• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM

DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

THE ADMINISTRATIVE LAW ENFORCEMENT ON THE DECISION OF THE CANDIDATES BY THE REGIONAL ELECTION COMMISSION IN

THE LOCAL ELECTIONS

IRVAN MAWARDI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

(2)

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM

DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Tata Negara disusun dan diajukan oleh

IRVAN MAWARDI

kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

TESIS

(3)

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA

PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

yang disusun dan diajukan oleh

IRVAN MAWARDI Nomor Pokok P0904211003

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis Pada tanggal 29 Juli 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasihat,

________________________________ ____________________________

Prof.Dr.Syamsul Bachri, S.H.,M.S. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H.

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin.

_________________________ _______________

Prof. Dr.Marthen Arie, S.H.,M.H. Prof.Dr.Ir. Mursalim

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

(4)

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Irvan Mawardi

Nomor Mahasiswa : P0904211003 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 29 Juli 2013 Yang Menyatakan

Irvan Mawardi

PRAKATA

(5)

Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT, atas karunia dan petunjukNya sehingga penulisan tesis ini bisa selesai dengan segala keterbatasan dan kelemahan penulis.

Ide yang melatarbelakangi tema permasalahan dalam tesis ini muncul dari hasil pengamatan penulis terhadap proses berlangsungnya pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2005. Salah satu persoalan yang pada umumnya muncul dalam setiap pelaksanaan pilkada adalah adanya gugatan sengketa penetapan pasangan calon yang telah disahkan oleh KPUD oleh kandidat yang tidak lolos di PTUN yang penyelesaiannya berlarut-larut dan tidak melahirkan penyelesaian hukum dan kepastian hukum. Hal ini melahirkan ketidakadilan dalam pelaksanaan pemilukada. Penulis bermaksud menyumbangkan beberapa solusi agar persoalan tersebut dapat diselesaikan dalam bingkai prinsip hukum administrasi agar semua pemangku kepentingan dalam pemilukada dapat merasakan keadilan dan kepastian hukum.

Banyak masalah dan kendala yang dihadapi Penulis dalam menyelesaikan tesis ini, sehingga hanya berkat bantuan berbagai pihak penulisan tesis ini dapat selesai.

Pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih yang setingi-tingginya kepada :

Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH.,M.S dan Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H sebagai Ketua Komisi Penasehat dan Anggota Komisi Penasehat ini atas arahan, bimbingan dan pencerahan yang diberikan kepada penulis baik dalam hal pengembangan ide

(6)

atas permasalahan penelitian ini sampai pada proses dan penyelesaian penulisan tesis ini.

Terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Abdul Razak, S.H.,M.H dan Prof. Achmad Ruslan,S.H.,M.H selaku Tim Penguji atas arahan, kritikan dan masukan beliau dalam proses penulisan tesis ini

Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. dr. A. Idrus Puturusi, Sp.B.,Sp.BO atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan program magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Direktur Program Pascasarjana Universitas Hanasanuddin, Prof. Dr. Ir Mursalim atas kesempatan dan fasilitas yang representatif yang diberikan kepada penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan program magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Ketua Program Studi Magsiter Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, atas fasilitas, arahan dan kebijakannya sehingga dapat memicu Penulis dalam menyelesaikan Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Para responden yang menjadi narasumber dalam penelitian ini; Anggota Bawaslu Pusat, Daniel Zuchron, Anggota Bawaslu DKI Jakarta, M. Jufri, Anggota KPU Gowa, Fatmawati Rachim, Anggota KPU Toraja Utara, Aloysius, Ketua KPU Lombok Utara, Agus, Ketua KPU Lombok Barat, Tuan Guru Hasanain dan para Hakim di

(7)

PTUN Makassar dan PTUN Jayapura dan responden lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu pada kesempatan ini.

Kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Priyatmanto Abdoellah, S.H,M.H beserta segenap jajaran Hakim di PTUN Makassar atas dukungan, arahan dan kebijakan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum pada program pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Kepada teman-teman seangkatan pada program Pascasarjana Ilmu Hukum tahun 2011: Wiwin, Ray Pratama, Irsan, Sholihin, Irsan, Tegar, Ikram, Zulkifli, Rulof, Nirwan, Fitri, Herlinah, Zasimah, Atriani, terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya.

Kepada kedua Orang Tua Penulis yang termulia, Ayahanda H. Mawardi Mannungke dan Ibunda, Hj. Munawarah Mannaga yang selalu memberikan motivasi doa dan ridho atas usaha dan ikhtiar penulis dalam menyelesaikan tesis ini

Kepada Istri tercinta Penulis, Dewi Nadhipah serta anak-anak Penyejuk Hati, Ismena Adaliyah Mawardi dan Rafif Muyassar Mawardi atas dukungan dan inspirasi yang diberikan kepada penulis.

Terakhir, Terima kasih penulis sampaikan kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini

Makassar, 29 Juli 2013

(8)

Irvan Mawardi ABSTRAK

IRVAN MAWARDI. Penegakan Hukum Administrasi terhadap Sengketa Penetapan Pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (dibimbing oleh Syamsul Bachri dan Hamzah Halim)

Penelitian bertujuan mengetahui (1) tentang penegakan Hukum Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada (2) efektifitas pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah.

Penelitian ini dilaksnakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

Penelitian ini bersifat sosioyuridis yang menggambarkan gejala realitas sosial yang terjadi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan secara langsung proses persidangan, wawancara dan studi pustaka. Data dianalisi dengan analisis komponensial. Data yang terkumpul diproses melalui proses editing dan pemilahan yang dituangkan dalam bentuk teks naratif.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat ketidaksinkronan undang- undang yang mengatur pilkada dan undang-undang peratun. Tidak ada kejelasan antara konsep sengketa administrasi dan pelanggaran administrasi. Penyelesaian sengketa pilkada di Peratun membutuhkan waktu lama. Fungsi Bawaslu sebagai pengawas pilkada tidak efektif. Selain itu, tidak ada mekanisme sengketa yang jelas dan komprehensif. Serta tidak efektifnya putusan Peratun dalam sengketa pilkada.

Perlu ada perbaikan Undang-Undang yang mengatur sengketa pilkada dan perlu diberi sanksi yang tegas bagi KPUD yang tidak melaksanakan putusan Peratun.

Kata kunci: pemilihan kepala daerah, KPU, Peratun

(9)

ABSTRACT

IRVAN MAWARDI The Administrative Law Enforcement on the Decision of the Candidates by the Regional Election Commission in Local Elections (supervised by Syamsul Bachri and Hamzah Halim)

This research aimed (1) to identify and explain the Administrative Law enforcement on the of dispute solution on the candidate decision by the Regional Election Commission and the parties related to the implementation of the election (2) to explain the effectiveness of the implementation of the Administrative Decision to dispute caused by the determination of the candidates.

The research was conducted in Makassar State Administrative Tribunal (Makassar Administrative Court). The research was a social-legal research using a qualitative approach. The method of collecting the data was observation, literature reviews, and interviews. The data analysis used the componential analusis technique.

The data were then edited and sorted and written down in the form of a narrative text The research result revealed a discrepancy between the law regulating the regional election and the Administrative Law. There was no clear concept between the administrative disputes and the administrative violations. An administrative dispute took along time to solve. The functions of General Eelection Control Agency were not effective. Moreover, there hed been no clear and comprehensive mechanism to solve the election disputes. Also, the decision made by the Administrative court on the local elections disputes was not effective.

Keyword: Local election, Regional Election Commission, Administrative Court

DAFTAR ISI

(10)

Halaman PRAKATA………

….v

ABSTRAK………

….viii

ABSTRACT………

..ix DAFTAR

ISI………..x DAFTAR

TABEL………..xiv DAFTAR

SINGKATAN………...xv

BAB I

PENDAHULUAN……….1

A. Latar Belakang

Masalah………..1

B. Rumusan Masalah………28

C. Tujuan

Penelitian………..28 D. Kegunaan

Penelitian………....29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………

30

(11)

A. Negara Hukum Demokrasi………..30

B. Nomokrasi………. …..

39

C. Hukum Administrasi………..

…..43

1. Definisi Hukum Administrasi……… ….

….43

2. Fungsi Hukum Administrasi……….. … ….

48

3. Tujuan Hukum Administrasi……….

…….49

D. Relevansi Hukum Administrasi Dalam Pelaksanaan Pemilukada…………

…..50

E. Landasan Hukum dan Teoritis Penegakan Hukum Administrasi………….

…,.53

1. Landasan Hukum……….. ……

..53

2. Landasan Teori………..

………55

a. Teori Sistem

Hukum………,………...55

b. Teori Penegakan Hukum dan Sanksi Hukum Administrasi...

57 c. Teori Sanksi Regresif ……….……….

………64

d. Teori Sanksi Reparatoir……….. ……

…..65

e. Teori

Eksekusi………66

(12)

f. Teori Wewenang……….………70

h. Teori Donald Black……….. ……..

…72

F. Periodeisasi Sistem Pemilihan Kepala

Daerah………..74

1. Zaman Orde

Lama……….74

2. Zaman Orde Baru……….

…76

3. Zaman Orde

Reformasi……….78

G. Sengketa Pemilukada………. ….

……85

H. Sengketa Administrasi di Peradilan Tata Usaha Negara……… ..

………87

1. Pengertian Sengketa Tata Usaha negara……… …

…..87

2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara……….

……...89

3. Upaya Administratif di

PTUN……….……….91

4. Tenggang Waktu mengajukan Gugatan….………. ..

…….93

I. Kerangka Pikir………

…………95

(13)

BAB III METODE PENELITIAN………..

………....96

A. Lokasi Penelitian………

………..96

B. Jenis Penelitian……….

………..96

C. Jenis dan Sumber Data………..

…………97

D. Tekhnik Pengumpulan Data………

…………98

E. Tekhnik Analisis Data………

…………98

BAB IV. PEMBAHASAN DAN HASIL

PENELITIAN………...100

A. Penegakan Hukum Administrasi dalam sengketa penetapan pasangan

calon dalam pemilihan kepala

daerah………...100

1. Sinkronisasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-Undang yang mengatur Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)………...

.101

a. Pengaturan Sengketa

Adminsitrasi………...107

b. Analisa Yuridis Kewenangan

PTUN……….…...115

(14)

c. Substansi Perbaikan Ketentuan Perundang- Undangan………....120

a). Tenggang waktu mengajukan

Gugatan………...121

b). Efektifitas Putusan

Penundaan………...132

2. Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum

Pemilukada…………..……...145

a. Kewenangan eksekutorial terhadap laporan pelanggaran dan sengketa

administrasi………..……

….146

b. BAWASLU sebagai Lembaga Banding

Administratif………..150

c. Menghapus kewenangan PTUN

………..………..166

d. Pengadilan ad hoc

Pemilukada………....171

3. Pelaksanaan Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan………...

.182

(15)

B. Efektifitas pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah………..…….

.184

1. Kewenangan eksekutorial kepada

PTUN………....189

2. Sistem Pengawasan dan

Sanksi………...192

3. Budaya Hukum Pejabat

TUN………...199

BAB V

PENUTUP………..202

A. Kesimpulan

………...202 B.

Saran………...203 DAFTAR

PUSTAKA………...204

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

(16)

1. Perbandingan kewenangan PTUN, PU dan MK dalam 117 penanganan sengketa pemilukada

2. Perbedaan Posisi Panwaslu dan Bawaslu periode Pemilukada 154 2005-sekarang

3. Perbandingan Jumlah Perkara Sengketa Pemilukada dengan 167 perkara lainnya di PTUN Makassar yang masuk pada tahun

2009-2012

4. Penyelesaian Sengketa Pemilukada di PTUN Makassar 170

DAFTAR SINGKATAN

Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(17)

KPU : Komisi Pemilihan Umum

KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah MA : Mahkamah Agung

MK : Mahkamah Konstitusi

Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilihan Umum Peratun : Peradilan Tata Usaha Negara

Perludem : Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Pemilu : Pemilihan Umum

Pemilukada : Pemilihan Umum Kepala Daerah PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

UUD NRI 1945: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu ciri dari negara hukum demokrasi adalah adanya pergantian kepemimpinan pemerintahan secara tertib lewat mekanisme pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan suatu instrumen dalam pelaksanaan nilai-nilai hukum dan demokrasi. Oleh karenanya penyelenggaraan pemilu harus senantiasa didasarkan pada asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil1sebagai konsekuensi atas terwujudnya suatu negara yang demokratis.

Pemilu sebagai mekanisme pokok prosedur demokrasi mendapatkan jaminan konstitusional sebagai hasil dari perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yang diatur dalam satu bab tersendiri.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 itu memberikan pedoman dasar baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Dari sisi prosedural, pemilu harus dilakukan lima tahun sekali, secara langsung, umum, dan rahasia. Dari sisi substansial pemilu harus dilakukan secara bebas, jujur, dan adil.

1Lihat Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(19)

Oleh karena itu dalam konteks negara hukum demokratis diperlukan landasan hukum yang kuat agar proses demokrasi prosedural lewat pemilihan umum dapat melahirkan wajah demokrasi yang substantif, yakni pemilu demokratis, transparan dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang independen.

Reformasi konstitusi yang merupakan bagian dari law reform, dengan perubahan UUD NRI 1945 telah merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia secara mendasar2, termasuk dalam bidang penyelenggaraan pemilu. Adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bahwa pemilihan umum sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan independen. Dengan adanya ketentuan itu, maka lebih menjamin kepastian waktu penyelenggaraan pemilihan umum secara teratur reguler per lima tahun dan menjamin proses, mekanisme, serta kualitas penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum.

Perubahan ketiga UUD NRI 1945, Pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping

2 M.Laica Marzuki, 2008, Dari timur ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil Ketua Mahamah Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., (Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan MK:), Hal. 73

(20)

itu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat luas terdiri dari beribu-ribu pulau, dengan jumlah penduduk yang banyak dan menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut keberadaan penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Jimly Assidiqie, dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 sendiri, nama lembaga penyelenggara pemilu itu tidak diharuskan bernama Komisi Pemilihan Umum, Itu sebabnya dalam rumusan Pasal 22E UUD NRI 1945 itu, perkataan komisi pemilihan umum ditulis huruf kecil. Artinya, KPU yang disebut dalam Pasal 22E itu bukanlah nama, melainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara pemilu itu. Dengan demikian, sebenarnya, undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga penyelenggara pemilu itu, misalnya, dengan sebutan Badan Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Pusat dan Komisi Pemilihan Daerah, dan sebagainya3. Meskipun istilah lembaga penyelenggara pemilu tidak didefinitifkan oleh UUD NRI 1945, namun karakter atau sifat dari penyelenggara pemilu tersebut sudah jelas, yakni penyelenggara pemilu harus nasional, tetap dan mandiri.

Bersifat nasional artinya KPU memiliki wilayah kerja seluruh wilayah negara Indonesia. Sifat “nasional” dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni seluruh kabupaten /kota dan Provinsi yang ada di dalam negara kesatuan republik Indonesia.4 Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara

3 Jimly Ashiddiqie, 2006,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hal 237

4Penjelasan undang-undang republik indonesia Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah

(21)

berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu5. Argumentasi sifat “nasional” dan “tetap” ini agar KPU yang permanen dari pusat sampai daerah menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Di lain pihak, keanggotaannnya dapat diganti sesuai dengan masa jabatan tertentu. Dengan kesinambungan inilah diharapkan tidak ada tumpang-tindih dalam pembuatan dan pengambilan keputusan terkait persoalan-persoalan pemilu. Makna “tetap” juga dapat dijelaskan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu tetap melaksanakan tugasnya dibatasi oleh waktu yang menurut Undang-undang adalah 5 (lima) tahun, artinya tidak serta merta setelah proses pemilu selesai kemudian penyelenggara pemilu selesai.

Sifat mandiri menegaskan bahwa KPU harus bebas dari pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menyelenggarakan pemilu. Sifat “mandiri” dimaksudkan bahwa dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilu, KPU bersikap mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan6. Hal tersebut menyiratkan bahwa penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada kepentingan orang-perorang, golongan dan partai politik tertentu. Organisasi ini bekerja menurut aturan perundang-undangan yang berlaku serta mengikuti kaidah manajemen yang normal dalam menyelenggarakan pemilu. Sifat mandiri juga sering disebut dengan sifat independen.

5Ibid

6Ibid

(22)

Arti penting prinsip independensi menurut Ramlan Surbakti7didasarkan kepada tiga hal, Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara, baik yang akan duduk dalam lembaga legislative maupun dalam lembaga eksekutif di pusat dan daerah, untuk bertindak atas nama rakyat dan mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kedua, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur/tertib dan periodik baik perubahan berupa sirkulasi elit politik maupun perubahan arah dan pola kebijakan publik.

Konstitusionalitas penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dapat juga dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004. Pada saat itu pemilihan kepala daerah masih berlangsung berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU.No.32 tahun 2004) dan berada dalam wilayah rezim hukum Pemerintahan Daerah. Walupun demikian MK menyatakan bahwa Pemilukada langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). UUD NRI 1945 yang mensyaratkan kemandirian KPU tidak mungkin terjadi apabila Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan langsung harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sebab, DPRD sebagai lembaga

7Ramlan Surbakti, 2003, “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 19 Tahun, hlm.4-5

(23)

perwakilan rakyat di daerah terdiri atas unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pemilukada langsung tersebut.

Oleh karena itu KPUD harus bertanggungjawab kepada publik bukan kepada DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda. Oleh karena itu MK membatalkan Pasal 57 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD”, sepanjang frase “yang bertanggungjawab kepada DPRD”. Dalam perkembangan hukum selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi bagian dari pemilu, yang dengan sendirinya menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu yang mandiri.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa UUD NRI 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhankehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.

(24)

Maka pada tahun 2007 disahkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu8. Undang-Undang ini merupakan UU pertama kali yang mengatur secara khusus tentang Penyelenggara Pemilu karena selama ini pengaturan tentang Penyelenggara Pemilu diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah. Pada perkembangannya, pada tahun 2011, UU. Nomor 22 Tahun 2007 diubah menjadi UU. No. 15 Tahun 20119tentang Penyelenggara Pemilu.

Sebagai konsekuensi ketentuan konstitusional bahwa penyelenggara Pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2007 juncto UU. No. 15 tahun 2011 menyatakan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota bersifat hierarkis. Oleh karena itu KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah satu kesatuan organisasi berjenjang walaupun telah ditentukan pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing oleh undang-undang. KPU provinsi adalah organ dari KPU yang harus melaksanakan dan mengikuti arahan, pedoman, dan program dari KPU, terutama dalam hal pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Di sisi lain, KPU provinsi harus mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan tugas KPU kabupaten/kota.

Keberadaan KPU di daerah juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan desentralisasi sebagai prasyarat negara demokratis. Sementara dalam konsepsi Negara Hukum Indonesia, ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara hukum” yang menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1)

8Lihat -Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

9Lihat UU. No. 15 Tahun 2011 tentang Perubahan UU. Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

(25)

NRI 1945 yang berbunyi: “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”.

Bagian penting dari demokratisasi dari suatu bangsa adalah adanya praktek desentralisasi sebagai bagian dari memperkuat partisipasi masyarakat pada pembangunan di level daerah. Pandangan bahwa desentralisasi itu memiliki relasi kuat dengan demokratisasi didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi dapat membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk terlibat di dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik di daerah. Hal ini berkaitan dengan realitas bahwa setelah ada desentralisasi, lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik itu lebih dekat dengan rakyat.

Kedekatan itu juga yang memungkinkan rakyat melakukan kontrol terhadap pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan memiliki akuntabilitas yang lebih besar lagi. Tanpa adanya akuntabilitas, rakyat di daerah bisa menarik mandat yang telah diberikan melalui pemilihan. Pemilihan dalam konteks desentralisasi kekinian terwujud dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung yang sudah berlangsung sejak tahun 2005.

Pemilukada sebagai bagian dari proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat maka

(26)

diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah10

Menurut Smith sebagaimana dikutip Lili Romli, ada 2 definisi desentralisasi, yaitu definisi dari perspektif administratif dan definisi dari perspektif politik11. Dalam persepktif, politik desentralisasi adalah the transfer of power from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within state , or offices within a large organization12. Sementara perspektif desentralisasi administrasi didefinisikan sebagai delegasi wewenang administratif, administrative authority dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah13. Tujuan desentralisasi menurut Smith adalah (1) Pendidikan Politik, (2), Latihan kepemimpinan politik (3) memelihara stabilitas (4) mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat (5) memperkuat akuntabilitas publik dan (6) meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat.

Konteks desentralisasi itulah KPUD sebagai pelaksana pemilihan kepala daerah langsung selain bertugas mendesentralisasikan tugas dan kewenangan KPU pusat juga bertanggung jawab dalam memperkuat akuntabilitas publik terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Landasan hukum tentang tugas dan wewenang KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah pada awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 200414. Namun ketentuan dalam

10Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. 2006. Hlm. 218

11Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 2007. hlm.

328

12Ibid

13Ibid. Hlm. 329

14Lihat beberapa ketentuan pilkada di Undang-Undang No. 32 tahun 2004

(27)

UU 32 tahun 2004 secara hukum tidak berlaku lagi sejak disahkannya Undang- Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Pada perkembangan selanjutnya, meskipun UU. No. 22 Tahun 2007 telah direvisi menjadi UU.No. 15 tahun 2011 namun semua substansi yang terkait dengan Tugas dan Wewenang KPU di daerah masih tetap sama dengan pengaturan sebagaimana yang tercantum dalam UU. Nomor .22 tahun 2007. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 junto Undang-Undang No 15 tahun 2011 juga merubah nomenklatur Komisi Pemilihan Daerah (KPUD) menjadi lebih spesifik, yakni Komisi Pemilihan Umum Provinsi (KPU Provinsi) dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPU Kabupaten). Dalam penelitian ini, KPUD yang dimaksud adalah Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPU Kabupaten)

Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 telah mengatur tugas KPU, KPUD Provinsi/Kabupaten pada Pemilukada;

Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 berbunyi:

(3) Tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi;

a. merencanakan program, anggaran, dan jadwal Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi

b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dengan memperhatikan pedoman dari KPU;

c. menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturan perundang- undangan;

(28)

d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturan perundangundangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU;

e. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;

f. menerima daftar pemilih dari KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi;

g. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi yang telah memenuhi persyaratan;

h. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;

i. membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat hasil penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Provinsi, dan KPU”

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, selain diperlukan pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut bena-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum, Undang-Undang ini nomor 15 tahun 2011 juga mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Pengawas Pemili (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(29)

Setelah berlaku selama 4 (empat) tahun, UU. Nomor 22 tahun 2007 kemudian direvisi menjadi UU. Nomor 15 tahun 2011. Salah satu point yang penting dari revisi tersebut adalah keberadaan Bawaslu menjadi permanen sampai di tingkat provinsi.

Hal yang berbeda dengan UU. Nomor 22 tahun 2007 yang mengatur bahwa Bawaslu hanya permanen di tingkat pusat, sementara UU. No 11 tahun 2011 mempermanenkan organisasi Bawaslu sampai level Provinisi. Selain itu , UU. Nomor 15 tahun 2011 juga mengatur tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang secara substansi memiliki otoritas yang lebih kuat dalam mengawasi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU maupun BAWASLU.

Baik Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 maupun Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 mengatur dan mendorong adanya peningkatan kualitas penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, salah satu indikator kualitas penyelenggara Pemilukada adalah kemampuan dalam menegakkan aturan yang menjadi aturan normatif dalam pelaksanaan Pemilukada, baik aturan yang dibuat oleh penyelenggara sendiri maupun aturan yang menjadi acuannya.

KPUD dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara tekhnis dapat dilihat dalam beberapa peraturan teknis antara lain Peraturan Pemerintah dan Keputusan KPU. Khusus KPUD yang terkait dengan penetapan pasangan calon, maka Keputusan KPU nomor 1 tahun 2007 Pasal 6 ayat 2 huruf b menyebutkan bahwa;

“Pencalonan mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (3) huruf g dan huruf l serta Pasal 10 ayat (3) huruf i dan huruf m Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang mengatur mengenai penetapan pasangan calon dan penetapan pasangan calon terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta

(30)

ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan ketentuan Pasal 36 sampai dengan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 yang mengatur mengenai pendaftaran dan penetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Salah satu tugas KPUD adalah melaksanakan pemilihan kepala daerah langsung yang salah satu tahapannya adalah penetapan pasangan calon kepala daerah. Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 berbunyi:

Huruf g. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi yang telah memenuhi persyaratan;

Kewenangan KPUD dalam menetapkan bakal calon menjadi pasangan pasangan dalam pemilukada juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini terkait dengan dibolehkannya calon independen untuk maju dalam Pemilukada sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan Pasal 59A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan:

(2) verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan bupati / wakil bupati dan walikota/ wakil walikota dilakukan oleh KPU Kabupaten/ Kota yang dibantu oleh PPK dan PPS ;

(3) bakal pasangan calon perseorangan untuk pemilihan bupati / wakil bupati dan walikota/ wakil walikota menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28 (dua puluh delapan) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai

(5) verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak dokumen dukungan bakal pasangan calon perseorangan diserahkan ;

(6) Hasil verifikasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita

(31)

acara, yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan kepada akal pasangan calon ;

(7) PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan bakal pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu bakal pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari ;

(8) hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU kabupaten/ kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi di sampaikan kepada bakal pasangan calon ;

(10) KPU kabupaten/ kota melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan bakal pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu bakal pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari ;

Selanjutnya ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :

(3a) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 dan Pasal 59 ayat (5a) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i, calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan / atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling lama 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU provinsi dan/ atau Kpu kabupaten/ kota ; (3b) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (5a) huruf a, calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan / atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling lama 14 (empat belas) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU provinsi dan/ atau KPU kabupaten/ kota ; (4) KPU provinsi dan/ atau KPU kabupaten / kota melakukan penelitian ulang tentang kelengkapan dan/ atau perbaikan persyaratan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a) dan ayat (3b) sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkannya atau calon perseorangan

(32)

(5) Apabila hasil penelitian berkas calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPU Provinsi dan / atau KPU Kabupaten / Kota, partai politik atau gabungan partai politik atau calon perseorangan tidak dapat lagi mengajukan calon

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian persyaratan administrasi pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU

Namun pada kenyataannya, dalam beberapa pelaksanaan pemilukada, KPUD dalam hal ini KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten justru tidak menetapkan pasangan calon yang secara normatif telah memenuhi persyaratan, sebaliknya KPUD menetapkan pasangan calon yang belum memenuhi persyaratan. Beberapa contoh dari penyimpangan ketentuan normatif itu adalah, pertama KPUD tidak melakukan verifikasi secara faktual dan prodesur terkait dengan dukungan bakal calon, baik yang didukung oleh Partai Politik, maupun yang maju pada jalur perseorangan. Kedua, hasil verifikasi tidak disampaikan kepada bakal pasangan calon, jadi hanya disampaikan pada pasangan bakal calon tertentu. Ketiga, rapat pleno penetapan bakal calon tidak kuorum, sehingga proses penetapannya cacat prosedur.

Akibat proses penetapan yang tidak prosedur tersebut, pada faktanya KPUD akhirnya digugat di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon kepala daerah dapat digugat ke Peratun karena jenis keputusan tersebut merupakan jenis keputusan yang dapat digugat di Peratun. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peratun Pasal 2 huruf g diatur bahwa Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang- undang ini:

Pasal 2 huruf g ; Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

(33)

Ketentuan dalam Pasal 2 huruf g tersebut secara limitatif membatasi bahwa yang masuk kategori keputusan yang tidak dapat digugat di Peratun diantaranya adalah keputusan mengenai hasil pemilihan umum. Sedangkan keputusan mengenai penetapan pasangan bakal calon menjadi calon oleh KPUD adalah bukan keputusan tentang hasil pemilihan umum, sehingga masih termasuk kewenangan Peratun untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan apabila terjadi sengketa akibat terbitnya keputusan seperti itu. Pasal 2 huruf g tersebut dipertegas oleh terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2010 yang secara pokok mengatur bahwa

Keputusan-keputusan tersebut yang belum atau tidak merupakan “hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan, dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Pasal 1 butir 3 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka tetap menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam konteks penegakan hukum administrasi di Pemilukada, secara normatif selain Peratun, menurut UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, BAWASLU juga memiliki kewenangan dalam hal terjadi pelanggaran administrasi dalam pemilukada. Kewenangan yang dimaksud adalah apabila terjadi pelanggaran administrasi bukan pada kewenangan apabila terjadi sengketa administrasi. Dalam pelanggaran administrasi, kewenangan Bawaslu adalah merekomendasikan pelanggaran administrasi tersebut kepada KPUD, selanjutnya KPUD yang menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Dalam hal sengketa administrasi, Bawaslu tidak memiliki kewenangan sehingga apabila terjadi sengketa administrasi dalam

(34)

pemilukada seperti halnya sengketa penetapan pasangan calon oleh KPUD, maka calon pasangan yang dirugikan oleh KPUD mengajukan gugatan ke Peratun

Ada beberapa perkara permohonan pembatalan Surat Keputusan KPU daerah tentang penetapan pasangan calon kepala daerah yang yang sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar (PTUN Makassar). Beberapa perkara tersebut antara lain, Pertama, adalah perkara nomor 51/G.TUN/2010/P.TUN.Mks.

antara Ir. Agustinus La’lang, M.Si. sebagai Penggugat melawan KETUA dan / atau Anggota KPUD Kabupaten Toraja Utara sebagai Tergugat15yang dimohonkan batal ke PTUN Makassar. Dalam perkara ini, Penggugat menggugat dan memohon dibatalkan Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010;

Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan alasan menggugat KPUD adalah karena pada tanggal 13 Juli 2010 telah mendaftarkan diri sebagai Bakal Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Toraja Utara Tahun 2010, yang didukung resmi oleh gabungan partai politik yakni Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) dengan perolehan kursi parlemen 1 kursi, Partai Keadilan & Persatuan Indonesia dengan Perolehan kursi parlemen 3 kursi, Partai Barisan Nasional dengan perolehan kursi parlemen 1 kursi dan beberapa partai non parlemen termasuk Partai PKPI dan Partai Barnas. Namun pada akhirnya KPUD Toraja Utara lewat penetapannya menetapkan bahwa hanya satu partai politik yang sah mendukung

15Data Perkara di Bagian Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

(35)

Penggugat yaitu Partai HANURA dan KPUD dalam hal ini Tergugat ‘ menghilangkan/mendiskualifikasi ‘ kebenaran dukungan Partai PKPI dan Partai Barnas yang mendukung Penggugat dan tindakan KPUD Tanah Toraja inilah yang dianggap Penggugat merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan Tergugat, melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan seterusnya.

Dalam gugatannya, selain memohon pembatalan Surat Keputusan Penetapan KPUD, Penggugat juga memohon Penundaan Pelaksanaan Surat Keputusan Penetapan KPUD tersebut karena berpotensi merugikan penggugat. Terhadap dua permohonan tersebut, Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut dalam amar putusannya menyebutkan ;Memerintahkan Tergugat untuk menunda Pelaksanaan dan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten Tana Toraja Utara Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010 Sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde) ;

Dalam putusan akhir, Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan penggugat dan Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010 serta Mewajibkan Ketua dan/atau KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) untuk menerbitkan surat keputusan yang baru yang berisi menetapkan menerima, menyatakan serta mencantumkan nama dan memasukkan dalam daftar urut

(36)

Penggugat sebagai Pasangan Calon yang sah dan memenuhi syarat ketentuan perundang-undangan sebagai Bakal Pasangan Calon dan/atau Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pemilukada Toraja Utara Tahun 2010 .

Ditinjau dari penegakan hukum administrasi, persoalan yang muncul dari perkara ini adalah dalam hal pelaksanaan eksekusi putusan hakim Peratun, baik yang terkait dengan putusan penundaan (schoorsing) maupun pelaksanaan putusan akhir.

Di tengah proses persidangan perkara, ketika Majelis Hakim mengabulkan permohonan Penundaan (schoorsing) dari Penggugat, maka secara hukum Tergugat/KPUD semestinya menunda tahapan Pemilukada. Namun dalam prakteknya, KPUD mengabaikan putusan Majelis Hakim Peratun dan tetap melanjutkan tahapan pemilukada yakni pengundian nomor urut, kampanye dan seterusnya dan mengabaikan status Penggugat.

Tidak dipatuhinya putusan schoorsing Peratun oleh KPUD maka tahapan pemilukada terus berlanjut, sementara penggugat yang secara hukum masih berpeluang untuk bisa menjadi calon kepala daerah akhirnya mengalami kerugian.

Dalam putusan akhir perkara ini, gugatan penggugat juga dikabulkan oleh hakim secara keseluruhan, namun lagi-lagi Tergugat/KPUD tidak melaksanakan putusan Majelis Hakim PTUN Makassar dan memilih untuk melakukan upaya hukum Banding sementara tahapan pemilukada tetap berlanjut sehingga nasib Penggugat sebagai calon peserta Pemilukada semakin mengalami kerugian yang nyata.

Perkara kedua, Keputusan KPU Kabupaten Gowa Nomor : 05 Tahun 2010 tertanggal 19 April 2010 Tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan

(37)

Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010 oleh PTUN Makassar dalam perkara Nomor: 50/G.TUN/ 2010/PTUN.Mks. antara DRS. ANDI MADDUSILA ANDI IDJO sebagai Penggugat melawan KPU KABUPATEN GOWA sebagai Tergugat16.

Dalam gugatannya, Penggugat pada intinya menolak Surat Keputusan Tergugat tersebut karena Surat Keputusan Tata Usaha Negara aquo disamping mengalami cacat hukum, melanggar kepentingan hukum Penggugat, juga merupakan pembohongan publik khususnya pembohongan kepada masyarakat Kabupaten Gowa, dengan alasan-alasan penolakan sebagai antara lain bahwa Tergugat telah secara sengaja/sadar dan melawan hukum telah membiarkan dan meloloskan pasangan calon Kepala Daerah Kabupaten Gowa pasangan nomor urut 4 (empat) atas nama H.

Ichsan Yasin Limpo, SH. MH sebagai Calon Bupati Gowa sementara yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan tehnis administratif yaitu tidak memiliki dan melampirkan foto copy ijazah SD yang dilegalisir

Menyikapi adanya gugatan tersebut, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menetapkan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena gugatan diajukan telah lewat waktu. Dalam pertimbangan penetapan tersebut, Ketua PTUN Makassar menerangkan bahwa gugatan Penggugat telah melampaui tenggang waktu 90 (hari) terhitung sejak saat diterbitkannya atau diumumkannya keputusan yang digugat, maka sesuai ketentuan Pasal 55 juncto Pasal 62 ayat (1) huruf (e), gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima (dismissal procedure).

16Data Perkara di Bagian Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

(38)

Dalam konteks penegakan hukum administrasi di ranah pengadilan administrasi, meskipun gugatan tersebut tidak diterima karena soal tenggang waktu menggugat yang telah kadaluarsa (verjaring), namun yang menjadi permasalahan adalah substansi alasan Penggugat yang dijadikan dalil pokok Penggugat dalam menguji penetapan KPUD. Dalam perkara tersebut alasan Penggugat memohon pembatalan penetapan KPUD adalah didasarkan atas alasan bahwa obyek sengketa a quo dianggap cacat hukum yaitu adanya dugaan ketidakbenaran ijazah dari seorang Calon Kepala Daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010.

Alasan Penggugat tersebut , dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada), adalah termasuk ranah pelanggaran pidana (pemalsuan surat) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Pasal 115 ayat (6) yang berbunyi :

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan, dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan, dan denda paling sedikit Rp.36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah)” ; Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa prosedur penyelesaian atas pelanggaran pidana dalam pemilukada tersebut di atas, telah diatur oleh peraturan perundang-undangan pemilukada, antara lain :

a. Peraturan KPU No.68 Tahun 2009 Pasal 9 ayat (2) huruf f, jo Surat Keputusan KPU Kabupaten Gowa No.2 Tahun 2010 tentang Pedoman Tehnis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010, Bab III Pasal 9 ayat (2) huruf c point f yang berbunyi :

“Apabila terdapat pengaduan atau laporan tentang ketidakbenaran ijazah bakal pasangan calon di semua jenjang pendidikan, kewenangan atas laporan tersebut diserahkan kepada pihak

(39)

Pengawas Pemilu dan Kepolisian, sampai dengan terbitnya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” ;

b. Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, antara lain :

Pasal 111 :

Ayat (5) : “Dalam hal laporan yang bersifat sengketa mengandung unsur tindak pidana, penyelesaiannya diteruskan kepada aparat penyidik” ;

Ayat (7) : “Laporan yang mengandung unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah memperoleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berakibat calon terpilih tidak memenuhi persyaratan, ditindaklanjuti dengan pembatalan pasangan calon oleh DPRD” ; Pasal 114 : “Pemeriksaan atas tindak pidana dalam Peraturan Pemerin-

tah ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, oleh karena alasan gugatan Penggugat didasarkan atas dugaan tindak-pidana yang prosedur penyelesaiannya telah diatur secara khusus di dalam peraturan pemilukada dan menjadi wewenang pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, maka gugatan Penggugat dengan alasan tersebut adalah tidak tepat untuk diajukan ke Peratun. Argumentasinya adalah apabila gugatan Penggugat dapat diterima dan diperiksa pokok perkaranya, berlaku ketentuan Pasal 85 ayat (4) UU No.5/1986 yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa tata usaha negara dapat ditunda sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan” ;

(40)

Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Peratun di atas, proses pemeriksaan perkara di Peratun yang mengandung unsur tindak pidana harus ditunda (tootnader) dalam waktu yang cukup lama karena menunggu putusan pidananya memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dengan demikian terjadi persoalan hukum apabila di satu sisi substansi pidana yang dijadikan alasan utama dalam pengujian penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD ke Peratun belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sementara Peratun harus segera mengeluarkan putusan terkait dengan penetapan tersebut untuk memberikan kepastian hukum kepada KPUD untuk melanjutkan tahapan pemilukada selanjutnya

Baik perkara pertama maupun perkara kedua diatas pada kenyataannya melahirkan persoalan dalam konteks pelaksanaan putusannya ketika telah diputus oleh Majelis Hakim. Selain kedua perkara tersebut, banyak perkara sengketa pemilukada yang diuji oleh PTUN lain selain di PTUN Makassar menimbulkan persoalan hukum akibat putusan PTUN tidak dilaksanakan oleh KPUD sebagai pihak Tergugat. Seperti kasus pemilukada Toraja Utara di atas di mana KPUD Toraja Utara tidak melaksanakan putusan schoorsing yang diputus oleh PTUN Makassar.

Pada perkara lain di PTUN Mataram, yakni perkara dengan nomor putusan PTUN Mataram Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR jo putusan PTTUN Surabaya Nomor 180/B/2010/PT.TUN.SBY tergugat dalam hal ini KPUD Lombok Tengah tidak melaksanakan putusan PTUN Mataram yakni menerbitkan SK Penetapan Pasangan yang baru yang mengikutsertakan nama penggugat sebagai calon bupati Lombok Tengah. Pada perkara lain di PTUN Kupang, dengan nomor perkara 14/g/2010/ptun- kpg, KPUD Kabupaten Timur Tengah Utara juga tidak melaksanakan putusan PTUN

(41)

Kupang yang memerintahkan untuk menerbitkan SK Penetapan untuk mengganti SK Penetapan yang sudah dibatalkan oleh PTUN Kupang.

Terkait dengan pentingnya penegakan hukum administrasi dalam Pemilukada khususnya dalam pengujian penetapan pasangan calon kepala daerah tergambar dari kondisi pemilukada Sulawesi Selatan yang memunculkan beberapa persoalan antara lain:171. Adanya parpol/gabungan parpol yang mengusung lebih dari satu pasangan calon, 2. Penarikan dukungan dari parpol pengusung terhadap calon yang telah dinyatakan lolos verifikasi oleh KPUD.3. Ketidakpuasan sebagian komunitas pendukung pasangan calon yang tidak puas terhadap beberapa keputusan KPUD.

Ketiga kasus sebagaimana dalam laporan KPUD Provinisi Sulawesi Selatan tersebut sangat erat kaitannya dengan pengujian penetapan KPUD tentang Penetapan Pasangan calon kepala daerah yang diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan menggunakan Hukum Administrasi sebagai alat pengujian.

Secara filosofis konstitusional, sebagai negara hukum, maka setiap dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara harus diatur dan berlandaskan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Dalam perspektif hukum administrasi, proses pengelolaan kekuasaan pemerintahan diperlukan sebuah tatanan dan hukum untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan (willkeur) oleh negara atau penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvouir). Menurut H.D. Van wijk18, secara global, hukum administrasi negara merupakan instrument yuridis pemerintah untuk secara

17Dikutip dari Laporan Pilkada KPUD Sulawesi Selatan, 2006

18Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan Pemerintah. Alumni. Bandung. 2004.

hal.133-134

(42)

aktif terlibat dalam kehidupan bersama masyarakat dan merupakan hukum yang dapat digunkan oleh masyarakat untuk mempengaruhi dan mendapat perlindungan dari pemerintah. Beberapa konflik yang terjadi dalam pemilukada mengandung aspek- aspek yang berhubungan dengan penegakan hukum administrasi, Misalnya dalam hal KPUD mengeluarkan Keputusan penetapan pasangan calon yang lolos verifikasi untuk menjadi pasangan resmi. Karena sifatnya dalam bentuk Surat Keputusan (beschikking), maka memiliki peluang untuk digugat di Peratun. Persoalan yang muncul adalah pengelolaan penyelesaian sengketa administrasi dalam konteks pemilukada belum berjalan secara sistematis dan komprehensif. Hal ini disebabkan beberapa hal;

Pertama, masih terbatasnya pemahaman pemangku kepentingan (stakeholeders) pemilukada tentang sengketa administrasi, contoh paling nyata adalah dalam RUU Pemilukada yang saat ini dibahas oleh DPR yang drafnya disusun oleh Pemerintah menyebutkan bahwa penolakan terhadap keputusan KPUD tentang penetapan bakal calon menjadi calon maka dapat diajukan sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 76 ayat 2-5 RUU Pemilukada19 (revisi UU.32 Tahun 2004) disebutkan bahwa:

(1)Calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya penelitian.

(2)Terhadap penetapan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan hasil penetapan calon kepada Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

19Naskah RUU Pemilukada bulan Februari 2012

(43)

(3)Pengadilan Negeri memutus sengketa hasil penetapan calon paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan dari Calon.

(4)Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya

Hal ini menunjukkan betapa pemerintah pun tidak memahami bahwa sengketa terhadap keputusan KPUD adalah sengketa administrasi yang menjadi wewenang Peratun, bukan kompetensi pengadilan umum.

Kedua, proses penyelesaian sengketa administrasi pemilukada tidak diatur secara komprehensif agar mendapatkan kepastian hukum dalam waktu relatif singkat supaya tidak menganggu jalannya persiapan pemilukada. Selain itu banyak tindakan- tindakan penyelenggara pemilukada yang mengakibatkan kerugian bagi publik namun tidak diselesaikan melalui penegakan hukum administrasi negara dalam hal ini Peratun.

Ketiga, politik hukum peraturan perundang-undangan tentang pemilukada belum memberi ruang yang siginifikan terhadap penegakan hukum administrasi negara ketika terjadi sengketa pemilukada. Dalam hal ini banyak sekali aturan yang menjadi pedoman pelaksanaan pemilukada tidak selaras atau tidak kompatibel dengan mekanisme penegakan hukum administrasi dalam hal ini hukum acara di peradilan tata usaha negara. Keempat, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU. 32 tahun 2004 - maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah20 - tidak secara jelas mengatur proses hukum, -

20Lihat selengkapnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

(44)

baik materi maupun formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada.

Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah, UU.

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 61 yang mengatur penetapan pasangan calon kepala daerah, tidak mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur, maka formula penyelesaian sengketa akibat keputusan KPUD sering berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi di Pemilukada Mojokerto, Pemilukada di Papua, Pemilukada di Kabupaten Gowa, Pemilukada di Kabupaten Tanah Toraja Utara dan lain-lain. Bahkan ketentuan yang mendefinisikan tentang Sengketa Pemilukada sampai saat ini belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan manapun yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Kelima, sanksi hukum administrasi atas terjadinya pelanggaran baik yang dilakukan oleh peserta pemilukada maupun penyelenggara pemilukada tidak memiliki efek jera, sehingga muncul ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan terhadap sengketa administrasi.

Adanya pengujian penetapan KPUD tentang pasangan calon kepala daerah oleh Peratun serta persoalan yang muncul dalam proses pengujian tersebut sebagaimana tergambar dalam perkara di atas menunjukkan ada beberapa persoalan penegakan hukum administrasi dalam proses penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD. Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka isu penelitian ini adalah bagaimana penegakan hukum hukum administrasi terhadap sengketa

(45)

penetapan pasangan calon oleh KPUD dan sejauhmana mana efektifitas pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penegakan Hukum Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD ?

2. Sejauhmana efektifitas pelaksanaan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang penegakan Hukum Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan efektifitas pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah

(46)

D. Kegunaan Penelitian

1. Memberikan masukan dan informasi untuk KPUD tentang penegakan Hukum Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD

2. Untuk memberikan masukan, saran dan informasi kepada KPUD dan seluruh pemangku kepentingan dalam pemilihan kepala daerah tentang efektifitas pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah

(47)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara Hukum Demokrasi

Hukum merupakan instrumen berjalannya negara melalui kekuasaan yang dimilikinya. Menurut Mahfud MD, demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat sekali hubungannya dengan hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif21

Kaitan hubungan hukum dengan rakyat maka disadari bahwa sebagai salah satu unsur negara selain wilayah dan pemerintah, rakyat harus dihubungkan dengan ikatannya dengan negara. Ikatan seseorang yang menjadi warga negara itu menimbulkan suatu hak dan kewajiban baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka kedudukan seseorang warga negara dapat disimpulkan dalam empat hal yang disebut sebagai berikut;22 1) Status Positif, yakni seorang warga negara ialah memberi hak kepadanya untuk menuntut tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan dan sebagainya. 2) Status Negatif, yakni seorang warga Negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa negara tidak boleh campur tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya. Campur tangan negara terhadap

21Moh. Mahfud M.D. . Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogjakarta: Gama Media Offset. 1991. Hlm. 1

22Moh. Kusnadi & Bintan R. Saragih. k“ Ilmu Negara”. Gaya Media Pratama. Jakarta .cet-4. 2000. Hlm. 109

(48)

hak-hak asasi warga negaranya terbatas untuk mencegah timbulnya tindakan yang sewenang-wenang daripada Negara.3). Status Aktif, yakni memberi hak kepada setiap warga negaranya untuk ikut serta dalam pemerintahan. 4). Status Positif, yakni merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan tunduk kepada segala perintah negaranya. Keempat hal tersebut menunjukkan bahwa rakyat dalam hal ini warga Negara tidak adapat dipisahkan dari negara , tanpa warga negara, maka warga Negara akan merupakan suatu fiksi besar23.

Sebaliknya di antara keduanya, yakni relasi warga negara dengan negara harus memiliki hukum sebagai norma penertib di antara keduanya. Hukumlah yang dijadikan rakyat untuk melakukan “negosiasi’ dan agregasi kepentingan. Hukum menjadi piranti untuk mengontrol dan membatasi kekuasaan. Untuk menjamin kekuasaan yang dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats maupun rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (software) yang mengarahkan, membatasi, serta mengontrol penyelenggaraan negara24

Tanpa hukum, negara bisa sewenang-wenang sehingga hukum dalam konteks ini adalah batas-batas kebebaskan antara individu dan penguasa dalam setiap interaksi hingga hukum menjadi perlindungan dan jaminan tercapainya kesejahteraan

23Juniarso Ridwan & Achmad Sodik S, “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Publik”. Nuansa. Bandung.

2010.hlm.47

24Mahfud MD, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009. Hlm. 2

(49)

umum. Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan social.

Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan setiap orang harus memperoleh pelayanan social sebagai haknya25. Akses untuk memperoleh pelayanan sosial, politik dan ekonomi tersebut memerlukan konsepsi hubungan warga negara dan warga negara yang lebih demokratis, akuntabel dan partipasipatif.

Demokratisasi hubungan warga negara dengan negara cukup penting untuk menjaga filosofi bahwa kedaulatan rakyat merupakan sumber utama dari kekuasaan yang dimiliki negara. Sehingga hukum yang digunakan negara dalam berkuasa harus juga memiliki karakter hukum yang demokratis. Dengan demikian diperlukan konsep negara demokratis untuk menjaga hubungan negara dan warga negara.

Konsep negara hukum demokratis inilah yang saat ini banyak dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan praktik negara hukum di tengah gelombang demokratisasi. Beberapa literatur dan pendapat pakar hukum berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada ruang yang bisa memberi celah berpisahnya konsep negara hukum dan demokratisasi. Sehingga konsep negara hukum selalu identik dengan demokratisasi. Para ahli hukum pasca abad 21 lebih cenderung menggunakan istilah Negara hukum yang demokratis. Alasannya sederhana bahwa hukum ketika menjadi instrument negara dalam menata kekuasaan tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, persamaan hak, partisipasi, akuntabilitas. Sebaliknya

25Edy Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State…sebagaimana dikutip Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara;mendorong terwujudnya Pemerintahan yang bersih dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta.

2009. Hlm. 2

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data tentang ketercapaian KKM dilakukan dengan membandingkan persentase jumlah peserta didik yang mencapai KKM pada skor dasar dengan jumlah peserta didik

Berdasarkan kondisi tersebuut diatas, maka dilakukan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam 2 siklus dengan perbandingan hasil dari lima kondisi yang terangkum dalam

kepribadian yang dirancang dan sesuai dengan sifat-sifat karakter yang dimilikinya. Fisiognomi, sebagai studi mendalam pengamatan karakteristik fisik wajah manusia

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat meyusun proposal skripsi dengan judul

Metode penelitian adalah sistem pendeteksi banjir peringatan dini ini dibangun dengan menggunakan Arduino sebagai mikrokontroler yang mengendalikan sensor ultrasonik untuk

Semua pintu pada rumah barak petugas dipakai pintu panel, sedangkan pintu kamar mandi / WC memakai pintu panel bagian dalam dilapisi dengan seng aluminium, pintu yang

gerak sendi yang tidak ada pengaruh peregangan adalah pada fleksi lengan