• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN BERDASARKAN EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Prieska Wijaya NIM : 089114046

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

PERBEDAAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN BERDASARKAN EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Prieska Wijaya NIM : 089114046

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2013

(3)
(4)
(5)

HALAMAN MOTTO

Keberhasilan itu adalah sebuah titik kecil yang berada di puncak segunung

kegagalan. Maka kalau mau sukses, carilah kegagalan

sebanyak-banyaknya. (Bob Sadino)

Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin. Dengan mencoba sesuatu

yang tidak mungkin, Anda akan bisa mencapai yang terbaik dari yang

mungkin Anda capai (Mario Teguh)

Kebahagiaan itu seperti batu arang, ia diperoleh sebagai prosuk sampingan

dalam proses pembuatan sesuatu. (Aldous Huxley)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang penuh kuasa dan kasih

selalu mendampingi, memudahkan, dan mengajarkanku dalam

kehidupan sehingga dapat merasakan kebahagiaan dan kebanggan,

terutama dengan terselesaikannya tugas akhir ini.

Keluarga, terutama Orangtua tercinta Bapak Endang Widodo serta

Ibunda Veronica Lasmiyati yang selalu memberikan doa, arahan,

nasehat, serta dukungan-dukungan dalam proses pengerjaan tugas

akhir.

Teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,

terimakasih atas dukungannya selama ini.

(7)
(8)

PERBEDAAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN BERDASARKAN EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

Prieska Wijaya

ABSTRAK

Penelitian komparatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional. Subjek dalam penelitian ini adalah sebagian karyawan dan supervisor PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA). Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 84 subjek. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kepuasan kerja berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional. Apabila gaya kepemimpinan situasional efektif, maka kepuasan kerja tinggi, sedangkan apabila gaya kepemimpinan situasional tidak efektif maka kepuasan kerja karyawan rendah. Metode pengumpulan data menggunakan 4 skala, yaitu skala kepuasan kerja (MSQ), skala kematangan pekerjaan dan psikologis, skala perilaku hubungan, dan skala perilaku tugas. Skala kepuasan kerja memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,866, skala kematangan pekerjaan dan psikologis memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,966, skala perilaku hubungan memiliki koefisein reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,952, sedangkan skala perilaku tugas memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,957. Kriteria dalam menentukan kepemimpinan situasional yang efektif dan yang tidak efektif adalah dengan cara menyesuaikan skor kematangan pekerjaan dan psikologis dengan skala perilaku hubungan dan skala perilaku tugas. Apabila gaya kepemimpinan situasional efektif diberikan skor 1, sedangkan untuk gaya kepemimpinan tidak efektif diberikan skor 0. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Independent Samples T-Test. Hasil penelitian menunjukkan nilai t hitung sebesar -0,254 dengan p sebesar 0,800 (p>0,05). Maka dari itu, Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas gaya kepemimpinan situasional.

Kata kunci : Kepuasan Kerja, Efektivitas Gaya Kepemimpinan Situasional

(9)

THE DIFFERENCE OF WORKING SATISFACTION BASED ON SITUATIONAL LEADERSHIP AFFECTIVITY

Prieska Wijaya

ABSTRACT

The aim of this research is to find out the difference of working satisfaction based on situational leadership affectivity. The subjects of this research are 84 employees of PT. Adi Satria Abadi. The hypothesis of this research is there is differences between working satisfaction based on situational leadership affectivity. If the situational leadership is effective, therefore working situational is high. Whereas, if the situational leadership is ineffective, therefore the working satisfaction is low. The method of the data collection uses 4 scales, they are working satisfaction scale (MSQ), job and psychological scale, relationship behavior scale, and task behavior scale. The work satisfaction scale has 0.866 of Alpha Cronbach reliability co efficiency. The job and psychological maturity scale has 0.966 of Alpha Cronbach reliability scale. The relationship behavior scale has 0.952 of Alpha Cronbach reliability scale. The task behavior scale has 0.957 of Alpha Cronbach reliability co efficiency. The criterion in defining whether it is an effective or ineffective situational leadership is by adjusting the score of job and psychological maturity scale with the score of relationship behavior scale and the score of task behavior scale. If the leadership style is ineffective, the score will be 1, but if the leadership style is ineffective, the score will be 0. The data analysis uses Independent Samples T-Test. The result of this research shows that the t-calculate score is -0.254 with the p of 0.800 (p>0.05). Therefore, the accepted Ho means that there is no significant difference in the employees working satisfaction based on the situational leadership affectivity.

Keywords : working satisfaction, situastional leadership affectivity

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan, perlindungan, serta kasih yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul ”Perbedaan Kepuasan Kerja Karyawan berdasarkan Efektivitas Kepemimpinan Situasional” disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan tulus membantu penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu P. Henrietta PDADS., M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan ketulusan, kesabaran dan kasih sayang beliau tidak pernah lelah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran, serta nasehat dan dorongan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Dosen Pembimbing Akademik.

3. Ibu Ratri Sunar A., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang turut

membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi atas bimbingan dan ilmu yang diberikan

dari awal perkuliahan.

(12)

5. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Gi’ untuk ketulusan bantuan yang telah diberikan selama ini.

6. Bapak Sigit Nugroho, selaku Asisten Manager PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA) yang telah memberikan ijin serta bantuan selama proses pengambilan data.

7. Orangtuaku tercinta yang tak pernah lelah mendukung, memberikan kasih sayang serta cintanya kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. 8. Kakakku Lina Permanasari dan suaminya yang selalu membantu, mendukung

dan mendoakanku dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.

9. Keluarga besarku khususnya keluarga Om Waskito yang telah memberikan kemudahan dan arahan dalam pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini.

10. Clara Risti Septiyani, kekasihku tersayang. Terimakasih untuk kesabaran, pemahaman, dan pendampingannya, serta diskusi-diskusi yang sangat membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

11. Seluruh supervisor dan karyawan PT. Adi Satria Abadi atas kesediaannya

meluangkan waktu dalam pengisian skala dalam penelitian ini.

12. Teman-teman seperjuangan Psikologi 2008 Kika, Lusi, Chelly, Wawan, Nursih, Puput, Priska, Dewi, Heni, Wahyu, Selly, Nina, Anna, Desi, Alberto, dan semuanya saja atas bantuan, dukungan, dan diskusi-diskusi, serta kebersamaan selama ini.

13. Segenap pihak yang selalu mendukung dan memberi semangat penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

(13)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh sebab itu penulis memohon maaf atas kesalahan yang telah dilakukan selama penyusunan skripsi ini. Penulis menerima kritik dan saran yang membangun guna menunjang kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.

Yogyakarta, 14 Mei 2013 Penulis

(Prieska Wijaya)

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

(15)

D. Manfaat Penelitian... 8

3. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja ... 17

B. Kepemimpinan Situasional ... 28

1. Definisi Kepemimpinan... 28

2. Definisi Kepemimpinan Situasional ... 28

3. Komponen Perilaku Pemimpin dan Kematangan Anggota dalam Kepemimpinan Situasional ... 29

4. Jenis Gaya Kepemimpinan ... 32

5. Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 35

C. Dinamika Perbedaan Kepuasan Kerja berdasarkan Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 36

D. Hipotesis Penelitian ... 40

BAB III. METODE PENELITIAN ... 41

A. Jenis Penelitian ... 41

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41

1. Variabel Bebas... 41

2. Variabel Tergantung ... 41

(16)

C. Definisi Operasional ... 42

1. Kepuasan Kerja ... 42

2. Efektivitas Gaya Kepemimpinan Situasional ... 42

D. Subjek Penelitian ... 43

E. Metode Pengumpulan Data ... 43

1. Kuesioner Kepuasan Kerja ... 43

2. Skala Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 45

F. Validitas dan Reliabilitas ... 47

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 51

(17)

B. Keterbatasan Penelitian ... 65

C. Saran ... 66

1. Bagi Perusahaan PT. Adi Satria Abadi... 66

2. Bagi Karyawan Perusahaan PT. Adi Satria Abadi ... 66

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 71

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator Perilaku Tugas Pemimpin ... 30

Tabel 2. Indikator Perilaku Hubungan Pemimpin ... 31

Tabel 3. Blue-Print Kuesioner Kepuasan Kerja ... 45

Tabel 4. Blue-Print Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis (supervisor)... 46

Tabel 5. Blue-Print Skala Perilaku Tugas (karyawan) ... 46

Tabel 6. Blue-Print Skala Perilaku Hubungan ... 47

Tabel 7. Karakteristik Subjek Penelitian ... 53

Tabel 8. Deskripsi Skala Penelitian ... 54

Tabel 9. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk ... 56

Tabel 10. Independent Samples T-Test ... 60

(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gaya Kepemimpinan Situasional ... 33 Gambar 2. Skema Perbedaan Kepuasan Kerja berdasarkan

Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 39 Gambar 3. Level Kematangan Karyawan ... 59

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Penelitian (Karyawan) ... 72

Lampiran B. Skala Penelitian (Supervisor) ……… 83

Lampiran C. Uji Reliabilitas Kuesioner Kepuasan Kerja ... 88

Lampiran D. Uji Reliabilitas Skala Kepemimpinan Situasional ... 90

Lampiran E. Uji Normalitas ... 94

Lampiran F. Uji Independent Samples T-Test ... 96

Lampiran G. Surat Keterangan Terjemahan ... 98

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sumber daya manusia (karyawan) merupakan salah satu faktor yang sangat strategis dan fundamental dalam organisasi. Oleh karena itu, sumber daya manusia merupakan aset yang paling berharga dalam organisasi (Sudarmanto, 2009). Sumber daya manusia merupakan human capital dan

intellectual capital yang akan menentukan efektivitas atas faktor modal,

peralatan, dan struktur (Schultz, dalam Sudarmanto, 2009). Human capital adalah sumber daya yang dimiliki manusia dalam bekerja yang terdiri dari kemampuan, perilaku, usaha, tenaga, dan waktu. Intellectual capital adalah sumber daya manusia yang terdiri dari ketrampilan, pengetahuan, dan keahlian yang digunakan saat bekerja. Peranan sumber daya manusia akan sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan (Sudarmanto, 2009).

Setiap organisasi dituntut untuk mampu berkompetisi sehingga dapat tetap bertahan dalam persaingan global dengan cara memperkuat kapasitas organisasi dan sumber daya manusia (Sudarmanto, 2009). Dengan kata lain, agar organisasi dapat bertahan, organisasi harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.

Sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya manusia yang memiliki kinerja yang baik. Kinerja karyawan yang baik dapat dipengaruhi oleh kepuasan kerja (Sinambela, 2012). Karyawan yang merasa

(22)

puas akan berdampak positif pada kinerja yang semakin baik. Oleh karena itu, organisasi harus dapat mempertimbangkan kepuasan kerja karyawannya, jikalau organisasi tersebut ingin mencapai produktivitas atau hasil yang tinggi sesuai dengan visi dan misi.

Kepuasan kerja adalah suatu hal yang mencerminkan perasaan seseorang tentang pekerjaannya secara keseluruhan yang dilihat dari berbagai sudut pandang (Spector, 1996). Kepuasan kerja berhubungan dengan keterikatan pegawai pada organisasinya. Karyawan yang tidak merasakan kepuasan kerja, kemungkinan akan berakibat pada tingginya keluar masuk (turn over) karyawan dari organisasi, kemangkiran dalam pekerjaan dan demo atau protes dari karyawan (Sinambela, 2012).

Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor utama perkembangan perusahaan sesuai tujuan dari perusahaan tersebut. Kinerja karyawan pun akan semakin produktif dengan adanya kepuasan kerja (Sinambela, 2012). Ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam dirinya, karyawan tersebut akan memberikan kontribusi yang optimal bagi perusahaan.

Sebuah pandangan mengungkapkan bahwa kepuasan kerja merupakan kontribusi dari reaksi kognitif dan afektif terhadap persepsi diferensial dari apa yang seorang karyawan ingin terima dibandingkan dengan apa yang benar-benar ia terima (Cranny et al., dalam European Journal of Social

Sciences, 2011). Senada dengan pernyataan tersebut, kepuasan kerja juga

(23)

2010). Kepuasan kerja juga dipandang sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya (Howell dan Dipboye, dalam Munandar, 2006). Kepuasan kerja biasanya didasarkan pada persepsi karyawan terhadap karakteristik pekerjaan dalam satu waktu, ganjaran yang memuaskan, hubungan baik dengan teman kerja dan lain-lain (Wijono, 2010).

Belum lama ini (19/4/2012) terjadi fenomena akibat adanya ketidakpuasan kerja. Ribuan buruh dari PT. Starnesia Garment mengadakan aksi unjuk rasa ketidakpuasan kerja terkait besarnya kenaikan upah gaji yang tidak sesuai dengan janji perusahaan (Dundu, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa karyawan tersebut merasa tidak puas, terutama karena upah yang diberikan tidak sesuai dengan kinerjanya dalam perusahaan. Selain ketidakpuasan kerja terkait dengan masalah gaji, ada juga kejadian demonstrasi para buruh di PT. Toyota Astra Motor yang menuntut hak-hak buruh, seperti hak cuti, hak tunjangan keluarga, dan jaminan kesehatan (Raden, 2012). Kejadian tersebut mengindikasikan bahwa para buruh yang melakukan demo tidak memiliki kepuasan kerja yang baik.

(24)

diketemukan ketika kepuasan kerja tidak hadir dalam proses kerja karyawan adalah dampak terhadap produktivitas, ketidakhadiran (absenteeism) dan keluarnya tenaga kerja (turnover), serta kesehatan (Munandar, 2006). Dampak tersebut sangat nampak pada dua contoh kejadian yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam kasus tersebut, karyawan yang melakukan demo meninggalkan pekerjaannya (absenteeism) untuk memprotes kebijakan perusahaan yang merugikan para karyawan. Hal ini juga berdampak pada produktivitas perusahaan karena sebagian karyawannya meninggalkan pekerjaannya untuk berdemo atas ketidakpuasan yang dirasakannya.

Ketidakpuasan kerja berdampak pada produktivitas (Munandar, 2006). Apabila ketidakpuasan kerja rendah, maka produktivitas perusahaan akan semakin meningkat, tetapi hal ini harus disertai dengan pandangan karyawan bahwa ganjaran intrinsik (rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (gaji) telah diterimanya sebagai hal yang adil dan wajar.

(25)

meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil.

Munandar (2006) menyatakan dampak terakhir dalam ketidakpuasan kerja adalah dampak terhadap kesehatan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kornhauser (dalam Munandar, 2006) dapat disimpulkan bahwa ukuran-ukuran kepuasan kerja merupakan peramal yang baik bagi longevity atau panjang umur atau rentang kehidupan seseorang. Ketika seseorang memiliki kepuasan yang tinggi, rentang umur kehidupannya akan semakin panjang.

(26)

Smither (1994) secara khusus menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan adalah faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja. Jika gaya kepemimpinannya efektif, maka kepuasan kerja tinggi dan juga sebaliknya ketika gaya kepemimpinannya tidak efektif, maka kepuasan kerja karyawan akan rendah. Dalam dunia usaha, gaya kepemimpinan akan memiliki dampak bagi kelangsungan perusahaan. Peran pemimpin dalam menjalankan perusahaan sangatlah berpengaruh terhadap kinerja dan kepuasan karyawan. Kualitas dari kepemimpinan merupakan faktor penting dalam sebuah pekerjaan, di setiap karir pekerja, dan dalam kesuksesan maupun kegagalan perusahaan (Kaiser, Hogan, dan Craig, dalam Schultz, 2010).

Kepemimpinan melibatkan proses pengaruh sosial di mana seseorang mengarahkan anggota kelompok menuju sasaran (Bryman, dalam Weiner, 2003). Menurut Ivancevich dkk (dalam Anoraga, 1995) kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi aktivitas orang lain melalui komunikasi, baik individual maupun kelompok ke arah pencapaian tujuan.

(27)

lingkungan dalam perusahaan, artinya permimpin harus dapat berperilaku atau bertindak (gaya kepemimpinan) sesuai dengan berbagai kematangan yang dimiliki karyawannya sehingga level kematangan karyawan akan semakin meningkat (Munandar, 2006).

(28)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya dalam ilmu psikologi industri, yaitu dengan memberikan informasi tentang kepuasan kerja dan efektivitas gaya kepemimpinan situasional.

2. Manfaat Praktis

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEPUASAN KERJA

1. Definisi Kepuasan Kerja

Menurut Lofquist dan Davis (1991), tokoh yang menyusun

Minnesota Satisfaction Questionnaire kepuasan kerja merupakan reaksi

afektif positif individu sebagai akibat dari penilaian individu terhadap sejauh mana kebutuhannya dipenuhi oleh lingkungan kerja. Locke (1976) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah kesenangan dalam keadaaan emosional positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja (Statt, 1994). Kepuasan kerja juga merupakan perasaan yang positif maupun negatif dalam suatu pekerjaan yang dilakukannya (Riggio, 2008). Senada dengan pernyataan tersebut, kepuasan kerja juga diartikan sebagai perasaan dari seseorang yang telah memiliki pekerjaan, sejauh mana orang tersebut merasa positif atau negatif tentang aspek intrinsik atau ekstrinsik dari suatu pekerjaannya (Bhuian dan Menguc, 2002; Hunt et al., 1985, dalam Business Intelligence Journal, 2010).

Sebuah penelitian yang penuh kontroversial (Arvey, Bouchard, Segal dan Abraham, Arvey, McCall, Boucgard, Taubman dan Cavanaugh, Keller, Bouchard, Arvey, Segal dan Dawis, dalam Aamodt, 2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja tidak hanya cukup stabil dalam pekerjaan, tetapi juga bisa ditentukan secara genetik. Ada juga yang

(30)

menyebutkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu hal yang mencerminkan perasaan seseorang tentang pekerjaannya secara keseluruhan yang dilihat dari berbagai sudut pandang (Spector, 1996). Di samping itu kepuasan kerja merupakan perasaan yang umum, dari seseorang terhadap pekerjaannya (Robbins, 1996).

Dari keseluruhan definisi tentang kepuasan kerja tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu hal yang mencerminkan perasaan seseorang tentang pekerjaannya secara keseluruhan yang dilihat dari berbagai sudut pandang (Spector, 1996)

2. Komponen Kepuasan Kerja

Di dalam Minnesota Satisfaction Questionnaire, terdapat beberapa komponen kepuasan kerja, yaitu (Weiss, Dawis, England, dan Lofquist, 1967) :

a. Ability Utilization (penggunaan kemampuan)

Dalam dunia kerja, kemampuan seorang karyawan belum tentu akan terpakai dalam perusahaan. Oleh karena itu, ketika kemampuan karyawan tersebut digunakan dan dapat bermanfaat bagi perusahaan, karyawan itu akan merasa bangga dan puas atas kerjanya.

b. Achievement (prestasi)

(31)

pekerjaannya, ada karyawan yang berhasil menyelesaikan dengan baik dan ada juga yang kurang berhasil dalam pekerjaannya. Ada karyawan yang berprestasi dan ada yang tidak berprestasi dalam kerjanya. Ketika karyawan berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, karyawan tersebut merasa bahwa dirinya memiliki prestasi yang lebih baik. Dengan prestasi itu, karyawan tersebut akan merasa lebih puas dalam bekerja daripada karyawan yang kurang berprestasi.

c. Activity (aktivitas)

Dalam bekerja, seorang karyawan dituntut untuk dapat bekerja secara maksimal setiap harinya. Oleh karena itu, ketahanan tubuh dalam bekerja sangat penting bagi karyawan. Karyawan dengan ketahanan kerja yang baik akan mampu bekerja dalam waktu yang lama. Dengan ketahanan kerja yang lama itulah karyawan dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya sehingga karyawan bisa merasakan kepuasan kerja.

d. Advancement (kenaikan pangkat)

(32)

mampu berprestasi dan dapat bermanfaat untuk perusahaannya. Dengan memperoleh jabatan yang lebih tinggi, tingkat kepuasan kerja karyawan tersebut akan lebih baik dari sebelumnya.

e. Authority (Kekuasaan)

Kewenangan dalam suatu hal di perusahaan dapat membuat karyawan memiliki kepuasan kerja yang lebih baik. Dengan memiliki kewenangan atau otoritas pekerjaan, karyawan merasa bahwa dirinya memiliki kedudukan yang tinggi dengan kewenangannya tersebut. Karyawan yang memiliki wewenang akan memiliki tingkat kepuasan yang lebih baik daripada karyawan yang tidak memiliki wewenang.

f. Company Policies and Practices (Kebijakan perusahaan untuk diterapkan)

Kebijakan perusahaan memiliki peran penting dalam kepuasan kerja karyawan. Kebijakan perusahaan juga diharapkan dapat menguntungkan dan berpihak pada karyawannya. Karyawan akan merasa puas dalam bekerja ketika kebijakan perusahaannya berpihak pada mereka dan mudah untuk diterapkan oleh karyawan.

g. Compensation (kompensasi)

(33)

apa yang telah ia kerjakan dalam perusahaan, karyawan tersebut akan merasa puas dalam bekerja. Tetapi ketika karyawan merasa bahwa kompensasinya terlalu rendah dapat mengakibatkan ketidakpuasan dalam kerja.

h.Co-workers (rekan kerja)

Dalam dunia kerja, tidak mungkin bagi karyawan untuk menyelesaikan pekerjaannya secara individu atau tanpa melakukan relasi dengan rekan kerja. Karyawan yang memiliki hubungan erat dengan sesama rekan kerja dapat memudahkan dalam pekerjaannya. Selain itu, karyawan yang memiliki hubungan baik dengan rekan kerjanya akan dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja.

i. Creativity (kreativitas)

(34)

j. Independence (kebebasan)

Penyelesaian pekerjaan karyawan bisa dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan bekerja kelompok otomatis antar karyawan dalam kelompok tersebut saling bertukar pemikiran. Tetapi ketika karyawan bisa menyelesaikannya secara individu, mereka akan memiliki kepuasan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan karyawan tersebut merasa bangga dengan apa yang telah ia kerjakan secara individu.

k. Moral Values (nilai moral)

Ketika bekerja ada kalanya karyawan melakukan suatu hal yang bertentangan dengan hati nuraninya (moral). Mereka melakukan tugas-tugas perusahaan tanpa dilandasi moral yang baik. Alhasil ketika karyawan tersebut bekerja tanpa hati nurani (moral), karyawan tersebut tidak akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Sedangkan jika seorang karyawan menyelesaikan suatu pekerjaan dengan berlandaskan hati nuraninya (moral), karyawan tersebut dapat merasa puas dalam kerjanya.

l. Recognition (penghargaan)

(35)

akan merasa puas dalam pekerjaannya. Karyawan akan merasa bahwa dirinya sangat berguna dan bermanfaat bagi perusahaan.

m.Responsibility (tanggung jawab)

Setiap karyawan belum tentu dapat mempergunakan penilaiannya untuk pekerjaan orang lain. Hanya karyawan-karyawan tertentu lah yang dapat menilai dengan penilaiannya sendiri. Padahal, karyawan akan lebih senang dan puas ketika mereka diperbolehkan melakukan penilaian sesuai dengan apa yang ia rasakan.

n.Security (keamanan)

Setiap pekerja berharap bahwa perusahaan yang menaunginya menyediakan keamanan kerja. Dengan keamanan kerja, karyawan dapat bekerja dengan aman dan nyaman. Keamanan dan kenyaman kerja itulah yang dapat membuat karyawan merasa puas dalam kerjanya.

o. Social Service (layanan sosial)

(36)

p. Social Status (status sosial)

Setiap pekerja berharap bahwa mereka dapat menunjukkan karakternya dalam suatu kelompok kerja sehingga mereka memiliki peran yang penting dalam kelompoknya. Ketika seorang pekerja memiliki peran dalam kelompoknya, ia akan merasakan suatu kepuasan tersendiri dalam bekerja.

q. Supervision-Human Relations (supervisi-hubungan relasi)

Seorang karyawan untuk dapat merasakan kepuasan kerja tergantung dari cara supervisor mensupervisi bawahannya. Ketika supervisor dapat berinteraksi dan melakukan hubungan baik dengan bawahannya, maka bawahan akan merasa senang karena merasa diperhatikan. Dengan memiliki hubungan yang baik tersebut, karyawan akan dapat merasakan kepuasan kerja yang lebih baik.

r. Supervision-Technical (supervisi-teknis)

(37)

s. Variety (variasi)

Karyawan yang hanya melakukan suatu pekerjaan yang menetap dalam jangka waktu yang panjang akan merasa bosan dengan pekerjaannya. Maka dari itu, variasi pekerjaan atau kesempatan melakukan pekerjaan lain dapat bermanfaat untuk mengatasi kebosanan kerja. Dengan melakukan variasi pekerjaan, maka karyawan akan merasa lebih puas dalam kerjanya.

t. Working Conditions (kondisi kerja)

Kondisi kerja atau lingkungan kerja dapat berperan untuk memunculkan kepuasan kerja bagi karyawan. Kondisi kerja yang mendukung, nyaman, dan aman sangat diharapkan oleh karyawan perusahaan sehingga kinerjanya dapat meningkat. Dengan kinerja atau produktivitas yang meningkat, otomatis karyawan tersebut dapat merasakan kepuasan kerja.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

(38)

faktor lain di luar diri karyawan (faktor pekerjaan) yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan.

a. Faktor Individu

Ada banyak hal yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yang terdapat dalam diri setiap karyawan (Schultz, 2006). Faktor-faktor tersebut, antara lain :

1) Usia

Usia merupakan salah satu faktor dari munculnya kepuasan kerja karyawan. Karyawan yang memiliki usia paling muda merupakan karyawan yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang paling rendah. Pada umumnya, kepuasan kerja karyawan semakin bertambah seiring bertambahnya usia dari setiap karyawan. Banyak diantara karyawan yang berusia lebih tua memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dan aktualisasi diri dalam bekerja. Seiring bertambahnya usia, karyawan juga semakin memiliki tanggung jawab, kepercayaan diri, dan kompetensi yang lebih baik sehingga bisa memunculkan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan karyawan yang sudah berumur memiliki pengalaman kerja yang tinggi.

2) Gender

(39)

pola yang jelas dari perbedaan gender dalam kepuasan kerja karyawan. Hal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja bukanlah

gender, melainkan kelompok kerja yang terdiri dari gender yang

berbeda. Dalam kelompok tersebut, wanita biasanya lebih sering dibayar lebih sedikit daripada pria dengan satu pekerjaan yang sama. Hal inilah yang mempengaruhi kepuasan kerja di setiap perusahaan dari segi gender. Oleh sebab itu, wanita dituntut untuk bekerja lebih keras dan membuat hal semenarik mungkin dalam kerjanya supaya pekerja wanita bisa mendapatkan kompensasi yang sebanding dengan pekerja pria.

3) Ras

(40)

4) Kemampuan Kognitif

Kemampuan kognitif karyawan tidak bisa menjadi patokan bagaimana tingkat kepuasan kerja karyawan tersebut, karena kemampuan kognitif lebih berkaitan dengan tipe kerja seorang karyawan. Dalam banyak pekerjaan, kemampuan kognitif sering dikaitkan dengan performansi dan kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki kemampuan kognitif yang baik justru tidak memiliki tingkat kepuasan kerja yang bagus. Hal ini dikarenakan karyawan tersebut tidak memiliki tantangan dalam bekerja sehingga ketika menyelesaikan suatu pekerjaan yang dianggap sulit oleh orang lain, karyawan tersebut bisa menyelesaikan dengan mudah. Selain itu, karyawan yang memiliki tingkat kemampuan kognitif yang lebih baik dari orang lain justru lebih mudah merasakan kebosanan dalam bekerja.

5) Pengalaman Kerja

(41)

karyawan baru tersebut diberikan bukti nyata atas hasil kerjanya, mereka mulai merasa semangat bekerjanya menurun. Ternyata setelah karyawan perusahan melewati beberapa tahun dalam kerjanya, mereka mulai menurun kinerjanya sehingga kepuasan kerja dirasa kurang dalam dirinya.

6) Penggunaan Ketrampilan

Setiap karyawan perusahaan sangat mengharapkan bahwa ketrampilan dan kemampuannya bisa diberikan secara maksimal kepada perusahaan di mana ia bekerja. Tetapi faktanya adalah perusahaan kurang memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan atau mengaplikasikan ketrampilannya dalam bekerja. Padahal faktor utama dalam kepuasan kerja adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya dalam perusahaan dengan level kualitas yang sangat baik (Ekland, 1995, dalam Schultz, 2006).

7) Kecocokan Kerja

(42)

perusahaan. Tetapi jika hubungan antara pekerjaan dan kemampuan rendah, maka tingkat kepuasan kerjanya dapat berkurang.

8) Keadilan Organisasi

Keadilan kerja dalam perusahaan merupakan bagaimana seorang karyawan diperlakukan oleh perusahaannya dalam bekerja. Perlakuan perusahaan yang tidak adil terhadap karyawan sangat berdampak pada kepuasan kerja, performansi, dan komitmen dalam bekerja akan mengalami penurunan. Ketika karyawan mengalami hal tersebut, perusahaan dapat meningkatkan kembali keadilan kerja karyawan dengan mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan (Schminke, Ambrose, dan Cropanzano, 2000, dalam Schultz, 2006).

9) Kepribadian

Faktor kepribadian yang berkaitan dengan kepuasan kerja adalah sikap keterasingan dan locus of control. Karyawan yang memiliki keterasingan yang rendah dan internal locus of control akan lebih mudah merasakan kepuasan kerja yang tinggi. Dalam meta analisis penelitian kepuasan kerja, menyebutkan bahwa ada hubungan positif antara internal locus of control dan kepuasan kerja. Dalam penelitian tersebut juga menemukan bahwa self

(43)

berhubungan dengan kepuasan kerja yang tinggi (Judge dan Bono, 2001, dalam Schultz, 2006). Selain itu, dua dimensi dalam kepribadian tipe A yaitu achievement striving dan impatience /

irritability juga memiliki kaitan dengan kepuasan kerja. Karyawan

yang memiliki achievement striving (kerja keras dan keseriusan) akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Sedangkan karyawan yang memiliki sifat irritability / impatience (permusuhan, marah, tidak toleran) akan memiliki kepuasan kerja yang rendah.

10) Kontrol Kerja

Kontrol kerja tidak hanya dilakukan dan menjadi kewajiban seorang supervisor, melainkan kontrol kerja juga sangat dibutuhkan oleh setiap karyawan perusahaan. Karyawan yang memiliki kontrol kerja yang baik akan menjadikan karyawan tersebut memiliki motivasi yang tinggi sehingga karyawan tersebut mempunyai tingkat kepuasan kerja yang lebih baik.

11) Status atau Level Kerja

(44)

biasanya menawarkan wewenang yang lebih, tanggung jawab, dan tantangan dalam kerja. Hal ini berarti karyawan tersebut dapat mengaktualisasikan kemampuannya dalam bekerja, yang merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja.

b. Faktor Pekerjaan

Selain dari faktor individu, kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh faktor karakteristik pekerjaan. Menurut Wijono (2010) faktor karakteristik pekerjaan tersebut terdiri dari :

1) Organisasi dan Manajemen

(45)

2) Supervisi Langsung

Dalam sebuah perusahaan selalu terdapat supervisor yang berfungsi untuk memotivasi, mengawasi, dan mengatur karyawan supaya dapat bekerja secara produktif bagi perusahaan. Ketika karyawan dalam kondisi yang kurang bagus dalam bekerja (ketidakpuasan kerja), supervisor dapat langsung memotivasi atau mensupervisi kepada karyawan tersebut. Tapi, supervisi langsung ini membutuhkan dukungan dari karyawan itu sendiri. Dalam penelitian Pelz (dalam Hassan dkk, dalam Wijono, 2010)

menunjukkan bahwa orientasi kerja terhadap sebagian “immediate supervision” adalah tidak menjamin kepuasan kerja secara

memadai.

3) Lingkungan Sosial

(46)

4) Komunikasi

Dalam penelitiannya, Leaviit (1961) mengatakan bahwa kepuasan kerja yang tinggi di kalangan anggota kelompok adalah jika mereka diletakkan ke dalam jalinan komunikasi yang erat. Oleh karena itu, komunikasi kerja merupakan hal penting dalam suatu pekerjaan. Dengan intensitas komunikasi yang tinggi antar pekerja dalam perusahaan dapat menciptakan kepuasan kerja karyawan yang tinggi.

5) Keamanan

(47)

6) Pekerjaan yang Monoton

Setiap karyawan dalam perusahaan memiliki tugas kerja (jobdesk) masing-masing, tergantung di bagian mana karyawan tersebut ditempatkan. Ketika karyawan melakukan pekerjaan di bidangnya, terkadang karyawan melakukannya secara berulang-ulang. Hal tersebut dapat menyebabkan karyawan merasa bosan yang dapat mengakibatkan ketidakpuasan bekerja. Oleh karena itu, karyawan mengharapkan perluasan kerja untuk memperoleh kepuasan yang lebih dalam pekerjaan yang dilakukan

berulang-ulang (Kennedy dan O’Neill, dalam Wijono, 2010). Namun,

pekerjaan yang monoton tersebut belum tentu mengakibatkan kepuasan kerja yang rendah karena tergantung pada sumber umpan balik terhadap pekerjaan yang monoton.

7) Penghasilan

(48)

dengan faktor-faktor lain, seperti usia, jabatan, dan pendidikan (Schultz, dalam Wijono, 2010).

B. KEPEMIMPINAN SITUASIONAL 1. Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi aktivitas orang lain melalui komunikasi, baik individual maupun kelompok ke arah pencapaian tujuan (dalam Anoraga, 1995). Kepemimpinan melibatkan proses sosial di mana seseorang mengarahkan anggota kelompok menuju sasaran (Bryman, dalam Weiner, 2003).

2. Definisi Kepemimpinan Situasional

(49)

kepemimpinan yang diberikan oleh anggota kelompok dengan beragam perilaku mereka untuk memberikan tindakan yang diperlukan oleh kelompok saat itu (Johnson, 2012).

Dari beberapa definisi kepemimpinan situasional tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan yang sangat memperhatikan kondisi atau kematangan bawahannya, serta mau memberikan pengarahan kepada bawahan yang belum begitu matang.

3. Komponen Perilaku Pemimpin dan Kematangan Anggota dalam Kepemimpinan Situasional

Dalam penerapan gaya kepemimpinan situasional yang menjadi faktor utamanya adalah kematangan para anggota. Kematangan anggota bisa dilihat dari segi pekerjaan maupun psikologis dari anggota tersebut. Dengan mengetahui tingkat kematangan (maturity) anggotanya, seorang pemimpin akan dapat menentukan gaya kepemimpinan apa yang akan diterapkan terhadap anggotanya. Perilaku pemimpin dalam kepemimpinan situasional tersebut (Hersey dan Blanchard, 1996), yaitu :

a. Task Behavior

(50)

wajib memberikan arahan, mulai dari arahan kecil hingga yang

detail. Dalam task behavior, pemimpin harus dapat membimbing

bawahannya dalam penetapan tujuan, pengorganisasian, pengaturan jadwal, pengarahan, dan pengendalian.

Tabel 1.

Indikator Perilaku Tugas Pemimpin No Aspek Perilaku

Tugas

Indikator Perilaku 1. Penetapan tujuan Menyempurnakan tujuan anggota 2. Pengorganisasian Mengatur situasi kerja anggota 3. Penetapan jadwal Menetapkan jadwal anggota 4. Pengarahan Menyediakan arahan yang spesifik 5. Pengontrolan Mengontrol kemajuan kerja secara

spesifik dan berkala

b. Relationship Behavior

(51)

Tabel 2.

Dalam pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional, pemimpin tidak bisa langsung memutuskan akan menggunakan gaya kepemimpinan yang mana yang merupakan gaya kepemimpinan situasional. Pemimpin terlebih dahulu harus mengetahui level kematangan para karyawannya. Hal ini dikarenakan level kematangan karyawan adalah faktor kunci bagi kepemimpinan yang efektif (Hersey dan Blanchard, 1996).

(52)

Kematangan psikologis berkaitan dengan motivasi atau kemauan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Selain itu, keyakinan dan keikatan terhadap perusahaan juga berpengaruh dalam kematangan psikologis. Orang yang matang secara psikologis akan memiliki rasa yakin terhadap dirinya sendiri dan merasa mampu dalam aspek pekerjaannya, serta memiliki tanggung jawab yang besar.

4. Jenis Gaya Kepemimpinan Situasional

(53)

Gambar 1.

Gaya Kepemimpinan Situasional

Sumber:

http://www.google.co.id/imgres?q=hersey+blancharddanhl=iddansa=Gdangbv=2danbiw=

1366danbih=667dantbm=ischdantbnid=BFcUumd02sSsXM:danimgrefurl

a. Telling

(54)

kapan melaksanakan tugas-tugasnya. Pada level ini, perilaku tugas tinggi dan hubungan rendah.

b. Selling

Gaya kepemimpinan selling adalah gaya kepemimpinan yang para anggotanya memiliki kematangan rendah-sedang. Oleh sebab itu, seorang pemimpin masih harus mengarahkan anggotanya, meskipun tidak secara spesifik seperti pada gaya kepemimpinan telling. Anggota yang diarahkan dengan gaya kepemimpinan selling merupakan orang yang tidak mampu, tetapi mau memikul tanggung jawab dalam tugas-tugasnya. Dalam gaya kepemimpinan selling, komunikasi sudah berbentuk dua arah antara pemimpin dan bawahan, artinya bawahan ikut serta dalam proses perilaku yang diinginkan. Gaya selling mencakup perilaku tugas dan hubungan tinggi.

c. Participating

Participating merupakan gaya kepemimpinan situasional yang

(55)

(direktif). Oleh sebab itu, kematangan para anggotanya berada pada level sedang-tinggi.

d. Delegating

Pada gaya kepemimpinan delegating, seorang anggota sudah diberikan kebebasan dalam pelaksanaan tugas maupun pengambilan keputusan. Anggota sudah memiliki kemampuan dan kemauan dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan. Oleh karena anggota sudah memiliki kematangan, maka tidak dibutuhkan perilaku hubungan (suportif) dan tugas (direktif) antara pemimpin dan anggota. Selain itu, anggota juga sudah memiliki kematangan yang sangat baik.

5. Efektivitas Kepemimpinan Situasional

Kepemimpinan situasional adalah kepemimpinan yang melibatkan proses pengaruh sosial di mana seseorang mengarahkan anggota kelompok menuju sasaran (Weiner, 2003). Banyak yang menganggap kepemimpinan situasional ini merupakan kepemimpinan yang paling efektif karena memperhatikan kematangan bawahan. Hersey dan Blanchard menyatakan bahwa tidak ada satu cara yang terbaik untuk mempengaruhi perilaku orang-orang (dalam Anoraga, 1995).

(56)

organisasi. Sama halnya dengan gaya kepemimpinan situasional yang dapat berdampak efektif bagi organisasi. Gaya kepemimpinan situasional dapat dikatakan memiliki efektivitas ketika gaya kepemimpinan tersebut dapat disesuaikan dengan tingkat kedewasaan (maturity) bawahan yang akan dipengaruhi pemimpin (Anoraga, 1995). Ada kesesuaian antara perilaku tugas dan hubungan dari pemimpin dan kematangan pekerjaan dan psikologis dari karyawan. Dengan kata lain, pemimpin dapat membimbing karyawan ketika karyawan tersebut belum matang, dan dapat mendelegasikan tugas-tugas secara keseluruhan kepada karyawannya ketika karyawan tersebut sudah memiliki kematangan.

Kesimpulan umum dari efektivitas kepemimpinan situasional adalah kesesuaian antara perilaku pemimpin dengan kematangan bawahan. Pemimpin dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai situasi (kematangan) yang ada dalam diri karyawan.

C. DINAMIKA PERBEDAAN KEPUASAN KERJA BERDASARKAN EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

(57)

Kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan antara kadar perilaku tugas dan perilaku hubungan yang diberikan pemimpin terhadap karyawan, serta level kematangan yang diperlihatkan karyawan dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan tujuan tertentu (Hersey dan Blanchard, 1996). Selain itu, kepemimpinan situasional merupakan gaya seseorang dalam memimpin yang harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya terhadap keadaan yang sedang terjadi (Sedarmayanti, 2011). Pemimpin dapat bertindak sesuai kematangan pekerja, di mana pemimpin harus membimbing pekerja yang belum memiliki kematangan (maturity) ataupun pemimpin dapat membiarkan pekerja yang sudah matang untuk bekerja sendiri.

Pengawasan yang berlebihan atau terlalu longgar, memberi arahan terlalu banyak atau terlalu sedikit berakibat negatif bagi perkembangan bawahan (Sedarmayanti, 2011). Ketika seorang pekerja memiliki kematangan kerja yang rendah, seorang pemimpin haruslah ikut serta dalam tugas yang tinggi dan hubungan yang rendah. Jadi pada kepemimpinan situasional, seorang pemimpin harus dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan kematangan pekerja sehingga tercapai efektivitas kepemimpinan situasional.

(58)

menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi bawahan akan dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Smither, 1994). Sebaliknya jika kepemimpinan berjalan tidak efektif akan dapat menimbulkan situasi yang kurang baik bagi perusahaan, yaitu karyawan merasa kurang diperhatikan oleh sikap pimpinannya dan karyawan kurang senang, serta kurang optimal dalam bekerja sehingga kepuasan kerjanya rendah.

(59)
(60)

D. HIPOTESIS PENELITIAN

(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data

numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2009). Jenis

penelitian ini adalah penelitian komparatif, yaitu penelitian yang membandingkan dua kelompok yang independen, dapat berupa dua kelompok yang terpisah (Priyatno, 2010).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang terlibat di dalamnya, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain (Azwar, 2009). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah efektivitas kepemimpinan situasional.

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung adalah variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain (Azwar, 2009). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja karyawan.

(62)

C. Definisi Operasional 1. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah suatu hal yang mencerminkan perasaan seseorang tentang pekerjaannya secara keseluruhan yang dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam mengukur tingkat kepuasan kerja karyawan, subjek akan diberikan kuesioner yang berisikan 20 item, yang terdiri dari 20 komponen kepuasan kerja. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan kerja adalah dengan menggunakan Minnesota

Satisfaction Questionnaire (MSQ). Apabila hasil kuesioner memiliki

jumlah persentil 75 atau lebih, maka memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Sedangkan jumlah persentil kurang dari 25, maka mengindikasikan bahwa tingkat kepuasan kerja rendah. Kemudian jumlah persentil antara 25-75 memiliki tingkat kepuasan kerja rata-rata.

2. Efektivitas Gaya Kepemimpinan Situasional

(63)

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini memiliki kriteria, yaitu subjek telah bekerja minimal dua tahun dalam perusahaan tersebut. Alasan pemakaian subjek penelitian berdasarkan jangka waktu bekerja (minimal dua tahun) adalah bahwa karyawan yang telah bekerja minimal dua tahun sudah merasakan dan mengetahui kondisi pekerjaan maupun lingkungan dalam perusahaan. Teknik pengambilan subyek dalam penelitian ini menggunakan teknik convenience sampling, yaitu kelompok dari subjek dipilih atas dasar kemudahan akses (McMillan dan Schumacher, 2006).

E. Metode Pengumpulan Data 1. Kuesioner Kepuasan Kerja

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kuesioner. Kuesioner merupakan suatu bentuk instrumen pengumpulan data yang sangat fleksibel dan relatif mudah digunakan. Kuesioner kepuasan kerja akan dibagikan kepada karyawan perusahaan dan bersumber pada Minnesota Satisfaction

Questionnaire (MSQ). Kuesioner terdiri dari 20 komponen dan berisi 20

item. Pada kuesioner tersebut, subjek telah disediakan lima alternatif jawaban, yaitu sangat puas (very satisfied), puas (satisfied), normal, tidak puas (dissatisfied), dan sangat tidak puas (very dissatisfied).

(64)

dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu. Dalam proses terjemahan tersebut, dibutuhkan 3 orang yang memiliki kompetensi dalam Bahasa Inggris. Orang pertama adalah orang yang membantu menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Orang kedua adalah orang yang membantu proses terjemahan dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Orang terakhir bertindak sebagai supervisor dalam proses terjemahan tersebut.

(65)

Tabel 3.

Blue Print Kuesioner Kepuasan Kerja

No. Komponen Kepuasan Kerja Jumlah Item

1. Penggunaan kemampuan 1

2. Prestasi 1

3. Aktivitas 1

4. Kemajuan 1

5. Kekuasaan 1

6. Kebijakan perusahaan dan praktek 1

7. Kompensasi 1

17. Supervisi-hubungan relasi 1

18. Supervisi-teknis 1

19. Variasi 1

20. Kondisi kerja 1

2. Skala Efektivitas Kepemimpinan Situasional

(66)

psikologis, skala perilaku tugas, dan perilaku hubungan. Skala kematangan pekerjaan dan psikologis diberikan kepada supervisor masing-masing karyawan, sedangkan skala perilaku tugas dan perilaku hubungan diberikan kepada karyawan. Dalam skala tersebut telah disediakan 8 alternatif jawaban, yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 4.

Blue Print Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis (Supervisor)

Skala kematangan pekerjaan

No. Aspek Kematangan Pekerjaan Total

1. Pengalaman pekerjaan 1

2. Pengetahuan pekerjaan 1

3. Pemahaman akan syarat pekerjaan 1

Skala kematangan psikologis

No. Aspek Kematangan Psikologis Total 1. Kemauan untuk memikul

tanggung jawab

1

2. Motivasi berprestasi 1

3. Keikatan 1

Tabel 5.

Blue Print skala Perilaku Tugas (Karyawan) No. Aspek Perilaku Tugas Total

(67)

Tabel 6.

Blue Print skala Perilaku Hubungan (Karyawan) No. Aspek Perilaku Hubungan Total

1. Memberikan dukungan 1

2. Mengkomunikasikan 1

3. Memudahkan interaksi 1

4. Aktif menyimak 1

5. Memberikan balikan 1

Total 5

F. Validitas dan Reliabilitas

Validitas dan reliabilitas merupakan dua hal yang sangat berpengaruh dan penting dalam suatu penelitian. Hal ini dikarenakan akurasi dan kecermatan data hasil pengukuran tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukurnya (Azwar, 2009).

1. Validitas

Validitas dapat diartikan sejauh mana instrumen merekam atau mengukur apa yang dimaksudkan untuk direkam atau diukur (Suryabarata, 2011). Semakin baik validitas pengukurannya, maka akan berdampak pada kesesuaian hasil dalam penelitian. Validitas penelitian banyak tergantung pada sejauhmana isi kuesioner tersebut mencakup data yang komprehensif dan relevan dengan tujuan penelitian (Azwar, 2009).

(68)

Validitas isi dapat diperoleh lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 2011).

Professional judgement tersebut dilakukan oleh ahli pada bidangnya,

yaitu dosen pembimbing dan supervisor ahli bahasa.

2. Reliabilitas

Suatu instrumen dikatakan reliabel jika instrumen tersebut konsisten dalam memberikan penilaian atas apa yang hendak diukur (Kountour, 2003). Instrumen penelitian dapat “dipercaya” apabila satu instrumen dapat mengukur dengan hasil yang relatif sama (konsisten) pada orang yang sama di waktu yang berbeda atau mengukur pada kelompok orang yang berbeda di waktu yang bersamaan atau berlainan waktu (Suryabrata, 2011). Reliabilitas diukur dengan rentang angka 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati 1,00 berarti semakin reliabel. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya. Penelitian ini menggunakan metode Internal

Consistency dengan teknik Cronbach’s Alpha dalam menguji reliabilitas.

Reliabilitas pada kuesioner kepuasan kerja menunjukkan nilai

Cronbach Alpha sebesar 0,866 yang termasuk memiliki reliabilitas

(69)

berarti reliabel. Pada skala perilaku tugas didapatkan nilai Cronbach

Alpha sebesar 0,957 yang menunjukkan bahwa alat ukur dalam

penelitian ini reliabel. Pada skala perilaku hubungan didapatkan nilai

Cronbach Alpha sebesar 0,952 yang menunjukkan bahwa skala

tersebut reliabel.

G. Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara, yaitu:

1. Uji Asumsi a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak (Priyatno, 2010). Uji normalitas ini dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov. Metode pengambilan keputusan untuk uji normalitas yaitu jika signifikansi >0,05 maka data berdistribusi normal dan jika signifikansi <0,05 maka data tidak berdistribusi normal (Priyatno, 2010).

b. Uji Homogenitas

(70)

terdapat pada program SPSS. Asumsi homogenitas dinyatakan dipenuhi jika nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05 (Agung, 2010).

2. Uji Hipotesis

Independent Sample T-Test digunakan untuk menguji perbedaan

(71)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah sebagian karyawan PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA) yang berjumlah 100 orang, tetapi subjek yang dapat dipakai dalam penelitian hanya 84 subjek. Setiap karyawan tersebut diminta untuk mengisi sebuah booklet yang berisi kuesioner kepuasan kerja, skala perilaku hubungan serta skala perilaku tugas. Kemudian masing-masing supervisor dari tiap divisi juga diminta untuk mengisi skala kematangan pekerjaan dan psikologis.

Dalam proses perijinan kepada pihak perusahaan PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA), peneliti menggunakan dua surat keterangan ijin penelitian. Surat keterangan ijin yang pertama adalah surat keterangan yang telah disediakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, sedangkan surat permohonan ijin yang kedua adalah inisiatif dari peneliti. Surat keterangan permohonan ijin tersebut telah ditandatangani oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi, Ratri Sunar A., M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi, P. Henrietta PDADS., M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi, dan yang terakhir adalah peneliti itu sendiri. Setelah menyerahkan surat-surat tersebut kepada pihak perusahaan PT. Adi Satria Abadi (PT. ASA), akhirnya peneliti diberikan ijin untuk melakukan penelitian di perusahaan tersebut.

(72)

Dalam proses pengumpulan data penelitian menggunakan metode kuesioner. Kuesioner kepuasan kerja yang akan dibagikan kepada subjek bersumber pada Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ), yang terdiri dari 20 komponen dan berisi 20 item. Pada kuesioner tersebut, subjek telah disediakan lima alternatif jawaban, yaitu sangat puas (very satisfied), puas (satisfied), normal, tidak puas (dissatisfied), dan sangat tidak puas (very

dissatisfied). Pengumpulan data untuk efektivitas gaya kepemimpinan

situasional menggunakan skala efektivitas kepemimpinan situasional yang disusun oleh Hersey dan Blanchard. Ketiga skala tersebut adalah skala kematangan pekerjaan dan psikologis, skala perilaku tugas, dan perilaku hubungan. Dalam skala tersebut telah disediakan 8 alternatif jawaban, yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Dalam pengambilan data ini menurut peneliti tidak ada kendala yang dihadapi. Hal ini dikarenakan dari awal perijinan, peneliti sudah menjelaskan secara rinci dan serta ada jalinan kerjasama yang berkelanjutan khususnya dengan Bapak Sigit Nugroho selaku Asisten Manager PT. Adi Satria Abadi dan masing-masing supervisor.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

(73)

lengkap dan dapat digunakan dalam penelitian berjumlah 84 orang. Berikut deskripsi mengenai subjek-subjek tersebut berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, dan lama bekerja :

Jenis Kelamin Jumlah Persen (%)

Laki-laki 74 88,1

Perempuan 10 11,9

TOTAL 84 100 %

Pendidikan Jumlah Persen (%)

(74)

C. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian berisi tentang gambaran mengenai subjek yang memuat data statistik berupa simpangan baku, rerata, skor maksimum, dan skor minimum.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa adanya nilai perbedaan antara mean empirik dan mean teoritik. Untuk mendapatkan nilai mean, maka akan dilakukan uji t terlebih dahulu pada skala kepuasan kerja. Mean empirik dan mean teoritik dikatakan berbeda secara signifikan, jika nilai signifikansinya < 0,05. Keseluruhan skala yang dipakai dalam penelitian ini Skala

Skor empirik Skor teoritik Uji t

(75)

memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa mean empirik dan mean teoritik berbeda secara signifikan. Pada skala kepuasan kerja, mean empirik memiliki nilai sebesar 65,24 dan nilai teoritik sebesar 60. Dari data tersebut menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daipada mean teoritik. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat kepuasan kerja yang cenderung tinggi. Kemudian pada skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis diperoleh mean empirik 37,75 dan mean teoritik 27. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata subjek dalam penelitian ini memiliki Kematangan Pekerjaan dan Psikologis yang cenderung tinggi. Pada skala Perilaku Tugas dan skala Perilaku Hubungan diperoleh mean empirik sebesar 28,54 dan mean teoritik 22,5. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa rata-rata subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perilaku tugas dan perilaku hubungan yang cenderung tinggi.

D. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

(76)

Tabel. 9

Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk

Berdasarkan tabel 9 tersebut dapat diketahui bahwa sebaran data dalam penelitian ini memiliki distribusi normal. Hal ini dapat dilihat nilai p pada skala kepuasan kerja (efektif) sebesar 0,200 dan 0,176 (tidak efektif).

b. Uji Homogenitas

Dari data penelitian ini dapat diketahui bahwa signifikansi uji homogenitas sebesar 0,031. Hasil ini didapatkan dengan menggunakan fasilitas dari program SPSS 18 dan dapat dilihat dari output Levene’s Test

for Equality of Variances. Dalam uji homogenitas jika signifikansi

kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok data kepuasan kerja berdasarkan efektivitas kepemimpinan situasional mempunyai varian yang berbeda atau tidak homogen.

2. Uji Hipotesis

a. Skor Efektivitas Kepemimpinan Situasional 1) Perilaku Pemimpin

(77)

hubungan. Kemudian dibuat grafik yang memuat kategori-kategori gaya kepemimpinan situasional, yaitu telling (G1), selling (G2),

participating (G3), dan delegating (G4). Telling (G1) merupakan gaya

kepemimpinan yang mengharuskan seorang pemimpin untuk selalu menerapkan perilaku tugas yang tinggi dan perilaku hubungan rendah dengan bawahan. Selling (G2) merupakan gaya kepemimpinan yang melibatkan perilaku tugas dan hubungan yang tinggi antara atasan dengan bawahan. Participating (G3) merupakan gaya kepemimpinan yang mengharuskan seorang pemimpin melibatkan perilaku hubungan yang tinggi dan perilaku tugas rendah terhadap bawahannya.

Delegating (G4) merupakan gaya kepemimpinan yang rendah

hubungan maupun tugas sehingga pemimpin memberikan kebebasan terhadap bawahannya.

(78)

gaya kepemimpinan yang melibatkan perilaku hubungan yang tinggi dan perilaku tugas rendah.

2) Kematangan Karyawan

Dalam menentukan kematangan karyawan, dapat ditentukan dengan membuat range kategori pada skala kematangan pekerjaan dan psikologis (M). M1 merupakan karyawan yang tidak mampu dan tidak mau memikul tanggung jawab dalam tugas-tugasnya (6-15). M2 merupakan karyawan yang tidak mampu tetapi mau memikul tanggung jawab dalam tugas-tugasnya (16-27). M3 merupakan karyawan yang mampu tetapi tidak mau memikul tanggung jawab dalam tugas-tugasnya (28-39). M4 merupakan karyawan yang sudah memiliki kemampuan dan kemauan dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai karyawan (40-48).

(79)

Gambar. 3

Berdasarkan hasil skoring dari skala perilaku hubungan, perilaku tugas, serta skala kematangan pekerjaan dan psikologis, kemudian dilakukan penyesuaian hasil (kategori) pada skala perilaku hubungan dan perilaku tugas dengan skala kematangan pekerjaan dan psikologis. Jika hasil penyesuaian tersebut sama (sesuai), maka skor yang didapatkan adalah 1. Sedangkan jika hasil penyesuaian tidak sama (tidak sesuai), maka skor yang didapatkan adalah 0.

Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa jumlah subjek yang memiliki kesesuaian antara skala kematangan pekerjaan dan psikologis dengan skala perilaku hubungan dan tugas sebanyak 34 subjek (40,48%). Sedangkan sisanya yang berjumlah 50 (59,52%) tidak memiliki kesesuaian antara skor kematangan pekerjaan dan psikologis dengan skor skala perilaku tugas dan hubungan.

b. Uji Independent Sample T-Test

(80)

Sample T-Test dari program SPSS 18. Skor kepemimpinan situasional

merupakan hasil kesesuaian antara skor skala kematangan pekerjaan dan psikologis (M) dengan skor skala perilaku hubungan dan tugas (G). Dalam melakukan uji t, ada syarat yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu data yang diperoleh dari uji normalitas harus menghasilkan distribusi yang normal (Agung, 2010). Dari uji normalitas menggunakan

Kolmogorov-Smirnov, dihasilkan skor normalitas untuk kepuasan kerja

karyawan yang efektif dan yang tidak efektif dalam gaya kepemimpinan situasional yaitu sebesar 0,200 dan 0,176. Dari uji normalitas tersebut dapat dinyatakan bahwa data dalam penelitian yang memiliki variabel kepuasan kerja dan kepemimpinan situasional berdistribusi normal (>0,05).

(81)

homogen) karena nilai signifikansinya 0,031 (<0,05). Maka dari itu, dilakukan uji analisis Independent Samples T-Test menggunakan nilai yang Equal variances not assumed. Hasil analisis Uji Independent

Samples T-Test antara kepuasan kerja dengan gaya kepemimpinan

situasional menunjukkan t hitung sebesar -.254 dengan p sebesar 0,800. Kesimpulan dari hasil analisis Independent Samples T-Test adalah Ho diterima karena p > 0,05 atau 0,800> 0,05. Dari hasil tersebut maka tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan, baik yang memiliki gaya kepemimpinan situasional yang efektif ataupun yang tidak efektif. Hal ini bisa juga dilihat dalam nilai

mean kepuasan kerja karyawan, baik yang memiliki kesesuaian (64,88)

ataupun ketidaksesuaian (65,48) gaya kepemimpinan situasional menunjukkan nilai mean yang tinggi, artinya kedua kelompok (efektif dan tidak efektif) sama-sama memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Dengan kata lain tidak ada perbedaan kepuasan kerja karyawan berdasarkan efektivitas gaya kepemimpinan situasional.

E. Pembahasan

Gambar

Gambar 3. Level Kematangan Karyawan .....................................................
Tabel 1. Indikator Perilaku Tugas Pemimpin
Tabel 2. Indikator Perilaku Hubungan Pemimpin
Gambar. 2  Skema
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dari 20 responden menunjukan bahwa didapatkan anak usia prasekolah sebelum diberikan bermain terapeutik clay saat tindakan injeksi yang mengalami

Peneliti dalam melakukan penarikan kesimpulan dengan mengumpulkan data dari wawancara, observasi, dokumentasi terkait dengan implementasi pendidikan multikultural pada

Posisi pengelolaan sanitasi komponen air limbah domestik Kota Padang Panjang berada pada kuadran II, pada sumbu -12, 2 (-12 merupakan selisih skor kekuatan dan kelemahan

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Thalib (2013), terletak pada objek penelitian ini yaitu masyarakat kabupaten Gorontalo yang menjadi nasabah

Penelitian ini merupakan penelitian quasi-eksperimen, dimana tujuan peneliti adalah ingin melihat seberapa efektif Pelatihan Pemecahan Masalah melalui Metode

Proses kerja pada sistem ini terdiri dari 3 langkah kerja, yaitu silinder kerja ganda skuens/spesial yang melakukan penekanan dari bagian samping komponen dan silinder kerja ganda

Fauzan Saleh ini terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, karena itu, periu dilihat sebagai satu model perkembangafl wacana teologis Islam yang setara (bukan yang

Pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)terdapat beberapa kebijakan yang sudah di sepakati dalam