• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Ria Mariana Wiratman

039114021

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Ria Mariana Wiratman

039114021

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)

Oleh:

RiaMariana Wiratman

NIM: 039114021

ia Penguji

,$i,r', gs3.iyn

Yogyakarr4 ..?.

1..{l!l..lott

Fakultas Psikologi

Sanata Dharma Dekan

ffi

hp.,

tr

#d ffi

,&d

Fcd

&ts

tr

q-w

tlJ Ketua

Sekretaris Anggota

u1

r.i.:

S;

lvia'b$orina M.Y.Nf., s.Psi., M

(5)

iv

Mama terkasih, yang tidak pernah berhenti

(6)

v

dan noda melekat pada tanganku,

maka biarlah apa yang kutabur, dimakan orang lain,

dan biarlah tercabut apa yang tumbuh bagiku”

(Ayub 31 : 7 – 8)

“Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya”

(Pengkhotbah 3 : 11)

“Segala sesuatu dapat kutanggung di dalam Dia

yang memberi kekuatan kepadaku”

(7)

Sa5na meqmakm d€nge sesun8guhoya dfiipsi )ryry nrlis

ini

memud karya

lau

bsgim ka5ra orang

*

ry

yang telah sa]'a

s€hdfil

dalan hfipm dan daftr pustalq s*cgaimana hyahya

krya

ilmiah.

VognUrya' 26 Jmuni 201I

Penulis

RiaMariam Winman

(8)

vii

Ria Mariana Wiratman

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kemandirian anak ditinjau dari pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua dalam penelitian ini terdiri dari pola asuh otoriter, demokratis, permisif-indiferen, dan permisif-indulgen. Subjek penelitian ini berjumlah 116 siswa kelas VI SD Tarakanita Bumijo yang berusia 11 – 12 tahun. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berbentuk skala. Skala penelitian tersebut terdiri dari skala kemandirian anak dan skala pola asuh orang tua. Koefisien reliabilitas skala kemandirian sebesar 0.877. Sedangkan koefisien pola asuh orang tua dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah 0.920 untuk pola asuh demokratis, 0.891 untuk pola asuh indiferen, 0.858 untuk pola asuh otoriter, dan 0.796 untuk pola asuh indulgen. Analisis data dengan menggunakan teknik Anava Satu Jalur memperoleh hasil nilai probabilitas sebesar 0.957. Hasil tersebut menunjukkan probabilitas lebih besar dari 0.05. Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini ditolak, dimana tidak ada perbedaan tingkat kemandirian anak ditinjau dari pola asuh orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penelitian kepustakaan dengan penelitian lapangan. Penelitian ini memperhitungkan faktor pola asuh orang tua sedangkan faktor usia dan interaksi dengan teman sebaya yang turut berperan dalam proses kemandirian kurang diperhitungkan.

(9)

viii

Ria Mariana Wiratman

ABSTRACT

This research was aimed to know whether or not there were differences of children autonomy in upbringing patterns perspective. Parents’ upbringing patterns in this research consist of authoritarian, democratic, permissive-indifferent, and permissive-indulgent upbringing pattern. The subjects of this research were 116 sixth grade students of Tarakanita Bumijo Elementary School aged between 11 – 12 years old. The method of data collection in this research was by using scales. The scales consist of autonomy scale and upbringing pattern scale. The reliability of autonomy scale was 0.877. However, the reliability of upbringing patterns from the highest to the lowest were 0.920 for democratic pattern, 0.891 for indifferent pattern, 0.858 for authoritarian pattern, and 0.796 for indulgent pattern. Data analysis using Oneway Anova technique found that the probability was 0.957. The result showed that the probability was more than 0.05. Hence, the hypothesis on this research was refused, in which there was no difference between children autonomy related to parents’ upbringing pattern. It shows that there is a difference between library and field research. This research focused on parents’ upbringing pattern factor but age factor and interaction with friends of same ages which take part in process of autonomy are less considered.

(10)

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dbarma

Nama

No. Mahasiswa

: Ria Mariana Wiratuan : 0391 14021

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya merrberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Perbedaan TinEkat Kemandirian Anek Ditinjan deri Pola Asuh Oreng Tua beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

hak

rmtuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain" mengelolanya dalam beNrtrft pangkalan data, meldistibusikan s@ara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

iiin

dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikianpernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuatdi Yogyakarta

Padatanggal :26 Januari 2011

ll( Yang menyatakan,

(11)

x

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa puji

syukur juga penulis panjatkan kepada Bunda Maria, Bunda Pembimbing-ku.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini penulis selesaikan melalui proses

yang panjang. Proses tersebut diwarnai dengan suka dan duka, tawa dan tangisan,

kegembiraan dan keputusasaan. Namun semuanya itu pada akhirnya membawa

penulis menjadi lebih tekun dan bersemangat untuk membuktikan kepada semua

orang yang telah menaruh harapan dan kepercayaan kepada penulis, bahwa

penulis dapat membuat mereka bangga meskipun hasil yang penulis

persembahkan pun tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah berperan secara

langsung ataupun tidak langsung dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dengan

dukungan mereka, penulis dapat menjalani dan menyelesaikan proses yang

panjang tersebut dengan baik.

1. Terima kasih kepada Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Bapak Minta Istono,

S.Psi., M.Si. selaku Wakil Dekan, Ibu Titik Kristiyani, M.Psi. selaku

Kaprodi, dan Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Psi. selaku Wakil

Kaprodi yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera

(12)

xi

skripsi yang terus memberikan dukungan, masukan, dan selalu sabar

membantu serta membimbing penulis dalam proses penyelesaian yang

panjang ini.

3. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji yang telah

banyak memberikan masukan kepada penulis dalam memperbaiki skripsi

ini.

4. Bapak Y. Agung Santoso, M.A. dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko,

S.Psi., M.Si. yang telah memberikan masukan ketika penulis mengalami

kesulitan dalam menyelesaikan skripsi.

5. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang memberikan dukungan kepada penulis sejak awal penulis

kuliah.

6. Papa dan Mama yang selalu mendoakan dan menyayangi penulis, terima

kasih atas segalanya.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan banyak

pengetahuan dan pengalaman selama penulis kuliah.

8. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gi yang telah

membantu kelancaran berbagai urusan perkuliahan penulis selama di

(13)

xii

yang berusaha selalu ada untuk penulis. Meskipun kita jauh tapi hati kita

akan selalu dekat .

11. Dewi “Iwed” my sibling dan Tino “Asep” her fiancé, thanks for

everything.

12. Rekan-rekan kerja penulis di Bailamos Dance School, always love dance...

always love ballet! Ballet selalu bisa membangkitkan semangatku.

Kompak selalu yaa…

13. Arie Frederik, makasih atas bantuan statistiknya.

14. Teman-teman Psikologi Angkatan 2003, Aprinta, Martin, Ronald, dan

semuanya.. thanks for our togetherness… and thanks for being my sparing

partner in the crucial time.

Penulis

(14)

xiii

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

HALAMAN MOTTO ………. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi

ABSTRAK ……….. vii

ABSTRACT ……… viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …… ix

KATA PENGANTAR ………... x

DAFTAR ISI ………... xiii

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan ………. 6

D. Manfaat ………... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….… 8

(15)

xiv

B. Pola Asuh Orang Tua ………... 13

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ………... 13

2. Jenis-jenis Pola Pengasuhan Orang Tua ………. 14

3. Unsur-unsur Umum Pola Asuh Orang Tua ……… 22

4. Unsur-unsur pada Pola Pola Asuh Otoriter, Demokratis, Indifferent, dan Indulgent ………...……….. 24

5. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua ………. 25

C. Masa Kanak-kanak Akhir ……… 29

1. Batasan Masa Kanak-kanak Akhir ……….…………....… 29

2. Aspek-aspek Perkembangan Masa Kanak-kanak Akhir …….... 29

D. Kemandirian Masa Kanak-kanak Akhir ……….. 32

E. Hubungan Kemandirian Anak dengan Pola Asuh Orang Tua ….… 33 F. Hipotesis ……….. 36

SKEMA ………. 37

BAB III METODE PENELITIAN ……….. 38

A. Desain Penelitian ………. 38

B. Variabel Penelitian ……….. 38

C. Definisi Operasional ……… 38

1. Kemandirian Anak ……...………..……. 38

(16)

xv

G. Validitas, Seleksi Aitem, dan Reliabilitas ………... 45

1. Validitas ………. 45

2. Seleksi Aitem ………. 45

3. Reliabilitas ……….……… 50

H. Pengkategorian Pola Asuh ………... 51

I. Analisis Data ……… 53

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 54

A. Persiapan Penelitian ……….… 54

B. Pelaksanaan Penelitian ………. 55

C. Hasil Penelitian ……… 56

1. Deskripsi Subjek Penelitian ……….. 56

2. Deskripsi Data Penelitian ……….. 56

3. Uji Asumsi Data Penelitian ………... 58

D. Pembahasan ……….… 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 67

A. Kesimpulan ……….. 67

B. Saran ……….… 67

DAFTAR PUSTAKA ……….. 68

(17)

xvi

Tabel 2 : Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak

Sebelum Uji Coba ……….. 43

Tabel 3 : Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua

Sebelum Uji Coba ……….. 44

Tabel 4 : Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak

Setelah Uji Coba ………. 46

Tabel 5 : Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak

Untuk Penelitian ………. 47

Tabel 6 : Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua

Setelah Uji Coba ………. 48

Tabel 7 : Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua

Untuk Penelitian ………. 49

Tabel 8 : Usia dan Jenis Kelamin Subjek ……….…. 56

Tabel 9 : Data Kemandirian Subjek ………. 56

Tabel 10 : Kemandirian Subjek Berdasarkan Pola Asuh ………….…57

Tabel 11 : Hasil PenghitunganOne-Sample

Kolmogorov-Smirnov Test………. 59

Tabel 12 : Hasil PenghitunganLevene’s Test

for Equality of Variance………. 59

(18)
(19)

xviii

Skala B (Skala Pola Asuh Orang Tua) ………. 77

LAMPIRAN B : Skor Kemandirian Anak …...……… 81

Skor Pola Asuh Otoriter ………... 97

Skor Pola Asuh Demokratis ………. 105

Skor Pola Asuh Indifferent ………... 113

Skor Pola Asuh Indulgent ……… 121

LAMPIRAN C : Reliabilitas Kemandirian Anak ……… 123

Reliabilitas Pola Asuh Otoriter ……… 125

Reliabilitas Pola Asuh Demokratis ……….. 127

Reliabilitas Pola Asuh Indifferent ………... 129

Reliabilitas Pola Asuh Indulgent ………. 131

Pengkategorian Pola Asuh ……… 132

LAMPIRAN D : Hasil Analisis Uji Normalitas ……….. 134

Hasil Analisis Uji Homogenitas ………... 136

Hasil Uji Hipotesis (Analisis Anova) ..……… 136

Hasil Post Hoc Test ……….. 137

Hasil Analisis Homogeneous Subsets ……….. 137

LAMPIRAN E : Surat Ijin Penelitian ……….. 139

(20)

1 A. Latar Belakang

Dalam hidup berkomunitas di dunia ini, manusia perlu membentuk suatu

hubungan yang harmonis dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan kodratnya

sebagai makhluk sosial dimana manusia memerlukan bantuan dari orang lain.

Seorang manusia tidak dapat hidup sendirian di dunia ini, tetapi harus hidup

bersama dengan manusia lainnya dan selalu berusaha untuk membentuk suatu

ikatan atau hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Namun

demikian, bukan berarti seseorang harus selalu bergantung pada bantuan orang

lain. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern, setiap

individu semakin dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dan diharuskan

untuk mampu memecahkan masalahnya sendiri. Dengan demikian, untuk dapat

hidup dan berkembang tanpa selalu menggantungkan diri pada orang lain,

individu memerlukan sikap mandiri. Kemandirian merupakan aspek dalam

kepribadian yang sangat menentukan bagaimana seorang individu dapat

menghadapi berbagai peristiwa dalam kehidupannya dan memungkinkan dirinya

untuk bekerja maupun bertingkahlaku tanpa terus-menerus bergantung pada

(21)

Kemandirian menjadi suatu hal yang penting karena tanpa adanya

kemandirian seseorang cenderung tidak mampu memutuskan dan melakukan

segala sesuatu tanpa bantuan dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan beberapa

fenomena yang peneliti amati, seorang anak yang tidak mandiri karena terbiasa

dibantu dan diarahkan oleh orang lain akan menjadi ragu-ragu dalam bertindak

dan cenderung merasa dirinya tidak mampu bertindak sendiri. Contohnya, saat

seorang siswa kelas 6 SD tidak mau bersekolah maupun mengikuti kegiatan

ekstrakurikuler jika ibunya tidak menungguinya dan tidak mau makan jika ibunya

tidak menyuapinya makan. Akibatnya, setiap hari ibunya harus menunggui anak

tersebut dari pagi hingga siang hari juga pada sore harinya ketika anak tersebut

mengikuti ekstrakurikuler, dan di sela-sela waktu istirahat siang menyuapi

anaknya makan. Kemandirian dapat mengantar setiap individu menjadi makhluk

yang produktif dan efisien serta membawa ke arah kemajuan, karena kemandirian

mampu mendorong setiap individu untuk berprestasi (Masrun, Haryanto, Harjito,

Utami, Bawani, Arritonang, dan Sutjipto, 1986). Pembinaan kemandirian sangat

penting dan perlu diberikan kepada anak, agar setelah dewasa anak sudah terbiasa

hidup mandiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain, dalam arti bahwa anak

akan selalu berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa

mengandalkan bantuan dari orang lain.

Kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pola

asuh keluarga. Menurut Taryati, Harnoko, Mudjijono, dan Suhatno (1995),

keluarga merupakan tempat seorang anak tumbuh dan berkembang, serta

(22)

merupakan perwujudan kasih sayang, model perilaku, sumber pendidikan dan

bimbingan, serta kelompok sosial pertama sebelum seorang anak mengenal dunia

luar. Meskipun semua anggota keluarga yang lebih besar atau lebih tua usianya

ikut berperan dalam pembinaan kepribadian seorang anak, yang paling penting

dalam pembinaan kemandirian itu adalah orang tua. Orang tua bertanggungjawab

dalam membimbing, mendidik, mendisiplinkan, dan melindungi anak untuk

mencapai pendewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Proses tersebut melibatkan suatu interaksi antara orang tua dengan anak di dalam

keluarga. Interaksi antara orang tua dan anak inilah yang disebut sebagai pola

pengasuhan orang tua. Sears (dalam Dewi, 2002) mengatakan bahwa pola

pengasuhan anak merupakan keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak

yang melibatkan sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua dalam memelihara anak.

Tujuannya adalah mendidik anak agar mampu bertanggungjawab dalam

mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan sehingga tidak

mengganggu orang lain.

Peran pola asuh dan pendampingan orang tua dalam kehidupan anak

sangatlah besar, demikian pula dalam pembinaan kemandirian anak. Hal tersebut

sesuai dengan yang diungkapkan oleh Astuti dalam Familia (2004) bahwa dalam

hal kemandirian, peran pola asuh orang tua dan lingkungan sebenarnya lebih besar

dari pengaruh genetis. Bagaimana seorang anak dididik dan dibesarkan oleh orang

tua dalam sebuah keluarga akan membawa dampak yang sifatnya bukan

sementara, namun termanifestasi selama hidup anak tersebut, baik dalam perilaku,

(23)

pengertian yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pola

pikir diartikan sebagai kerangka berpikir. Sedangkan cara pandang dapat diartikan

sebagai cara melihat, menganggap, atau memperlakukan sesuatu. Dengan kata

lain, bagaimana cara orang tua mendidik dan membesarkan anak akan

mempengaruhi perilaku, kerangka berpikir, juga cara anak dalam melihat,

menganggap, dan memperlakukan sesuatu. Hal ini didukung oleh pernyataan

Hendriati (dalam Ayahbunda, 2002) bahwa cara orang tua mengasuh dan

mendidik anak akan berperan penting dalam pembentukan kepribadian anak.

Selain itu, Conger (1977) menyatakan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak

akan mempengaruhi perkembangan kemandirian. Berkaitan dengan hal di atas,

Dowling (dalam Sylva & Lunt, 1988) berpendapat bahwa kesempatan untuk

mengembangkan kemandirian harus diutamakan dalam setiap bidang pengasuhan

anak. Anak yang mampu membuat keputusan dan bertindak atas inisiatif sendiri

akan cepat bertumbuh dengan percaya diri.

Ada beberapa model pola asuh orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan

demokratis (Hurlock, 1980). Para ahli kemudian membedakan pola asuh permisif

menjadi permissive-indulgent dan permissive-indifferent (Santrock, 2002). Pola

asuh otoriter menetapkan peraturan-peraturan yang keras dan teguh, serta

mengharuskan anak mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Jika anak tidak

mengikuti peraturan, ia akan diberi hukuman yang keras. Pola asuh permisif tidak

mengajarkan peraturan-peraturan kepada anak dan tidak menghukum anak karena

melanggar peraturan. Pada pola asuhindulgent, orang tua sangat memanjakan dan

(24)

tidak terlibat dalam kehidupan anak dan cenderung menelantarkan. Pola asuh

demokratis memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan

tersebut tidak mutlak. Orang tua tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas, tanpa

berlaku kasar. Kumari dan Susmiati (2005) dalam sebuah penelitian terapan

mengenai kemandirian mengungkapkan bahwa rendahnya frekuensi komunikasi

antara orang tua dan anaknya, serta kurangnya perhatian orang tua terhadap

prestasi belajar anak berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan jasmani dan

rohani anak secara maksimal.

Penelitian mengenai hubungan antara pola asuh dengan kemandirian

sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Anggriany dan Astuti (2003). Namun

demikian, subjek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswi. Dalam penelitian

mengenai hubungan antara pola asuh berwawasan jender dengan Cinderella

Complex ini terungkap bahwa tingginya hubungan antara pola asuh berwawasan

jender dan Cinderella Complex menunjukkan betapa besar pengaruh lingkungan

keluarga atau pola asuh orang tua terhadap tumbuh dan berkembangnya

ketergantungan secara psikologis atau ketakutan akan kemandirian pada

perempuan. Hal tersebut menyebabkan seorang perempuan tidak mempunyai

keberanian untuk memanfaatkan sepenuhnya kekuatan otak dan kreativitasnya.

Pada penelitian kali ini, peneliti mengambil subjek yang berbeda yaitu anak kelas

6 SD. Anak kelas 6 SD berusia sekitar 11 – 12 tahun. Periode umur tersebut

berada pada akhir masa kanak-kanak dimana tugas-tugas perkembangan anak

(25)

Berdasarkan hal di atas, timbul pertanyaan apakah ada perbedaan

kemandirian pada anak usia 11 - 12 tahun. Selain itu, penelitian yang Anggrainy

dan Astuti lakukan hanya sebatas melihat hubungan antara pola asuh dengan

kemandirian saja. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat ada atau tidaknya

perbedaan tingkat kemandirian anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada perbedaan tingkat

kemandirian pada anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua.

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah ada perbedaan

tingkat kemandirian pada anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoretis :

Di bidang Psikologi Perkembangan dan Kepribadian, penelitian dan hasilnya

ini bermanfaat untuk kepentingan pengembangan bidang

perkembangan-kepribadian, khususnya pengembangan konsep pola asuh orang tua terhadap

(26)

2. Manfaat Praktis :

a. Bagi peneliti, penelitian dan hasilnya ini merupakan kesempatan untuk

dapat menganalisis, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan di

bidang psikologi, baik secara teoretik maupun aplikasinya.

b. Bagi para pembimbing, guru, serta orang tua, hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai cermin dalam membina kemandirian anak didik

(27)

8 A. Kemandirian

1. Pengertian Kemandirian

Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri

(Poerwodarminto, dalam Lukman, 2000). Soekadji (dalam Prasetyo, 2005)

menyatakan bahwa mandiri artinya mampu mengatur diri sendiri sesuai dengan

hak dan kewajiban yang dimilikinya, mampu menentukan nasib sendiri, tidak

menggantungkan diri kepada orang lain sampai batas kemampuan, dan

bertanggungjawab atas keputusannya, tindakan, dan perasaan sendiri. Bhatia

(dalam Kushartanti, 2004) mengemukakan, independency adalah suatu perilaku

yang aktivitasnya diarahkan kepada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan

dari orang lain, bahkan mencoba memecahkan atau menyelesaikan masalahnya

sendiri tanpa meminta bantuan kepada orang lain. Masrun, dkk. (1986)

berpendapat bahwa kemandirian adalah modal dasar bagi manusia dalam

menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya. Kemandirian

mendorong orang untuk berprestasi dan berkreasi sehingga menjadi makhluk yang

produktif, efisien, dan membawa diri ke arah kemajuan.

Teori lain yang menjelaskan mengenai kemandirian adalah teori

Psychological Needs dari Murray. Teori ini menganggap bahwa perilaku

(28)

kebutuhan psikologis tersebut adalah kebutuhan untuk mandiri (need for

autonomy). Kebutuhan untuk mandiri tercermin dalam perilaku yang sesuai

dengan kehendak sendiri, menyatakan buah pikiran sendiri, bebas dalam

mengambil keputusan, merasa mempunyai kebebasan untuk mengerjakan segala

sesuatunya sesuai dengan kebutuhannya, menghindari situasi dimana ia

diharapkan menyesuaikan dirinya, dan mengerjakan sesuatu tanpa memperdulikan

apa yang dipikirkan orang lain (Hall & Lindzey, 1970).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian

merupakan kemampuan individu untuk berdiri sendiri, mengembangkan diri

sendiri dalam semua aspek kehidupannya, mengatur dan menentukan nasib sendiri

sesuai dengan hak dan kewajibannya, serta bertanggungjawab atas keputusan,

tindakan, maupun perasaan sendiri. Hal tersebut diikuti oleh kemampuan untuk

menyatakan buah pikiran sendiri, berperilaku dengan mencoba memecahkan,

menyelesaikan masalahnya, serta mengerjakan sesuatu dengan kehendak sendiri

tanpa mengharapkan pengarahan, bantuan, ataupun menggantungkan diri kepada

orang lain hingga batas kemampuan yang ia miliki.

2. Ciri-ciri Kemandirian

Ciri-ciri lain sikap mandiri menurut beberapa ahli (dalam Lukman, 2000)

antara lain :

a. memenuhi diri atau identitas diri

b. memiliki kemampuan inisiatif

(29)

d. mencukupi kebutuhan sendiri

e. bertanggungjawab atas tindakannya

f. mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu

g. dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih.

Hetherington (dalam Masrun dkk., 1986) mengemukakan bahwa

kemandirian ditandai dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif dan

mengatasi masalah, penuh ketekunan dalam bekerja, memperoleh kepuasan dari

usahanya, serta berkeinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan dari orang

lain. Selain itu, komponen-komponen utama kemandirian menurut Masrun, dkk.

(1986) adalah :

a. Bebas

Komponen ini ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas

kehendak sendiri, bukan karena orang lain.

b. Progresif dan ulet

Komponen ini meliputi adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh

ketekunan, merencanakan, serta mewujudkan harapan-harapan.

c. Inisiatif

Komponen ini mencakup kemampuan untuk berpikir dan bertindak

secara original, kreatif, dan penuh inisiatif. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (1990), inisiatif diartikan sebagai usaha (tindakan)

(30)

d. Pengendalian dari dalam

Komponen ini ditunjukkan dengan adanya perasaan mampu untuk

mengatasi masalah yang dihadapinya atau kemampuan mengendalikan

tindakannya, serta kemampuan mempengaruhi lingkungan atas usahanya

sendiri.

e. Kemantapan diri

Komponen ini meliputi rasa percaya diri terhadap kemampuan diri

sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya

sendiri.

Berdasarkan beberapa ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemandirian

ditandai oleh tindakan yang bebas (dilakukan atas kehendak sendiri), progresif

dan ulet, penuh inisiatif, memiliki pengendalian dari dalam diri, serta adanya

kemantapan diri.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Kemandirian tidak terbentuk dengan sendirinya. Kemandirian terbentuk

melalui proses yang panjang dengan banyak faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian antara lain jenis kelamin, usia,

inteligensi, pendidikan, dan pola asuh orang tua.

a. Jenis kelamin

Seorang pria cenderung dianggap lebih mandiri daripada wanita. Hal ini

sesuai dengan pendapat bahwa ciri kepribadian maskulin yang khas

(31)

kepribadian feminin yang khas ditandai oleh ketergantungan, kepasifan,

dan kepatuhan (Hurlock, 1978). Aspek-aspek pada ciri kepribadian

maskulin tersebut mencerminkan kemandirian dalam diri pria dan

aspek-aspek pada ciri kepribadian feminin mencerminkan ketidakmandirian

dalam diri wanita.

b. Usia

Menurut Hurlock (1980), ketergantungan seorang anak yang lebih besar

tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya karena anak tersebut sudah

dapat melakukan banyak hal untuk diri sendiri tanpa memerlukan

bantuan dari orang lain. Dengan kata lain, semakin bertambahnya usia

seseorang, maka kemandirian dalam dirinya diharapkan akan semakin

bertambah pula.

c. Inteligensi

Nuryanto (dalam Kushartanti, 2004) menyatakan bahwa faktor

inteligensi dalam proses penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan

penyesuaian diri, secara tepat dapat menampilkan suatu kemandirian

yang mantap pada individu. Dalam usaha untuk menentukan sikap

mandiri, diperlukan adanya kemampuan berpikir yang baik agar

sikapnya dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.

d. Pendidikan

Masrun, dkk. (1986) berpendapat, pendidikan adalah usaha manusia

dengan penuh tanggung jawab membimbing anak didik menuju

(32)

sekolah, kepribadian dan sikap para guru akan mempengaruhi anak

didik. Guru membentuk suasana bagi anak untuk berperilaku lebih bebas

dan memberi tanggung jawab lebih besar. Suasana tersebut diharapkan

akan memberi keuntungan bagi perkembangan kepribadian anak, dalam

hal ini perkembangan kemandiriannya.

e. Pola asuh orang tua

Salim dan Salim (1991) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua

adalah cara orang tua menjaga, merawat, dan membimbing anak agar

dapat berdiri sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Susana (dalam

Familia, 2004) bahwa orang tua secara bertahap harus mendampingi dan

melatih anak menggunakan potensi diri yang ia miliki untuk memenuhi

kebutuhannya sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya kepada orang

lain.

Kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis kelamin,

usia, inteligensi, pendidikan dan pola asuh orang tua.

B. Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Menurut Hauck (1995), pola asuh adalah kecenderungan sikap dan

perilaku yang ditunjukkan oleh pengasuh (orang tua) ketika berinteraksi dengan

anak asuhnya (anak). Balson (1993) berpendapat bahwa pola asuh adalah

cara-cara orang tua dalam mengasuh anaknya. Susilowati (dalam Psikologi Plus, 2007)

(33)

khusus dalam usaha mengendalikan dan mensosialisasikan anak. Sedangkan

Maccoby (dalam Barus, 2003) menggunakan istilah pola pengasuhan orang tua

untuk menggambarkan interaksi orang tua dan anak yang di dalamnya orang tua

mengekspresikan sikap-sikap, nilai-nilai, minat-minat, dan harapan-harapannya

dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah

kecenderungan cara-cara orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya, dalam

usaha mengendalikan dan mensosialisasikan anak, yang di dalamnya orang tua

mengekspresikan sikap, nilai, minat, dan harapannya dalam mengasuh dan

memenuhi kebutuhan anak.

2. Jenis-jenis Pola Pengasuhan Orang Tua

Setiap orang tua memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengasuh

anak-anaknya (Atkinson, 1993). Hurlock (1980) membagi pola asuh orang tua menjadi

tiga jenis, yaitu pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis.

a. Pola asuh otoriter

Dalam pola asuh yang bersifat otoriter, orang tua menetapkan

peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi

peraturan-peraturan tersebut, tanpa ada usaha untuk menjelaskan kepada anak

mengapa ia harus patuh. Anak juga tidak diberi kesempatan untuk

bermusyawarah maupun mengemukakan pendapat tentang adil-tidaknya

(34)

Dengan kata lain, orang tua memerintah dan memaksa anak tanpa kompromi,

tanpa ada komunikasi antara orang tua dengan anak.

Orang tua juga mengawasi semua aktivitas yang anak lakukan. Selain

itu, sikap keras dianggap sebagai sikap yang harus dilakukan dalam pola asuh

otoriter, karena hanya dengan sikap tersebut anak menjadi penurut. Dengan

demikian, jika anak tidak mengikuti peraturan maka ia akan dihukum yang

seringkali kejam dan keras, serta yang dianggap sebagai cara untuk mencegah

pelanggaran peraturan di masa mendatang. Hukuman yang diberikan oleh

orang tua dapat berupa hukuman fisik maupun mental. Contohnya adalah

menampar, memukul, mencubit, mengucilkan anak-anak di kamar, menyuruh

tidur (terkadang tanpa makan), melarang anak melakukan hal-hal yang disukai

(seperti menonton acara TV yang digemari), mengancam akan meninggalkan

atau tidak mencintainya, membandingkan anak dengan saudara-saudara yang

lebih baik, mengomeli dan berulang-ulang mengomentari pelanggarannya, dan

lain sebaginya.

Orang tua tidak pernah mempertimbangkan alasan mengapa seorang

anak melanggar peraturan karena orang tua menganggap bahwa anak

mengetahui peraturan tersebut dan dengan sengaja melanggarnya. Orang tua

kurang tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan individual dan kurang

mengayomi anak. Selain itu, orang tua juga tidak memberikan hadiah bagi

anak yang telah mematuhi peraturan karena orang tua menganggap kewajiban

seorang anak adalah mematuhi peraturan yang ada. Setiap pemberian hadiah

(35)

melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat (Hurlock, 1980; Gunarsa,

1986; Hendriati dalam Ayahbunda, 2002; Simonds dalam Kushartanti, 2004;

Baumrind & Hetherington dalam Santrock, 2002).

b. Pola asuh permisif

Seperti yang telah dijelaskan di atas, pola asuh otoriter cenderung

memaksa anak untuk mematuhi peraturan dan hukuman yang dibuat oleh

orang tua secara kaku, keras, dan tanpa kompromi. Sebaliknya, secara garis

besar pola asuh permisif justru didasarkan pada pemikiran bahwa melalui

akibat dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku

secara sosial. Komunikasi antara anak dan orang tua bersifat dua arah, namun

dialog yang ada tidak bersifat memberdayakan. Hal tersebut disebabkan orang

tua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi

batasan-batasan dari tingkah lakunya sehingga anak terbiasa mengatur dan

menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik (orang tua merasa bahwa anak

harus tahu sendiri).

Anak tidak diajarkan peraturan-peraturan oleh orang tua dan

diperkenankan untuk berbuat sesuai dengan apa yang dipikirkannya sendiri

(kebebasan dan kendali mutlak ada di tangan anak). Anak juga tidak dihukum

karena sengaja melanggar peraturan. Dengan kata lain, orang tua tidak

memiliki kontrol terhadap anak mereka. Mereka juga selalu memenuhi segala

keinginan yang diminta anak (Hurlock, 1980; Hendriati dalam Ayahbunda,

2002; Walgito dalam Widayanti & Iryani, 2005; Gunarsa, 1986; Lerner dalam

(36)

Selanjutnya, para ahli perkembangan berpendapat bahwa pola asuh

permisif dibagi dalam dua bentuk, yaitupermissive-indulgent dan

permissive-indifferent(Santrock, 2002).

1) Permissive-indulgent

Pada pola asuh ini, orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak

tetapi menerapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Menurut

Susilowati (dalam Psikologi Plus, 2007), orang tua permissive-indulgent

cenderung tidak menuntut perilaku yang matang dan juga tidak kaku,

bahkan orang tua sangat membolehkan anak mengatur diri mereka sendiri.

Hal tersebut didukung oleh pendapat Baumrind, Lamborn, Steinberg, Rice,

Conger, Thornburg, Kimmel, Popkin, Santrock, Berk, dan Craig (dalam

Barus, 2003), bahwa orang tua dengan pola asuh ini berperilaku serba

menerima, lunak, dan lebih pasif dalam pembiasaan disiplin. Mereka

mengumbar cinta kasih, tetapi menempatkan sedikit sekali tuntutan

terhadap perilaku anak, dan memberi kebebasan yang tinggi bagi anak

untuk bertindak sesuai dengan kemauan anak. Orang tua ini cenderung

meyakini bahwa pengawasan adalah pelanggaran terhadap kebebasan anak

dan mengganggu perkembangan anak yang sehat. Anak dapat makan atau

tidur kapan saja mereka suka atau melakukan apa saja sesuka hati tanpa

adanya pembatasan atau aturan-aturan yang mengikat. Orang tuaindulgent

tidak melatihkan kebiasaan-kebiasaan atau tata aturan yang baik, dan juga

membebaskan anak dari tugas-tugas pekerjaan rumah sehari-hari. Anak

(37)

Kesalahan-kesalahan anak diabaikan begitu saja dan mereka sangat anti

terhadap penggunaan hukuman. Orang tua semacam ini cenderung

memanjakan anak, melindungi anak secara berlebihan, menjauhkan anak

dari pemaksaan dan keharusan-keharusan, dan enggan meluruskan

penyimpangan-penyimpangan perilaku anak.

2) Permissive-indifferent

Orang tua indifferent sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.

Mereka mencoba melakukan apa saja dengan maksud untuk

meminimalkan waktu dan tenaga untuk mempedulikan anak. Orang tua

menunjukkan sedikit sekali komitmen dalam mengasuh anak. Orang tua

ini hanya memiliki sedikit waktu dan perhatian yang diluangkan untuk

anak. Akibatnya, mereka terpaksa menanggulangi tuntutan-tuntutan

pengasuhan dengan berbuat apa saja yang dapat mereka lakukan, sekedar

untuk menghindari kesulitan-kesulitan. Mereka menanggapi

tuntutan-tuntutan anak selama hal-hal ataupun barang-barang yang diperlukan anak

dapat diperoleh secara mudah, akan tetapi mereka sangat lemah dan

cenderung mengabaikan dalam beberapa usaha yang melibatkan

tujuan-tujuan jangka panjang, seperti membangun dan melaksanakan peran-peran

mengenai pekerjaan rumah dan perilaku sosial yang dapat diterima secara

umum. Orang tua hanya tahu sedikit saja tentang aktivitas anak-anaknya,

menunjukkan perhatian yang sangat sedikit terhadap

pengalaman-pengalaman anak di sekolah atau dengan teman-temannya. Mereka hampir

(38)

bahkan menelantarkan anak. Kebutuhan-kebutuhan anak diabaikan, suka

duka, keberhasilan, dan kegagalan serta kesulitan-kesulitan anak tidak

mendapat respon (Steinberg, Berk, & Rice dalam Barus, 2003).

c. Pola asuh demokratis

Berbeda dengan kedua pola asuh sebelumnya, pola asuh demokratis

menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat,

serta memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila

ia menganggap peraturan itu tidak adil. Hal ini disebabkan oleh adanya

komunikasi yang bersifat timbal-balik antara anak dan orang tua. Orang tua

mengusahakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa

kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan tersebut.

Orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Selain

itu, orang tua juga memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun

kebebasan tersebut tidak mutlak dan dijalankan dengan bimbingan orang tua,

serta membutuhkan pengertian yang penuh antara kedua belah pihak, yaitu

anak dan orang tua.

Keinginan dan pendapat anak diperhatikan dan apabila sesuai dengan

norma-norma yang orang tua miliki maka disetujui untuk dilakukan.

Sebaliknya jika tidak sesuai maka ada penjelasan yang rasional dan objektif

dari orang tua. Penjelasan tersebut diberikan sambil meyakinkan perbuatan

anak, jika perbuatan tersebut baik maka anak perlu membiasakannya, namun

jika perbuatan tersebut tidak baik hendaknya tidak diperlihatkan lagi. Dalam

(39)

disesuaikan dengan kesalahan perbuatan anak dan diusahakan tidak lagi

berupa hukuman fisik. Penghargaan terhadap usaha-usaha anak untuk

menyesuaikan diri dengan harapan sosial yang tercakup dalam

peraturan-peraturan diperlihatkan orang tua melalui pemberian hadiah terutama dalam

bentuk pujian dan pengakuan sosial.

Dengan kata lain, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis

cenderung bersifat fleksibel dan berusaha untuk mengerti akan kebutuhan

yang harus dipenuhi oleh anaknya. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengkritik

anak bila anak tersebut berbuat sesuatu yang tidak disetujui, namun mereka

juga tidak ragu-ragu untuk memberikan penghargaan terutama dalam bentuk

pujian (Hurlock, 1980; Hendriati dalam Ayahbunda, 2002; Baumrind dalam

Santrock, 2002; Gunarsa, 1986; Lerner dalam Afrimaryanti, dkk., 2005;

Hauck, 1995).

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa tiap pola asuh memiliki

kriteria masing-masing. Orang tua dengan pola asuh otoriter cenderung kurang

tanggap terhadap kebutuhan individu anak dan kurang mengayomi anak. Tidak

ada komunikasi antara orang tua otoriter dengan anak dan orang tua cenderung

memaksa anak tanpa kompromi (anak hanya sebagai pelaksana). Disiplin yang

digunakan bersifat kaku, keras, dan memaksa (hukuman yang diberikan berupa

hukuman fisik maupun mental), serta tidak ada penghargaan dari orang tua kepada

anak baik berupa hadiah ataupun pujian. Sebaliknya, pola asuh

(40)

menjauhkan anak dari berbagai tuntutan, dan enggan meluruskan

penyimpangan-penyimpangan yang anak lakukan. Sedangkan orang tua permissive-indifferent

cenderung berusaha melakukan apapun untuk meminimalkan waktu dan tenaga

untuk mempedulikan anak. Kedua pola asuh permisif tersebut miskin disiplin

karena orang tua tidak memiliki kontrol atas anak. Komunikasi antara orang tua

dengan anak bersifat dua arah namun tidak memberdayakan karena orang tua

permisif membiarkan anak untuk berpikir sendiri (anak harus tahu sendiri tanpa

perlu diberitahu). Bahkan pada pola asuh indifferent, orang tua hampir tidak

pernah berbincang-bincang dengan anak dan dapat pula menelantarkan anak.

Berbeda dengan pola asuh-pola asuh sebelumnya, orang tua demokratis berusaha

untuk mengerti kebutuhan anaknya dan memperlihatkan kehangatan serta kasih

sayang kepada anak. Komunikasi yang terjalin bersifat dua arah (orang tua

memperhatikan pendapat anak serta mau memberi penjelasan yang rasional dan

objektif kepada anak). Disiplin yang diterapkan orang tua demokratis cenderung

fleksibel dan pemberian hukuman serta penghargaan disesuaikan dengan

perbuatan anak (hukuman diusahakan tidak lagi berupa hukuman fisik,

penghargaan diberikan terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial).

Selain itu, orang tua demokratis juga menghargai kebebasan anak namun tetap

(41)

3. Unsur-unsur Umum Pola Asuh Orang Tua

Hurlock (1980) menyebutkan tiga unsur penting dalam pola asuh orang

tua, yaitu peraturan dan hukum, hukuman, serta hukum dan hadiah.

a. Peraturan dan hukum

Unsur ini berfungsi sebagai pedoman bagi penilaian yang baik. Dalam

menetapkan peraturan keluarga, ada orang tua yang memberikan penjelasan

mengenai peraturan kepada anaknya dan menerapkan peraturan tersebut

secara fleksibel. Namun demikian, ada pula orang tua yang tidak memberikan

penjelasan mengenai peraturan tersebut dan menerapkannya secara kaku.

b. Hukuman

Hukuman diberikan sebagai konsekuensi pelanggaran peraturan.

Hukuman yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya dapat digolongkan

menjadi hukuman fisik dan mental. Hukuman fisik dapat berupa tamparan,

pukulan, cubitan, dan lain sebagainya, sedangkan hukuman mental dapat

berupa caci-maki, bentakan, ataupun teriakan. Kartono (1985) berpendapat

bahwa hukuman seharusnya diberikan secara objektif dan disertai pengertian

akan maksudnya, bukan untuk melampiaskan kebencian dan kejengkelan

orang tua terhadap anak.

c. Hukum dan hadiah

Unsur ketiga ini diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk

berperilaku sosial yang baik. Hadiah dapat diberikan dalam bentuk materi,

pujian, maupun perlakuan khusus yang menyenangkan. Pemberian hadiah

(42)

bahwa ia bertindak benar dan mendorong anak untuk mengulang perilaku

yang baik.

Sedangkan Baumrind (dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa pola

asuh memiliki unsur-unsur penting, yaitu penerimaan dan kemauan mendengar,

serta tuntutan dan pengendalian.

a. Penerimaan dan kemauan mendengar

Penerimaan dan kemauan mendengar terkait dengan perhatian orang

tua kepada anak (kepedulian orang tua akan kebutuhan, keinginan, dan

harapan anak) serta komunikasi antara orang tua dan anak di dalam keluarga.

b. Tuntutan dan pengendalian

Tuntutan dan pengendalian menunjuk pada sejauh mana orang tua

mengharapkan perilaku yang bertanggungjawab dan matang dari

anak-anaknya. Dengan demikian, kedua unsur tersebut menjadi terkait dengan

bagaimana cara orang tua dalam membimbing dan menerapkan disiplin

kepada anaknya, yang meliputi penerapan peraturan, hukuman, dan pemberian

hadiah.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua

memiliki dua unsur utama yaitu penerimaan dan peraturan. Penerimaan berkaitan

dengan perhatian orang tua kepada anaknya (kepedulian orang tua akan

kebutuhan, keinginan, dan harapan anak). Peraturan terkait dengan pemberian

hukuman dan hadiah dari orang tua kepada anak, sebab hukuman dan hadiah

(43)

peraturan yang telah mereka buat. Dalam pola asuh orang tua juga terdapat

komunikasi. Meski demikian, komunikasi tidak dijadikan unsur tersendiri karena

komunikasi terkait dengan kedua unsur sebelumnya, yaitu penerimaan dan

peraturan.

4. Unsur-unsur pada Pola Asuh Otoriter, Demokratis, Indifferent, dan

Indulgent

Masing-masing pola asuh memiliki karakternya masing-masing sehingga

jika dikaitkan dengan kedua unsur pola asuh yaitu penerimaan dan peraturan,

maka kedua unsur tersebut akan termanifestasi ke dalam tindakan-tindakan yang

berbeda-beda pula. Pada unsur penerimaan pola asuh otoriter, orang tua

cenderung bersikap kurang mengayomi anak namun mengawasi semua aktivitas

anak dan pada unsur peraturan orang tua memberikan disiplin yang kaku, keras,

memaksa, serta tanpa pemberian hadiah. Unsur penerimaan pada pola asuh

demokratis termanifestasi pada tindakan dimana orang tua berusaha mengerti

kebutuhan anak dan menghargai kebebasan anak dengan tetap memberikan

bimbingan, sedangkan unsur peraturan termanifestasi pada penerapan disiplin

yang fleksibel dan tidak ragu memberikan penghargaan.

Pada pola asuh indifferent, unsur penerimaan nampak ketika orang tua

hanya memiliki sedikit waktu dan perhatian untuk anak, hampir tidak pernah

berbincang-bincang dengan anak, terpisah secara emosional dengan anak, sangat

tidak terlibat dalam hidup anak, bahkan dapat menelantarkan anak. Sedangkan

(44)

berbuat apapun sekedar untuk menghindari masalah. Pada pola asuh indulgent,

orang tua cenderung menunjukkan penerimaan dengan cara memanjakan,

melindungi berlebihan, menjauhkan anak dari tuntutan, dan memberi kebebasan

yang tinggi pada anak untuk bertindak semaunya. Peraturan pada pola asuh

indugent ditunjukkan dengan sikap orang tua yang enggan meluruskan

penyimpangan perilaku anak dan mengabaikan kesalahan-kesalahan anak.

5. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua

a. Pola asuh otoriter

Gunarsa (1986) berpendapat, pola asuh otoriter dapat menimbulkan

hilangnya kebebasan pada anak. Selain itu, inisiatif dan aktivitas-aktivitas

anak menjadi “tumpul” dan secara umum kepribadiannya lemah, demikian

pula kepercayaan diri anak. Anak menjadi “patuh” di hadapan orangtua, tetapi

di belakangnya ia akan memperlihatkan reaksi-reaksi menentang atau

melawan. Hal ini terjadi karena anak merasa dipaksa. Menurut Kartono

(1985), sebagai akibat dari sikap otoriter orang tua, anak cenderung

menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja) dan menyerahkan segalanya

kepada orang tuanya. Indrawati (dalam Kartono, 1985) menyatakan, anak

yang diasuh dengan pola otoriter dapat berkembang menjadi anak yang

canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir, bimbang dan bahkan

menjadi labil. Anak akan kehilangan spontanitas dan tidak dapat mencetuskan

ide-ide baru. Selain itu, dapat juga terjadi anak takut mengemukakan

(45)

segala hal sehingga menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-kelamaan anak akan

mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri

sendiri.

b. Pola asuh permisif

1) Permissive-indulgent

Pola asuh ini mengakibatkan anak menjadi tidak pernah belajar

mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan kemauan

mereka dituruti (Santrock 2002). Mereka lebih sering terlibat dalam

masalah perilaku dan prestasi akademik yang kurang bagus (Susilowati

dalam Psikologi Plus, 2007). Mereka sangat tidak matang dalam berbagai

aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsif),

tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu

yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaat mereka. Mereka

juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, dan kurang gigih

dalam mengerjakan tugas-tugasnya, dan tidak tekun dalam belajar di

sekolah. Anak tidak mampu mengarahkan diri dan memikul tanggung

jawab. Mereka menjadi suka menang sendiri, egoistis, mementingkan diri

sendiri, dan menjengkelkan karena terlalu dibebaskan tanpa pembatasan

yang jelas. Ketiadaan bimbingan dan arahan dari orang tua dapat

mengakibatkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan

penuh keragu-raguan (Baumrind, Lamborn, Berk, Santrock, Thornburg, &

(46)

2) Permissive-indifferent

Perilaku penelantaran yang dilakukan orang tua indifferent sejak

dini akan mengganggu seluruh aspek perkembangan anak. Para orang tua

yang tertekan dan terpisah secara emosional dengan anak akan membuat

anak-anak mereka menjadi minimalis dalam berbagai aspek, termasuk

kelekatan/ kedekatan, kognisi, bermain, kemampuan-kemampuan

emosional dan sosial. Minimnya kehangatan dan pengawasan yang

diberikan orang tua secara berkelanjutan akan menimbulkan perilaku

agresif dan pengucilan diri. Selain itu, akibat yang terjadi pada remaja

yang orang tuanya sangat jarang berbincang-bincang dengan mereka,

kurang perhatian terhadap aktivitas sekolah mereka, dan kurang menyadari

posisi perkembangan mereka adalah kemampuan remaja itu dalam

mentolerir frustrasi menjadi rendah, pengendalian emosinya lemah,

memiliki perilaku dan prestasi sekolah yang amat buruk, kehilangan

tujuan-tujuan jangka panjang, tidak mampu memandang orientasi masa

depan, dan sangat mudah dihasut untuk melakukan tindakan kekerasan

(Berk, Miller, Baumrind, & Lamborn dalam Barus, 2003).

Secara garis besar, perkembangan kepribadian anak yang diasuh

dengan cara permisif cenderung menjadi tidak terarah karena anak terbiasa

menentukan segala sesuatunya sendiri. Pada anak tumbuh keakuan

(egosentrisme) yang terlalu kuat dan kaku, serta mudah menimbulkan

kesulitan-kesulitan kalau anak harus menghadapi larangan-larangan yang ada

(47)

2004) menambahkan, cara permisif juga dapat membentuk anak dengan

kepribadian yang cenderung tidak peka dan tidak bertanggungjawab.

c. Pola asuh demokratis

Cara terakhir yaitu cara demokratis, akan menumbuhkan rasa tanggung

jawab anak untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya

memupuk kepercayaan dirinya. Anak mampu bertindak sesuai norma dan

kebebasan yang ada pada dirinya, untuk memperoleh kepuasan dan

menyesuaikan diri. Jika tingkah laku anak tidak berkenan bagi orang lain,

anak mampu menunda dan menghargai tuntutan lingkungannya sebagai

sesuatu yang memang bisa berbeda dengan norma pribadinya (Gunarsa, 1986).

Selain itu, anak juga memiliki kepribadian yang cenderung aktif (Simonds

dalam Kushartanti, 2004).

Pada remaja, pola asuh demokratis mendorong mereka untuk hidup

penuh semangat dan bahagia, percaya diri dalam mengelola

kemampuan-kemampuan mereka untuk tidak bertindak anarkis. Pola asuh ini juga

membuat remaja mampu menggalang persahabatan dan kerja sama,

menumbuhkan harga diri yang tinggi, memiliki kematangan sosial dan moral,

tekun dalam belajar di sekolah, dan mencapai prestasi belajar yang tinggi

(Baumrind, Berk, & Lamborn dalam Barus, 2003).

Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbedaan cara

mengasuh anak akan menghasilkan anak dengan perilaku dan kepribadian yang

(48)

C. Masa Kanak-kanak Akhir

1. Batasan Masa Kanak-kanak Akhir

Akhir masa kanak-kanak disebut juga dengan late childhood. Hurlock

(1980) menyatakan, permulaan masa kanak-kanak akhir ditandai dengan

masuknya anak ke kelas satu, yaitu saat anak berusia enam tahun. Tibanya akhir

masa ini dapat secara tepat diketahui, yaitu saat individu menjadi matang secara

seksual. Kematangan seksual adalah kriteria yang digunakan untuk memisahkan

masa kanak-kanak dengan masa remaja. Meskipun kematangan seksual digunakan

sebagai tanda tibanya akhir late childhood, orang tidak dapat mengetahui secara

tepat kapan periode tersebut berakhir karena kematangan seksual tidak selalu

timbul pada usia yang sama. Hal ini sesuai dengan periode perkembangan yang

dikemukakan Santrock (2002), dimana masa pertengahan dan akhir masa

kanak-kanak (middle and late childhood) terentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun

namun pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun anak dapat pula sudah memasuki

masa remaja (adolescene). Pada masa remaja, anak memasuki periode

perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa.

2. Aspek-aspek Perkembangan Masa Kanak-kanak Akhir

Santrock (2002) membagi perkembangan menjadi tiga kategori, yaitu

perkembangan fisik, kognitif, dan sosio-emosi.

a. Perkembangan fisik

Menurut Santrock (2002), pada masa kanak-kanak akhir kebanyakan

(49)

keterampilan-keterampilan fisik ini adalah prestasi yang besar bagi anak-anak. Selain itu,

pada masa kanak-kanak akhir anak memiliki keterampilan menolong diri

sendiri. Pada keterampilan menolong diri sendiri, anak yang lebih besar

harus dapat makan, berpakaian, mandi, dan berdandan sendiri tanpa

memerlukan perhatian sadar yang penting pada awal masa kanak-kanak.

Keterampilan bermain adalah ketika anak yang lebih besar belajar pelbagai

keterampilan seperti melempar dan menangkap bola, naik sepeda, sepatu

roda, dan berenang (Hurlock, 1980). Havighurst (dalam Hurlock, 1980)

menambahkan, anak pada masa kanak-kanak akhir mencapai kebebasan diri

serta mempelajari kecakapan atau keterampilan fisik yang diperlukan untuk

permainan-permainan yang umum.

b. Perkembangan kognitif

Piaget (dalam Santrock, 2002) mengemukakan, masa kanak-kanak

akhir juga merupakan masa pemikiran operasional konkret, dimana anak

mulai memperlihatkan keterampilan-keterampilan konservasi, menalar

secara logis dalam keadaan-keadaan yang konkret, dan melakukan

klasifikasi. Erikson (dalam Santrock, 2002) berpendapat, anak-anak pada

periode tersebut mengarahkan energi mereka menuju penguasaan

pengetahuan dan keterampilan intelektual. Anak membangun sikap yang

sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh,

mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata-tingkatan nilai, serta

mengembangkan kecakapan atau keterampilan dasar untuk membaca,

(50)

dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa di sekolah anak menggunakan

pelbagai keterampilan yang diperlukan untuk menulis, menggambar,

melukis, membentuk tanah liat, menari, mewarnai dengan krayon, menjahit,

memasak, dan pekerjaan tangan dengan menggunakan kayu. Selain itu,

pelanggaran menjadi semakin berkurang karena adanya kematangan baik

fisik maupun psikologis.

c. Perkembangan sosio-emosi

Secara sosio-emosi, anak cenderung meluangkan banyak waktunya

dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan interaksi tersebut kebanyakan

terjadi di luar rumah (Santrock, 2002). Hal ini didukung oleh pernyataan

Havighurst (dalam Hurlock, 1980), dimana anak masa kanak-kanak akhir

belajar bergaul dan mnenyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya,

mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, serta membentuk

dan mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial. Menurut

Hurlock (1980), anak juga memiliki keterampilan menolong orang lain

contohnya membersihkan tempat tidur, membersihkan debu dan menyapu,

membersihkan papan tulis kelas, dan lain-lain. Selain itu, akhir masa

kanak-kanak merupakan periode yang relatif tenang secara emosi. Hal ini karena

peranan yang harus dilakukan anak yang lebih besar sudah terumus secara

jelas dan anak tahu bagaimana melaksanakannya.

Penguasaan tugas-tugas perkembangan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Sebagian dari faktor-faktor tersebut bertindak sebagai hambatan dan sebagian lagi

(51)

(1978) menyebutkan beberapa faktor yang dapat membantu anak dalam

menguasai tugas-tugas perkembangannya, yaitu perkembangan fisik yang

dipercepat, kekuatan dan energi di atas rata-rata untuk usia tertentu, kecerdasan di

atas rata-rata, lingkungan yang memberikan kesempatan, bimbingan belajar dari

orang tua dan guru, serta aktivitas yang disertai kemauan untuk berbeda.

D. Kemandirian Masa Kanak-kanak Akhir

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kemandirian memiliki beberapa

komponen utama menurut Masrun, dkk. (1986) yaitu bebas, progresif dan ulet,

inisiatif, pengendalian dari dalam, dan kemantapan diri. Ketika anak mencapai

kebebasan pribadi, anak memenuhi komponen bebas dan dengan anak dapat

menguasai keterampilan menolong diri sendiri secara tidak langsung anak telah

memenuhi komponen bebas dan kemantapan diri, karena anak melakukan segala

sesuatunya bukan karena orang lain melainkan karena anak memang ingin

melakukannya sendiri dan anak yakin atas kemampuannya sendiri. Penguasaan

berbagai keterampilan fisik dan kognitif seperti kecakapan atau keterampilan fisik

untuk permainan-permainan umum, serta keterampilan dasar untuk membaca,

menulis, dan berhitung, serta pengertian-pengertian atau konsep-konsep untuk

kehidupan sehari-hari memenuhi komponen progresif dan ulet. Sedangkan

pemenuhan komponen inisiatif nampak ketika anak menolong orang lain juga

ketika anak membentuk dan mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok

sosial. Pemenuhan komponen pengendalian dari dalam adalah ketika anak mampu

(52)

pengertian moral, dan tata-tingkatan nilai. Ketika anak mampu membangun sikap

yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mau

belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman sebayanya, serta mau belajar

mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, anak memenuhi

komponen kemantapan diri.

E. Hubungan Kemandirian Anak dengan Pola Asuh Orang Tua

Kepribadian seorang anak terbentuk dan berkembang dengan pengaruh

yang diterimanya sejak kecil. Pengaruh yang anak terima berasal dari bagaimana

cara orang tua bersikap, memperlakukan, dan mendidik anak, atau dengan kata

lain dari cara orang tua mengasuh anak. Cara orang tua mengasuh anak tidak bisa

lepas dari unsur-unsur pengasuhan anak, dimana unsur-unsur tersebut berkaitan

dengan penerimaan, perhatian, dan bimbingan orang tua kepada anak. Hal ini

berhubungan dengan keadaan dimana seorang anak masih membutuhkan

perhatian, penerimaan, dan bimbingan dari orang tuanya dalam hal

pengembangan dan penentuan arah sikap, dalam hal ini adalah sikap mandiri.

Berdasarkan kebutuhan anak tersebut, nampak bahwa penerapan cara

otoriter oleh orang tua justru dapat membuat anak menjadi tidak mandiri.

Ketidakmandirian anak tersebut disebabkan oleh hilangnya kebebasan anak,

melemahnya inisiatif, dan kemantapan diri anak. Hilangnya kebebasan anak serta

melemahnya inisiatif dan kemantapan diri anak terjadi karena cara otoriter

cenderung mengawasi semua aktivitas anak serta menerapkan disiplin yang kaku,

(53)

menjadi progresif dan ulet, serta memiliki kendali diri yang baik. Selain itu,

melemahnya inisiatif dan kemantapan diri anak juga disebabkan oleh sikap orang

tua yang kurang mengayomi anak.

Begitu pula dengan pola asuh permisif. Pola asuh ini mengakibatkan

progresivitas, keuletan, kendali diri, maupun kemantapan diri anak rendah,

sehingga membuat anak menjadi tidak mandiri. Sikap orang tua indulgent yang

cenderung memanjakan dan melindungi anak secara berlebihanlah yang

mengakibatkan progresivitas dan keuletan anak lemah, begitu pula dengan kendali

diri dan kemantapan diri anak. Sikap menjauhkan anak dari berbagai tuntutan dan

memberi anak kebebasan tinggi untuk bertindak sesuai dengan kemauannya juga

membuat progresivitas, keuletan, dan kendali diri anak lemah, walaupun hal

tersebut juga memberi kebebasan kepada anak serta dapat pula mengakibatkan

anak memiliki inisiatif yang baik. Kebebasan anak dan kendali diri yang rendah

juga disebabkan oleh sikap orang tua indulgent yang enggan meluruskan

penyimpangan perilaku anak.

Orang tua indifferent memiliki perbedaan sikap dengan orang tua

indulgent. Orang tua indifferent sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak

bahkan dapat menelantarkan anak dengan cenderung bersikap mengabaikan dan

tidak merespon kebutuhan, perasaan, keberhasilan, maupun kesulitan-kesulitan

anak. Hal ini menyebabkan kendali serta kemantapan diri anak menjadi lemah.

Disamping itu, anak juga menjadi bebas dan memiliki inisiatif yang baik.

Kebebasan anak juga diakibatkan oleh kontrol yang lemah dari orang tua

(54)

mereka. Kontrol dan sikap orang tua yang seperti itu juga menyebabkan anak

memiliki progresivitas, keuletan, dan kendali diri yang rendah. Selain itu, kendali

diri anak yang rendah disebabkan pula oleh sikap orang tua yang hampir tidak

pernah berbincang-bincang dengan anak, hanya memiliki sedikit waktu, perhatian,

dan pendampingan untuk anak, serta terpisah secara emosional dengan anak.

Berbeda dengan pola asuh-pola asuh sebelumnya, cara demokratis yang

digunakan oleh orang tua cenderung dapat membuat anak menjadi mandiri. Hal

ini disebabkan oleh sikap orang tua demokratis yang mau berusaha mengerti

kebutuhan anaknya, menghargai kebebasan anak namun tetap membimbing, dan

menerapkan disiplin yang cenderung fleksibel kepada anak. Sikap orang tua yang

mau berusaha mengerti kebutuhan anaknya membuat anak memiliki kendali diri

dan kemantapan diri yang baik. Kendali dan kemantapan diri anak juga muncul

akibat sikap orang tua yang menghargai kebebasan anak namun tetap

membimbing, serta penerapan disiplin yang fleksibel dari orang tua. Anak yang

kebebasannya dihargai namun tetap dibimbing oleh orang tua yang menerapkan

disiplin secara fleksibel juga akan menjadi pribadi yang progresif dan ulet. Sikap

orang tua demokratis yang menghargai kebebasan anak namun tetap mau

membimbing juga membuat anak memiliki kebebasan dan inisiatif yang baik.

Pribadi anak yang progresif, ulet, memiliki kebebasan, inisiatif, serta kendali dan

kemantapan diri yang baik ini yang mendorong anak untuk menjadi mandiri.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua memiliki

(55)

Kepribadian tersebut akan berpengaruh pada bagaimana cara anak bersikap atau

berperilaku, demikian pula dalam hal kemandirian.

F. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kemandirian

(56)

SKEMA Anak butuh penerimaan, perhatian, bimbingan orang tua Otoriter

disiplin kaku, keras, memaksaanak

inisiatif lemah

Pola asuh

PermissiveIndul gent

memanjakan, melindungi berlebihan

enggan meluruskan penyimpangan perilaku anak

menjauhkan anak dari tuntutan, memberi kebebasan tinggi untuk bertindak semaunya

tidak mandiri

mengawasi semua aktivitas anak

kendali diri baik kemantapan diri anak lemah

anak menjadi bebas progresivitas dan keuletan lemah

inisiatif baik kendali diri lemah kemantapan diri lemah

kemantapan diri lemah kendali diri lemah

inisiatif baik Pola asuh PermissiveIndiff erent Pola asuh Demokratis

kendali diri baik kemantapan diri baik berusaha mengerti kebutuhan anak

menerapkan disiplin fleksibel menghargai kebebasan anak tapi tetap

membimbing inisiatif baik mandiri

anak menjadi progresif dan ulet anak memiliki kebebasan progresivitas dan keuletan lemah

anak menjadi bebas hanya sedikit punya waktu dan perhatian untuk

anak, hampir tidak pernah berbincang-bincang dengan anak, terpisah secara emosional dengan

anak

sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, menelantarkan anak

(57)

38 A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian komparatif, dimana peneliti

bermaksud melihat perbedaan tingkat kemandirian anak ditinjau dari perbedaan

pola asuh orang tua.

B. Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang termasuk dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas : pola asuh orang tua

2. Variabel tergantung : kemandirian anak

C. Definisi Operasional

1. Kemandirian anak

Kemandirian adalah kemampuan individu untuk mengembangkan diri

sendiri dalam semua aspek kehidupannya, mengatur, dan menentukan nasibnya

sendiri. Tinggi rendahnya tingkat kemandirian diungkap dalam lima aspek

kemandirian yaitu bebas, progresif dan ulet, inisiatif, pengendalian dari dalam,

(58)

a. Bebas, ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri,

bukan karena orang lain.

b. Progresif dan ulet, meliputi adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh

ketekunan, merencanakan, serta mewujudkan harapan-harapan.

c. Inisiatif, mencakup kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara

original, kreatif, dan penuh inisiatif.

d. Pengendalian dari dalam, ditunjukkan dengan adanya perasaan mampu

untuk mengatasi masalah yang dihadapinya atau kemampuan

mengendalikan tindakannya, serta kemampuan mempengaruhi lingkungan

atas usahanya sendiri.

e. Kemantapan diri, mencakup rasa percaya diri terhadap kemampuan diri

sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya

sendiri.

Kelima aspek dalam kemandirian tersebut yang akan digunakan oleh

peneliti untuk membuat skala kemandirian anak dalam penelitian ini. Semakin

tinggi skor yang diperoleh dari skala kemandirian anak maka semakin tinggi

tingkat kemandirian anak. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor yang

diperoleh dari skala kemandirian,.semakin rendah tingkat kemandirian anak.

2. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai kecenderungan sikap, perilaku,

dan cara-cara orang tua dalam mengasuh dan berinteraksi dengan anaknya. Pola

(59)

(otoriter, demokratis,indifferent, dan indulgent) dan kedua unsur utama pola asuh

yaitu penerimaan dan peraturan.

Tabel 1.

Tabel Karakteristik Jenis-jenis Pola Asuh dan Unsur Pola Asuh

No. Pola Asuh Unsur Deskripsi

Penerimaan kurang mengayomi anak, mengawasi semua aktivitas anak

1. Otoriter

Peraturan memberikan disiplin kaku, keras, memaksa, tanpa hadiah

Penerimaan

berusaha mengerti kebutuhan anak, menghargai

kebebasan anak dengan tetap memberikan

bimbingan 2. Demokratis

Peraturan disiplin fleksibel, tidak ragu memberikan penghargaan

Penerimaan

hanya punya sedikit waktu dan perhatian untuk

anak, hampir tidak pernah berbincang-bincang

dengan anak, terpisah secara emosional dengan

anak, sangat tidak terlibat dalam hidup anak,

menelantarkan anak 3. Indifferent

Peraturan kontrol lemah, berbuat apapun sekedar untuk menghindari masalah

Penerimaan

memanjakan, melindungi berlebihan, menjauhkan

anak dari tuntutan, memberi kebebasan tinggi

untuk bertindak semaunya 4. Indulgent

Peraturan enggan meluruskan penyimpangan perilaku anak, mengabaikan kesalahan-kesalahan anak

Semakin tinggi skor yang diperoleh dari skala pola asuh orang tua,

semakin tinggi kecenderungan pola asuh yang anak terima. Demikian pula

sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh dari skala pola asuh orang tua

(60)

D. Subjek Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbedaan tingkat

kemandirian anak ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua maka peneliti

mengambil subjek yang berusia 11-12 tahun, dimana usia tersebut masuk dalam

periode akhir masa kanak-kanak. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara

purposive sampling, dimana pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri

atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan

ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2007).

Pemilihan usia 11 – 12 tahun dimaksudkan karena periode tersebut berada

pada akhir masa kanak-kanak. Berdasarkan tugas-tugas perkembangan

Havighurst, anak pada usia tersebut secara tidak langsung menuntut anak untuk

dapat mandiri. Selain itu, pembatasan usia tersebut peneliti lakukan karena

menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) pada usia tersebut secara kognitif anak

termasuk dalam tahap pemikiran operasional konkret. Pada tahap ini salah satu

karakteristik yang anak miliki adalah kemampuan untuk menalar secara logis.

Karakteristik tersebutlah yang peneliti pandang sesuai dengan metode

pengumpulan data yang peneliti gunakan yaitu skala. Dengan adanya kemampuan

(61)

E. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini adalah :

1. Membuat skala kemandirian anak dan pola asuh orang tua yang kemudian

diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama

dengan kelompok subjek sesungguhnya.

2. Melakukan uji kesahihan butir dan reliabilitas skala untuk mendapatkan butir

yang sahih dan data yang reliabel.

3. Menentukan subjek penelitian sesuai dengan kriteria kemudian mengukur

tingkat kemandirian anak dan mengungkap pola asuh

Gambar

Tabel Karakteristik Jenis-jenis Pola Asuh dan Unsur Pola Asuh
Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak Sebelum Uji Coba
Tabel Spesifikasi Skala Pola Asuh Orang Tua Sebelum Uji Coba
Tabel Spesifikasi Skala Kemandirian Anak Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan (1) ada perbedaan kematangan karir siswa kelas XI SMA N 10 Yogyakarta ditinjau dari pola asuh orang tua, (2) ada perbedaan kematangan karir antara pola

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orang tua (otoritarian, menuruti, mengabaikan,

Penelitian komparatif ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemandirian remaja yang signifikan ditinjau dari pola asuh orangtua pada siswa

Kondisi global yang penuh persaingan, kemandirian merupakan salah satu modal yang ada pada diri kita baik kemandirian bekerja maupun kemandirian belajar. Untuk mencapai

Hal ini berarti hipotesis nol (H o ) yang menyatakan tidak ada pengaruh pola asuh orang tua menurut persepsi siswa terhadap kemandirian belajar siswa kelasXI IPA-1 SMA

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara perkembangan bahasa pada anak prasekolah ditinjau dari pola asuh orang tua di TK Pertiwi 53 Geblag Bantul

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, adalah “Ada perbedaan yang signifikan kemandirian belajar berdasar Pola Asuh Orang Tua Siswa Kelas XI SMA Virgo

Dikarenakan tidak ada perbedaan tingkat kemandirian anak usia 4 - 6 tahun berdasarkan pola asuh orang tua di Desa Wijimulyo, Nanggulan, Kulon Progo, maka diduga ada