• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan kesejahteraan umum. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan kesejahteraan umum. 1"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Pemerintahan Negara Indonesia sebagai penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) tentunya selalu tampil aktif untuk ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tugas administrasi negara dalam welfare state ini menurut Lemaire adalah bestuurszorg, yaitu, menyelenggarakan kesejahteraan umum.1 Menurut Budi Ispriyarso, untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan tersebut diperlukan berbagai sarana pendukung2, salah satunya adalah sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi.

Sarana Hukum Administrasi diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi negara, dan disamping itu pada dasarnya juga memberikan perlindungan hukum bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya. Dengan kata lain Hukum Administrasi memberikan batasan-batasan keabsahan bagi perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dan menjamin keadilan bagi masyarakat yang haknya dirugikan oleh perbuatan administrasi negara tersebut. Lebih lanjut, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perkembangan konsep Hukum Administrasi mengandung dua dimensi yakni a)

1 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 40

2 SF Marbun et.al, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal.14

(2)

dimensi legalitas penggunaan kewenangan oleh para pejabat publik, dan b) dimensi perlindungan hukum kepada masyarakat dari tindakan hukum yang dilakukan oleh para pejabat publik.3

Dimensi legalitas penggunaan kewenangan oleh pemerintah merupakan pelaksanaan dari adanya prinsip negara hukum (rechsstaat), dimana ditentukan bahwa adanya pembatasan tindakan pemerintah oleh suatu aturan hukum (rechtsmatig). Prinsip rechtsmatig tersebut harus menjadi dasar utama bagi pemerintah dalam menjalankan kewenangannya. Dimensi legalitas dalam menjalankan kewenangan tersebut, mempunyai fungsi yakni :

a) Bagi aparat pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan.

b) Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungzsi sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindakan pemerintahan.

c) Bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindakan pemerintahan.4

Konsep legalitas dalam sistem negara hukum menjadikan hubungan antara pemerintah dan rakyat tersistematiskan dalam hubungan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga di satu sisi adanya persyaratan, tindakan pemerintahan harus legal prosedural dengan tujuan sedapat mungkin memberikan perlindungan kepada rakyat sebagai obyek dari tindakan tersebut.

Aspek keabsahan penggunaan kewenangan tersebut juga sangat berkaitan erat dengan aspek perlindungan terhadap rakyat. Hal ini disebabkan oleh adanya tindakan pemerintahan yang sangat besar dalam mengurus dan

3Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hal. 4

(3)

menyejahterakan rakyatnya, karenanya warga negara membutuhkan jaminan perlindungan yang cukup terhadap kekuasaan negara yang sangat besar tersebut. Sejalan dengan tujuan itu, maka dibutuhkan sarana dalam memberikan perlindungan tersebut yakni suatu institusi keadilan yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Institusi keadilan tersebut salah satunya diwujudkan melalui badan peradilan. Melalui proses-proses di badan peradilan, perlindungan hukum terhadap rakyat dapat ditegakkan.

Terkait dengan perlindungan hukum dalam bidang administrasi, dalam sistem hukum Indonesia dikenal suatu badan peradilan administrasi negara yang disebut Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara normatif eksistensi Pengadilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PTUN merupakan lembaga peradilan yang bertugas untuk mengadili sengketa yang terkait dengan penggunaan wewenang pemerintahan, yakni timbulnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bersifat konkret, individual dan final. Sengketa yang timbul dalam bidang adminitrasi disebut sebagai sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara muncul jika seseorang atau badan hukum perdata merasa kepentingannya dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa Pejabat tata usaha negara dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan

(4)

kesejahteraan umum tidak terlepas dari keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan keputusan tersebut menimbulkan kerugian.

Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan pengayoman atau perlindungan hukum kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat (fungsi perlindungan hukum). Selain untuk memberikan pengayoman atau perlindungan hukum bagi masyarakat, ditegaskan pula bahwa keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang tata usaha negara, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat (fungsi kontrol).

Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan sarana kontrol terhadap segala tindakan administrasi negara. Kontrol tersebut dimaksudkan supaya tindakan pemerintah tersebut tidak melebihi dari kewenangannya, tidak sewenang-wenang, atau tidak menyalahgunakan kewenangan. Tugas utama Pengadilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa yang timbul antar pemerintah dengan warga negaranya sebagai akibat adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat.5 Pelaksanaan tugas utama tersebut diwujudkan dengan putusan-putusan terhadap sengketa tata usaha negara yang menjadi kewenangannya. Tugas

5 Paulus Efendi Lotulung, Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Jakarta, hal. xiv

(5)

utama dalam mewujudkan supremasi hukum itu tidak hanya sekedar memberikan putusan-putusan terhadap perkara-perkara tata usaha negara yang diajukan kepadanya, namun yang lebih penting adalah bagaimana putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tersebut dapat dilaksanakan sebagai perwujudan dari upaya untuk memberikan perlindungan hukum yang berkeadilan terhadap warga negara pencari keadilan. Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah penentu keberhasilan sistem kontrol peradilan terhadap sikap tindak pemerintah dan sistem perlindungan masyarakat terhadap tindak pemerintah. Bagaimanapun baiknya muatan suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak akan banyak manfaatnya apabila pada akhirnya gagal dilaksanakan. Usaha pencari keadilan yang telah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya akan menjadi sia-sia tanpa manfaat.

Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara baru akan berwibawa dan ada artinya bagi pencari keadilan apabila putusan-putusannya dapat dilaksanakan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan (Tergugat) sesuai dengan isi amar Putusan Pengadilan tersebut. Dengan kata lain masalah yang paling mendasar dari eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara justru terletak pada ditaati atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam putusan Pengadilan tersebut oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada kesadaran Badan/Pejabat Tata Usaha Negara.

(6)

Lembaga pelaksanaan putusan peradilan (executie) dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah ada sejak berdirinya badan peradilan ini. Walaupun demikian sampai saat ini masih dapat dikatakan belum ditemukan suatu mekanisme atau prosedur yang efektif terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pemberlakuan lembaga eksekusi dalam sistem penegakan pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang pada awalnya hanya mengandalkan pelaksanaan putusan secara sukarela dan teguran berjenjang secara hirarki jabatan (floating form) sebagaiman diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, ternyata tidak cukup efektif untuk dapat memaksa Pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara. Permasalahan pokok pelaksanaan eksekusi putusan dengan sistem sukarela atau dengan teguran berjenjang secara hirarki jabatan dilatarbelakangi keadaan dimana para Pejabat tata usaha negara (Tergugat) seringkali tidak bersedia dengan sukarela untuk melaksanakan putusan pengadilan yang merupakan resistensi yang telah membudaya dikalangan mereka. Hal ini juga pernah di ungkapkan oleh Supandi dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa “masih sering terjadi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dilaksanakan/dipatuhi oleh pejabat TUN yang bersangkutan, sehingga dapat menimbulkan ketidak pastian hukum dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.” 6

6 Supandi, Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Disertasi dalam mempertahankan gelar doctor Ilmu Hukum pada Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2005, hal. 266 (selanjutnya disebut Supandi I)

(7)

Pembaharuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara didalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (eksekusi) dari pola pengawasan hirarki jabatan menjadi system upaya paksa berupa penerapan uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif. Selain karena sering kali terjadi ketidakpatuhan para pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan putusan pengadilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap, lembaga upaya paksa ini juga sebagai penyesuaian terhadap berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana menurut Pasal 4 undang-undang tersebut, pejabat di daerah otonomi bukan lagi bawahan pejabat provinsi dan pemerintah pusat sehingga pola pengawasan hirarki jabatan dalam hal pelaksanaan putusan oleh tergugat dianggap tidak efektif lagi.

Dinamika perkembangan otonomi daerah dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadikan pola hirarki pejabat daerah otonom dengan pejabat di tingkat provinsi dan pemerintah pusat dikembalikan lagi seperti semula. Perubahan tersebut turut memengaruhi pola pemikiran tentang pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga didalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Peradilan Tata Usaha Negara kembali menerapkan pola pengawasan hirarki jabatan dalam

(8)

pelaksanaan putusan pengadilan selain mekanisme upaya paksa dengan uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif. Tidak sebagaimana halnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, penerapan pola pengawasan hirarki jabatan dalam pasal 116 ayat (6) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 hanya diakomodir secara terbatas yakni pengajuan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi dan kepada lembaga perwakilan rakyat dalam rangka pengawasan politik.

Mekanisme “upaya paksa” dalam perubahan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diatur secara singkat, hanya ditemukan satu kali istilah “uang paksa”, “sanksi administratif“ dan “pengumuman pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada media massa cetak setempat”. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak memuat delegasi pengaturan lebih lanjut mekanisme pelaksanaan putusan. Sedangkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 keberadaan upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara masih mengalami kendala karena ditentukan bahwa ketentuan mengenai upaya paksa selanjutnya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur upaya paksa, namun sampai saat ini peraturan tersebut belum diundangkan.

Perubahan-perubahan yang dilakukan dalam mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini semata-mata adalah upaya penguatan terhadap kekuasaan (power) badan peradilan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diharapkan akan mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintahan untuk melaksanakan

(9)

putusan. Meskipun ketentuan yang mengatur tentang upaya paksa sampai saat ini belum diundangkan, hal tersebut jangan sampai menghalangi eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang paripurna. Sebagaimana adagium yang sering kita dengar, Justice delay is justice denay (penundaan keadilan adalah pengingkaran keadilan), maka dalam konteks tulisan ini adagium tersebut dapat diartikan bahwa meskipun penundaan aturan terjadi namun penundaan keadilan bagi para justicia belen harus dihindari. Ungkapan lain yang memiliki keselarasan dengan adagium tersebut adalah “Fiat Justitia et pareat mundus” yang berarti “sekalipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan”. Dari ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan betapa pentingnya penegakan hukum demi tercapainya suatu keadilan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu isu hukum yakni sebagai berikut:

1. Legalitas upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Konsekwensi yuridis pelaksanaan putusan dengan upaya paksa meski belum adanya peraturan pelaksana yang mengaturnya.

2. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 2.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui dan menjelaskan bentuk, hakikat, dan prosedur upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

(10)

b. Mengetahui dan menjelaskan penerapan upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap.

2.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Secara teoritik diharapkan untuk memberikan masukan secara umum

bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum tata negara dan hukum administrasi yang berkaitan dengan upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

b. Secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi hukum baik hakim maupun pengacara terkait dengan upaya paksa dalam pelaksaaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara. c. Secara moril diharapkan dapat memberikan dorongan dan masukan

kepada lembaga legislatif untuk segera membuat peraturan pelaksana tentang upaya paksa.

3. Metodelogi Penelitian

3.1. Tipe Penelitian dan Langkah Penelitian

Tipe penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum.7 Secara ekstrim dikatakan oleh Sunaryati Hartono, penelitian hukum yang bersifat normatif hanya

7

Bernard Arief Sudharta, Penelitian Hukum Normatif : Analisis Penelitian Filosofikal dan

Dogmatikal, Dalam Metide Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi, editor Sulistyowati Irianto dan Sidarta, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal.142

(11)

mampu dilakukan oleh seorang sarjana hukum, sebagai orang yang sengaja dididik untuk memahami dan menguasai disiplin hukum.8 Karenanya metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum yang dilakukan untuk mencari pemecahan masalah atas isu hukum dan permasalahan hukum yang ada, sehingga hasil dari penelitian hukum ini adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya menjadi isu hukum yang diajukan serta dapat diterapkan didalam praktek hukum pemerintahan. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.9

Selanjutnya, Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa langkah-langkah penelitian hukum yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; 2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang relevan

juga bahan-bahan non-hukum;

3. Melakukan telaah atas isu yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum;

5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan.10

8Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Cetakan ke-2, Alumni, Bandung, 2006, hal.139

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 35

(12)

3.2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).11

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) diperlukan guna mengkaji lebih lanjut mengenai dasar normatif yang ada berkaitan dengan upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

Pendekatan kasus (case approach) digunakan untuk memperkuat argumentasi bahwa penelitian ini didasarkan adanya kendala penegakan putusan pengadilan TUN pada masa lalu berupa putusan-putusan pengadilan yang tidak ditaati oleh pejabat pemerintah. Selain itu pendekatan ini digunakan juga untuk memahami alasan-alasan hukum (ratio decidendi) yang digunakan hakim untuk mengabulkan gugatan Penggugat yang pada petitumnya mencantumkan tuntutan upaya paksa sebagai tuntutan penguat terhadap pelaksanaan putusan pengadilan apabila telah berkekuatan hukum tetap.

Pendekatan konseptual (conceptual approach), digunakan untuk mengkaji dan menganalisis kerangka pikir atau kerangka konseptual maupun landasan teoritis sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni mengkaji dasar yuridis dan teoritik bentuk, hakikat, dan prosedur upaya paksa dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk

11 Ibid, hal. 93

(13)

mendukung pendekatan tersebut, maka perlu dikemukakan teori-teori atau prinsip-prinsip negara hukum dan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara, konsep putusan pengadilan dan eksekusi, konsep upaya paksa pelaksanaan putusan serta teori-teori yang relevan dengan isu hukum dalam penelitian ini.

3.3. Bahan Hukum

Bahan-bahan penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum. Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam Penelitian ini antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagiamana telah diubah dengan Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan-peraturan lain serta putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap khususnya yang berkaitan dengan isu hukum yang ditetapkan.

Bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku teks khususnya buku-buku tentang hukum pemerintahan (hukum administrasi), buku-buku penyelesaian sengketa, kamus hukum, artikel dalam berbagai sumber seperti surat kabar, majalah dan jurnal ilmiah bidang hukum, dan sumber lainnya yang mendukung. Bahan non-hukum dipandang perlu12 untuk

12 Ibid, hal.143

(14)

digunakan oleh peneliti guna mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum primer berupa perundangan-undangan dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan kategorisasi. Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan sistim kartu catatan (card system), baik dengan kartu ikhtisiar (memuat ringkasan tulisan sesuai aslinya, secara garis besar dan pokok gagasan yang memuat pendapat asli penulis); Kartu kutipan (digunakan untuk memuat catatan pokok permasalahan); serta kartu ulasan (berisi analisis dan catatan khusus penulis).

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan (inventarisasi) kemudian dikelompokkan dan dikaji dengan pendekatan perundangan-undangan guna memperoleh sinkronisasi gambaran dari semua bahan hukum. Selanjutnya dilakukan sistimatisasi dan klasifikasi kemudian dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang dikemukakan oleh para ahli, untuk akhirnya dianalisa secara normatif.

4. Kerangka Teoritik

4.1. Peradilan Administrasi (PTUN) dalam Negara Hukum Indonesia. Diantara para ahli ketatanegaraan ternyata terdapat perbedaan penggunaan istilah dalam mengartikan istilah “Negara Hukum”. Para ahli di Eropa Barat (Kontinental) seperti F.J. Stahl menggunakan istilah

(15)

“Rechtsstaat”, dan merumuskan 4 (empat) unsur pokok rechtsstaat itu sebagai berikut:13

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; b. Negara didasarkan pada teori trias politica;

c. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatigbestuur);dan

d. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtsmatige overheidsdaad).

Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori oleh A.V. Dicey dengan sebutan rule of law. Konsep ini menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utamanya, yaitu :14

a. Supremasi hukum atau supremacy of law;

b. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law; dan c. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the

constitution based on individual rights.

Pemaparan diatas memperlihatkan perbedaan maupun persamaan antara rule of law menurut sistem Anglo Saxon dengan rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang berdiri

13 SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 16

14 Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam; Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 90

(16)

sendiri terpisah dari peradilan umum. Sementara dalam rule of law, tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan umum. Hal ini disebabkan karena dalam rule of law lebih mengedepankan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), sehingga eksistensi peradilan administrasi dipandang tidak perlu. Prinsip equality before the law mengandung makna adanya suatu persamaan antara rakyat dan pemerintah (pejabat administrasi), yang dicerminkan dalam peradilan, maka rakyat dan pemerintah sama-sama tunduk dan patuh terhadap hukum serta memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Asas equality before the law menghendaki tidak adanya diskriminasi ketika hukum diterapkan dan semua pihak berada pada kedudukan yang sama.15 Adapun persamaannya antara lain keduanya (baik rechtsstaat maupun rule of law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremasi hukum”, dan prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan negara untuk mencegah munculnya perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa yang dapat melanggar hak asasi manusia.

Sistem hukum Indonesia yang berkiblat ke negara-negara Eropa Kontinental melatarbelakangi terbentuknya pengadilan administrasi negara di Indonesia. Keberadaan pengadilan administrasi negara di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tumpuan harapan

15 Sajdijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal.5

(17)

masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan hak-haknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya.

Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pengadilan administrasi dalam suatu negara hukum diperlukan keberadaannya sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan terkadang melanggar ketentuan hukum.

Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 . Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001 juncto Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga ini mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya.

(18)

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh S.F Marbun,16 tujuan pembentukan PTUN adalah untuk memberikan perlindungan terhadap semua warga negara yang merasa haknya dirugikan, sekalipun hal itu dilakukan oleh alat negara sendiri. Disamping itu untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa keadilan dalam masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan, yang sekaligus merupakan public service negara terhadap warganya. Lebih lanjut, SF Marbun menyatakan:17

“secara filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum”.

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Prajudi Atmosudirdjo,18 tujuan dibentuknya peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk melindungi warga masyarakat yang kepentingan hukumnya seringkali tertindih atau terjepit dengan semakin luasnya campur tangan penguasa ke dalam kehidupan masyarakat, melalui PTUN masyarakat dapat

16 SF Marbun, Op. Cit, hal. 17 17 Ibid

18 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 144-145

(19)

menggugat penguasa untuk mendapatkan tindakan korektif dari PTUN. Dengan perkataan yang lain, tujuan dibentuknya peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien.19

Sejalan dengan pendapat diatas, Sjachran Basah20 secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah memberikan jaminan pengayoman hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata, melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Bagi para pelaksana administrasi negara hal tersebut berarti bahwa kehadiran PTUN adalah sebagai rambu-rambu dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, bersih dan berwibawa dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Dengan demikian PTUN adalah sebagai penyeimbang antara hak-hak dan kepentingan individu di satu sisi, dengan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas administrasi negara di sisi lain. PTUN sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung diharapkan dapat menyelenggarakan dan mewujudkan peradilan yang agung dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

19 Ibid

20 Sachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hal. 3-4

(20)

Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum. Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum bagi masyarakat di Indonesia, sesungguhnya beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon21 asas berdasarkan jiwa kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.

Berpijak pada keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat dicegah.

21 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkup Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 85-89

(21)

Pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan bermanfaat sebagai:

1. Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;

2. Stabilisator hukum dalam pembangunan;

3. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;

4. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.22

Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa di samping peradilan umum, peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di Indonesia. Eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan hukum publik badan atau pejabat administrasi negara.

Mengacu pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam

22 Sachran Basah, Op. Cit, hal. 25

(22)

norma-norma hukum administrasi negara, akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sesuatu yang wajib, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya, masyarakat berada pada posisi yang lemah.

Keberadaan Pengadilan TUN sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat, mempunyai fungsi, tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif).23 Sengketa tata usaha

negara yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan bahwa :

“ Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat administrasi negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha

23 Anonim, Fungsi, Tugas, Wewenang, dan Mekanisme Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, http://albatrozz.wordpress.com/2008/09/09/, dikunjungi pada tanggal 16 Maret 2012

(23)

negara (keputusan administrasi negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa pejabat administrasi negara dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tersebut dapat berbentuk perbuatan materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan menjadi kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN) karena undang-undang pengadilan administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota bene menjadi kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meski demikian melihat perkembangan ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi pemerintahan) menurut penulis harus dibentuk satu sistem peradilan administrasi negara terpadu, artinya segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui pengadilan administrasi negara (PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan

(24)

hukum administrasi negara sebagaimana termaktub dalam Konstitusi juga membuat sederhana (simple) penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi negara.

Berbeda dengan badan peradilan lainnya, PTUN merupakan badan peradilan yang bertugas untuk mengadili sengketa yang timbul antara pemerintah dan rakyat. PTUN memiliki karakter yang khas jika dibandingkan dengan badan-badan peradilan yang lainnya. Menurut Philippus M. Hadjon dkk,24 ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu :

1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang di gugat (Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986);

2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100;

3. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah Pejabat TUN sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata . Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat (1 dan 2), Pasal 80 dan Pasal 85;

4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja – tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.

24 Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan ke delapan Tahun 2002, hal.313

(25)

Mengacu pada beberapa karakteristik PTUN di atas, terlihat adanya upaya untuk menciptakan keseimbangan di dalam proses PTUN antara pejabat TUN dengan warga masyarakat yang secara faktual berbeda status dan kedudukannya, dimana pejabat tata usaha negara mempunyai otoritas kekuasaan pemerintahan sedangkan warga masyarakat merupakan pihak yang diperintah dan harus tunduk pada apa yang diperintahkan oleh Pemerintah (pejabat TUN). Dengan karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan hak-haknya akibat terbitnya suatu keputusan tata usaha negara oleh pejabat tata usaha negara.

4.2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dalam hal seluruh proses pemeriksaan perkara telah selesai, pada akhirnya pengadilan akan menerbitkan putusan (judicial decision). Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain. Sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Di antara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi krusial kepada para pihak.

(26)

Putusan sering diartikan dengan makna yang dangkal tanpa memperhatikan substansi atau kandungan muatannya, sehingga terkadang masyarakat awam menyimpulkan secara umum bahwa setiap putusan pengadilan harus dapat dieksekusi, bahkan mereka menganggap setiap putusan dapat diikuti dengan upaya paksa. Pemahaman seperti ini dapat mengaburkan arti dari pelaksanaan putusan itu sendiri. Pemahaman secara teoritis mengenai arti suatu putusan pengadilan tentu diperlukan untuk memberikan pemahaman mengenai putusan pengadilan yang dapat dieksekusi dan dapat diikuti dengan upaya paksa karena tidak semua putusan pengadilan memerlukan lembaga eksekusi dan tidak semua putusan yang dilakukan eksekusi harus diikuti dengan upaya paksa;

Menurut Artidjo Alkostar, 25 Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan.

Menurut sifatnya Putusan Pengadilan dapat berupa putusan deklaratoir, yaitu, yang bersifat menerangkan saja. Putusan konstitutif, yaitu, yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir, yaitu, bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah.26

25 Artidjo Alkostar, Dimensi Kebenaran Dalam Putusan Pengadilan, Majalah Hukum Varia Peradilan, April 2009, hal. 36

26 Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.67

(27)

Wujud dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ada kalanya berbentuk putusan yang bersifat condemnatoir dapat juga merupakan keputusan constitutief. Pernyataan batal atau tidak sah suatu keputusan hanya bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat constitutief, misalnya, putusan pembebanan pembayaran ganti rugi, pembebanan melaksanakan rehabilitasi dan penetapan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang berakibat tertundanya keberlakuan suatu keputusan pemerintah untuk sementara. Putusan yang bersifat constitutief walaupun menimbulkan keadaan hukum baru atau meniadakan keadaan hukum lama namun tidak langsung dapat terlaksana dan memerlukan putusan penghukuman sebagai tindak lanjut agar materi putusan constitutief menjadi nyata, sehingga yang relevan untuk yang dilaksanakan adalah putusan yang bersifat condemnatoir.

Putusan yang bersifat kondemnator (Condemnatoir) ialah putusan yang mengandung tindakan penghukuman kepada tergugat.27 Pada umumnya putusan yang bersifat kondemnator terwujud dalam perkara berbentuk kontentiosa (contentieuse). Apabila dihubungkan dengan bentuk putusan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka putusan yang bersifat condemnatoir mencakup:

a. Kewajiban mencabut keputusan administrasi yang telah dinyatakan batal atau tidak sah;

27M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, Cetakan ke-3. Tahun 1991, hal. 11

(28)

b. Kewajiban mencabut keputusan administrasi dan menerbitkan keputusan pengganti;

c. Kewajiban menerbitkan keputusan dalam hal obyek sengketa keputusan fiktif negatif;

d. Kewajiban membayar ganti rugi;

e. Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dan membayar konpensasi dalam sengketa kepegawaian.

Menurut Irfan Fachrudin,28 Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat dikualifikasi kepada 4 (empat) kategori, yaitu :

a. Putusan Pokok

Putusan Pokok, yaitu, pernyataan batal atau tidak sah keputusan administrasi negara yang disengketakan (tuntutan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).

b. Putusan Tambahan

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan keputusan. Kewajiban tersebut berupa:

1) Pencabutan keputusan administrasi negara yang bersangkutan;

28 Irfan Fachrudin, Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Medan, 2009, (Makalah disampaikan pada Rakerda Mahkamah Agung bidang Peradilan Tata Usaha Negara wilayah Sumatera Utara, tanggal 2 November 2009) hal.3,(Selanjutnya disebut Irfan Fachruddin I)

(29)

2) Pencabutan keputusan administrasi yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan baru;

3) Penerbitan keputusan dalam hal obyek gugatan keputusan fiktif negatif.

c. Putusan Remidial (pemulihan)

Putusan Remidial, yaitu, untuk memulihkan akibat yang telah ditimbulkan oleh keputusan pemerintah yang dinyatakan batal atau tidak sah, berupa ganti rugi dan rehabilitasi.

d. Putusan Penguat (pengefektifan)

Putusan Penguat, yaitu, putusan sebagai alat pemaksa, supaya putusan yang bersifat kondemnatoir dapat terlaksana, yaitu :

1) Kewajiban pembayaran sejumlah uang paksa; 2) Penjatuhan sanksi administratif;

3) Perintah mengumumkan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada media massa cetak;

4) Mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan;

5) Mengajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

4.3. Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Pada pokoknya pelaksanaan putusan (executie) adalah cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat kekuasaan negara guna

(30)

membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan.29

Eksekusi dapat diartikan sebagai suatu tindakan lanjutan dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Namun perlu diingat bahwa tidak semua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) dapat dieksekusi. Untuk dapat dieksekusi, selain suatu putusan telah berkekuatan hukum tetap, putusan itu juga harus mengandung sifat eksekutorial (bersifat kondemnator). Untuk dapat dikatakan sebagai suatu putusan yang bersifat executable harus dilihat dari muatan amar putusannya. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun bersifat deklarator mustahil untuk dieksekusi (non executable) karena didalam amar putusannya tidak mengandung perintah atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh termohon eksekusi.

Eksekusi dalam konteks hukum perdata, merupakan salah satu cara untuk menjalankan putusan badan peradilan. Eksekusi merupakan betuk paksaan oleh organ kekuasaan agar pihak termohon eksekusi melaksanakan putusan badan peradilan. Proses eksekusi dimulai terlebih dahulu dengan adanya peringatan, dan diakhiri dengan penyanderaan.

Menurut bahasa, eksekusi sama artinya dengan tindakan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnisen), yang menurut

29 Soepomo, R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hal. 105

(31)

R.Subekti bahwa perkataan eksekusi atau pelaksanaan putusan sudah mengandung arti bahwa pihak yang kalah tidak mau menaati putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan tersebut harus dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum.30

Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu :31

1. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.

2. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.

3. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.

4. eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.

Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :32

1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :

a. pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu.

b. pelaksanaan putusan provisi. c. pelaksanaan akta perdamaian. d. pelaksanaan Grose Akta.

2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan.

3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi.

4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.

Berbeda halnya dengan perkara perdata, dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum

30 Anonim, Penundaan Eksekusi, http// www.google.com, dikunjungi pada tanggal 16 Maret 2012

31 Anonim, Putusan Hakim dan Eksekusi, http://aan19.files.wordpress.com, dikunjungi pada tanggal 16 Maret 2012

(32)

tetap (BHT) dilakukan secara sukarela oleh Pejabat tata usaha negara itu sendiri (tergugat) yang menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa. Apabila tergugat tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela maka dapat diterapkan eksekusi otomatis dan eksekusi dengan alat pemaksa.

Prosedur eksekusi otomatis diawali dengan penerbitan penetapan oleh Ketua pengadilan tingkat pertama yang berisi perintah kepada Panitera untuk mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dengan surat tercatat selamat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya Panitera Pengadilan mengirimkan salinan putusan tersebut kepada para pihak yang dilaksanakan oleh Juru Sita atas nama Panitera. Apabila setelah 60 hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah diterima oleh Tergugat, dan ternyata Tergugat belum melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (9) huruf a Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu, tidak mencabut surat keputusan yang bersangkutan, maka Ketua Pengadilan membuat surat yang menyatakan keputusan TUN yang telah dibatalkan atau dinyatakan tidak sah tersebut, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum berlaku.

(33)

4.4. Upaya Paksa Dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Tidak selamanya pelaksanaan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap (eksekusi) dilakukan oleh tergugat secara sukarela. Apabila amar putusan yang harus dilaksanakan oleh Tergugat hanya menyangkut kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (9) huruf a Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu, kewajiban untuk mencabut surat keputusan yang bersangkutan maka akan berlaku eksekusi otomatis sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tetapi bila dalam amar putusan yang telah inkracht itu juga memuat kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu, kewajiban mencabut keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru, atau kewajiban menerbitkan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (gugatan fiktif negatif), maka ketidakpatuhan tergugat akan adanya putusan tersebut menjadikan penyebab terhambatnya eksekusi.

Eksekusi dengan upaya paksa dilaksanakan dalam hal tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan Pengadilan TUN. Bentuk dari upaya paksa tersebut diatur dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Bentuk upaya paksa tersebut

(34)

meliputi pembayaran sejumlah uang paksa (dwangsom) dan atau sanksi administrasi.

Pendapat P.A Stein tentang pengertian uang paksa (dwangsom) yang dikutip oleh Harifin A. Tumpa menjelaskan bahwa :33

“Uang paksa adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan, hukuman mana diserahkan kepada penggugat, didalam hal, sepanjang atau sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Dwangsom ditetapkan dalam suatu jumlah uang, baik berupa sejumlah uang sekaligus, maupun setiap suatu jangka waktu atau setiap pelanggaran”.

Didalam kepustakaan hukum administrasi, hakikat sanksi administrasi adalah merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang dilakukan organ pemerintahan tanpa harus melalui proses peradian sebagai instrumen penegakan hukum administrasi.

Berkaitan dengan sanksi administrasi dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara hanya melaksanakan fungsi yudisial, maka teknis pelaksanaan penerapan sanksi administrasi kepada pejabat TUN yang tidak dengan sukarela melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam prakteknya dilakukan oleh pejabat/organ pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya, yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi administrasi kepada dipejabat TUN tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan dasar yang mengatur tentang jabatan yang bersangkutan.

(35)

Selain upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa (dwangsom) dan sanksi administrasi, dalam Pasal 116 ayat (5) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 juga mengatur tentang adanya pengumuman pada media massa cetak setempat bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan pshykis kepada pejabat tersebut untuk dapat segera melaksanakan isi putusan pengadilan.

Bentuk upaya paksa lain yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara adalah tentang keharusan bagi Ketua Pengadilan untuk mengajukan adanya ketidakpatuhan pejabat TUN dalam melaksanakan putusan pengadilan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 116 ayat (6) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Ketentuan tentang pengajuan kepada Presiden sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang pertama (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) namun sempat hilang dalam perubahan pertama dari undang-undang tersebut (Undang-Undang No 9 Tahun 2004). Hal ini juga sebagai penyesuaian terhadap berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memposisikan pejabat di daerah otonomi bukan lagi bawahan pejabat provinsi dan pemerintah pusat, namun adanya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 oleh Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun

(36)

2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengembalikan pola hirarki pejabat daerah otonom dengan pejabat di tingkat provinsi dan pemerintah pusat, maka turut memengaruhi upaya paksa dalam eksekusi dengan menerapkan kembali pola pengawasan hirarki jabatan (meskipun tidak secara urut berjenjang) dan ditambah dengan pelaporan kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD) untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Referensi

Dokumen terkait

dengan cara klik directori-Accounts-Users, jika sudah muncul gambar dibawah kl directori-Accounts-Users, jika sudah muncul gambar dibawah klik edit pada user yang ik edit pada

TEACHING ADVISING SYNTHESIZING STRATEGIZING PLANNING MOTIVATING SERVING CONTROLLING MEDIATING NEGOTIATING SELLING SAFEKEEPING FILING HOUSEKEEPING KEKUATAN KELEMAHAN. FOKUS PADA

Besaran adalah segala sesuatu yang dapat diukur atau dihitung, dinyatakan dengan Angka atau nilai dan setiap Besaran pasti memiliki satuan... THE SI UNIT SYSTEM (Sistem Satuan /

Pola Pertumbuhan tanaman dari umbi anak Berbeda dengan umbi empu, pola pertumbuhan tunas taka bila bibit yang digunakan berasal dari umbi anak memiliki 6 tahap perkembangan, yakni

Berdasarkan hasil penelitian dapat disim- pulkan bahwa meski belum menunjukkan penca- paian kemampuan reflective judgment yang mak- simal, pembelajaran materi ekosistem berbasis

Dari hasil uji t untuk variabel yang sama adalah memiliki nilai signifikan 0,001 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga mempunyai pengaruh positif

Untuk konsentrasi NOx dari pemakaian variasi bahan bakar HSD, B10, B20 dan B30 yang menghasilkan konsentrasi emisi paling rendah adalah HSD untuk semua putaran engine. Untuk

Berdasarkan penilaian validator dan juga penilaian guru kelas terhadap media pembelajaran adobe flash berbasis discovery learning yang dikembangkan serta saran dan masukan