SKRIPSI
Untuk Memenuhi Per syar atan Memper oleh Gelar Sar jana Pada FISIP “ Veter an” J awa Timur
Disusun Oleh :
GITA DIO TAMA YOLANDA NPM. 0841010023
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
dan hidayah serta karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi
dengan
judul.
AKUNTABILITAS
KEPALA
DESA
DALAM
PENGELOLAAN ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DESA (Studi di
Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik) .
Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum pada
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam tersusunnya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Dr. Lukman Arif, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis. Pada
kesempatan ini penunulis mengucapkan terima kasih:
1.
Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
2.
Bapak Dr. Lukman Arif, MSi selaku Ketua Program Studi Administrasi Negara.
3.
Ibu Dra. Susi Hardjati, MAP selaku Sekertaris Program Studi Administrasi
Negara.
4.
Bapak Drs. Pudjo Adi M.Si dan Ibu Dra. Sri Wibawani M.Si selaku penguji
proposal dan penguji skripsi yang turut memberikan saran dalam penyempurnaan
6.
Bapak Mulyono, selaku Kepala Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten
Gresik yang telah mengijinkanpenulis melakukan penelitian di Desa Menganti.
7.
Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi penulis sangat menyadari masih ada
kekurangan-kekurangan, baik dari segi teknis maupun materil penyusunannya. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih atas saran dan kritik.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Surabaya, Juni 2012
KATA PENGANTAR ...
v
DAFTAR ISI ...
vii
DAFTAR TABEL ...
x
DAFTAR GAMBAR ...
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...
xii
ABSTRAKSI ...
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ...
1
1.2. Perumusan Masalah ...
9
1.3. Tujuan Penelitian ...
10
1.4. Manfaat Penelitian ...
10
BAB II KAJ IAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu ... 11
2.2. Landasan Teori ... 13
2.2.1. Kebijakan publik ...
13
2.2.1.1. Pengertian kebijakan Publik ...
13
2.2.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik ...
16
2.2.1.3. Implementasi Kebijakan Publik ...
17
2.2.3. Konsep Anggaran dan Pemerintah Daerah di Indonesia ...
22
2.2.3.1. Tahap-tahap Penyusunan Anggaran APB Desa ...
26
2.2.4. Konsep Akuntabilitas ...
29
2.2.4.1. Pengertian Akuntabilitas ...
29
2.2.4.2. Akuntabilitas Kinerja ...
33
2.2.4.3. Jenis Akuntabilitas ...
34
2.2.5 Kerangka berfikir ... 38
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ...
40
3.2. Lokasi Penelitian/Situs Penelitian ...
41
3.3. Fokus Penelitian ...
42
3.4. Informan dan teknik data ...
44
3.5. Teknik Pengumpulan Data ...
46
3.6. Teknik Analisis Data ...
47
3.7. Keabsahan Data ...
49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum ...
52
4.1.1. Keadaan Geografis Desa Menganti...
52
4.2.1. Akuntabilitas Vertikal ...
67
4.2.2. Akuntabilitas Horizontal ...
74
4.3. Pembahasan ...
91
4.3.1. Akuntabilitas Vertikal ...
92
4.3.2. Akuntabilitas Horizontal ...
94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ...
100
5.2. Saran ...
101
ABSTRAKSI
GITA DIO TAMA YOLANDA, 0841010023, AKUNTABILITAS KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJ A DESA (Studi di Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gesik)
Pada Peraturan Daerah (Perda) Gresik Nomor 12 Tahun 2006 tentang Desa pada Pasal 7 Ayat 1 (a) menjelaskan bahwa proses akuntabilitas yang yang dilakukan oleh kepala desa harus tertuju pada tiga sasaran yaitu masyarakat, BPD (Badan Permusyawaratan Daerah) dan Bupati. Dari observasi yang ada
dilapangan, Kepala Desa hanya mengimplementasikan laporan
pertanggungjawaban keuangan desa kepada BPD dan Bupati, tetapi peneliti belum menemukan laporan pertanggungjawaban secara tertulis yang ditempel pada papan pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat. Sedangkan didalam Perda Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Nomor 7 Pasal 2 disebutkan bahwa proses pertanggungjawaban keuangan Desa kepada masyarakat harus berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa atau media lainnya (misalnya radio komunitas). Maka dari itu peneliti mengambil judul akuntabilitas Kepala Desa dalam pengelolaan anggaran penerimaan dan belanja Desa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana akutabilitas Kepala Desa dalam pengelolaan anggaran APB Desa ditetapkan pada fokus pertama yaitu akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas Kepala Desa Menganti terhadap pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan Desa dalam bentuk laporan pengelolaan keuangan desa kepada Bupati melalui Camat. Sedangkan fokus kedua yaitu akuntabilitas horizontal adalah akuntabilitas kepada BPD Desa dan masyarakat Desa.
Metode penelitian Deskriptif Kualitatif, dengan analisis model interaktif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mengabil data dari sumber data yang berupa tulisan, prilaku, tindakan, pristiwa, kejadian, kata-kata. Dengan peneliti sebagai instrumen penelitian.
1.1. Latar Belakang
Sejak awal dibentuknya Negara Kesatuan republik Indonesia oleh para
pendiri Negara ini telah menetapkan pilihannya pada prinsip pembagian
kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah Negara. Dengan demikian,
sudah diamanatkan oleh pendiri republik ini adanya daerah otonom dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Zauhar : 1994).
Pada dasarnya semua tuntutan tersebut dimaksudkan untuk
membangun budaya demokrasi di Indonesia. Lahirnya Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 yang dianggap lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat di
daerah dan daerah juga lebih mampu mewujudkan otonomi daerah.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintah Daerah mulai
dilaksanakan secara efektif pada bulan Januari 2001, telah membawa
perubahan yang cukup berarti terhadap hubungan pusat dan daerah, terdapat
beberapa kemajuan berarti terhadap hubungan pusat dan daerah. Kemajuan
disini mempunyai artian seperti tingkat partisipasi masyarakat yang semakin
luas dalam berbagai bidang, atau tingkat tanggung jawab pemerintah
Kabupaten/Kota yang lebih besar kepada masyarakat. Meskipun demikian,
masih banyak hal yang perlu dilakukan dan diperbaiki dalam pelaksanaan
Hal ini dapat dilihat dalam proses Pembuatan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 yang sama sekali tidak melibatkan orang daerah dan lebih
mengutamakan kepentingan pusat. Disamping itu masih banyak ketidakjelasan
dan kurang keterbukaan bagaimana implementasi yang baik itu mesti dimulai
(Salam,2005:11). Maka dari itu perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang dirasa belum mampu menjawab tantangan
atau mengakomodasi tuntutan perkembangan masyarakat, dan ketatanegaraan
yang ditinjau dari sisi daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan
pemerintah di daerah. Berdasar kondisi tersebut maka pemerintah
memperbaiki Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang
dilaksanakan secara efektif pada tanggal 15 Oktober 2004.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan sarana pemerintah untuk
melaksanakan reformasi administrasi di tubuh pemerintah dan bertujuan untuk
memperbaiki praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Hal ini
didukung dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Pelaksanaan otonomi daerah yang baik harus didukung oleh semua pihak yang
terkait, baik sumber dana (anggaran), sumber daya alam, sumber daya tersebut
tidak lantas dibiarkan saja tetapi juga harus dikelola secara maksimal agar
dapat menghasilkan sumber dana untuk daerah tersebut. Pengelolaan sumber
daya alam yang maksimal harus didukung oleh sumber daya manusia
(stakeholder) yang ada didaerah. Sebab stakeholder dalam organisasi
organisasi tersebut. Sehingga stakeholder merupakan faktor yang penting
dalam organisasi.
Pada kenyataannya, stakeholder di daerah masih belum mampu. Hal
ini terbukti masih banyaknya berbagai tuntutan dan juga kritikan dari
masyarakat yang menuntut adanya pelayanan yang baik. Menurut Islami
(1998:3), setidaknya ada lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat yang
harus dipenuhi guna menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi
Negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat yang meliputi :
1. Pemerintah dituntut mampu menumbuhkan good governance dalam
rekrutment aparat pemerintahah disemua jenjang didasarkan pada merit
system.
2. Semakin tajamnya kritik masyarakat atas rendahnya kualitas pelayanan
publik,
3. Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis,
4. Aparat pemerintah dituntut agar lebih profesional dalam mengedepankan
terpenuhinya public acuntability and responsibility,
5. Masyarakat sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi
kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi mereka sejauh bisa
memenuhinya.
Menurut Dwiyanto, dkk (2003:106), bahwa Transparency
International menempatkan Indonesia pada tahun 2002 di urutan ke-98 antara
korupsi yang terjadi di Indonesia. Pada buku tersebut (126-127) juga
menjelaskan bahwa praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak
mengalami banyak perubahan sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi
daerah, Governance and Decentralization Survey 2002 (GDS 2002) juga
membuktikan bahwa praktik KKN masih menjadi fenomena yang mudah
dijumpai dalam kegiatan pemerintahan. Berbagai kalangan stakeholder
berpendapat bahwa praktek di era otonomi daerah cenderung mengalami
peningkatan. Yang menarik adalah GDS 2002 menunjukkan terjadinya
pergeseran pusat KKN dari kantor Bupati/Walikota ke DPRD. Sebelum
pelaksanaan otonomi daerah, kantor Bupati/Walikota cenderung menjadi pusat
praktik KKN di daerah. Namun saat ini DPRD cenderung menjadi pusat KKN
yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga eksekutif, seperti
kantor Bupati, dinas pendidikan, dinas kesehatan dan kantor kecamatan
maupun kantor desa. Hal ini dapat dipahami karena DPRD sekarang ini
menjadi lembaga yang sangat berkuasa sebab memiliki kekuasaan untuk
memilih dan memberhentikan Bupati dan Walikota.
Temuan GDS 2002 ke dua adalah bahwa praktik KKN ditengarai lebih
banyak di Kota dibandingkan dengan di Kabupaten. Dan temuan yang ke tiga
yaitu praktik KKN dalam kegiatan pemerintahan umumnya terjadi dalam
rekruitmen pegawai, tender proyek, penyusunan peraturan daerah, dan
penyusunan APBD. Alternatif pemecahan masalah praktik KKN di
pemerintahan daerah yaitu dapat dilakukan dengan mengutamakan upaya
dalam bentuk perbsiksn sistem pengawasan, perbaikan etika moral pegawai,
Dari berbagai fenomena praktik KKN diatas maka dapat dikatakan
bahwa Indonesia belum dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan yang baik,
sebab masih banyak terjadinya praktik KKN, maka dapat dipakai indikator
dari rendahnya akuntabilitas pemerintahan Kabupaten/Kota. Hal ini
merupakan salah satu ciri penting dari tata pemerintahan yang baik (good
governance).
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu
tuntutan yang harus dipenuhi oleh Negara dalam rangka pencapaian
tujuannya. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan yang diharapkan bukan
lagi pemerintah yang “banyak memerintah” namun pemerintah yang “sedikit
memerintah” atau “pemerintah yang baik” (better governance) menurut
Osborne dan Gaebler dalam Widodo (2000:18). Dalam rangka
penyelenggaraan good governance maka ketiga unsur yang berada dalam
ruang governance harus dapat bekerja dengan baik. Unsur-unsur yang
dimaksud tersebut adalah : state (Negara atau Pemerintahan), private sector
(sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat). Unsur-unsur
tersebut akan berinteraksi menurut fungsi-fungsi yang harus dilakukannya.
Pada masa yang akan datang diperlukan kerja sama dari unsur tersebut agar
pemerintah benar-benar mampu memerintah.
Telah disebutkan diatas bahwa dengan pelaksanaan otonomi daerah
memberikan suatu kemajuan dalam berbagai bidang atau tingkat tanggung
jawab pemerintah Kabupaten/Kota menjadi lebih besar kepada masyarakat.
Maka setiap apa yang dilakukan pemerintah khususnya aparaturnya dalam
mengenai keberhasilannya maupun kegagalannya sebagai wujud dari
responsibilitas aparatur pemerintah terhadap apa yang telah dilakukannya.
Dengan responsibilitas saja dirasa belum cukup untuk memajukan efektifitas
dan efisiensi setiap tindakan aparatur negara dalam memberikan layanan,
untuk itu perlu dilakukan akuntabilitas kinerja sebagai wujud
pertanggungjawaban baik terhadap lembaga maupun terhadap masyarakat.
Dalam rangka menanggapi tuntutan pemerintah khususnya pada
Sekretariat Daerah Kabupaten Gresik harus memperbaiki kinerja birokrasi
yang profesional guna meningkatkan pelayanan masyarakat. Dengan kinerja
birokrasi yang lebih profesional dalam melayani masyarakat, maka proses
pelayanan dapat dilaksanakan dengan baik. Dari pernyataan diatas
kewenangan diberikan kepada daerah selanjutkan diberikan kepada
pemerintah desa untuk dapat mengatur keuangan dan mengatur anggaran
belanja pemerintah desa. Seperti halnya yang terjadi di Desa – Desa di
wilayah Kabupaten Gresik bahwa Desa memiliki kewenangan untuk
mengelola keuangan yang ada di APB Desa. Hal itu tertuang pada Peraturan
Daerah Gresik nomor 12 tahun 2006 tentang Desa yang isinya, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APB Desa adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan
peraturan desa. Mengacu pada peraturan diatas Permerintah desa memutuskan
untuk mengatur mengenai sumber APBDes yang terdiri dari tiga sumber.
Yang pertama Pendapatan Asli Desa, yang berasal dari Retribusi pedagang
yang berasal dari Pemerintah daerah yang berupa Alokasi Dana Desa (ADD).
Dan yang ketiga yaitu Pihak ketiga (Investor). Aturan tersebut diatur oleh
peraturan Desa nomor 2 Tahun 2010 tentang pengelolaan pendapatan Desa.
Berikut data yang diperoleh penulis untuk menunjang pernyataan diatas :
Tabel 1.1
Per encanaan dana APBDes pada tahun 2011
Sumber : Laporan pertanggungjawaban Kepala Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik kepada Bupati Gresik tahun 2011. .
Dari Tabel diatas diperoleh data bahwa penerimaan kas desa yang
berasal dari hasil pengelolaan kekayaan Desa yang di sewakan kepada
masyarakat sekitar sebesar Rp. 306.079.500. kekayaan Desa yang dimaksud
yaitu penyewaan ganjaran petinggi, penyewaan tanah Desa dan lelang parkir
pasar. Untuk swadaya dan partisipasi berasal dari hasil pengelolaan listrik
pasar Desa dan pelayanan kepada masyarakat. Pada poin ketiga terdapat dana
yang berasal dari retribusi, objek dari retribusi tersebut adalah semua
pedagang dari pasar Desa Menganti. Pada poin keempat disebutkan dana
No Ur a ian J umlah Biaya
1 Hasil Pengelolaan kekayaan desa 306.079.500
2 Hasil swadaya dan partisipasi 39.743.000
3 Bagi hasil retribusi 185.109.100
4 Bagian dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah kepada desa
122.890.000
5 Bantuan keuangan Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota dan Desa
102.840.000
J umlah Realisasi Pendapatan 756.661.600
J umlah Pendapatan 788.330.000
perimbangan keuangan pusat dan daaerah kepada Desa yang meliputi alokasi
dana Desa tahap satu da tahap dua di tahun 2011.
Tabel 1.2
Pelaksanaan dana APBDes pada tahun 2011
No Ur aian J umlah Biaya
1 Belanja Langsung 366.619.250
2 Belanja Tidak Langsung 330.261.000
3 Belanja Bantuan Keuangan 30.183.000
4 Belanja Tak Terduga 15.941.000
J umlah 743.004.250
J umlah selur uhnya 788.330.000
Saldo ak hir Bulan 2011 Minus 45.325.750
Sumber: Laporan pertanggungjawaban Kepala Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik kepada Bupati Gresik tahun 2011.
Dari Tabel diatas diperoleh data bahwa belanja langsung yang
dimaksud adalah belanja langsung yaitu belanja untuk kepentingan program
pelayanan adminisrasi perkantoran, program peningkatan sarana dan prasarana
kerja, program perbaikan sarana umum, program perbaikan lingkungan dan
pemukiman, program peningkatan pendidikan. Belanja tidak langsung
mencakup belanja pegawai dan belanja bantuan keuangan. Dari realisasi dana
tersebut, seorang Kepala Desa sangat berperan untuk
mempertanggungjawabkan secara tertulis kepada masyarakat, BPD dan
Bupati. Sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten
Gresik Nomor 12 Tahun 2006 tentang pemerintah Desa.
Pada Peraturan Daerah (Perda) Gresik Nomor 12 Tahun 2006
tentang Desa pada Pasal 7 Ayat 1 (a) menjelaskan bahwa proses akuntabilitas
masyarakat, BPD (Badan Permusyawaratan Daerah) dan Bupati. Itu
dimaksudkan agar proses transparansi bisa bermuara pada adanya
akuntabilitas dana pada penerimaan kas Desa dan pendistribusian dana di
Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. Dari observasi
sementara yang ada dilapangan, Kepala Desa hanya mengimplementasikan
laporan pertanggungjawaban keuangan desa kepada BPD dan Bupati, tetapi
peneliti belum menemukan laporan pertanggungjawaban secara tertulis yang
ditempel pada papan pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat.
Sedangkan didalam Perda Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Nomor 7 Pasal 2
disebutkan bahwa proses pertanggungjawaban keuangan Desa kepada
masyarakat harus berupa selebaran yang ditempelkan pada papan
pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan
masyarakat desa atau media lainnya (misalnya radio komunitas). Disinilah
fenomena yang menarik untuk diteliti.
Dengan adanya fenomena tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai pengalokasian dana kas Desa Menganti Kecamatan Menganti
Kabupaten Gresik dengan judul “Akuntabilitas Kepala Desa dalam
Pengelolaan Anggar an Pener imaan dan Belanja, (Studi di Desa Menganti
Kecamatan Menganti Kabupaten Gr esik)“.
1.2. Per umusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka perumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitiaan ini adalah : Bagaimana Akuntabilitas Kepala
1. 3 Tujuan Penelitian
Dari uraian latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui Akutabilitas Kepala Desa Dalam Pengelolaan Anggaran
Penerimaan dan Belanja Desa.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gr esik
Memberikan saran-saran atau masukan bagi Desa Menganti Kabupaten
Gresik Propinsi Jawa Timur sebagai alternatif pertimbangan dalam
meningkatkan kinerja serta pengawasan terhadap penyelenggaraan dana
APB Desa di wilayah Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten
Gresik di Propinsi Jawa Timur.
b. Bagi Universitas Pembangunan Nasional J awa Timur
Sebagai tambahan khasanah perpustakaan dan bahan masukan bagi
penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama .
c. Bagi Peneliti
Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memperluas wawasan berfikir
serta pengetahuan penulis dalam mengembangkan ilmu dan
BAB II
KAJ IAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Ter dahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan pihak lain dapat dipakai sebagai
bahan pengkajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
1. Arja Sadjiarto (Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi, Universitas
Kristen Petra, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol 2, No 2, Nopember 2000)
dalam Penelitiannya (Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja). Permasalahan
yang ada pada penelitian ini adalah bagaimana akuntabilitas dan kinerja
pemerintahan pada era otonomi daerah ini. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian sampel. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi
serta tanya jawab melalui wawancara terstruktur. Yang diperoleh dari penelitian
ini adalah Meskipun saat ini di Indonesia banyak dilakukan persiapan dan
diskusi mengenai good governance, namun jika dicermati lebih lanjut, tampak
bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia masih berfokus hanya dari sisi
pengelolaan keuangan negara. Sedangkan dalam kenyataan sehari-hari
keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat
dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja. Kinerja departemen atau dinas
tersebut tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah
laporan keuangan seperti return on investment, jumlah sumber daya yang
digunakan atau rasio pendapatan dibandingkan dengan sumber daya yang
digunakan. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah
Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian ini pada objek
penelitian yaitu akuntabilitas pemerintah dalam melaporkan program yang telah
dilaksanakan, sehingga masyarakat bisa menilai apakah kinerja pemerintah
sudah efisien dan efektif. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini
adalah perspektif ilmu yang digunakan dalam mengukur proses akuntabilitas.
Perbedaan yang lain adalah tempat penelitian.
2. Nur Hidayatul Choiri (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Brawijaya
Malang) dalam penelitiannya (Akuntabilitas Kinerja Dinas Pendidikan
Kabupaten Malang). Permasalahan yang ada di dalam penelitian ini adalah apa
alasan perlunya melaksanakan akuntabilitas administrasi oleh Dinas pendidikan
Kabupaten Malang dalam program wajib belajar sembilan tahun, bagaimana
pelaksanaan akuntabilitas administrasi di lapangan serta faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalannya. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan analisa kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program wajib belajar sembilan
tahun di Kabupaten Malang terlihat bahwa instansi (sekolah-sekolah) tidak
melaksanakan akuntabilitas administrasinya.
Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian ini pada objek
penelitian yaitu akuntabilitas pemerintah terhadap suatu kebijakan yang di
lakukan oleh instansi yang terkait. Perbedaan penelitian tersebut dengan
penelitian ini adalah jenis akuntabilitas yang menjadi fokus penelitian.
Perbedaan yang lain yaitu lokasi penelitian.
3. Amin Rahmanurrasjid, (Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pasca
Transparansi dalam Pertanggungajawaban Pemerintah Daerah untuk
mewujudkan Pemerintah yang Baik di daerah) studi kasus di Kabupateb
Kebumen. Permasalahan yang ada pada penelitian ini adalah adanya otonomi
daerah pasca reformasi tahun 1997 yang berimplikasi pada pergeseran
kekuasaan pemerintah pusat ke daerah. Dengan pergeseran ini mengakibatkan
banyaknya wewenang yang harus dikelola daerah dan berkurangnya pengawasan
dari pemerintah pusat. Penelitian ini merupakan hukum normatif dengan bahan
penelitian utama adalah bahan kepustakaan dan data dilapangn (primer) hanya
sebagai pelengkap. Hasil dari penelitian ini yaitu implementasi akuntabilitas dan
transparansi dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik di daerah menemui kendalakarena tidak adanya evaluasi
pemerintah atas penyampaian LPPD, penyampaian LKPJ tidak disertai dengan
perhitungan APBD.
Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian ini pada objek
penelitian yaitu akuntabilitas dalam suatu program oleh pemerintah, perbedaan
penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada subjek penelitian dan
lokasi penelitian.
2.2 Landasan Teor i
2.2.1 Kebijakan Publik
2.2.1.1 Penger tian Kebijakan Publik
Pengertian kebijakan publik menurut Chandler & Piano (1998) dalam
Tangkilisan (2003 : 1) adalah pemecahan masalah-masalah publik atau
pemerintah. Pendapat lain dikemukakan oleh Dye dalam Islamy (1997 :18)
dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nugroho (2003
: 54) mendefinisikan kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan
pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk
tidak dikerjakan atau dibiarkan. Kesimpulan dari ketiga teori diatas yaitu suatu
tujuan yang dilakukan atau tidak dilakukan di dalam lingkup aparatur
pemerintah terhadap suatu kebijakan yang telah ditetapkan..
Sedangkan Friedrich dalam Wahab (2004 : 3), menyatakan bahwa
kebijakan ialah sutau tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan
dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Pernyataan
Friedrich ini sejalan dengan pernyataan Anderson dalam Agustino (2006 : 7)
memberikan statement tentang kebijkan publik yaitu serangkaian kegiatan yang
mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seseorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu
permasalahan atau sesuatu hal yang diperhatikan. Dari pernyataan dari teori
diatas bisa dilihat bahwa suatu kebijakan publik tidak luput dari peran seseorang
atau sekelompok orang didalam pencapaian kebijakan publik.
Sedangkan menurut Woll (1996) dalam Heseel (2003 : 2) kebijakan
publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah di
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pendapat Woll ini sependapat dengan
Easton dalam Islamy (1997 : 19) yaitu pengalokasian nilai-nilai secara paksa
Frederich dalam Soenarko (2000 : 42) adalah suatu arah tindakan yang
diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan
dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatan yang diharapkan dapat
memenuhi dan mengatasi suatu cita-cita atas mewujudkan suatu kehendak serta
tujuan tertentu.
Atas dasar pengertian diatas, maka dapat dikemukakan elemen yang
terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana apa yang dikemukakan oleh
Anderson dalam Islamy yang antara lain mencangkup :
1. kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorentasi pada tujuan tertentu.
2. kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
4. kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan, pemerintah mencari
masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu).
5. kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan tertetu yang bersifat memaksa (otoritatif)
Dari beberapa pengertian diatas dan mengikuti paham bahwa kebijakan
publik itu harus mengabdi kepada masyarakat, maka dengan demikian dapat
disimpulkan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai
tujuan atau berorentasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
2.2.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Agustino (2006 : 22) berpendapat bahwa proses pembuatan kebijakan
merupakan serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan
waktu. Oleh karena itu kebijakan publik dilakukan ke dalam beberapa tahap
proses pembuatan kebijakan sebagai berikut :
1) Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan di angkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah – masalah ini berkompetensi terlebih dahulu
untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan.
2) Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan di bahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah–masalah tadi di definisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik.
3) Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternative kebijakan yang di tawarkan oleh para perumus
kabijakan, pada akhirnya salah satu dari alternative kebijakan tersebut di
adopsi dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
4) Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan–catatan elit, jika
program tersebut tidak di implementasikan. Oleh karena itu, program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah seharusnya
5) Tahap penilaian kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau di evaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah.
2.2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu
kebijakan dirumuskan tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang
akan dirumuskan maka hanya menjadi wacana. Oleh karena itulah implementasi
kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood dalam Hesel (2003:17)
hal–hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan
dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam
keputusan–keputusan yang bersifat khusus. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Presman dan Wildavsky dalam Hesel (2003: 17) implementasi diartikan sebagai
interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana–sarana tindakan dalam
mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam
hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.
Sedangkan Jones dalam Hesel (2003:17) menganalisis masalah
pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan–kegiatan
fungsional. Jones mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi
pemerintahan mengenai program–program yang sudah disahkan, kemudian
menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang terlibat, dengan
memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Dari beberapa
proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha–usaha untuk
mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi
mengatur kegiatan kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke
dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.
2.2.1.4 Keber hasilan Implementasi Kebijakan
Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003 : 21)
menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga
faktor, yaitu :
1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur
pelaksana.
2. Keberhasilan inplementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya
persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah pada kinerja yang memuaskan semua
pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
2.2.1.5Kegagalan Implementa si Kebijakan
Menurut Peters dalam tangkilisan (2003 : 22) mengatakan implementasi
kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor yaitu:
1. Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan gambaran yang kurang
tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada pra pelaksana dari
kebijakan yang akan dilaksanakan dan hasil-hasil dari kebijakan.
2. Isi Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau kebijakan
kebijakan itu sendiri, menunjukkan kekurangan yang menyangkut sumber
daya pembantu.
3. Dukungan
Akan implementasi kebijakan publik akan sangat sulit apabila pelaksananya
tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
4. Pembagian Potensi
Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para aktor implementasi
dan juga mengenal organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi
tugas dan wewenang.
2.2.1.6 Pertanggungjawaban APB Desa Dalam Sudut Pandang Kebijakan
Pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
menjelaskan bahwa peran dari Kepala Desa yaitu melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan keuangan Desa yang diatur pada pasal 15 ayat 1 (i).
Hal ini dilakukan agar proses akuntabilitas dari seorang Kepala Desa bisa
mengacu pada sasaran yang diatur pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah Gresik. Disamping itu, peran dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
yaitu melakukan musyawarah dengan Kepala Desa untuk menentukan suatu
aturan, rancangan APB Desa dan sebagai sarana kontrol terhadap Kepala Desa.
Proses pertanggungjawaban keuangan desa (APB Desa) harus mencapai tiga
sasaran yaitu kepada masyarakat, BPD dan Bupati. Sebagaimana tertulis di
dalam PP nomor 72 tahun 2005 pasal 15 ayat 2 “ Kepala Desa mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
desa kepada masyarakat”.
Mengacu pada PP diatas, Pemerintah Daerah (Perda) Kabupaten Gresik
mengeluarkan Perda Kabupaten Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Pemerintah Desa. Aturan ini dibuat mengacu berdasarkan PP Nomor 72 Tahun
2005 tentang Pemerintah Desa. Didalam Perda tersebut dijelaskan tentang tugas,
pokok dan fungsi dari pada Kepala Desa didalam menjalankan roda
pemerintahan desa yang profesional dan bertanggungjawab. Peran BPD juga
sangat berpengaruh didalam pertanggungjawaban keuangan desa, termasuk
didalam pertanggung jawaban terhadap APB Desa kepada sasaran yang telah
ditentukan. Sama halnya seperti PP diatas, Kepala Desa bertanggung jawab
penuh didalam mengelola keuangan desa terhadap masyarakat, BPD dan Bupati.
Proses pertanggung jawaban terhadap masing-masing sasaran berbeda,
hal ini diatur didalam Perda Kabupaten Gresik Nomor 12 Tahun 2006 pasal 7
ayat (2) “Kepala Desa mempunyaikewajiban memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahandesa kepada Bupati melalui Camat, memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD dalam musyawarah BPD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada
masyarakat”. Dan pasal 7 ayat (4) “Menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa atau
media lainnya”.
2.2.2 Desentr a lisasi dan Otonomi Daerah (Otoda)
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 7,
mengamanatkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sudut pandang teoritis Mahsun (2006:238), memberikan pendapat
bahwa desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari pusat ke daerah. Hal
ini sejalan dengan pendapat dari Santoso dkk (2002:154), desentralisasi dalam
arti ketatanegaraan adalah merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumahtangganya
sendiri.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
desentralisasi adalah pendelegasian wewenang pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 otonomi
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dari sudut pandang teori, Mahsun (2006:238) berpendapat bahwa
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari pendapat dan undang-undang diatas maka dapat disimpulkan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2.2.3 Konsep Anggar an dan Pemer intah Daear ah di Indonesia
Anggaran menurut Indra Bastian dalam sistem perencanaan
penganggaran Pemerintah Daerah (2006:39) yaitu pernyataan mengenai
estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau
metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Dalam organisasi sektor publik,
penganggaran merupakan suatu proses politik. Karena itu anggaran merupakan
rencana menejerial untuk pengambilan tindakan (managerial plan for action)
guna memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi.
Berikut aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran :
a) Aspek perencanaan.
b) Aspek pengendalian.
c) Aspek akuntabilitas publik.
Anggaran publik akan berisi rencana kegiatan yang direpresentasikan
dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter.
Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran merupakan suatu dokumen yang
menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi
mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang dan
setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan
dalam periode yang akan datang.
Seiring dengan digulirkannya isu reformasi di bidang pemerintahan
hingga dikeluarkannya undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-undang nomor 33 tahun 2004 yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya PP
Nomor 58 Tahun 2004 dan beberapa revisi PP dan Peraturan dalam Negeri
pendukungnya, maka lahirlah paradigma baru di dalam pengelolaan keuangan
daerah.
Dengan perubahan ini, penentuan strategi, prioritas serta kebijakan
alokasi anggaran akan lebih berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Mekanisme perencanaan pembangunan dan perencanaan anggaran daerah harus
menjadikan suatu proses yang mengakar (buttom-up planning). Dengan sistem
buttom-up planning, berbagai barang dan jasa publik yang disediakan
Pemerintah, daerah diharapkan dengan preferensi dan prioritas di daerah yang
bersangkutan.
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 menjelaskan bahwa :
1. Anggaran daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program
kegiatan dan jenis belanja
2. Hal ini berarti setiap pergeseran anggaran anatar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja harus mendapat persetujuan DPRD.
4. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBD,
Pemerintah Daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama
kepada DPRD pada akhir Juli tahun anggaran tertentu. informasi tersebut
akan menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBD semester pertama dan
penyesuaian APBD pada semester berikutnya.
5. Laporan pertanggungjawaban APBD disampaikan berupa laporan keuangan
yang minimumnya terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus
kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi Pemerintah.
6. Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengguna anggaran bertanggungjawab atas
pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD dari segi manfaat atau hasil (outcome).
7. Kepala satuan kinerja perangkat daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD, dari segi barang dan
jasa yang disediakan (output).
Dari Undang-undang diatas dapat dilihat bahwa proses akuntabilitas
sangat diperlukan dalam hal pengelolaan APBD dalam suatu daerah. Hal
tersebut juga diterapkan dalam pengelolaan APB Desa yang mana Kepala Desa
bertanggungjawab penuh kepada masyarakat, BPD dan Bupati. berikut
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 68 yang mengatur tentang
1. Sumber pendapatan Desa terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Desa yang terdiri dari; hasil usaha Desa, hasil kekayaan
Desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotongroyong, dan lain-lain
pendapatan asli Desa yang sah.
b. Bagi hasil pajak Kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk Desa dan dari
retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa.
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk
setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa.
d. Bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam rangka pelaksanaan urusan Pemerintah.
e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga (investor) yang tidak mengikat.
2. Bantuan keuangan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf (d), disalurkan melalui kas
Desa.
3. Sumber pendapatan Desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa, tidak
dibenarkan diambil alih oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Dari PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pemerintah Daerah telah
memberikan hak bagi Desa untuk mengelola Pemerintahan yang otonom dengan
didukung sumber penerimaan kas Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk
membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan di Desa. Dengan
memanfaatkan ADD, Pemerintah Desa bisa berperan lebih aktif dalam
2.2.3.1 Tahap-tahap Penyusunan Anggaran APB Desa
Menurut Nordiawan (2006:79-83), tahap-tahap penyusunan anggaran ada
empat langkah yaitu sebagai berikut :
Langkah 1 : Penetapan Strategi Organisasi (Visi dan Misi)
Visi dan Misi adalah sebuah cara pandang yang jauh ke depan yang
memberi gambaran tentang suatu kondisi yang harus dicapai oleh sexual
organisasi.
Dari sudut lain, visi dan misi organisasi harus dapat :
1. Mencerminkan apa yang ingin dicapai
2. Memberikan arah dan focus strategi yang jelas
3. Menjadi perekat dan penyatuan berbagai gagasan strategis
4. Memiliki orientasi masa depan
5. Menumbuhkan seluruh unsure organisasi
6. Menjamin kesinambungan kepentingan organisasi
Langkah 2 : Pembuatan Tujuan
Tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai dalam kurun waktu satu tahun
atau yang seiring diistilahkan dengan tujuan operasional. Karena tujuan
operasional merupakan turunan dari visi dan misi organisasi, tujuan operasional
seharusnya menjadi dasar untuk alokasi sumber daya yang dimiliki. Mengelola
aktivitas harian, serta pemberian penghargaan (reward) dan hukuman
(panishment).
Sesuai tujuan operasional yang baik harus mempunyai karakteristik
1. Harus mempresentasikan hasilakhir (true ends/outcome) bukannya keluaraan
(output)
2. Harus dapat dikuruntuk menentukan apakah hasil akhir (outcome) yang
diharapkan telah tercapai
3. Harus dapat diukur dalam jangka pendek agar dapat dilakukan tindakan
koreksi (corrective action)
4. Harus tepat, artinya tujuan tersebut memberikan peluang kecil untuk
menimbulkan interpretasi individu. Namun ketetapan ini seharusnya tidak
berada di perincian yang salah
Pembuatan tujuan menjadi langkah sangat penting dan strategis karena
tujuan menjadi dasar utama pembuatan target dan indicator kinerja yang akan
melekat pada langkah penetapan aktivitas.
Langkah 3 : Penetapan Aktivitas
Tujuan operasional akan menjadi dasar dalam penyusunan anggaran. Di
lihat dari beberapa pendekatan kinerja dan PPBS yang digunakan maka langkah
yang harus dilakukan dalam penyusunan anggaran adalah penetapan aktivitas.
Aktivitas dipilih berdasarkan strategi organisasi dan tujuan operasional yang
telah ditetapkan. Organisasi kemudian membuat sexual unit/paket keputusan
(decision package) yang berisi beberapa alternative keputusan atas setiap
aktivitas. Alternatif keputusan tersebut menjadi identitas dan penjelasan bagi
Aktivitas yang bersangkutan. Secara umum alternatif keputusan berisi
komponen-komponen berikut :
1. Tujuan aktivitas tersebut, dinyatakan dalam suatu cara yang membuat tujuan
2. Alternatif aktivitas/alat untuk mencapai tujuan yang sama dan alasan
mengapa alternatif-alternatif tersebut ditolak,
3. Konsekuensi dari tidak dilakukannya aktivitas tersebut,
4. Input, kuantitas atau unit pelayanan yang disediakan (output), dan hasil
(outcome) ada berbagai tingkat pendanaan.
Langkah 4 : Evaluasi Pengambilan keputusan
Langkah selanjutnya setelah pengajuan anggaran disiapkan adalah proses
evaluasi dan pengambilan keputusan (penelahaan dan penentuan peringkat).
Proses ini dapat dilakukan dengan standar baku yang ditetapkan oleh organisasi
ataupun dengan memberikan kebebasan pada masing-masing unit untuk
membuat criteria dalam menentukan peringkat. Teknisnya, alternatif keputusan
dari semua aktivitas program yang direncanakan di gabunganggakan dalam satu
table dan diurutkan berdasarkan prioritasnya. Setiap level anggaran dianggap
sebagai satuan yang berbeda.
Hal diatas tidak dilakukan oleh menetapkan suatu penetapan anggaran
belanja Sebagaimana yang dilakukan di Desa Menganti Kecamatan Menganti
Kabupaten Gresik didalam menetapkan suatu kebijakan anggaran APB Desa di
tahun tertentu. Berikut hal-hal yang dijadikan acuan dalam menetapkan suatu
anggaran belanja Desa pada tahun 2011 ( sumber laporan pertanggung jawaban
Kepala Desa Menganti, Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik terhadap Bupati
1. Penyusunan rancangan kebijakan.
a) Menghimpun semua usulan yang diajukan oleh BPD dan warga
masyarakat.
b)Mengadakan pertemuan dengan perangkat Desa untuk membahas dan
merumuskan semua usulan sesuai dengan skala prioritas.
2. Hasil rumusan diatas dibahas dengan BPD dan lembaga-lembaga yang ada
di Desa selanjutnya dituangkankan dalam bentuk keputusan Desa.
3. Selanjutnya keputusan Desa yang telah disetujui oleh BPD ditindaklanjuti
dengan keputusan Kepala Desa. Hal yang menyangkut keputusan Kepala
Desa yaitu pertanggungjawaban Kepala Desa, Sumber pendapatan dan
kekayaan desa, penggunaan dana alokasi desa (ADD), pungutan Desa, APB
Desa dan pembentukan panitia pelaksana bantuan angggaran daari
Pemerintah Kabupaten dan Provinsi.
2.2.4 Konsep Ak untabilitas
2.2.4.1 Penger tian Akuntabilitas
Menurut Mahsun (2005:09), akuntabilitas publik adalah pemberian
informasi atas aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Penekanan utama aktivitas publik adalah pemberian informasi
kepada publik dan konstituen lainnya yang menjadi pemangku kepentingan
(stakeholder). Akuntabilitas publik juga terkait dengan kewajiban untuk
menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah, sedang, dan
Menurut the Oxford Advance Leaner’s Dictionary yang dikutip oleh
Lembaga Administrasi Negara dalam Nasucha (2004:125), akuntabilitas adalah
sebagai suatu yang diperlukan atau yang diharapkan untuk memberikan
penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Sedangkan menurut Nisjar dan
Nasucha (2004:125), akuntabilitas sebagai kewajiban bagi aparatur pemerintah
untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan kebijakan yang
ditetapkannya. Pemikiran diatas sejalan dengan Tokyo Declaration of Guide’ines
on Public Akuntability dalam Nasucha (2004:126), akuntabilitas merupakan
kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan
untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang terkait dengannya untuk
dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal,
manajerial, dan program. Dalam bahasa yang sederhana Starling (1998:164)
dalam bukunya Wahyudi Kumorotomo (2005:5) mengatakan bahwa
akuntabilitas ialah ketersediaan untuk menjawab pertanyaan publik.
Menurut Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan dalam Modul I Akuntabilitas dan Good
Governance (2000:51), akuntabilitas merupakan perwujudab kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui
suatu media pertanggungan yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia
birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah merupakan perwujudan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Disampaikan oleh Denhart
bahwa pada umumnya literatur mengenai akuntabilitas di satu pihak
menyebutkan pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa tanggungjawab para
pejabat publik dan di lain pihak banyak yang menyebutkan pentingnya kontrol
struktural untuk menjamin pertanggungjawaban tersebut.
Menurut Badrul Munir perencanaan anggaran kinerja (2003:17), pada
bulan Mei 2001 para pejabat dari tingkat pusat dan daerah membahas penerapan
berbagai elemen good governance. Dengan tetap berpatokan pada tiga prinsip
pokok (partisipasi, transpaaransi dan akuntabilitas, mereka merekomendasikan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Partisiatif (Participation), mendorong semua warga negara untuk
menggunakan haknya mengemukakan pendapat dalam proses penyusunan
kebijakan, secara langsung aatau tidak langsung.
2. Penegakan hukum (Law enforcement), menjamin bahwa penegakan hukum
dan pengamanan hukum berlangsung secara adil dan tidak diskriminatif, serta
mendukung hak asasi manusia dengan mempertimbangkan tata nilai yang
berlaku di masyarakat.
3. Keterbukaan (transparency), dalam rangka membangun rasa saling percaya
antara pemerintah dan masyarakat, penyelenggaraan pemerintah harus
memberikan informasi yang memadai pada masyarakat dan mempermudah
akses masyarakat terhadap berbagai informasi yang dibutuhkan.
4. Responsif (Responsiveness), meningkatkan kecepatan penyelenggara
pemerintah dalam memberikan respon terhadap proses, permasalahan dan
5. Kesetaraan (Equity), memberikan kesempatan yang sama pada semua warga
negara tanpa pengecualian untuk meningkatkan kesejahteraannya.
6. Visi yang strategis (Strategic vision), memformulasikan strategi
pembangunan daerah ditunjang dengan sistem penganggaran yang memadai,
yang ada meningkatkan rasa memiliki dan rasa tanggungjawab seluruh
penduduk untuk meingkatkankemajuan daerah.
7. Efektifitas dan efisiensi (effectiveness and effisiency), memberi pelayanan
untuk memenuhi kebutuhan publik dengan memanfaatkan sumberdaya secara
optimal dan bertanggungjawab.
8. Profesionalisme (profesionalism), meningkatkan kemampuan, keterampilan
dan moral penyelenggara pemerintah sehingga memiliki rasa tanggungjawab
untuk memberikan layanan yang mudah didapat, cepat, teliti dan terjangkau.
9. Akuntabilitas (Accountability), memperkuat pertanggungjawaban para
pembuat keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi
kemasyarakatan pada publik di semua aspek (politik, keuangan dan
anggaran).
10.Pengawasan (supervision), menerapkan kontrol dan pengawasan yang lebih
ketat terhadap administrasi publik dan kegiatan pembangunan dengan cara
melibatkan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas
adalah kewajiban aparatur pemerintah dalam mempertanggungjawabkan
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungan yang
2.2.4.2 Akuntabilitas Kiner ja
Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai
bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa organisasi (atau
pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu).
Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahamisebagai kewajiban pihak
pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan menjadi tanggung
jawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memilika hak dan kewenangan
untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Makna akuntabilitas ini
merupakan konsep felosofis inti dalam menejemen sektor publik. Dalam konteks
organisasi pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan
tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek
pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi,
pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam
sebuah rantai komando finansial. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah,
para menejer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran
ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan
standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik.
Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini menyadarkan kita bahwa pejabat
pemerintah tidak hanya bertanggungjawab kepada otoritas yang lebih tinggi
dalam rantai komando institusional, tetapi jugabertanggungjawab kepada
kinerja sektor publik (2006:84), akuntabilitas publik terdiri atas dua macam,
yaitu :
1. Akuntabilitas vertikal
Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungajawaban atas pengelolaan dana
kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit
kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban daerah kepada
pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR.
2. Akuntabilitas horizontal
Akuntabilitas horizontal adalah pertanggungjawan aparatur kepada
masyarakat.
2.2.4.3 J enis Ak untabilitas
Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor
publik menurut Mahsun (2005:86). Akuntabilitas publik yang harus dilakukan
oleh organisasi sektor publik terdiri atas beberapa jenis. Sedangkan menurut
Saleh dan Iqbal dalam Mustopadidjaja (2003:52), mengklarifikasikan
akuntabilitas dalam : akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Dari sisi
internal seseorang, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut
kepada Tuhannya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah
pertanggungjawaban orang tersebut kepada lingkungannya, baik lingkungan
formal (dalam organisasi antara atasan dan bawahan) maupun lingkungan
masyarakat.
Menurut Mahsun Muhammad dalam pengukuran kinerja sektor publik
(2006:85), ruang lingkup akuntabilitas tidak hanya pada bidang keuangan saja,
1. Fiscal Accountability
Akuntabilitas yang dituntut masyarakat berkaitan pemanfaatan hasil
perolehan pajak dan retribusi
2. Legal Accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana Undang-Undang maupun
peraturan dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pemegang amanah.
3. Program Accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mencapai
program-program yang telah ditetapkan
4. Process Accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengolah dan
memberdayakan sumber-sumber potensi daerah secara ekonomi dan efisien
5. Outcome Accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana efektivitas hasil dapat
bermanfaat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat
Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor
publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor
publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal bukan
hanya vertikal. Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya dibuat laporan
keuangan eksternal yang dapat menggambarkan kinerja sektor publik.
Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh prganisasi sektor publik
menjelaskan terdapatt empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh
organisasi sektor publik, yaitu:
1. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for
Probity and Legality)
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan
jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang
disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan cukup
baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi
menejemen, dan prosedur administrasi. Akuntabilitas proses termanisfestasi
melalui pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif dan murah biaya.
3. Akuntabilitas Program
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan
alternatif program yang memberikan hasil yang optimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah,
baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.
Hal lain disampaikan oleh Samuel Paul dalam Kurniawan (2005:101)
1. Democratic Accountability
Menyangkut pertanggungjawaban pemerintah kepada pimpinan politik yang
telah memilih mereka. Akuntabilitas ini dilakukan secara berjenjang dari
pimpinan tingkat bawah sampai pimpinan tingkat atas.
2. Profesional Accountability
Menyangkut akuntabilitas para pakar, profesional dan teknokrat melaksanakan
tugas-tugasnya dengan dilandasi oleh norma-norma yang standart profesinya
yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat.
3. Legal Accountability
Menyangkut pelaksanaan ketentuan hukum di sesuaikan untuk kepentingan
public good dan public service yang dituntut oleh seluruh masyarakat.
Sedangkan dalam Mario D Yanggo dalam Kurniawan (2005:110-111) membagi
akuntabilitas menjadi empat bagian yaitu:
a. Regularity Accountability
Memfokuskan pada transaksi-transaksi fiska untuk mendapatkan informasi
mengenai kepatuhan pada peraturan.
b. Managerial Accountability
Menitik beratkan pada efisiensi dan kehematan penggunaan dana, harta
kekayaan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.
c. Program Accountability
Memfokuskan pada pencapaian hasil operasi pemerintah dan bukan sekedar
pada ketaatan pada peraturan yang berlaku.
d. Procces Accountability
Dengan demikian akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atau tindakan
seseorang/badan/hukun/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki
hak atau kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban atau keterangan
dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (Kurniawan, 2005,102):
(a) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk
melakukan pengelolahan misi dengan akuntabel.
(b)Merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber
daya secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(c) Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan.
(d)Harus beroorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat
yang diperoleh.
(e) Harus jujur, objektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan
menejemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan
tekhniknpengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.
2.2.5 Ker angka Berpikir
Kerangka berfikir merupakan bagian dari penelitian yang
menggambarkan alur peneliti dalam memberikan penjelasan kepada orang lain.
Dalam penelitian ini yang dimaksud akuntabilitas Kepala Desa terhadap APB
Desa. Dalam penelitian ini merupakan penelitian vertikal dan horizontal
(Mahsun, 2006:85). Secara operasional sesuai dengan Perda Gresik Nomor 12
Tahun 2006 tentang Pemerintah Desa.Untuk lebih jelasnya akan disajikan dalam
Gambar 2.1.Ker angka Ber pikir
Sumber:buku kinerja sektor publik (2006:84) dan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor
12 Tahun 2006 Pasal 1 dan 7.
Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005
Tentang Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Desa
Akuntabilitas Kepala Desa dalam pengelolaan APB Desa
Akuntabilitas vertikal
Akuntabilitas horizontal
Kepada Bupati melalui Camat
Kepada BPD dalam musyawarah BPD
Menginformasikan Kepada Masyarakat
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.J enis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
deskriptif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek
penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan
maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam
tentang akuntabilitas kepala desa terhadap APBDesa di desa Menganti
Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik dalam melaksanakann proses
akuntabilitas APBDes di Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten
Gresik. Secara teoritis, menurut Bagdan dan Taylor dalam Moleong (2004:4),
penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Prosedur penelitian ini diarahkan pada situasi dan individu secara utuh
sebagai obyek penelitian sebagaimana dinyatakan Moleong (2004:4) bahwa
pendekatan kualitatif diarahkan pada situasi dan invidu tersebut secara holistic
(utuh) dalam hal peneliti tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi
ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai suatu
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller mengungkapkan,
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia
baik dalam kawasannya maupun peristilahannya.
Sehingga dalam penelitian ini, penulis berusaha menggambarkan dan
ingin mengetahui akuntabilitas kepala desa terhadap dana APBDes di desa
Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik.
3.2.Lokasi Penelitian/Situs Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna
memperoleh data yang akurat. Agar memperoleh data yang akurat atau
mendekati kebenaran sesuai dengan fokus penelitian, maka penulis memilih
dan menetapkan lokasi penelitian ini di Desa Menganti Kecamatan Menganti
Kabupaten Gresik.
Pemilihan lokasi penelitian ini ditentukan secara “purposive”, yaitu
didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam Peraturan daerah kabupaten
Gresik Nomor 12 Tahun 2006, dijelaskan bahwa proses akuntabilitas kepala
desa harus memiliki tiga sasaran kajian yaitu kepada Bupati melalui Camat,
kepad BPD melalui musyawarah BPD dan kepada masyarakat. Hal ini juga
didukung oleh fenomena pada bab I. Pada fenomena tersebut kepala desa
hanya melakukan proses akuntabilitas kepada Bupati melalui Camat dan
masyarakat. Denga