• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komodifikasi Bale Sakaroras Studi Perubahan Arsitektur Tradisional Bali dalam Industri Pariwisata.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komodifikasi Bale Sakaroras Studi Perubahan Arsitektur Tradisional Bali dalam Industri Pariwisata."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

KOMODIFIKASI BALE SAKARORAS:

Studi Perubahan Arsitektur Tradisional Bali dalam Industri Pariwisata

Oleh

Dr. Ir. Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si

A. Pendahuluan

Pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian Bali, kerap dipandang sebagai penyebab perubahan sosial-budaya yang cepat dan massif. Komodifikasi menjadi implikasi yang sulit dihindari karena industri

pariwisata cenderung memosisikan subjek dan objek wisata sebagai komoditas. Hal ini sejalan dengan pendapat Burns (1995:31) bahwa:

The tourist has become a symbol, a form of postmodern commodity,

which passes between countries, encouraging international money to

flow in persuit of it. The ‘gaze’ may be seen from two different views. The tourist may be seen as a ‘commodity’ by countries bringing

economic benefits, while the tourist may ‘gaze’ upon the destination,

as a form of commodity competing with other alternative purchases

for his/her discretionary income”.

(‘Wisatawan telah menjadi bentuk simbol komoditas posmodern yang melewati batas negara, mendorong aliran keuangan internasional secara bebas. Pariwisata dapat dipandang dari dua sudut pandang yang berbeda. Wisatawan dipandang sebagai komoditas oleh suatu daerah yang mendapatkan keuntungan dari kehadirannya, sedangkan wisatawan memandang daerah tujuan wisata sebagai komoditas dengan harga yang kompetitif sehingga dapat dipilih untuk dikunjungi sesuai kemampuannya’).

Wisatawan merupakan subjek utama komodifikasi. Berbagai objek

wisata dikomodifikasi untuk kepentingan wisatawan, sebaliknya wisatawan itu sendiri adalah komoditas bagi industri pariwisata. Hubungan timbal balik

inilah yang menyebabkan komodifikasi merambah semua aspek yang bersangkut-paut dengan kepariwisataan, baik alam maupun budaya. Dalam konteks ini, arsitektur bangunan tradisional Bali ternyata juga tidak lepas dari terjadinya proses komodifikasi tersebut. Salah satunya adalah bangunan

bale sakaroras sebagai unsur penting struktur rumah tinggal tradisional

(3)

3

Pada masa lalu, bale sakaroras merupakan bangunan utama dalam struktur rumah tempat tinggal orang bali. Bale sakaroras menempati posisi di sebelah timur (kangin) atau selatan (kelod) dekat dengan dapur (paon). Bentuk denah bangunan adalah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 6 x 6 meter. Konstruksi atap limasan berpuncak satu (konstruksi payung), dengan atap dari alang-alang. Jumlah tiang atau saka sebanyak 12 (dua belas) buah yang berfungsi sebagai penerus beban atap ke tanah melalui jongkok asu

(sendi). Bale sakaroras mempunyai fungsi untuk sumanggen atau kegiatan

adatdan serba guna. Namun seiring terjadinya komodifikasi, bale sakaroras

pun mengalami perubahan bentuk, fungsi, dan maknanya. Atas dasar itulah, komodifikasi bale sakaroras dibahas dalam artikel ini.

B. Pembahasan

1. Telaah Teoretik

Dalam Webster's New World Encyclopedia dijelaskan bahwa komodifikasi berasal dari kosa kata Inggris, yakni 'commodification' dari

akar kata 'commodity', yang artinya something produced for sale (‘sesuatu dibuat untuk dijual’). Pengertian ini berkembang pada seputaran abad XIX seiring meluasnya pengaruh gagasan Marxis mengenai ekonomi kultural. Dalam kerangka inilah, Lash (2004:54) merumuskan konsep komodifikasi adalah proses sosial budaya yang menempatkan seluruh objek kultural sebagai komoditas.

(4)

4

Komodifikasi merupakan proses sosial budaya yang dominan terjadi pada masyarakat modern. Hal ini ditegaskan oleh dua postulat utama Marx dan Engels tentang determinisme ekonomi dan mekanisme perubahan.

Pertama, Marx menyatakan bahwa faktor ekonomi merupakan penentu

fundamental bagi struktur dan perubahan masyarakat. Kedua, mekanisme perubahan sosial harus dipahami dalam tiga tahap yang selalu tampak, yaitu tesis (arfirmasi), antitesis (negasi), dan sintesis (rekonsiliasi). Dari ketiga tahap tersebut, setiap sistem produksi dan ekonomi selalu mulai sebagai suatu tesis, yaitu orde yang paling baik (Garna, 1992:43-44).

Singkatnya, Marx memandang bahwa bangunan dasar suatu masyarakat dan segala perubahan sosial berpusat pada ekonomi. Dengan demikian seluruh struktur sosial, baik itu superstruktur (ideologi, hukum, agama, standar moral, estetika dan seni) maupun infrastruktur (standar modal/kepemilikan dan standar industri/alat-alat produksi) seluruhnya merupakan bangunan ekonomi kapitalis. Kapitalisme telah melahirkan model ekonomi kultural secara meluas sehingga seluruh objek kultural

adalah komoditas. Komoditas merupakan keberadaan yang memiliki nilai tukar, berarti bahwa mereka dijual di pasar (Lash, 2004:55).

(5)

5

2. Industri Pariwisata dan Proses Komodifikasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:431) dijelaskan bahwa industri pariwisata adalah usaha di bidang pariwisata seperti, hotel, restoran, biro perjalanan, dan toko seni (artshop). Industri, pariwisata sengaja dikelola dan dikembangkan untuk tujuan meningkatkan pendapatan daerah, maupun peningkatan perekonomian masyarakat. Konsep ini menegaskan bahwa industri pariwisata memang berorientasi pada perolehan keuntungan (profit oriented).

Industri pariwisata menjadi primadona pembangunan perekonomian Bali, bahkan sebagai tulang punggungnya. Bali mengembangkan konsep pariwisata budaya (culture tourism) karena kebudayaan adalah modal dasar Bali yang berfungsi secara normatif dan operasional. Secara normatif bahwa peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan. Sementara itu, secara operasional kebudayaan diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan

pariwisata (Mantra, 1994:35).

Industri pariwisata memang terbukti memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu menuntut perhatian lebih dari para pengambil kebijakan di sektor pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola pengembangan kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya. Dengan kata lain, kawasan wisata harus mampu membuka peluang pelibatan aktif masyarakat sebagai subjek dalam kegiatan industri pariwisata, bukan sekedar objek. Sekaligus menjadi catatan bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan. Artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercerabut dari akar budayanya hanya karena adanya penekanan segi komersial dari tourism (Taufiq, 2007).

(6)

6

pariwisata begitu rentan dengan terjadinya komodifikasi. Tuntutan untuk mendapatkan nilai tukar secara material menjadi orientasi utama industri pariwisata sehingga unsur-unsur budaya dipandang semata-mata sebagai komoditas yang layak dilempar ke pasar. Artinya, hubungan antara industri pariwisata dan proses komodifikasi tidak lepas dari perubahan cara pandang

(perspective) dan sudut pandang (point of view) terhadap orientasi

pengembangan pariwisata itu sendiri. Apabila pariwisata semata-mata dipahami sebagai komoditas, maka proses komodifikasi pasti berlangsung.

3. Komodifikasi Bale Sakaroras

(a) Sekilas Arsitektur Bangunan Tradisional Bali

Menurut Windhu (1984:12) bahwa rumah orang Bali berpegang pada ajaran yang tercantum dalam berbagai lontar seperti asta kosala-kosali,

asta bumi, widhi tattwa, dan sebagainya. Bangunan-bangunan dibentuk

sesuai dengan fungsinya menurut petunjuk lontar-lontar tersebut. Semua unsur, seperti tata letak dan tata ruang menjadi pertimbangan utama. Secara

tradisional, arsitektur bangunan tradisional Bali mewujudkan ajaran tri hita

karana sebagai berikut: (a) Sanggah/Merajan adalah tempat suci keluarga

(parhyangan); (b) rumah tempat tinggal merupakan tempat berinteraksi

antaranggota keluarga (pawongan), sedangkan (c) natah (halaman) dan teba

(pekarangan)adalah unsur palemahan.

Lebih lanjut, Windhu (1984:14) menjelaskan bahwa ajaran tri hita

karana diterapkan dalam bangunan tradisional dapat dilihat sebagai berikut:

(7)

7

Sumbu orientasi bangunan tradisional Bali dibagi dua. Pertama,

menurut arah matahari terbit dan terbenam disebut sumbu kangin kauh

(timur – barat) yang religius. Kedua, sumbu kaja kelod (utara – selatan) sebagai sumbu bumi, masing-masing dengan nilai utama untuk kaja dan

kangin, nilai madia di tengah dan nilai nista untuk arah kelod dan kauh.

Sumbu ke arah vertikal yaitu bhur loka (alam bawah), bhwah loka (alam tengah) dan swah loka (alam atas) yang masing-masing dengan nilai utama,

madia, nista. Bila pembagian tiga zone ke arah kanginkauh dan tiga zone

kearah kajakelod disilangkan, terjadi sembilan zone dengan nilainya masing-masing (Windhu, 1984:18).

Ruangan dalam tembok batas pekarangan mempunyai fungsi untuk tempat massa-massa bangunan dan di tengah-tengah untuk ruang kosong disebut natah (halaman tengah). Fungsi natah adalah sebagai pusat orientasi dan sirkulasi. Natah juga berfungsi untuk penempatan bangunan sementara

(sesalon) pada saat menyelenggarakan upacara agama. Ruangan di luar

tembok pekarangan berupa ruangan di depan pintu masuk pekarangan (kori)

yang disebut lebuh dan ruangan antara tembok pekarangan dengan jalan yang disebut telajakan. Fungsi lebuh adalah sebagai ruang peralihan keluar masuk pekarangan dan juga tempat memasang sarana upacara agama seperti: sanggah cucuk, penjor dan sebagainya. Sedangkan telajakan

berfungsi untuk tempat tanaman hias (Windhu, 1984:19). Bangunan arsitektur tradisional Bali umumnya memiliki ciri sebagai

berikut. (a) bangunan-bangunan arsitektur tradisional Bali terdiri dari gugus-gugus kecil, sederhana, dan seimbang; (b) konstruksi kap (kepala bangunan) berupa kerangka-kerangka yang terdiri dari unsur-unsur lambang, pemade,

pemucu, langit-langit, bentangan balok tarik (pamentang), menjadi satu

kesatuan yang sangat tahan terhadap goncangan. Kerangka kap diperkuat dengan adanya usuk-usuk yang menyebar ke seluruh lambang, sineb

maupun kolong yang dijepit dengan apit-apit. Hubungan konstruksi tidak mati (kaku/statis) sehingga dapat mengimbangi goncangan yang mungkin terjadi. Sistem sambungan titik buhul menggunakan sistem purus dan lait

(8)

8

bagian dinding. Bagian kerangka berfungsi meneruskan beban atap ke pondasi melalui tiang-tiang bangunan (saka). Sedangkan bagian dinding berfungsi sebagai pembatas ruangan dan tidak ikut memikul beban atap.

Bangunan arsitektur tradisional Bali memakai ukuran yang sangat spesifik, tidak memakai ukuran metrik, dengan mengambil ukuran dari bagian-bagian tubuh manusia (biasanya diambil dari ukuran orang yang membangun/pemilik bangunan). Macam-macam ukuran (dimensi) tradisional Bali adalah (a) Dimensi tradisional untuk konstruksi bangunan :

nyari kacing, nyari lek, nyari lenjong, nyari tujuh, aguli madu, useran tujuh,

aguli, tri adnyana, pitung gana, catur agan kana, sigra pramana, panca

brahma sandi, sangga; (b) Dimensi tradisional untuk halaman: astha, musti,

sedema, cengkang (sakilan), lengkat, tapak, tapak nganda ng; (c) Dimensi

tradisional untuk perumahan: depa alit, depa madia, depa agung, astha,

musti, tapak.; dan (d) Dimensi tradisional modul-modul dasar konstruksi :

rai, sirang, paduraksa, caping.

Rumah tempat tinggal merupakan unit-unit perumahan yang diatur

dalam kelompok-kelompok banjar sebagai unit sub lingkungan dalam sebuah desa. Tingkatan-tingkatan kasta, status sosial serta peranannya di masyarakat merupakan faktor yang menentukan perwujudan rumah tempat tinggal yaitu utama, madya, nista (sederhana). Pengelompokan rumah-rumah tempat tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang, bentuk bangunan, bahan dan penyelesaiannya (Mayun, 1985:35).

Nama rumah tempat tinggal ditentukan oleh kasta penghuninya, sedangkan nama bangunannya ditentukan oleh fungsi dan tipenya. Geria

adalah rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana, puri adalah rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan, jero, yaitu rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung, umah, yaitu rumah tempat tinggal untuk kasta wesia, atau untuk mereka yang bukan dari kasta brahmana atau

ksatria, sedangkan kubu, adalah rumah tempat tinggal di luar pusat

(9)

9

Tipe rumah tinggal yang terkecil bertiang empat dengan luas sekitar 3 x 2,5 m, disebut sakapat, berkembang menjadi bertiang enam (6 x 2 m) disebut sakanem, bertiang delapan (5 x 2,5 m) disebut sakutus, bertiang delapan dengan empat tiang diikat dengan balai-balai, dan empat tiang lainnya diikat dengan sanggahwang sebagai stabilitas (4 x 5 m) disebut

astasari, bertiang sembilan disebut tiangsanga, dan bertiang dua belas (6 x

6 m) disebut sakaroras.

Bangunan sakaroras merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Bentuk denah bangunan bujur sangkar. Konstruksi atap limasan berpuncak satu. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat tiang. Dua tiang yang di tengah dari deretan tengah pada ujungnya berisi kencut

sebagai kepala tiang. Bangunan tertutup tembok di dua sisi dan terbuka kearah natah. Letak bangunan di bagian Timur atau Selatan. Fungsi bangunan sakaroras untuk sumanggen atau kegiatan adat dan serba guna. Bangunan sakaroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu balai-balai mengikat empat tiang di tengah-tengah. Disebut

Pintu masuk pekarangan disebut kori atau kori agung untuk tempat-tempat yang diagungkan. Fungsinya untuk keluar masuk, sehingga disebut

pemesuan untuk bentuk yang sederhana, atau pemedalan untuk perumahan

dari penghuni yang berkasta. Penyengker karang adalah batas pekarangan pada keempat sisi pekarangan. Penyengker bangunan pemujaan (tempat suci) bentuknya memanjang ke arah Timur – Barat. Sedangkan untuk tembok penyengker perumahan memanjang kearah Utara – Selatan. Selisih panjang tembok antara tembok ke arah panjang dan ke arah lebar adalah satu atau dua depa ditambah pengurip. Tinggi tembok batas pekarangan rata-rata apengadeg untuk rakyat biasa, sedangkan untuk puri apanyuhjuh. Tembok penyengker dibangun dengan pondasi sebagai kaki, badan tembok dan atap sebagai kepala tembok. Pada sudut-sudut tembok penyengker

dibangun pilar yang disebut paduraksa, dengan nama masing-masing yaitu di sudut Timur Laut (kaja kangin) disebut Sariraksa, di sudut Tenggara

(kelod kangin) Ajiraksa, di sudut Barat Daya (kelod kauh) Rudraraksa dan

(10)

10 (b) Bale Sakaroras

Bale sakaroras adalah bangunan utama untuk perumahan utama.

Bahan bangunan, konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan fungsinya. Bentuk bangunan, denah bujur sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Luas bangunan sekitar 6,00 m x 6,00 m. Jumlah tiang 12 buah. Posisi penempatan tiang adalah empat-empat tiga deret dari luan ke

teben. Fungsi tiang adalah sebagai pemikul beban atap dan meneruskannya

ke tanah lewat pondasi tiang. Dinding/tembok bangunan hanya berfungsi sebagai dinding pembatas ruangan, tidak turut berfungsi sebagai pemikul beban atap. Bangunan tertutup dua sisi, terbuka ke arah natah. Letak bale

sakaroras di bagian kangin atau kelod dari pekarangan.

Ukuran-ukuran yang dipakai adalah ukuran menurut Hasta Kosali

(depa, hasta, tapak, lengkat, nyari, rai dan sebagainya. Ukuran diambil dari

ukuran pemilik bangunan. Warna bahan bangunan/material sifatnya natural sesuai dengan warna asli dari bahan tersebut seperti warna coklat, abu-abu, kuning, hijau, hitam, dan merah. Bahan-bahan adalah bahan-bahan yang

mudah didapat di sekitarnya, murah dan mudah dikerjakan.

Fungsi bale sakaroras adalah untuk sumanggen atau kegiatan adat dan serba guna. Dalam fungsinya sebagai sumanggen atau kegiatan adat,

bale sakaroras dipergunakan untuk tempat mempersiapkan dan / atau

tempat melaksanakan upakara-upacara yajña (Panca Yajña). Sedangkan dalam fungsinya sebagai serba guna, bale sakaroras berfungsi untuk tempat menerima tamu, tempat belajar anak-anak, dan sebagainya.

Secara niskala, bale sakaroras sebagai bhuwana agung memberi makna ketenangan bathin karena ia adalah merupakan satu kesatuan yang harmonis dengan manusia pemilik bangunan sebagai bhuwana alit, dimana semua ukuran yang dipakai dalam pembuatan bale sakaroras, diambil dari unsur-unsur badan manusia (pemilik bangunan) dan selalu diikuti upacara

yajña sejak persiapan sampai bangunan selesai, serta berfungsi untuk

sumanggen atau kegiatan adat/agama. Sedangkan secara sekala, bale

sakaroras memberikan makna kenyamanan yaitu tempat berlindung

(11)

11 (b)Bentuk Komodifikasi

Penggolongan arsitektur tradisional Bali secara sederhana diluar terminologi yang lazim dalam ilmu arsitektur (Sularto, 1971:11. Arsitektur tradisional murni adalah arsitektur yang masih mengikuti pola, ukuran, proses, material dan lain-lain yang ditentukan dalam aturan-aturan bangunan tradisional (umpamanya hasta bhumi, dan hasta kosala kosali). Arsitektur tradisional, adalah pola arsitektur yang masih mengikuti pola arsitektur tradisional murni, dengan mengikuti aturan-aturan mengenai ukuran, proses, material dan lain-lain, tetapi sudah ditafsirkan atau diperkirakan dari pengertian yang didapat secukupnya mengenai arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional semu adalah pola arsitektur tradisional dengan mengadakan pembaharuan-pembaharuan di bidang ukuran, proses, material secara sebagian atau seluruhnya yang tidak adequate (memadai) dengan arsitektur tradisional murni.

Salah satu di antara massa arsitektur bangunan tradisional Bali adalah bale sakaroras. Pada zaman dahulu, bangunan sakaroras merupakan

bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bangunan, konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bale sakaroras menempati posisi di sebelah Timur (kangin) atau Selatan (kelod) dekat dengan dapur (paon). Bentuk denah bangunan adalah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 6 x 6 meter. Bale sakaroras mempunyai fungsi untuk sumanggen atau kegiatan adatdan serba guna.

Dari segi sosial, bangunan sakaroras adalah merupakan bangunan arsitektur Tradisional Bali yang mempunyai fungsi sebagai bangunan serba guna. Dari segi agama, bangunan sakaroras merupakan unsur penting bangunan perumahan arsitektur tradisional Bali yang paling dominan dipergunakan sebagai tempat kegiatan upacara-upakara keagamaan sehingga disebut juga dengan nama balai adat atau sumanggen. Bale sakaroras,

merupakan salah satu unsur bangunan perumahan arsitektur tradisional Bali sangat rentan terhadap berbagai pengaruh, baik pengaruh dari dalam maupun pengaruh dari luar yang berdampak terjadinya komodifikasi pada

(12)

12 C. Penutup (Rekomendasi)

(a) Perkembangan arsitektur tradisional Bali dalam satu atau dua generasi mendatang akan sulit ditemui lagi dengan adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya dan akan menimbulkan masalah pula, kemana arsitektur tradisional tersebut akan dibawa, terbawa, dan membawa diri selanjutnya.

(b) Terjadi perubahan dan perkembangan sudut pandang serta pola hidup masyarakat Bali sejalan dengan kemajuan zaman dan laju perkembangan IPTEK, dan industri pariwisata.

(c) Akomodasi pariwisata rentan berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya komodifikasi pada bangunan arsitektur tradisional Bali. (d) Pertambahan jumlah anggota keluarga di masing-masing rumah

tangga di satu sisi, dan terbatasnya persediaan lahan perumahan di sisi lainnya, dapat memberikan pengaruh terhadap komodifikasi pada bangunan arsitektur tradisional Bali.

D. Daftar Pustaka

Adhimastra, I Nyoman. 2004. “Penerapan Sistem Metrik dalam Satuan Gegulak untuk Ukuran Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali”. Program Magister (S2) Ergonomi Universitas Udayana Denpasar.

Burns. L. 1995. Tourism A New Perspective. London Inc.

Gantini, Ni Wayan. 1994. “Kajian Proporsi Bangunan Tradisional Bali. Studi Kasus Naskah Hasta Kosali asal Gria Lodrurung Riang Gede Tabanan – Bali”. Tesis. Program Pascasajana (S2) Arsitektur di Institut Teknologi Bandung,

Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

Mayun, I.G.P. 1985. Arsitektur Tradisional Daerah Bali.

Sujadnja, I Putu. 1998. “Kenyamanan Bale Meten serta Faktor yang Mempengaruhinya di Desa Gianyar”. Tesis. Program Magister (S2) Ergonomi Universitas Udayana Denpasar.

Sularto. 1971. Arsitektur & Pariwisata Budaya.

Referensi

Dokumen terkait

Every element of the brand identity including the color of the logo and the typography on the brand name adds to the personality.. ◦ Brand equity is the value of

Adapun faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut adalah faktor psikologis, antara lain yaitu: motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan dan lain sebagainya; (b)

kondensat. Macam-macam Bahan Kimia Untuk Pengolahan Air Ketel dan Fungsinya Tujuan utama pemakaian bahan-bahan kimia ini adalah sebagai berikut. a) Mengubah komponen pembentuk

Semen seng fosfat sebagai basis digunakan dalam kekentalan yang tinggi dan bentuk lapisan yang relatif tebal untuk menggantikan dentin yang sudah rusak dan untuk

Kemampuan penyakit untuk berpindah dari satu orang ke orang lainnya atau untuk menyebar di dalam populasi disebut sebagai daya tular (communicability) penyakit itu. Daya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Dalam polis Last Survivor yang menanggung pasangan suami yang berusia x tahun dan istri yang berusia y tahun maka terdapat empat status yang bergantung pada

konstruksi sumur gali yang meliputi bibir, dinding, lantai, drainase, dan tutup sumur RPH Kabupaten Jember sebagian besar tidak memenuhi syarat fisik sanitasi sumur;