OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA
DISERTASI
Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat
memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia
oleh
R HENDARYAN
NIM 0908567
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG
R. HENDARYAN
EKPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA
Disetujui dan disahkan oleh pembimbing disertasi Promotor merangkap ketua,
Prof. Dr. H. Syihabuddin, M.Pd. NIP. 196001201987031001
Ko-Promotor merangkap sekretaris,
Prof. Dr. H. Iskandarwassid, M.Pd.
Anggota,
Prof. Dr. H. Engkus Kuswarno, M.S. NIP. 196311171988101001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Bahasa Indonesia
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Ekspresi Kesantunan dalam Tuturan Bahasa Indonesia oleh Penutur Dwibahasawan Sunda-Indonesia” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutiipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.
Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Juli 2015 Yang membuat pernyataan,
Alhamdulillahhirabbilalamin. Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang telah memberikan kekuatan dah hidayah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini meskipun memiliki berbagai kekurangan. Mudah-mudahan kekurangan ini menjadi hikamah terutama bagi penulis
umumnya bagi kita yang senantiasa berharap “besok bisa lebih baik daripada hari
ini”.
Disertasi yang berjudul Ekspresi Kesantunan dalam Tuturan Bahasa Indonesia oleh Penutur Dwibahasawan Sunda-Indonesia diwujudkan sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap fenomena penggunaan bahasa khususnya bahasa Indonesia yang semakin menjauh dari nilai-nilai luhur yang telah dianut oleh generasi terdahulu berupa nilai-nilai kesantunan dalam berbahasa. Globalisasi senantiasa dijadikan sebagai kambing hitam dalam kenyataan memburuknya kebiasaan berbahasa oleh penutur bahasa Indonesia. Sebetulnya kenyataan dinamika budaya dan ilmu pengetahuan harus disikapi secara arif melalui proses pendidikan yang menggunakan ancangan-ancangan yang memiliki kesesuaian dengan budaya daerah dan budaya nasional Indonesia. Dalam budaya daerah dan budaya nasional Indonesia terdapat nilai-nilai kearifan yang luhur dan telah terbukti kebaikan dan keampuhannya sehingga tidak ada alasan bahwa nilai-nilai kedaerahan dinyatakan sebagai simbol keterbelakangan.
Terwujudnya disertasi ini merupakan bukti adanya keinginan penulis untuk menyelesaikan studi pada jenjang S3 di Universitas Pendidikan Indonesia dan juga bukti adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sangat pantas pada kesempatan ini dengan tulus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada
sekretaris yang telah bijaksana dan arif memberikan arahan dan dorongan demi terwujudnya disertasi ini;
3. Bapak Prof. Dr. H. Engkus Kuswarno, M.S. sebagai Anggota Promotor yang telah bijaksana memberikan dorongan dan semangat kepada penulis;
4. Bapak Rektor, para Wakil Rektor dan seluruh civitas akademika Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga kajian ini dapat diselesaikan;
5. Bapak Direktur dan para Asisten Direktur serta Staf Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memberikan kesempatan untuk bisa menyelesaikan studi;
6. Bapak Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang telah tulus bijaksana memberikan semangat kepada penulis untuk bisa menyelesaikan studi di Universitas Pendidikan Bahasa Indonesia;
7. Bapak Koodinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten yang telah memberikan izin belajar kepada penulis sehingga dapat mengikuti pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia;
8. Bapak Rektor dan seluruh civitas akademika Universitas Galuh Ciamis yang telah memberikan izin dan dorongan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada jenjang S3 di Universitas Pendidikan Indonesia;
9. Bapak Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis yang telah memberikan semangat untuk melanjutkan studi pada jenjang S3 di Universitas Pendidikan Indonesia;
10.Ibu Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis yang senantiasa memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan studi di Universitas Pendidikan Indonesia;
dan pengetahuan dalam mewujudkan disertasi ini;
12.Ibunda dan ayahanda (Almarhumah Ibu Ratnasih dan Almarhum Bapak H. Iyos Arifin) yang senantiasa memanjatkan doa keberhasilan hidup kepada putra-putrinya. Semoga orang-orang yang telah melahirkan dan membesarkan penulis hingga seperti sekarang mendapat kebahagiaan di alam barzah;
13.Istriku Dra. Tati Heryati, M.M. yang telah rela berbagi segalanya untuk kemajuan dan keberhasilan hidup serta penyelesaian studi pada jenjang S3 di Universitas Pendidikan Indonesia;
14.Anak-anakku tercinta Deri Aldira (Alm.) dan Alfin Irfanda yang selalu memberi semangat dan merelakan segalanya untuk keberhasilan sang ayah; 15.Irfan, Idan sebagai tombak kembar yang telah rela dan tanpa lelah membantu dengan semangat kepada penulis tanpa mengenal waktu sehingga disertasi ini dapat terwujud;
16.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan namanya yang telah memberikan bantuan dorongan semangat untuk bisa menyelesaikan disertasi ini.
Hanya kepada Allah penulis meminta agar kebaikan insan-insan yang arif dan berbudi itu diberi pahala yang berlipat atas segala kebaikannya.
Disertasi ini terwujud dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Untuk itu dengan ikhlas penulis berharap adanya berbagai masukan untuk penyempurnaannya. Tak ada gading yang tak retak. Semoga karya ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan kita dan peninggian martabat anak bangsa Indonesia.
R HENDARYAN, 2015
Budaya daerah Sunda dan budaya nasional Indonesia memiliki nilai-nilai luhur, diantaranya tercermin dalam kesantunan berbahasa. Nilai-nilai tersebut sekarang semakin terkikis oleh pengaruh perkembangan dan pergeseran budaya sehingga penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia oleh masyarakat penggunanya sudah banyak yang tidak lagi menggambarkan keluhuran budaya dan kesantunan berbahasa. Penelitian ini mengkaji “Bagaimanakah unjuk santun berbahasa Indonesia dalam tuturan dwibahasawan Sunda-Indonesia ?”. Melalui penentuan tujuan khusus mendeskripsikan indikator kesantunan, strategi kesantunan, aspek keberterimaan komunikasi santun, dan nilai-nilai kearifan lokal dalam berbahasa santun oleh masyarakat Ciamis diharapkan terwujud sebuah alternatif ancangan (pendekatan) dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah Sunda dan bahasa Indonesia khususnya dalam pendidikan yang berdimensi kesantunan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif melalui implementasi metode etnografi. Data berupa tuturan yang diperoleh melalui penggunaan metode simak-cakap, introspeksi, dan teknik rekam, catat, pancing diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini berkesimpulan bahwa penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia bertutur santun dalam berbahasa Sunda-Indonesia dengan indikator : a) kata dan kalimat bermakna kedaerahan hormat dan halus, b) kalimat literal tak langsung, c) intonasi lagu hormat (Sunda=lentong). Strategi yang digunakan dalam berbahasa santun adalah strategi bahasa dan strategi cara. Strategi bahasa dilakukan melalui penggunaan kalimat panjang, penggunaan campur kode dan alih kode. Strategi cara dilakukan melalui basa-basi (fatis), mengangkat kearifan lokal dalam bentuk ungkapan dan peribahasa. Dalam hal kesepakatan (konvensi) komunikasi santun, “keberterimaan” merupakan penentu keberlangsungan komunikasi santun. Penelitian ini menghasilkan temuan : 1) strategi berbahasa santun dwibahasawan dilakukan melalui raba rasa, balik rasa, genah rasa, 2) kesantunan ditentukan oleh penutur, mitra tutur, dan penerima tutur, 3) divergensi bahasa akan menjadi magnet santun dalam mewujudkan kebiasaan masyarakat dalam berbahasa santun.
Sundanese local cultures and Indonesian national entities have indeed highly prestigious values, as indicated by its language politeness. Yet, those values have decreased due to cultural development and shifts by which the use of local dialect and the Indonesian language (the Bahasa) spoken by the speaking communities tends to ignore those expected values and levels of appropriateness. This study investigated the question, “How is language politeness performed by Sundanese-Indonesian bilinguals in speaking the Bahasa?”. The study is aimed at describing politeness indicators, politeness strategies, appropriateness aspects of polite communication, and the meaningful roles of local wisdom used in language politeness performed by Ciamis Sundanese-Indonesian speaking communities to prepare the feasible approach to develop and plan an educational language policy based on politeness principles. The study employed a qualitative ethnographic study. The collected data included expressions/speeches generated from the use of ‘listen-speak’ technique, introspection, recording, making notes, probing, and the data were contextually analyzed. The study suggests that Sundanese-Indonesian bilingual speakers tend to speak the Bahasa politely indicated by: a) polite courtesy local words and sentences, b) indirect literal sentences, and c) respectful language intonation (Sundanese, Lentong). The politeness covered the language strategies and expressing tactics. The former is carried out by using long sentences, and code-switching and code-mixing. The latter is indicated by the use of phatic speeches, promotion of local wisdom, and the use of proverbs. Conventionally, ‘acceptance’ or appropriateness of language is central to politeness. In addition, the present study suggest such findings as: 1) Politeness strategies of bilinguals are used through considering feeling sensitiveness, tolerance, and convenience; 2) Politeness is determined by the speaker/s/,.hearer/s/, and interlocutor/s/; and 3) Language divergence plays as a magnetic role in enabling society to politely speak the Bahasa.
R HENDARYAN, 2015
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 12
A. Manfaat Teoretis ... 12
B. Manfaat Kebijakan ... 14
C. Manfaat Praktis ... 15
1.5 Struktur Organisasi ... 17
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 19
2.1 Bahasa dan Budaya ... 19
2.2 Kedwibahasaan ... 23
2.3 Campur Kode dan Alih Kode ... 27
2.4 Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur ... 30
2.5 Bentuk Tutur ... 34
2.6 Masyarakat Tutur ... 38
2.9 Kesantunan Berbahasa ... 46
2.10 Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia ... 48
2.11 Unsur Kebahasaan dalam Tuturan Santun ... 55
2.12 Bahasa dan Kearifan Lokal ... 61
2.13 Perencanaan Bahasa ... 63
BAB III METODE PENELITIAN ... 69
3.1 Metode Penelitian ... 69
3.2 Lokasi dan Subjek Penelitian ... 72
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 72
3.2.2 Subjek Penelitian ... 73
3.3 Desain Penelitian ... 75
3.4 Definisi Operasional ... 78
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 80
3.6 Metode Analisis Data ... 82
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 85
4.1 Peta Daerah Penelitian ... 85
4.2 Hasil Penelitian ... 86
4.2.1 Profil Penutur ... 86
4.2.2 Data Tuturan dalam Percakapan (Peristiwa Tutur)... 88
4.3 Analisis dan Pembahasan Kesantunan Berdimensi Unsur Bahasa ... 127
4.3.1 Analisis dan Pembahasan Kesantunan Berdimensi Penggunaan Kata ... 127
4.3.2 Analisis dan Pembahasan Kesantunan Berdimensi Penggunaan Kalimat ... 163
R HENDARYAN, 2015
4.5 Analisis dan Pembahasan Kesantunan Berbahasa
Berdimensi Prinsip Kesantunan ... 225
4.6 Analisis Kearifan Lokal Berdimensi Penunjuk Kesantunan 241 4.7 Temuan Penelitian ... 245
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 250
5.1 Simpulan ... 250
5.2 Implikasi ... 253
5.3 Rekomendasi ... 261
Daftar Pustaka ... 263 Lampiran-lampiran
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Operasional Variabel ... 79
Tabel 4.2 Data Tuturan Dwibahasawan Sunda-Indonesia ... 89
Tabel 4.3 Data Tuturan Penutur Remaja ... 109
Tabel 4.4 Data Tuturan Pentur Dewasa ... 118
Tabel 4.5 Analisis Unsur Kebahasaan Berdimensi Kesantunan dalam Tuturan Penutur Remaja ... 127
Tabel 4.6 Analisis Unsur Kebahasaan Berdimensi Kesantunan dalam Tuturan Penutur Dewasa ... 140
Tabel 4.7 Tuturan Berdimensi Penggunaan Kata Penutur Remaja ... 155
Tabel 4.8 Tuturan Berdimensi Penggunaan Kata Penutur Dewasa ... 157
Tabel 4.9 Tuturan Berdimensi Penggunaan Kalimat Penutur Remaja ... 164
Tabel 4.10 Tuturan Berdimensi Penggunaan Kalimat Penutur Dewasa ... 178
Tabel 4.11 Tuturan Pentur Remaja Berdimensi Strategi/Pola Kesantunan (Situasi Santai) ... 203
Tabel 4.12 Tuturan Pentur Dewasa Berdimensi Strategi/Pola Kesantunan (Situasi Santai) ... 206
Tabel 4.13 Tuturan Pentur Remaja Berdimensi Strategi/Pola Kesantunan (Situasi Resmi) ... 211
R HENDARYAN, 2015
Tabel 4.16 Tuturan Penutur Dewasa Berdimensi Prinsip
Kesantunan (Situasi Santai) ... 229 Tabel 4.17 Tuturan Penutur Remaja Berdimensi Prinsip
Kesantunan (Situasi Resmi) ... 233 Tabel 4.18 Tuturan Penutur Dewasa Berdimensi Prinsip
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Desain Penelitian ... 79
Gambar 3.2 Skema Pengumpulan Data ... 84
Gambar 3.3 Skema Analisis Data ... 86
Gambar 4.4 Peta Daerah Penelitian ... 85
Gambar 4.5 Konsep Komunikasi Kesantunan 1... 198
Gambar 4.6 Konsep Komunikasi Kesantunan 2... 199
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Berbahasa pada hakikatnya merupakan kegiatan berkomunikasi melalui tuturan-tuturan yang berisi pesan komunikasi. Dalam proses ini pelaku komunikasi (penutur dan mitra tutur) masing-masing menyampaikan dan merespon pesan melalui tuturan sehingga masing-masing berada dalam kesepahaman pesan dan maksud komunikasi yang akhirnya masing-masing dapat menerima serta menindaklanjuti tuturan tersebut. Searle (1979) membagi tindak tutur pada tiga kategori yaitu: (1) tindak lokusi berupa tindakan berbahasa dengan makna yang terkandung di dalamnya, (2) tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi yang tertentu pula, dan (3) tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran.
Proses berbahasa terjadi dalam masyarakat bahasa yang di dalamnya terdapat individu dan kelompok dengan kebiasaan berbahasa dan budaya yang beragam. Sekaitan dengan kebiasaan dalam berbahasa oleh individu dan budaya di masyarakat, peristiwa berbahasa dari dimensi masyarakat oleh Nababan (1984) digolongkan menjadi empat golongan fungsi bahasa: yakni (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat fungsi itu saling berkaitan sebab "perorangan" adalah anggota "masyarakat" yang hidup dengan pola-pola "kebudayaannya" yang diwariskan dan dikembangkan melalui "pendidikan".
mengatakan “Bahasa memengaruhi budaya dan budaya memengaruhi bahasa”.
Bahasa, budaya, manusia bisa diibaratkan sebagai masing-masing sudut dalam segi tiga sama sisi. Jika salah satu sudut itu tidak ada maka hilang pulalah bentuknya. Demikian tak terpisahkan antara manusia, bahasa, dan budaya sehingga Rahardi dalam penelitiannya (2009, hlm. 6) mengatakan "Bahasa, budaya, dan masyarakat selalu berkaitan, dan seakan-akan selalu harus hadir bersamaan”.
Pemakaian bahasa oleh masyarakat di Indonesia pada umunya dipengaruhi oleh profil dwibahasawan dan budaya dari penutur (pemakai) bahasa itu. Dalam kenyataannya penutur bahasa Indonesia kebanyakan membawa latar belakang kebiasaan menggunakan dua bahasa (bilingual) dan kemampuan menggunakan dua bahasa (bilingualitas) serta budaya daerah masing-masing yang sudah melekat pada diri penutur. Hal ini membuktikan bahwa bahasa daerah dan budaya daerah dengan segala entitasnya yang dipelihara dan dikembangkan oleh penuturnya mampu menunjukkan fungsinya sebagai bahasa dan budaya daerah yang menopang dan memengaruhi perkembangan bahasa dan budaya nasional (Indonesia).
Budaya nasional dan budaya daerah di Indonesia memiliki nilai-nilai luhur (adi luhung) yang dipelihara dan diwariskan kepada generasi penerusnya. Budaya nasional (Nusantara) dan budaya daerah (lokal) sejak dahulu dikenal sebagai budaya yang terbukti mampu mewujudkan hakikat kehidupan yang serasi antara manusia dengan manusia maupun antara manusia dengan alam. Budaya yang merupakan reka cipta untuk meningkatkan taraf hidup, oleh nenek moyang kita diwariskan secara turun temurun sehingga terbentuklah masyarakat yang hidup dalam lingkungan sosial yang menjaga martabat diri, martabat masyarakat, dan menghargai sesama.
R HENDARYAN, 2015
bangsa dan suku bangsa yang memiliki budaya luhur, sopan dalam perilaku, santun dalam berbahasa.
Seiring dengan perubahan masyarakat yang semakin dinamis, bahasa Indonesia dan bahasa daerah mengalami perkembangan sejalan dengan tuntutan komunikasi, kemajuan kebudayaan, dan hubungan timbal balik bahasa Indonesia dengan bahasa lain terutama bahasa asing. Tuntutan komunikasi memberi pengaruh kepada aspek kebahasaan dalam bentuk banyaknya kosa kata baru dalam bahasa Indonesia, sedangkan kemajuan kebudayaan dan hubungan timbal balik bahasa menjadikan bahasa Indonesia semakin banyak memiliki ragam dan laras bahasa.
Perkembangan dan perubahan budaya berpengaruh besar pada tatakehidupan, nilai-nilai sosial budaya dan bahasa yang dipakai oleh masyarakat. Perkembangan budaya seyogyanya bernilai tambah positif kepada tata nilai kehidupan masyarakat termasuk kepada bahasanya. Dalam kenyataannya, perubahan budaya tidak selalu memberi pengaruh positif. Bukti empirik di masyarakat menunjukkan tak sedikit masalah dalam berkehidupan sosial dan penggunaan bahasa justru muncul sebagai konsekuensi perkembangan dan perubahan bidang budaya. Misalnya, dalam pemakaian bahasa oleh masyarakat. Masyarakat yang sejak dahulu lekat dan bangga dengan bahasa santun yang digunakan, sekarang semakin bergeser ke arah cara berbahasa yang seolah-olah bebas. Pada saat bertutur (berbahasa), tak sedikit masyarakat kita sekarang justru lebih senang menggunakan bahasa yang tidak memperhatikan cara dan etika bahasa yang sesuai dengan nilai moral dan budaya daerah serta budaya nasional kita yang selalu dijunjung tinggi sehingga bahasanya dinyatakan tidak sesuai dengan tatakrama bahkan cenderung menunjukkan kasar.
dengan segala kesantunannya. Sejalan dengan ini Kulsum (2012) berpendapat “Para warga lokal menganggap bahasa ibu mereka sebagai lambang keterbelakangan atau
hambatan dalam upaya mencapai kemajuan dalam berbagai kehidupan”. Sikap seperti
ini tentu saja tidak benar karena dalam kenyataannya banyak sekali nilai-nilai budaya dan bahasa daerah (lokal) justru membuktikan keberadaannya sebagai pembentuk keserasian dalam kehidupan, misalnya tentang kesantunan dalam berbahasa. Jika kenyataan ini terus menerus terjadi, bahasa Indonesia yang memiliki salahsatu fungsi sebagai lambang identitas dan kebanggaan nasional akan semakin terkikis. Bahasa Indonesia yang menunjukkan identitas kepribadian bangsa Indonesia lama-kelamaan akan kabur jatidirinya jika tidak disikapi secara bijaksana oleh penuturnya yang sekaligus pemiliknya. Demikian pula bahasa daerah sebagai bahasa ibu para penutur di Indonesia akan semakin tergeser dari fungsinya sebagai lambang kebanggaan daerah dan sarana pendukung kebudayaan. Jika masalah ini tidak dicari solusinya, di antaranya ditemukan ancangan pendidikan bahasa santun, bukan hal yang tidak mungkin nilai-nilai luhur budaya kita yang di dalamnya terdapat kesantunan berbahasa akan menjadi catatan sejarah karena keluhuran budaya dan kesantunan dalam berbahasa itu tidak dipelihara dan dikembangkan.
Pembinaan kesantunan berbahasa dalam pendidikan kita memerlukan pendekatan yang cocok mengingat kondisi objektif dalam masyarakat di Indonesia memiliki budaya dan bahasa yang beraneka ragam. Di Indonesia setiap suku bangsa memiliki budaya dan bahasa daerah masing-masing sehingga bahasa Indonesia bagi kebanyakan masyarakat merupakan bahasa kedua. Kondisi seperti ini menuntut adanya temuan-temuan pendekatan dari penelitian bahasa yang dilakukan pada dwibahasawan yang berdimensi kesantunan.
R HENDARYAN, 2015
disampaikan penutur. Kalau kenyataan ini terjadi artinya ada kesepahaman dan keberterimaan antara penutur dengan mitra tutur.
Proses komunikasi dengan menggunakan bahasa (tuturan) kadang-kadang tidak bisa berlangsung semestinya bahkan muncul dampak negatif dari proses komunikasi yang tidak didasarkan pada keberterimaan dan kesepahaman sehingga muncul sikap antipati kepada penuturnya. Dengan demikian hal-hal yang menjadikan komunikasi tidak lancar bahkan gagal ditentukan oleh diri penutur dan mitra tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranowo (2009, hlm. 99) sebagai berikut:
1. Mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru yang disampaikan penutur;
2. Mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan penutur;
3. Mitra tutur tidak berkenan dengan cara menyampaikan informasi si penutur;
4. Apa yang diinginkan memang tidak atau tidak dimiliki oleh mitra tutur; 5. Mitra tutur tidak memahami yang dimaksud oleh penutur; dan
6. Jika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melanggar kode etik. Salah satu hal yang harus dicermati dari penyebab kekurangberhasilan bahkan kegagalan komunikasi sehingga menimbulkan dampak negatif komunikasi berupa ketidaksimpatian adalah kandungan makna tuturan yang digunakan penutur dan cara penutur pada saat menyampaikan tuturan. Dalam praktik pemakaian bahasa (berkomunikasi) sering ditemukan seseorang yang berbahasa tidak memperhatikan kesesuaian bahasa yang digunakan, apa yang dibicarakan, siapa yang diajak berbicara, bagaimana membicarakan sesuatu, dan di mana pembicaraan terjadi. Singkatnya pembicara tidak memperhatikan hakikat komunikasi, norma kebahasaan, dan nilai-nilai budaya kemasyarakatan yang berlaku.
Nilai-nilai budaya didalamnya terdapat etika yang memiliki nilai-nilai kepatutan diantaranya bagaimana cara berkomunikasi yang harus dilaksanakan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pelaku komunikasi (penutur) harus memperhatikan "kesantunan" ketika berbahasa.
Bahasa yang dipakai seseorang merupakan cermin kepribadian pemakainya. Dari bahasa yang dipakai, kita dapat mengidentifikasi dan akhirnya menentukan bagaimana kepribadian seseorang. Sekaitan dengan ini, kepribadian yang diharapkan tentunya adalah kepribadian yang baik (budi baik, pekerti luhur) yang diwujudkan dengan bersikap halus, bertutur santun, dan berperilaku sopan. Perwujudan kepribadian yang terpuji dapat dilakukan melalui pemakaian bahasa santun. Seseorang yang berbahasa dengan santun akan senantiasa bertutur dengan baik sehingga berdampak positif pada proses komunikasi karena mitra tutur bersimpati. Bahasa yang santun merupakan bahasa yang diterima dan menyenangkan orang lain karena tidak menyinggung orang tersebut. Sayang sekali, dalam kenyataannya masih banyak orang yang tidak bisa berbahasa dengan santun karena berbagai hal, di antaranya ketidaktahuan penutur terhadap norma dan nilai kesantunan, kebelumbiasaan berbahasa santun, dan belum adanya norma yang standar untuk digunakan dalam bertutur santun. Kenyataan ini disebabkan strategi atau cara bertutur yang santun oleh masyarakat tidak diperhatikan sehingga banyak masyarakat yang belum bahkan tidak tahu bahwa apa yang mereka rasakan santun padahal sebetulnya tidak santun.
R HENDARYAN, 2015
diantaranya sebagai berikut : (1) kosakata yang digunakan oleh siswa di SMU masih banyak yang menunjukkan ketidaksantunan, (2) siswa mengalami kesulitan dalam berbahasa santun.
Pengamatan dalam penelitian awal menunjukkan ketidaksimpatian masyarakat terhadap penggunaan bahasa Indonesia oleh orang-orang terpelajar dan terhormat (siswa, mahasiswa, politikus) ketika mereka berbeda pendapat. Di kalangan remaja, perbedaan pendapat di antara mereka sering menjadikan penggunaan bahasa yang tidak santun sehingga berujung pada perselisihan. Tidak jarang perselisihan ini mengakibatkan tawuran di kalangan siswa dan mahasiswa sehingga menimbulkan kerugian material. Di kalangan politisi, sering terjadi debat yang berujung pada
perselisihan yang berkepanjangan. Tidak salah apabila dinyatakan “Dengan bahasa
(santun) terwujud perdamaian dan dengan bahasa pula (tidak santun) terjadi
peperangan”.
Ketidaksantunan dalam berbahasa di antaranya dilatarbelakangi oleh kebiasaan yang salah dalam berbahasa dan pemahaman tatakrama kebudayaan daerah yang memiliki kearifan lokal sudah jarang dipakai lagi karena mulai terkikis oleh budaya global. Kita ketahui dalam masyarakat, pemakaian bahasa Indonesia dipengaruhi oleh latar belakang bahasa dan budaya pemakainya. Sekaitan dengan fenomena tersebut, Pranowo (2009, hlm. 4) mengemukakan :
Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Oleh karena itu, sangat wajar jika kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pembaca atau pendengarnya. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa belum mengetahui bahwa di dalam suatu struktur bahasa (yang terlihat melalui ragam dan tata bahasa) terdapat struktur kesantunan.
Banyak kosa kata bahasa Sunda yang masuk ke dalam bahasa Indonesia di samping pengaruh cara dan gaya bertuturnya.
Dari observasi yang dilakukan terhadap masyarakat tutur non-Sunda dapat dikemukakan bahwa kehalusan (kesantunan) berbahasa Indonesia oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dari bentuk dan pola tuturan dapat diterima oleh pemakai bahasa Indonesia dwibahasawan yang lain. Budaya dan bahasa Sunda dengan segala nilai kebaikannya dahulu, telah tertanam kuat dalam diri penutur bahasa Sunda yang sekaligus juga menjadi penutur bahasa Indonesia. Ketika bertutur, penutur dwibahasawan ini mampu dan terbiasa berunjuk santun dalam berbahasa. Perkembangan dan perubahan budaya menjadikan cara berunjuk santun dwibahasawan Sunda-Indonesia sekarang mengalami pergeseran meskipun sepintas terlihat membawa nilai-nilai budaya dan bahasa Sunda.
Bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Sunda berpengaruh kepada bahasa Indonesia sebagai konsekuensi dari adanya hubungan timbal balik bahasa dan penuturnya. Pengaruh yang diharapkan tentunya merupakan pengaruh yang postif. Kenyataan terjadinya pengaruh ini potensial karena masyarakat penutur bahasa Sunda di samping jumlahnya cukup banyak (Pusat Bahasa menyatakan kurang lebih 30 juta penutur), wilayah pemakainnya juga sangat dekat dengan wilayah pusat kegiatan-kegiatan nasional (Ibu Kota negara) yang kebanyakan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia meskipun bahasa Indonesia yang dimaksud merupakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan berbagai bahasa daerah dan bahasa asing.
Cara bertutur santun dwibahasawan Sunda-Indonesia dimungkinkan bisa dijadikan alternatif model dalam pewujudan cara berbahasa Indonesia dari dimensi santun. Pernyataan ini didasarkan pada alasan besarnya pengaruh bahasa Sunda terhadap bahasa Indonesia sehingga berdampak pula pada cara berbahasanya.
R HENDARYAN, 2015
Hal ini dimiliki oleh masyarakat Sunda dahulu namun sekarang mengalami perubahan sejalan dengan perubahan dan pergeseran budaya serta pengaruh globalisasi.
Akhir-akhir ini tidak sedikit penutur bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak lagi memperhatikan makna santun dalam berbahasa. Kenyataan itu menuntut dilakukannya kajian bahasa berdimensi kesantunan yang didasarkan pada budaya dan bahasa daerah. Kajian tentang topik ini relatif masih jarang dilakukan sehingga sampai sekarang aturan-aturan kesantunan masih berada dalam wilayah budaya padahal seharusnya harus juga masuk dalam wilayah kebahasaan dalam bentuk kebakuan kesantunan. Dalam pendidikan, kesantunan berbahasa seolah-olah bukan merupakan tuntutan. Meskipun tidak harus secara eksplisit dinyatakan sebagai kompetensi inti namun kemampuan santun berbahasa seharusnya menjadi kompetensi iringan.
Analisis terhadap cara bertutur santun dengan menggunakan bahasa Indonesia perlu dilakukan karena sampai sekarang belum ada piranti (kodifikasi) untuk menentukan rumusan kaidah baku tentang kesantunan dalam bahasa Indonesia. Hal ini dirasakan perlu dalam pembentukan kepribadian (karakter) individu masyarakat dan bangsa. Analisis-analisis tersebut bisa dijadikan sebagai alternatif pilihan untuk segera membuat rumusan-rumusan kaidah kebahasaan dalam berbahasa santun. Berikutnya kaidah tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai cara yang efektif sehingga cepat diterima, dipahami, dan dipraktikan dalam pemakaian bahasa.
bahasa Indonesia akan semakin tidak terbina karakter santunnya sehingga besar kemungkinan memunculkan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat. Karakter positif ini dapat diwujudkan diantaranya dengan menggunakan bahasa yang santun.
Unjuk kesantunan inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini sehingga hasilnya diharapkan bisa dijadikan sebagai ancangan perencanaan bahasa dalam menentukan norma (kriteria) atau rambu-rambu kesantunan berbahasa Indonesia. Rahardi (2001) dalam penelitiannya merekomendasikan perlunya penelitian kesantunan pada dialek-dialek bahasa daerah. Menurutnya "Apabila kesantunan pemakaian tuturan imperatif dalam dialek-dialek bahasa daerah itu semuanya, atau sebagian besar telah dilakukan, akan menjadi lengkaplah pemerian kesantunan pemakaian tuturan imperatif dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan berkontribusi bagi perencanaan bahasa khususnya dalam bidang pendidikan bahasa Indonesia dan pembentukan karakter bangsa yang positif melalui penunjukkan santun dalam berbahasa.
1.2 Rumusan Masalah
Berbahasa dengan santun sejatinya merupakan indikator kepribadian individu, masyarakat, dan bangsa yang berbudi luhur. Sejak dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran budi, keramahan, kesantunan dalam berkomunikasi. Nilai-nilai positif ini telah lama diwariskan secara turun temurun melalui bahasa dalam fungsi kebudayaan sebagai jalur penerus dan pewarisan nilai-nilai budaya. Sekarang nilai-nilai itu semakin terkikis sejalan dengan dinamika budaya global.
R HENDARYAN, 2015
menunjukkan kesimpatian dalam berbahasa. Dampaknya dapat dilihat, misalnya budaya kekerasan selalu dapat disaksikan dimana-mana, sopan santun semakin terkikis. Apabila ditelisik fenomena itu kebanyakan bermula dari penggunaan bahasa yang melupakan budaya santun sehingga menjadikan banyak orang yang tersinggung dan tidak bersimpati. Hal ini bisa menjadi pemicu konflik yang sangat merugikan. Mampukah kita mengembalikan nilai-nilai luhur kesantuanan yang di dalamnya terdapat nilai kearifan lokal dalam berbahasa. Tentu harus ada piranti untuk mewujudkannya.
Inti masalah dalam penelitian ini adalah “penunjukan berbahasa Indonesia oleh penutur yang berlatar belakang dwibahasawan sudah banyak yang tidak lagi memperhatikan bahasa dan budaya daerah serta bahasa dan budaya nasional sehingga
penggunaan bahasanya sudah tidak berkarakter”. Walaupun kesantunan berbahasa itu
ada, namun tidak ditunjukkan melalui bahasa yang sesuai dengan norma bahasa dan etika yang berlaku.
Paparan-paparan dalam latar belakang penelitian ini memberi arah bahwa masalah utama penelitian ini adalah “Bagaimanakah penunjukan kesantunan berbahasa Indonesia oleh penutur dwibahasawan?” Jawaban terhadap masalah tersebut akan memunculkan varian-varian laras santun berbahasa Indonesia yang memungkinkan bisa dijadikan sebagai salah satu ancangan dalam menentukan rambu-rambu kebakuan berdimensi kesantunan bahasa Indonesia. Masalah yang dikemukakan di atas selanjutnya diperjelas dalam kalimat pertanyaan penelitian: 1) Indikator kebahasaan apa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur
dwibahasawan dalam menunjukkan kesantunan?
2) Bagaimanakah strategi yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan?
3) Prinsip-prinsip apa yang diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur dalam berunjuk santun?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan umum mendeskripsikan dan menemukan strategi kesantunan berbahasa Indonesia oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif ancangan dalam perencanaan bahasa khususnya dalam bidang pendidikan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat strategi kesantunan.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menemukan :
1) Indikator kebahasaan yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan data berupa satuan-satuan gramatik berupa kata dan kalimat serta intonasi yang digunakan oleh sumber data;
2) Strategi yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan data berupa tuturan-tuturan yang memiliki penanda strategi kesantunan;
3) Prinsip-prinsip yang diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam berunjuk santun. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat maksim-maksim kesantunan;
4) Nilai kearifan lokal yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibasawan dalam berunjuk santun. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan tuturan dalam bentuk kalimat yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam bahasa daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
R HENDARYAN, 2015
a. Manfaat Teoretis
Kesantunan dalam bertutur akan menggambarkan kepribadian/karakter penuturnya. Disamping itu penggunaan bahasa yang santun akan memberikan nnilai positif bagi penuturnya karena mitra tutur akan bersimpati sehingga dimungkinkan akan memeberikan respon yang baik. Hakikat berbahasa santun adalah menghargai orang lain melalui tuturan sehingga orang lain juga memberikan penghargaan. Dengan demikian akan terjadi proses saling menghormati dan saling menjaga martabat diri diantara penutur dan mitra tutur.
Pada prinsipnya semua orang menginginkan penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Tak seorang pun berharap orang lain bersikap antipati atau melakukan pelecehan dan perendahan martabat pada dirinya. Apabila melalui tuturan yang santun seorang penutur menyadari dan meyakini akan mendapat simpati dari mitra tuturnya niscaya setiap orang ingin berbahasa dengan santun.
Fakta kebahasaan tentang pemakaian bahasa santun di masyarakat sangat beragam. Kenyataan ini dapat dirinci sebagai berikut :
1) Seseorang berbahasa santun dengan tepat dan sesuai karena yang bersangkutan memahami prinsip-prinsip kesantunan;
2) Seseorang berbahasa santun tidak tepat dan kurang sesuai karena yang bersangkutan kurang memahami prinsip-prinsip kesantunan;
3) Seseorang berbahasa santun dengan tepat dan sesuai padahal yang bersangkutan kurang bahkan tidak memahami prinsip-prinsip dan teori kesantunan;
4) Seseorang tidak berbahasa dengan santun padahal yang bersangkutan memahami prinsip-prinsip kesantunan;
5) Seseorang tidak berbahasa dengan santun karena yang bersangkutan tidak memahami prinsip-prinsip kesantunan.
yang secara formal sampai sekarang belum dilakukan pembakuan. Teori-teori tentang kesantunan dalam berbahasa terutama yang berhubungan dengan strategi berbahasa santun oleh dwibahasawan sampai sekarang sangat terbatas pada hakikatnya setiap orang ingin berbahasa santun, namun banyak orang yang belum tahu bagaimana strateginya. Penelitian ini akan mengemukakan strategi berbahasa santun oleh penutur dwibahasawan (Sunda-Indonesia) sehingga bisa dijadikan pengetahuan oleh masyarakat. Walaupun pembakuan dalam kesantunan berbahasa Indonesia belum terwujud karena alasan bahwa penutur bahasa Indonesia selalu membawa kebiasaan berbahasa ibu, setidaknya harus ada pola keberterimaan dari pemakai bahasa Indonesia terhadap rambu-rambu kesantunan meskipun rambu-rambu tersebut berasal dari laras kesantunan bahasa daerah.
Perencanaan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia seharusnya tidak hanya menyentuh konsep kesantunan berbahasa melainkan juga harus melakukan pemerian terhadap bentuk dan cara berunjuk santun sehingga terwujud rambu-rambu kebakuan berbahasa Indonesia dengan santun. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif ancangan dalam melakukan pembinaan bahasa Indonesia santun melalui pendidikan bahasa Indonesia baik formal, nonformal maupun informal.
b. Manfaat Kebijakan
R HENDARYAN, 2015
memantapkan fungsi berbagai ragam disertai dengan unsur-unsur bahasa sebagai pengungkapnya.
Pada era globalisasi ini dan era otonomi daerah, pemerintah melakukan penataan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, di antaranya peningkatan mutu penggunaan bahasa baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah agar terdapat kesinambungan dan keharmonisan di dalam pemakaian tiap-tiap bahasa itu sebagai sarana komunikasi. Selain itu dilakukan pula pembakuan agar bahasa Indonesia dan bahasa daerah memiliki kerangkan acuan dalam penggunaan bahasa.
Pernyataan-pernyataan pada uraian di atas merupakan kebijakan-kebijakan pemerintah sejak kongres bahasa Indonesia VIII tahun 2003, namun sayangnya dalam implementasinya dipandang tidak efektif. Misalnya, penelitian-penelitian bahasa masih didominasi oleh penelitian bahasa tulis sementara penelitian pada bahasa lisan yang di dalamnya terdapat laras dan langgam bahasa masih sangat kurang. Demikian pula tentang pembakuan dalam hal kesantunan berbahasa sampai sekarang belum ada padahal kesantunan merupakan prinsip keharmonisan berbahasa dalam konteks berkomunikasi.
Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk mengisi kekosongan kebijakan dalam bidang kesantunan berbahasa Indonesia. Sampai sekarang kebakuan dalam berbahasa Indonesia yang santun belum ada. Setidak-tidaknya hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam menentukan rambu-rambu kesantunan berbahasa Indonesia. Karena belum adanya kebakuan dalam rambu-rambu kesantunan, tidak mengherankan kalau pemakaian bahasa oleh masyarakat banyak yang menimbulkan masalah-masalah sosial. Misalnya, tawuran di sana-sini jika ditelisik sebenarnya bermula dari penggunaan bahasa yang tidak santun (makna mengejek). Siswa-siswa di sekolah tidak dikondisikan berbahasa santun karena memang kurikulum tidak bermuatan kesantunan berbahasa.
Pendidikan pada hakikatnya bertujuan menciptakan insan yang berbudi luhur. Kita maklumi bersama bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan “untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003).
Pencapaian tujuan pendidikan memiliki kompleksitas yang tinggi, artinya pencapaian tujuan itu akan melibatkan berbagai infrasturktur yang menjadi penopangnya. Salah satu contoh adalah bagaimana menjadikan bahasa Indonesia mampu membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Bahasa Indonesia juga harus mampu menjadi alat untuk mencerdaskan bangsa melalui fungsi bahasa sebagai alat kominukasi dan alat berpikir untuk bersosialisasi dan memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.
Pendidikan dan bahasa memiliki keterkaitan bahkan tak terpisahkan. Pendidikan akan berjalan jika menggunakan bahasa sebagaui alat komunikasi. Sebaliknya, bahasa diperoleh melalui proses pendidikan. Dalam konteks ini bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa negara yang berfungsi sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Dari uraian-uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa bahasa memiliki fungsi pendidikan dan memeiliki peran strategis untuk pencapaian pendidikan.
Bahasa Indonesia pada konteks pendidikan memiliki fungsi 1) pemersatu, 2) budaya, 3) penalaran, dan 4) alat. Penjelasan singkat terhadap fungsi-fungsi tersebut dapat dikemukakan dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut :
R HENDARYAN, 2015
2) Bahasa Indonesia harus bisa menjadikan peserta didik mengenal, memahami, menghargai, dan mengembangkan sistem nilai budaya baik budaya daerah maupun budaya nasional;
3) Bahasa Indonesia harus bisa mengembangkan kemampuan berpikir dalm dimensi ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial, dan keagamaan;
4) Bahasa Indonesia harus bisa dijadikan alat untuk menggakli dan memperoleh nilai-nilai pengetahuan, material, dan status sosial.
Pelaksanaan pendidikan akan mencapai tujuannya jika menggunakan pendekatan-pendekatan yang efektif. Penelitian ini akan memberikan manfaat dari dimensi pendekatan dalam melaksanakan proses pendidikan karena :
1) Temuan-temuan teori dan rambu-rambu kesantunan bisa dijadikan alternatif pendidikan bahasa Indonesia di lingkungan formal, nonformal, dan informal; 2) Untuk keperluan praktis pemerolehan bahasa, individu, keluarga, dan masyarakat
akan disadarkan kembali kepada betapa pentingnya penciptaan lingkungan yang terbiasa berbahasa santun dengan cara mengangkat nilai-nilai kedaerahan (kearifan lokal) dalam berbahasa dan menumbuhkembangkan sikap positif dalam bebahasa (setia, bangga, sadar). Mengapa demikian? Karena pendidikan akan bermakna jika pelaksanaannya terkaita dan dikaitkan dengan karakteristik dan budaya peserta didik.
Uraian-uraian terdahulu mengarahkan pada manfaat penelitian ini untuk kepentingan pendidikan. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan alternatif : 1) Pendekatan dalam melaksanakan perencanaaan bahasa oleh pihak-pihak yang
memiliki kewenangan;
2) Pendekatan dalam melaksanakan pendidikan bahasa baik di lingkungan pendidikan formal maupun informal dan nonformal;
3) Pendekatan dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang berbasis karakter dan nilai-nilai kearifan lokal; dan
Pada akhirnya penelitian ini akan bermanfaat dalam rangka memberikan solusi untuk reorientasi pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pembelajaran bahasa Indonesia harus mengacu kepada kurikulum yang mampu mengantisipasi pengaruh perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat. Di samping itu pembelajaran bahasa (Indonesia dan daerah) harus bisa meningkatkan pemasyarakatan berbahasa santun yang kini sudah mulai pudar agar diperoleh sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
1.5 Struktur Organisasi
Penelitian terhadap ekspresi kesantunan dalam berbahasa Indonesia oleh penutur dwibahasawan dimulai oleh uraian dalam Bab I tentang Pendahuluan yang berisi Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Struktur Organisasi. Latar Belakang Penelitian mengemukakan teori dan tuntutan penggunaan bahasa oleh masyarakat dalam interaksi sosial. Berikutnya dikemukakan realita penggunaan bahasa berupa fenomena penggunaan bahasa santun oleh masyarakat. Uraian dalam subbab ini menggambarkan adanya kesenjangan antara teori dan atau tuntutan penggunaan bahasa yang santun dengan realita pemakaian bahasa santun di lingkungan masyarakat. Rumusan Masalah diwujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan operasional yang akan dibahas dan dicarikan jawaban-jawabannya. Tujuan Penelitian merupakan target yang ingin dicapai melalui penelitian ini berupa ancangan dalam pendidikan bahasa Indonesia di berbagai lingkungan yang berdimensi kesantunan. Manfaat Penelitian mengemukakan nilai tambah secara teoretis, kebijakan, dan praktis sehingga diharapkan berkontribusi bagi khazanah teori dan norma kesantunan serta alternatif ancangan dalam melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
R HENDARYAN, 2015
terinci teori yang menjadi dasar penelitian ini meliputi 1) teori bahasa dan budaya, 2) teori peristiwa dan tindak tutur, dan 3) teori kesantunan berbahasa.
Bab III penelitian ini mengemukakan ikhwal metode penelitian yang di dalamnya terdapat penentuan lokasi dan subjek penelitian dan justifikasinya. Berikutnya dikemukakan desain dan metode penelitian yang telah dijustifikasi. Definisi operasional dikemukakan berikutnya yang menerakan variabel dan instrumennya. Bagian berikutnya mengemukakan teknik pengumpulan data. Teknik analisis data sebagai uraian terakhir dari Sistem Organisasi akan mengemukakan cara yang dipakai dalam membahas dan menjawab rumasan masalah dalam penelitian ini.
Bab IV penelitian ini mengemukakan temuan penelitian dan pembahasan. Temuan penelitian dalam bentuk penyediaan data dikemukakan dalam bentuk transkripsi tuturan yang telah diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan analisis. Pembahasan mengemukakan analisis terhadap temuan-temuan yang menghubungbandingkan antara data yang ditemukan dengan teori dasar dan temuan penelitian.
R HENDARYAN, 2015
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian terhadap ekspresi kesantunan dalam tuturan bahasa Indonesia yang difokuskan pada cara berunjuk santun dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif. Pendekatan normatif yang dimaksud dalam penelitian ini diimplementasikan dengan menjadikan norma (bahasa dan sosial budaya) sebagai rujukan. Beberapa pernyataan konseptual kebahasaan berikut sangat dicermati dalam penelitian ini, yakni (1) Bahasa pada hakikatnya adalah ujaran; (2) Bahasa mempunyai sistem dan selalu diatur oleh sistem; dan (3) Bahasa merupakan alat utama dalam berinteraksi untuk kepentingan komunikasi.
Metode dalam penelitian ini diletakkan dalam dimensi penelitian bahasa.
“Metode adalah cara yang harus digunakan, sedangkan teknik adalah cara
melaksanakan metode” (Sudaryanto, 1993, hlm.9). Penelitian ini berfokus kajian pada tuturan sehingga metode dan teknik penelitian yang digunakan adalah metode dan teknik penelitian bahasa.
Metode dalam penelitian adalah metode deskriftif yang memiliki ruang lingkup: 1) metode pengumpulan data, 2) metode analisis data, dan 3) metode panyajian hasil analisis data. Data dalam penelitian adalah berbagai macam tuturan bahasa Indonesia pada ragam formal dan pergaulan yang dikumpulkan terutama dari bentuk dialog yang diperoleh melalui penggunaan “metode simak”, “metode cakap”,
dan “metode introspeksi”.
Metode simak dalam penelitian ini dilaksanakan dengan mendengarkan secara sungguh-sungguh tuturan yang digunakan dalam proses komunikasi antara penutur dengan mitra tuturnya. Dalam rangka memperoleh data melalui cara menyimak, peneliti melakukan penyadapan terhadap penggunaan bahasa berupa tuturan-tuturan.
R HENDARYAN, 2015
sadap”. Aplikasi dari metode simak teknik sadap adalah peneliti menyimak tuturan dalam bentuk dialog antara penutur dengan mitra tutur melalui cara menyadapnya. Dalam konteks ini penutur dan mitra tutur tidak menyadari bahwa tuturannya sedang disadap oleh peneliti. Hal ini dianggap penting oleh peneliti agar data berbentuk tuturan dipakai secara alamiah sehingga mewujudkan objektivitas data.
Metode simak teknik sadap memiliki cara yang lebih khusus lagi. Dengan merujuk dan menggunakan istilah Sudaryanto (1993) cara yang dimaksud dinamakan
“teknik lanjutan” sedangkan teknik sebelumnya disebut “teknik dasar”. Teknik
lanjutan sebagai teknik operasinal dibagi menjadi beberapa teknik bawahan yakni : 1) Teknik Simak Libat Cakap
Teknik ini dilaksanakan melalui pelibatn diri peneliti dalam percakapan yang dilakukan oleh sumber data. Dengan demikian, peneliti termasuk peserta komunikasi baik terlibat secara aktif maupun pasif. Ketika peneliti terlibat dalam percakapan prinsip peneliti adalah melakukan penyimakan dengan cara menyadap penggunaan bahasa (tuturan).
2) Teknik Simak Bebas Cakap
Berbeda dengan teknik simak sebelumnya, pada teknik ini peneliti sama sekali tidak terlibat dalam percakapan yang menjadi fokus kajian. Pada pelaksanaan teknik ini peneliti betul-betul hanya melakukan penyimakan dan penyadapan terhadap tuturan yang digunakan oleh pelaku komunikasi (penutur dan mitra tutur).
3) Teknik Rekam
4) Teknik Catat
Teknik ini digunakan dalam penelitian dengan cara mencatat berbagai hal penting yang ditemukan pada penelitian. Melalui teknik ini peneliti dapat secara langsung memberi tanda-tanda, melakukan transkripsi pada objek penelitian dan fokus kajiannya. Pencatatan dilakukan pada kartu data yang sudah disiapkan.
Metode kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap. Metode cakap dilakukan dengan cara melakukan kontak percakapan dengan subjek yang diteliti atau nara sumber dalam penelitian. Percakapan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Metode cakap bisa dilaksanakan dengan menggunakan cara memancing subjek yang diteliti agar melakukan percakapan sehingga menghasilkan tuturan sebagai data yang dibutuhkan untuk dianalisis. Cara
ini berikutnya disebut “teknik pancing”. Pemancingan percakapan disiapkan
sebelumnya agar subjek yang diteliti melakukan komunikasi melalui tuturan yang diharapkan dan sesuai dengan fokus kajian.
Sama halnya dengan metode simak, metode cakap pun memiliki teknik-teknik turunannya. Teknik-teknik yang dimaksud adalah :
1) Teknik Cakap Semuka
Teknik ini merupakan cara langsung yang dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh data. Peneliti bertatap muka secara langsung dengan sumber data dan nara sumber. Dalam konteks ini terjadi pula tanya jawab antara peneliti dengan sumber data sebagai subjek yang diteliti. Teknik ini lazim pula disebut wawancara. 2) Teknik Cakap Tansemuka
R HENDARYAN, 2015
Pada saat melaksanakan teknik ini dilakukan juga teknik lanjutannya yakni teknik catat.
Selain metode simak dan metode cakap, penelitian ini menggunakan “metode introspeksi” dalam rangka penyediaan data. “Metode introspeksi adalah metode
penyediaan data dengan memanfaatkan intuisi kebahasaan yang meneliti bahasa yang dikuasainya (bahasa ibunya) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi analisis
sesuai dengan tujuan penelitiannya” (Mahsun, 2007, hlm.250).
Kevalidan data dari sumber data bisa dicek melalui penggunaan metode ini. Pada saat peneliti menemukan keraguan data yang diperoleh, data tersebut dapat dengan cepat dikenali oleh peneliti karena peneliti mempunyai intuisi kebahasaan yang berhubungan dengan data yang meragukan. Penelitian ini dilakukan pada kesantunan tuturan bahasa Indonesia yang dimunculkan oleh penutur bahasa Indonesia dengan latar belakang penutur bahasa Sunda. Peneliti mempunyai kesamaan karakteristik dengan sumber data karena peneliti berasal dari daerah Sunda dengan latar belakang pemakai aktif bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.
3.2 Lokasi dan Subjek Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian yang berfokus kajian pada “Bagaimana penutur dwibahasawan berunjuk santun” dilaksanakan di wilayah Tatar Galuh Kabupaten Ciamis. Wilayah ini merupakan kabupaten paling timur di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Ciamis merupakan wilayah Priangan Timur yang lazim pula disebut Tatar Sunda. Alasan dipilihnya wilayah Kabupaten Ciamis sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
1) Kabupaten Ciamis masyarakatnya termasuk suku Sunda yang kebanyakan menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari sedangkan bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi. Kenyataan ini sesuai dengan fokus
2) Kabupaten Ciamis termasuk wilayah Priangan namun bukan merupakan pusat wilayah Priangan dan pusat wilayah Provinsi Jawa Barat sehingga bukan merupakan wilayah kota besar (metropolitan). Dengan kenyataan ini bahasa dan budaya di Kabupaten Ciamis belum banyak terkontaminasi oleh bahasa dan budaya kota atau budaya global sehingga dimungkinkan akan ditemukan pengaruh bahasa dan budaya yang berkearifan lokal dalam penggunaan bahasa Indonesia. 3) Wilayah Kabupaten Ciamis mayoritas penduduknya menggunakan bahasa Sunda
dengan dialek khusus Ciamis. Kenyataan ini sesuai dengan fokus kajian penelitian
ini yakni “Unjuk santun berbahasa Indonesia dalam tuturan bahasa Indonesia oleh penutur dwibahawasan (Sunda-Indonesia)” yang akan menunjukkan dialek khusus didasarkan pada bahasa daerah dan bahasa nasional berdasarkan letak geografis wilayah penggunaan bahasa.
3.2.2 Subjek Penelitian
Penelitian ini tergolong pada penelitian alamiah (naturalistik) sehingga
menggunakan pendekatan alamiah dalam metodologinya. “Metode penelitian
naturalistik biasanya sampelnya sedikit dan dipilih menurut tujuan (purpose)
penelitian, berupa studi kasus atau multi kasus” (Nasution, 1998, hlm.11).
Subjek penelitian ini merupakan sumber data yang berasal dari populasi berdasarkan penutur dan wilayah. Sekaitan dengan populasi dalam penelitian bahasa, Mahsun (2005, hlm.28) berpendapat “Populasi dimaknai sebagai keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti dan
menjadi sasaran penarikan generalisasi tentang seluk beluk bahasa itu”. Mengingat
berbagai keterbatasan yang tidak memungkinkan dilakukan penelitian untuk semua jumlah penutur dan semua wilayah pemakaian bahasa, sumber data dalam penelitian
ini diambil dari sampel. “Pemilihan sebagian dari keseluruhan penutur atau wilayah
pakai bahasa yang menjadi objek penelitian sebagai wakil yang memungkinkan untuk
R HENDARYAN, 2015
(purposive sampling) yang dalam praktiknya sampel yang diperoleh berdasarkan tujuan penelitian ini akan menguak bagaimana dwibahasawan yang berlatar bahasa dan budaya Sunda (dialek Ciamis) berunjuk santun dalam berbahasa Indonesia. Untuk kepentingan penelitian ini ditentukan populasi dan sampel sebagai berikut :
1. Populasi
Pengguna bahasa Indonesia yang berlatar belakang bahasa Sunda dialek regional Ciamis ditetapkan sebagai populasi dari aspek penutur bahasa sedangkan populasi dari aspek wilayah ditetapkan di wilayah Kabupaten Ciamis. Jawa Barat memiliki wilayah yang menggunakan bahasa Sunda berkarakteristik beda dengan bahasa Sunda pada umumnya, salah satu diantaranya adalah bahasa Sunda berdialek regional Ciamis (wewengkon Ciamis).
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni mendeskripsikan unjuk santun berbahasa Indonesia dalam tuturan oleh dwibahasawan dari ranah : 1) usia, dan 2) situasi. Dasar
penentuan ranah ini adalah “karakteristik penggunaan kesantunan bisa tercermin
dari penutur berdasarkan ranah-ranah tersebut”. Hal ini sejalan dengan Simpen
(2008) yang menyimpulkan bahwa “kesantunan berbahasa diantaranya
dipengaruhi oleh usia dan hubungan kekerabatan”.
tujuan-tujuan yang telah terurai di atas itulah yang mendasari penentuan teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini.
Sampel penutur yang digabungkan dengan sampel wilayah memastikan data dari sumber data berstatus informan sebanyak 5 orang dari masing-masing ranah penutur dan wilayah. Penentuan jumlah sampel ini sejalan dengan pendapat (Samarin dalam Mahsun, 2005, hlm.77) bahwa “Penelitian yang berkenaan garis besar struktur bahasa diperlukan tidak lebih dari satu orang informan yang baik, dalam arti, dalam diri informan itu memiliki semacam mikrokosmos dunia kecil dari struktur
bahasanya”. Terkait dengan sebutan “informan”, dengan merujuk pada pendapat
Mahsun (2005, hlm.30) “Sampel penutur atau orang yang ditentukan di wilayah pakai varian bahasa tertentu sebagai narasumber bahan penelitian, pemberi informasi, dan
pembantu peneliti dalam tahap penyediaan data itulah yang disebut informan”.
Informan lain dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (metode introspeksi). Peneliti menggunakan intuisi kebahasaan dalam menyediakan dan menganalisis data. Penentuan peneliti sekaligus sebagai informan merujuk kepada pernyataan
Sudaryanto (1985) bahwa “Peneliti yang baik adalah peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya”.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 194 orang yang merupakan penutur berprofil dwibahasawan Sunda-Indonesia. Subjek penelitian terdiri atas 124 penutur usia muda (siswa dan mahasiswa) dan 70 orang penutur dewasa (usia di atas 40 tahun) yang berprofesi sebagai pegawai, buruh, pedagang, tokoh masyarakat. Subjek penelitian ini memiliki kebiasaan berbahasa Sunda dialek Ciamis dan berbahasa Indonesia.
3.3 Desain Penelitian
R HENDARYAN, 2015
dan dijungjung tinggi baik berikutnya diwariskan kepada generasi selanjutnya. Dalam kenyataannya nila-nilai keluhuran budaya dan kesantunan berbahasa yang sudah lama tertanam mulai terkikis oleh pergeseran budaya sebagai pengaruh dari globalisasi yang tidak tersaring oleh sikap positif dari masyarakat tutur (Sunda). Akibatnya pemakaian bahasa santun sudah mulai menjauh dari pusat budayanya.
Gambar 3.1 Desain Penelitian Masalah Unjuk Santun Pendekatan Naturalistik
Metode Etnografi
Pendektan Normatif
Norma Bahasa & Budaya Metode Pengumpulan Data
- Observasi -Wawancara
- Simak - Rekam
- Cakap -Catat
- Introspeksi Metode
Kualitatif
Metode Kontekstual
Data Tuturan
- Indikator (Kata, Kalimat, Intonasi)
- Strategi (Bahasa, Cara) - Kesepakatan (Maksim) - Kearifan Lokal (Bahasa)
Simpulan & Rekomendasi
Implikasi (Ancangan Pendidikan
R HENDARYAN, 2015
3.4 Definisi Operasional
Untuk memperoleh kejelasan kajian dan hasilnya dalam penelitian ini ditentukan definisi operasional sebagai berikut :
1) “Ekspresi” merupakan bentuk pengungkapan perasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008, hlm.360) “Ekspresi adalah pengungkapan atau proses
menyatakan (memperlihatkan atau mengatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb.)”. 2) “Kesantunan” adalah ihwal berprilaku yang menunjukan kebaikan, kehalusan, melalui penjagaan martabat diri dan penghormatan kepada orang lain. Sekaitan dengan kesantunan berbahasa Wardaugh (1987, hlm.267) menyatakan
“kesantunan berbahasa adalah perilaku berbahasa yang mempergitungkan
solidaritas, kekuasaan, keakraban, status hubungan antara partisipan, dan penghargaan”.
3) “Tutur” bersinonim dengan ujar yang berarti bunyi bahasa. Dengan demikian tuturan adalah bunyi bahasa yang diproses dan dihasilkan melalui alat ucap
manusia. Bentuk kata kerja “tutur” adalah “menuturkan”, kata benda yang
menunjukkan pelakunya adalah “penutur” (orang yang melakukan).
4) Ekpresi kesantunan dalam penelitian ini diartika sebagai wujud pengungkapan perasaan yang dinyatakan dalam bahasa lisan (ujaran) dengan memperhatikan kebaikan dan kehalusan serta mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Ekspresi kesantunan dalam berbahasa diteliti melalui cara menghubungbandingkan bahasa (tuturan) sumber data dengan konteks pemakaian bahasa dan norma kebahasaan yang masing-masing memiliki indikator. Tuturan-tuturan dinyatakan santun jika sesuai dengan konteks Tuturan-tuturan dan indikator kesantunan baik secara teoretis maupun pragmatis.
5) Dwibahasawan
Istilah “dwibahasawan” bermula dari istilah dalam tataran bidang kajian Sosiolinguistik yakni bilingualisme (bilingualism). Dalam bahasa Indonesia bilingualisme dipadankan dengan “kedwibahasaan”. Dwibahawasan terbentuk dari
makna komponen-komponen tersebut dapat dibuat batasan “dwibahasawan” adalah pemakai bahasa (pengguna=penutur) yang terbiasa dan mampu
menggunakan dua bahasa. Dalam konteks penelitian ini “dwibahasawan” adalah
penutur bahasa yang mampu dan terbiasa menggunakan dua bahasa yakni bahasa daerah (bahasa ibu) sebagai bahasa kesatu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
6) Unjuk santun adalah ekspresi penutur dengan cara memperlihatkan kesantunan dalam berbahasa. Berunjuk santun artinya penutur memperlihatkan cara dirinya dalam menunjukkan kesantunan berbahasa.
[image:44.612.108.534.336.730.2]Penguraian definisi operasional yang telah dikemukakan, dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel Subvariabel Indikator Pengukuran
Kesantunan berbahasa Indonesia
Kebahasaan
Cara
-Pilihan kata tepat -Pilihan kata sesuai -Kalimat efektif
-Intonasi (lagu tutur hormat) -Maksim kebijaksanaan -Maksim kedermawanan -Maksim penghargaan -Maksim permufakatan -Maksim simpati -Prinsip santun (etika):
Memperhatikan situasi;
Memperhatikan mitra tutur;
Memperhatikan pesan;
Memperhatikan tujuan;
Memperhatikan bentuk penyampaian;
Memperhatikan norma di masyarakat;
Memperhatikan ragam bahasa;
Memperhatikan relevansi tuturan;
Menjaga martabat mitra tutur;
Menghindari hal kurang baik;
Menghindari pujian diri;
Memberikan keuntungan mitra luhur;
Memberikan pujian mitra tutur;
Observasi
R HENDARYAN, 2015
tutur;
Menjadikan mitra tutur senang;
Membuat kesepahaman dengan mitra
tutur;
Memperhatikan apa yang dikatakan
dirasakan pula oleh penutur.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini berbentuk tuturan yang bersumber dari para responden/informan yang dikumpulkan melalui instrumen-instrumen berikut :
1) Wawancara
Pelaksanaan wawancara yang didasarkan pada pedoman, dilakukan kepada narasumber/informan untuk memperoleh informasi tentang kebiasaan berbahasa, nilai-nilai budaya, sosial, dan konsep-konsep kebahasaan. Teknik ini dilakukan pula dalam rangka implementasi metode triangulasi (konfirmasi) untuk memastikan keabsahan data.
Proses wawancara yang dilakukan pada sumber data dan informan yang berfropil dwibahasawan di samping untuk mendapatkan data penelitian berbentuk tuturan-tuturan santun dilakukan juga untuk memastikan objektifitas data. Maksudnya, data tersebut bukan merupakan data yang dibuat-buat oleh sumber data. Dari hasil wawancara ini diperoleh informasi tentang kebiasaan berbahasa dan kemampuan berbahasa.
2) Observasi
berunjuk santun, aspek-aspek apa yang dijadikan indikator kesantunan, strategi apa yang digunakan oleh penutur dalam berunjuk santun. Observasi dilakukan dengan berdasar pada pedoman observasi yang dibuat untuk penyediaan data melalui pemancingan, penyimakan, perekaman, pencatatan identitas, dan data penelitian. Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data berbentuk instrumen yang dikemukakan dalam bagian lampiran penelitian ini.
R HENDARYAN, 2015
Gambar 3.2
Skema Pengumpulan Data
3.6 Metode Analisis Data
Data yang akan dianalisis harus dikelompokkan berdasarkan kesamaan karakteristik objek yang dikaji (fungtor) dan berikutnya dipilah berdasarkan klasifikasi ranah kajian. Setelah data tersusun rapi, berikutnya dilakukan analisis data dan pembahasan dengan menggunakan metode kontekstual, artinya analisis selalu didasarkan pada lingkungan dan situasi pada saat tuturan itu digunakan. Analisis
kontekstual dalam penelitian ini merujuk pada pernyataan “Analisis kontekstual
adalah cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan konteks. Kontes itu sendiri sesungguhnya merupakan lingkungan dimana entitas itu
Metode Pengumpulan Data
Metode Etnografi Metode Introspeksi Metode Simak SiPengumpul Metode Cakap Pengumpulan Teknik Sadap Teknik Pancing Teknik Padan Teknik Banding -Rekam -Catat -Libat Cakap -Bebas Cakap Tutur Tanya Catat Banding Konsep Banding Konsep
digunakan. Lingkungan yang dimaksud dapat mencakup baik lingkungan fisisk
maupun lingkungan nonfisik” (Rahardi, 2009, hlm.36).
Analisis kontekstual sebagai metode analisis disejajarkan dengan metode padan yang terdiri atas metode padan lingual dan metode padan ekstralingual. Metode padan lingual adalah metode dalam menganalisis bahasa yang menghubungbandingkan objek yang diteliti dengan konsep-konsep yang berada pada bahasa yang dianalisis. Metode padan ekstralingual adalah metode dalam menganalisis bahasa dengan cara menghubungbandingkan objek bahasa yang diteliti dengan faktor-faktor yang berada di luar bahasa itu, termasuk konsep-konsep yang berbentuk teori. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahsun (2007, hlm.122)
”Selanjutnya, apabila unsur penentu itu tidak lain adalah unsur ekstralingual dan
unsur ekstralingual adalah dasar analisis dengan metode padan (ekstralingual), itu berarti pada saat melakukan analisis ekstralingual diandaikan unsur tersebut telah tersedia, sebab jika belum tersedia maka pelaksanaan analisisnya menjadi mustahil. Ketersediaan yang dimaksud sudah diketahui oleh peneliti, tentunya teorilah yang berperan”.
Penelitian ini meletakkan fokus kajian pada dimensi kajian Sosiopragmatik sehingga metode analisis yang digunakan adalah metode padan ekstralingual. Kajian kesantunan dalam berbahasa tidak terlepas dari lingkungan sosial sebagai tempat penggunaan bahasa itu. Dengan demikian aspek-aspek sosial selalu melekat dalam kajian bahasa jika dihubungkan dengan tempat penggunaan bahasa itu. Selain aspek sosial, aspek budaya pun selalu berpengaruh dalam penggunaan bahasa yang berdimensi kesantunan. Budaya pengguna bahasa selalu memberi warna pada bahasa yang digunakannya. Demikian bukti bahwa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan, karena bahasa bisa membangun budaya dan budaya memunculkan bahasa. Bahasa dan budaya saling terkait dan selalu muncul secara bersamaan.
Tahapan-tahapan kerja analisis terhadap tuturan yang dijadikan objek analisis dapat dikemukakan secara berurutan sebagai berikut:
R HENDARYAN, 2015
2) Dilakukan pemilahan data berdasarkan ranah kajian dari aspek situasi pemakaian tuturan yakni situasi santai dan situasi resmi;
3) Data dipilih berdasarkan kebutuhan analisis sehingga muncul kalimat-kalimat (fungtor) yang memiliki persamaan karakteristik;
4) Langkah berikutnya didahulukan analisis terhadap tuturan berdimensi kesantunan dari aspek kata, kalimat, dan intonasi;
5) Analisis terhadap cara dilakukan setelah analisis terhadap aspek-aspek kebahasaan dengan menggunaka metode analisis kontekstual.
Analisis data terhadap unsur kebahasaan (kata, kalimat, intonasi) dan keberterimaan (kesepahaman) terhadap prinsip kesantunan (maksim) didasarkan pada pematuhan dan pelanggaran terhadap indikator dan prinsipnya. Analisis dilakukan dengan cara memberi tanda jika terjadi pematuhan terhadap norma dari