TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN
MENINGKATKAN SEL BETA PANKREAS PADA
TIKUS WISTAR JANTAN (Rattus norvegicus L.)
DIABETES MELITUS
MADE ASMARANI DIRA
NIM 1490761046
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN
MENINGKATKAN SEL BETA PANKREAS PADA
TIKUS WISTAR JANTAN (Rattus norvegicus L.)
DIABETES MELITUS
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MADE ASMARANI DIRA
NIM 1490761046
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 13 JULI 2016
Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si
NIP. 196404171996011001 NIP. 195705131986011001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. dr. Gede Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc., Sp.GK Prof. Dr. dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 13 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: , Tanggal
Ketua : Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro.
Anggota :
1. Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si.
2. Prof. Dr. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK.
4. dr. I Gusti Ayu Artini, M. Sc.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama
NIM
Program Studi
Judul Tesis
:
:
:
:
Made Asmarani Dira
1490761046
Biomedik
Pemberian Ekstrak Etanol Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Menurunkan Kadar Glukosa Darah dan Meningkatkan Sel Beta Pankreas Pada Tikus Wistar Jantan
(Rattus Norvegicus L.) Diabetes Melitus
Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari
terbukti plagiat dalam tulisan ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai
peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Denpasar, 2016
Made Asmarani Dira
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pemberian Ekstrak Etanol Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Menurunkan Kadar Glukosa Darah dan Meningkatkan Sel Beta Pankreas Pada Tikus Wistar Jantan
(Rattus Norvegicus L.) Diabetes Melitus”.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, selaku
pembimbing I dan Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, selaku pembimbing II
yang telah membantu memberikan bimbingan, saran, dan dukungan serta semangat
selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini.
Ucapan yang sama juga ditunjukkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.
dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukkan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr.
dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas
kepada Dr. dr. Gede Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc.,Sp.GK, selaku Ketua Jurusan
Program Studi Biomedik atas bantuan dan fasilitas yang telah diberikan kepada
penulis mengikuti Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih
kepada tim penguji yaitu Prof. Dr. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK, Dr. dr. I Made
Jawi, M. Kes, dan dr. I Gusti Ayu Artini, M. Sc, atas bimbingan, saran dan ide yang
telah diberikan demi kesempurnaan tesis ini. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima
kasih kepada seluruh dosen dan staf di Program Studi Biomedik yang tidak dapat
penulis sebutkan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus
kepada Ayah Prof. Dr. I Made Dira Swantara, M.Si dan Ibu Ni Wayan Sudiathi,
M.Pd dan saudara-saudara yang senantiasa telah memberi dukungan moril dan
materiil serta doa sehingga penyusunan tulisan ini dapat terselesaikan. Seluruh
teman-teman Program Studi Biomedik Ilmu Kedokteran Dasar angkatan 2014 dan
semua pihak semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang selalu
memberikan motivasi selama menempuh kuliah hingga tulisan ini selesai.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, 2016
Penulis
PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) MENURUNKAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN
MENINGKATKAN SEL BETA PANKREAS PADA TIKUS WISTAR JANTAN (Rattus norvegicus L.) DIABETES MELITUS
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin. Jamur tiram putih memiliki kandungan flavonoid yang dapat meredam radikal bebas yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pemberian ekstrak etanol jamur tiram putih dapat menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan sel beta pankreas pada tikus putih jantan diabetes militus.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post test only control group design. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus wistar jantan diinduksi aloksan (120 mg/kg bb) secara intraperitonial lalu dilakukan pemeriksaan glukosa darah tikus. Tikus wistar dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif diberikan aquadest, kelompok perlakuan diberikan ekstrak etanol jamur tiram putih dengan dosis sebesar 1000 mg/kg bb, sedangkan kontrol positif diberikan glibenklamid 5 mg/kg bb. Setiap perlakuan diperiksa kadar glukosa darah dan jumlah sel beta pankreas tikus pada hari ke 15 setelah diinjeksi aloksan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tikus wistar pada kelompok perlakuan jamur tiram putih dosis 1000 mg/kg bb lebih rendah dari pada kadar glukosa darah kelompok negatif dan berbeda nyata secara statistik (p<0.05). Secara histopatologi, jumlah sel beta pankreas perlakuan jamur tiram putih dosis 1000 mg/kg bb lebih banyak dari pada kelompok negatif dan berbeda nyata secara statistik (p<0.05). Kontrol positif dan ekstrak jamur tiram putih 1000 mg/kg bb
hasilnya berbeda tidak signifikan (p˃0,05).
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol jamur tiram putih dosis 1000 mg/kg bb dapat menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan jumlah sel beta pankreas tikus wistar jantan diabetes melitus. Ekstrak etanol jamur tiram putih aktivitasnya sebanding dengan glibenklamid 5 mg/kgbb dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus putih jantan.
Kata Kunci : Diabetes militus, jamur tiram putih, kadar glukosa darah, sel beta pankreas
ABSTRACT
ETHANOL EXTRACT OYSTER MUSHROOM (Pleurotus ostreatus) DECREASED BLOOD GLUCOSE LEVELS AND INCREASED CELLS
BETA PANCREAS IN MALE WISTAR RATS (Rattus norvegicus L.) DIABETES MELLITUS
flavonoid which is able to reduce free radicals. This study aims to investigate the effect of oyster mushroom ethanol extract in decreasing the blood glucose levels and increasing the pancreatic beta cells in male wistar with diabetes mellitus disease.
This research was an experimental study post test only control group design, with 30 male wistar used as sampels. Diabetes mellitus was induced to all of the sample by alloxan (120 mg/kg bw) intraperitoneally and then the blood glucose was meassured. The samples divided into 3 groups: negative control group was given mushrooms (1000 mg/kg bw) is lower than negative control (p<0.05). The number of pancreatic beta cells in treatment with oyster mushroom (1000 mg/kg bw) is more higher than the negative control (p<0.05). Positive controls and oyster mushroom
extract 1000 mg/kg bw results are not significan different (p˃0,05).
This research can be concluded that ethanol extract of oyster mushroom 1000 mg/kg bw decreased blood glucose levels and increased the number of pancreatic beta cell in male wistar rats with diabetes mellitus disease. White oyster mushroom ethanol extract had same activity with glibenclamide 5 mg/kg bw in decreased blood glucose level of male wistar rats.
DAFTAR GAMBAR ………...
2.2 Jamur Tiram Putih(Pleurotus ostreatus) ... 9
2.2.1 Deskripsi jamur tiram putih ... 9
2.2.2 Kandungan jamur tiram putih... 10
2.3 Aloksan ... 12
2.4 Pankreas ... 13
2.5 Glukosa ... 16
2.6 Glibenklamid ... 20
2.7 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.) ... 21
2.8 Ekstraksi ... 23
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 26
3.1 Kerangka Berpikir ... 26
3.2 Konsep ... 27
3.3 Hipotesis ... 28
BAB IV METODE PENELITIAN ... 29
4.1 Rancangan Penelitian ... 29
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 30
4.4 Sampel ... 30
4.4.1 Perhitungan besar sampel penelitian ... 30
4.4.2 Kriteria sampel ... 31
4.4.2.1 Kriteria inklusi ... 31
4.4.2.2 Kriteria drop out ... 31
4.5 Variabel Penelitian ... 31
4.5.1 Variabel bebas ... 31
4.5.2 Variabel terikat ...31
4.5.3 Variabel terkontrol ... 32
4.6 Definisi Operasional Variabel ... 32
4.7 Bahan Penelitian ... 33
4.9 Prosedur Penelitian ... 33
4.9.1 Pembuatan ekstrak etanol jamur tiram putih ... 33
4.9.2 Skrining fitokimia ... 34
4.9.3 Persiapan hewan coba ... 36
4.9.4 Pembuatan larutan dan suspensi... 37
4.9.5 Induksi kerusakan beta pankreas ... 38
4.9.6 Pengukuran glukosa darah tikus... 38
4.9.7 Pembuatan preparat histopatologi pankreas ... 39
4.9.8 Alur Penelitian... 40
4.10 Analisis Data... 41
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
5.1 Hasil Penelitian... 43
5.1.1 Skrining ekstrak jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) ………../…… 43 5.1.2 Kadar glukosa darah ... 43
5.1.3 Hispatologi sel beta pankreas ...45
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)... 9
Gambar 2.2 Struktur Aloksan ... 13
Gambar 2.3 Organ Pankreas ... 15
Gambar 2.4 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.) ... 22
Gambar 3.1 Konsep Penelitian ... 27
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian... 29
Gambar 4.2 Alur Penelitian ... 40
Gambar 5.1 Nekrosis Sel Beta Pankreas Tikus Wistar Jantan ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)...
57
Lampiran 2 Foto Jamur Tiram Putih yang Dikeringkan... 58
Lampiran 4 Foto Tikus Wistar Ditempatkan pada Masing-Masing Kandang .... 58
Lampiran 5 Foto Nekropsi Tikus Wistar ... 59
Lampiran 6 Hasil skrining fitokimia ekstrak jamur tiram putih …... 59
Lampiran 7 Foto Hasil Uji Alkaloid Ekstrak Jamur Tiram Putih ... 60
Lampiran 8 Foto Hasil Uji Triterpenoid Ekstrak Jamur Tiram Putih... 60
Lampiran 9 Foto Hasil Pemeriksaan Antioksidan Ekstrak Jamur Tiram Putih .. 60
Lampiran 10 Uji Statistik Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar ... 61
Lampiran 11 Uji Normalitas Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar ... 61
Lampiran 12 Uji Homogenitas Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar ... 61
Lampiran 13 Uji Kruskal Wallis Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Selisih Semua Kelompok Perlakuan ...
62 Lampiran 14 Uji Mann Whitney Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Selisih
Semua Kelompok Perlakuan ………...
62
Lampiran 15 Uji Deskriptif Sel Beta Pankreas Tikus Wistar ... 63
Lampiran 16 Grafik Rerata Perhitungan Jumlah Sel Beta Pankreas ... 63
Lampiran 17 Uji Normalitas Sel Beta Pankreas Tikus Wistar... 63
Lampiran 18 Uji Homogenitas Sel Beta Pankreas Tikus Wistar... 64
Lampiran 19 Uji One WayAnova Sel Beta Pankreas Tikus Wistar... 64
Lampiran 20 Uji Least Significant Difference Sel Beta Pankreas Tikus Wistar... 64
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik dimana penderita mengalami
kelebihan kadar glukosa dalam darah. Pengobatan diabetes melitus dapat
dilakukan secara medis dengan obat-obatan modern dan dapat juga diatasi dengan
pengobatan alami dengan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat. Salah satu
tanaman yang berkhasiat sebagai antidiabetes yaitu jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus).
Secara garis besar diabetes terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
diabetes mellitus tipe I dan diabetes melitus tipe II. Diabetes tipe I tubuh gagal
memproduksi insulin karena kerusakan pada sel beta pankreas. Diabetes melitus
tipe II terjadi resistensi insulin pada tubuh dan juga defisiensi relatif insulin.
Menurut data yang didapatkan dari WHO pada September (2012) menjelaskan
bahwa jumlah penderita DM di dunia mencapai 347 juta orang dan lebih dari 80%
kematian akibat DM terjadi pada negara miskin dan berkembang. Indonesia
menempati urutan ke-4 terbesar di dunia (Badawi, 2009). Penderita DM di
Indonesia terhitung sekitar 8,6 juta orang dan jumlahnya akan terus meningkat,
diperkirakan jumlahnya mencapai 21,2 juta orang pada tahun 2030 (Wild et al., 2004).
Menurut American Diabetes Association (ADA), DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia akibat gangguan sekresi
2
Faktor tersebut di antaranya faktor genetik, infeksi oleh kuman, faktor nutrisi, zat
diabetogenik, dan radikal bebas (stres oksidatif).
Uji farmakologi atau bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan diabetes
mellitus dapat diinduksi dengan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor
(diabetagon) digunakan aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glucagon,
dan EDTA yang diberikan secara parenteral. Diabetagon yang lazim digunakan
adalah aloksan. Aloksan secara selektif merusak sel pulau Langerhans dalam
pankreas yang mensekresi hormon insulin (Suharmiati, 2003). Kerusakan sel beta
pankreas menyebabkan tubuh tidak bisa menghasilkan insulin sehingga
menyebabkan kadar glukosa darah meningkat (terjadi keadaan hiperglikemia)
(Suarsana, 2010). Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara in vitro
menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari
mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion
kalsium dari mitokondria ini mengakibatkan gangguan homeostatis yang
merupakan awal dari matinya sel (Suharmiati, 2003).
Diabetes dapat dikontrol dengan manajemen diet yang tepat dan pengobatan
antidiabetes seperti glibenklamid. Glibenklamid merupakan obat anti-diabetika
oral golongan sulfonilurea. Glibenklamid menstimulasi sel-sel beta dari pulau
Langerhans pankreas, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Disamping itu
kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui
pengaruhnya atas protein transport glukosa (Tjay dan Rahardja, 2002).
Obat tradisional merupakan obat warisan nenek moyang yang sampai saat ini
masih digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah, yang dibuat dari
3
yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan
berdasarkan pengalaman (Santoso, 2001). Obat tradisional seperti jamur sangat
bermanfaat untuk penatalaksanaan sejumlah masalah kesehatan.
Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) sangat berpotensi sebagai
antikolesterol, antidiabetes, antioksidan, antikarsinogen (Retnaningsih, 2011).
Jamur tiram mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin dan riboflavin yang
lebih tinggi dibandingkan jenis jamur lain. Jamur tiram mengandung 18 macam
asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dan tidak mengandung
kolesterol. Macam asam amino yang terkandung dalam jamur tiram adalah alanin,
arginin, asam aspartat, sistein, asam glutamat, glutamina, glisin, histidin,
isoleusin, lisin, methionin, fenilalanin, prolin, serin, treonin, triptofan, tirosin, dan
valin (Sunarmi, 2006). Berdasarkan penelitian Lusiana (2013), ekstrak jamur
tiram memiliki kandungan asam askorbat, saponin, alkaloid, dan beta glucan.
Berdasarkan penelitian Jhonny et al.(2013), ekstrak jamur tiram dengan dosis 1000 mg/kg pada tikus wistar jantan dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Rushita et al. (2013), melaporkan bahwa ekstrak jamur tiram selain dapat menurunkan kadar glukosa darah, ekstrak jamur tiram dapat meningkatkan kadar
serum insulin. Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta di
dalam pulau Langerhans dan berperan atas kontrol glukosa darah. Jamur tiram
putih mengandung flavonoid (Johnny, 2013). Flavonoid yang terkandung dalam
jamur tiram putih tersebut bertindak sebagai penangkap radikal hidroksil sehingga
dapat mencegah aksi diabetagonik dari aloksan (Herra and Mulja, 2005). Jamur
tiram putih juga mengandung antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang
4
menangkap radikal bebas (Murray et al., 2000). Antioksidan berperan dalam pengobatan diabetes melitus. Antioksidan dapat membantu memperbaiki sel β
pankreas yang rusak sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan pemberian
ekstrak etanol jamur tiram putih yang dapat menurunkan kadar glukosa darah dan
meningkatkan sel beta pankreas tikus wistar jantan (Rattus norvegicus L.) diabetes melitus.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu:
1. Apakah ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dapat
menurunkan kadar glukosa darah pada tikus wistar jantan (Rattus norvegicus L.)diabetes melitus?
2. Apakah ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dapat
meningkatkan sel beta pankreas tikus wistar jantan (Rattus norvegicus L.) diabetes melitus?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus. Tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak etanol
5
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Untuk membuktikan ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus wistar jantan (Rattus norvegicus L.) diabetes melitus.
2. Untuk membuktikan ekstrak etanol jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
dapat meningkatkan sel beta pankreas tikus wistar jantan (Rattus norvegicus L.) diabetes melitus.
1.4Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Akademisi
Dapat dijadikan sebagai dasar teori untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan dalam bidang kesehatan modern berbasis regeneratif untuk
diabetes melitus berbasis bahan alam Indonesia.
2. Manfaat Bagi Praktisi
a. Memberikan informasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
dalam pemanfaatan tanaman obat tradisional khususnya jamur tiram
sebagai obat alternatif dalam bentuk esktrak yang efektif, alamiah,
aman dan lebih terjangkau dalam terapi diabetes melitus.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan industri farmasi Indonesia
untuk meningkatkan ragam produksi obat berbasis bahan alam,
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Diabetes Melitus (DM)
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan kadar glukosa darah karena terjadi penurunan kadar hormon
insulin. Penyebab terjadinya diabetes, yang pertama yaitu jumlah sekresi hormon
insulin berkurang, sehingga tidak mampu mengambil glukosa dari sirkulasi darah
dan tidak mampu mengontrol kadar glukosa sehingga kadar glukosa tetap tinggi
dan terbuang melalui urin. Penyebab kedua adalah resistensi insulin, jumlah
insulin cukup tetapi insulin tersebut tidak sensitif lagi sehingga tidak mampu
bekerja secara optimal dan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel yang
mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat sehingga
menyebabkan kekurangan energi pada sel, kemudian akan menimbulkan respon
tubuh untuk mencari energi dari sumber lain seperti glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Diabetes mellitus juga dapat terjadi akibat kombinasi dari kedua
penyebab tersebut (McClung et al, 2004).
Gejala umum yang sering dialami oleh penderita adalah cepat merasa lapar
(polifagi), kehausan yang terus menerus (polidipsi), banyak kencing (puliuri),
penurunan berat badan yang cepat, cepat lelah, dan kaburnya penglihatan.
Keadaan kadar glukosa normal pada saat puasa adalah < 100 mg/dL dan 2 jam
setelah beban < 140 mg/dL. Prediabetes pada saat puasa 100 – 125 mg/dL dan 2
jam setelah beban 140 – 199 mg/dL. Sedangkan untuk diabetes, kadar glukosa
7
puasa adalah ≥ 126 mg/dL dan 2 jam setelah beban ≥ 200 mg/dL (McWright,
2008). Diabetes Melitus pada umumnya dibagi menjadi 3 tipe, yaitu sebagai
berikut:
1. Diabetes tipe I
Diabetes tipe I (sebelumnya disebut insulin dependent diabetes mellitus atau IDDM) merupakan diabetes yang bergantung pada insulin. Diabetes ini dicirikan
dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans
pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Hal ini dapat diderita
oleh anak-anak maupun remaja karena faktor keturunan (McWright, 2008; Suryo,
2010).
Kebanyakan penderita diabetes tipe ini memiliki kesehatan dan berat badan
yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun
respon tubuh terhadap insulin umumnya normal, terutama pada tahap awal. Saat
ini, diabetes tipe I hanya dapat diobati menggunakan insulin dengan pengawasan
yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor penguji darah.
Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga)
(Suryo, 2010).
2. Diabetes tipe II
Diabetes tipe II (sebelumnya disebut non insulin dependent diabetes mellitus
atau NIDDM) merupakan diabetes yang tidak tergantung kepada insulin. Dari
seluruh pengidap diabetes, lebih dari 90% menderita diabetes tipe II (Nathan,
8
Ada dua penyebab utama diabetes tipe II, pertama adalah timbulnya resistensi
terhadap insulin yang menyebabkan jaringan tubuh menjadi kurang peka terhadap
efek insulin. Akibatnya, gula yang beredar dalam darah mengalami kesulitan
untuk meninggalkan darah dan memasuki sel-sel tubuh. Untuk menurunkan kadar
gula secara efektif dan memenuhi tugas insulin lainnya, dibutuhkan lebih banyak
insulin. Penyebab kedua dari diabetes tipe II adalah tidak adanya kemampuan
meningkatkan kadar insulin guna memenuhi kebutuhan yang meningkat (Nathan,
2009).
Diabetes tipe II pada awalnya diobati dengan cara peningkatan aktivitas fisik,
diet (pengurangan asupan karbohidrat), dan pengurangan berat badan. Hal ini
dapat mengembalikan kepekaan terhadap hormon insulin. Langkah berikutnya,
jika perlu, perawatan oral dengan obat antidiabetes di bawah pengawasan dokter
(Suryo, 2010).
3. Diabetes gestasional
Diabetes gentasional adalah diabetes terjadi pada saat kehamilan, ada
kemungkinan akan normal kembali namun toleransi glukosa yang terganggu juga
bisa berlanjut setelah kehamilan tersebut jika tidak mendapatkan penanganan
dengan baik. Perlu dilakukan pemeriksaan sebelum 24 minggu kehamilan. Data
statistik menunjukkan bahwa pengontrolan gula darah saat kehamilan bagi
penderita diabetes gestasional akan menghindari ibu dan bayi yang dilahirkan dari
9
2.2Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Gambar 2.1
Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) (Lindequiest et al., 2005)
Klasifikasi tanaman jamur tiram putih adalah sebagai berikut (Lindequiest et al., 2005) :
Kingdom : Mycetea
Divisi : Amastigomycotae
Kelas : Hymenomycetes
Ordo : Agaricales
Famili : Pleurotaceae
Genus : Pleurotus
Spesies : Pleurotus ostreatus
2.2.1 Deskripsi Jamur Tiram Putih
Jamur tiram putih memiliki bagian tubuh yang terdiri dari akar semu
10
2001). Jamur tiram memiliki ciri-ciri fisik seperti permukaannya yang licin dan
agak berminyak ketika lembab, bagian tepinya agak bergelombang, letak tangkai
lateral agak disamping tudung dan daging buah berwarna putih (pleurotus sp.). Jamur tiram memiliki diameter tudung yang menyerupai cangkang tiram
berkisar antara 5-15 cm, jamur ini dapat tumbuh pada kayu-kayu lunak dan pada
ketinggian 600 meter dari permukaan laut, spesies ini tidak memerlukan intensitas
cahaya tinggi karena dapat merusak miselia jamur dan tumbuhnya buah jamur.
Jamur tiram dapat tumbuh dan berkembang dengan suhu 15o-30oC pada pH 5,5-7
dan kelembaban 80%-90%. Spesies ini tidak memerlukan intensitas cahaya tinggi
karena akan merusak miselia jamur dan tubuh buah jamur (Achmad, 2011).
2.2.2 Kandungan Jamur Tiram Putih
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, jamur tiram
putih mengandung protein rata-rata 3,5%-4% dari berat basah. Hal ini berarti
kandungan protein dalam jamur dua kali lipat lebih tinggi dari asparagus dan
kubis. Jika dihitung dari berat kering, jamur tiram mengandung protein yang
cukup tinggi yaitu sebesar 19% sampai dengan 35%, apabila dibandingkan
dengan produk makanan pokok lainnya, seperti beras yang hanya 7,3% gandum
13,2%, kedelai 39,1%, dan susu sapi 25,2%. Jamur tiram juga mengandung
sembilan asam amino yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin,
isoleusin, histidin danfenil alanin. Tujuh puluh dua persen lemak dalam jamur
tiram adalah asam lemak tidak jenuh, sehingga aman dikonsumsi baik yang
menderita kelebihan kolesterol (hiperkolesterol) maupun gangguan metabolisme
11
polisakarida kitin di dalam jamur tiram. Asam amino esensial jamur tiram sangat
direkomendasikan untuk makanan diet sehari-hari (Sunarmi, 2006).
Tabel 2.1
Kandungan gizi dalam jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) (Johnny, 2013)
Zat gizi Kandungan (gram)
Hasil penelitian dari Beta Glucan Health Center menyebutkan bahwa jamur
tiram putih mengandung senyawa pleuran (β-1,6 dan β-1,3-glukan). Adanya
polisakarida khususnya Beta-D-glucans pada jamur tiram mempunyai efek positif
mereduksi gula darah, sehingga gula darah yang tidak tereduksi dapat direduksi
kemudian dapat diserap tubuh dan dapat meningkatkan sistem imun (Sumarsih,
2009). Menurut hasil penelitian dari Johnny (2013) bahwa jamur tiram putih
mengandung saponin, alkaloid, dan flavonoid.
Flavonoid adalah kelompok polifenol yang terdistribusi secara luas pada
tumbuh-tumbuhan. Flavonoid seperti pada penelitian sebelumnya diperkirakan
dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan menghambat penyerapan glukosa
12
hingga bekerja secara langsung terhadap sel β pankreas, dengan memicu
pengaktifan kaskade sinyal cAMP (cyclic Adenosine Monophosphate) dalam memperkuat sekresi insulin yang disensitisasi oleh glukosa (Brahmachari, 2011).
Flavonoid dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kemampuannya sebagai
zat antioksidan. Antioksidan dapat menekan apoptosis sel beta tanpa mengubah
proliferasi dari sel beta pankreas. Antioksidan dapat mengikat radikal bebas yang
telah dibuktikan dalam penelitian Ruhe et al. (2001), sehingga dapat mengurangi resistensi insulin. Antioksidan dapat menurunkan Reactive Oxygen Spesies
(ROS). Dalam pembentukan ROS, oksigen akan berikatan dengan elektron bebas
yang keluar karena bocornya rantai elektron. Reaksi antara oksigen dan elektron
bebas inilah yang menghasilkan ROS dalam mitokondria. Antioksidan pada
flavonoid dapat menyumbangkan atom hidrogennya. Flavonoid akan teroksidasi
dan berikatan dengan radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi senyawa yang
lebih stabil (Ruhe et al., 2001).
2.3 Aloksan
Pada penelitian ini digunakan aloksan untuk membuat hewan percobaan
menjadi hiperglikemia. Aloksan dengan rumus struktur seperti pada Gambar 2.2
memiliki sifat fisiko kimia sebagai berikut: serbuk berwarna putih, mudah larut
dalam air, dan stabil pada suhu mendekati 00C. Aloksan adalah substrat yang
secara struktural adalah derivat pirimidin sederhana. Aloksan murni diperoleh dari
oksidasi asam urat oleh asam nitrat (Yuriska, 2009). Berikut merupakan beberapa
13
Rumus molekul : C4H2N2O4
Rumus Struktur :
Gambar 2.2
Struktur aloksan (Yuriska, 2009)
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes
pada hewan percobaan. Yuriska (2009) melaporkan dosis aloksan yang digunakan
untuk menghasilkan diabetes bervariasi dari 60-125 mg/kg bb. Penggunaan dosis
aloksan 125 mg/kg bb menghasilkan tikus diabetes sedang dengan kadar glukosa
antara 200-400 mg/dl, sedangkan dosis 175 mg/kg bb menghasilkan tikus diabetes
parah dengan kadar glukosa diatas 400 mg/dl yang diukur dalam 48 jam setelah
induksi. Injeksi aloksan monohydrate dengan dosis 150 mg/kg bb bisa
menyebabkan tikus diabetes. Kadar glukosa darah tikus normal adalah 78-150
mg/dl (Ganda et al., 1976; Farr et al., 1999 dalam Mahaswari, 2011).
2.4 Pankreas
Pankreas terletak pada rongga abdomen, memiliki permukaan yang
membentuk lobulasi, berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini
14
menghasilkan enzim-enzim pankreas (amylase, peptidase, dan lipase), dan
jaringan endokrin yang menghasilkan hormon–hormon (insulin, glukagon, dan
somatostatin).
Pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar
di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau
Langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar
pulau Langerhans yang terkecil adalah 50μ, sedangkan yang terbesar 300μ,
terbanyak adalah yang besarnya 100-225μ. Jumlah semua pulau Langerhans di
pankreas diperkirakan antara 1-2 juta. Pada pewarnaan Hematoxylen-Eosin (HE),
akan terlihat pulau Langerhans lebih pucat dibandingkan dengan sel-sel kelenjar
acinar disekelilingnya sehingga pulau Langerhans mudah dibedakan. Penderita
DM akan mengalami perubahan morfologi pada pulau Langerhans, baik dalam
jumlah maupun ukurannya (Sandberg dan Philip, 2008).
Perubahan sitologi sel β pankreas karena toksisitas aloksan terjadi sangat
cepat dan mempunyai bentuk yang seragam pada berbagai species. Penyusutan
sitoplasma dan inti sel teramati setelah pemberian aloksan selama 5 menit.
Sitoplasma menjadi homogen dan diikuti dengan penyusutan ukuran sel. Sel β
pankreas benar-benar hancur dan hanya tersisa debris sel setelah pemberian
aloksan dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 3-5 hari tidak ada sel β yang teramati
walaupun sel α tetap normal. Sistem endokrin dimana sistem saraf bekerja dengan
perantara impuls elektrik dan neurotransmitor yang berfungsi menghantar impuls
antar saraf. Sistem Endokrin bekerja dengan perantara suatu senyawa kimia yang
15
tertentu melalui aliran darah menuju ke suatu jaringan atau organ. Sistem
endokrin bekerja lebih lambat dibanding dengan sistem saraf, dimana proses
produksi, sekresi, transport dan eliminasi hormone dalam darah akan
membutuhkan waktu lebih panjang. Hal ini berbeda dengan sistem saraf, yang
perambatan dan pengiriman sinyal terjadi sangat cepat (Sandberg dan Philip,
2008).
Gambar 2.3
Organ pankreas (Sandberg dan Philip, 2008)
Kelenjar pankreas memproduksi hormon insulin dan glukagon, juga
memproduksi enzim-enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan makanan dalam
usus. Kelenjar Pankreas adalah kelenjar yang bersifat eksokrin dan endokrin.
Sebagai kelenjar eksokrin, kelenjar pankreas memproduksi getah pankreas
(pancreatic juice) yang mengandung enzim-enzim dan berguna untuk pencernaan
makanan. Getah pankreas ini disalurkan melalui saluran pancreas, masuk ke
dalam usus dua belas jari dan mengambil bagian dalam proses pencernaan.
16
hormon peptida secara langsung dalam pembuluh darah : Hormon Insulin,
Glukagon, Somatostatin.
Insulin dan glukagon adalah hormone pankreas yang paling penting.
Hormon-hormon tersebut bekerja berlawanan pada hati dalam mengatur kadar gula darah.
Secara topografinya, pankreas terletak dalam rongga abdomen, berada di belakang
organ lambung dengan ukuran panjang kurang lebih 15 cm. Histologi kelenjar
eksokrin terdiri dari sel-sel asiner pankreas dan memproduksi cairan getah
pankreas sedangkan kelenjar endokrin terdiri dari kelompok sel-sel endokrin yang
tersebar di seluruh pancreas. Kelompok sel ini dikenal sebagai Panceratic Islets
atau Pulau Langerhans. Secara histologis, sel Langerhans terdiri dari tiga jenis
tipe sel : sel alfa memproduksi glukagon, sel beta memproduksi insulin, dan sel
delta memproduksi somatostatin, dimana sel beta merupakan sel dominan dalam
kelompok sel Langerhans (Butler et al., 2001).
2.5 Glukosa
Glukosa merupakan zat terpenting dalam kaitannya dengan penyediaan energi
dalam tubuh. Semua karbohidrat yang dikonsumsi baik itu monosakarida,
disakarida maupun polisakarida akan dikonversi menjadi glukosa dalam hati. Di
dalam tubuh, glukosa tidak hanya dapat tersimpan dalam bentuk glikogen di
dalam otot dan hati namun juga dapat tersimpan pada plasma darah dalam bentuk
glukosa darah. Glukosa selain akan berperan sebagai bahan bakar bagi proses
17
Glukosa diabsorbsi dalam tubuh, kadar glukosa dalam darah akan meningkat
untuk sementara waktu, dan akhirnya akan kembali ke kadar semula. Pengaturan
fisiologis kadar glukosa darah sebagaian besar tergantung dari ekstraksi glukosa,
sintesis glikogen, dan glikogenolisis dalam hati. Selain itu jaringan perifer otot
dan adipose juga mempergunakan glukosa sebagai sumber energi.
Jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah, meskipun
secara kuantitatif tidak sebesar hati (Price dan Wilson, 1998).
Glikogen dalam hati dan otot dimetabolisme menjadi glukosa kembali
melalui proses glikolisis dan trigliserida dimetabolisme menjadi asam lemak dan
gliserol (lipolisis) untuk diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis.
Hal ini terjadi ketika tingkat glukosa darah menurun, atau ketika jumlah glukosa
yang masuk ke dalam sel tidak mencukupi dan cadangan glikogen terpakai habis
(Ciappesoni, 2002).
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan
oleh jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis hormon.
Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai Hormon-hormon yang menurunkan kadar
glukosa darah dan hormon yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Hormon insulin merupakan hormon yang berfungsi dalam menurunkan kadar
glukosa darah. Penyerapan glukosa dalam sel diperantarai oleh insulin yang
merupakan hormon yang dilepaskan oleh sel-sel β pankreas. Peningkatan kadar
glukosa darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk
18
lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah menurun secara perlahan
(Muraay et al., 2003).
Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi
masuknya glukosa ke dalam sel terutama otot serta mengkonversi glukosa
menjadi glikogen (Glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga
menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar (Glikogenolisis) dan
memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan
keton. Selain itu insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk
memproduksi glukosa (Glukoneogenesis) di hepar dan ginjal (Muraay et al., 2003).
Hormon yang diklasifikasikan sebagai hormon yang mampu meningkatkan
glukosa darah adalah glukagon, epinefrin, glikokortikoid, dan growth hormone. Keempat hormon ini membentuk suatu mekanisme counter-regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin. Glukagon adalah
hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel α pankreas. Glukagon penting karena
ikut melibatkan diri dalam mobilisasi glukosa dari hati dan asam lemak dari
jaringan adipose. Glukagon disekresikan jika tubuh hewan dalam keadaan
hipoglikemia dan strees. Ephineprin disekresikan oleh medula adrenal dan
jaringan kromatin (Muraay et al., 2003).
Hormon yang juga mempengaruhi kadar glukosa darah dalam tubuh adalah
hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar anak ginjal yaitu glukokortikoid
dan adrenalin. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan pada bagian kortek
19
glikogen menjadi glukosa. Hormon adreanalin yang dihasilkan pada bagian
medula mempengaruhi pemecahan glikogen (glikogenolisis) dalam hati sehingga
kadar glukosa darah meningkat. Sekresi kelenjar anak ginjal tersebut dipengaruhi
oleh hormon adenokortikotropik (ACTH) yang dihasilkan oleh kelenjar hifofise
anterior (Muraay et al., 2003).
Penurunan kadar glukosa darah terjadi pada keadaan hipoglikemia
disebabkan oleh out put glukosa (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dari hati normal sedangkan pemasukan glukosa di perifer normal atau kombinasi
keduanya. Peningkatan kadar glukosa darah dapat terjadi pada keadaan
hiperglikemia, lipemia, dan ketonemia (Coles, 1980). Hiperglikemia dapat terjadi
apabila kadar glikogen tinggi, karena fungsi hormon glukagon pancreas
meningkat dan fungsi hormon insulin pankreas menurun (Muraay et al., 2003). Jika kadar glukosa darah rendah (hipoglikemia), organ pertama yang terkena
pengaruhnya adalah otak. Untuk melindungi otak, tubuh segera mulai membuat
glukosa dari glikogen yang tersimpan di hati. Proses ini melibatkan pelepasan
epinefrin (adrenalin), yang cenderung menyebabkan rasa lapar, kecemasan,
meningkatnya kesiagaan, dan gemetaran. Berkurangnya kadar glukosa darah ke
otak bisa menyebabkan sakit kepala, apabila tidak diatasi dengan segera bisa
menyebabkan koma dan kadang cedera otak menetap (Peretta, 2005).
Sedangkan jika terjadi peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia),
glukosa, filtrat glomerulus mengandung glukosa di atas batas ambang untuk
direabsobsi, sehingga kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan melalui urin. Gejala
20
haus, polidipsia, dan kehilangan berat badan. Tubuh mulai membakar lemak
untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sel lemak yang dipecah akan
menghasilkan keton yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa
menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Komplikasi lebih lanjut yaitu
terjadi kerusakan saraf pada retina, kehilangan kemampuan tubuh untuk
menyembuhkan diri dan melawan infeksi, juga menyebabkan kerusakan pada
saraf dan infeksi pada gusi (Peretta, 2005).
2.6 Glibenklamid
Glibenklamid merupakan obat anti-diabetika oral golongan sulfonilurea,
berbentuk tablet dimana tiap tablet mengandung glibenklamide 5 mg. Obat-obat
anti diabetika oral tidak mengandung insulin tetapi merangsang pankreas untuk
menghasilkan lebih banyak insulin, atau membantu sel untuk menggunakan
insulin yang tersedia dengan lebih maksimal. Glibenklamid menstimulasi sel-sel
beta dari pulau langerhans pankreas, sehingga sekresi insulin ditingkatkan.
Disamping itu kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar
melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Ada indikasi bahwa obat ini
juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi
insulin oleh hati (Tjay dan Rahardja, 2002).
Glibenklamid dengan dosis 5 mg sehari dapat menurunkan kadar glukosa
darah. Golongan sulfonylurea lain yang mempunyai efek hipoglikemik antara lain
klorpropamid, tolazamida (tolirase), gliklazid, glipizid, glikuidun dan tolbutamid.
Meskipun secara kualitatif golongan sulfonylurea mempunyai efek farmakologi
21
glibenclamid lebih poten dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain, misalnya
efek hipoglikemik glibenklamide 5 mg sama dengan tolbutamide 1000 mg,
klorpropamide 250 mg atau tolazamide 250 mg. Meskipun demikian, kemampuan
efek hipoglikemik maksimum dan efektivitas terapinya sebanding dengan
sulfonylurea yang lain (Hardjasaputra et al.,2002).
Glibenklamid secara relatif mempunyai efek samping yang rendah. Hal ini
umum terjadi dengan golongan sulfonylurea dan biasanya bersifat ringan dan
hilang sendiri setelah obat dihentikan. Hipoglikemia merupakan efek samping
utama glibenklimide yang biasanya bersifat ringan, tetapi kadang-kadang dapat
menjadi berat dan berkepanjangan. Glibenclamid dapat menimbulkan efek
samping saluran cerna seperti mual, rasa tidak enak di perut atau anoreksia
(Hardjasaputra et al.,2002).
2.7 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.)
Hewan coba merupakan hewan yang dikembang biakkan untuk digunakan
sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian
medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik
genetik yang hampir mirip dengan manusia, mudah berkembang biak, murah serta
mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan
aktivitasnya pada malam hari (nocturnal) (Moore, 2000).
Tikus putih (Rattus norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat. Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia,
22
tikus paling populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium. Hal ini
ditandai oleh kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki panjang ekor yang selalu
kurang dari panjang tubuhnya. Galur tikus Sprague dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus Wistar lebih aktif (agresif) daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley. Tikus putih merupakan strain albino dari
Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan (Moore, 2000).
Gambar 2.4
Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus L.) (Moore, 2000)
Tikus jantan banyak digunakan dibandingkan dengan tikus betina disebabkan
karena tikus jantan menunjukkan periode pertumbuhan yang lebih lama.
Taksonomi dari tikus putih adalah sebagai berikut (Moore, 2000):
Kingdom : Animalia
Divisi : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
23
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus L.
2.8 Ekstraksi
Ekstraksi adalah cara untuk memisahkan campuran beberapa komponen
menjadi komponen yang terpisah. Tahapan yang harus diperhatikan dalam
mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi,
pemilihan pelarut dan kondisi proses ekstraksi, proses pengambilan pelarut,
pengawasan mutu dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahapan penyelesaian.
Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan kerusakan
komponen-komponen senyawa penyusun. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert
terhadap bahan baku, mudah didapat dan harganya murah (Sabel dan Waren, 1973
dalam Wibudi, 2006).
Pemilihan pelarut harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan
mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah
terbakar dan selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat yang dikehendaki. Polaritas
pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator kelarutan pelarut dapat
ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut (Wibudi,
2006).
Air dipertimbangkan sebagai pelarut karena murah, mudah didapat, stabil,
tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak beracun, alamiah, dan mampu
mengekstraksi banyak bahan kandungan simplisia. Adapun kerugian air sebagai
24
ekstrak, ekstrak dapat ditumbuhi kapang atau kuman serta cepat rusak (Voight,
1994 dalam Wibudi 2006).
Etanol dipertimbangkan sebagai pelarut karena lebih selektif dan kuman sulit
tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorpsinya baik, dapat
mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Selain itu, etanol dapat
bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit. Guna meningkatkan ekstraksi, biasanya digunakan
campuran antara etanol dan air dalam berbagai perbandingan tergantung pada
bahan yang akan diekstrak (Voight, 1994 dalam Wibudi 2006).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan
mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan
ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, sokletasi (Ansel,
1989 dalam Wibudi, 2006).
Metode maserasi digunakan dengan cara merendam sampel dengan pelarut
sesuai, baik murni maupun campuran. Setiap waktu tertentu filtratnya diambil dan
residunya ditambahi pelarut baru. Demikian seterusnya sampai semua metabolit
yang diperkirakan ada dalam sampel tersebut terekstrak. Metode perkolasi
biasanya digunakan dengan cara melewatkan pelarut tetes demi tetes pada sampel
yang diekstrak. Pelarut yang digunakan sebaiknya tidak mudah menguap. Pada
metode ini dibutuhkan pelarut yang lebih banyak (Ansel, 1989 dalam Wibudi,
25
Hasil ekstraksi dari maserasi berupa filtrat (zat terlarut dalam pelarut). Setelah
pelarutnya diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum (rotary cacum evaporator) akan menghasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Ansel, 1989 dalam Wibudi, 2006).