pola asuh indifferent, orang tua hampir tidak
pernah berbincang-bincang dengan anak dan dapat pula menelantarkan anak.
Berbeda dengan pola asuh-pola asuh sebelumnya, orang tua demokratis berusaha
untuk mengerti kebutuhan anaknya dan memperlihatkan kehangatan serta kasih
sayang kepada anak. Komunikasi yang terjalin bersifat dua arah (orang tua
memperhatikan pendapat anak serta mau memberi penjelasan yang rasional dan
objektif kepada anak). Disiplin yang diterapkan orang tua demokratis cenderung
fleksibel dan pemberian hukuman serta penghargaan disesuaikan dengan
perbuatan anak (hukuman diusahakan tidak lagi berupa hukuman fisik,
penghargaan diberikan terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial).
Selain itu, orang tua demokratis juga menghargai kebebasan anak namun tetap
3. Unsur-unsur Umum Pola Asuh Orang Tua
Hurlock (1980) menyebutkan tiga unsur penting dalam pola asuh orang
tua, yaitu peraturan dan hukum, hukuman, serta hukum dan hadiah.
a. Peraturan dan hukum
Unsur ini berfungsi sebagai pedoman bagi penilaian yang baik. Dalam
menetapkan peraturan keluarga, ada orang tua yang memberikan penjelasan
mengenai peraturan kepada anaknya dan menerapkan peraturan tersebut
secara fleksibel. Namun demikian, ada pula orang tua yang tidak memberikan
penjelasan mengenai peraturan tersebut dan menerapkannya secara kaku.
b. Hukuman
Hukuman diberikan sebagai konsekuensi pelanggaran peraturan.
Hukuman yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya dapat digolongkan
menjadi hukuman fisik dan mental. Hukuman fisik dapat berupa tamparan,
pukulan, cubitan, dan lain sebagainya, sedangkan hukuman mental dapat
berupa caci-maki, bentakan, ataupun teriakan. Kartono (1985) berpendapat
bahwa hukuman seharusnya diberikan secara objektif dan disertai pengertian
akan maksudnya, bukan untuk melampiaskan kebencian dan kejengkelan
orang tua terhadap anak.
c. Hukum dan hadiah
Unsur ketiga ini diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk
berperilaku sosial yang baik. Hadiah dapat diberikan dalam bentuk materi,
pujian, maupun perlakuan khusus yang menyenangkan. Pemberian hadiah
bahwa ia bertindak benar dan mendorong anak untuk mengulang perilaku
yang baik.
Sedangkan Baumrind (dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa pola
asuh memiliki unsur-unsur penting, yaitu penerimaan dan kemauan mendengar,
serta tuntutan dan pengendalian.
a. Penerimaan dan kemauan mendengar
Penerimaan dan kemauan mendengar terkait dengan perhatian orang
tua kepada anak (kepedulian orang tua akan kebutuhan, keinginan, dan
harapan anak) serta komunikasi antara orang tua dan anak di dalam keluarga.
b. Tuntutan dan pengendalian
Tuntutan dan pengendalian menunjuk pada sejauh mana orang tua
mengharapkan perilaku yang bertanggungjawab dan matang dari
anak-anaknya. Dengan demikian, kedua unsur tersebut menjadi terkait dengan
bagaimana cara orang tua dalam membimbing dan menerapkan disiplin
kepada anaknya, yang meliputi penerapan peraturan, hukuman, dan pemberian
hadiah.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua
memiliki dua unsur utama yaitu penerimaan dan peraturan. Penerimaan berkaitan
dengan perhatian orang tua kepada anaknya (kepedulian orang tua akan
kebutuhan, keinginan, dan harapan anak). Peraturan terkait dengan pemberian
hukuman dan hadiah dari orang tua kepada anak, sebab hukuman dan hadiah
peraturan yang telah mereka buat. Dalam pola asuh orang tua juga terdapat
komunikasi. Meski demikian, komunikasi tidak dijadikan unsur tersendiri karena
komunikasi terkait dengan kedua unsur sebelumnya, yaitu penerimaan dan
peraturan.
4. Unsur-unsur pada Pola Asuh Otoriter, Demokratis, Indifferent, dan
Indulgent
Masing-masing pola asuh memiliki karakternya masing-masing sehingga
jika dikaitkan dengan kedua unsur pola asuh yaitu penerimaan dan peraturan,
maka kedua unsur tersebut akan termanifestasi ke dalam tindakan-tindakan yang
berbeda-beda pula. Pada unsur penerimaan pola asuh otoriter, orang tua
cenderung bersikap kurang mengayomi anak namun mengawasi semua aktivitas
anak dan pada unsur peraturan orang tua memberikan disiplin yang kaku, keras,
memaksa, serta tanpa pemberian hadiah. Unsur penerimaan pada pola asuh
demokratis termanifestasi pada tindakan dimana orang tua berusaha mengerti
kebutuhan anak dan menghargai kebebasan anak dengan tetap memberikan
bimbingan, sedangkan unsur peraturan termanifestasi pada penerapan disiplin
yang fleksibel dan tidak ragu memberikan penghargaan.
Pada pola asuh indifferent, unsur penerimaan nampak ketika orang tua
hanya memiliki sedikit waktu dan perhatian untuk anak, hampir tidak pernah
berbincang-bincang dengan anak, terpisah secara emosional dengan anak, sangat
tidak terlibat dalam hidup anak, bahkan dapat menelantarkan anak. Sedangkan
berbuat apapun sekedar untuk menghindari masalah. Pada pola asuh indulgent,
orang tua cenderung menunjukkan penerimaan dengan cara memanjakan,
melindungi berlebihan, menjauhkan anak dari tuntutan, dan memberi kebebasan
yang tinggi pada anak untuk bertindak semaunya. Peraturan pada pola asuh
indugent ditunjukkan dengan sikap orang tua yang enggan meluruskan
penyimpangan perilaku anak dan mengabaikan kesalahan-kesalahan anak.
5. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua
a. Pola asuh otoriter
Gunarsa (1986) berpendapat, pola asuh otoriter dapat menimbulkan
hilangnya kebebasan pada anak. Selain itu, inisiatif dan aktivitas-aktivitas
anak menjadi “tumpul” dan secara umum kepribadiannya lemah, demikian
pula kepercayaan diri anak. Anak menjadi “patuh” di hadapan orangtua, tetapi
di belakangnya ia akan memperlihatkan reaksi-reaksi menentang atau
melawan. Hal ini terjadi karena anak merasa dipaksa. Menurut Kartono
(1985), sebagai akibat dari sikap otoriter orang tua, anak cenderung
menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja) dan menyerahkan segalanya
kepada orang tuanya. Indrawati (dalam Kartono, 1985) menyatakan, anak
yang diasuh dengan pola otoriter dapat berkembang menjadi anak yang
canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir, bimbang dan bahkan
menjadi labil. Anak akan kehilangan spontanitas dan tidak dapat mencetuskan
ide-ide baru. Selain itu, dapat juga terjadi anak takut mengemukakan
segala hal sehingga menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-kelamaan anak akan
mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri.
b. Pola asuh permisif
1) Permissive-indulgent
Pola asuh ini mengakibatkan anak menjadi tidak pernah belajar
mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan kemauan
mereka dituruti (Santrock 2002). Mereka lebih sering terlibat dalam
masalah perilaku dan prestasi akademik yang kurang bagus (Susilowati
dalam Psikologi Plus, 2007). Mereka sangat tidak matang dalam berbagai
aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsif),
tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu
yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaat mereka. Mereka
juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, dan kurang gigih
dalam mengerjakan tugas-tugasnya, dan tidak tekun dalam belajar di
sekolah. Anak tidak mampu mengarahkan diri dan memikul tanggung
jawab. Mereka menjadi suka menang sendiri, egoistis, mementingkan diri
sendiri, dan menjengkelkan karena terlalu dibebaskan tanpa pembatasan
yang jelas. Ketiadaan bimbingan dan arahan dari orang tua dapat
mengakibatkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan
penuh keragu-raguan (Baumrind, Lamborn, Berk, Santrock, Thornburg, &
2) Permissive-indifferent
Perilaku penelantaran yang dilakukan orang tua indifferent sejak
dini akan mengganggu seluruh aspek perkembangan anak. Para orang tua
yang tertekan dan terpisah secara emosional dengan anak akan membuat
anak-anak mereka menjadi minimalis dalam berbagai aspek, termasuk
kelekatan/ kedekatan, kognisi, bermain, kemampuan-kemampuan
emosional dan sosial. Minimnya kehangatan dan pengawasan yang
diberikan orang tua secara berkelanjutan akan menimbulkan perilaku
agresif dan pengucilan diri. Selain itu, akibat yang terjadi pada remaja
yang orang tuanya sangat jarang berbincang-bincang dengan mereka,
kurang perhatian terhadap aktivitas sekolah mereka, dan kurang menyadari
posisi perkembangan mereka adalah kemampuan remaja itu dalam
mentolerir frustrasi menjadi rendah, pengendalian emosinya lemah,
memiliki perilaku dan prestasi sekolah yang amat buruk, kehilangan
tujuan-tujuan jangka panjang, tidak mampu memandang orientasi masa
depan, dan sangat mudah dihasut untuk melakukan tindakan kekerasan
(Berk, Miller, Baumrind, & Lamborn dalam Barus, 2003).
Secara garis besar, perkembangan kepribadian anak yang diasuh
dengan cara permisif cenderung menjadi tidak terarah karena anak terbiasa
menentukan segala sesuatunya sendiri. Pada anak tumbuh keakuan
(egosentrisme) yang terlalu kuat dan kaku, serta mudah menimbulkan
kesulitan-kesulitan kalau anak harus menghadapi larangan-larangan yang ada
2004) menambahkan, cara permisif juga dapat membentuk anak dengan
kepribadian yang cenderung tidak peka dan tidak bertanggungjawab.
c. Pola asuh demokratis
Cara terakhir yaitu cara demokratis, akan menumbuhkan rasa tanggung
jawab anak untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya
memupuk kepercayaan dirinya. Anak mampu bertindak sesuai norma dan
kebebasan yang ada pada dirinya, untuk memperoleh kepuasan dan
menyesuaikan diri. Jika tingkah laku anak tidak berkenan bagi orang lain,
anak mampu menunda dan menghargai tuntutan lingkungannya sebagai
sesuatu yang memang bisa berbeda dengan norma pribadinya (Gunarsa, 1986).
Selain itu, anak juga memiliki kepribadian yang cenderung aktif (Simonds
dalam Kushartanti, 2004).
Pada remaja, pola asuh demokratis mendorong mereka untuk hidup
penuh semangat dan bahagia, percaya diri dalam mengelola
kemampuan-kemampuan mereka untuk tidak bertindak anarkis. Pola asuh ini juga
membuat remaja mampu menggalang persahabatan dan kerja sama,
menumbuhkan harga diri yang tinggi, memiliki kematangan sosial dan moral,
tekun dalam belajar di sekolah, dan mencapai prestasi belajar yang tinggi
(Baumrind, Berk, & Lamborn dalam Barus, 2003).
Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbedaan cara
mengasuh anak akan menghasilkan anak dengan perilaku dan kepribadian yang
C. Masa Kanak-kanak Akhir
1. Batasan Masa Kanak-kanak Akhir
Akhir masa kanak-kanak disebut juga dengan late childhood. Hurlock
(1980) menyatakan, permulaan masa kanak-kanak akhir ditandai dengan
masuknya anak ke kelas satu, yaitu saat anak berusia enam tahun. Tibanya akhir
masa ini dapat secara tepat diketahui, yaitu saat individu menjadi matang secara
seksual. Kematangan seksual adalah kriteria yang digunakan untuk memisahkan
masa kanak-kanak dengan masa remaja. Meskipun kematangan seksual digunakan
sebagai tanda tibanya akhir late childhood, orang tidak dapat mengetahui secara
tepat kapan periode tersebut berakhir karena kematangan seksual tidak selalu
timbul pada usia yang sama. Hal ini sesuai dengan periode perkembangan yang
dikemukakan Santrock (2002), dimana masa pertengahan dan akhir masa
kanak-kanak (middle and late childhood) terentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun
namun pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun anak dapat pula sudah memasuki
masa remaja (adolescene). Pada masa remaja, anak memasuki periode
perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa.
2. Aspek-aspek Perkembangan Masa Kanak-kanak Akhir
Santrock (2002) membagi perkembangan menjadi tiga kategori, yaitu
perkembangan fisik, kognitif, dan sosio-emosi.
a. Perkembangan fisik
Menurut Santrock (2002), pada masa kanak-kanak akhir kebanyakan
keterampilan-keterampilan fisik ini adalah prestasi yang besar bagi anak-anak. Selain itu,
pada masa kanak-kanak akhir anak memiliki keterampilan menolong diri
sendiri. Pada keterampilan menolong diri sendiri, anak yang lebih besar
harus dapat makan, berpakaian, mandi, dan berdandan sendiri tanpa
memerlukan perhatian sadar yang penting pada awal masa kanak-kanak.
Keterampilan bermain adalah ketika anak yang lebih besar belajar pelbagai
keterampilan seperti melempar dan menangkap bola, naik sepeda, sepatu
roda, dan berenang (Hurlock, 1980). Havighurst (dalam Hurlock, 1980)
menambahkan, anak pada masa kanak-kanak akhir mencapai kebebasan diri
serta mempelajari kecakapan atau keterampilan fisik yang diperlukan untuk
permainan-permainan yang umum.
b. Perkembangan kognitif
Piaget (dalam Santrock, 2002) mengemukakan, masa kanak-kanak
akhir juga merupakan masa pemikiran operasional konkret, dimana anak
mulai memperlihatkan keterampilan-keterampilan konservasi, menalar
secara logis dalam keadaan-keadaan yang konkret, dan melakukan
klasifikasi. Erikson (dalam Santrock, 2002) berpendapat, anak-anak pada
periode tersebut mengarahkan energi mereka menuju penguasaan
pengetahuan dan keterampilan intelektual. Anak membangun sikap yang
sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh,
mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata-tingkatan nilai, serta
mengembangkan kecakapan atau keterampilan dasar untuk membaca,
dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa di sekolah anak menggunakan
pelbagai keterampilan yang diperlukan untuk menulis, menggambar,
melukis, membentuk tanah liat, menari, mewarnai dengan krayon, menjahit,
memasak, dan pekerjaan tangan dengan menggunakan kayu. Selain itu,
pelanggaran menjadi semakin berkurang karena adanya kematangan baik
fisik maupun psikologis.
c. Perkembangan sosio-emosi
Secara sosio-emosi, anak cenderung meluangkan banyak waktunya
dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan interaksi tersebut kebanyakan
terjadi di luar rumah (Santrock, 2002). Hal ini didukung oleh pernyataan
Havighurst (dalam Hurlock, 1980), dimana anak masa kanak-kanak akhir
belajar bergaul dan mnenyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya,
mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, serta membentuk
dan mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial. Menurut
Hurlock (1980), anak juga memiliki keterampilan menolong orang lain
contohnya membersihkan tempat tidur, membersihkan debu dan menyapu,
membersihkan papan tulis kelas, dan lain-lain. Selain itu, akhir masa
kanak-kanak merupakan periode yang relatif tenang secara emosi. Hal ini karena
peranan yang harus dilakukan anak yang lebih besar sudah terumus secara
jelas dan anak tahu bagaimana melaksanakannya.
Penguasaan tugas-tugas perkembangan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Sebagian dari faktor-faktor tersebut bertindak sebagai hambatan dan sebagian lagi
(1978) menyebutkan beberapa faktor yang dapat membantu anak dalam
menguasai tugas-tugas perkembangannya, yaitu perkembangan fisik yang
dipercepat, kekuatan dan energi di atas rata-rata untuk usia tertentu, kecerdasan di
atas rata-rata, lingkungan yang memberikan kesempatan, bimbingan belajar dari
orang tua dan guru, serta aktivitas yang disertai kemauan untuk berbeda.
D. Kemandirian Masa Kanak-kanak Akhir
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kemandirian memiliki beberapa
komponen utama menurut Masrun, dkk. (1986) yaitu bebas, progresif dan ulet,
inisiatif, pengendalian dari dalam, dan kemantapan diri. Ketika anak mencapai
kebebasan pribadi, anak memenuhi komponen bebas dan dengan anak dapat
menguasai keterampilan menolong diri sendiri secara tidak langsung anak telah
memenuhi komponen bebas dan kemantapan diri, karena anak melakukan segala
sesuatunya bukan karena orang lain melainkan karena anak memang ingin
melakukannya sendiri dan anak yakin atas kemampuannya sendiri. Penguasaan
berbagai keterampilan fisik dan kognitif seperti kecakapan atau keterampilan fisik
untuk permainan-permainan umum, serta keterampilan dasar untuk membaca,
menulis, dan berhitung, serta pengertian-pengertian atau konsep-konsep untuk
kehidupan sehari-hari memenuhi komponen progresif dan ulet. Sedangkan
pemenuhan komponen inisiatif nampak ketika anak menolong orang lain juga
ketika anak membentuk dan mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok
sosial. Pemenuhan komponen pengendalian dari dalam adalah ketika anak mampu
pengertian moral, dan tata-tingkatan nilai. Ketika anak mampu membangun sikap
yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mau
belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman sebayanya, serta mau belajar
mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, anak memenuhi
komponen kemantapan diri.
E. Hubungan Kemandirian Anak dengan Pola Asuh Orang Tua
Kepribadian seorang anak terbentuk dan berkembang dengan pengaruh
yang diterimanya sejak kecil. Pengaruh yang anak terima berasal dari bagaimana
cara orang tua bersikap, memperlakukan, dan mendidik anak, atau dengan kata
lain dari cara orang tua mengasuh anak. Cara orang tua mengasuh anak tidak bisa
lepas dari unsur-unsur pengasuhan anak, dimana unsur-unsur tersebut berkaitan
dengan penerimaan, perhatian, dan bimbingan orang tua kepada anak. Hal ini
berhubungan dengan keadaan dimana seorang anak masih membutuhkan
perhatian, penerimaan, dan bimbingan dari orang tuanya dalam hal
pengembangan dan penentuan arah sikap, dalam hal ini adalah sikap mandiri.
Berdasarkan kebutuhan anak tersebut, nampak bahwa penerapan cara
otoriter oleh orang tua justru dapat membuat anak menjadi tidak mandiri.
Ketidakmandirian anak tersebut disebabkan oleh hilangnya kebebasan anak,
melemahnya inisiatif, dan kemantapan diri anak. Hilangnya kebebasan anak serta
melemahnya inisiatif dan kemantapan diri anak terjadi karena cara otoriter
cenderung mengawasi semua aktivitas anak serta menerapkan disiplin yang kaku,
menjadi progresif dan ulet, serta memiliki kendali diri yang baik. Selain itu,
melemahnya inisiatif dan kemantapan diri anak juga disebabkan oleh sikap orang
tua yang kurang mengayomi anak.
Begitu pula dengan pola asuh permisif. Pola asuh ini mengakibatkan
progresivitas, keuletan, kendali diri, maupun kemantapan diri anak rendah,
sehingga membuat anak menjadi tidak mandiri. Sikap orang tua indulgent yang
cenderung memanjakan dan melindungi anak secara berlebihanlah yang
mengakibatkan progresivitas dan keuletan anak lemah, begitu pula dengan kendali
diri dan kemantapan diri anak. Sikap menjauhkan anak dari berbagai tuntutan dan
memberi anak kebebasan tinggi untuk bertindak sesuai dengan kemauannya juga
membuat progresivitas, keuletan, dan kendali diri anak lemah, walaupun hal
tersebut juga memberi kebebasan kepada anak serta dapat pula mengakibatkan
anak memiliki inisiatif yang baik. Kebebasan anak dan kendali diri yang rendah
juga disebabkan oleh sikap orang tua indulgent yang enggan meluruskan
penyimpangan perilaku anak.
Orang tua indifferent memiliki perbedaan sikap dengan orang tua
indulgent. Orang tua indifferent sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak
bahkan dapat menelantarkan anak dengan cenderung bersikap mengabaikan dan
tidak merespon kebutuhan, perasaan, keberhasilan, maupun kesulitan-kesulitan
anak. Hal ini menyebabkan kendali serta kemantapan diri anak menjadi lemah.
Disamping itu, anak juga menjadi bebas dan memiliki inisiatif yang baik.
Kebebasan anak juga diakibatkan oleh kontrol yang lemah dari orang tua
mereka. Kontrol dan sikap orang tua yang seperti itu juga menyebabkan anak
memiliki progresivitas, keuletan, dan kendali diri yang rendah. Selain itu, kendali
diri anak yang rendah disebabkan pula oleh sikap orang tua yang hampir tidak
pernah berbincang-bincang dengan anak, hanya memiliki sedikit waktu, perhatian,
dan pendampingan untuk anak, serta terpisah secara emosional dengan anak.
Berbeda dengan pola asuh-pola asuh sebelumnya, cara demokratis yang
digunakan oleh orang tua cenderung dapat membuat anak menjadi mandiri. Hal
ini disebabkan oleh sikap orang tua demokratis yang mau berusaha mengerti
kebutuhan anaknya, menghargai kebebasan anak namun tetap membimbing, dan
menerapkan disiplin yang cenderung fleksibel kepada anak. Sikap orang tua yang
mau berusaha mengerti kebutuhan anaknya membuat anak memiliki kendali diri
dan kemantapan diri yang baik. Kendali dan kemantapan diri anak juga muncul
akibat sikap orang tua yang menghargai kebebasan anak namun tetap
membimbing, serta penerapan disiplin yang fleksibel dari orang tua. Anak yang
kebebasannya dihargai namun tetap dibimbing oleh orang tua yang menerapkan
disiplin secara fleksibel juga akan menjadi pribadi yang progresif dan ulet. Sikap
orang tua demokratis yang menghargai kebebasan anak namun tetap mau
membimbing juga membuat anak memiliki kebebasan dan inisiatif yang baik.
Pribadi anak yang progresif, ulet, memiliki kebebasan, inisiatif, serta kendali dan
kemantapan diri yang baik ini yang mendorong anak untuk menjadi mandiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua memiliki
Kepribadian tersebut akan berpengaruh pada bagaimana cara anak bersikap atau
berperilaku, demikian pula dalam hal kemandirian.
F. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kemandirian
SKEMA Anak butuh penerimaan, perhatian, bimbingan orang tua Otoriter
disiplin kaku, keras, memaksaanak
inisiatif lemah
Pola asuh
PermissiveIndul gent
memanjakan, melindungi berlebihan
enggan meluruskan penyimpangan perilaku anak
menjauhkan anak dari tuntutan, memberi kebebasan tinggi untuk bertindak semaunya
tidak mandiri
mengawasi semua aktivitas anak
kendali diri baik kemantapan diri anak lemah
anak menjadi bebas progresivitas dan keuletan lemah
inisiatif baik kendali diri lemah kemantapan diri lemah
kemantapan diri lemah kendali diri lemah
inisiatif baik Pola asuh PermissiveIndiff erent Pola asuh Demokratis
kendali diri baik kemantapan diri baik berusaha mengerti kebutuhan anak
menerapkan disiplin fleksibel menghargai kebebasan anak tapi tetap
membimbing inisiatif baik mandiri
anak menjadi progresif dan ulet anak memiliki kebebasan progresivitas dan keuletan lemah
anak menjadi bebas hanya sedikit punya waktu dan perhatian untuk
anak, hampir tidak pernah berbincang-bincang dengan anak, terpisah secara emosional dengan
anak
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, menelantarkan anak
38 A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif, dimana peneliti
bermaksud melihat perbedaan tingkat kemandirian anak ditinjau dari perbedaan
pola asuh orang tua.
B. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang termasuk dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : pola asuh orang tua
2. Variabel tergantung : kemandirian anak
C. Definisi Operasional
1. Kemandirian anak
Kemandirian adalah kemampuan individu untuk mengembangkan diri
sendiri dalam semua aspek kehidupannya, mengatur, dan menentukan nasibnya
sendiri. Tinggi rendahnya tingkat kemandirian diungkap dalam lima aspek
kemandirian yaitu bebas, progresif dan ulet, inisiatif, pengendalian dari dalam,
a. Bebas, ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri,
bukan karena orang lain.
b. Progresif dan ulet, meliputi adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh
ketekunan, merencanakan, serta mewujudkan harapan-harapan.
c. Inisiatif, mencakup kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara
original, kreatif, dan penuh inisiatif.
d. Pengendalian dari dalam, ditunjukkan dengan adanya perasaan mampu
untuk mengatasi masalah yang dihadapinya atau kemampuan
mengendalikan tindakannya, serta kemampuan mempengaruhi lingkungan
atas usahanya sendiri.
e. Kemantapan diri, mencakup rasa percaya diri terhadap kemampuan diri
sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya
sendiri.
Kelima aspek dalam kemandirian tersebut yang akan digunakan oleh
peneliti untuk membuat skala kemandirian anak dalam penelitian ini. Semakin
tinggi skor yang diperoleh dari skala kemandirian anak maka semakin tinggi
tingkat kemandirian anak. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor yang
diperoleh dari skala kemandirian,.semakin rendah tingkat kemandirian anak.
2. Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai kecenderungan sikap, perilaku,
dan cara-cara orang tua dalam mengasuh dan berinteraksi dengan anaknya. Pola
(otoriter, demokratis,indifferent, dan indulgent) dan kedua unsur utama pola asuh
yaitu penerimaan dan peraturan.
Tabel 1.
Tabel Karakteristik Jenis-jenis Pola Asuh dan Unsur Pola Asuh
No. Pola Asuh Unsur Deskripsi
Penerimaan kurang mengayomi anak, mengawasi semua aktivitas anak
1. Otoriter
Peraturan memberikan disiplin kaku, keras, memaksa, tanpa hadiah
Penerimaan
berusaha mengerti kebutuhan anak, menghargai
kebebasan anak dengan tetap memberikan
bimbingan 2. Demokratis
Peraturan disiplin fleksibel, tidak ragu memberikan penghargaan
Penerimaan
hanya punya sedikit waktu dan perhatian untuk
anak, hampir tidak pernah berbincang-bincang
dengan anak, terpisah secara emosional dengan
anak, sangat tidak terlibat dalam hidup anak,
menelantarkan anak 3. Indifferent
Peraturan kontrol lemah, berbuat apapun sekedar untuk menghindari masalah
Penerimaan
memanjakan, melindungi berlebihan, menjauhkan
anak dari tuntutan, memberi kebebasan tinggi
untuk bertindak semaunya 4. Indulgent
Peraturan enggan meluruskan penyimpangan perilaku anak, mengabaikan kesalahan-kesalahan anak
Semakin tinggi skor yang diperoleh dari skala pola asuh orang tua,
semakin tinggi kecenderungan pola asuh yang anak terima. Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh dari skala pola asuh orang tua
D. Subjek Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbedaan tingkat
kemandirian anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua maka peneliti
mengambil subjek yang berusia 11-12 tahun, dimana usia tersebut masuk dalam
periode akhir masa kanak-kanak. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara
purposive sampling, dimana pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri
atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan
ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2007).
Pemilihan usia 11 – 12 tahun dimaksudkan karena periode tersebut berada
pada akhir masa kanak-kanak. Berdasarkan tugas-tugas perkembangan
Havighurst, anak pada usia tersebut secara tidak langsung menuntut anak untuk
dapat mandiri. Selain itu, pembatasan usia tersebut peneliti lakukan karena
menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) pada usia tersebut secara kognitif anak
termasuk dalam tahap pemikiran operasional konkret. Pada tahap ini salah satu
karakteristik yang anak miliki adalah kemampuan untuk menalar secara logis.
Karakteristik tersebutlah yang peneliti pandang sesuai dengan metode
pengumpulan data yang peneliti gunakan yaitu skala. Dengan adanya kemampuan
E. Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini adalah :
1. Membuat skala kemandirian anak dan pola asuh orang tua yang kemudian
diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama
dengan kelompok subjek sesungguhnya.
2. Melakukan uji kesahihan butir dan reliabilitas skala untuk mendapatkan butir
yang sahih dan data yang reliabel.
3. Menentukan subjek penelitian sesuai dengan kriteria kemudian mengukur
tingkat kemandirian anak dan mengungkap pola asuh