• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh: ERNY UNTARI S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh: ERNY UNTARI S"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DAN TIPE

JIGSAW PADA PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI SIKAP SISWA TERHADAP

MATEMATIKA SISWA SMP DI KABUPATEN MAGETAN

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

ERNY UNTARI S851008021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

2012

(3)
(4)

commit to user

ABSTRAK

Erny Untari. S851008021. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan Tipe Jigsaw pada Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Sikap Siswa Terhadap Matematika Siswa SMP di Kabupaten Magetan. Pembimbing I: Dr. Mardiyana, M.Si.

Pembimbing II: Drs. Suyono, M.Si. Tesis. Program Studi Pendidikan Matematika. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Manakah model pembelajaran yang memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik, model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. (2) Manakah yang memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang mempunyai sikap terhadap matematika tinggi, sedang, atau rendah. (3) Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan sikap siswa terhadap matematika pada prestasi belajar matematika.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP di Kabupaten Magetan. Pengambilan sampel menggunakan teknik stratified cluster random sampling. Instrumen untuk mengumpulkan data adalah angket sikap siswa terhadap matematika dan tes prestasi belajar. Uji coba instrumen tes meliputi validitas isi, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan reliabilitas. Uji coba instrumen angket meliputi validitas isi, konsistensi internal, dan reliabilitas. Uji prasyarat meliputi uji normalitas menggunakan metode Lilliefors dan uji homogenitas variansi menggunakan metode Bartlett. kesimpulan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen.

Uji keseimbangan menggunakan uji-t diperoleh kesimpulan bahwa kedua kelas eksperimen mempunyai kemampuan awal yang seimbang.

Pengujian hipotesis menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama, diperoleh simpulan bahwa (1) Prestasi belajar siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. (2) Prestasi belajar siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki sikap terhadap matematika sedang maupun rendah, dan prestasi belajar siswa yang memiliki sikap terhadap matematika sedang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki sikap terhadap matematika rendah. (3) Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan sikap siswa terhadap matematika pada prestasi belajar matematika, (a) Pada siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang, maupun rendah, prestasi belajar siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. (b) Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw, prestasi belajar siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi lebih baik

(5)

dibandingkan siswa yang memiliki sikap terhadap matematika sedang maupun rendah, dan prestasi belajar siswa yang memiliki sikap terhadap matematika sedang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki sikap terhadap matematika rendah.

Kata kunci: STAD, Jigsaw, Sikap, Prestasi Belajar.

(6)

commit to user

ABSTRACT

Erny Untari. S851008021. The Effectiveness of Cooperative Learning Model of Student Teams Achievement Divisions (STAD) and Jigsaw Type on Mathematics Achievement Viewed of Attitude Towards Mathematics of Junior High School Students in Magetan Regency. 1st Advisor:

Dr. Mardiyana, M.Si. 2nd Advisor: Drs. Suyono, M.Si. Thesis. Mathematics Education. Postgraduate Program of Sebelas Maret University. Surakarta.

2012.

The purposes of this study are to determine: (1) which one have a better mathematics achievement, students who taught by cooperative learning model STAD or Jigsaw type. (2) which one have a better mathematics achievement, students who have high, middle, or low attitude towards mathematics. (3) is there any interaction between learning model and attitude towards mathematics on mathematics achievement.

This study is a quasi experimental research. The population of this study is students on VIII grade of junior high school in Magetan Regency. Sampling was done by stratified cluster random technique. The instruments used to collect data

are questionnaire mathematics and mathematics

achievement test. The trial of test instrument includes content validity, difficulty level, discrimination power, and reliability. The trial of questionnaire instrument includes content validity, internal consistency, and reliability. The requirements test for data includes the normality test using Lilliefors method and the homogenity variance test using Bartlett method. Using = 0.05, it can be concluded that samples come from the population with normal distribution and have homogen variance. The balance test of students prior knowledge data uses t- test and concludes that two of experimental classes have balance prior knowledge.

The testing of hypothesis uses three-way analysis of variance with unequal cell and concludes that (1) Students taught by cooperative learning model of Jigsaw type have better mathematics achievement than students who taught by cooperative learning model of STAD type. (2) Students who have high attitude towards mathematics have better mathematics achievement than students who have middle and low attitude towards mathematics, also students have middle attitude towards mathematics have better mathematics achievement with students who have low attitude towards mathematics. (3)

learning model and attitude towards mathematics on mathematics achievement, (a) On students have high, middle, and low attitude towards mathematics, students who taught by cooperative learning model of Jigsaw type have better mathematics achievement than students who taught by cooperative learning model of STAD type. (b) On cooperative learning model STAD and Jigsaw type, students who have high attitude towards mathematics have better mathematics achievement than students who have middle and low attitude towards mathematics, also

(7)

students who have middle attitude towards mathematics have better mathematics achievement with students who have low attitude towards mathematics

Keywords: STAD, Jigsaw, Attitude, Mathematics Achievement.

(8)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan matematika diberikan dengan maksud untuk meningkatkan dan mempertinggi kualitas atau mutu pelajaran dalam proses pembelajaran. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang amat pesat, baik materi maupun kegunaannya.

Usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia yang berkualitas terus diupayakan oleh berbagai pihak, ada yang mendasarkan upayanya pada pengalaman lapangan yang pada umumnya dilakukan oleh guru yang berpengalaman, ada pula yang mendasarkan upayanya pada teori-teori yang dikembangkan yang pada umumnya dilakukan oleh pemerintah dan ada pula yang mendasarkan upayanya pada keduanya yakni pengalaman lapangan dan teori-teori tertentu yang biasanya dilakukan oleh peneliti. Khususnya pendidikan matematika, upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain melakukan perubahan kurikulum secara teratur, melaksanakan penataran-penataran guru matematika, melengkapi perlengkapan sekolah termasuk di dalamnya alat peraga matematika, mengirim tenaga kependidikan ke luar negeri untuk mengikuti berbagai kegiatan workshop, seminar, studi lanjut, dan sebagainya.

Mata pelajaran matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Pada Ujian Nasional, sebagian siswa menganggap bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang mempunyai

(9)

tingkat kesulitan cukup tinggi dibanding pelajaran IPA maupun Bahasa Indonesia, meskipun dari segi nilai tidak banyak perbedaan. Hal ini dapat dilihat pada hasil Nilai Ujian Nasional Di SMP Kabupaten Magetan. Nilai rata-rata Ujian Nasional pada tahun ajaran 2009/2010 untuk mata pelajaran Matematika adalah 6,76, nilai rata-rata IPA adalah 6.80, dan nilai rata-rata Bahasa Indonesia 7,82. Dari data nilai tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata mata pelajaran matematika lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata mata pelajaran IPA dan mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Banyak orang memandang matematika sebagai bidang studi yang sulit.

Meskipun demikian, semua orang harus mempelajarinya karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Seperti halnya bahasa, membaca, dan menulis, kesulitan belajar matematika harus diatasi sedini mungkin.

Pelajaran matematika di SMP khususnya kelas VIII, salah satunya membahas pokok materi persamaan garis lurus. Materi ini penting untuk dipelajari, karena pokok bahasan persamaan garis lurus merupakan materi yang selalu digunakan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jika pokok bahasan persamaan garis lurus ini dapat dikuasai siswa dengan baik pada tingkat SMP, maka siswa tidak akan mengalami kesulitan untuk materi yang sama pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tentunya harapan untuk menghasilkan prestasi yang lebih baik untuk pelajaran matematika terbuka lebar, sehingga menghasilkan prestasi yang lebih tinggi dibanding pelajaran lain. Pada materi persamaan garis

(10)

commit to user

lurus, persentase penguasaan materi di Kabupaten Magetan juga masih rendah.

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut :

Tabel 1.1. Persentase Penguasaan Materi Soal Matematika Ujian Nasional SMP Kabupaten Magetan Tahun Pelajaran 2009/2010

NO Kemampuan Yang Diuji Rayon Prop. Nas.

1 Menentukan gradien garis lurus 58,66 75,42 73,62 2 Menentukan persamaan garis pada grafik 42,21 68,23 65,38 3 Menentukan grafik dari persamaan suatu

garis

47,28 69,78 67,53

(Sumber: Badan Standar Nasional Pendidikan)

Dalam praktik pelajaran di kelas, banyak dijumpai siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika. Upaya memahami tentang kesulitan belajar, adalah upaya bantuan yang dapat diberikan, yaitu bagi siswa yang memiliki prestasi rendah melalui berbagai model pembelajaran yang terutama pada mata pelajaran matematika di sekolah. Usaha meningkatkan prestasi belajar siswa dibantu dengan banyak diberi latihan dengan bimbingan di dalam menghadapi materi pelajaran di sekolah serta memberikan motivasi. Di samping itu perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga dapat merangsang kreativitas siswa dalam belajar dan siswa dapat semakin berkembang serta hambatan berupa kesulitan belajar yang dialami siswa berkurang. Akhirnya siswa dapat mencapai tujuan yang optimal.

Peningkatan pemahaman isi pelajaran matematika menuntut siswa untuk banyak berlatih mengenai persoalan-persoalan matematika. Sementara itu masih banyak siswa yang malas untuk mengerjakan soal-soal latihan secara mandiri.

(11)

Dengan demikian, peranan guru yang sangat besar adalah mengupas dan menyajikan pelajaran matematika menjadi suguhan yang menarik bagi siswa, sehingga diharapkan siswa akan belajar matematika dengan senang di sekolah maupun di rumah secara mandiri.

Keberhasilan dalam proses belajar mengajar biasanya diukur dengan keberhasilan siswa dalam memahami dan menguasai materi yang diberikan.

Semakin banyak siswa yang dapat mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi maka semakin tinggi keberhasilan dari pengajaran tersebut. Salah satu mata pelajaran yang mempunyai prestasi belajar rendah di sekolah adalah matematika. Mata pelajaran ini termasuk mata pelajaran yang disegani oleh siswa, karena untuk dapat memahami materi yang terkadang di dalamnya perlu adanya kejelian dalam berpikir, ketelitian dalam pengerjaan, dan waktu yang cukup untuk mengadakan latihan-latihan, baik pada jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran. Matematika termasuk salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa di samping membaca dan menulis.

Guna meningkatkan hasil belajar matematika perlu juga dilakukan metode baru dalam pembelajarannya, diantaranya melalui model pembelajaran kooperatif.

Menurut Isjoni (2010 : 13), beberapa ahli menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam cooperative learning, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran, sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk

(12)

commit to user

meningkatkan prestasi belajarnya. Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individual ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih banyak meningkatkan hasil belajar daripada pembelajaran tradisional.

Pembelajaran kooperatif menampakkan wujudnya dalam bentuk belajar kelompok. Dalam kelompok belajar kooperatif siswa tidak diperkenankan mendominasi atau menggantungkan diri pada siswa lain. Dalam kelompok belajar kooperatif ditanamkan norma bahwa sifat mendominasi orang lain adalah sama buruknya dengan sifat menggantungkan diri pada orang lain.

Prestasi belajar seorang siswa dalam proses pembelajaran ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal adalah sikap pada diri siswa yaitu sikap siswa pada matematika, sebagai reaksi afektif pada diri siswa dan diketahui sebagai kecenderungan mendekati atau menghindar dari matematika, dan diwarnai oleh unsur senang atau tidak senang terhadap matematika.

Sikap siswa terhadap matematika merupakan faktor yang mempengaruhi dalam prestasi belajar siswa. Dengan demikian, pembelajaran yang berlangsung hendaknya dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, sehingga akan diperoleh hasil yang optimal. Mengingat pentingnya kemampuan matematika bagi siswa dalam proses belajar selanjutnya, maka masalah rendahnya hasil belajar matematika siswa SMP perlu diupayakan pemecahannya.

(13)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Dalam pembelajaran matematika peran aktif siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Rendahnya prestasi belajar matematika dimungkinkan karena siswa kurang berperan aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Terkait dengan ini dapat diteliti apakah jika peran aktif siswa ditingkatkan, prestasi belajar matematika siswa menjadi lebih baik.

2. Rendahnya prestasi belajar matematika siswa mungkin diakibatkan oleh rendahnya sikap siswa terhadap matematika. Terkait dengan ini perlu dikaji apakah benar bahwa sikap siswa terhadap matematika berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.

3. Faktor lain yang mungkin juga menjadi penyebab rendahnya prestasi belajar matematika siswa terkait dengan model pembelajaran, guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional, yaitu menjelaskan materi, kemudian memberikan contoh soal, selanjutnya diberikan soal latihan. Terkait dengan ini muncul pertanyaan apakah jika guru menggunakan model pembelajaran yang menyenangkan dan bisa berdiskusi kelompok dengan teman tanpa membedakan status, misalnya dengan model pembelajaran berbasis masalah seperti Jigsaw, Student Teams-Achievement Divisions (STAD), Teams Games Tournament (TGT), atau model pembelajaran yang lain, prestasi belajar matematika siswa akan lebih baik.

(14)

commit to user

4. Rendahnya prestasi belajar matematika siswa, dimungkinkan disebabkan oleh pembelajaran seorang guru yang belum memanfaatkan media pembelajaran sehingga siswa kurang memahami materi yang dipelajari. Berkenaan dengan hal ini, apakah penggunaan media pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

C. Pemilihan Masalah

Mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, maka tidak semua permasalahan di atas dibahas dalam penelitian ini. Peneliti memilih permasalahan yang kedua yaitu ada kemungkinan rendahnya prestasi belajar matematika siswa disebabkan oleh sikap siswa terhadap matematika dan permasalahan yang ketiga yaitu rendahnya prestasi belajar matematika siswa ada kemungkinan disebabkan oleh model pembelajaran yang kurang tepat, yang lebih dikhususkan pada pokok bahasan persamaan garis lurus ditinjau dari sikap siswa terhadap matematika.

D. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari apa yang akan menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian, maka peneliti perlu memberikan batasan-batasan permasalahan. Adapun pembatasan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada kelas eksperimen pertama dan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada kelas eksperimen kedua.

(15)

2. Sikap siswa terhadap matematika dimaksudkan adalah reaksi afektif pada diri siswa sebagai kecenderungan menghindar atau mendekati matematika, dan diwarnai unsur senang atau tidak senang terhadap matematika.

3. Prestasi belajar matematika yang dimaksud adalah prestasi belajar matematika siswa kelas VIII SMP se-Kabupaten Magetan semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012 pada pokok bahasan persamaan garis lurus.

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pemilihan masalah dan pembatasan masalah tersebut di atas, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) atau siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw?

2. Manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang atau rendah?

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan sikap siswa terhadap matematika?

a. Pada siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang, rendah, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau Jigsaw?

(16)

commit to user

b. Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang atau rendah?

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

2. Untuk mengetahui manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang atau rendah.

3. Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan sikap siswa terhadap matematika, dengan deskripsi sebagai berikut:

a. Pada siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang, rendah, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau Jigsaw.

b. Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang memiliki sikap terhadap matematika tinggi, sedang atau rendah.

(17)

G. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah teori pembelajaran matematika yang berkaitan dengan pemilihan model pembelajaran kooperatif ditinjau dari sikap siswa terhadap matematika. Dengan mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran dan sikap siswa terhadap matematika, dapat dimanfaatkan sejauh mana pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika siswa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, melalui penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan siswa tentang cara belajar matematika terutama dalam mengembangkan cara belajar dengan model kooperatif dalam upaya untuk meningkatkan prestasinya.

b. Bagi guru, diharapkan melalui penelitian ini mempunyai kepekaan dalam memilih model pembelajaran yang lebih tepat, terutama model pembelajaran kooperatif, sehingga dapat mendorong siswa untuk lebih optimal dalam belajar sehingga memperoleh prestasi belajar yang optimal.

c. Bagi kepala sekolah, diharapkan memperoleh informasi sebagai masukan dalam upaya mengefektifkan pembinaan kepada para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, salah satunya melalui model pembelajaran kooperatif.

(18)

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Belajar dan Pembelajaran

Belajar merupakan faktor yang penting sebagai upaya mencapai tujuan pendidikan. Para ahli telah banyak mengemukakan pengertian belajar. Slameto (2003 : 2) menyatakan bahwa belajar merupakan kata yang tidak asing lagi bagi semua orang. Semua orang pernah mendengar atau bahkan melakukan apa yang disebut dengan belajar. Tidak setiap orang tahu dan mengerti tentang pengertian belajar yang sebenarnya.

Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003 : 2). Perubahan-perubahan itu dapat berupa sesuatu yang baru, baik yang segera kelihatan dalam perilaku nyata atau yang masih tersembunyi.

Perubahan-perubahan itu juga dapat terjadi hanya pada penyempurnaan terhadap hal yang sudah pernah dipelajarinya.

Menurut Asri Budiningsih (2004 : 34), belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Menurut Syaiful Sigala (2003 : 12), belajar adalah kegiatan individu untuk memperoleh pengetahuan, perilaku dan ketrampilan dengan cara mengolah bahan ajar. Menurut Oemar Hamalik (2001 : 27), belajar merupakan

(19)

proses atau kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni mangalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan latihan, melainkan perubahan kelakuan. Lebih lanjut belajar adalah suatu proses yang berlangsung dari keadaan tidak tahu menjadi tahu atau dari tahu menjadi lebih tahu, dari belum cerdas menjadi cerdas, dari sikap belum baik menjadi baik, dari pasif menjadi aktif, dari tidak teliti menjadi teliti (Purwoto, 2003 : 21). Belajar juga merupakan proses membuat penalaran atas apa yang dipelajari dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perhatikan dalam pengalaman yang baru (Paul Suparno, 2004 : 61). Moeslichatoen (dalam Abdul Hadis dan Nurhayati, 2010 : 60), mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai proses yang membuat terjadinya proses belajar dan perubahan itu sendiri dihasilkan dari usaha dalam proses belajar.

Menurut Nur dalam Triyanto (2002 : 8), secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong- konyong. Teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi.

Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan

(20)

commit to user

siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Dalam teori konstruktivisme, penekanan diberikan kepada siswa lebih daripada guru (Isjoni, 2010 : 32). Konstruktivisme adalah satu pandangan bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada (Isjoni, 2010 : 30). Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses aktif yang dilakukan oleh individu dengan menngkonstruksikan pengetahuan atau pengalaman baru kemudian menghubungkan dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya sehingga timbul perubahan kognitif, afektif dan psikomotor.

Sudjana (2007 : 7) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Dalam proses belajar mengajar, tujuan merupakan komponen utama yang ditetapkan, karena berfungsi sebagai indikator keberhasilan pengajaran. Tujuan tersebut pada dasarnya merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan kegiatan belajar. Tujuan pembelajaran pada hakekatnya adalah hasil belajar yang diharapkan.

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruh untuk mencapai tujuan (Oemar Hamalik, 2001 : 57). Untuk itu jika dilihat dari kondisi pembelajaran, maka pendidikan formal harus mampu memaksimalkan peluang bagi siswa untuk berlangsungnya interaksi yang hakiki, bukan sekedar menyampaikan pengetahuan dan membentuk keterampilan saja.

(21)

Bila proses menyampaikan pengetahuan dan membentuk keterampilan saja yang dipergunakan, maka akan menurunkan kualitas pembelajaran.

Pembelajaran secara konstruktivisme adalah pengajaran dan pembelajaran yang berpusatkan kepada siswa. Guru berperanan sebagai fasilitator yang membantu pelajar membina pengetahuan dan menyelesaikan masalah. Guru berperanan sebagai pereka bentuk bahan pengajaran yang menyediakan peluang kepada murid untuk membina pengetahuan baru (Isjoni, 2010 : 32)

Pembelajaran menurut Gagne dalam Winkel (1989 : 111) adalah suatu usaha untuk membuat siswa belajar sehingga situasi tersebut merupakan peristiwa belajar (event of learning), yaitu usaha untuk terjadinya tingkah laku dari siswa.

Sedangkan perubahan tingkah laku itu dapat terjadi karena adanya interaksi antara siswa dan lingkungannya. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar (Isjoni, 2010 : 11). Dari beberapa pendapat tersebut di atas pembelajaran adalah proses mengatur lingkungan belajar agar terjadi interaksi antara siswa dengan lingkungannya, sehingga mencapai prestasi belajar yang optimal.

Kaitan antara belajar dan pembelajaran sangat erat dan saling berhubungan. Pengertian pembelajaran dalam penelitian ini adalah usaha sadar dan aktif dari guru terhadap tingkah laku siswa sesuai dengan keadaan dan kemampuan siswa, serta pemilihan metode dan media yang tepat. Pembelajaran selalu memberikan stimulus kepada siswa agar menimbulkan respon, bila diulangi akan menjadi kebiasaan, dengan mengaktifkan indera siswa agar memperoleh

(22)

commit to user

pemahaman sehingga terjadi perubahan tingkah laku dalam mengenal dirinya sendiri sebagai manusia untuk mewujudkan potensi yang ada dalam diri sendiri.

Berdasarkan pengertian belajar dan pembelajaran di atas, maka yang digunakan sebagai landasan proses pembelajaran dalam penelitian ini adalah belajar menurut aliran konstruktivisme yang mengutamakan siswa mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak siswa sendiri. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu ide atau informasi kompleks ke situasi lain. Dengan demikian, dalam proses belajar dan pembelajaran dalam penelitian

2. Prestasi Belajar Matematika

Suatu proses belajar mengajar dikatakan berhasil apabila tujuan pembelajaran dapat dicapai. Tujuan pembelajaran tersebut merupakan prestasi belajar yang ditetapkan, baik menurut aspek pembelajaran maupun aspek perilaku. Proses belajar menghasilkan perubahan di pihak siswa, dimana perubahan tersebut berupa kemampuan di berbagai bidang yang sebelumnya tidak dimiliki siswa.

Menurut Poerwadarminta (1997 : 87) bahwa prestasi belajar adalah penguasaan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan oleh guru.

Menurut Herman Hudoyo (1990 : 139) hasil belajar matematika adalah kemampuan menampilkan pemahaman dan penguasaan setelah mempelajari matematika. Nana Sudjana (1995 : 22) mengemukakan bahwa hasil belajar

(23)

matematika adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia memperoleh pengalaman belajarnya. Mulyono Abdurrahman (1996 : 35) mengemukakan bahwa prestasi atau hasil belajar dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari diri siswa dan faktor yang berasal dari lingkungannya.

Berdasar pendapat-pendapat di atas prestasi belajar diartikan sebagai tingkat penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru, sehingga dalam penelitian ini yang dimaksud prestasi belajar matematika adalah hasil yang telah dicapai berupa tingkat penguasaan setelah mengikuti suatu proses pembelajaran untuk memperoleh perubahan penguasaan pengetahuan dalam bidang matematika. Dengan mengetahui prestasi belajar siswa dapat digunakan sebagai umpan balik bagi pengajar dalam menentukan bimbingan bagi peserta didik guna meningkatkan prestasi peserta didik.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Menurut Slameto (2003 : 72), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah:

a. Faktor-faktor internal yaitu yang ada dalam individu yang sedang belajar.

Faktor internal ini meliputi:

1) faktor jasmaniah (kesehatan, cacat tubuh)

2) faktor psikologis (intelegensia, perhatian, minat, sikap, bakat, motivasi, kematangan, kesiapan)

(24)

commit to user

3) faktor kelelahan.

b. Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu yang sedang belajar.

Faktor eksternal meliputi:

1) Faktor keluarga 2) Faktor sekolah 3) Faktor masyarakat.

Dalam penelitian ini faktor internal yang dibahas adalah sikap siswa, sedangkan faktor eksternalnya adalah model pembelajaran.

4. Hakikat Matematika

Banyak orang yang mempertukarkan antara matematika dengan aritmatika atau berhitung. Padahal, matematika mempunyai cakupan yang lebih luas daripada aritmatika, aritmatika hanya merupakan bagian dari matematika.

Menurut Johnson dan Myklebust di dalam Mulyono Abdurrahman (1996 : 226), menyebutkan bahwa matematika adalah simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya memudahkan berpikir.

Menurut Mulyono Abdurrahman (1996 : 227), matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Leaner dalam bukunya Learning Disabilities (1988 : 430) yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman mengemukakan bahwa

(25)

matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas.

Slameto (2003 : 127) mengemukakan bahwa matematika adalah sama dengan bagian dari eksakta dari pemikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil matematika terletak pada akal manusia (human intellect) dan tidak pada simbol- simbol di atas kertas seperti yang diyakini oleh paham formalisme. Pemikiran pada intuisionisme matematika berdasarkan suatu ilham dasar (basic intuition) mengenai kemungkinan untuk membangun suatu seri bilangan yang tak terbatas.

Menurut Herman Hudoyo (1990 : 1), matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas kalau dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain.

Karena itu kegiatan belajar matematika seyogyanya tidak disamakan begitu saja dengan ilmu yang lain, karena peserta didik itu pun berbeda-beda kemampuannya, maka kegiatan belajar mengajar haruslah diatur sekaligus memperhatikan kemampuan belajar. Dari beberapa pendapat di atas, dalam penelitian ini yang dimaksud matematika adalah suatu simbol yang fungsi teoritisnya untuk memudahkan manusia dalam berpikir dan menyelesaikan masalah.

5. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk

(26)

commit to user

memahami materi pelajaran (Isjoni, 2010 : 12). Menurut Vygotsky dalam Isjoni (39-40), pembelajaran adalah proses yang terjadi pada individu, tetapi pembelajaran tidak dapat berlangsung tanpa bantuan lingkungan sekitar. Sehingga guru harus melibatkan lingkungan sekitar dalam pembelajaran bagi siswa. Dalam pembelajaran kooperatif, lingkungan sekitar diterjemahkan sebagai teman-teman satu kelas. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dicirikan oleh struktur tugas, tujuan dan penghargaan kooperatif. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4-6 siswa dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda. Pembelajaran harus menekankan kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama (Isjoni, 2010 : 44).

Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungdren dalam Isjoni (2010 : 13), sebagai berikut :

a.

b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

(27)

c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompoknya.

e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerja sama selama belajar.

g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.

Menurut Zakaria Effandi, Lu Chung Chin dan Yusoff Daud (2010 :272- 275) :

science and mathematics classroom, ranging from teacher centered approach to more students centered ones. In the last decade, there is a wast amount of research done on cooperative learning in science and mathematics. Cooperative learning is grounded in the belief that learning is most effective when student are actively involved in sharing ideas and work cooperatively to co

Artinya pada pelajaran matematika guru hendaknya menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa. Akhir-akhir ini telah banyak dilakukan penelitian pada pembelajaran kooperatif dalam ilmu pengetahuan dan matematika.

(28)

commit to user

Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang paling efektif, karena siswa terlibat aktif dalam mengemukakan ide dan bekerjasama dalam menyelesaikan suatu tugas.

Pada pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada kehadiran teman untuk saling berinteraksi dan bekerjasama sebagai sebuah tim untuk menyele- saikan masalah atau tugas yang diberikan. Sebagaimana yang ditulis oleh Goos Merrilyn (2006) :

The practices and beliefs developed within reform classroom frame learning as participation in a community of practice characterized by inquiry mathematics where students learn to speak and act mathematically by participating in mathematical discussion and solving new or unfamiliar problems. ( Richards, 1991). Such classrooms could be described as communities of mathematical inquiry

Dari uraian tersebut dalam pembelajaran matematika hendaknya guru menggunakan pendekatan, dimana siswa berpartisipasi dalam diskusi untuk memecahkan masalah matematika yang dipelajari.

Anita Lie dalam Isjoni (2010 : 16), menyebut cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong- royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas tugas yang terstruktur. Selanjutnya Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2008 : 31), mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong-royong harus diterapkan, yaitu :

1) Saling ketergantungan positif.

2) Tanggung jawab perseorangan.

3) Tatap muka.

(29)

4) Komunikasi antar anggota.

5) Evaluasi proses kelompok.

Menurut Djahiri K dalam Isjoni (2010 : 19) menyebutkan cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar siswa yang sentris, humanistik dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya. Lingkungan belajarnya yang membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi cooperative learning dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif, efisien ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerja sama dan saling membantu (sharing) sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive).

Menurut Murray dalam Luu Trong Tuan (2010 : 66) :

Cooperative learning suggests that learning would be more meaningfull if learners should experiment on theirown learning instead og listening to cts resolution will help .

Artinya: Pembelajaran kooperatif menyarankan bahwa pembelajaran akan lebih berarti apabila siswa bereksperimen dalam pembelajarannya sendiri daripada mendengarkan kuliah guru. Lagipula pemecahan konflik membantu meningkatkan pertumbuhan pikiran siswa. Dalam teori Vygotsky dalam Isjoni (2010 : 40), kualitas berpikir siswa dibangun di dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerja sama antara pelajar dengan pelajar lainnya yang lebih mampu di bawah naungan orang dewasa dalam hal ini guru. Model pembelajaran kooperatif kooperatif mengutamakan kerja sama

(30)

commit to user

dalam menyelesaikan masalah dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal.

learning cooperatively helped them to construct their knowledge

peserta didik untuk membangun pengetahuan mereka. Frackson Mumba (2007 : Teaching and learning science by inquiry involves the means by which students gain knowledge

pembelajaran memberikan arti, dimana siswa mendapatkan pengetahuan.

Berikut ini adalah fase-fase pembelajaran kooperatif dari Agus Supriyono (2009 : 65) :

Tabel 2.1. Fase-fase pembelajaran kooperatif

Fase-fase Perilaku Guru

Fase 1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik

Menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar

Fase 2. Menyajikan informasi Menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar

Fase 3. Mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar

Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien

Fase 4. Membimbing kerja tim dan belajar

Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya Fase 5. Mengevaluasi Menguji pengetahuan peserta didik

mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok- kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase 6. Memberikan pengakuan atau penghargaan

Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupu kelompok

(31)

Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang memandang keberhasilan individu yang diorientasikan dalam keberhasilan kelompok. Dalam hal ini maka siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan, dan siswa berusaha keras membantu dan mendorong teman-temannya untuk bersama-sama berhasil dalam belajar. Lie (2005 : 12) menyatakan bahwa sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem pembelajaran gotong-royong atau pembelajaran kooperatif.

Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif selain mencapai berbagai macam tujuan sosial, juga untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Agar pembelajaran kooperatif terlaksana dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk dikerjakan. Selama kerja kelompok, tugas kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu teman sekelompok untuk mencapai ketuntasan materi tersebut. Siswa diminta mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saatnya tes terakhir diusahakan agar siswa tidak bekerja sama pada saat mengerjakan tes.

6. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.

Menurut Slavin (2005 : 143) STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif.

Menurut Isjoni (2010 : 51), STAD merupakan salah satu tipe kooperatif yang

(32)

commit to user

menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal

Dalam STAD, para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran.

Selanjutnya semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri- sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling bantu. Skor kuis para siswa dibandingkan dengan rata-rata pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masing-masing tim akan diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih siswa dibandingkan hasil yang mereka capai sebelumnya. Poin ini kemudian dijumlahkan untuk memperoleh skor tim, dan tim yang berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lainnya.

Seluruh kegiatan , termasuk presentase yang disampaikan guru, praktik tim dan kuis biasanya memerlukan waktu 3-5 periode kelas (Slavin, 2005 : 11-12).

Model pembelajaran STAD paling sesuai untuk mengajarkan bidang studi yang telah terdefinisikan dengan jelas, seperti matematika (Slavin, 2005 : 12).

Menurut Slavin dalam Isjoni (2010 : 51), tahapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah :

a. Tahap penyajian materi, dimana penyajian materi dilakukan secara langsung dan klasikal. Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, memberi

(33)

motivasi bagi siswa, menyajikan materi pokok pelajaran, memantau pemahaman tentang materi yang disampaikan.

b. Tahap kerja kelompok, di mana siswa mempelajari materi yang telah disajikan, sekaligus membantu teman sekelompok yang belum menguasai materi tersebut. Kemudian siswa mengerjakan lembar kegiatan yang diberikan guru. Lembar kegiatan itu harus dikerjakan dan berdiskusi di dalam kelompok, jika ada pertanyaan yang belum terjawab di dalam kelompok maka dapat ditanyakan kepada guru.

Kegiatan guru dalam tahap ini adalah : 1) Melatih kooperatif siswa

2) Menugaskan setiap kelompok untuk diskusi dan mengerjakan lembar kegiatan siswa

3) Memonitor pelaksanaan kegiatan kelompok

4) Memberi bantuan penjelasan kepada kelompok yang mengalami kesulitan Kegiatan siswa pada tahap ini adalah :

1) Bekerja sama dalam kelompok untuk mendiskusikan dan mengerjakan lembar kegiatan siswa

2) Saling membantu teman kelompoknya untuk memahami materi pokok pelajaran dalam rangka mengerjakan lembar kegiatan siswa

3) Menunjukkan aktivitas dalam belajar kelompok

c. Tahap tes individual, yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan siswa, keberadaan siswa dalam kelompok, dan keberadaan kelompok dibandingkan kelompok lainnya.

(34)

commit to user

d. Tahap penghitungan skor perkembangan individu, yang bertujuan untuk memberi hasil akhir setiap siswa. Nilai perkembangan individu didasarkan pada nilai awal/dasar yang diperoleh dari nilai tes sebelumnya. Adapun prosedur pelaksanaan penilaian perkembangan adalah sebagai berikut : 1) Menetapkan skor dasar

Setiap siswa diberikan skor dasar berdasarkan skor hasil kuis yang lalu.

2) Menghitung skor kuis terkini

Siswa memperoleh poin untuk kuis yang berkaitan dengan pelajaran terkini.

3) Menghitung skor perkembangan

Siswa mendapatkan nilai perkembangan individu dengan perhitungan sebagai berikut :

Tabel 2.2 Pedoman Pemberian Skor Perkembangan Individu

Skor tes Skor perkembangan individu 1) Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5

2) 10 hingga 1 poin di bawah skor awal 10 3) Skor awal sampai 10 poin di atasnya 20 4) Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30 5) Pekerjaan sempurna (tidak berdasarkan skor awal) 30

Slavin dalam Isjoni (2010 ) e. Tahap pemberian penghargaan kelompok, yang didasarkan pada perolehan

rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompok tersebut. Hal ini penting karena dalam pembelajaran kooperatif, pertanggungjawaban individu dan penghargaan kelompok merupakan esensi dari basic skill achievement.

Perhitungan skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-

(35)

masing perkembangan skor individu dan hasilnya dibagi sesuai jumlah anggota kelompok.

Berdasarkan nilai perkembangan yang diperoleh dari masing-masing kelompok, ada tiga tingkatan penghargaan prestasi kelompok, yaitu :

1) Tim super : diberikan kepada kelompok yang memperoleh nilai rata rata N

2) Tim hebat : diberikan kepada kelompok yang memperoleh nilai rata rata

3) Tim baik : diberikan kepada kelompok yang memperoleh nilai rata rata

Adapun rencana pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Guru membentuk kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 orang secara heterogen.

b. Guru menyampaikan materi atau bahan pelajaran kepada siswa

c. Dengan menggunakan lembar kerja tiap kelompok belajar bersama mendiskusikan materi yang telah dibahas guru.

d. Jika waktu telah cukup, masing-masing siswa diberi tes individu, dan tidak boleh saling membantu.

e. Evaluasi.

Nilai perkembangan individu adalah upaya untuk membuat siswa termotivasi dan berusaha untuk mendapat nilai yang lebih baik. Penghargaan

(36)

commit to user

kelompok dapat menunjukkan bahwa satu kelompok telah berhasil bekerja sama dengan baik.

7. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa lebih aktif. Metode pengajaran dengan Jigsaw dikembangkan oleh Aronson (1978) dalam Slavin (2005 : 236).

Dalam teknik ini, siswa bekerja dalam anggota kelompok yang sama, yaitu empat orang, dengan latar belakang yang sama seperti dalam STAD. Para siswa ditugaskan untuk membaca buku, sesuai materi yang akan dipelajari. Tiap anggota

membaca tersebut. Setelah membaca materinya, para ahli dari tim berbeda bertemu untuk mendiskusikan topik yang sedang dibahas, lalu mereka kembali kepada timnya untuk mengajarkan topik mereka itu kepada teman satu timnya.

Akhirnya, akan ada kuis atau bentuk penilaian lainnya untuk semua topik.

Penghitungan skor dan rekognisi didasarkan pada kemajuan yang dicapai seperti dalam STAD (Slavin, 2005 : 14).

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2010 : 54). Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya.

Cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok

(37)

sendiri, maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang disukainya, misalnya sesama etnik dan sama dalam kemampuan.

Jigsaw telah teruji mampu maningkatkan prestasi belajar siswa. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggabungkan konsep pembelajaran pada teman sekelompok dalam usaha membantu belajar dengan pembelajarnya sendiri untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan pembelajaran pada orang lain.

Menurut Edward dalam Isjoni (2010 : 55), kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat efektif. Jumlah yang paling tepat menurut penelitian Slavin adalah dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Model pembelajaran kooperatif Jigsaw secara umum terbagi menjadi tiga tahap, yaitu persiapan, palaksanaan kegiatan dan rekognisi tim/penghitungan skor.

1. Tahap persiapan a. Materi : 1) Memilih materi

2) Membuat lembar ahli untuk tiap unit. Lembar ini berisi empat topik yang menjadi inti dari unit pelajaran.

3) Membuat kuis tes (dapat esai atau bentuk lainnya) untuk tiap unit. Kuis tersebut paling sedikit delapan pertanyaan, dua untuk tiap topik, atau dapat juga kelipatan dati 4.

4) Menggunakan skema diskusi untuk tiap topik yang dapat membantu mengarahkan diskusi dalam kelompok kelompok ahli.

(38)

commit to user

b. Pembagian kelompok

1) Membagi para siswa ke dalam kelompok heterogen yang terdiri dari empat atau lima anggota.

2) Mengusahakan dalam tiap tim terdapat siswa yang beprestasi tinggi, sedang dan rendah.

3) Apabila jumlah siswa lebih dari 24 siswa, boleh direncanakan terdapat dua kelompok ahli untuk tiap topik.

c. Penentuan skor awal pertama

Skor awal pertama siswa diperoleh dari rata-rata ulangan yang telah dilaksanakan.

2 Tahap pelaksanaan kegiatan.

a. Membaca :

1) Waktunya separuh sampai periode kelas

2) Setiap kelas menerima topik ahli dan membaca materi yang diminta untuk menemukan informasi, atau dapat juga siswa membaca dahulu baru kemudian membagikan topik ahlinya, agar mendapat gambaran besar dari semua topik.

3) Materi yang dibutuhkan : sebuah lembar ahli untuk tiap siswa yang terdiri dari empat topik ahli.

b. Diskusi kelompok ahli.

1) Waktunya lebih kurang separuh atau periode kelas atau lebih

2) Para siswa dengan topik ahli yang sama mendiskusikan dalam kelompok 3) Materi yang dibutuhkan : lembar dan teks ahli untuk tiap siswa

c. Laporan tim

(39)

1) Waktunya separuh periode kelas

2) Para ahli kembali pada timnya masing masing untuk mengajari topik mereka pada teman satu timnya.

3) Menekankan pada siswa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab terhadap teman satu tim mereka untuk menjadi guru yang baik sekaligus juga sebagai pendengar yang baik.

d. Tes/kuis :

1) Waktunya separuh periode kelas.

2) Para siswa mengerjakan tes/kuis.

3) Materi yang dibutuhkan, satu kopian tes / kuis untuk tiap siswa.

3. Tahap rekognisi tim.

Ada dua macam skor pada model pembelajaran Jigsaw, yaitu skor kemajuan individu dan skor kemajuan tim. Skor kemajuan individu diperoleh dari membandingkan prosentase jawaban benar dalam mengerjakan kuis dengan skor awal. Sedangkan skor kemajuan tim diperoleh dari rata-rata skor

kemajuan individu dalam tim tersebut (Slavin, 2005 : 242-244).

Adapun rencana pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam penelitian ini diatur secara instruksional sebagai berikut:

a. Membentuk kelompok yang beranggotakan 4-6 orang.

b. Setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu.

Kemudian siswa-siswa atau perwakilan (ahli) bertemu dengan ahli dari kelompok lain yang mempelajari materi yang sama.

c. Diskusi kelompok ahli

(40)

commit to user

Siswa dengan topik yang sama bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik tersebut, sehingga ahli tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut.

d. Laporan kelompok

Masing-masing ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan topik pada kelompoknya, sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.

e. Kuis

Kuis dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah memahami suatu materi.

Pembelajaran tipe Jigsaw mempunyai beberapa kelebihan, antara lain : 1) Setiap anggota kelompok mendapat tugas.

2) Ada interaksi langsung antara siswa dengan siswa.

3) Ada interaksi langsung antara siswa dengan guru.

4) Dapat meningkatkan prestasi akademik siswa.

5) Melatih siswa berani berbicara dan mengeluarkan ide-ide atau pendapatnya.

6) Melatih siswa untuk bisa menghargai pendapat orang lain.

7) Melatih siswa untuk bekerja sama dan bergotong-royong sesama teman.

8) Meningkatkan rasa persaudaraan.

9) Menanamkan rasa tanggung jawab.

10) Setiap siswa akan belajar sungguh-sungguh, karena dia merasa bertanggung jawab atas keberhasilan belajar temannya.

(41)

8. Sikap Terhadap Matematika

a. Pengertian sikap terhadap matematika

Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahili.

Menurut Thurstone dalam Saifudin Aswar (2009 : 4), sikap diartikan sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap juga dapat diartikan sebagai kecenderungan individu untuk merasa senang atau tidak senang terhadap suatu obyek. Gerungan dalam Abdul Hadis dan Nurhayati (2010:

38), menyatakan sikap sebagai kecenderungan individu untuk merasa senang dan tidak senang terhadap suatu objek. Menurut Abdul Hadis dan Nurhayati (2010 : 38) sikap belajar ialah kecenderungan peserta didik untuk berreaksi terhadap materi pelajaran di sekolah atau kecenderungan peserta didik untuk merasa senang dan tidak senang dalam melakukan aktivitas belajar. Hasil belajar seoarang siswa dalam proses pembelajaran ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Salah satu faktor internal adalah sikap pada diri siswa, yaitu sikap terhadap matematika sebagai reaksi afektif pada diri siswa yang merupakan hasil belajar dan diketahui sebagai kecenderungan mendekati atau menghindar, dan diwarnai unsur senang atau tidak senang terhadap matematika. Menurut Haris dalam

psikologik atau variabel tersembunyi yang perlu ditafsirkan dari reaksi yang dapat diawasi dan memiliki konsistensi. Reaksi tersebut diketahui sebagai kecenderungan mendekati atau menghindar dari obyek, di samping diwarnai oleh unsur senang atau tidak senang sesuai dengan identitasnya.

(42)

commit to user

senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu mencakup komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Istilah sikap mempunyai beberapa pengertian, yang hampir -21) merangkum perumusan mengenai sikap secara umum sebagai berikut:

attitudes are learned, yang berarti sikap dipandang sebagai hasil belajar lingkungan;

2. attitudes have referent, yang berarti sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa atau ide;

3. attitudes are social learnings, yang berarti sikap diperoleh dalam interaksi dengan manusia lain, baik di rumah, sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan atau percakapan;

4. attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek;

5. attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif atau ragu;

6. attitudes are very intensive, yang berartai bahwa tingkat intensitas sikap terhadap obyek tertentu kuat atau lemah;

7. attitudes have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya. Karena itu sikap dapat berubah tergantung situasi;

8. attitudes have duration factor, yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relatif 9. attitudes are complex, yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dari

konteks persepsi ataupun kognisi individu;

10. attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan;

11. attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan

Saifuddin Azwar (1995 : 7), merangkum pendapat para ahli menyatakan bahwa komponen kognisi, afeksi, dan konasi sebagai tiga komponen yang menyatu ke dalam konsepsi mengenai sikap. Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan melihat salah satu saja diantara ketiga komponen tersebut sikap seseorang

(43)

sudah dapat diketahui. Meskipun demikian, diskripsi lengkap mengenai sikap individu tentu harus diperoleh dengan melihat ketiga macam komponen tersebut.

Dari pendapat di atas, terangkum bahwa sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek berdasarkan hasil penalaran, pemahaman, penghayatan, dan penilaian individu. Jika dilihat dari proses perubahan sikap tersebut, maka sikap dapat dipandang sebagai hasil belajar yang relatif stabil. Berdasarkan pendapat tersebut, yang dimaksud sikap siswa terhadap matematika adalah reaksi afektif pada diri siswa yang merupakan hasil belajar dan diketahui sebagai kecenderungan mendekati atau menghindar terhadap matematika dan diwarnai oleh unsur senang atau tidak senang terhadap matematika.

Selanjutnya sikap siswa terhadap matematika dapat diketahui dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi dari sikap siswa terhadap matematika. Komponen kognisi siswa terungkap melalui jawaban dari pertanyaan apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang matematika, komponen afeksi siswa terungkap melalui jawaban dari pertanyaan tentang apa yang dirasakan (senang/tidak senang) terhadap matematika, dan komponen konasi siswa terungkap melalui jawaban dari pertanyaan bagaimana kesediaan/kesiapan untuk bertindak terhadap matematika.

b. Keterkaitan Sikap dan Proses Pembelajaran

Seorang siswa sebelum mengikuti proses pembelajaran, kesiapan belajar sangat diperlukan. Faktor kesiapan ini erat hubungannya dengan masalah kematangan, minat, kebutuhan, dan usaha. Belajar dengan minat akan mendorong siswa belajar lebih baik. Minat ini timbul apabila siswa tertarik atau senang

(44)

commit to user

sesuatu yang akan dipelajari karena akan bermakna bagi dirinya. Minat tanpa adanya usaha sikap yang baik, maka belajar akan sulit berhasil.

Oemar Hamalik (2001 : 32) mengatakan bahwa belajar yang efektif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisional yang ada, seperti : 1) belajar siswa akan lebih berhasil jika siswa merasa berhasil dan mendapatkan kepuasan. 2) faktor kesiapan belajar. Siswa yang telah siap belajar akan dapat melakukan kegiatan belajar lebih mudah dan lebih berhasil. Faktor kesiapan ini erat hubungannya dengan masalah kematangan, minat, kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan. 3) faktor minat dan usaha. Belajar dengan minat akan mendorong siswa belajar lebih baik daripada belajar tanpa minat. Minat ini timbul apabila siswa tertarik akan ssesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasa bahwa sesuatu yang akan dipelajari bermakna bagi dirinya. Namun minat tanpa usaha yang baik, maka belajar juga akan sulit berhasil. Zakaria (2010 : 275) cooperative learning could have a positive effect on the formation of a more positive attitude towards mathematics among , yang berarti pembelajaran kooperatif dapat memberikan efek yang positif pada pembentukan sikap yang lebih positif terhadap matematika di kalangan peserta didik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap siswa terhadap matematika merupakan faktor yang mempengaruhi dalam hasil belajar siswa.

Dengan demikian, pembelajaran yang berlangsung hendaknya dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, sehingga akan diperoleh hasil belajar yang optimal.

(45)

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian-penelitian relevan yang terkait dengan penggunaan model pembela- jaran Kooperatif tipe STAD dan Jigsaw adalah :

1. Penelitian Ira Kurniawati (2003) yang berjudul Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Aktivitas Belajar Siswa Kelas II SMP 15 Surakarta, dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar dengan metode Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Perbedaannya adalah pada pembandingan model pembelajarannya dan tinjauannya yakni model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw serta ditinjau dari sikap siswa terhadap matematika.

2. Suhamto (2006) yang berjudul Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa MA, dengan hasil penelitian siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD memperoleh prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Perbedaannya adalah pada pembandingan model pembelajarannya dan tinjauannya yakni model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw serta ditinjau dari sikap siswa terhadap matematika.

(46)

commit to user

3. Muhammad Ikhanudin (2010) yang berjudul Efektivitas Pembelajaran Matematika Kooperatif Jigsaw dan TGT Ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa Kelas VII SMPN Se Kabupaten Sukoharjo, dengan hasil penelitian siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipa Jigsaw memperoleh prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT. Persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

Perbedaannya adalah pada pembandingnya yakni model pembelajaran STAD dan Jigsaw serta ditinjau dari sikap siswa terhadap matematika.

4. Balfakih, Nagib M.A (2003) dalam peneliti The Effectiveness of Student Team-Achievement Division (STAD) for Teaching . Dengan hasil penelitian -Team Achievement Division (STAD) for teaching chemistry in randomly selected high school classes in the United Arab Emirates (UAE). Also examines the differences among groups with regard to gender, geographic area, and ability. Findings indicate that STAD is a more effective teaching method than traditional teaching methods in teaching 10th grade chemistry classes in the UEA. Persamaannya dengan penelitian ini sama-sama menggunakan model pembelajaran STAD, sedang perbedaannya adalah model pembelajaran pembandingnya yaitu model pembelajaran STAD dan Jigsaw.

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang merupakan tugas

menyimpang ( dysfunctional behavior) yang dilakukan auditor antara lain penghentian premature ( premature sign off) dalam program audit terhadap langkah audit, yaitu tidak

Metode yang dipergunakan dalam model FCD telah menunjukkan area pembangunan jalan memiliki tutupan vegetasi rendah dibandingkan lingkungan sekitarnya.. Hal itu ditunjukkan pada

Terhadap masalah tugas yang diberikan selama PKL, solusi yang penulis tawarkan yaitu agar prodi bekerjasama dengan pembimbing di tempat magang dalam menentukan tugas yang

Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya dengan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah harus

Hasil belajar mengalami kenaikan pada semua kelompok setelah intervensi dan kenaikan terbesar terjadi pada kelompok anemia yang diberikan beras fortifikasi..

Strategi Sentra Batik Plalangan, Sleman Yogyakarta untuk dikembangkan menjadi salah satu objek desa wisata di Yogyakarta.Masyarakat di dusun plalangan berupaya

Dari hasil penelitian tentang kemampuan guru menerapkan keterampilan bertanya pada pembelajaran PKn Kelas IV SDN 115/X Pandan Jaya, Tanjung Jabung Timur dapat ditarik