• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk mengoptimalkan terapi pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling kepada pasien untuk mempersiapkan dan memotivasi pasien untuk mengikuti rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi (American Society of Health-System Pharmacist [ASHP], 1997).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui pemberian booklet, wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama-sama dapat memberikan efek positif luaran terapi pada pasien DM tipe 2

(2)

(Suppapitiporn et al., 2005). Pemberian program pharmaceutical care selama 12 bulan pada pasien DM tipe 2 juga diketahui dapat menurunkan kadar gula dan tekanan darah dengan lebih baik (Clifford et al., 2005).

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah penyakit kronis yang membutuhkan pelayanan medis berkelanjutan dan pemberian edukasi dan dukungan bagi pasien untuk dapat melakukan manajemen diri, mencegah komplikasi akut dan mengurangi resiko komplikasi jangka panjang (American Diabetic Association

[ADA], 2011). Kegagalan terapi DM disebabkan oleh kurangnya kemampuan pasien dalam melakukan manajemen diri (self management) termasuk ketidakpatuhan penggunaan obat (World Health Organization [WHO], 2003). Menurut Visser dan Snoek (2004), pemberian edukasi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pasien DM dalam melakukan manajemen diri (self management).

Beberapa tujuan konseling adalah meningkatkan kesadaran (Kreitler et al., 2004) dan adherence (kepatuhan) pasien (Kreps et al., 2011). Pengetahuan pasien merupakan awal untuk meraih tujuan tersebut (Blom dan Krass, 2011). Pasien yang kurang pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan mereka cenderung kurang patuh terhadap rejimen terapi (Rapoff, 2010). Anggraini (2012) dalam penelitiannya di Bantul menggambarkan rendahnya kepatuhan pasien DM tipe 2 terhadap penggunaan obat karena pengetahuan pasien yang juga rendah. Masih pada pasien DM tipe 2, diketahui bahwa pemberian konseling berdampak pada pengetahuan pasien yang memberikan outcome berupa berkurangnya stres akibat diabetes dan kontrol kadar glikemik pasien mendekati angka yang diharapkan

(3)

(Karlsen et al., 2004), serta meningkatnya kualitas hidup dan kebugaran pasien (Tankova et al., 2004 ; Sarkadi dan Rosenqvist, 2004 ; Karlsen et al., 2004). Selain itu, penelitian oleh Ramadona (2011) tentang pengaruh konseling yang diberikan di poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil, Padang telah diketahui dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan berpengaruh terhadap kepatuhannya menggunakan obat antidiabetik (Ramadona, 2011).

Pemberian edukasi dan konseling kepada pasien tidak hanya dapat dilaksanakan pada saat penyerahan obat kepada pasien, tetapi dapat juga diberikan sebagai bentuk pelayanan yang terpisah (ASHP, 1997), seperti misalnya melalui pelayanan kefarmasian di rumah (home care pharmacy) (ASHP, 1999). Pemberian edukasi dan konseling yang efektif harus mempertimbangkan lingkungan tempat dilakukannya konseling. Lingkungan tersebut harus kondusif, aman, mampu menjaga kerahasiaan untuk dapat membuat pasien menerima dengan baik dan lebih terlibat dalam proses pembelajaran (ASHP, 1997). Salah satu lingkungan yang kondusif dalam pemberian konseling adalah di rumah. Dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2008, disebutkan bahwa salah satu peran farmasis dalam manajemen penyakit kronis adalah memberikan pelayanan farmasi di rumah untuk melakukan konseling maupun monitoring penggunaan obat kepada pasien dan keluarga pasien (Depkes RI, 2008).

Dari latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan yang terjadi dengan pemberian konseling yang diberikan oleh farmasis

(4)

di rumah pasien terhadap tingkat pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe 2 akan penyakit yang dideritanya dan dalam menggunakan obat antidiabetes oral.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien penderita DM tipe 2 setelah diberikan konseling terhadap penyakit yang diderita serta pengobatan yang diterima?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe 2 melalui pemberian konseling di rumah.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi rumah sakit: dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh untuk pemberian intervensi konseling yang lebih tepat kepada pasien menderita DM tipe 2 sehingga meningkatkan pengetahuan pasien akan penyakit yang diderita, serta terapi yang diperoleh.

2. Bagi peneliti (farmasis): hasil penelitian ini mengeksplorasi permasalahan-permasalahan di masyarakat yang berkaitan dengan pemberian konseling terutama untuk penyakit-penyakit kronis sehingga farmasis dapat menyiapkan solusi baru untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien.

(5)

3. Bagi pasien dan masyarakat: penelitian ini sekaligus juga memberikan informasi mengenai penyakit DM tipe 2, terapi farmakologi dan non-farmakologi yang benar dan terpercaya serta dapat meningkatkan kepatuhan pasien, dan secara luas dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus (DM) adalah kondisi dimana tingkat hiperglikemia meningkatkan resiko kerusakan mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) (WHO, 2006a). Guyton dan Hall dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (2008) mendefinisi diabetes melitus sebagai sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin.

Klasifikasi diabetes meliputi 4 kelas (ADA, 2011) :

a. Diabetes melitus tipe 1 (terjadi akibat kerusakan sel β dan mengarah kepada defisiensi insulin)

b. Diabetes melitus tipe 2 (terjadi akibat defek progresif pada sekresi insulin sehingga terjadi resistensi insulin).

c. Diabetes melitus tipe spesifik lainnya, misalnya defek genetik pada fungsi sel β, aksi insulin, penyakit pada eksokrin pankreas (misalnya cystic fibrosis), dan akibat obat atau induksi kimiawi (misalnya pada pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)

(6)

d. Diabetes Melitus kehamilan (diabetes yang didiagnosa selama kehamilan dan bukan karena diabetes sebelumnya)

Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia. WHO memperkirakan bahwa terdapat 171 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 366 juta pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri, prevalensi diabetes mencapai 8.426.000 pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat hingga 21.257.000 pada tahun 2030 (WHO, 2006a). Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, jumlah pasien diabetes melitus rawat inap dan rawat jalan menduduki peringkat pertama penyakit endokrin (Maulana, 2009).

Diabetes sering kali tidak terdiagnosis karena banyak gejala yang tidak tampak begitu berbahaya. Beberapa tanda dan gejala klasik penyakit diabetes adalah sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), penurunan berat badan yang tidak biasa (Dipiro et al., 2009 ; McPhee dan Papadakis, 2011). Pada tahun 2010, American Diabetes Association (ADA) mengadopsi kriteria dari

International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) untuk menggunakan tes A1C untuk mendiagnosis diabetes, dengan batas 6,5%. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan (ADA, 2011) :

a. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa artinya tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam, atau

b. Glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) selama tes toleransi glukosa oral sesuai panduan dari WHO, atau

(7)

c. Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia.

Beberapa faktor resiko untuk diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

Tabel I. Faktor-faktor resiko penyakit DM (Depkes RI, 2005)

Riwayat Diabetes dalam keluarga

Diabetes gestasional

Melahirkan bayi dengan berat badan> 4kg Kista ovarium

Impaired fasting glukosa (IFG) Impaired Glucosa Tolerance (IGT)

Obesitas >120 % berat badan total

Umur 20-59 : 8,7 %

>65 tahun :18 %

Hipertensi >140/90 mmHg

Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35 mg/dl Kadar Lipid darah tinggi >250 mg/dl

Faktor-faktor lain Kurang olah raga Pola makan rendah serat

Beberapa faktor yang dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan DM yaitu: a) faktor genetik, yang muncul pada individu dengan riwayat DM dalam keluarga dan kemungkinan untuk terjadinya DM pada individu ini adalah 15%; b) berkurangnya fungsi sel beta pankreas yang merupakan penyebab terjadinya abnormalitas sekresi insulin yang berakibat pada defisensi insulin; c) defek pada situs periferal yang menyebabkan resistensi insulin akibat terjadinya insensitivitas jaringan terhadap aktivitas biologis insulin (Shargel, 2001).

(8)

Luaran yang diinginkan dalam pengobatan diabetes mellitus adalah mengurangi risiko-risiko penyakit akibat komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular, mengurangi gejala, mengurangi mortalitas, meningkatkan kualitas hidup pasien (ADA, 2007). Sedangkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencapai luaran yang diinginkan tersebut adalah dengan mengubah gaya hidup / diet (pengendalian berat badan dan aktifitas fisik) dan menggunakan obat-obatan antidiabetik maupun insulin (Guyton dan Hall, 2008 ; ADA, 2011). Jika tidak ditangani dengan baik, komplikasi akibat diabetes dapat terjadi, yaitu komplikasi mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati terutama pada saraf sensoris seperti akibat lesi pada kaki, saraf autonom seperti disfungsi seksual dan gastroparesis), komplikasi makrovaskular (CHD, cerebrovaskular disease, PAD), komplikasi lainnya (permasalahan psikososial, penyakit gigi) (ADA, 2011).

Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat (Depkes RI, 2005). Diabetes melitus dikatakan terkendali baik apabila kadar glukosa, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, demikian pula status gizi dan tekanan darah (PERKENI, 2006).

Penatalaksanaan Diabetes Melitus dengan terapi obat juga dapat menimbulkan masalah terkait obat (drug related problems) yang dialami oleh penderita. Masalah terkait obat merupakan keadaan terjadinya ketidaksesuaian dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat (Depkes RI, 2005). Menghadapi tantangan ini, farmasis dapat memainkan penting dalam membantu pasien mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, farmasis harus

(9)

mengerti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan ketidakpatuhan pasien terhadap terapi obat antidiabetes.

Mencermati hal-hal tersebut, maka salah satu upaya penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah konseling dan pemberian informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Di dalam hal ini, farmasis berada di posisi kunci untuk memberi penjelasan umum maupun khusus tentang terapi yang dijalani pasien, baik farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi (Depkes RI, 2005).

2. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2

Tujuan utama secara umum pengobatan pada DM tipe 2 adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas DM. Sedangkan tujuan khususnya adalah menjaga agar kadar gula darah pada tingkat normal atau mendekati normal, mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Tatalaksana terapi paling awal pada penderita DM tipe 2 atau prediabetes adalah dengan perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat, yang meliputi perubahan pola makan sesuai status gizi yang ditentukan, menyesuaikan aktivitas fisik dengan kalori yang masuk, menghindari stress, dan mempertahankan bobot ideal. Penggunaan obat antidiabetes dipilih apabila dengan cara pengubahan gaya hidup tidak dapat lagi efektif menurunkan gula darah secara signifikan. Penggunaannya bisa dengan terapi obat antidiabetes oral (ADO) tunggal atau kombinasi, terapi insulin atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005).

(10)
(11)

Obat-obatan oral yang tersedia untuk mengobati DM tipe 2 adalah : a. Metformin (Biguanide)

Metformin merupakan agen hemat insulin, tidak meningkatkan berat badan atau menyebabkan hipoglikemia, karena itu metformin menawarkan keuntungan yang melebihi insulin ataupun sulfonilurea pada pasien tersebut (Katzung, 2009).

Metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari 500 mg. Dosis dapat ditambahkan jika perlu dengan maksimal dosis 2500 mg per hari (PERKENI, 2006).

Efek samping yang umum dari metformin adalah kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, kembung perut, atau sakit, gas dan diare. Efek samping yang jarang namun serius adalah asidosis laktat. Gejalanya termasuk kelelahan, kelemahan, nyeri otot, pusing dan mengantuk (Departemen Kesehatan RI, 2005).

Kontraindikasi metformin adalah pasien yang memiliki penyakit ginjal, hati, infeksi atau trauma berat, dehidrasi dan mereka yang minum alkohol berlebihan (Sukandar et al., 2008). Selain itu, metformin juga tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung kongestif dan wanita hamil (Departemen Kesehatan RI, 2005).

b. Sulfonilurea

Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas. Sulfonilurea umumnya digunakan jika metformin tidak cukup

(12)

mengontrol kadar gula darah bila dikonsumsi sendirian. Sulfunilurea diminum 15-30 menit sebelum makan (PERKENI, 2006).

Efek samping sulfonilurea adalah dapat menyebabkan gula darah rendah, yang dikenal sebagai hipoglikemia (PERKENI, 2006). Namun, hal ini merupakan masalah biasa dan tidak mungkin terjadi jika makan secara teratur, tidak lewatkan makan, dan tidak minum alkohol terlalu banyak. Gejala gula darah rendah dapat berupa berkeringat, goncangan, merasa lapar dan cemas.

Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien yang memiliki gangguan hati atau fungsi ginjal, wanita hamil, pada pasien usia lanjut karena resiko hipoglikemik akan meningkat, porfiria, ketoasidosis (Sukandar et al.,

2008).

c. Thiazolidinedion

Dua macam obat dari golongan Thiazolidinedion adalah rosiglitazone dan pioglitazone (Katzung, 2009). Pioglitazon adalah alternatif untuk sulfonilurea. Pioglitazone bekerja menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin (Departemen Kesehatan RI, 2005). Biasanya obat ini dalam bentuk kombinasi dengan obat lain seperti metformin, sulfonilurea, atau insulin dan lebih efektif dalam bentuk kombinasi. Obat ini tidak tergantung dengan jadwal makan (PERKENI, 2006).

(13)

d. Meglitinide

Repaglinide merupakan salah satu contoh dari golongan meglitinde. Repaglinida adalah pilihan bagi orang yang tidak dapat menggunakan sulfonilurea atau lebih memilih untuk menghindari suntikan. Meglitinide bekerja untuk menurunkan kadar gula darah, mirip dengan sulfonilurea.

Meglitinide mempunyai efek puncak dan kadar puncak dalam serum darah dalam waktu 1 jam. Karena masa kerjanya sangat cepat, obat ini cocok untuk mengendalikan glukosa post-prandial. (Katzung, 2009) e. Penghambat α-glukosidase

Penghambat α-glukosidase meliputi akarbose dan miglitol, bekerja dengan mengganggu penyerapan karbohidrat dalam usus. Penghambat α-glukosidase membantu menurunkan kadar gula darah, tapi mekanisme aksinya tidak seperti metformin atau sulfonilurea. Efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan obat ini adalah flatulensi, diare, dan nyeri abdominal. Pada penggunaan monoterapi tidak terdapat masalah yang berarti, namun saat dikombinasikan dengan sulfonilurea, dapat terjadi hipoglikemia. Golongan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit usus besar kronis atau peradangan usus besar. Penggunaan akarbose pada penderita penyakit hati perlu diawasi (Katzung, 2009).

(14)

f. DPP IV Inhibitor

Ada pula langkah dalam pencegahan komplikasi DM, yaitu dengan cara yang disebut self care. Self care meliputi pemeriksaan kesehatan secara rutin (general check-up), menghindari rokok, perawatan gigi (penderita DM rentan infeksi gusi), kesehatan kaki (DM dapat menyerang saraf), pengawasan konsumsi alkohol (dapat menurunkan kadar gula namun penggunaannya harus dibatasi), serta menghindari pemicu stress (Anonim, 2011).

3. Pengetahuan dan Pemahaman Masyarakat serta Keterkaitannya Dengan

Kepatuhan Pasien Terhadap Penggunaan Obat

Peran farmasis adalah memastikan pasien mendapat pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan yang cukup dalam aturan pakai farmakoterapi dan rencana monitoring (ASHP, 1997). Sering kali aspek-aspek tersebut (concordance) diidentikkan dengan compliance / kesesuaian (adherence / kepatuhan) (Hussar, 2000 ; Palaian et al., 2006).

Penyebab dari ketidakpatuhan pasien mungkin disebabkan oleh pengetahuan pengobatan dan ketrampilan pasien yang tidak memadai. Idealnya, pasien harus memiliki pemahaman yang baik tentang mengapa pengobatan mereka sangat penting dan bagaimana menggunakan obat (pengetahuan), serta kemampuan untuk menggunakan obat (ketrampilan). Minimal pasien harus tahu tentang dosis, frekuensi dan dasar pemikiran untuk tepat menggunakan obat dan memiliki kemampuan untuk membaca label obat, membuka botol obat dan

(15)

membedakan atribut fisik obat mereka seperti warna dan bentuk (Nikolaus et al., 1996).

Pada penderita penyakit kronis, pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan dapat meningkatkan kesadaran (kognisi) mengenai penanganan penyakit (self disease management) sehingga secara tidak langsung menyangkut peningkatan dari kualitas hidup dari pasien itu sendiri (Lewis et al., 1997 ; Malathy et al., 2011). Contohnya penyakit diabetes melitus yang telah banyak studi menyebutkan, tingkat pengetahuan mempengaruhi kontrol penyakit diabetes (Asha et al., 2004). Beberapa penelitian lain menyebutkan, pada pasien yang telah diberi edukasi (pengetahuan) memperlihatkan kontrol glikemik yang lebih baik. Hal tersebut berasosiasi dengan berkurangnya simptom, mood yang lebih baik, dan kebugaran tubuh, yang pada akhirnya berdampak pada quality of life dan keuntungan ekonomi bagi pasien (Ferdinad et al., 1996 ; Testa et al., 1998).

4. Kepatuhan Dalam Pengobatan

Kepatuhan (adherence) adalah kepatuhan yang memerlukan persetujuan pasien yang kemudian menjadi aturan yang telah disepakati antara penyedia layanan kesehatan dengan pasien, yang didasarkan pada argumen bahwa pasien harus menjadi mitra aktif dengan tenaga kesehatan yang profesional dalam perawatan diri mereka sendiri dan terjadi komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan adalah suatu keharusan untuk praktek klinis yang efektif. Sedangkan kesesuaian (compliance) lebih kepada kepatuhan terhadap hal yang telah disampaikan penyedia layanan kesehatan secara sepihak tanpa persetujuan

(16)

pasien (WHO, 2003). Namun ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa

adherence dan compliance adalah kata lain dengan makna yang sama (McDonald

et al., 2002).

Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat kepatuhan dalam pengobatan menurut Rapoff (2010) antara lain:

a. Faktor pasien atau keluarganya, meliputi demografi (seperti umur dan jenis kelamin), sosial ekonomi, ras (misalnya beberapa kaum minoritas biasanya memiliki kepatuhan yang rendah), dan pengetahuan. Dalam pedoman konseling Departemen Kesehatan RI (2006), kepribadian, motivasi diri, dukungan keluarga, dan komunikasi juga bisa mempengaruhi.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit, seperti lamanya menderita penyakit (perbedaan kepatuhan pada penyakit akut dan kronis), lamanya terapi berlangsung / course therapy (kepatuhan menurun seiring durasi terapi yang bertambah), gejala atau keparahan penyakit (tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi cenderung akan lebih patuh terhadap pengobatan yang diberikan), persepsi pasien tentang tingkat keparahan penyakit. Faktor yang berhubungan dengan obat, seperti bentuk sediaan dan kompleksitas penggunaannya, harga, efek samping, efikasi pengobatan.

Sedangkan dari hasil publikasi McDonald et al. (2002) dapat ditambahkan faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan dapat ditambahkan beberapa hal, seperti:

(17)

a. Faktor fisik dan psikologis. Pasien dengan permasalahan psikiatrik akan lebih rendah kepatuhannya namun pasien dengan kekurangan fisik yang terjadi akibat penyakit biasanya akan lebih tinggi kepatuhannya.

b. Faktor penyedia layanan kesehatan. Pasien cenderung melewatkan

appointment dan berhenti dari pengobatan jika terlalu lama menunggu di penyedia layanan kesehatan atau jarak antar appointment satu dengan lainnya terlalu jauh. Pemberian informasi yang tepat dan komunikasi yang baik dari penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan (Depkes RI, 2006).

Ketidakpatuhan akan berdampak pada kesehatan pasien secara umum, menurunkan cost effectiveness / efektivitas biaya, serta meningkatkan tingkat kesulitan dalam pengambilan keputusan klinis (clinical decision) karena membiaskan penilaian efektivitas pengobatan (Rapoff, 2010). Pada penyakit kronis, ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengarah pada hasil yang lebih buruk, tingkat hospitalisasi yang lebih tinggi, dan biaya pengobatan yang lebih tinggi (Kripalani, 2007).

Sackett mereview dari beberapa literatur bahwa tingkat kepatuhan pasien dengan terapi jangka panjang hanya 50%. Dari kegagalan ini terlihat bahwa ketidakpatuhan menjadi salah satu tantangan terapi terbesar bagi para profesional kesehatan (Suppapitiporn et al., 2005).

Intervensi dibutuhkan untuk meningkatkan edukasi pasien, meningkatkan perilaku dan kemampuan self-treatment, memfasilitasi indentifikasi dan pemakaian obat sendiri oleh pasien, dan meningkatkan monitoring penggunaan

(18)

obatnya. Sebagai tambahan atas intervensi berbasis pasien, peningkatan hal lain dapat juga memfasilitasi proses pengobatan seperti pendokumentasian kepatuhan pengobatan pasien dan memperbaiki komunikasi antara pemberi layanan kesehatan dengan pasien terkait dengan kepatuhan pengobatan. Intervensi yangb efektif dapat berupa kombinasi pelayanan yang lebih memuaskan, pemberian informasi, pengingatan kembali, self-monitoring, penguatan kembali tentang terapi, konseling, terapi keluarga, terapi psikologi, intervensi krisis, follow up

manual dengan telepon, dan pelayanan pendukung (supportive care) (Carey dan Cryan, 2003).

5. Pelayanan Kefarmasian Di Rumah (Home Care Pharmacy)

Pelayanan kefarmasian di rumah oleh farmasis adalah pendampingan pasien oleh farmasis dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Pelayanan kefarmasian di rumah merupakan suatu pelayanan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok pasien lanjut usia dan pasien yang menggunakan obat dalam jangka waktu lama seperti penggunaan obat-obat kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis, asma dan penyakit kronis lainnya, dengan harapan dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat (Depkes RI, 2008).

Secara khusus, tujuan dari dilakukannya pelayanan kefarmasian di rumah oleh farmasis adalah terlaksananya pendampingan pasien oleh farmasis untuk mendukung efektifitas, keamanan dan kesinambungan pengobatan, terwujudnya

(19)

komitmen, keterlibatan dan kemandirian pasien dan keluarga dalam penggunaan obat dan atau alat kesehatan yang tepat, terwujudnya kerjasama profesi kesehatan, pasien dan keluarga (Depkes RI, 2008). Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian di rumah adalah untuk memastikan keamanan, ketepatan dan efektivitas penggunaan obat di rumah dan juga memberikan edukasi kepada keluarga pasien yang seringkali tidak punya pengalaman dalam menggunakan obat sehingga dapat memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat menggunakan obat dengan tepat (ASHP, 1999).

Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada semua pasien, mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan menentukan prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain : a. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus

tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping obat,

b. Pasien dengan terapi jangka panjang misalnya pasien tuberkulosis, HIV/AIDS, diabetes melitus, dan lain-lain,

c. Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan regimen pengobatan yang kompleks (Depkes RI, 2008).

Edukasi dan konseling akan berlangsung efektif saat dilakukan dalam ruangan tertutup yang memberikan privasi dan kesempatan bagi pasien dan farmasis untuk terlibat dalam komunikasi yang bersifat rahasia (ASHP, 1997).

(20)

Konseling dalam pelayanan kefarmasian di rumah akan mendukung tercapainya hal tersebut.

6. Konseling Sebagai Sarana Perbaikan Kesehatan Masyarakat

Konseling dari asal katanya didefinisikan sebagai memberi nasihat tetapi juga melibatkan diskusi yang saling menguntungkan dan adanya pertukaran opini antara pemberi dan penerima konseling (Rantucci, 2007). Konseling pasien oleh farmasis merupakan konseling yang melibatkan faktor psikologis sebagai aktivitas untuk memberikan edukasi kepada pasien sesuai dengan situasi dan kebutuhan pasien dengan tujuan akhir terjadinya perubahan progresif pasien yang mempengaruhi pengetahuannya, sikap dan perilaku (Rantucci, 2007).

Konseling secara garis besar memiliki tahap-tahap sebagai berikut : a. Pembukaan

Farmasis melakukan perkenalan, menanyakan identitas pasien, serta menanyakan kesediaan dalam partisipasi dan waktu untuk melakukan konseling.

b. Diskusi

Diskusi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi masalah. Farmasis dituntut untuk memancing pasien agar menceritakan penyakit atau keluhannya, bagaimana cara pasien mengatasinya, serta kondisi mental dan fisikal pasien.

(21)

c. Pemberian informasi obat

Informasi obat meliputi tujuan pengobatan, dosis dan efektivitas obat, cara penggunaan, frekuensi dan durasi penggunaan, efek samping, interaksi, serta cara penyimpanan obat.

d. Verifikasi Akhir dan menutup diskusi

Farmasis memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh. Farmasis juga menanyakan apakah ada hal-hal yang tidak dimengerti, mengulang pernyataan-pernyataan penting selama konseling dan mempertegasnya. Kemudian ditutup dengan salam, ucapan yang memotivasi pasien dan terima kasih.

e. Follow up, dokumentasi, dan evaluasi

Dilakukan untuk mengukur kemampuan atau efektivitas pelayanan dan mencari upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan.

(Depkes RI, 2006 dan ASHP. 1997)

Evaluasi terhadap pelayanan klinis farmasis menunjukkan bahwa konseling terhadap pasien dan dokter dapat memperbaiki luaran yang berupa kepatuhan pengobatan dan pengetahuan pasien mengenai obatnya (Morrison dan Wertheimer, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Bouvy et al., (2003), menunjukkan bahwa program konseling intensif yang dilakukan oleh farmasis selama 3 bulan meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien gagal jantung dari 61% hingga 93%. Review pengobatan oleh farmasis, konseling pasien, dan tindak lanjut melalui telepon juga dihubungkan dengan tingkat Adverse Drug Events

(22)

yang lebih rendah setelah 30 hari sejak pengobatan rawat inap dihentikan (Schnipper et al., 2006). Rekomendasi farmasis tidak hanya memperbaiki kualitas hidup pasien namun juga menghemat biaya pengobatan. Farmasis dapat meningkatkan luaran terapi obat dengan memastikan efikasi, meminimalkan toksisitas, dan meningkatkan kepatuhan pasien (Oh et al., 2002).

7. Teori Perubahan Perilaku Pasien The Precaution Adoption Process Model

(PAPM)

Komponen utama dalam konseling kepada pasien adalah pertimbangan psikologi pasien, sehingga keberhasilan dalam mempengaruhi pasien untuk sampai kepada perubahan perilaku harus memperhatikan teori-teori perilaku kesehatan pasien (health behavior) terutama teori yang berkaitan dengan perubahan perilaku (Rantucci, 2007). Salah satu teori perubahan perilaku adalah teori The Precaution Adoption Process Model (PAPM) yang dikembangkan oleh Weinstein dan Sandman tahun 1992 (Glanz et al., 2008). Teori PAPM menjelaskan bagaimana seseorang sampai pada keputusan untuk melakukan aksi tertentu dan bagaimana orang tersebut mentranslasikan keputusannya menjadi aksi. Ada 7 langkah perubahan yang dijelaskan dalam teori ini, seperti terlihat pada gambar 2.

(23)

8. 9.

10.

Gambar 2. Tahap-tahap yang terjadi dalam Precaution Adoption Process Model (Glanz et al.,

2008)

Dalam proses transisi antar tahap dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang diterima oleh pasien. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti terlihat pada tabel III (Glanz et al., 2008).

Tabel III. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tansisi individu ke tahapan proses

berikutnya dalam model PAPM (Glanz et al., 2008)

Transisi tahap Faktor yang mempengaruhi

Tahap 1 ke tahap 2 Informasi dari media atau informasi lain yang diterima Tahap 2 ke tahap 3 Informasi dari media atau informasi lain

Komunikasi dengan orang yang dipercaya Pengalaman pribadi

Tahap 3 ke tahap 4 / 5 Kepercayaan terhadap keparahan Kepercayaan terhadap kerentanan dirinya Rekomendasi perubahan perilaku oleh orang lain Takut dan khawatir

Tahap 5 ke tahap 6 Waktu, usaha dan sumber-sumber yang diperlukan untuk melakukan tindakan

Informasi detail tentang bagaimana melakukan suatu tindakan

Pengingatan dan faktor lain yang mengingatkan untuk melakukan tindakan

Bantuan dalam melakukan tindakan yang diharapkan Tahap 4. Memutuskan untuk tidak melakukan tindakan Tahap 3. Belum memutuskan untuk melakukan tindakan Tahap 1. Tidak peduli terhadap suatu isu/masalah Tahap 2. Belum tergerak oleh isu/masalah Tahap 5. Memutuskan untuk melakukan tindakan Tahap 6. Melakukan tindakan Tahap 7. Melakukan tindakan dengan ajeg

(24)

Konseling yang dilakukan oleh farmasis diharapkan dapat mendeteksi permasalahan pasien dan kesiapan pasien dalam melakukan perubahan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Konseling yang dilakukan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing pasien untuk berproses menuju tahap berikutnya dengan tujuan akhir sampai pada tahap perubahan perilaku yang kokoh.

G. Keterangan Empiris

Dari teori perubahan perilaku PAPM tersebut, maka keterangan empiris yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan (concordance) dan kepatuhan melalui pemberian konseling. Dengan peningkatan pengetahuan ini diharapkan pasien dapat berproses menuju ke tahap berikutnya sesuai dengan proses dalam PAPM sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah kepatuhan pasien dalam menggunakan obat antidiabetes oral.

Gambar

Tabel I. Faktor-faktor resiko penyakit DM  ( Depkes RI, 2005)
Tabel II. Daftar obat Antidiabetika Oral (ADO) dan penjelasannya (Katzung, et al., 2009)
Gambar 2. Tahap-tahap yang terjadi dalam Precaution Adoption Process Model (Glanz et al.,

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini diuraikan hal-hal berikut. a) Jelaskan secara rinci potensi unggulan atau masalah di masyarakat sehingga perlu dilakukan pengatasan masalah. Identifikasikan

KPPU dalam menjalankan tugas-tugasnya yang terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Kemudian untuk indikator kedua dengan 84 item diperoleh skor 31 yang artinya dalam pelaksanaan penilaian autentik guru sudah melakukan beberapa item pernyataan diantaranya

Organisasi menjadi lebih tertarik pada work engagement setelah beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan performansi kerja yang lebih

Jika masing-masing variabel keputusan membentuk harmoni yang baik, pengalaman tersebut akan disimpan dalam variabel memori, yang nantinya akan memperbesar kemungkinan

Kegiatan yang diusulkan ini merupakan kegiatan evaluasi/tes kebugaran jantung paru bagi Karyawan Dinas Kesehatan Provindi DIY yang bertujuan untuk menilai derajat

Based on the findings in the numerical experiments, we conclude that the error-free trans- formation algorithm for complex matrix multiplication developed by taking the advantage

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan pengaruh polutan dari wilayah Ngoro Industri Persada (NIP) terhadap