commit to user
i
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PEDAGANG BARANG ANTIK
DI PASAR WINDUJENAR SURAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk
Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Turis Harningsih F0107090
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
commit to user
iiicommit to user
iv
MOTTO
“ Nobody knows what they can do until they try ’’
“ Smile and the world smiles with you ’’
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan karya kecil ini kepada:
Allah SWT
Orang Tua, Sahabat-Sahabatku, Adik dan Kakak Yang Aku
Sayangi
Teman-Teman Keluarga Besar Ekonomi Pembangunan
Angkatan 2007
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah
melimpahkan berkat serta rahmat-Nya, sehingga dengan bimbingan, pertolongan,
izin dan kasih karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul :
“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang
Barang Antik Di Pasar Windujenar Surakarta”. Sebuah kebahagian tersendiri
bagi penulis dapat menyusun karya kecil ini sebagai upaya untuk memperoleh
gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Universitas Sebelas Maret.
Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang berupa
bantuan, bimbingan, dukungan, doa serta motivasi. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:
1. Ibu Izza Mafruhah, S.E., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang dengan
penuh kesabaran membimbing, membantu dan meluangkan waktu bagi
penulis dalam proses penulisan skripsi.
2. Bapak Drs. Sutanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik
3. Bapak Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan.
4. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan motivasi, kasih
sayang, kesabaran dan doa kepada penulis.
commit to user
vii
6. Seluruh pedagang dan pengelola Pasar Windujenar Surakarta yang telah
membantu tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabatku Ari, Dewi, Aris, Rita, Ryan, Thomas, Yunita, Nastiti,
Rurit, Sutarni, Faya, Indri, Septiana, Sungmin, Key, Onew dan Siwon atas
segala bantuan dan kebersamaannya.
8. Semua teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2007 yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kekuarangan-kekurangan tersebut. Semoga karya kecil ini dapat memberikan
manfaat bagi diri penulis dan pembaca semua.
Surakarta, 15 Maret 2011
Penulis
commit to user
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….... 1
B. Rumusan Masalah ………. 7
C. Tujuan Penelitian ………...…... 8
D. Manfaat Penelitian ………...………. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori...……….. 10
1. Pasar... 10
a. Pengertian Pasar... 10
commit to user
ix
c. Pasar Tradisional... 15
2. Sektor Informal... 16
3. Penyebab Timbulnya Sektor Informal... 16
4. Teori Permintaan dan Penawaran... 17
a. Permintaan... 17
b. Penawaran... 21
5. Teori Laba... 24
6. Pengertian Pedagang... 27
a. Keberhasilan Usaha Pedagang... 29
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar Windujenar Surakarta.. 30
1) Modal Dagang... 30
2) Tingkat Pendidikan Pedagang... 30
3) Pengalaman Berdagang... 31
4) Waktu Usaha... 32
c. Hambatan Yang Dihadapi Pedagang Setelah Revitalisasi Pasar Windujenar Surakarta... 32
1) Pengunjung Pasar Yang Sepi... 32
2) Kurang Adanya Dukungan Promosi Dari Pemkot Surakarta... 33
3) Terbatasnya Modal Pedagang... 33
4) Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 34
B. Penelitian Terdahulu... 34
C. Kerangka Pemikiran... 37
D. Hipotesis... 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ……….... 39
B. Jenis dan Sumber Data ………... 39
C. Metode Pengumpulan Data ………... 40
D. Definisi Operasional Variabel ... 40
commit to user
3) Koefisien Determinan R2... 46
4) Koefisien Korelasi (r)... 46
b. Uji Asumsi Klasik ………... 47
1) Multikolinearitas ………..……... 47
2) Heterokesdatisitas ………... 47
3) Autokorelasi ……….. 48
2. Analisis Deskriptif... 49
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kota Surakarta ………... 50
1. Aspek Geografis ……….. 50
2. Aspek Demografis ……….. 52
3. Kondisi Perekonomian Kota Surakarta……….... 58
4. Pasar Windujenar Surakarta..………... 62
B. Karakteristik Pedagang ……….. 64
C. Hasil Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan………. 73
a. Pemilihan Model... 74
1) Mac Kinnon, White and Davidson Test (MWD Test).. 74
2) Metode Zarembaka... 76
b. Regresi Variabel Independen terhadap Variabel Dependen.. 78
commit to user
xi
b) Uji Heteroskedastisitas ………... 86
c) Uji Autokorelasi ………. 87
3) Interpretasi Hasil Secara Ekonomi ……… 88
2. Analisis Deskriptif Hambatan Pedagang Pasar Windujenar.. 90
a. Pengunjung Pasar Yang Sepi... 92
b. Kurang Adanya Dukungan Promosi Dari Pemkot Surakarta.. 94
c. Terbatasnya Modal... 95
d. Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………... 100
B. Saran ………. 101
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Distribusi PDRB Kota Surakarta Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009... 3
Tabel 1.2 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama Di Kota Surakarta Tahun 2008
Dan 2009... 4
Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Sektor Informal dan Sektor
Formal... 16
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Surakarta Tahun 2000-2009... 53
Tabel 4.2 Penduduk Surakarta Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2009 (jiwa)... 54
Tabel 4.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan
Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan Di Kota Surakarta
Tahun 2009 ………...………... 56
Tabel 4.4 Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Di Kota Surakarta Tahun 2009 ……….... 57
Tabel 4.5 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku Di Kota Surakarta
Tahun 2005 – 2009 ………...………... 59
Tabel 4.6 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Di Kota Surakarta
Tahun 2005 – 2009 ………..………... 60
Tabel 4.7 Karakteristik Responden Menurut Jenis kelamin... 65
Tabel 4.8 Karakteristik Responden Menurut Status Perkawinan ….... 65
Tabel 4.9 Karakteristik responden Menurut Modal Usaha …………... 67
Tabel 4.10 Karakteristik Responden Menurut Pengalaman Berdagang . 68
commit to user
xiii
Tabel 4.12 Karakteristik Responden Menurut Rata – Rata
Pendapatan Per Bulan ……….….... 69
Tabel 4.13 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan ….. 70
Tabel 4.14 Karakteristik Responden Menurut Pengunjung Pasar Yang Sepi... 68
Tabel 4.15 Karakteristik Responden Menurut Kurang Adanya Dukungan Dari Pemkot Surakarta... 72
Tabel 4.16 Karakteristik Responden Menurut Terbatasnya Modal... 72
Tabel 4.17 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 73
Tabel 4.18 Hasil Uji MWD Linier ... 75
Tabel 4.19 Hasil Uji MWD Log-Linier... 76
Tabel 4.20 Hasil Regresi Model... 78
Tabel 4.21 Hasil Uji Korelasi Parsial... 86
Tabel 4.22 Hasil Uji LM ARCH... 87
Tabel 4.23 Hasil Uji Breusch-Godfrey... 87
Tabel 4.24 Jenis Hambatan yang Dikeluhkan Pedagang Pasar Windujenar... 91
Tabel 4.25 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Pengunjung Pasar Yang Sepi... 93
Tabel 4.26 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Kurang Adanya Dukungan Dari Pemkot Surakarta... 94
Tabel 4.27 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Terbatasnya Modal... 97
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Permintaan... 18
Gambar 2.2 Kurva Penawaran... 22
Gambar 2.3 Grafik Pergerakan Titik-Titik di Sepanjang Kurva Penawaran dan Pergeseran Kurva Penawaran... 23
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran... 37
Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t... 44
Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F... 45
Gambar 4.1 Peta Kota Surakarta... 51
Gambar 4.2 Uji t untuk variabel modal ………... 80
Gambar 4.3 Uji t untuk variabel pendidikan...………... 81
Gambar 4.4 Uji t untuk variabel pengalaman berdagang ...………… 82
Gambar 4.5 Uji t untuk variabel waktu usaha...……… 83
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Data Nama Pedagang, Laba, Modal, Tingkat
Pendidikan, Pengalaman Berdagang, dan Waktu Usaha... 104
Lampiran B Hasil Regresi Utama Pengaruh Modal, Tingkat
Pendidikan, Pengalaman Berdagang, dan Waktu Usaha
Terhadap Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar
Windujenar Surakarta ... 107
Lampiran C Uji Asumsi Klasik Pengaruh Modal, Tingkat
Pendidikan, Pengalaman Berdagang, dan Waktu Usaha
Terhadap Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar
commit to user
xvicommit to user
ABSTRAKSI
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PEDAGANG BARANG ANTIK
DI PASAR WINDUJENAR SURAKARTA
Turis Harningsih (NIM. F0107090)
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kota Surakarta dengan
ruang lingkup penelitian adalah pedagang barang antik di Pasar Windujenar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menjelaskan seberapa besar pengaruh modal, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan waktu usaha terhadap keberhasilan pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta yang diukur lewat laba yang didapat. Selain itu juga untuk mengetahui ada tidaknya dan jenis hambatan yang dikeluhkan padagang untuk mencapai keberhasilan.
Jenis Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode survey, dimana obyek penilitian berjumlah 70 pedagang benda antik di Pasar Windujenar Surakarta. Dalam menganalisis permasalahan pertama digunakan regresi linear berganda yang sebelumnya dilakukan uji pemilihan model dengan MWD test dan Metode Zarembaka. Sedangkan untuk menganalisis permasalahan kedua digunakan analisis deskriptif.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel modal, pengalaman berdagang dan waktu usaha mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap besarnya laba yang diperoleh pedagang barang antik, sedangkan variabel tingkat pendidikan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan meskipun mempunyai koefisien regresi yang positif. Dari hasil uji F menunjukkan bahwa secara bersama-sama keempat variabel bebas yaitu modal, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang dan waktu usaha berpengaruh terhadap tingkat
keberhasilan pedagang. Nilai Adj R Square yang diperoleh dari regresi linier
adalah sebesar 0.410681. Ini artinya sekitar 41,0681% variasi variabel dependen (perubahan tingkat laba) dapat dijelaskan oleh variasi independen yang dimasukan dalam model yaitu modal, pendidikan, pengalaman berdagang dan waktu usaha. Sisanya sebanyak 58,9319% dijelaskan oleh variasi variabel lain yang tidak dimasukan dalam model. Sedangkan dari hasil analisis deskriptif disimpulkan bahwa masih terdapat hambatan yang dialami pedagang setelah revitalisasi pasar, dimana hambatan terbesar yang dikeluhkan adalah pengunjung pasar yang sepi.
Kata Kunci : pedagang barang antik, sektor informal, regresi linear berganda, analisis deskriptif.
commit to user
ABSTRACT
AN ANALYSIS ON THE FACTORS AFFECTING THE ANTIQUE GOODS MERCHANTS SUCCESS
IN WINDUJENAR MARKET OF SURAKARTA
Turis Harningsih (NIM. F0107090)
The location selected in this research is Surakarta city with antique goods merchants in Windujenar Market as the research scope. The objective of research is to find out and to explain how much the effect of capital, education level, trading experience and business time length is on the antique goods merchants’ success in Windujenar Market of Surakarta measured using the profit gained. In addition, it also aims to find out whether or not there is the obstacle and the type of obstacles claimed by the merchants to achieve their success.
This study belongs to a descriptive quantitative using survey method, the object of which is 70 antique goods merchants in Windujenar Market of Surakarta. In analyzing the first problem, a multiple linear regression was used that was tested for model selection previously using test MWD and Zarembaka method. Meanwhile, to analyze the second problem, a descriptive analysis was used.
The result of calculation shows that the capital variable, trading experience and business time length affect significantly the size of profit gained by the antique goods merchants, while the education level variable does not affect significantly despite positive regression coefficient. The result of F test shows that the four independent variables of capital, education level, trading experience and business time length simultaneously affect the merchants’ success level. Adjusted R Square value obtained from the linear regression is 0,410681. It means that about 41,0681% dependent variable variation (the profit level change) can be explained by the dependent variation included in the model namely capital, education level, trading experience and business time length. The rest of 58,9319% is explained by other variable variation excluded from the model. Meanwhile, from the result of descriptive analysis result, it can be concluded that there are obstacles the merchants still face after the market revitalization, the largest of which is the small number of visitors.
Keywords: antique goods merchants, informal sector, multiple linear regression, descriptive analysis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut (Arsyad, 1999). Pembangunan merupakan salah satu cara untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Adanya pembangunan selain
memberikan dampak positif juga memberi dampak negatif terutama
ditunjukkan oleh berbagai masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja. Hal ini
menjadi masalah yang sangat serius bagi bangsa Indonesia, mengingat jumlah
penduduk yang tinggi akan menyebabkan penawaran tenaga kerja yang
berlebihan, sedangkan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja sangat
terbatas.
Pada banyak negara dunia ketiga, yang umumnya memiliki tingkat
kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat
pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar
ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh
karena masih relatif lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam
pembangunan ekonomi, mengharuskan baik pemerintah pusat maupun
pembangunan ekonomi nasional, salah satunya adalah pembangunan ekonomi
kerakyatan melalui penguatan pada sektor informal (Suparmoko, 1986 : 120).
Pada umumnya lapangan kerja pada sektor formal menjadi prioritas
bagi para tenaga kerja. Akan tetapi adanya ketidakseimbangan antara jumlah
permintaan dan penawaran dalam sektor ketenagakerjaan dan ditambah
dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, banyak terjadi Putus
Hubungan Kerja (PHK) pada sektor formal tersebut. Untuk itu perlu
dikembangkan lapangan kerja pada sektor informal yang pada kenyataannya
sektor ini bisa menjadi penyelamat bagi masalah ketenagakerjaan yang kita
hadapi. Banyak bidang informal yang berpotensi untuk diangkat dan digali
menjadi salah satu bidang usaha yang menghasilkan keuntungan dan
pendapatan keluarga sekaligus dapat menyerap tenga kerja. Salah satu bidang
usaha informal yang banyak menyerap tenaga kerja tersebut adalah usaha
berdagang.
Sektor perdagangan merupakan bagian dari sektor informal yang
mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional, karena sektor ini merupakan salah satu penyumbang
terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi di negara kita. Di Kota Surakarta
sendiri kontribusi sektor perdagangan baik di tahun 2008 maupun 2009
menempati urutan pertama dalam pembentukan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kota Surakarta dengan nilai masing-masing mencapai 25,12%
Tabel 1.1 Distribusi PDRB Kota Surakarta menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009
No Lapangan Usaha
Tahun 2008
Tahun 2009
1 Pertanian 0.06 0.06
2 Pertambangan dan Penggalian 0.04 0.03
3 Industri Pengolahan 23.27 21.98
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.57 2.57
5 Bangunan 14.44 14.80
6 Perdagangan 25.12 25.04
7 Pengangkutan dan Komunikasi 11.20 11.11
8 Keuangandan Jasa Perusahaan 10.93 10.99
9 Jasa – jasa 12.38 13.42
Sumber: BPS (2010). Surakarta Dalam Angka 2009
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 sektor
perdagangan menghasilkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
sebesar 2.223.561 juta atau sekitar 25,04% dari seluruh Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Kota Surakarta. Sektor yang menduduki urutan
kedua adalah sektor industri pengolahan yang menghasilkan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 1.592.356 juta atau sekitar
21,98%. Sedangkan sektor yang menghasilkan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) terendah pada tahun 2009 adalah sektor pertanian. Sektor
tersebut hanya menyumbang sebesar 0,06% dari total Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Kota Surakarta atau sekitar 5.007 juta.
Selain sebagai penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi
yang terwujud melalui data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sektor
perdagangan juga dapat dikatakan sebagai salah satu sektor yang mampu
menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang tinggi. Di Kota Surakarta sendiri,
sektor perdagangan merupakan sektor yang paling banyak menyerap jumlah
sebanyak 108.870 orang, kemudian diikuti oleh sektor jasa dengan serapan
tenaga kerja mencapai 61.562 orang. Pada tahun 2009 keadaannya tidak jauh
berbeda, dimana jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan
berkurang menjadi 106.426 orang dan jumlah ini diikuti oleh jasa dengan
jumlah tenaga kerja sebesar 59.780 orang. Hal tersebut dapat diperjelas dalam
tabel di bawah ini:
Tabel 1.2 Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Di Kota Surakarta Tahun 2008 dan 2009
No Lapangan Usaha
Tahun
3 Industri Pengolahan 44.222 42.065
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 604 700
5 Bangunan 7.134 9.217
6 Perdagangan 108.870 106.426
7 Pengangkutan dan Komunikasi 18.221 16.815
8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 8.745 9.157
9 Jasa – jasa 61.562 59.780
Sumber: BPS (2010). Surakarta Dalam Angka 2009
Tingginya sumbangan sektor perdagangan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Surakarta dan banyaknya penyerapan
tenaga kerja di sektor tersebut disebabkan oleh secara geografis Kota
Surakarta tidak memungkinkan untuk meningkatkan taraf perekonomian di
sektor agraris, mengingat sebagian wilayah Kota Surakarta merupakan daerah
yang kurang subur. Oleh karena itu Surakarta lebih berperan sebagai kota
transit barang atau produk dagangan yang berasal dari daerah sekitarnya
seperti Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo
dan Kabupaten Klaten. Banyaknya barang-barang dagangan yang masuk ke
perdagangan menjadi sektor unggulan penyangga perekonomian. Salah satu
bagian yang terpenting atau instrumen dari sektor perdagangan adalah pasar.
Pengertian pasar secara umum adalah sekumpulan pembeli dan
penjual dari sebuah barang atau jasa tertentu. Para pembeli sebagai sebuah
kelompok yang menentukan permintaan terhadap produk dan para penjual
sebagai kelompok yang menentukan penawaran terhadap produk (Mankiw,
2007 : 75). Sedangkan yang dimaksud sebagai pasar tradisional adalah pasar
yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa
toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola pedagang kecil, menengah,
swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan
dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (Leksono,
2009 : 119).
Pada saat ini keberadaan pasar tradisional yang dahulu merupakan
pusat perekonomian telah sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh para
konsumennya dengan alasan yang beragam mulai dari alasan ketersediaan
sarana dalam pasar, kebersihan pasar sampai alasan keamanan pasar. Salah
satu alasan yang membuat orang masih berbelanja di pasar tradisional adalah
adanya proses tawar menawar yang menimbulkan kedekatan personal dan
emosional antara penjual dan pembeli. Hal ini yang tidak mungkin
didapatkan ketika berbelanja dipasar modern (Smeru, 2007: 10).
Pemerintah Kota Surakarta seharusnya menyadari bahwa keberadaan
oleh masyarakat luas. Perhatian Pemerintah Kota Surakarta tersebut dapat
dibuktikan dengan melakukan revitalisasi pasar tradisional diberbagai tempat.
Target yang dituju sangat sederhana dan menyentuh hal yang sangat
mendasar. Selama ini pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja
yang kumuh, kotor serta berbau tidak enak, dan karenanya hanya didatangi
oleh kelompok masyarakat kelas bawah. Gambaran pasar seperti di atas harus
diubah menjadi tempat yang bersih dan nyaman bagi pengunjung. Dengan
demikian, masyarakat dari semua kalangan akan tertarik untuk datang dan
melakukan transaksi jual beli di pasar tradisional.
Salah satu pasar tradisional yang telah mengalami revitalisasi adalah
Pasar Windujenar. Pasar Windujenar atau yang dulu lebih dikenal dengan
nama Pasar Triwindu merupakan salah satu objek wisata belanja selain Pasar
Klewer. Pasar Windujenar memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan pasar-pasar tradisional yang lain, hal ini dikarenakan pasar ini adalah
pusat jual beli barang antik yang mempunyai nilai histori tinggi. Berbagai
macam barang antik tersebut antara lain adalah koin, alat musik, topeng,
furniture, kerajinan tangan, bahkan juga terdapat barang-barang asli
peninggalan keraton yang juga diperjualbelikan disini. Kelebihan dan
keunikan yang terdapat di dalamnya membuat Pasar Windujenar tidak hanya
sering dikunjungi oleh kolektor barang antik dari dalam negeri akan tetapi
juga berasal dari luar negeri.
Para pedagang barang antik yang berada di Pasar Windujenar sering
dihadapkan pada persoalan tentang bagaimana mencapai keberhasilan usaha
pemilihan kombinasi dari beberapa variabel keputusan. Banyak faktor-faktor
yang diduga mempengaruhi tingkat keberhasilan pedagang, termasuk
diantaranya adalah modal dagang, waktu usaha, pengalaman berdagang, usia
pedagang, tingkat pendidikan pedagang dan letak kios pedagang.
Variabel-variabel tersebut selanjutnya akan mempengaruhi besar kecilnya permintaan
yang didapat dari konsumen. Seperti yang kita ketahui bersama semakin
besar permintaan yang didapat oleh pedagang maka akan semakin besar pula
laba yang akan di dapat. Namun dari semua variabel yang telah disebutkan
tadi, terdapat beberapa variabel yang diduga paling kuat berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan pedagang yaitu variabel modal, tingkat
pendidikan pedagang, pengalaman berdagang dan waktu usaha. Untuk itulah
dengan diketahuinya pengaruh dari keempat variabel tersebut terhadap
tingkat keberhasilan pedagang, diharapkan mereka dapat mengembangkan
usahanya dengan mengambil kebijaksanaan yang tepat.
Maka atas dasar permasalahan di atas, penelitian ini mengambil
judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang
Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis
memberikan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah variabel modal dagang, tingkat pendidikan, pengalaman
berdagang, dan waktu usaha berpengaruh secara signifikan terhadap
2. Apakah kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pedagang barang antik
di Pasar Windujenar Surakarta dalam mencapai keberhasilan setelah Pasar
Windujenar mengalami revitalisasi.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh variabel modal dagang, tingkat pendidikan,
pengalaman berdagang, dan waktu usaha terhadap keberhasilan pedagang
barang antik di Pasar Windujenar Surakarta.
2. Untuk mengetahui kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pedagang
barang antik di Pasar Windujenar Surakarta dalam mencapai keberhasilan
setelah Pasar Windujenar mengalami revitalisasi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai melalui studi Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang Barang Antik di Pasar
Windujenar Surakarta adalah sebagai berikut:
1. Bagi Pengembangan Ilmu, dapat digunakan untuk menambah khasanah
pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta.
2. Bagi Pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta, dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan
3. Bagi Pihak Lain, dapat memberikan informasi tambahan khususnya bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam melakukan penelitian berikutnya,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pasar
a. Pengertian Pasar
Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai
suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu
negara meningkat dalam jangka panjang (Arsyad, 1999). Dari definisi
tersebut pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting
yaitu: (i) suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara
terus-menerus, (ii) usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita, dan
(iii) kenaikan pendapatan perkapita itu harus berlangsung dalam
jangka panjang. Pembangunan ekonomi (economic deveolopment)
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pertumbuhan ekonomi
(economic growth), pembangunan ekonomi sebagai (Arsyad, 1999) :
1) Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat
pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic
Product (GDP) pada suatu tahun tertentu adalah melebihi tingkat
pertambahan penduduk, atau
2) Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross
Domestic Product (GDP) yang terjadi dalam suatu negara diikuti
Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan
Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP)
tanpa memandangapakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari
tingkat pertumbuhanpenduduk, atau apakah terjadi perubahan struktur
ekonomi atau tidak.
Pasar adalah sekumpulan pembeli dan penjual dari sebuah
barang atau jasa tertentu. Para pembeli sebagai sebuah kelompok yang
menentukan permintaan terhadap produk dan para penjual sebagai
kelompok yang menentukan penawaran terhadap produk (Mankiw,
2007 : 75). Pasar dalam pengertian teori ekonomi adalah suatu situasi
dimana pembeli (konsumen) dan penjual (produsen dan pedagang)
melakukan transaksi setelah kedua pihak telah mengambil kata
sepakat tentang harga terhadap sejumlah (kuantitas) barang dengan
kuantitas tertentu yang menjadi objek transaksi. Kedua pihak, pembeli
dan penjual, mendapatkan manfaat dari adanya transaksi atau pasar.
Pihak pembeli mendapatkan barang yang diinginkan untuk memenuhi
dan memuaskan kebutuhannya sedangkan penjual mendapatkan
imbalan pendapatan untuk selanjutnya digunakan untuk membiayai
aktivitasnya sebagai pelaku ekonomi produksi atau pedagang.
Pasar dapat terbentuk dengan adanya syarat-syarat sebagai
berikut:
1) adanya penjual
2) adanya pembeli
4) terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Pasar sebagai tempat transaksi jual beli antara penjual
(pedagang) dan pembeli (konsumen) memiliki peran dan fungsi
penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Adapun fungsi pasar ada
tiga macam, yaitu (Sadono, 1994: 220) :
1) Fungsi Distribusi
Dalam kegiatan distribusi, pasar berfungsi mendekatkan
jarak antara konsumen dengan produsen dalam melaksanakan
transaksi. Pasar memiliki fungsi distribusi menyalurkan
barang-barang hasil produksi kepada konsumen. Melalui transaksi jual
beli, produsen dapat memasarkan barang hasil produksinya baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada konsumen atau
kepada pedagang perantara lainnya. Melalui transaksi jual beli itu
pula, konsumen dapat memperoleh barang dan jasa yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya secara mudah dan
cepat.
2) Fungsi Pembentukan Harga
Sebelum terjadi transaksi jual beli terlebih dahulu
dilakukan tawar menawar, sehingga diperoleh kesepakatan harga
antara penjual dan pembeli. Dalam proses tawar menawar itulah
keinginan kedua belah pihak (antara pembeli dan penjual)
digabungkan untuk menentukan kesepakatan harga, atau disebut
3) Fungsi Promosi
Pasar merupakan sarana paling tepat untuk ajang promosi,
karena di pasar banyak dikunjungi para pembeli. Pelaksanaan
promosi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
memasang spanduk, membagikan brosur penawaran,
membagikan sampel atau contoh produk kepada calon pembeli,
dan sebagainya.
b. Jenis-Jenis Pasar
Dalam perekonomian, bentuk-bentuk pasar dapat dibedakan
menjadi 4 jenis, yaitu: (i) pasar persaingan sempurna, (ii) monopoli,
(iii) persaingan monopolistis, dan (iv) oligopoli (Sadono, 1994: 227).
1) Pasar Persaingan Sempurna
Pasar persaingan sempurna di dalam teori ekonomi mikro
pada umumnya adalah suatu pasar yang ditandai oleh tidak
adanya sama sekali persaingan yang bersifat pribadi (rivaly) di
antara perusahaan-perusahaan individu yang ada didalamnya.
Berikut adalah ciri-ciri pasar persaingan sempurna:
a) Jumlah penjual dan pembeli masing-masing banyak dan
mereka masing-masing bertindak sebagai penerima harga.
b) Jenis barang yang diperjualbelikan bersifat homogen (sama).
c) Adanya kebebasan bagi penjual dan pembeli untuk keluar
masuk pada bidang usaha atau pasar barang yang
d) Setiap pembeli dan penjual memiliki pengetahuan yang
sempurna tentang keadaan pasar.
e) Adanya mobilitas sumber daya yang ada secara sempurna,
artinya pembeli mudah untuk mendapatkan barang dan
penjual mudah untuk mendapatkan sumber daya produksi.
2) Pasar Monopoli
Pasar monopoli adalah suatu pasar yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
a) Hanya ada satu penjual.
b) Tidak ada penjual lain yang menjual output yang dapat
mengganti secara baik (close subtitute) output yang dijual
monopolis.
c) Ada halangan (baik alami maupun buatan) bagi perusahaan
lain untuk memasuki pasar.
3) Pasar Persaingan Monopolistis
Model pasar persaingan monopolistis dibandingkan
dengan model pasar persaingan sempurna atau monopoli relatif
masih baru. Ciri-cirinya adalah :
a) Di pasar banyak terdapat penjual dan juga pembeli.
b) Produk yang dihasilkan produsen dibedakan (diusahakan
mempunyai ciri yang berbeda-beda antara produk yang satu
dengan produk yang lain), tetapi diantara mereka terdapat
c) Terdapat kebebasan bagi perusahaan untuk masuk dan keluar
dari pasar.
4) Pasar Oligopoli
Pasar oligopoli yaitu pasar yang terdiri dari beberapa
produsen saja, namun ada kalanya pasar oligopoli terdiri dari dua
perusahaan saja, yang dinamakan duopoli (Sadono, 1994: 311).
Dalam pasar oligopoli tidak terdapat keseragaman dalam
sifat-sifat berbagai industri. Sebagian perusahaan menghasilkan barang
yang sangat bersamaan (identical), tetapi ada pula
perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang yang berbeda corak.
Biasanya struktur industri dalam pasar oligopoli terdapat
beberapa perusahaan raksasa yang menguasai sebagian besar
pasar oligopoli, antara 70% sampai 80% dari seluruh nilai
penjualan.
c. Pasar Tradisional
Menurut Leksono yang dimaksud sebagai pasar tradisional
adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) termasuk kerjasama dengan swasta
dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang
dimiliki/dikelola pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau
koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses
2. Sektor Informal
Sektor informal digambarkan sebagai suatu kegiatan usaha berskala
kecil yang dikelola oleh individu-individu dengan tingkat kebebasan yang
tinggi dalam mengatur cara bagaimana dan dimana usaha tersebut
dijalankan. Sektor informal juga didefinisikan sebagai sektor yang tidak
menerima bantuan dari pemerintah atau sektor yang belum menggunakan
bantuan ekonomi dari pemerintah meskipun bantuan itu telah tersedia atau
sektor yang telah menerima bantuan ekonomi dari pemerintah namun
belum sanggup berdikari (Soetjipto, 1985: 5).
Sektor ini mempunyai karakteristik yang amat berbeda dengan
sektor formal. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut :
Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Sektor Informal dan Sektor Formal
No. Karakteristik Formal Informal
1 Modal Relatif mudah diperoleh Sukar diperoleh
2 Teknologi Padat modal Padat karya
3 Organisasi Birokrasi Mempunyai organisasi,
keluarga
4 Kredit Lembaga keuangan resmi Lembaga keuangan
tidak resmi
5 Serikat pekerja Sangat berperan Tidak berperan
6 Sifat wiraswasta Tergantung pemerintah Berdikari
7 Persediaan barang Jumlah besar kualitas baik Jumlah kecil kualitas berubah
8 Hubungan majikan
dan pekerjaan Hubungan kontrak kerja
Berdasarkan saling kepercayaan Sumber: Tulus Haryono
3. Penyebab timbulnya sektor informal
Dijelaskan oleh Subri (2003: 85-87), munculnya dilema ekonomi
informal di Indonesia adalah sebagai dampak dari makin kuatnya proses
pembangunan secara makro akan menghasilkan sistem ekonomi lain, yaitu
sektor informal yang banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang.
Fenomena dualisme ekonomi yang melahirkan sektor informal ini
menunjukkan bukti adanya keterpisahan secara sistematis-empiris antara
sektor formal dengan sektor informal dari sebuah sistem ekonomi nasional.
Hal ini memberi legitimasi ekonomi dan politik bahwa
perekonomian suatu negara mengalami stagnasi dengan tingkat
pengangguran yang sangat tinggi dan ketimpangan sosial ekonomi yang
cukup besar. Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi
dikawasan yang sangat padat penduduknya, dimana pengangguran
(unemployment) maupun pengangguran terselubung (disquised
unemployment) merupakan masalah yang utama. Adanya jumlah tenaga
kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja tersebut pada
akhirnya akan tertampung dalam sektor informal, akan tetapi
tertampungnya tenaga kerja dalam sektor informal masih dipandang
sebagai penyelesaian sementara karena di dalam sektor informal sendiri
terdapat persoalan yang sangat rumit.
4. Teori Permintaan dan Penawaran
a. Permintaan
Permintaan dalam ekonomi adalah kombinasi harga dan
jumlah suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada berbagai
tingkat harga suatu periode tertentu. Permintaan suatu barang sangat
dipengaruhi oleh pendapatan dan harga barang tersebut. Apabila harga
barang tersebut akan turun. Sebaliknya, jika harga barang turun,
sedang pendapatan tidak berubah maka permintaan barang akan
mengalami kenaikan atau bertambah (Soekirno, 1985).
Dalam analisis permintaan hanya ada satu faktor yang
berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta yaitu harga produk,
sedangkan faktor-faktor lain seperti selera, pendapatan dan faktor
diluar itu dianggap sebagai ceteris paribus (tidak berubah). Dengan
demikian dapat diketahui hubungan antara jumlah barang yang
diminta dengan tingkat harga tersebut (Sudarsono, 1983).
Hukum permintaan menyatakan bahwa, bila harga suatu
barang naik sedangkan faktor-faktor lain dianggap ceteris paribus
maka jumlah barang yang diminta konsumen akan mengalami
penurunan. Hukum tersebut membentuk suatu kurva seperti pada
gambar 2.1, dimana sumbu horizontal menunjukkan jumlah barang
yang diminta dan sumbu vertikal menunjukkan tingkat harga. Dari
kurva tersebut terlihat bahwa pada tingkat harga tinggi (P0), jumlah
barang yang diminta rendah (Q0), dan apabila pada tingkat harga yang
lebih rendah (P1), jumlah barang yang diminta akan meningkat (Q1).
P
P0
P1
Permintaan (D)
Q0 Q1 Q
Fungsi permintaan menunjukkan hubungan antara variabel
tidak bebas dan semua variabel yang dapat mempengaruhi besarnya
variabel tidak bebas. Fungsi permintaan dapat ditulis sebagai berikut
(Suparmoko, 1990):
Qa = f ( PA, PB-Z, I, T, A, N )
Keterangan :
Qa = Jumlah barang yang diminta
PA = Harga barang A
PB-Z = Harga barang lain
I = Tingkat pendapatan konsumen
T = Selera
A = Pengeluaran perusahaan untuk advertensi
N = Jumlah penduduk
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan menurut Faried
Wijaya (1991) selain harga barang itu sendiri adalah :
1) Selera konsumen
Perubahan selera konsumen yang lebih menyukai barang
berarti akan lebih banyak barang yang diminta pada setiap tingkat
harga. Jadi permintaan akan naik atau kurva permintaan akan
bergeser ke kanan. Sebaliknya berkurangnya selera konsumen
akan barang tersebut menyebabkan permintaan turun yang berarti
2) Banyaknya konsumen pembeli
Bila volume pembelian oleh masing-masing konsumen
adalah sama, maka kenaikan jumlah konsumen di pasar akan
menyebabkan kenaikan permintaan, sehingga kurvanya bergeser
ke kanan. Penurunan jumlah atau banyaknya konsumen akan
menyebabkan penurunan permintaan.
3) Pendapatan konsumen
Pengaruh perubahan pendapatan terhadap permintaan
barang mempunyai dua kemungkinan. Pada umumnya pengaruh
pendapatan terhadap permintaan adalah positif dalam arti bahwa
kenaikan pendapatan akan menaikkan permintaan. Hal ini terjadi
apabila barang tersebut merupakan barang superior atau normal.
Akan tetapi pada jenis barang inferior, maka kenaikkan
pendapatan justru menurunkan permintaan.
4) Harga barang-barang lain yang bersangkutan
Barang-barang lain yang bersangkutan biasanya
merupakan barang subsitusi atau barang komplementer. Kenaikan
harga barang subsitusi akan membuat harga barang tersebut turun
secara relatif meskipun pada kenyataannya harganya tetap.
Permintaan suatu barang akan naik apabila harga barang
penggantinya turun. Hal ini karena harga barang tersebut terlihat
lebih murah dibandingkan dengan harga barang penggantinya.
menyebabkan permintaan akan barang tersebut turun, dan
sebaliknya.
5) Ekspektasi
Ekspektasi para konsumen terhadap harga-harga juga akan
mempengaruhi permintaan suatu barang. Apabila harga suatu
barang diperkirakan mengalami kenaikan di masa yang akan
depan maka tingkat permintaan terhadap barang tersebut secara
otomatis akan mengalami kenaikan. Hal ini dilakukan oleh
masyarakat untuk memperoleh harga yang lebih rendah.
Sebaliknya, apabila masyarakat memperkirakan harga suatu
barang turun di masa yang akan datang maka tingkat permintaan
barang tersebut akan mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena
masyarakat lebih menunda membeli atau menggunakan agar uang
yang dia keluarkan tidak setinggi harga barang tersebut pada saat
ini. Hal ini juga akan terjadi apabila masyarakat memperkirakan
pendapatannya akan turun pada masa yang akan datang.
b. Penawaran
Penawaran adalah hubungan antara harga dan jumlah barang
yang ditawarkan. Secara lebih spesifik, penawaran menunjukkan
seberapa banyak produsen mau dan mampu menawarkan suatu barang
per periode pada berbagai kemungkinan tingkat harga, dengan asumsi
ceteris paribus. Hukum penawaran menyatakan bahwa jumlah barang
yang ditawarkan secara langsung berhubungan dengan tingkat
harganya, maka jumlah yang barang ditawarkan juga semakin sedikit
dan sebaliknya semakin tinggi harganya maka semakin tinggi juga
jumlah yang ditawarkan.
Kurva penawaran menunjukkan hubungan antara harga suatu
barang dengan jumlah yang ditawarkan, hal lain diasumsikan konstan.
Pada umumnya kurva penawaran menaik dari kiri bawah ke kanan
atas. Bentuk kurva penawaran bersifat demikian karena terdapat
hubungan yang positif diantara tingkat harga dan jumlah barang yang
ditawarkan dimana semakin tinggi tingkat harga, maka semakin
banyak jumlah yang ditawarkan (Sukirno, 2003 : 88-89).
P
P0 Penawaran (S)
P1
Q0 Q1 Q
Gambar 2.2 Kurva Penawaran
Perubahan jumlah yang ditawarkan adalah reaksi produsen
terhadap perubahan harga barang yang dicerminkan dengan gerakan
sepanjang kurva penawaran. Perubahan penawaran adalah reaksi
produsen terhadap perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya
selain harga barang yang bersangkutan, dicerminkan dengan
Harga
Gambar 2.3 Grafik Pergerakan Titik-Titik di Sepanjang Kurva Penawaran dan Pergeseran Kurva Penawaran
Dimisalkan pada mulanya kurva penawaran adalah SS. Titik A
menggambarkan bahwa pada waktu harga adalah P, jumlah barang
yang ditawarkan adalah Q. Bila harga turun menjadi P1, hubungan di
antara harga dan jumlah yang ditawarkan pindah ke titik B. Berarti
sekarang jumlah yang ditawarkan hanya sebanyak Q1. Perubahan
dalam jumlah yang ditawarkan terjadi akibat dari pergeseran kurva
penawaran yang digambarkan dengan bergesernya kurva dari SS
menjadi S2S2 atau S3S3. Pada gambar di atas pergeseran kurva
penawaran dari SS menjadi S2S2, menyebabkan jumlah barang yang
ditawarkan berkurang dari Q menjadi Q2 walaupun harga tetap sebesar
P, seperti ditunjukkan oleh titik A2. Pergeseran SS menjadi S3S3
menggambarkan peningkatan penawaran, dimana jumlah barang yang
ditawarkan meningkat dari Q menjadi Q3, sedangkan tingkat harga
5. Teori Laba
Ada beberapa penjelasan mengenai mengapa laba itu terjadi
(Downey dan Steven, 1992). Pertama, laba merupakan imbalan atas
keberanian resiko dalam bisnis. Kalau pemilik harta pribadi mempercayai
sumber daya perorangan pada proyek bisnis, pengembalian atas modal
yang ditanam (return on invesment) tidak dijamin. Selalu ada
kemungkinan bahwa proyek akan gagal dan semua atau sebagian modal
yang ditanam akan hilang. Makin besar resiko yang terlibat, maka besar
laba yang bisa diperoleh jika usaha berhasil. Kenyataannya, pengharapan
akan keuntungan yang lebih besar merupakan kekuatan motivasi di
belakang usaha yang sangat beresiko.
Kedua, laba dihasilkan oleh pengendalian atas sumber daya yang
langka. Di Amerika hampir semua harta dimiliki dan dikendalikan oleh
masing-masing warga negara. Kalau seorang warga negara memiliki
sumber daya yang diinginkan orang lain, maka pihak yang menginginkan
akan menawarkan harga yang lebih tinggi sehingga pemilik akan
mendapatkan laba. Makin besar permintaan akan sumber daya, makin
tinggi harga dan makin besar laba bagi pemilik atau para pemilik.
Ketiga, laba bisa diperoleh karena orang-orang tertentu bisa
mendapat informasi yang tidak tersebar luas. Pemilik sumber yang
mempunyai pengetahuan khusus seperti cara pemprosesan yang bersifat
rahasia, rumus-rumus dan resep, dapat menggunakan informasi ini secara
eksklusif sehingga bisa sangat unggul dalam persaingan. Semua konsep
formal untuk mendorong daya cipta dengan adanya jaminan bahwa
pencipta akan mendapatkan laba atas gagasan-gagasannya.
Keempat, ada laba yang bisa diperoleh hanya karena beberapa
bisnis dikelola lebih efektif daripada bisnis lain. Para manajer dari bisnis
semacam itu seringkali merupakan perencana dan pemikir yang kreatif
yang organisasinya sehari-hari berjalan dengan sangat efisien. Tambahan
untuk pelaksanaan kerja yang lebih baik ini biasanya adalah laba.
Akuntan dan ekonom sama-sama berbicara tentang laba, akan
tetapi keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda. Akuntan
memandang laba sebagai saldo penghasilan setelah semua biaya aktual
yang dapat diukur dikurangkan. Akan tetapi, para ekonom menentukan
laba dengan menguji penggunaan alternatif untuk sumber daya yang ada
dalam badan usaha. Perbedaan pendapat antara akuntan dan ekonom
tersebut sebenarnya disebabkan oleh adanya konsep biaya oportunitas.
Biaya oportunitas sendiri adalah jumlah penerimaan yang dikorbankan
bisnis karena tidak memilih serangkaian alternatif dalam penggunaan
sumber daya.
Laba ekonomi didefinisikan sebagai laba akuntansi dikurangi biaya
oportunitas. Sebelum menanamkan sejumlah uang dalam menentukan
alternatif penggunaan sumber daya, manajer harus dapat memperkirakan
biaya oportunitas. Perkiraan ini juga membantu para manajer untuk
memutuskan apakah setiap penggunaan sumber daya yang berupa waktu
dan uang merupakan peluang terbaik yang tersedia. Akan tetapi konsep
a. Banyak nilai yang terkandung yang ternyata sulit untuk
diperhitungkan.
b. Pengukuran nilai penyesuaian ke dalam bentuk uang terkadang sulit
dilakukan.
c. Perbedaan tipe penanaman modal mungkin sulit untuk dibandingkan
langsung satu sama lain dengan satu cara yang benar-benar memenuhi
konsep biaya oportunitas.
Di dalam kegiatan usaha, perusahaan akan selalu berusaha
memaksimalkan laba yang diperoleh. Berikut adalah prinsip-prinsip
pemaksimalan laba tersebut:
a. Biaya Marjinal / Pendapatan Marjinal
Biaya marjinal adalah tambahan biaya untuk memproduksi
satu unit tambahan produksi, sedangkan pendapatan marjinal adalah
tambahan penghasilan yang diperoleh dari penjualan satu unit
tambahan produksi. Prinsip dasar ekonomi menyatakan bahwa laba
akan dimaksimalisasi dengan meningkatkan produksi sampai biaya
marjinal sama dengan pendapatan marjinal.
BM = PM
Prinsip ini mengandung gagasan bahwa masukan (input) hanya
boleh ditambahkan pada proses produksi sampai pada titik di mana
biaya-biayanya persis sama dengan tambahan pendapatan yang
b. Tingkat Substitusi Marjinal / Rasio Kebalikan Harga
Pada bidang usaha tertentu seringkali ada kemungkinan untuk
memproduksi jumlah keluaran yang sama dengan berbagai kombinasi
masukan. Dengan demikian, produsen yang memaksimalkan laba
akan mengusahakan kombinasi masukan dengan biaya terendah untuk
menghasilkan jumlah keluaran yang sama. Atau dengan kata lain:
Tingkat subsitusi marjinal = rasio kebalikan harga
TSM = RKH
c. Pengembalian Marjinal yang Sama
Kriteria penting lainnya dalam keputusan produksi berkaitan
dengan apa yang harus diproduksi. Seringkali perusahaan dapat
memproduksi banyak ragam produk tetapi keterbatasan masukan atau
anggaran produksi akan menjadi kendala. Prinsip produksi akhir ini
menyatakan bahwa produksi berbagai perusahaan harus dilaksanakan
sampai pengembalian marginal dari produk-produk tersebut sama,
atau masukan variabel harus digunakan pada pemanfaatan marjinal
tertinggi sampai tercapai pengembalian yang sama.
6. Pengertian Pedagang
Pedagang merupakan orang yang berusaha di bidang produksi dan
berjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen
tertentu di dalam masyarakat dalam suasana lingkungan informal. Mereka
adalah orang yang menjalankan kegiatan dalam usaha memindahkan hak
atas orang lain secara terus-menerus sebagai sumber penghidupannya
Pedagang kecil pada awalnya diartikan sebagai orang yang menjual
barang-barang dan jasa langsung kepada konsumen akhir bagi
pemanfaatan yang sifatnya perseorangan dan bukan untuk usaha. Arti
sempit pedagang kecil atau pengecer adalah sebuah lembaga untuk
melakukan suatu usaha menjual barang kepada konsumen akhir untuk
keperluan pribadi atau non-bisnis (Irawan Basu Swastha, 1992: 291).
Menurut Forbes (dalam Marning dan Effendi, 1985: 335-358),
struktur perdagangan sektor informal dapat dilihat secara tepat dengan
menggolongkan para pedagang dalam tiga kategori, yaitu:
a. Penjual Borongan (Punggawa)
Punggawa adalah istilah umum yang digunakan di seluruh
Sulawesi Selatan untuk menggambarkan pihak yang mempunyai
cadangan atau penguasaan modal yang lebih besar dalam
perekonomian dan digunakan secara luas di kota dan di desa. Istilah
punggawa ini tidak mempunyai pengertian tepat, namun diantara
pedagang sektor informal, istilah ini dapat digunakan untuk
menggambarkan para wiraswasta yang memodali dan mengorganisir
barang-barang dagangan.
b. Pengecer Besar
Pedagang besar adalah pedagang-pedagang besar yang
mempunyai warung di pasar. Warung atau kios tersebut adalah tempat
yang permanen, dalam artian bahwa bangunannya tidak
berpindah-pindah, namun kekuatan penggunaan tempat tersebut tergantung pada
c. Pengecer Kecil
Kategori pengecer kecil ini mencakup pedagang pasar yang
berjualan di luar pasar, tepi jalan maupun mereka yang menempati
kios-kios di pinggiran pasar. Perbedaan dari pengecer besar adalah
mereka hanya membayar sedikit saja untuk menggunakan
tempat-tempat tersebut, tidak seperti pedagang yang memperoleh tempat-tempat yang
tetap dalam pasar yang resmi.
Seperti yang disebutkan sebelumnya pedagang merupakan orang
yang berusaha di bidang produksi dan berjualan barang-barang untuk
memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu di dalam masyarakat
dalam suasana lingkungan informal. Tujuan dari kegiatan yang dilakukan
tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimum.
a. Keberhasilan Usaha Pedagang
Tujuan pokok suatu perusahaan adalah untuk memperoleh laba
maksimum. Disamping tujuan pokok tersebut, masih ada
tujuan-tujuan lainnya, diantaranya adalah pertumbuhan skala usahanya dalam
jangka panjang, kepentingan sosial dan sebagainya (Sudarsono, 1993:
191).
Untuk melihat keberhasilan dari suatu perusahaan dapat dilihat
dari tercapai tidaknya tujuan tersebut dan untuk menilainya digunakan
laba sebagai tolok ukurnya. Semakin cepat perusahaan tersebut dapat
memutar uang, maka akan semakin besar pula labanya. Demikian pula
pengukuran keberhasilan usaha pedagang tradisional yang tidak
dapat dilihat dari labanya. Dalam penelitian ini untuk mengukur
keberhasilan usaha pedagang hanya dibatasi pada tingkat laba yang
diperoleh. Laba disini adalah balas jasa pada suatu sistem ekonomi
yang dicapai oleh pemilik badan-badan usaha. Pedagang dalam hal ini
juga berperan sebagai badan usaha, hanya saja mereka tidak
mempunyai ijin secara resmi dari pemerintah. Laba yang diperoleh
pedagang ini akan dihitung dari selisih pendapatan yang diperoleh
dikurangi dengan total pengeluarannya.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang
Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta
1) Modal dagang
Modal merupakan faktor penting dalam kegiatan usaha,
sebab modal merupakan urat nadi bagi kelangsungan usaha.
Semakin besar modal kerja, maka semakin luas kesempatan untuk
mengambangkan usaha. Modal dagang disini terdiri dari modal
sendiri dan modal yang bukan milik sendiri yang biasanya berupa
pinjaman. Modal tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan
usahanya sehari-hari, seperti untuk pembelian barang dagangan,
pembayaran tenaga kerja, ongkos pengangkutan serta dapat
berupa uang kas, tagihan dan persediaan barang dagangan.
2) Tingkat Pendidikan Pedagang
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan
membentuk pengetahuan seseorang dan selanjutnya akan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin
tinggi ketrampilan dan keahlian yang dimilikinya. Keahlian ini
akan memudahkan seseorang untuk menganalisa informasi yang
diterima, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang
terjadi serta mampu membantu dalam pengambilan keputusan.
Hubungan pendidikan dengan produktivitas kerja dapat
tercermin dalam tingkat penghasilan yang diperoleh. Pendidikan
yang lebih tinggi akan mengakibatkan produktivitas kerja yang
lebih tinggi dan akan memungkinkan perolehan penghasilan yang
lebih tinggi pula (Payaman Simanjuntak, 1987: 66).
3) Pengalaman Berdagang
Pengalaman usaha berpengaruh positif terhadap tingkat
keuntungan. Menurut Ross Steele (1980) dalam penelitian tentang
mobilitas penghasilan migran di Surabaya menunjukkan adanya
pengaruh usia pendatang dan jangka waktu bertempat tinggal di
kota (Chris Manning dan Effendi, 1985: 397). Hal ini
dimaksudkan bahwa makin lama seseorang menekuni
pekerjaannya, maka makin banyak pula pengalaman dalam
usahanya tersebut. Hal ini tentu saja akan meningkatkan
keberhasilan usahanya, karena selain mereka mempunyai
pengalaman dalam pengelolaannya mereka juga mengetahui
celah-celah mana yang sekiranya dapat membuat barang
dagangannya laku sehingga akan memperbesar omzet penjualan
kerja yang lama, seseorang akan lebih terampil, cekatan dan cepat
dalam melakukan pekerjaannya, sehingga pekerjaan yang
dilakukan akan memberikan hasil yang baik.
4) Waktu Usaha
Waktu usaha adalah waktu yang dimanfaatkan seseorang
untuk memproduksi barang atau jasa tertentu. Adapun waktu
yang dimaksudkan disini adalah lamanya jam yang benar-benar
digunakan seseorang untuk kegiatan produktif, semakin banyak
waktu usaha yang digunakan maka semakin banyak produk dan
pendapatan yang diperoleh. Jones dan Bondan telah membagi
lama kerja seseorang dalam satu minggu menjadi tiga kategori
(Aris & Hatmaji 1985 : 175).
a) Seseorang yang bekerja kurang dari 35 jam perminggu, maka
ia dikategorikan bekerja dibawah jam normal.
b) Seseorang yang bekerja antara 35 sampai 45 jam perminggu,
maka ia dikategorikan bekerja pada jam normal.
c) Seseorang yang bekerja diatas 45 jam peminggu, maka ia
dikategorikan bekerja dengan jam panjang.
c. Hambatan yang dihadapi pedagang setelah revitalisasi Pasar
Windujenar Surakarta antara lain :
1) Pengunjung pasar masih sepi
Pasar Windujenar adalah pasar yang tidak menjual
berbagai macam keperluan konsumsi seperti kebanyakan pasar
macam barang antik. Pasar ini biasanya hanya dikunjungi
orang-orang tertentu saja seperti para kolektor dan jarang dikunjungi
oleh masyarakat secara umum. Oleh karena itu sehari-harinya
pasar ini tidak terlalu ramai pengunjung yang pada akhirnya
membuat transaksi dagang pun tidak terlalu banyak terjadi.
2) Kurang adanya dukungan promosi dari Pemkot Surakarta
Pasar Windujenar merupakan pasar yang menjual berbagai
macam barang antik, hal ini menyebabkan pasar ini mempunyai
potensi yang baik sebagai pasar tujuan wisata. Perhatian dari
Pemerintah Kota Surakarta dalam upaya mempromosikan pasar
ini diwujudkan melalui acara-acara yang diselenggarakan
disekitar pasar. Walaupun sudah ada perhatian dari Pemkot
Surakarta dalam masalah promosi akan tetapi kenyataannya
pengunjung Pasar Windujenar tidak mengalami penambahan
jumlah yang signifikan. Akibatnya transaksi dagang pun tidak
terlalu banyak terjadi.
3) Terbatasnya modal pedagang
Modal merupakan faktor yang penting dalam kegiatan
usaha. Semakin besar modal kerja, maka semakin luas
kesempatan untuk mengambangkan usaha. Modal dagang disini
terdiri dari modal sendiri dan modal yang bukan milik sendiri
yang biasanya berupa pinjaman. Akan tetapi dalam memperoleh
kesulitan. Hal inilah yang terkadang membuat pedagang sulit
mengembangkan usahanya.
4) Tingkat persaingan yang tinggi antar pedagang
Tingkat persaingan dalam usaha juga merupakan
hambatan dalam mencapai keberhasilan dari usaha yang
dijalankan. Apabila banyak pedagang yang menjual barang
dagangan yang jenisnya hampir sama maka pendapatan pedagang
pun juga tidak akan sebesar bila jumlah pedagang yang menjual
barang tersebut sedikit. Hal ini juga terjadi di Pasar Winujenar
karena pedagang kebanyakan menjual barang antik dengan jenis
yang hampir sama, sehingga persaingan antar pedagang pun
semakin tinggi. Dengan tingginya tingkat persaingan maka
kemungkinan pedagang untuk memperoleh pendapatan atau laba
yang tinggi pun semakin kecil.
B. Penelitian Terdahulu
1. Wulaningsih
Wulaningsih (2005) melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Pasar
Klewer Surakarta”. Masalah yang akan dicari jawabannya dalam
penelitian ini adalah apakah variabel-variabel total penjualan, modal
kerja, lama usaha, jumlah tenaga kerja, umur, jumlah pelanggan tetap,
tingkat pendidikan, letak kios, status persaingan, dan jenis kelamin
pedagang mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang Pasar Klewer
Surakarta. Besarnya sampel ditentukan dengan rumus Slovin yaitu
sebesar 100 responden.
Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan uji t, maka variabel
yang positif dan signifikan mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang
Pasar Klewer Surakarta pada derajat signifikansi 10% adalah total
penjualan dengan nilai t sebesar 5,235 dan probabilitas 0,000, modal
kerja dengan nilai t sebesar 3,227 dan probabilitas 0,002, dan lama usaha
dengan nilai t sebesar 2,791 dan probabilitas 0,006. Sedangkan variabel
yang negatif dan signifikan mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang
Pasar Klewer Surakarta pada derajat signifikansi 10% adalah jumlah
tenaga kerja dengan nilai t sebesar -3,285 dan probabilitas 0,001 dan
umur pedagang dengan nilai t sebesar -2,443 dan probabilitas 0,017.
Sedangkan variabel jumlah pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak
kios, status persaingan dan jenis kelamin tidak signifikan mempengaruhi
keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta. Berdasarkan
perhitungan terhadap uji F, diperoleh nilai F hitung yaitu sebesar 20,470
dengan probabilitas 0,000, maka disimpulkan bahwa secara
bersama-sama faktor total penjualan, modal kerja, lama usaha, jumlah tenaga
kerja, umur, jumlah pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak kios,
status persaingan, dan jenis kelamin mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta
pada tingkat signifikansi 10%, hal ini berarti hipotesis pertama terbukti
R-Square sebesar 0,684 atau 68,4%, yang berarti bahwa 68,4% variasi
variabel keberhasilan usaha dapat dijelaskan oleh variasi variabel total
penjualan, modal kerja, lama usaha, jumlah tenaga kerja, umur, jumlah
pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak kios, status persaingan, dan
jenis kelamin, sedangkan sisanya 31,6% dijelaskan oleh variabel lain di
luar model. Berdasarkan hasil regresi, nilai koefisien beta terbesar yaitu
total penjualan, jadi hipotesis kedua tidak terbukti kebenarannya.
2. Muhammad Latief
Muhammad Latief (2004) melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha
Pedagang Pasar Gede Surakarta”. Hipotesis dalam penelitian ini adalah
diduga faktor modal kerja, pengalaman usaha, jam kerja, tingkat
pendidikan dan pembukuan mempunyai pengaruh positif terhadap
keberhasilan usaha pedagang, serta modal kerja merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pedagang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa variabel modal kerja, pengalaman usaha,
jam kerja, tingkat pendidikan, dan dummy pembukuan berpengaruh
secara signifikan terhadap keberhasilan usaha pedagang Pasar Gede
Surakarta. Berarti hipotesis yang telah dikemukakan terbukti.
Sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan
usaha pedagang adalah jam kerja pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa
hipotesis kedua bahwa modal usaha merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pedagang tidak terbukti. Nilai
87,8% variasi variabel dependen (keberhasilan usaha) dapat dijelaskan
oleh variabel independennya (modal kerja, pengalaman usaha, jam kerja,
pendidikan dan dummy pembukuan). Sedangkan sisanya yaitu sebesar
12,2% dijelaskan variabel lain yang tidak ada dalam model. Variabel
yang paling berpengaruh atau dominan dalam mempengaruhi
keberhasilan usaha yang dinyatakan dalam jumlah perolehan keuntungan
pedagang Pasar Gede Surakarta adalah jam kerja pedagang yang
dibuktikan dengan nilai koefisien beta dari variabel jam kerja adalah
yang paling besar, yaitu: 0,381 kemudian diikuti variabel tingkat
pendidikan (0,159), urutan berikutnya adalah modal kerja, pengalaman
usaha, dan keterlibatan proses pembukuan laporan keuangan.
C. Kerangka Pemikiran
Untuk lebih memudahkan dalam proses analisis permasalahan yang
telah dikemukakan diatas, ada 8 (delapan) variabel bebas (independen) yang
berpengaruh terhadap keberhasilan pedagang Barang Antik di Pasar
Windujenar Surakarta (variabel dependen). Dimana 4 (empat) variabel
dianalisis dengan alat analisis Regresi Linier Berganda dan 4 (empat) variabel
lainnya akan dianalisis dengan analisis deskriptif. Berikut adalah kerangka
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran D. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka hipotesis
yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga variabel modal dagang, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang
dan waktu usaha berpengaruh positif terhadap keberhasilan pedagang
barang antik di Pasar Windujenar Surakarta.
2. Diduga masih terdapat kendala dan hambatan yang dihadapi oleh
pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta dalam mencapai
keberhasilan setelah Pasar Windujenar mengalami revitalisasi. Modal Dagang
Tingkat Pendidikan Pedagang
Keberhasilan Pedagang Pengalaman
Berdagang
Waktu Usaha
BAB III
METODEPENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kota Surakarta dengan
ruang lingkup penelitian adalah pedagang barang antik di Pasar Windujenar.
Penelitian ini berbentuk survey atas data primer dan data sekunder. Data
primer diambil secara langsung melalui wawancara melalui instrumen
quisioner dari pedagang barang antik yang merupakan populasi dari obyek
penelitian. Data sekunder merupakan data statistik terkini yang diambil dari
beberapa instansi terkait dan berbagai sumber kepustakaan yang lain yang
mendukung data primer yang didapat.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian dibagi menjadi data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer adalah data yang diperoleh melalui observasi dan
wawancara secara langsung di lapangan yang dipandu dengan daftar
pertanyaan (quisioner) atau angket yang dibuat sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
wawancara langsung dengan para pedagang pasar.
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur, buku, laporan
C. Metode Pengumpulan Data
1. Observasi, yaitu pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian
sehingga dapat mengetahui dan mencatat data yang diperlukan untuk
proses penyelesaian penelitian ini.
2. Interview, yaitu wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang
terkait penelitian ini.
3. Quesioner, yaitu berupa lembaran berisi daftar pertanyaan yang
berhubungan dengan penelitian ini, yang diberikan kepada para pedagang
di daerah penelitian.
4. Studi Pustaka, yaitu dengan cara mencari dan mengumpulkan data yang
sudah ada, baik dibuku, majalah, koran, internet, atau data yang berasal
dari pihak-pihak terkait.
D. Definisi Operasional Variabel
Untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman terhadap
variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini, maka perlu dirumuskan
definisi operasional sebagai berikut:
1. Keberhasilan Usaha
Dalam penelitian ini keberhasilan usaha merupakan variabel
dependen. Keberhasilan usaha diukur dengan laba yang dihitung dari
selisih total penjualan produk dengan total biaya yang dikeluarkan.
Variabel ini dinyatakan dalam satuan rupiah per bulan.
2. Modal Dagang
Modal dagang adalah modal awal seorang pedagang barang antik