BAB II
KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Seperti yang kita ketahui jual beli terdiri dari dua kata yaitu jual dan beli.
Jual berasal dari terjemahan Bahasa Arab “ “ sebagai masdar dari fiil madhi . yang berarti jual atau menjual.
1Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab yaitu yang diambil dari fiil madhi yang berarti beli atau membeli.
2Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, kata dan keduanya dianggap searti meskipun sebenarnya saling berlawanan, karena antara satu dengan yang lainnya saling mengartikan.
3Jual beli menurut bahasa (etimologi) mempunyai pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin dalam kitab Kifayah al-Ahyar, yaitu :
Artinya : “Memberikan sesuatu untuk ditukarkan dengan sesuatu yang lain”.
4Sedangkan Syekh Abi Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab, memberikan definisi :
1 Muhammad Yunus, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta : yayasan Penterjemah dan Penafsiran Al-Qur’an, 1973, hlm. 75
2 Ibid.
3 Al-Jamal, Fiqh Wanita, Semarang : CV. Asy-Syifa’, t.th., hlm. 490
4 Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Ahyar, Juz. I, Beirut : Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.th., hlm. 327
Artinya : “Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”.
5Adapun jual beli secara istilah (epistimologi) menurut ahli Fiqh, diantaranya adalah Syeh Abi Yahya Al Anshari yang mengemukakan bahwa jual beli adalah :
Artinya : “Tukar menukar harta dengan harta yang lain dengan cara yang tertentu”.
6Sedangkan Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani dalam kitabnya Subul al- Salam mendefinisikan :
Artinya : “Suatu pemilikan harta dengan harta yang lain dengan saling merelakan”.
7Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa jual beli adalah proses tukar menukar barang oleh seseorang (penjual) dengan seseorang yang lain (pembeli), yang dilakukan dengan cara-cara tertentu yang menyatakan kepemilikan untuk selamanya dan didasari atas saling merelakan.
B. Dasar Hukum Jual Beli
Adapun hukum disyariatkannya jual beli dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan Hadits, diantaranya adalah sebaga berikut :
5 Syekh Abi Yahya Zakaria Al-Anshari, Fath Al-Wahab, Juz. I, Beirut : Dar Al-Kutub, t.th., hlm.
157 6 Ibid.
7 Imam Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, Subul as-Salam, Juz. III, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 3
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(Q.S. Al-Baqarah : 275)
8Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”.
(Q.S. An-Nisa’ : 29)
9Ayat di atas menjelaskan bahwa hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Akan tetapi menurut as-Syatibi hukum jual beli dapat berubah menjadi wajib pada keadaan tertentu.
10Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa Allah membolehkan jual beli dengan cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, yaitu jual beli yang jauh dari tipu daya, unsur riba, paksaan, kebatilan serta didasarkan atas suka sama suka dan saling merelakan (ikhlas).
Sedangkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, diantaranya adalah :
8 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an, Bumi Restu, 1984, hlm. 69
9 Ibid., hlm. 122
10 Abdul Aziz Dahlan (et al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Artinya : Dari Rifa’ah bin Rofi’ sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda saat ditanya tentang usaha apakah yang paling baik ? Rasulullah menjawab : usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur). (HR.al-Hazar dan disahkan oleh al-Hakim)
11Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa usaha yang paling baik adalah usaha sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan setiap jual beli yang dilakukan dengan kejujuran tanpa ada kecurangan.
C. Syarat dan Rukun Jual Beli
Di dalam Islam telah ditetapkan syarat dan rukun jual beli, agar dapat dikatakan sah menurut hukum Islam apabila telah dipenuhi syarat dan rukun tersebut. Adapun syarat dan rukun dalam jual beli adalah :
1. Sighat Aqad
Aqad menurut bahasa adalah ikatan yang ada di antara ujung sesuatu barang, sedangkan menurut istilah para ahli fiqih ialah ijab qabul menurut cara yang disyari’atkan sehingga tampak akibatnya.
12Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa aqad adalah :
Artinya : “Rabath (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung lalu keduanya menjadi sepotong benda”.
1311 Muhammad Ismail al-Kahlani as-Shan’ani, op. cit., hlm. 4
12 Dr. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adilatuhu, Juz. IV, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th., hlm. 80-81
13 Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm. 21
Aqad jual beli dilakukan dengan menggunakan kata yang menunjukkan pemilikan dan memberi paham apa yang dimaksud. Jadi ijab qabul tidak harus dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang jelas saja, namun juga bisa dilakukan dengan menggunakan kata-kata tidak jelas (kinayah). Ijab qabul itu merupakan makna dan maksud yang diucapkan oleh penjual dan pembeli.
Karena setiap daerah berbeda adat dan bahasa maka dalam ijab qabul yang terpenting adalah menunjukkan ikatan jual beli yang baik.
Ungkapan lisan dalam ijab qabul tidak harus terpenuhi karena dapat dilakukan juga dengan jalan lain yaitu tulisan seperti surat dan tanda bukti.
Seperti tersebut dalam kaidah :
Artinya : “Tulisan itu adalah sama seperti pembicaraan”.
14Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam sighat aqad adalah
15: a. Satu sama lain berhubungan di satu tempat tanpa ada pemisah (satu majlis).
b. Ada kesepakatan dalam ijab qabul pada barang yang saling merelakan diantara kedua belah pihak.
c. Ungkapan harus menunjukkan masa lalu (madhi) atau masa sekarang (mudhari’).
14 Ibid, hlm.25
15
2. Aqid
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan aqad yaitu penjual dan pembeli. Agar jual beli menjadi sah maka aqid harus memenuhi syarat-syarat yaitu
16:
a. Baligh
Orang yang melakukan jual beli harus baligh. Maka dari itu tidak sah akad yang dilakukan anak kecil karena mereka tidak termasuk ahli tasharuf (ahli mengendalikan harta) dan dikhawatirkan terjadi penipuan.
17b. Berakal Sehat
Aqid harus dapat membelanjakan hartanya, tidak sah jual beli yang dilakukan orang gila karena tidak bisa menentukan transaksi jual beli yang bermanfaat.
c. Kehendak sendiri
Tidak dibenarkan salah satu pihak memaksa kehendaknya untuk melakukan tukar menukar hak miliknya dengan hak milik orang lain. Kalau paksaan itu terjadi maka jual beli tidak sah meskipun terjadi kesepakatan.
183. Ma’qud ‘alaih
Ma’qud ‘alaih adalah barang yang menjadi objek jual beli. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ma’qud ‘alaih adalah :
16 Drs. H. Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 60
17 Al Ustadz H. Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzab Syafi’I, Djakarta : Widjaya Djakarta, 1969, hlm. 8
18 Sadriman, SH, Hukum Islam, Bandung : CV. Mandar Maju, 1972, hlm. 142
a. Suci
Barang yang diperjualbelikan harus suci, maka jual beli barang yang najis adalah tidak sah seperti arak, anjing, dan tahi binatang.
19b. Dapat diserahterimakan
Barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahterimakan karena dikhawatirkan akan terjadi penipuan bila barang tersebut tidak dapat diserahterimakan. Dalam artian barang itu haruslah dapat diketahui dzat, sifat, bentuk dan kadarnya.
20c. Bermanfaat
Ma’qud ‘alaih harus bermanfaat menurut syara’, maka tidak sah memperjualbelikan suatu barang yang tidak ada manfaatnya. Misalnya menjual jangkrik, ular, semut atau binatang buas lainnya hanya untuk permainan, atau jual beli suatu barang untuk melanggar aturan-aturan syara’.
21d. Milik Sendiri
Tidak sah menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya atau menjual barang yang baru akan menjadi miliknya.
22Karena jual beli baru bisa dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
19 Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Juz. II, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 332
20 Abdul Rahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib al-Arba’ah, Juz. II, Beirut : Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, t.th., hlm. 160
21 Al-Ustadz H. Idris Ahmad, Op.cit, hlm. 10.
22
Rukun dan syarat-syarat jual beli di atas adalah menurut jumhur ulama. Berbeda halnya dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa rukun jual beli hanya ada satu yaitu ijab (ungkapan memberi dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah kerelaan kedua pihak. Namun karena kerelaan itu merupakan unsur hati yang tidak kelihatan, maka diperlukan indikator yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua pihak. Indikator-indikator tersebut bisa tergambar dalam ijab dan qabul atau melalui cara saling memberikan barang dan harga.
23D. Pendapat Ulama tentang Jual Beli Benda-benda Najis
Banyak para Fuqaha yang mengupas secara luas mengenai makanan yang halal dan haram baik untuk dimakan, dijualbelikan ataupun hanya diambil manfaatnya saja. Al-Qur’an dan al-Hadits adalah kitab pokok yang dijadikan dasar dalam setiap pandangan mereka. Namun seperti yang kita ketahui bahwa kedua nash tersebut hanya memuat secara global tentang suatu ketentuan hukum. Oleh karena itu para Fuqaha’ melakukan ijtihad tentang hal-hal yang hanya tersirat dalam nash tersebut. Seperti halnya benda yang najis yang diperjualbelikan. Apakah keharaman suatu benda untuk dimakan juga dapat berimbas pada keharaman untuk diperjualbelikannya benda tersebut. Sedangkan keharaman benda untuk dimakan dapat dilihat pula dari “menjijikan” atau tidak. Kita mengetahui bahwa menjijikkan
23 Abdul Aziz Dahlan, loc. cit.
itu bersifat sangat relatif. Menjijikkan bagi seseorang bukan berarti menjijikkan pula bagi orang lain.
Pada dasarnya banyak Fuqaha’ yang tidak membolehkan jual beli benda- benda najis, namun tidak sedikit pula pendapat yang memperbolehkannya.
Adapun yang memperbolehkan, diantaranya adalah golongan Hanafiyah.
Dalam Kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abdurahhman al-Jazairi menyebutkan bahwa jual beli barang najis diperbolehkan seperti halnya hewan liar dan berbahaya. Karena setiap sesuatu yang bisa diambil manfaatnya maka berhukum halal menurut syara’ dan bila menjualnyapun diperbolehkan.
24Dr. Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adilatuhu juga mengatakan bahwa jual beli benda najis diperbolehkan dengan alasan yang sama. Hal tersebut dengan dasar Allah menciptakan segala sesuatu di bumi untuk memberi manfaat pada manusia.
25Adapun pendapat yang tidak memperbolehkan jual beli barang najis adalah dari golongan selain Hanafiyah yaitu Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliyah.
Ketiganya menyatakan bahwa benda yang diperjualbelikan harus suci karena sesungguhnya penjualan yang diperbolehkan harus disertai dengan kesucian. Maka setiap sesuatu yang suci, syara’pun memperbolehkan untuk menjualnya. Adapun barang najis atau yang terkena najis maka dihukumi batal untuk menjualnya (tidak sah), seperti anjing.
2624 Abdul Rahman al-Jaziri, op. cit., hlm. 209
25 Dr. Wahbah Az-Zuhaily, loc. cit., hlm. 181-182
26
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa benda najis itu termasuk dalam benda yang tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan.
27Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah juga menjelaskan tentang hal ini. Dapat disimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa barang yang najis tidak boleh dijualbelikan tetapi diperbolehkan diambil manfaatnya dengan tanpa adanya transaksi-transaksi jual beli. Contohnya adalah kotoran hewan, seseorang boleh memberikannya kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan imbalan (uang) sebagai biaya pemeliharaan atau pencarian barang.
28Pada dasarnya boleh tidaknya jual beli terhadap suatu benda tergantung pada sifat-sifatnya. Apabila benda tersebut dianggap baik dan wajar maka diperbolehkan untuk menjualnya. Ahmad Mustafa al-Maraghi mengemukakan bahwa : “Dihalalkan bagi mereka yang baik dan diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan. Yang dimaksud dengan menghalalkan yang baik-baik adalah semua makanan yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar dan mengandung gizi yang bermanfaat dan beliau mengharamkan segala yang dianggap kotor oleh perasaan manusia”.
2927 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. III, Semarang : Asy-Syifa’, 1990, hlm. 4-5
28 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 130
29 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz VII, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 82-83