• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Determinan Kejadian Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang Kota Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor Determinan Kejadian Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang Kota Malang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor Determinan Kejadian Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas

Kecamatan Kedungkandang Kota Malang

Tugas Akhir

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana keperawatan

Disusun Oleh:

Ferdiana Permata Sari 462016068

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA 2021

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Pendahuluan

Masalah kematian bayi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari para pemangku kebijakan (Kemenppa RI, 2018). Angka kematian bayi menjadi salah satu tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan termasuk derajat kesehatan suatu negara serta kualitas hidup (Kemenkes RI, 2017). Angka kematian bayi menunjukkan tingkat permasalahan kesehatan masyarakat, seperti faktor penyebab kematian bayi, kualitas pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan pelaksanaan program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB), keadaan lingkungan serta status sosial ekonomi (Kusumawardani & Handayani, 2018).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara yang menduduki peringkat empat tertinggi di tahun 2015 dengan angka kematian bayi 23 per 1.000 kelahiran hidup, setelah Kamboja (25 per 1.000 kelahiran hidup) (Danzhen You, Lucia Hug, Simon Ejdemyr, Jan Beise, 2015). Pada tahun 2015 angka kematian bayi di Indonesia mengalami penurunan dari 33.278 kasus menjadi 32.007 kasus pada tahun 2016. Sementara hingga pertengahan tahun 2017 tercatat sebanyak 10.294 kasus kematian bayi. Meskipun telah terjadi penurunan kematian bayi yang bermakna, kematian bayi baru lahir masih tergolong tinggi (Sujianti, 2017). Target penurunan angka kematian bayi yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2018 sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2017).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015, penyebab utama kematian neonatal pada tahun 2015 adalah komplikasi kelahiran BBLR 16%, komplikasi terkait intrapartum 11%, sepsis 7%, anomaly congenital 5%, pneumonia 3%, dan lain tetanus 1% (Handayani, Ikrawati, & Fitriani, 2019). Adapun definisi BBLR atau syarat dikatakan BBLR pada bayi adalah berat bayi ≤ 2500 gram (Hartiningrum & Fitriyah, 2019). Menurut Shrestha M. dkk (2016), berat lahir bayi merupakan berat pertama bayi yang diperoleh setelah bayi lahir dan ditimbang saat awal kehidupan, sebelum terjadi penurunan yang signifikan pada berat badan bayi pasca melahirkan (M & , Gupta SK , Sarmah BK, 2016). Hal ini penting untuk menentukan status kesehatan bayi dalam kondisi rentan atau tidak (Lake & Olana Fite, 2019).

(7)

Bayi yang lahir dengan BBLR cenderung rentan mengalami berbagai penyakit dan dikaitkan dengan serangkaian konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Bayi dengan BBLR berisiko kematian dan kecacatan yang lebih besar, gangguan pertumbuhan dan mengalami penurunan dalam perkembangan fungsi kognitif, bahasa dan motorik (Lake & Olana Fite, 2019). Selain itu, bayi yang memiliki riwayat BBLR sebelumnya juga berisiko lebih tinggi mengalami penyakit, seperti penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus pada saat usia dewasa (Hussain, Ahmed, Tarar, & Tasleem, 2018).

Beberapa faktor yang memengaruhi kejadian BBLR, antara lain faktor maternal, janin dan plasenta. Faktor maternal dibagi menjadi dua yaitu karakteristik ibu dan perilaku ibu. Karakteristik ibu yang memengaruhi kejadian BBLR, meliputi usia ibu saat hamil (< 20 tahun atau > 35 tahun), usia kehamilan ibu, jarak kelahiran, parietas, riwayat BBLR sebelumnya, kondisi sosial ekonomi, kenaikan berat badan ibu, keluhan dan kesehatan ibu. Pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian BBLR, meliputi frekuensi pemeriksaan kehamilan, konsumsi tablet Fe, jenis pekerjaan, frekuensi berdekatan dengan perokok atau kebiasaan merokok (Rahayu & Zain, 2012). Selain itu, faktor janin meliputi gawat janin, kehamilan kembar dan kehamilan dengan hidramnion, sedangkan dari faktor plasenta sendiri yaitu plasenta previa dan abrusio plasenta (Jumhati & Novianti, 2018).

Secara global, lebih dari 20 juta kelahiran yang tercatat di dunia, 15,5%

diantaranya mengalami BBLR dan sebanyak 95,6% dari semua bayi dengan BBLR, lahir di negara-negara berkembang (Singh, Ueranantasun, & Kuning, 2018). Hal ini disebabkan karena kejadian BBLR memiliki hubungan yang erat dengan angka kematian, kesakitan, dan kejadian gizi buruk pada bayi (Rosha, Putri, & Amaliah, 2012). Prevalensi kejadian BBLR di Asia Selatan menduduki peringkat tertinggi di dunia yaitu 26,4%, sedangkan di Afrika 13,4%, di Asia Tenggara 12,3%, dan 5,1%

di Asia Timur (WHO, 2019). Berat badan lahir rendah di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia sudah berada dibawah angka kejadian BBLR Asia Tenggara yaitu 10% (WHO, 2019). Namun angka tersebut masih tergolong tinggi dari target BBLR yang ditetapkan oleh sasaran Program Perbaikan Gizi Menuju Indonesia Sehat yakni 7% (Hafid, Badu, & Laha, 2018).

Hasil Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi kejadian BBLR di Indonesia paling tinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah (8,9%) dan terendah di Jambi (2.6%), sedangkan Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat sebelas tertinggi

(8)

setelah Sumatera Selatan dengan angka kejadian BBLR sekitar 6,6 % (Kesehatan, Penelitian, & Kesehatan, 2018). Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012, persentase BBLR di Jawa Timur cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2012 sampai tahun 2017 meskipun tidak terlalu signifikan. Kematian neonatal di Provinsi Jawa Timur yang disebabkan oleh BBLR merupakan penyebab tertinggi dibandingkan penyebab lainnya yaitu mencapai sebesar 38,03% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur, 2012).

Provinsi Jawa Timur terdiri dari 9 kota, salah satu diantaranya memiliki prevalensi tertinggi kedua kejadian BBLR, yaitu Kota Malang (Dinas Kesehatan Propinsi JawaTimur, 2017). Menurut data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kota Malang Tahun 2017, menunjukkan kejadian BBLR sebanyak 564 kasus dari jumlah lahir hidup 12.098, sedangkan pada tahun 2018 terjadi penurunan sebanyak 541 kasus BBLR dari jumlah lahir hidup 12.008 (Dinkes, 2018). Kejadian BBLR tertinggi di Kota Malang dalam kurun waktu 3 tahun yaitu dari tahun 2015-2018, terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang dan terendah di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Klojen, yaitu masing-masing sebanyak 366 kasus dan 290 kasus BBLR (Dinkes, 2018).

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan faktor determinan kejadian bayi dengan BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang Kota Malang.

Metode

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan jenis penelitian Study Cross Sectional yang menggunakan pendekatan retrospektif. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2020 dengan populasi ibu dengan bayi BBLR yang lahir pada tahun 2018-2020 di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang Kota Malang, meliputi Puskesmas Gribig, Puskesmas Kedungkandang dan Puskesmas Arjowinangun.

Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah teknik purposive sampling, dengan target sampel 90 responden. Peneliti mendapatkan 249 calon responden, sedangkan kriteria inklusinya yaitu ibu memiliki buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), jarak tempat tinggal responden berada dalam wilayah cakupan Puskesmas Kecamatan Kedungkandang dan telah tercatat di tempat tersebut, sehingga dapat dicari alamatnya untuk diberikan kuesioner terkait karateristik ibu dan perilaku ibu,

(9)

serta bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent.

Setelah itu, menentukan responden penelitian secara acak menggunakan teknik simple random sampling. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak semua ibu yang memiliki bayi dengan BBLR dapat dijadikan responden penelitian. Oleh karena itu hanya didapatkan 40 responden.

Pengumpulan data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer menggunakan kuesioner yang akan diuji validitasnya di wilayah kerja Puskesmas Arjuno. Kuesioner berisi pertanyaan, meliputi usia ibu saat hamil (<20 tahun atau >35 tahun), usia kehamilan ibu, jarak kelahiran, paritas, kondisi sosial ekonomi, kenaikan berat badan ibu, keluhan dan kesehatan ibu, frekuensi pemeriksaan kehamilan, konsumsi tablet Fe, jenis pekerjaan, frekuensi berdekatan dengan perokok atau kebiasaan merokok, sedangkan data sekunder diperoleh dari data kohort ibu dan kohort bayi, serta buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) yang mencantumkan identitas ibu, identitas bayi, perawatan antenatal, catatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Selanjutnya, dari data yang diperoleh akan dikategorikan kemudian dideskripsikan faktor determinan kejadian bayi BBLR.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Kecamatan Kedungkandang

Kecamatan Kedungkandang terletak di bagian timur wilayah Kota Malang.

Secara administratif, Kecamatan Kedungkandang di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Di sebelah barat, kecamatan

(10)

ini berbatasan langsung Kecamatan Klojen dan Kecamatan Sukun Kota Malang.

Sementara itu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Lalu, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tumpang dan Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.

Letak lokasi penelitian kejadian bayi BBLR ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang yang mencakup tiga Puskesmas yaitu Puskesmas Gribig, Puskesmas Kedungkandang dan Puskesmas Arjowinangun. Akses jalan menuju ke puskesmas dapat dijangkau menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal.

Setelah dilakukan penelitian terhadap 40 responden diperoleh hasil karakteristik umum berdasarkan usia ibu saat hamil dengan persentase tertinggi pada usia tidak berisiko (20-35 tahun) yakni 31 responden (77,5%) dan terendah pada usia ibu berisiko (>35 tahun) sebanyak 9 responden (22,5%). Karakteristik umum responden berdasarkan pendidikan ibu diperoleh persentase tertinggi pada jenjang pendidikan SMA sebanyak 16 responden (40%) dan persentase terendah pada jenjang pendidikan perguruan tinggi sebnayak 4 responden (10%). Kemudian, karakteristik umum responden berdasarkan pekerjaan ibu didapatkan hasil dengan persentase tertinggi pada ibu yang tidak bekerja/ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 32 responden (80%) dan persentase terendah pada ibu yang bekerja (wiraswasta dan karyawan swasta) yakni 8 responden (20%). Selanjutnya, karakteristik umum responden berdasarkan jumlah penghasilan keluarga diperoleh persentase tertinggi dengan jumlah penghasilan berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1.500.000 yaitu 22 responden (55%) dan persentase terendah pada penghasilan kurang dari Rp 500.000 sebanyak 5 responden (12,5%). Adapun hasil dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut.

(11)

Tabel 1. Karakteristik umum responden berdasarkan usia ibu saat hamil, pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan penghasilan keluarga

Keterangan Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia ibu saat hamil

Berisiko (>35 tahun) 9 22,5

Tidak berisiko (20-35 tahun) 31 77,5

Pendidikan ibu

SD 11 27,5

SMP 9 22,5

SMA 16 40

Perguruan Tinggi 4 10

Pekerjaan ibu

Bekerja (Wiraswasta, Karyawan Swasta) 8 20

Tidak Bekerja (IRT) 32 80

Penghasilan keluarga

< Rp 500.000 5 12,5

Rp 500.000-Rp1.500.000 22 55

Rp 1.500.000-Rp 2.500.000 13 32,5

> Rp 2.500.000 0 0

Hampir seluruh responden mengalami kehamilan pada kategori usia tidak berisiko atau produktif yaitu 20-35 tahun sebanyak 31 responden (77,5%). Usia produktif merupakan usia yang ideal dan sehat bagi ibu untuk hamil dan melahirkan karena pada usia ini organ sistem reproduksi bekerja secara optimal sehingga frekuensi responden yang siap untuk menerima kehamilan dan persalinan lebih banyak pada kategori usia tersebut. Namun menurut hasil penelitian masih banyak responden di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang yang melahirkan bayi dengan BBLR. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena faktor pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penghasilan keluarga dan paritas yang memengaruhi asupan gizi sehingga tidak terpenuhi secara adekuat untuk proses pertumbuhan janin. Tidak menutup kemungkinan kebutuhan asupan gizi yang belum tercukupi secara maksimal disebabkan oleh adanya hambatan pada proses penyaluran gizi dari ibu ke janin yang menimbulkan ibu berisiko melahirkan bayi dengan berat badan kurang. Oleh sebab itu, perubahan fungsi hormon dalam organ reproduksi ibu perlu diwaspadai dan dipantau dengan benar karena akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia ibu (R. Sandra Surya, 2016). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Tuti Meihartati (2016) yang meyatakan bahwa kejadian BBLR mayoritas terjadi pada umur ibu tidak berisiko (64,9%). Kejadian tersebut mungkin terjadi karena adanya faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian BBLR seperti penyakit menahun

(12)

(jantung), komplikasi saat persalinan seperti pre-eklampsia, faktor janin seperti cacat bawaan dan gizi yang kurang saat hamil (Meihartati, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1, diperoleh data bahwa mayoritas responden di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang berpendidikan SMA sebanyak 16 responden (40%) dan sebagian kecil masih terdapat responden yang berpendidikan SD (27,5%). Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan berpikir secara rasional dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dengan lebih baik (Hafid et al., 2018).

Seorang ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih terbuka dalam menerima informasi terkait kesehatan dan mampu menentukan maupun menilai bahwa pelayanan kesehatan dapat membantu seseorang dalam mengurangi risiko gangguan kehamilan dini (Permana & Wijaya, 2019), sedangkan ibu yang berpendidikan rendah sulit untuk menerima inovasi dan sebagian besar kurang mengetahui pentingnya perawatan prahamil serta memiliki keterbatasan mengonsumsi makanan yang bergizi (R. Sandra Surya, 2016). Menurut peneliti, masih ada sebagian responden yang belum mampu menerima informasi terkait kesehatan, mereka juga mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat juga pada umumnya masih cenderung meniru kebiasaan keluarga dan mengikuti saran dari anggota keluarga yang dituakan yang melakukan pantang makanan saat kehamilan sehingga asupan gizi kurang (Hartiningrum & Fitriyah, 2019). Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh Hidayatush dan Sri (2016) bahwa latar belakang pendidikan ibu bukan faktor risiko kejadian BBLR (Sholiha & Sumarmi, 2016).

Pengetahuan ibu tidak hanya ditentukan oleh latar belakang pendidikan akademik akhir saja, melainkan di zaman yang maju ini ibu dapat lebih mudah mengakses dan mendapat informasi melalui internet serta melalui peran bidan yang turun langsung dalam memberikan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) pada ibu hamil selama kunjungan antenatal (Sholiha & Sumarmi, 2016).

Berdasarkan tabel 1, diperoleh data bahwa responden yang melahirkan bayi BBLR di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang paling banyak merupakan ibu tidak bekerja sebanyak 32 responden (80%). Hasil ini menunjukkan bahwa responden yang tidak bekerja merupakan ibu rumah tangga (IRT), yang artinya penghasilan utama bergantung sepenuhnya pada suami dan mayoritas pendapatan keluarga tergolong rendah yaitu berkisar antara Rp 500.000-Rp 1.500.000. Penghasilan keluarga yang tergolong rendah mengakibatkan sang ibu

(13)

kurang mampu mencukupi asupan gizi yang dibutuhkan oleh janinnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kejadian bayi dengan BBLR yang mayoritas terjadi pada ibu tidak bekerja (IRT) kemungkinan disebabkan oleh faktor penghasilan keluarga yang rendah.

Tabel 1, menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki jumlah penghasilan keluarga berkisar antara 500.000-1.500.000 sebanyak 22 reponden (55%). Hal ini menunjukkan bahwa responden di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang memiliki pendapatan yang tergolong rendah yaitu Rp 500.000-Rp 1.500.000 karena hanya suaminya yang bekerja. Besarnya penghasilan memengaruhi kualitas kesehatan dan gizi ibu selama hamil. Selain itu, keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung tinggal di lingkungan dan fasilitas rumah yang kurang memadai sehingga memengaruhi kesehatan ibu dan keluarga (Fajriana

& Buanasita, 2018). Namun berbeda dengan hasil penelitian Paska (2006) yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan keluarga tidak berhubungan dengan kejadian BBLR karena faktor lain yang tidak diketahui seperti pengalokasian penghasilan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan terutama pemenuhan kebutuhan zat gizi ibu saat hamil (Sholiha & Sumarmi, 2016).

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan usia kehamilan saat lahir, jarak kehamilan, paritas, kenaikan berat badan ibu dan ukuran LILA

Keterangan Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia kehamilan saat lahir

Preterm (< 37 minggu) 25 62,5

Aterm (37-42 minggu) 15 37,5

Jarak kehamilan

Berisiko (<2 tahun dan anak pertama) 15 37,5

Tidak berisiko (≥2 tahun) 25 62,5

Paritas

Primipara 12 30

Multipara 28 70

Kenaikan berat badan ibu selama hamil

Kurang (<12 kg) 6 15

Normal (12-15 kg) 28 70

Lebih (>15 kg) 6 15

Ukuran Lingkar Lengan ibu (LILA)

Berisiko (<23,5 cm) 7 17,5

Tidak Berisiko (≥23,5 cm) 33 82,5

(14)

Dilihat dari data pada tabel 2, dapat diketahui bahwa persentase tertinggi usia kehamilan saat lahir yaitu pada usia kehamilan preterm (<37 minggu) sebanyak 25 responden 62,5%. Usia kehamilan saat lahir yang kurang bulan (<37 minggu) atau biasa disebut dengan prematur berisiko tinggi melahirkan bayi BBLR karena berat bayi saat lahir belum mencapai berat badan yang optimal. Kelahiran prematur atau preterm berdampak pada pertumbuhan organ tubuh janin yang belum maksimal, sehingga memengaruhi berat badan bayi ketika lahir. Berat badan bayi dipengaruhi oleh adanya faktor gizi yang belum terpenuhi baik sebelum kehamilan maupun selama kehamilan dan riwayat penyakit yang pernah diderita ibu saat hamil. Tekanan fisik dan psikis yang dialami oleh sang ibu baik dari lingkungan internal maupun ekternal juga memicu peningkatan hormon kortisol dan mendorong pengeluaran prostaglandin sehingga rahim berkontraksi sebelum waktunya. Kondisi ini berpotensi untuk melahirkan prematur yang akan meningkatkan kemungkinan bayi lahir dengan berat badan rendah (Jumhati & Novianti, 2018).

Paling banyak responden yang melahirkan bayi BBLR terjadi pada kelompok jarak kehamilan tidak berisiko (≥2 tahun) sebesar 62,5%. Jarak kelahiran yang ideal jika ibu ingin melahirkan anak selanjutnya adalah lebih dari 2 tahun karena tubuh membutuhkan waktu yang cukup untuk memperbaiki persediaan dan organ-organ reproduksi sehingga siap mengandung lagi. Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan janin (Setiati & Rahayu, 2017).

Namun menurut hasil penelitian, masih banyak responden pada kategori jarak kehamilan lebih dari 2 tahun yang melahirkan bayi BBLR dimana kemungkinan terjadi karena faktor sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan ibu dan penghasilan keluarga), obstetrik (usia kehamilan saat lahir dan paritas ibu), dan paparan asap rokok. Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Padma dan Gede (2019) yang menunjukkan bahwa paling banyak faktor risiko kejadian BBLR di UPT Kesmas Gianyar 1 Tahun 2016-2017 disebabkan oleh jarak kehamilan yang tidak berisiko (≥2 tahun) yaitu sebanyak 51% pada kelompok kasus (Permana

& Wijaya, 2019).

Dilihat dari tabel 1, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mengalami paritas dalam kategori multipara (70%). Kejadian BBLR yang masih tinggi pada kelompok multipara disebabkan karena organ reproduksi ibu yang mengalami penipisan akibat sering melahirkan. Semakin sering ibu melahirkan, akan menyebabkan kualitas endometrium semakin menurun. Kehamilan yang berulang

(15)

kali akan memengaruhi proses penyaluran gizi ke janin dimana jumlah gizi akan berkurang dibandingkan dengan kehamilan yang sebelumnya (Sujianti, 2017). Selain itu paritas yang tinggi juga dapat disebabkan oleh faktor sosial budaya dimana pasangan suami istri masih memiliki pemahaman melekat tentang larangan program KB. Hal ini karena mereka masih beranggapan bahwa “banyak anak, banyak rezeki”

sehingga banyak ibu yang melahirkan hingga 4 kali di usia yang tidak lagi muda dan kejadian ini sangat beresiko menyebabkan bayi lahir prematur, BBLR, bahkan kematian janin karena kurangnya edukasi pada setiap keluarga (Setiati & Rahayu, 2017). Penelitian ini didukung oleh penelitian Siti dan Dian (2018) yang menggambarkan bahwa tingginya angka kejadian BBLR pada kelompok multipara disebabkan oleh faktor morbiditas ibu karena ibu yang melahirkan pada kelompok multipara dan grandemultipara akan mengalami gangguan kesehatan, kurang gizi dan anemia (Jumhati & Novianti, 2018).

Sebagian besar bayi dengan BBLR lahir dari ibu yang mengalami kenaikan berat badan pada rentang 12-15 kg (70%). Menurut Mansjoer (2010), berat badan ibu bertambah 6,5-16 kg selama kehamilan. Idealnya kenaikan normal selama 9 bulan kehamilan antara 12-15 kg jika saat mulai kehamilan, ibu berbobot antara 45-65 kg.

Sementara bagi kelompok ibu yang berat badannya saat mulai hamil dibawah 45 kg atau sangat kurus maka pertambahan berat badan yang dianjurkan antara 12,5-18 kg.

Bagi kelompok ibu dengan berat badan saat mulai hamil lebih dari 65 kg, kenaikan yang dianjurkan hanya antara 7-11,5 kg (Astriana, 2019). Peneliti melakukan perhitungan kenaikan berat badan ibu didasarkan pada berat badan ibu sebelum hamil dan berat badan saat hamil, sehingga didapatkan hasil kenaikan berat badan ibu pada rentang 10-16 kg. Kenaikan berat badan ibu selama kehamilan harus sesuai dengan tumbuh kembang janin di dalam rahim ibu karena kenaikan berat badan ibu selama hamil sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin. Kenaikan berat badan dapat diindikasikan untuk menilai status gizi ibu (T. Yeti and U. Tri, 2017). Status gizi ibu yang normal dapat dilihat dari penambahan berat badan selama hamil yang sesuai dengan standar penambahan berat badan menurut indeks massa tubuh ibu sebelum hamil (Yulianti & Hargiono, 2016). Namun hasil penelitian ini tidak akurat dan masih terdapat kekurangan yaitu peneliti tidak mencatat tinggi badan ibu yang tertera di buku KIA ibu yang mengakibatkan peneliti tidak bisa menghitung IMT ibu sebelum hamil. Hal ini menyebabkan peneliti tidak dapat menilai apakah kenaikan berat badan ibu selama hamil sesuai dengan kategori kenaikan berat badan ibu yang

(16)

dianjurkan menurut IMT ibu sebelum hamil. Oleh sebab itu, pada penelitian ini digunakan berat badan prahamil dan saat hamil untuk memperkirakan risiko bayi BBLR.

Hampir semua responden mempunyai lingkar lengan atas (LILA) pada kategori tidak berisiko (≥23,5 cm) sebanyak 33 responden (82,5%). Lingkar lengan atas (LILA) merupakan salah satu indikator status gizi ibu hamil yang menggambarkan jumlah simpanan protein dalam tubuh. Ukuran LILA 23-33 cm mengindikasikan bahwa status gizi ibu normal (Fitri et al., 2014). Melalui data penelitian ini menunjukkan bahwa responden di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang yang melahirkan bayi BBLR paling banyak memiliki ukuran LILA dalam batas normal atau tidak berisiko kekurangan energi kronis (KEK). Kejadian ini kemungkinan disebabkan karena pola makan yang dikonsumsi ibu belum memenuhi gizi seimbang dan ibu tidak menerapkan pola diet sehat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang tidak mendukung selama kehamilan dan terbatasnya pengetahuan ibu dalam memilah makanan yang bergizi dan tidak bergizi, Pada dasarnya, LILA pada ibu mengindikasikan keadaan konsumsi makanan terutama energi dan protein dalam jangka panjang. Jika asupan gizi ibu belum terpenuhi maka dapat berdampak pada janin dalam kandungan, sehingga dibutuhkan penanganan dan perhatian dalam pemenuhan gizi ibu (Haryanto, Pradigdo, &

Rahfiluddin, 2017).

Tabel 3. Karakteristik bayi berdasarkan jenis kelamin, berat badan bayi dan urutan kelahiran

Keterangan Frekuensi (n) Persentase (%)

Jenis kelamin bayi

Laki-laki 18 45

Perempuan 22 55

Berat badan lahir bayi (gram)

BBLSR (< 1500) 1 2,5

BBLR (1500-2499) 39 97,5

Urutan kehamilan

1 13 32,5

2 13 32,5

3 11 27,5

>3 3 7,5

Berdasarkan tabel 3, diperoleh data kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang paling banyak terjadi pada bayi yang

(17)

berjenis kelamin perempuan sebesar 55%. Data penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Setyo dan Astridya (2015) yang menyatakan bahwa bayi lahir dengan jenis kelamin perempuan mempunyai risiko terjadi BBLR 1,41 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang berjenis kelamin laki-laki. Keadaan ini terjadi karena secara alami untuk masa kehamilan ibu yang sama, berat bayi perempuan lebih kecil dari berat bayi laki-laki sehingga berisiko lebih besar terjadi BBLR. Oleh karena itu, kebutuhan gizi selama masa kehamilan tetap perlu diperhatikan untuk meminimalisir kejadian BBLR (Pramono & Paramita, 2015).

Dilihat pada tabel 3, diketahui bahwa paling banyak berat badan lahir bayi terjadi pada rentang 1500-2499 gram sebanyak 39 responden (97,5%). Berat badan merupakan indikator penting untuk mengetahui kesehatan bayi terlebih status gizi pada bayi, faktor utama bagi kelangsungan hidup dan faktor tumbuh kembang dan mental bayi di masa yang akan datang (Syakbania & Wahyuningsih, 2018). Bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian mortalitas dan morbitas akibat penyakit infeksi, underweight, stunting, atau sangat kurus pada masa anak-anak. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang mempunyai risiko 4 kali untuk mengalami kematian neonatal daripada bayi yang lahir dengan berat badan normal (Karima & Achadi, 2012). Data penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak ibu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang yang melahirkan bayi dengan berat badan rendah, kemungkinan hal ini disebabkan oleh faktor pendidikan ibu, yang tidak sedikit ibu berpendidikan SD yang mungkin belum cukup memiliki pengetahuan tentang pentingnya memenuhi asupan gizi janinnya. Penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lulu Latifah, dkk (2017) yang menyatakan bahwa angka kejadian bayi BBLR di Rumah Sakit Umum Daerah Soreang pada periode Januari-Desember 2015 terbanyak pada rentang 1501-2500 gram sebanyak 91,9% (Latifah, Nirmala, & Astuti, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian BBLR terjadi pada responden yang melahirkan anak pertama dan anak kedua, masing-masing sebanyak 32,5%. Urutan kehamilan dapat memengaruhi keadaan bayi yang akan dilahirkan. Mayoritas bayi yang lahir urutan pertama memiliki berat yang lebih rendah daripada bayi yang lahir selanjutnya, pada keluarga yang sama. Hal ini terjadi karena pengaruh kondisi kesehatan ibu. Bila ibu pertama kali hamil, maka akan memengaruhi kondisi kejiwaan serta janin yang dikandungnya (Syakbania & Wahyuningsih, 2018). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa

(18)

kemungkinan sebagian besar ibu kurang mampu menjaga kesehatan dan asupan gizi ibu serta janinnya selama kehamilan sehingga dapat menyebabkan janin tidak tumbuh dengan baik dan mempunyai berat lahir rendah. Hal ini karena faktor sosial ekonomi, usia kehamilan saat lahir (<37 minggu) dan paparan asap rokok.

Tabel 4. Karakteristik responden berdasarkan paparan asap rokok

Keterangan Frekuensi (n) Persentase (%)

Anggota keluarga yang merokok

Tidak ada 8 20

1 orang 21 52,5

2 orang 9 22,5

>2 orang 2 5

Total 40 100

Didapatkan informasi pada tabel 4 bahwa mayoritas responden tinggal satu rumah dengan seorang anggota keluarga yang merokok sebanyak 52,5%. Data tersebut menunjukkan jika responden yang tinggal satu rumah dengan anggota keluarga yang merokok akan lebih rentan melahirkan bayi BBLR. Kondisi ini disebabkan karena asap rokok ataupun kandungan racun dalam rokok mengganggu aliran darah yang sangat penting sebagai sumber gizi bagi bayi. Asap rokok yang dihirup oleh ibu hamil dapat merusak jaringan otak dan paru-paru pada fase perkembangan bayi yang belum lahir. Nikotin yang masuk ke tubuh ibu hamil akan memengaruhi jumlah dan kualitas oksigen yang diterima janin. Nikotin memiliki efek mempersempit pembuluh darah plasenta sehingga menyebabkan bayi kekurangan oksigen untuk tumbuh dan membatasi jumlah gizi yang dibutuhkan janin (Rahayu & Zain, 2012). Hal tersebut dapat mengakibatkan prevalensi bayi dengan BBLR menjadi meningkat (N. Umi, Z. Muthmainnah, 2016). Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Reza dan Puspitasari (2014) yang menyatakan bahwa ibu yang terpapar asap rokok memiliki berat lahir bayi yang lebih rendah dibandingkan ibu yang tidak terpapar asap rokok karena rokok mengandung bahan kimia berbahaya seperti nikotin, kotinin dan karbonmonoksida yang apabila dihirup oleh orang lain juga bisa menyebabkan gangguan kesehatan (Fajriana & Buanasita, 2018).

(19)

Tabel 5. Karakteristik responden berdasarkan perilaku ibu dalam antenatal care (ANC)

Keterangan Frekuensi (n) Persentase (%)

Kunjungan antenatal pertama

Trimester I 25 62,5

Trimester II 15 37,5

Trimester III 0 0

Jumlah kunjungan

Tidak Lengkap (< 4 kali) 10 25

Lengkap (≥ 4 kali) 30 75

Tenaga kesehatan yang dikunjungi saat ANC

Bidan 28 70

Dokter 12 30

Hasil penelitian pada tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden melakukan kunjungan antenatal pertama pada trimester I sebanyak 25 responden (62,5%). Hasil penelitian ini mengindikasikan ibu memiliki pemahaman mengenai pentingnya kunjungan ANC di awal kehamilan untuk mengenali ada tidaknya komplikasi yang mungkin terjadi selama kehamilan sebagai upaya pencegahan dini.

Namun kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang masih banyak terjadi pada ibu yang melakukan kunjungan antenatal pertama di awal kehamilannya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor paritas ibu dalam kategori multipara dan urutan kehamilan anak pertama yang memengaruhi kondisi kesehatan ibu dan kurangnya asupan gizi bagi ibu serta janinnya.

Pada tabel 4 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden melakukan jumlah kunjungan perawatan antenatal lebih dari 4 kali sebanyak 30 responden (75%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang sudah baik dalam melakukan kunjungan antenatal care (ANC) dan menerapkan dengan tepat program pemerintah yang menyarankan kunjungan ANC dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan.

Frekuensi ANC ikut berperan menjadi faktor penyebab kejadian BBLR. Hal ini karena kunjungan ANC merupakan indikator penting dalam meningkatkan kewaspadaan dan pemantauan kesehatan gizi ibu selama hamil serta janin (Meihartati, 2017).

Pelayanan antenatal yang lengkap tidak hanya dinilai secara kuantitas (minimal 4 kali selama hamil), melainkan juga secara kualitas yang mencakup banyak hal seperti anamnesa, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan

(20)

laboratorium atas indikasi serta intervensi dasar dan khusus (sesuai risiko yang ada termasuk penyuluhan dan konseling). Pelayanan ANC yang berkualitas menunjukkan ibu mendapatkan konseling seputar kehamilan, mendapatkan penjelasan berkaitan hal-hal yang kurang dipahami oleh ibu (Fatimah, Utama, & Sastri, 2018), sehingga dapat mengubah perilaku ibu untuk dapat mencapai kesehatan yang optimal pada waktu hamil dan melahirkan (R. Sandra Surya, 2016). Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan masih banyak responden yang melahirkan bayi dengan BBLR kemungkinan karena faktor lain yaitu paritas ibu, urutan kehamilan, status sosial ekonomi, dan kualitas ANC dimana peneliti tidak memperoleh data tersebut sehingga menjadi kelemahan pada hasil penelitian ini.

Hasil tabel 4 dapat diketahui bahwa tenaga kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh responden saat ANC adalah bidan (70%). Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Fatimah, dkk (2017) bahwa tenaga kesehatan yang paling banyak dikunjungi saat pemeriksaan kehamilan adalah bidan (85,7%). Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada ibu hamil (Fatimah et al., 2018). Menurut peneliti, kemungkinan salah satu alasan ibu cenderung memilih bidan yaitu karena akses jalan yang lebih dekat dan mudah untuk dijangkau dan lebih banyak bidan yang tersebar di setiap kelurahan yang menjadi wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang.

Selain itu, faktor perekonomian yang tergolong menengah ke bawah membuat ibu cenderung lebih memilih untuk melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan (Fatimah et al., 2018).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian faktor determinan kejadian bayi dengan BBLR di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kedungkandang Kota Malang, didapatkan empat faktor determinan yang berisiko, antara lain penghasilan keluarga yang rendah, usia kehamilan ibu saat lahir >37 minggu (preterm), paritas ibu (multipara) dan paparan asap rokok.

Saran

1. Bagi responden

Diharapkan untuk dapat mencukupi kebutuhan asupan makanan yang bergizi

(21)

seimbang, memperluas relasi sehingga dapat memperoleh info kesehatan yang cukup dan perlu adanya dukungan dari keluarga serta masyarakat.

2. Bagi tenaga kesehatan

Diharapkan untuk lebih memantau ibu dalam mengimplementasikan perawatan prahamil dan rutin mengunjungi ibu hamil di daerah yang aksesnya cukup sulit dan jauh dari pelayanan kesehatan meskipun sudah ada bidan kelurahan dan posyandu.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan apa yang menjadi kelemahan dalam penelitian ini dapat diperbaiki sehingga didapatkan data penelitian yang lebih lengkap.

Daftar Pustaka

Astriana, W. (2019). Kenaikan Berat Badan Ibu Hamil dan Lingkar Lengan Atas Dengan Taksiran Berat Janin. Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan, 10(1), 1–

11.

Danzhen You, Lucia Hug, Simon Ejdemyr, Jan Beise, P. I. (2015). Child Mortality 2015. UNICEF, WHO, World Bank Group United Nations, 74. Retrieved from www.childmortality.org

Dinas Kesehatan Propinsi JawaTimur. (2017). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur 2017. Nucleic Acids Research, 34(11), e77–e77.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur. (2012). Profil_Kes.Prov.JawaTimur_2012.

142.

Dinkes. (2018). Profil Kesehatan Kota Malang tahun 2018. Profil Kesehatan Kota Malang, (45), 209.

Fajriana, A., & Buanasita, A. (2018). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah Di Kecamatan Semampir Surabaya. Media Gizi Indonesia, 13(1), 71. https://doi.org/10.20473/mgi.v13i1.71-80

Fatimah, N., Utama, B. I., & Sastri, S. (2018). Hubungan Antenatal Care dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah pada Ibu Aterm di RSUP Dr. M. Djamil

Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 615.

https://doi.org/10.25077/jka.v6.i3.p615-620.2017

Fitri, A., Lang, C., Framitasari, D., Ratnasari, F., Ringgo, F., Hadiansyah, H., &

Sumapraja, K. (2014). Hubungan Ukuran Lingkar Lengan Atas Ibu Hamil dengan Risiko Kejadian Persalinan Preterm di Puskesmas Kecamatan Kramat

(22)

Jati Jakarta Timur. EJournal Kedokteran Indonesia, 2(1), 29–32.

https://doi.org/10.23886/ejki.2.3182.

Hafid, W., Badu, F. D., & Laha, L. P. (2018). Analisis Determinan Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Tani dan Nelayan. Gorontalo Journal of Public Health, 1(1), 01. https://doi.org/10.32662/gjph.v1i1.138

Handayani, F., Ikrawati, W. O., & Fitriani, H. (2019). Hubungan Anemia Dan Hipertesni Dengan Kejadian Bblr Di Puskesmas Wates Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Kesehatan …, 7(2), 39–47. Retrieved from http://jurnal.poltekkeskhjogja.ac.id/index.php/jkkh/article/download/232/136 Hartiningrum, I., & Fitriyah, N. (2019). Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di

Provinsi Jawa Timur Tahun 2012-2016. Jurnal Biometrika Dan Kependudukan, 7(2), 97. https://doi.org/10.20473/jbk.v7i2.2018.97-104

Haryanto, C., Pradigdo, S., & Rahfiluddin, M. (2017). FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI KABUPATEN KUDUS (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Undaan Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Tahun 2015). Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 5(1), 322–331.

Hussain, S., Ahmed, S., Tarar, S. H., & Tasleem, G. (2018). LOW BIRTH WEIGHT : FREQUENCY , DEMOGRAPHIC PROFILE AND ASSOCIATION WITH MATERNAL RISK FACTORS AT A TERTIARY CARE TEACHING HOSPITAL INTRODUCTION LBW is a sensitive detrimental of mortality and morbidity in the neonatal period and beyond . Risk of mortality. 68(4).

Jumhati, S., & Novianti, D. (2018). Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian BBLR di Rumah Sakit Permata Cibubur-Bekasi. Jurnal Ilmu

Kesehatan Masyarakat, 7(02), 113–119.

https://doi.org/10.33221/jikm.v7i02.113

Karima, K., & Achadi, E. L. (2012). Status Gizi Ibu dan Berat Badan Lahir Bayi.

Kesmas: National Public Health Journal, 7(3), 111.

https://doi.org/10.21109/kesmas.v7i3.57

Kemenkes RI. (2017). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia. In Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017.

Kemenppa RI. (2018). Profil Kesehatan Anak Indonesia Tahun 2018. In Ilmu Pendidikan (Vol. 5).

Kesehatan, K., Penelitian, B., & Kesehatan, P. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018.

(23)

Kusumawardani, A., & Handayani, S. (2018). Karakteristik Ibu dan Faktor Risiko Kejadian Kematian Bayi di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 13(2), 168. https://doi.org/10.14710/jpki.13.2.168-178 Lake, E. A., & Olana Fite, R. (2019). Low Birth Weight and Its Associated Factors

among Newborns Delivered at Wolaita Sodo University Teaching and Referral Hospital, Southern Ethiopia, 2018. International Journal of Pediatrics, 2019, 1–

7. https://doi.org/10.1155/2019/4628301

Latifah, L., Nirmala, S. A., & Astuti, S. (2017). Hubungan antara Bayi Berat Lahir Rendah dengan Kejadian Hiperbilirubinemia. 3(02), 13–21.

M, S., & , Gupta SK , Sarmah BK, B. M. (2016). September-December, 2016/Vol 36/Issue 3 Original Article. J. Nepal Paediatric Society, 36(3), 277–283.

Meihartati, T. (2017). Faktor Ibu yang Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di RSUD Andi Abdurrahman Noor Tanah Bambu 2015. Jurnal Delima Azhar, 2(1), 71–77.

N. Umi, Z. Muthmainnah, E. I. (2016). Kopertis 7. Jurnal Kesehatan Sain Med, 8(2), 83–88.

Permana, P., & Wijaya, G. B. R. (2019). Analisis faktor risiko bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Gianyar I tahun 2016-2017. Intisari Sains Medis, 10(3), 674–678.

https://doi.org/10.15562/ism.v10i3.481

Pramono, M. S., & Paramita, A. (2015). POLA KEJADIAN DAN DETERMINANBAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2013 (Pattern of Occurrence and Determinants of Baby with Low Birth Weight in Indonesia 2013). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(1), 1–10. https://doi.org/10.22435/hsr.v18i1.4263.1-10

R. Sandra Surya, W. I. T. (2016). Faktor-faktor Risiko Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah di Wilayah Kerja Unit Pelayanan Terpadu Kesmas Gianyar II. Jurnal Medika Udayana, 4(4), 1–17.

Rahayu, M. L. D., & Zain, I. M. (2012). Pengaruh Karakteristik, Perilaku, dan Sosial Ekonomi Ibu Terhadap Kelahiran Bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) di Kabupaten Sidoarjo. 232–241.

Rosha, B. C., Putri, I. S., & Amaliah, N. (2012). Analisis Determinan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) pada Anak Usia 0-59 Bulan di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah dan Papua. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(2), 123–135.

(24)

Setiati, A. R., & Rahayu, S. (2017). Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) Di Ruang Perawatan Intensif Neonatus RSUD DR Moewardi Di Surakarta. (Jkg) Jurnal Keperawatan Global, 2(1), 9–20.

https://doi.org/10.37341/jkg.v2i1.27

Sholiha, H., & Sumarmi, S. (2016). Analisis Risiko Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (Bblr) Pada Primigravida. Media Gizi Indonesia, 10(1), 57–63.

Singh, U., Ueranantasun, A., & Kuning, M. (2018). Socio-demographic factors associated with low birth weight in Nepal using imputation of missing determinants. Pertanika Journal of Science and Technology, 26(2), 615–626.

Sujianti, S. (2017). Literature Review Bayi Berat Lahir Rendah. Jurnal Kesehatan Ibu Dan Anak, 11(2), 8–14. https://doi.org/10.29238/kia.v11i2.33

Syakbania, D. N., & Wahyuningsih, A. S. (2018). Higeia Journal of Public Health.

Higeia Journal of Public Health Research and Development, 1(3), 84–94.

T. Yeti and U. Tri. (2017). Hubungan Kenaikan Berat Badan Ibu Selama Hamil dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Kota Tanjungpinang Tahun 2017. Jurnal Cakrawala Kesehatan, VIII(01), 69–78.

WHO, & U. (2019). Low birthweight estimates. World Health Organization, 4(3), 3–

9.

Yulianti, I., & Hargiono, R. A. (2016). Hubungan Status Gizi Ibu Hamil Dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUD DR Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto. Jurnal Media Komunikasi Ilmu Kesehatan, 08(03), 56–62.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka mengisi lowongan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun Anggaran 2013 berdasarkan ketetapan Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

13 Strategi belajar PQ4R yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu cara belajar peserta didik dimana mereka akan. mengikuti langkah-langkah pembelajaran PQ4R yang telah

etika kerja islami memoderasi secara positif dan signifikan dalam pengaruh komitmen organisasi pada kinerja karyawan ternyata terbukti dalam penelitian ini.

Dalam proses pembuatan buku ini, tanpa adanya ridho Allah SWT, semangat, kesungguhan dan kesabaran, kami tidak akan mampu untuk menyelesaikannya. Buku ini merupakan hasil

Dengan adanya program ini, akan memudahkan pengerjaan yang sebelumnya masih menggunakan sistem manual menjadi sistem komputerisasi, sehingga dapat memberikan

Krisis dalam bencana adalah suatu kejadian, secara alami, maupun karena ulah manusia, terjadi secara mendadak atau berangsur-angsur, menimbulkan akibat yang merugikan,

Beberapa faktor yang berpengaruh dalam membentuk fasilitas yang baik, yaitu:. Atribut layanan konsumen (Kasir, Pramuniaga, Costumer service ,

Penciptaan tugas akhir Eksistensi Ibuku dalam Fotografi Ekspresi ini lebih banyak bereksplorasi pada pengalaman pribadi sehingga menghasilkan karya yang sesuai