ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SAPONIN PADA KECAMBAH KEDELAI (Glycine max L.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Yustina Sakundita Puspariani
NIM : 038114014
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
A
A
p
p
a
a
k
k
a
a
h
h
s
s
u
u
k
k
s
s
e
e
s
s
i
i
t
t
u
u
?
?
S
Seerriinnggddaannbbaannyyaakktteerrttaawwaa
M
Meennddaappaattkkaannrraassaahhoorrmmaattddaarriioorraannggppaannddaaiiddaannrraassaakkaassiihhddaarriioorraannggsseekkiittaarr
M
Meerraaiihhppeenngghhaarrggaaaannkkrriittiikkuussyyaannggjjuujjuurr
M
Meenngghhaarrggaaiikkeeiinnddaahhaann
M
Meenneemmuukkaannssiiffaattbbaaiikkddaallaammddiirriioorraannggllaaiinn
M
Meemmbbuuaattdduunniiaalleebbiihhbbaaiikk,,ddeennggaannsseeppeettaakkkkeebbuunn
M
Meennggeettaahhuuiibbaahhwwaasseesseeoorraannggtteellaahhhhiidduupplleebbiihhmmuuddaahhkkaarreennaakkeebbeerraaddaaaannmmuu;;
I
Ittuullaahhaarrttiissuukksseess..
(Ralph Waldo Emerson)
T
T
u
u
g
g
a
a
s
s
d
d
i
i
h
h
a
a
d
d
a
a
p
p
a
a
n
n
k
k
i
i
t
t
a
a
t
t
i
i
d
d
a
a
k
k
p
p
e
e
r
r
n
n
a
a
h
h
s
s
e
e
b
b
e
e
s
s
a
a
r
r
k
k
e
e
k
k
u
u
a
a
t
t
a
a
n
n
d
d
i
i
b
b
e
e
l
l
a
a
k
k
a
a
n
n
g
g
k
k
i
i
t
t
a
a
(Anonim)
KKuuppeerrsseemmbbaahhkkaannkkaarryyaakkeecciilliinniiuunnttuukk::
M
Maammaa&&PPaappaatteerrcciinnttaa
K
Kaakkaakkkkuutteerrssaayyaanngg
O
Orraanngg--oorraannggyyaannggmmeennyyaayyaannggiikkuu
d
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan pada Allah Bapa di Surga, karena atas
berkat dan kekuatan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas
skripsi yang berjudul “Isolasi dan Identifikasi Saponin pada Kecambah Kedelai”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
Dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulis berkewajiban
untuk menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, saran, pengarahan, pengetahuan dan kesabaran
dalam membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt., selaku dosen penguji yang telah bersedia
menguji, memberikan saran dan masukan yang sangat berguna dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah
bersedia menguji, memberikan saran dan masukan yang sangat berguna
dalam penyelesaian skripsi ini.
5. My beloved family, Papa dan Mama, serta Kakakku Petra Chanelia, atas
cinta, kasih sayang, pengorbanan, dukungan, dan doa yang tak pernah
6. Mas-ku, Laurentius Dian ‘Ndolith’ Krislianto atas dukungan, perhatian,
serta rasa sayang. Terima kasih untuk kebaikan hatimu mengantarku
mencari kedelai dan selalu siap menjadi penolongku.
7. Sahabatku, Raya, atas dukungan dan persahabatan yang menyenangkan.
Terima kasih juga dapat menjadi andalanku.
8. Teman seperjuanganku, Yohana, atas kerjasama dan suka duka selama
penelitian di laboratorium, juga untuk printernya. Jangan menyerah,
kawan!
9. Teman-teman d’Sindens : Moncee (terima kasih atas
pengalaman-pengalaman seru di awal kuliah), Vera, Dita, Rosa, Ana, Sari, Tata, dan
Angger. Dunia hiburan kelas A akan sepi tanpa kalian.
10.Mas Wagiran, Pak Mukmin, Mas Parlan, Mas Sigit, Pak Prapto, Mas
Kunto dan Mas Iswandi yang selalu membantu kemudahan penelitian di
laboratorium.
11.Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A (khususnya lagi Shyu
‘Baby’, Andi ‘Papi’, dan Adi ‘Gondes’), sebagai supporting team, dan atas
pelangi penuh warna selama belajar di Farmasi.
12.Semua pihak serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan, dan doanya
selama ini. God bless you all!
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh
dari sempurna. Maka dari itu, penulis dengan senang hati menerima segala saran
agar dapat menjadi lebih sempurna dan berguna. Akhir kata semoga skripsi ini
dapat memberi manfaat bagi pembacanya dan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan terutama di bidang kefarmasian.
Yogyakarta, Oktober 2007
INTISARI
Kedelai (Glycine max L.) selain dikonsumsi sebagai sayuran juga dapat digunakan sebagai tanaman obat karena memiliki kandungan kimia yang cukup bermanfaat. Salah satu senyawa kimia yang terkandung dalam kedelai adalah saponin, dimana secara umum kadar saponin meningkat bila kedelai dikecambahkan. Menurut golongannya, saponin terbagi dua yakni steroid dan triterpenoid. Saponin steroid berguna untuk pengembangan hormon kelamin dan kontrasepsi oral. Sedangkan saponin triterpenoid biasa digunakan sebagai ekspektoran, antiinflamasi, larvasida, serta dapat meningkatkan ekskresi kolesterol. Penentuan tipe saponin berguna untuk pemanfaatan selanjutnya dari tanaman yang mengandung tipe saponin tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tipe saponin yang terdapat dalam kecambah kedelai serta karakteristik saponin tersebut secara Kromatografi Lapis Tipis dan spektroskopi UV.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian non-eksperimental dengan cara analisis deskriptif komparatif. Uji saponin dilakukan dengan uji busa, reaksi Liebermann-Burchard, dan reaksi Salkowski. Selanjutnya saponin dihidrolisis. Isolasi dilakukan dengan KLT preparatif. KLT dan spektroskopi UV digunakan untuk karakterisasi, dan uji kemurnian menggunakan KLT multi-eluen. Sebagai pembanding digunakan Succus Liquiritae.
Berdasarkan hasil penelitian, kecambah kedelai mengandung saponin triterpenoid. Isolasi menggunakan KLT preparatif menghasilkan isolat murni berwarna biru-ungu hasil reaksi dengan penampak bercak anisaldehid-asam sulfat. Hasil spektroskopi UV menunjukkan puncak tunggal isolat saponin kecambah kedelai dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 280,6 nm.
ABSTRACT
Soybean (Glycine max L.) can be used as medicinal plants, in other side as vegetable because of its benefit constituents. One of the chemical substance in soybean is saponin, when commonly the saponin amount promotes up in the sprout-shape. Saponin are divided into two types, they are steroid and triterpenoid. Steroid saponins are useful for development of sex hormones and oral contraceptions. Meanwhile the triterpenoid saponins generally used for expectorant, antiinflamation, larvacides, and also can increase excretion of cholesterol. Knowing the type of saponin is very helpful for the next preparation of the plants that include the type of the saponin. The purposes of this research are to knowing the type of saponin of soybean sprouts and their characterization based on Thin Layer Chromatography and UV spectroscopy.
This was a non-experimental research using comparative descriptive analysis. Saponin was tested with foam test, Liebermann-Burchard reaction, and Salkowski reaction. Next, saponin was hydrolysed. The isolation was done through preparative TLC method. Characterization was use TLC and UV spectroscopy, and for purity test used multi-eluen TLC. Succus Liquiritae is used as standard.
Based on the research, indicate that soybean sprout contains triterpenoid saponins. Isolation result using TLC preparative give blue-violet pure isolate by reaction with anisaldehide-sulphuric acid. The result of UV spectroscopy showed only one peak with maximum absorbance on wave length about 280.6 nm.
Key words : saponin, triterpenoid, sprout, Glycine max L., isolation, identification, TLC, PTLC, UV spectroscopy
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI . ... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I . PENGANTAR... 1
A. Latar Belakang... 1
1. Permasalahan... 3
2. Keaslian penelitian... 3
3. Manfaat penelitian... 4
B. Tujuan Penelitian... 4
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 5
A. Kedelai... 5
1. Keterangan botani... 5
3. Deskripsi... 5
4. Khasiat dan kegunaan... 6
5. Kandungan kimia... 6
B. Penyarian... 6
C. Saponin... 9
D. Kecambah... 13
E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)... 16
F. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)... 19
G. Spektroskopi Ultra Violet (UV)... 21
H. Keterangan Empiris... 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25
A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 25
B. Definisi Operasional... 25
C. Bahan dan Alat Penelitian... 26
D. Jalan Penelitian... 26
1. Identifikasi tanaman... 26
2. Pengumpulan bahan dan proses perkecambahan... 27
3. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik... 27
4. Uji saponin... 27
5. Hidrolisis saponin kecambah kedelai dan Succus Liquiritae... 28
7. Pemeriksaan pendahuluan saponin dengan KLT………. 29
8. Isolasi saponin dengan KLTP... 29
9. Uji kemurnian dengan KLT multi-eluen……….. 30
10. Spektroskopi Ultra Violet (UV)... 31
E. Tata Cara Analisis Hasil... 31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33
A. Identifikasi tanaman... 33
B. Pengumpulan Bahan dan Proses Perkecambahan... 33
C. Pemeriksaan Organoleptik dan Makroskopik... 34
D. Uji Saponin... 35
E. Hidrolisis Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae... 38
F. Ekstraksi Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae... 40
G. Pemeriksaan Pendahuluan Saponin dengan KLT... 41
H. Isolasi Saponin dengan KLTP... 44
I. Uji Kemurnian dengan KLT multi-eluen... 47
J. Spektroskopi Ultra Violet (UV)... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 58
A. Kesimpulan... 58
B. Saran... 58
DAFTAR PUSTAKA... 59
LAMPIRAN... 62
DAFTAR TABEL
Tabel I . Hasil pemeriksaan organoleptik dan makroskopik terhadap
kecambah kedelai... 34
Tabel II . Hasil kromatogram KLT Pendahuluan ... 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka steroid ... 10
Gambar 2. Kerangka triterpenoid, α-amirin, β-amirin, dan lupeol ... 12
Gambar 3. Bagan spektrofotometer UV berkas ganda ……….. 21
Gambar 4. Tingkat energi elektron molekul... 24
Gambar 5. Mekanisme terbentuknya buih ... 35
Gambar 6. Reaksi Liebermann-Burchard……….. 37
Gambar 7. Reaksi Salkowski ... 38
Gambar 8. Kerangka asam glisiretinat ... 40
Gambar 9. Mekanisme hidrolisis Succus Liquiritae dalam suasana asam ... 40
Gambar 10. Hasil kromatogram KLT Pendahuluan……… .. 42
Gambar 11. Hasil uji kemurnian isolat tahap pertama dengan fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v)... 46
Gambar 12. Hasil kromatogram KLT multi-eluen dengan fase gerak kloroform : metanol (95 : 5 v/v)……… 49
Gambar 13. Hasil kromatogram KLT multi-eluen dengan fase gerak kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v) .. 50
Gambar 14. Hasil kromatogram KLT multi-eluen dengan fase gerak n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) ... 51
Gambar 16. Gugus kromofor asam glisiretinat……… 55
Gambar 17. Spektra saponin kecambah kedelai (sampel) ... 56
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 . Surat keterangan determinasi... 62
Lampiran 2. Sertifikat analisis Succus Liquiritae……….. 64
Lampiran 3 . Foto tanaman kedelai... 65
Lampiran 4 . Foto biji kedelai dan kecambah kedelai ... 66
Lampiran 5 . Foto uji saponin dengan uji buih ... 67
Lampiran 6 . Foto uji saponin dengan reagen Liebermann-Burchard .. 68
Lampiran 7 . Foto reaksi Salkowski... 69
Lampiran 8 . Foto alat hidrolisa ... 70
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Gaya hidup back to nature kian diminati sebagai bagian dari kesadaran
untuk hidup sehat. Masyarakat memanfaatkan berbagai macam tanaman untuk
kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini, bukan saja tanaman pangan tetapi juga
tanaman obat yang mengandung metabolit sekunder yang cukup bermanfaat
dalam pengobatan. Tanaman obat merupakan tanaman yang dapat digunakan
dalam pengobatan baik sebagai pemeliharaan kesehatan maupun untuk
penyembuhan penyakit. Salah satu jenis tanaman obat adalah kedelai (Glycine
max L.), walaupun selama ini masyarakat lebih mengenal kedelai sebagai sayuran
dan bahan pangan, bukan sebagai tanaman obat.
Kedelai termasuk dalam jajaran bahan makanan yang ditargetkan sebagai
sumber protein nabati untuk memerangi PMN (protein malnutrition) oleh WHO
dan FAO. Kecambah kedelai adalah salah satu bentuk penggunaan kedelai,
dimana biasa digunakan saat masih mentah maupun dimasak sebagai sayur.
Hanya saja, lebih dianjurkan mengkonsumsi kecambah kedelai dalam keadaan
mentah, misalnya dijadikan lalapan atau diminum sebagai jus, karena zat-zat
bermanfaat yang dikandungnya masih utuh. Jika harus dimasak sebagai sayur,
sebaiknya kecambah dimasukkan sesaat sebelum masakan matang. Selain
dikonsumsi sebagai sayuran, ternyata kedelai juga dapat digunakan untuk
pengobatan pada beberapa penyakit, seperti diabetes mellitus, reumatik, sakit
Kedelai diperkirakan memiliki kandungan kimia berupa protein, lemak,
karbohidrat, mineral (Na, K, Fe), vitamin A, vitamin B, saponin, isoflavonoid,
lesitin, glisinin peptida, dan fito-estrogen (Dora, 2005).
Berdasarkan hal tersebut, kedelai memiliki dua fungsi yaitu selain
dikonsumsi sebagai sayuran ternyata dapat juga digunakan sebagai tanaman obat
karena memiliki kandungan kimia yang cukup bermanfaat. Jika tanaman obat
tersebut dapat dimakan sebagai sayuran sekaligus dapat mengobati penyakit
seperti yang telah disebutkan diatas, tentu masyarakat akan merasa lebih
diuntungkan.
Dalam setiap bagian tanaman pasti terdapat metabolit sekunder. Salah satu
senyawa kimia yang termasuk dalam golongan metabolit sekunder yang
terkandung di dalam kedelai adalah saponin. Menurut golongannya, saponin dapat
dibedakan menjadi dua macam tipe yaitu tipe steroid dan triterpenoid (Evans,
2002). Penentuan tipe dari saponin ini berguna untuk pemanfaatan selanjutnya
dari tanaman yang mengandung tipe saponin tersebut. Saponin steroid berguna
untuk mendapatkan prekursor obat jenis kortison serta pengembangan hormon
kelamin dan kontrasepsi oral (Evans, 2002). Sedangkan saponin triterpenoid biasa
digunakan sebagai ekspektoran (obat batuk), antiinflamasi, larvasida serta dapat
menurunkan kadar kolesterol. Menurut penelitian, pada anak ayam yang diberi
0,9% saponin triterpenoid dapat menurunkan konsumsi pakan, menurunkan berat
badan, serta meningkatkan ekskresi kolesterol (Anonim, 2006).
Sebuah penelitian menyatakan bahwa ketika biji-bijian dikecambahkan,
dalam kecambah mampu menurunkan kadar lemak LDL (Low Density
Lipoprotein) dalam tubuh, tanpa mengganggu lemak HDL (High Density
Lipoprotein). LDL bersifat atherogenik (dapat memicu atherosklerosis atau
pengerasan pembuluh darah akibat penimbunan lemak) sehingga disebut ’lemak
jahat’, sedangkan HDL bersifat anti atherogenik, karena fungsinya mengangkut
kolesterol kembali ke hati untuk dikatabolisme sehingga mengurangi simpanan
kolesterol. Kadar lemak LDL normal yakni < 130 mg/dl, sedang kadar HDL yang
baik adalah > 40 mg/dl (Soeharto, 2000).
Untuk lebih mendalami dan mengetahui tipe saponin yang terkandung di
dalam kedelai, maka dilakukan penelitian mengenai isolasi dan identifikasi
saponin pada kecambah kedelai (Glycine max L.) serta karakterisasi saponin
tersebut secara kromatografi lapis tipis (KLT) dan spektrofotometri ultra violet
(UV).
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, timbul
permasalahan untuk diteliti, yaitu :
1. tipe saponin apakah yang terkandung dalam kecambah kedelai?
2. bagaimana ciri karakteristik saponin kecambah kedelai secara
kromatografi lapis tipis (KLT) dan spektroskopi ultra violet (UV)?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang isolasi dan identifikasi saponin pada kecambah kedelai
pernah dilakukan adalah isolasi dan identifikasi aglikon saponin pada buah lerak
(Sapindus rarak D.C.) oleh Yanuarsih (2001), isolasi dan identifikasi glikosida
saponin pada herba krokot (Portulaca oleracea L.) oleh Kristianti (2007).
3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan baru bagi
perkembangan ilmu kefarmasian, kedokteran, maupun kesehatan pada umumnya.
Hal tersebut dapat berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis.
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu
kefarmasian khususnya tentang tipe saponin kecambah kedelai.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai kecambah
kedelai berdasarkan aktivitas farmakologi golongan saponin yang
terkandung dalam kecambah kedelai.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk lebih mendalami
pengetahuan tentang kecambah kedelai.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tipe saponin
kecambah kedelai dan karakteristik saponin kecambah kedelai secara
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Kedelai 1. Keterangan botani
Kedelai mempunyai nama ilmiah Glycine max L. dan termasuk dalam suku
Leguminosae. Tanaman ini memiliki sinonim yakni, Glycine soja L. dan Soja max
Piper (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991 ; Thomas, 1992).
2. Nama Daerah
Di beberapa wilayah Indonesia, kedelai dikenal dengan berbagai nama,
antara lain : dele, dangsul, dekeman (Jawa), kacang bulu, kacang rimang
(Minangkabau), retak mejong (Lampung), kadhele (Madura), kacang jepun
(Sunda) (Thomas,1992).
3. Deskripsi
Tumbuhan kedelai mempunyai habitus berupa semak, semusim, tinggi
20-60 cm. Batang bersegi, berkayu, berambut, bercabang, hijau keputih-putihan.
Berdaun majemuk, menyirip ganjil, bulat telur, ujung tumpul, tepi rata, pangkal
membulat, panjang 2-5 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, hijau. Bunganya
majemuk, bentuk tandan, kelopak 5-7 mm, berambut, bertaju sempit, runcing,
ungu. Buah berupa polong, bertangkai pendek, pipih, masih muda hijau setelah
tua kuning kecoklatan. Biji berbentuk bulat telur, kuning keputih-putihan. Berakar
4. Khasiat kegunaan
Biji kedelai berkhasiat untuk mencegah kanker, menurunkan tekanan darah tinggi, mencegah dan menurunkan kelebihan kolesterol dalam tubuh, antioksidan, dan mencegah osteoporosis (Dora, 2005).
5. Kandungan kimia
Kedelai mengandung protein, lemak, karbohidrat, mineral (Na, K, Fe), vitamin A, vitamin B, saponin, isoflavonoid, lesitin, glisinin peptida, dan fito-estrogen (Dora, 2005).
B. Penyarian 1. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih untuk melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Anonim, 2000).
Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah : (1) selektivitas
(2) kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut (3) ekonomis
(4) ramah lingkungan
2. Metode ekstraksi dan pemisahan
Dalam analisis fitokimia digunakan jaringan tumbuhan yang masih segar
(Anonim, 1986). Untuk mendapatkan suatu zat dari bahan tanaman perlu
dilakukan penyarian. Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dibedakan
menjadi dua cara yaitu cara dingin dan cara panas.
(1) cara dingin
a. maserasi
maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang
terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan
seterusnya.
b. perkolasi
perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prinsip
perkolasi dengan cara serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana
silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan dialirkan
dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan
melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan
jenuh. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5
kali bahan (Anonim, 1986 ; Anonim, 2000).
(2) cara panas
a. refluks
refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarutnya terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik.
b. soxhlet
soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
c. digesti
digesti adalah maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi dari
temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-
50 °C.
d. infus
infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan
air pada suhu 900C selama 15 menit (Anonim, 1986).
e. dekok
dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
C. Saponin
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang dapat membentuk buih jika
dikocok dalam air. Saponin juga mempunyai sifat hemolisis, dan jika diinjeksikan
langsung ke dalam aliran darah akan sangat toksik, namun akan tidak berbahaya
jika digunakan melalui mulut, karena itu saponin biasa dipakai untuk bahan
tambahan dalam minuman non-alkohol/beverages (Evans, 2002). Saponin
merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi, kemungkinan karena mempunyai
sifat mengiritasi mucosa. Saponin dapat membentuk kompleks dengan asam
empedu dan kolesterol (Nio, 1990). Pada pangan nabati, saponin memberikan rasa
pahit. Saponin larut dalam etanol dan air tetapi tidak larut dalam eter (Robinson,
1991).
Saponin relatif merupakan senyawa yang stabil, tetapi lama-lama mungkin
diubah sebagian ke dalam zat yang tidak aktif. Sarsaparilla yang disimpan selama
50 tahun tetap mempunyai aktivitas penuh seperti aktivitas permulaannya (Evans,
2002).
Saponin mempunyai berat molekul yang tinggi, dan isolasinya yang
membutuhkan kemurnian, cukup sulit. Sebagai glikosida, saponin terhidrolisis
oleh asam, memberikan aglikon (sapogenin) triterpenoid atau steroid, bermacam
gula (glukosa, galaktosa, pentosa, atau metil pentosa) dan asam uronat (Evans,
2002).
Berdasarkan struktur sapogenin, dikenal dua macam saponin, yaitu steroid
mempunyai ikatan glikosida pada C-3 dan mempunyai asal-usul biogenesis
melalui jalur asam mevalonat dan unit isoprenoid (Evans, 2002).
1. Saponin steroid
Saponin steroid lebih sedikit terdistribusi di alam dibandingkan tipe
triterpenoid. Survey fitokimia menunjukkan bahwa saponin steroid terdapat dalam
banyak tumbuhan monokotil, terutama Dioscoreaceae, Amaryllidaceae, dan
Liliaceae. Pada dikotil terdapatnya diosgenin pada Leguminosae dan alkaloid
steroida pada Solanum secara potensial sangat penting. Beberapa spesies
Strophantus dan Digitalis mengandung saponin steroida disamping glikosida
jantung (Evans, 2002).
OH H A B C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 25 26 O O 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 H R2 R1 D E
Gambar 1 : Kerangka steroid
Saponin steroid mempunyai pengaruh yang penting dikarenakan adanya
hubungan dengan beberapa bahan seperti hormon seks, kortison, steroid diuretik,
vitamin D, dan glikosida jantung. Beberapa saponin steroid digunakan sebagai
senyawa awal untuk sintesis bahan-bahan tersebut (Evans, 2002). Saponin steroid
yang penting adalah diosgenin yang terdapat pada akar Dioscorea (yam) dan
pengobatan medis (Mann, 1994). Solasodin (dari Solanum sp.) dan diosgenin
biasa digunakan untuk obat kontrasepsi (Yuliani, 2001).
2. Saponin triterpenoid
Saponin triterpenoid jarang terdapat pada tumbuhan monokotil. Mereka
banyak terdapat pada tumbuhan dikotil. Saponin triterpenoid sering dimanfaatkan
sebagai ekspektoran karena dapat merangsang keluarnya sekret dari bronkial.
Menurut beberapa penelitian, saponin triterpenoid mempunyai aktivitas
antiinflamasi, larvasida, serta dapat meningkatkan eksekresi kolesterol (Anonim,
2006).
Menurut Harborne (1987), banyak triterpenoid dikenal dalam tumbuhan
dan secara berkala senyawa baru ditemukan dan dicirikan. Sampai saat ini hanya
beberapa saja yang diketahui tersebar luas. Senyawa tersebut adalah triterpena
pentasiklik α-amirin dan β-amirin serta asam turunannya, yaitu asam ursolat dan
asam oleanolat. Senyawa ini dan senyawa sekerabatnya terutama terdapat dalam
lapisan malam daun dan dalam buah, seperti apel dan per, dan mungkin mereka
berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba
(Harborne, 1987).
Saponin triterpenoida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yang
OH COOH R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12 13 14 15 16 1 7 1 8 19 20 2 1 2 2 23 24 25 26 27 28 29 30 (1)
C H3
H3C
C H3
C H3 D
H3C C H3
C H3
C H3
C H3
C H3
C H3
H2C
1 3 1 4
1 7 1 9 2 0
E
(2) (3) (4)
Gambar 2 : Kerangka triterpenoid (1), α-amirin (2), β-amirin (3), dan Lupeol (4)
Adanya saponin dalam tanaman juga dapat ditunjukkan dengan beberapa
cara antara lain:
a . indeks buih (foam index)
indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari zat atau obat yang
diperiksa yang akan memberikan suatu lapisan buih yang tingginya 1 cm sampai
10 cm, bila larutan digojok dalam gelas ukur selama 15 detik dan selanjutnya
dibiarkan dulu selama 10 menit sebelum dilakukan pembacaan (Anonim, 1995a).
b. haemolisa
campur bahan yang akan diperiksa dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 ,
Diamkan selama 30 menit, terjadi haemolisa total berarti menunjukkan adanya
saponin (Anonim, 1995a).
c. reaksi warna
reaksi warna dapat digunakan untuk menggolongkan saponin (sapogenin)
yang digunakan untuk membuktikan identitas dari suatu obat, dan jika perlu untuk
memonitor pada waktu pemisahan. Tidak ada reaksi warna yang secara spesifik
untuk tiap jenis saponin. Reaksi berikut ini dapat digunakan yaitu:
1) dengan menggunakan asam asetat anhidrat dan asam sulfat (disebut reaksi
Liebermannn-Burchard). Hasilnya ditunjukkan dengan adanya perubahan
warna yang bergantung dari aglikonnya yaitu, merah muda sampai merah
berarti termasuk golongan triterpenoid. Sedangkan jika warnanya biru hijau
maka menunjukkan adanya senyawa golongan steroid (Bruneton,1999).
2) dengan menggunakan vanillin, anisaldehid, dan aldehid aromatik lainnya yang
ditambah dengan asam mineral kuat. Senyawa yang mengandung saponin
akan berwarna kuat, yang kemungkinan hasil reaksi antara aldehid dan aglikon
(Bruneton,1999).
Uji saponin di atas juga ditunjang dengan cara kromatografi lapis tipis (KLT) atau
pengukuran spektrum (Harborne, 1987).
D. Kecambah
Kecambah merupakan tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji dan
2003). Perkecambahan biji ditandai dengan pecahnya kulit biji dan munculnya
calon tanaman baru.
Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari
perubahan-perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia. Tahap-tahap
perkecambahan meliputi :
1. tahap pertama dari perkecambahan benih dimulai dengan proses
penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari
protoplasma.
2. tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim
serta naiknya tingkat respirasi benih.
3. tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan
seperti karbohidrat, lemak dan protein menjdi bentuk-bentuk yang
melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh.
4. tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan
tadi di daerah meristematik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan
pembentukan komponen dan petumbuhan sel-sel baru.
5. tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses
pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik
tumbuh.
Sementara daun belum dapat berfungsi sebagai organ fotosintesa maka
pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada
Kecambah memperlihatkan bagian-bagian seperti lembaga, karena memang
kecambah berasal dari lembaga. Lembaga adalah calon tumbuhan baru, yang
nantinya akan tumbuh menjadi tumbuhan baru, setelah biji memperoleh
syarat-syarat yang diperlukan. Lembaga memperlihatkan ketiga bagian utama tubuh
tumbuhan, yaitu:
a. akar lembaga atau calon akar (radicula / hipokotil)
b. daun lembaga atau calon daun (cotyledon)
c. batang lembaga (cauliculus)
Batang lembaga beserta calon-calon daun merupakan bagian lembaga yang
dinamakan pucuk lembaga / plumula (Sutopo, 1985 ; Tjitrosoepomo, 2003).
Syarat biji dapat berkecambah bila biji berada dalam keadaaan yang
memenuhi syarat perkecambahan, meliputi kadar air, suhu, cahaya, dan oksigen
(Tjitrosoepomo, 2003). Suhu optimal untuk perkecambahan antara 10-30°C.
Oksigen diperlukan untuk respirasi yang merupakan reaksi pembongkaran atau
pemecahan cadangan makanan. Sedang cahaya diperlukan selama berlangsungnya
perkecambahan. Namun demikian biji dapat berkecambah dengan baik dengan
atau tanpa cahaya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih :
a. faktor dalam, antara lain : tingkat kemasakan benih, ukuran benih,
dormansi.
b. faktor luar, antara lain : air, temperatur, oksigen, cahaya, dan medium.
Kandungan zat gizi pada biji sebelum dikecambahkan berada dalam bentuk
Peningkatan zat-zat gizi pada kecambah mulai tampak sekitar 24-48 jam saat
perkecambahan (Rukmana, 1997).
Pada saat perkecambahan, terjadi hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak
menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, selain
itu juga terjadi peningkatan jumlah protein, sedangkan kadar lemaknya
mengalami penurunan. Ketika biji-bijian dikecambahkan, secara umum kadar
saponinnya meningkat 450%, bahkan meningkatkan jumlah vitamin A sebanyak
300 % (Wahyuni, 2006). Menurut Arisandi dan Andriani (2006), kandungan gizi
yang terdapat pada 100 g biji kedelai yakni protein (34,9 g), kalori (331 kal),
lemak (18,1 g), hidrat arang (34,8 g), kalsium (227 mg), saponin (200 mg), fosfor
(585 mg), vitamin A (110 SI), dan vitamin B1 (1,07 mg).
E. Kromatografi Lapis Tipis
KLT merupakan metode pemisahan komponen-komponen atas dasar
perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah pergerakan pelarut
pengembang atau pelarut pengembang campur. Pemilihan pelarut pengembangan
atau pelarut pengembangan campur sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas
zat-zat kimia yang dipisahkan (Mulja dan Suharman, 1995).
Menurut Gritter, Bobbitt, dan Schwarting (1991), pada hakikatnya KLT
melibatkan dua peubah: sifat fase diam, dan sifat fase gerak atau campuran pelarut
pengembang. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai
Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penjerap pada KLT, tetapi
yang paling umum dipakai adalah sebagai berikut :
a. silika gel (asam silikat)
silika gel merupakan penjerap yang paling banyak dipakai dalam KLT. Sebagian
besar silika gel bersifat sedikit asam, maka asam sering agak mudah dipisahkan,
jadi meminimumkan reaksi asam-basa antara penjerap dan senyawa yang
dipisahkan.
b. alumina
berbeda dengan silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai untuk
pemisahan basa. Cara ini juga meminimumkan reaksi asam-basa.
c. kiselgur dan selulosa
kiselgur dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai
dalam sistem kromatografi cair-cair. Kromatografi jenis ini selalu dipakai untuk
pemisahan senyawa polar seperti asam amino, karbohidrat, nukleotida, dan
berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.
Lapisan penjerap sering mengandung indikator fluoresensi yang
ditambahkan untuk membantu penampakan bercak tidak berwarna pada lapisan
yang telah dikembangkan. Indikator fluoresensi adalah senyawa yang
memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain,
biasanya sinar ultraviolet. Dan biasanya penjerap yang dicampur dengan indikator
fluoresensi diberi tanda F, misalnya silica gel GF. Jika senyawa pada bercak yang
ditampakkan mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatis, maka
tidak ada cahaya yang dipancarkan. Dengan demikian hasilnya ialah bercak gelap
dengan latar belakang yang bersinar. Cara ini sangat peka dan tidak merusak
senyawa yang ditampakkan. Indikator fluoresensi yang paling sering digunakan
adalah sulfida anorganik, yang dapat memancarkan cahaya jika disinari pada 254
nm (Gritter, 1985).
Menurut Mulja dan Suharman (1995), pada sistem KLT dikenal istilah
kecepatan rambat suatu senyawa dan diberi simbol Rf. Harga Rf ini ditentukan
oleh jarak rambat senyawa dari titik awal dan jarak rambat pelarut dari titik awal,
ditulis dengan rumus :
Rf =
Angka Rf berkisar antara 0,00 – 1,00 dan hanya dapat ditentukan dengan dua
desimal. HRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai
berkisar antara 0 – 100 (Harborne, 1987 ; Stahl, 1973).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT yang juga
mempengaruhi harga Rf adalah struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat
dari penjerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari lapisan penjerap,
derajat kemurnian fase gerak, derajat kejenuhan uap dalam bejana pengembangan,
jumlah cuplikan yang digunakan, suhu, kesetimbangan antara atmosfer dalam
bejana jenuh dengan uap pelarut (Sastrohamidjojo, 2002).
Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan
interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT.
Interaksi radiasi elektromagnetik dengan noda pada KLT yang ditentukan adalah
radiasi semula. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif
analit-analit dengan kadar sangat kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu
dengan KLT. Prinsip analisis kuantitatif dengan metode densitometri hampir sama
dengan metode spektrofotometri penentuan kadar analit yang dikorelasikan
dengan area noda pada KLT akan lebih terjamin kesahihannya dibanding metode
KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau KGC (Kromatografi Gas Cair),
sebab area noda kromatogram diukur pada posisi diam (Mulja dan Suharman,
1995).
F. KLT Preparatif
KLT preparatif adalah salah satu metode yang paling mudah dan murah
yang digunakan untuk isolasi komponen suatu senyawa. Tetapi membutuhkan
kerja yang lebih intensif dan tiap-tiap fraksi yang diperoleh hanya dalam jumlah
kecil. Sebenarnya prinsip dasar KLTP sama dengan KLT pada umumnya. Tetapi
ada perbedaan yang paling mendasar yaitu tentang ukuran ketebalan penjerap dan
metode penotolannya. Pada KLTP, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan
berupa garis lurus mendatar pada salah satu sisi pelat lapisan besar dan
dikembangkan secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga campuran akan
terpisah menjadi beberapa pita. Pita akan nampak dengan cara yang tidak merusak
jika senyawa itu berwarna. Setelah itu penjerap yang mengandung pita dikerok
dari pelat kaca. Kemudian cuplikan dielusi dari penjerap dengan pelarut polar.
Cara ini berguna untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memeriksa pengaruh ketebalan
penjerap terhadap kualitas pemisahan tetapi ketebalan yang paling sering dipakai
adalah 0,5 – 2 mm. Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x40
cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran pelat sudah tentu mengurangi
jumlah bahan yang dipisahkan dengan KLTP. Penjerap yang paling umum ialah
silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun
campuran senyawa hidrofil.
Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara pengembangan
berulang. Jika pemisahan secara KLTP telah dicapai, pelat dikeringkan dan
kemudian dimasukkan lagi ke dalam bejana. Bergantung pada Rf pita, proses ini
dapat diulang beberapa kali, walaupun ada kerugian waktu.
Kebanyakan penjerap KLTP mengandung indikator fluoresensi yang
membantu kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan
menyerap sinar UV. Untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV, ada beberapa
pilihan:
a) menyemprot dengan air,
b) menutup pelat dengan sepotong kaca menyemprot salah satu sisi dengan
pereaksi semprot,
c) menambahkan senyawa pembanding (Hostettmann, 1995).
Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok dari pelat dengan spatula
atau pengerok berbentuk tabung yang disambungkan ke pengumpul vakum. Cara
terakhir tidak dapat dilakukan untuk senyawa peka karena penjerap yang
resiko otooksidasi selalu ada. Kemudian senyawa harus diekstraksi dari penjerap dengan pelarut sekitar 5 ml untuk 1 g penjerap. Harus diperhatikan bahwa makin lama senyawa berkontak dengan penjerap makin besar kemungkinan penguraian (Hostettmann, 1995).
G. Spektroskopi Ultra Violet (UV)
Spektroskopi ultra violet merupakan salah satu dari metode analisis yang digolongkan dalam metode spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik UV dekat (190-380 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Pada umumnya konfigurasi dasar setiap spektrofotometer UV berupa susunan peralatan optik yang terkonstruksi dengan susunan tertentu (gambar 3).
Gambar 3 : Bagan spektrofotometer UV berkas ganda (Skoog, et al, 1998)
Dasar dari metode ini adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom, molekul atau ion. Dalam praktek spektrofotometri UV untuk sebagian besar dibatasi pada sistem terkonjugasi (Mulja dan Suharman, 1995).
yang diserap pada frekuensi atau panjang gelombang tertentu sesuai dengan
jumlah molekul yang ada. Hal ini menentukan banyaknya intensitas serapan yang
dinyatakan sebagai transmitan (T), didefinisikan sebagai berikut:
T =
Io I
= 10-ε.b.c………. (1)
dimana Io adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, I adalah
intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan, c adalah konsentrasi, ε adalah daya
serap molar dan b adalah panjang sel.
Rumusan tersebut disempurnakan dalam Hukum Lambert-Beer yang
menyatakan hubungan antara transmisi dengan tebal cuplikan dan konsentrasi
bahan penyerap. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai:
A = log
T 1
= a.b.c ………... (2)
Keterangan:
T = persen transmitan a = daya serap (L/g.cm) c = kadar zat (g/L) b = panjang sel (cm)
A = serapan ( Anonim, 1995b).
Harga ε didefinisikan sebagai daya serap molar. Harga ε adalah
karakteristik untuk molekul atau ion penyerap dalam pelarut tertentu, pada
panjang gelombang tertentu dan tidak bergantung pada konsentrasi dan panjang
gelombang lintasan radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).
ε =
Bila diketahui konsentrasi (c) larutan dalam gram per liter (g/L), maka
persamaan Lambert-Beer dapat ditulis menjadi,
A = A(1%,1cm).b.c ……… (3)
A adalah serapan; A(1%,1cm) adalah serapan jenis dari larutan 1% zat terlarut
dalam sel dengan ketebalan 1 cm; b adalah panjang sel dalam cm; dan c adalah
kadar dalam g/L zat (Anonim, 1995b).
Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik bila mempunyai
kromofor yakni gugus penyerap dalam molekul. Pada senyawa organik dikenal
pula gugus auksokrom yaitu gugus fungsional yang tidak menyerap radiasi namun
bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau
merubah panjang gelombang serapan dan intensitas ketika bergabung dengan
kromofor, misal –OCH3, -Cl, -OH dan –NH3 (Christian, 2004).
Pergeseran serapan ada 4 macam yaitu pergeseran batokromik, pergeseran
hipsokromik, hiperkromik, dan hipokromik. Pergeseran batokromik adalah
pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi
atau pengaruh pelarut. Pergeseran hipsokromik adalah pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut,
misalnya dari pelarut nonpolar ke pelarut polar (Sastrohamidjojo, 2001). Efek
hiperkromik adalah kenaikan intensitas serapan. Efek hipokromik adalah
penurunan intensitas serapan (Connors, 1982).
Transisi elektronik senyawa organik yang dapat terjadi yaitu transisi dari
Gambar 4 : Tingkat energi elektron molekul (Skoog, et al, 1998)
1. transisi elektron n→ π*, meliputi transisi elektron-elektron heteroatom tak
berikatan ke orbital antibonding π* seperti N, S, O, dan Halogen. Serapan ini
terjadi pada panjang gelombang yang panjang dan intensitasnya rendah
2. transisi elektron n→ σ*. Senyawa-senyawa jenuh yang mengandung
heteroatom memiliki elektron-elektron nonbonding, disamping elektron σ,
yang dapat dipromosikan pada panjang gelombang yang pendek, ke keadaan
antibonding σ*. Transisi ini terjadi pada panjang gelombang di bawah 200 nm.
3. transisi elektron π→π*, terjadi pada elektron di orbital π, yaitu pada ikatan
rangkap dua dan rangkap tiga. Eksitasi ini paling mudah terbaca dan
bertanggung jawab terhadap spektra elektronik dalam daerah UV dan tampak
4. transisi elektron σ→ σ*, terjadi pada elektron yang mempunyai ikatan
tunggal kovalen. Tingkat energi yang dibutuhkan untuk eksitasi ini sangat
besar dan absorpsi elektron σ untuk bertransisi yaitu pada panjang gelombang
sekitar 150 nm (Christian, 2004 ; Sastrohamidjojo, 2001).
H. KETERANGAN EMPIRIS
Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tipe saponin pada kecambah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian non-eksperimental,
karena di dalam penelitian ini tidak dilakukan manipulasi atau intervensi terhadap
subjek uji.
B. Definisi Operasional
1. Identifikasi organoleptik dan makroskopik adalah cara untuk menentukan ciri
khas simplisia yang dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap rasa, warna,
bau, dan bentuk dari kecambah kedelai.
2. Uji buih adalah cara untuk mengetahui adanya saponin dengan menggojok
ekstrak air dari kecambah kedelai dalam tabung reaksi sampai terbentuk busa
yang mantap selama 10 menit.
3. Isolasi saponin kecambah kedelai adalah proses pengambilan saponin dari
kecambah kedelai dengan cara kromarografi lapis tipis preparatif.
4. Karakteristik saponin kecambah kedelai secara KLT adalah hasil KLT yang
didapatkan berupa warna bercak dan Rf saponin kecambah kedelai.
5. Karakteristik saponin kecambah kedelai secara spektroskopi UV adalah hasil
spekra isolat saponin kecambah kedelai berupa serapan maksimum pada
C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian
a. bahan utama : kecambah kedelai varietas Galunggung yang bijinya diambil
dari Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman
Pangan, Gunungkidul, Yogyakarta.
b. bahan kimia yang digunakan, kecuali disebut lain, berderajat pro analisis,
yaitu: aquadestilata (diambil dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia
Fakultas Farmasi USD), asam asetat anhidrida, asam sulfat, asam klorida,
kloroform, metanol, n-butanol, etanol, natrium sulfat anhidrat, silika gel
GF254, anisaldehid, Succus Liquiritae sebagai pembanding yang diambil dari
Laboratorium Farmasetika Fakultas Farmasi USD (asal
BRATACO/pharmaceutical grade).
2. Alat Penelitian
Bakul bambu, neraca analitik (Metler Toledo), kompor, alat hidrolisis /
pendingin balik, magnetic stirrer, oven, penangas air, atomizer, mikropipet,
sinterred glass, lampu UV 254 nm, alat untuk fotografi, spektrofotometer
UV-Vis Lambda 20 (Perkin Elmer) dan kuvet (Quartz), serta peralatan gelas
(pipet, tabung reaksi, Erlenmeyer, corong pisah, gelas Baker, dan lain-lain).
D. Jalan Penelitian 1. Identifikasi Tanaman
Identifikasi tanaman dilakukan di Balai Pengembangan dan Promosi
Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan di Gunung Kidul, Yogyakarta untuk
2. Pengumpulan Bahan dan Proses Perkecambahan
Pengumpulan biji kedelai dilakukan dan diambil dari Balai
Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan di
Gunung Kidul, Yogyakarta. Kedelai yang digunakan adalah kedelai varietas
Galunggung. Biji dipilih yang baik untuk dikecambahkan
Proses pembuatan kecambah kedelai adalah dengan merendam biji
kedelai dalam air secukupnya selama satu malam. Simpan biji kedelai di
tempat yang gelap dan lembab dengan menggunakan bakul dari bambu.
Usahakan biji tetap dalam keadaan lembab dengan menyiraminya setiap 5 jam
sekali. Biji mulai berkecambah setelah 24 jam, dan kecambah siap dipakai
setelah 3 hari (Adisarwanto, 2005).
3. Pemeriksaan Organoleptik dan Makroskopik
Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan berdasarkan
pengamatan terhadap rasa, warna, bau, dan bentuk kecambah kedelai.
4. Uji Saponin a. Uji buih
Sebanyak 1 g kecambah yang akan diperiksa dihancurkan kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas,
didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk buih
yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit (Anonim, 1995)
b. Reaksi Liebermann – Burchard
Sejumlah 1 g bahan dipanasi dengan 1 ml asam asetat anhidrida,
senyawa steroid akan terbentuk warna hijau biru, atau akan terbentuk
warna merah muda sampai merah jika mengandung senyawa triterpenoid
(Bruneton, 1999).
c. Reaksi Salkowski
Sebanyak 1 g kecambah kedelai utuh dan kecambah kedelai yang
telah dihancurkan, secara terpisah ditambah kloroform, kemudian
ditambahkan 1 ml asam sulfat pekat. Apabila terbentuk warna kuning yang
lama-kelamaan berubah menjadi merah tua membuktikan adanya senyawa
triterpenoid (Paech and Tracey, 1955).
5. Hidrolisis Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae
Sejumlah 8 g kecambah kedelai dan 5 g Succus Liquiritae dihidrolisis
secara terpisah dengan 50 ml HCl 1 M selama 2 jam dengan menggunakan
pendingin balik kemudian didinginkan (Harborne, 1987).
6. Ekstraksi Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae
Hidrolisat yang diperoleh dituang ke dalam Erlenmeyer bertutup,
ditambahkan kloroform 30 ml dan diaduk menggunakan magnetic stirrer
selama 30 menit. Fase kloroform yang terbentuk dipisahkan dengan corong
pisah, larutan fase air asam diekstraksi ulang dengan kloroform sebanyak 3
kali. Fase kloroform yang diperoleh ditambah dengan natrium sulfat anhidrat
lalu disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan di atas penangas air. Hasil yang
diperoleh adalah fraksi kloroform kecambah kedelai dan Succus Liquiritae
7. Pemeriksaan Pendahuluan Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis Pemisahan dengan metode KLT ini menggunakan fase diam silika gel
GF254 dan fase gerak kloroform-metanol (95:5 v/v). Pada titik pertama
lempeng ditotolkan fraksi kloroform pembanding Succus Liquiritae sebanyak
5 µl dan pada titik kedua ditotolkan fraksi kloroform kecambah kedelai
sebanyak 10 µl. Jarak penotolan 1,5 cm dari tepi bawah lempeng dengan jarak
pengembangan 10 cm. Setelah eluasi mencapai batas tersebut, lempeng
diangkat dan dikeringkan, kemudian dimasukkan kembali dalam bejana.
Pengembangan berulang dilakukan 2x. Setelah 2x pengembangan, lempeng
dikeringkan, lalu diamati di bawah lampu UV 254 nm. Selanjutnya disemprot
dengan pereaksi anisaldehida-asam sulfat LP, dipanaskan pada suhu 110°C
selama 5-10 menit lalu diamati dengan sinar tampak.
8. Isolasi Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Isolasi atau pemisahan dari senyawa-senyawa lain dilakukan dengan
metode kromatografi lapis tipis preparatif. Fase diam yang digunakan adalah
silika gel GF254 pada lempeng berukuran 20x20 dengan ketebalan 0,5 mm dan
fase geraknya adalah kloroform:metanol (95:5 v/v).
Pada lempeng dilakukan penotolan 10 µl fraksi kloroform berbentuk
pita, kemudian dikembangkan dengan fase gerak. Setelah pemisahan KLTP
dicapai, pelat dikeringkan kemudian dimasukkan lagi ke dalam bejana.
Pengembangan berulang dilakukan sebanyak 2x.
Setelah pelat dikeringkan, pita yang menunjukkan hasil Rf yang sama
cara kerokan dimasukkan ke dalam sinterred glass lalu ditambah kloroform 5
x 20 ml, lalu disaring. Cairan hasil penyaringan diuapkan di atas penangas air
sampai kering.
Filtrat hasil penguapan diencerkan dengan kloroform kemudian
dilakukan kembali isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 pada lempeng berukuran
20x20 dengan ketebalan 0,5 mm dan fase geraknya adalah n butanol:etanol:air
(7:2:5 v/v). Pada lempeng dilakukan penotolan 10 µl fraksi kloroform
berbentuk pita, kemudian dikembangkan dengan fase gerak.
Setelah pelat dikeringkan, pita yang menunjukkan hasil Rf yang sama
dengan KLT pendahuluan dikerok dan dikumpulkan, kemudian disari dengan
cara kerokan dimasukkan ke dalam sinterred glass lalu ditambah kloroform 5
x 20 ml, dan disaring. Cairan hasil penyaringan diuapkan di atas penangas air
sampai kering. Filtrat ini disebut isolat saponin kecambah kedelai dan Succus
Liquiritae.
9. Uji Kemurnian dengan KLT Multi-eluen
Pemisahan dengan metode KLT multi eluen ini menggunakan fase diam
silika gel GF254 dan 3 komposisi fase gerak, yaitu :
1. kloroform:metanol (95:5 v/v),
2. kloroform:metanol:air (64:50:10 v/v), dan
3. n-butanol:etanol:air (7:2:5 v/v) (Stahl, 1973 ; Wagner, 1999 ; Gasparic,
Pada titik pertama lempeng ditotolkan pembanding dan pada titik kedua
ditotolkan isolat saponin kecambah kedelai. Kedua cuplikan ditotolkan dengan
jumlah yang sama yaitu 10 µl dengan jarak penotolan 1,5 cm dari tepi bawah
lempeng. Selanjutnya lempeng dielusi dengan fase gerak dengan batas elusi 10
cm. Setelah eluasi mencapai batas tersebut, lempeng diangkat dan dikeringkan
di udara selama 10 menit, lalu diamati dengan sinar tampak, di bawah lampu
UV 254 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam sulfat
LP, dipanaskan pada suhu 110°C selama 5-10 menit lalu diamati dengan sinar
tampak.
10. Spektroskopi Ultra Violet (UV)
Isolat yang berisi saponin kecambah kedelai diencerkan dengan etanol,
larutan ini kemudian dibaca serapannya dengan spektrofotometer UV pada
panjang gelombang 220-350 nm.
E. Tata Cara Analisis Hasil
Data yang telah diperoleh berupa data kualitatif dan akan dipaparkan secara
deskriptif komparatif, yakni dengan menggambarkan secara apa adanya hasil yang
diperoleh dan dibandingkan dengan standar/pembanding yang sesuai.
Analisis kandungan kimia kecambah kedelai, dalam hal ini untuk
mengetahui golongan saponin dilakukan dengan cara uji pendahuluan yang berupa
uji buih dan reaksi warna (reaksi Liebermann-Burchard dan reaksi Salkowski).
Selain itu untuk analisis golongan saponin pada kecambah kedelai dilakukan juga
kedelai dan ekstrak Succus Liquiritae (yang digunakan sebagai pembanding)
secara kualitatif.
Isolasi saponin kecambah kedelai dilakukan dengan metode KLT
preparatif, sedangkan uji kemurnian isolat dengan menggunakan metode KLT
multi-eluen. Analisis hasil KLT multi-eluen dilihat dari kromatogramnya yang
hanya menghasilkan satu bercak. Untuk menambah data dilakukan juga analisis
secara kualitatif dengan menggunakan spektrofotometri UV untuk melihat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Tanaman
Berdasarkan hasil identifikasi tanaman yang dilakukan di Balai
Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan, Gunung
Kidul, Yogyakarta, maka dapat diperoleh kepastian bahwa tumbuhan yang
diidentifikasi adalah Glycine max L. (Lampiran 1)
B. Pengumpulan Bahan dan Proses Perkecambahan
Bahan yang digunakan adalah biji kedelai yang diambil dari Balai
Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Tanaman Pangan di daerah
Gading, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Untuk membuat kecambah tidak dikhususkan menggunakan varietas
tertentu. Maka dalam penelitian ini digunakan biji kedelai varietas Galunggung
dengan alasan biji kedelai varietas ini lebih besar dari biji kedelai varietas lain,
sehingga diharapkan saponin yang terkandung lebih banyak.
Proses pembuatan kecambah dilakukan dengam menggunakan biji kedelai
yang baik, artinya biji tidak busuk dan berbentuk baik. Biji kemudian dicuci
bersih dan direndam dalam air secukupnya selama 1 malam. Proses perendaman
ini bertujuan supaya biji menarik air dan kulit bijinya melunak, sehingga dapat
berkecambah. Setelah perendaman selama 1 malam, biji disebar di atas daun
pisang, kemudian disimpan dalam ruang gelap. Biji disebar supaya semua biji
mendapat udara, dan disimpan dalam ruang gelap agar biji dapat berkecambah
dengan baik. Biji kedelai disiram air tiap 5 jam sekali dengan alasan supaya biji
tetap dalam lingkungan yang lembab, sebab jika terlalu sering disiram biji akan
terlalu basah sehingga busuk dan tidak dapat berkecambah. Biji kedelai mulai
berkecambah setelah 1 hari, dan kecambah dapat digunakan setelah 3 hari.
C. Pemeriksaan Organoleptik dan Makroskopik
Pemeriksaan oganoleptik dan makroskopik kecambah kedelai dilakukan
untuk mengetahui ciri-ciri dari kecambah kedelai berdasarkan pengamatan
terhadap bentuk, rasa, warna, dan bau dari kecambah kedelai (Tabel I).
Tabel I : Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik terhadap kecambah kedelai
Pemeriksaan Kecambah kedelai
Rasa Tawar, agak pahit
Warna Putih kekuningan
Bau Langu
Bentuk Radikel berwarna putih dengan panjang ± 4 cm ; kotiledon berwarna kekuningan dengan bentuk cembung pada satu sisi dan rata pada sisi lain, jumlah dua, dan duduk berhadapan pada sisi yang rata ; ruas batang lembaga di atas kotiledon (internodium epicotylum)
Kecambah yang digunakan pada penelitian ini dipilih yang baik.
Sebelumnya, kulit biji dibersihkan. Tidak ada definisi spesifik mengenai
kecambah yang baik, karena itu pada penelitian ini kecambah yang dipilih adalah
yang segar/tidak layu, kotiledon tidak rusak, utuh, tidak lembek, serta tidak ada
D. Uji Saponin 1. Uji buih
Pemeriksaan uji saponin secara sederhana dilakukan terhadap kecambah
kedelai yang telah dihancurkan. Hasil uji buih pada awal menit pertama timbul
buih dengan tinggi lebih kurang 1,5 cm dan setelah dibiarkan 10 menit, buih tetap
ada dengan tinggi yang sama. Hasil yang diperoleh sesuai dengan ketentuan
(Anonim, 1995). Ini menunjukkan bahwa kecambah kedelai mengandung saponin.
Buih dapat terbentuk karena saponin mempunyai sifat dapat menurunkan
tegangan permukaan air. Seperti sabun, saponin mempunyai molekul besar yang
mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik. Dalam air, molekul saponin
mensejajarkan diri secara vertikal pada permukaannya, dengan gugus lipofilik
menjauhi air (gambar 4).
OH COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8
2 9 3 0
O H H
g u gu s h id ro filik
g ug u s lip o
filik
gu gus hid ro filik
O H H
Gambar 5 : Mekanisme terbentuknya buih
Adsorpsi molekul saponin pada permukaan air dapat mengakibatkan penurunan
tegangan permukaan air yang dapat menimbulkan buih. Buih merupakan suatu
dalam lapisan tipis cairan, dispersi gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu
zat penurun tegangan permukaan, dalam hal ini adalah molekul saponin.
2. Reaksi Liebermann-Burchard
Uji reaksi ini dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya senyawa
triterpenoid atau steroid dalam kecambah kedelai karena reaksi ini positif dengan
kebanyakan triterpenoid dan steroid. Setelah kecambah kedelai dihancurkan
kemudian dipanaskan dengan asam asetat anhidrat, lalu ditambah asam sulfat
pekat yang berfungsi sebagai katalis menghasilkan warna merah ungu (gambar 5).
Hal ini menunjukkan bahwa kecambah kedelai mengandung triterpenoid.
Substitusi H pada gugus hidroksi dari glikosida saponin triterpenoid dengan gugus
CH3COO- tersebut menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan
transisi elektron ke tingkat eksitasi menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, panjang
OH COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
(C H3 C O )2O
COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
CH3C OO
+ CH3COOH Asam asetat anhidrat
+
Glikosida saponin triterpenoid
Glikosida saponin triterpenoid
H2SO4
(warna merah ungu)
Gambar 6: Reaksi saponin triterpenoid dengan reagen Liebermann-Burchard
3. Reaksi Salkowski
Reaksi ini untuk mempertegas bahwa senyawa yang terdapat dalam
kecambah kedelai adalah triterpenoid. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil positif
adanya warna kuning kecoklatan yang lama-kelamaan berubah menjadi merah tua
setelah ditambah asam sulfat pekat. Kloroform digunakan sebagai pelarut, karena
saponin yang terdapat dalam kecambah kedelai larut dalam kloroform. Sedangkan
asam sulfat pekat yang ditambahkan digunakan sebagai oksidator. Dari warna
Deprotonisasi H pada glikosida saponin triterpenoid kemungkinan menyebabkan
perpanjangan gugus kromofor sehingga intensitas warna yang terjadi meningkat.
OH COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
+ H2SO4
-H+ COO H R2 R1 H A B C D E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 O
Glikosida saponin triterpenoid
Glikosida saponin triterpenoid
(warna merah tua)
Gambar 7 : Reaksi Salkowski
E. Hidrolisis Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae Untuk mendapatkan saponin dari kecambah kedelai dan Succus Liquiritae,
maka dilakukan hidrolisis, karena dengan hidrolisis saponin dapat terurai menjadi
bagian-bagiannya yaitu glikon dan aglikon. Saponin terhidrolisis dalam suasana
asam, maka untuk menghidrolisis saponin dalam kecambah kedelai dan Succus
Liquiritae digunakan asam klorida 0,1 M untuk memberi suasana asam. Hidrolisis
dilakukan selama 2 jam menggunakan alat pendingin balik. Untuk mengetahui
Kecambah kedelai yang berwarna kekuningan setelah hidrolisis berubah menjadi
coklat. Namun untuk lebih memastikan terjadinya hidrolisis, maka dapat
dilakukan perbandingan KLT sebelum dan sesudah hidrolisis. Biasanya harga Rf
suatu senyawa setelah dihidrolisis akan lebih rendah. Maka dari itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan telah terjadinya hidrolisis
saponin pada kecambah kedelai dan Succus Liquiritae.
Pembanding yang digunakan dalam penelitian ini adalah Succus Liquiritae.
Serbuk Succus Liquiritae diperlakukan sama dengan sampel kecambah kedelai.
Succus Liquiritae merupakan ekstrak kering akar segar Glycyrrhiza glabra L.
yang mengandung saponin glisirisin. Saponin glisirisin dari Succus Liquiritae
terhidrolisis dalam suasana asam menghasilkan aglikon asam β-glisiretinat yang
merupakan derivat triterpen pentasiklik dengan tipe β-amirin dan glikon berupa 2
mol asam glukoronat (Anonim, 1995b ; Robbers, et al, 1996 ; Stahl, 1973).
Saponin dari Succus Liquiritae inilah yang digunakan sebagai pembanding
terhadap saponin kecambah kedelai karena menurut uji pendahuluan dengan
reaksi Lieberman-Burchard dan reaksi Salkowski, kecambah kedelai mengandung
senyawa saponin triterpenoid. Dengan alasan ini, Succus Liquiritae digunakan
sebagai pembanding untuk melihat apakah saponin kecambah kedelai mempunyai
H O
H
C O O H
O
Gambar 8 : Kerangka asam glisiretinat
O OH OH COOH OH H O H O OH O OH COOH COOH H+
Kalor H O
H
C O O H
O
glisirisin (asam glisirizinat) asam glisiretinat
+
O OH COOH OH OH H O H O OH OH COOH 2 mol asam glukoronatGambar 9 : Mekanisme hidrolisis Succus Liquiritae dalam suasana asam
F. Ekstraksi Saponin Kecambah Kedelai dan Succus Liquiritae Hidrolisat yang diperoleh dari hidrolisis didinginkan untuk selanjutnya
dengan alasan agar semua hasil hidrolisis tersari oleh kloroform. Pemakaian
kloroform dipilih karena saponin larut dengan baik dalam pelarut non polar,
selain itu karena kloroform tidak campur dengan air dan mudah diuapkan.
Setelah penyarian dengan kloroform, fraksi kloroform kecambah kedelai
dan Succus Liquiritae yang terkumpul ditambahkan natrium sulfat anhidrat,
diaduk, kemudian disaring. Tujuan penambahan natrium sulfat anhidrat adalah
untuk menarik sisa-sisa air yang kemungkinan masih ada di dalam ekstrak.
Kemudian filtrat diuapkan di atas penangas air untuk dilakukan pemeriksaan
berikutnya.
G. Pemeriksaan Pendahuluan Saponin dengan KLT
Pemeriksaan pendahuluan dengan KLT dimaksudkan untuk
membandingkan adanya saponin yang sama antara fraksi kloroform kecambah
kedelai dan pembanding fraksi kloroform Succus Liquiritae. Fase diam yang
digunakan adalah silika gel GF254 dan fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v).
Silica gel GF254 merupakan silica gel yang mengandung perekat CaSO4 dan
indikator fluoresensi, sehingga jika dideteksi pada UV 254 nm silica gel akan
berfluoresensi sedangkan bercaknya akan memadamkan fluoresensi. Fase gerak
yang digunakan bersifat non polar sehingga sistem KLT ini merupakan
kromatografi fase normal. Saponin setelah proses hidrolisis cenderung bersifat
non polar, sehingga dengan fase gerak yang digunakan juga bersifat non polar
diharapkan saponin terelusi dengan baik. Fraksi kloroform kecambah kedelai dan
Succus Liquiritae masing ditotolkan 10 µl dengan menggunakan mikropipet
(1) (2)
Gambar 10 : KLT pendahuluan
Keterangan :
A = fraksi kloroform Succus Liquiritae (pembanding) B = fraksi kloroform kecambah kedelai (sampel) Deteksi:
(1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm
(2) Deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit, dilihat dengan sinar tampak
Fase diam : silika gel GF254
Tabel II : Hasil kromatogram KLT pendahuluan dengan menggunakan fase diam silica gel GF254 dan fase gerak kloroform:metanol (95:5 v/v)
Nama bercak
Nomor bercak
Rf UV 254 nm Anisaldehid-asam sulfat
A 1
2 3 4 5 6 0,25 0,32 0,38 0,49 0,65 0,92 Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Kuning Kuning Coklat pucat Biru-ungu - Coklat tua
B 1
2 3 4 5 6 0,19 0,34 0,50 0,65 0,81 0,95 Ungu Ungu Ungu - Ungu Ungu - Coklat pucat Biru-ungu Coklat - Coklat tua Keterangan :
A = fraksi kloroform Succus Liquiritae (pembanding)
B = fraksi kloroform kecambah kedelai (sampel) Deteksi : (1) Dilihat dibawah sinar UV 254 nm
(2) Pereaksi anisaldehid-asam sulfat, dipanaskan 110°C selama 5-10 menit
Dari hasil kromatogram yang menghasilkan banyak bercak tersebut
terdapat beberapa bercak yang mempunyai Rf dan warna yang sama. Bercak
tersebut adalah A4 dengan Rf 0,49 dan B3 dengan Rf 0,50 yang berwarna biru–
ungu, serta bercak A6 dengan Rf 0,92 dan B6 dengan Rf 0,95 dengan warna
coklat tua. Menurut Stahl (1985), bercak asam glisiretinat yang merupakan
saponin golongan triterpenoid berwarna biru-ungu dengan hRf sekitar 20-30 pada
fase diam silica gel GF254 asam (yang dibuat dengan asam o-fosfat 0,25 % sebagai
pengganti air) dan fase gerak kloroform:metanol (95 : 5 v/v), pengembangan 2x
suhu percobaan 20°C, dan deteksi dengan anisaldehid-asam sulfat (dipanaskan
selama 5 menit pada suhu 105°C). Maka kedua bercak A4 dan B3 yang mendekati
penelitian dengan literatur mungkin karena fase diam yang dipakai berbeda, juga
kondisi percobaan yang berbeda karena pada penelitian suhu yang dipakai adalah
suhu ruangan (± 25-27°C), sehingga memungkinkan terjadinya Rf lebih tinggi.
Selain itu dari hasil penelitian sebelumnya tentang saponin, menyatakan bahwa
hRf saponin triterpenoid golongan β-amirin sekitar 55 dengan warna kebiruan
setelah dideteksi dengan anisaldehid-asam sulfat (Yanuarsih, 2001).
H. Isolasi Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Isolasi dengan kromatografi lapis tipis preparatif dilakukan untuk
memperoleh isolat yang mengandung saponin yang dimaksud. Fase diam yang
digunakan adalah silika gel GF254 pada plate kaca 20 x 20 cm. Fase gerak yang
digunakan pada tahap pertama adalah kloroform:metanol (95:5 v/v) karena pada
KLT pendahuluan menghasilkan pemisahan yang cukup baik. Setelah
pengembangan berulang sebanyak 2x, hasil eluasi yang menunjukkan Rf yang
sama dengan KLT pendahuluan kemudian dikerok dengan hati-hati menggunakan
spatula dan dikumpulkan. Pengembangan berulang dimaksudkan untuk mencapai
keefisienan pemisahan, karena semakin banyak dilakukan pengembangan
berulang, pemisahan senyawa semakin baik. Dalam penelitian ini, 2x
pengembangan sudah menghasilkan pemisahan yang cuku