• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH BISNIS DAN PEREKONOMIAN INDONESIA KRISIS EKONOMI DAN UTANG LUAR NEGERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH BISNIS DAN PEREKONOMIAN INDONESIA KRISIS EKONOMI DAN UTANG LUAR NEGERI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun Oleh : Kelompok 2B

Esti Rahayu (1902015018)

Ummi Lathifatunnisa (1902015067) Atika Nurul Aini (1902015107)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA 2021

(2)

i

KATA PENGANTAR

Ba’da salam, dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur Kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Teori Akuntansi dengan judul :

“Krisis Ekonomi dan Utang Luar Negeri”.

Dan tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan saran atas penyusunan makalah ini:

1. Bapak Fauzi selaku dosen pengampu mata kuliah Bisnis dan Perekonomian Indonesia.

2. Rekan-rekan satu tim penyusunan makalah di Kelompok 2B.

3. Semua rekan sekelas Prodi Akuntansi, dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Besar harapan kami makalah ini dapat bernilai dengan baik dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dalam rangka kesempurnaan makalah, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 8 November 2021

Penulis

(3)

ii

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 2

Bab II PEMBAHASAN ... 3

2.1. Kronologis Kejadian Krisis Ekonomi Di Indonesia ... 3

2.2. Penyebab Krisis Ekonomi Di Indonesia ... 6

2.3. Dampak Social Krisis Ekonomi ... 9

2.4. Cara Untuk Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia... 10

2.5. Cara Agar Tidak Terjadi Krisis Ekonomi Kembali ... 11

2.6. Utang Luar Negeri Sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Nasional ... 12

2.7. Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia ... 14

2.8. Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Pembangunan Nasional ... 18

2.9. Contoh Kasus ... 22

BAB III PENUTUP ... 24

3.1. Kesimpulan... 24

3.2. Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia pada tahun 1997-1998 mengalami krisis ekonomi yang diawali dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang menyebabkan terjadinya guncangan stabilitas ekonomi dan stabilitas sosial politik. Adanya krisis moneter pada tahun tersebut menyebabkan utang pemerintah berada pada posisi yang cukup bahaya bagi Indonesia. Krisis tersebut juga berakibat kepada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam mengelola perekonomian dan stabilitas ekonomi.

Indonesia nyaris bangkrut secara finansial, karena jumlah utang luar negerinya, terutama dan sektor swasta yang sangat besar ditambah dengan ketidakmampuan sebagian besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk membayar kembali utang luar negeri (Faisal Basri, 2003). Dengan keadaan ini, krisis ekonomi telah membuat pemerintah indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Utang pemerintah makin bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari pertambahan ini merupakan utang dalam negari yang harus di bayar untuk restruksasi perbankan (Boediono, 2009 ).

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia membuat utang luar negeri pemerintah meningkat drastis jika dihitung dalam mata uang rupiah. Hal ini disebabkan karena nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang tajam.

Utang luar negeri diperlukan untuk memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan cara meningkatkan produksi (PDB), memperluas kesempatan kerja dan memperbaiki neraca pembayaran. Tetapi, apabila utang digunakan secara tidak wajar maka kemungkinan utang tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi bahkan mengancam kestabilan makroekonomi negara. Kondisi utang luar negeri Indonesia baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya tidak lepas dari kondisi perekonomian sebelumnya. Dengan kata lain, buruknya kinerja perekonomian di tahun-

(5)

tahun sebelumnya bisa jadi sebagai pendorong munculnya masalah utang luar negeri saat ini.

Pada saat ini utang luar negeri Indonesia yang sangat banyak masih menjadi keprihatinan bagi bangsa Indonesia. Tetapi utang luar negeri ini bukannya tanpa masalah, beban utang luar negeri yang semakin besar membawa konsekuensi beban anggaran dengan pembayaran pokok serta bunga utang ikut meningkat (Soebagiyo, 2012). Jika suatu saat utang luar negeri tidak terbayar, maka ada kewajiban yang harus ditanggung. Kewajiban tersebut tentu mengarah pada konsekuensi politik dan ekonomi atau hukum internasional.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kronologis kejadian krisis ekonomi di Indonesia?

2. Apa penyebab krisis ekonomi di Indonesia?

3. Bagaimana dampak social krisis ekonomi?

4. Bagaimana cara untuk mengatasi krisis ekonomi Indonesia?

5. Bagaimana cara agar tidak terjadi krisis ekonomi kembali?

6. Apakah utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional?

7. Bagaimana perkembangan utang luar negeri pemerintah Indonesia?

8. Bagaimana dampak utang luar negeri terhadap pembangunan nasional?

1.3 Tujuan

1. Memaparkan kronologis kejadian krisis ekonomi di Indonesia.

2. Memaparkan penyebab krisis ekonomi di Indonesia.

3. Memaparkan dampak social kritis ekonomi.

4. Memaparkan cara untuk mengatasi kriris ekonomi Indonesia.

5. Memaparkan cara agar tidak terjadi krisis ekonomi kembali

6. Memaparkan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional.

7. Memamparkan perkembangan utang luar negeri pemerintah Indonesia.

8. Memaparkan dampak utang luar negeri terhadap pembangunan nasional.

(6)

3 BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kronologis Kejadian Krisis Ekonomi di Indonesia

Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook yang baru digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu:

a. Currency crisis;

b. Banking crisis;

c. Systemic financial crisis; dan d. Foreign debt crisis.

Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidakstabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia usaha.

Yang terjadi di Indonesia dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Akan tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan implikasi dari padanya (pelebaran rentang kurs intervensi, pengambangbebasan rupiah, intervensi BI dan pengetatan likuiditas), terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan (karena kelemahan sektor ini). Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality dan flights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain (terganggunya pasar uang antar bank yang

(7)

tersekat-sekat), termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri (penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri).

Krisis perbankan kemudian menjalar kepada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum terselesaikan. Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut:

1) Tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.

2) Dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.

3) Dilakukan penghapusan tentang kurs intervensi atau pengembang bebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.

4) Dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997.

5) Langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu

“self imposed IMF program “

6) Keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.

7) Perundingan dengan IMF yang menghasilkan ‘letter of intent’ pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement.

Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.

8) Kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.

(8)

5

9) Pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negative

10) Proses terjadinya ‘letter of intent’ kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan G7.

11) Reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.

12) Pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.

13) Heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.

14) Keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif terhadap 7 bank lain.

15) Perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan

“Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan”, yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.

16) Penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan Frankfurt.

17) Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.

2.2 Penyebab Krisis Ekonomi di Indonesia

Jika dilihat dari proses terjadinya, krisis moneter di Indonesia didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle oleh Bank Dunia (timbul

(9)

perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuanganperbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa.

Aliran teori ekonomi dimana para penganut Ekonomi Klasik dengan berbagai versinya menilai bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh pada bekerjanya mekanisme pasar, karena itu untuk memperoleh hasil terbaik pasar sebaiknya tidak dicampur tangani Pemerintah (pengaturan pasar yang minimal). Sebaliknya aliran Keynesian dengan berbagai versinya, mengatakan bahwa krisis ekonomi disebabkan karena pasar tidak stabil, mempunyai gerak konjungtur naik-turun, karena itu untuk hasil yang lebih baik Pemerintah sebaiknya melakukan intervensi di pasar memalui kebijakan-kebijakannya.

Dewasa ini pandangan-pandangan mengenai sebab timbulnya krisis yang beraneka ragam tersebut, mungkin dapat digolongkan menjadi dua kelompok;

pertama yang mengatakan bahwa sebab utamanya adalah :

a. Masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). (Paul Krugman, ahli ekonomi dari Stanford University)

b. Bahwa krisis ini timbul dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal, yang diperkuat dengan contagion effects. (Jeffrey Sachs, ahli ekonomi dari Harvard University).

(10)

7

Soedradjad Djiwandono (Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia) menemukakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya krisis di Indonesia, yaitu :

1) Krisis itu disebabkan oleh unsur eksternal, yaitu perubahan sentimen pasar uang secara cepat yang menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion) menjadi krisis.

Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya. Dalam perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial-politik karena kelemahan pada sistim sosial-politik Indonesia.

2) Krisis timbul karena adanya kelemahan struktural di dalam perekonomian nasional, dalam sistim keuangan atau perbankan dan praktek kapitalisme kroni atau kapitalisme ‘ersatz’.

Proses terjadinya dimulai dengan adanya gejolak yang berdampak penularan pada pasar uang yang dihadapi Pemerintah dengan mengandalkan kebijaksan moneter yang berlaku saat itu (suatu pengambangan mata uang terkendali dengan penetapan batas ambang jual-beli valuta BI serta depresiasi merayap setiap tahunnya ).

Pelaksanaan kebijakan ini melalui pelebaran rentang jualbeli BI dan intervensi pasar pada waktu kurs di pasar uang ‘spot’ melampaui yang ditentukan. Akan tetapi sebagai dampak sampingan dari kebijakan moneter yang menyertai langkah intervensi pasar ternyata suku bunga yang meningkat telah memberatkan bank-bank yang kurang sehat, bahkan pada putaran selanjutnya bank yang sehatpun menderita dari penciutan likuiditas dalam perekonomian. Dalam proses ini, gejolak yang melanda pasar uang dengan dampak penularan ini pada akhirnya mengungkap kelemahan perbankan nasional. Sektor perbankan Indonesia yang memang lemah tersebut kemudian mengalami ‘distress’, yang secara cepat berubah menjadi krisis, karena turunnya kepercayaan

(11)

masyarakat (deposan) yang kemudian melakukan penarikan dana secara bersama dan besar-besaran pada banyak bank. Masalahnya menjadi sistemik, menyangkut banyak bank dan sistim perbankan. Pemilik dana melakukan tindakan penyelamatan dana mereka dengan memindahkannya pada bank yang dalam persepsi mereka aman. Ini dikenal dengan istilah ‘flight to safety’ dan ‘flight to quality’. Setelah perbankan mengalami krisis, secara cepat kemudian masalahnya menjalar ke sektor riil dalam perekonomian (karena kredit kepada nasabah, termasuk untuk perusahaan-perusahaan banyak yang dihentikan atau suku bunganya ditingkatkan sangat tinggi) dan akhirnya terjadi krisis ekonomi (produksi dan perdagangan terganggu, kemudian lumpuh).

3) Lemahnya sektor riil dari perekonomian nasional, antara lain karena praktek kapitalisme ‘ersatz’ yang penuh dengan KKN dengan masalah yang melekat padanya.

Struktural yang terkandung di dalamnya. Lemahnya struktur sosial- politik ini merupakan akibat dari penekanan pendekatan keamanan dengan penciptaan kestabilan sosial-politik secara dipaksakan dalam era kepemimpinan Orde Baru. Kestabilan ini dicapai melalui cara-cara represi, menghilangkan semua unsur yang berpotensi menjadi pesaing dari penguasa dengan cara apapun, bahkan yang melanggar hak azasi.

Kita melihat bahwa selama ini semua organisasi, sosial, profesi, fungsional, apalagi politik, selalu mengalami ‘pembinaan’ atau ‘digarap’

dengan berbagai cara untuk tidak vokal, tidak menyuarakan sesuatu yang berbeda dari penguasa. Di dalam kehidupan politik tidak dikenal oposisis. Semua ini dikatakan tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.

Kestabilan yang tercapai dengan rekayasa ini merupakan kestabilan semu, dan tidak tahan lama.

4) Sikap hidup yang ‘lebih besar pasak dari tiang’ serta sikap hidup yang tertutup dan mendasarkan diri atas ‘tribalism’ (Prof. Arif Budiman).

(12)

9

Gejolak pasar uang yang dahsyat mengungkap borok lemahnya sistim perbankan dan menimbulkan krisis perbankan nasional. Krisis perbankan mengungkap borok kapitalisme ersatz dan menimbulkan krisis ekonomi.

Akhirnya, krisis ekonomi mengungkap borok lemahnya sistim sosial- politik dan menimbulkan krisis sosial-politik serta kepemimpinan nasional.

2.3 Dampak Sosial Krisis Ekonomi

Dengan perkembangan yang membalik dari laju pertumbuhan produksi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama menjadi penurunan tajam, maka akan berdampak pada:

a) Inflasi yang relatif terkendali menjadi hiperinflasi

b) Masuknya modal asing dalam jumlah besar menjadi keluar dan lainnya modal dalam jumlah besar

c) Tingkat pengangguran menjadi sangat tinggi

d) Jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meingkat drastis e) Jumlah anak yang putus sekolah meningkat drastis

f) Kejahatan meningkat tinggi dan banyak lagi dislokasi sosial dalam intemsitas yang tinggi

Merupakan kelemahan struktural kehidupan sosial-politik di Indonesia.

Didahului dengan demonstran mahasiswa yang terus menerus, kemudian menyusul kerusakan 13-14 Mei yang mengungkapkan begitu banyak borok masyarakat kita. Dan ini yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan pak Harto pada tanggal 21 Mei 1998.

2.4 Cara untuk Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia

Perkembangan dari suatu gejolak menjadi krisis, dari krisis yang satu ke yang lain telah melalui proses dari timbulnya masalah, langkah-langkah mengatasi masalah (policy responses) dan reaksi darii pasar serta masyarakat,

(13)

baik dalam negeri maupun lluar negeri. Berbagai pelajaran yang dapat dipetik, baik dari mengidentifikasikan sebab-musabab maupun sifat dari krisis dan efektif tidaknya langkah mengatasi masalah yang diambil. Dengan itu harus diterima bahwa dalam menghadapi suatu contagion, kata-kata the sooner the better dan the problems ussually are bigger then expected yang sangat tepat.

a) Jalan keluar harus disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Karena krisis tidak bersifat single variabel, maka jalan keluarnya tidak hanya dari satu aspek aja. Aspeknya terkait dengan yang lain, dan pendekatannya

“sistematik” dalam keseluruhan lainnya. Tidak semua harus diselesaikan, karena dalam bidang ekonomi ada masalah jangka pendek dan jangka panjang, ada mikro dan makro yang harus diselesaikan. Masalah krisis dari segi penangananya masih berkisar adanya kepercayaan yang mantap. Presiden dan seluruh anggota kabinet, lembaga legislatif dan judikatif serta ABRI memperoleh kepercayaan tersebut secara penuh.

Pada waktu kepercayaan masih ada, pelaku pasar tidak terlalu menuntut, dan menerima berbagai kekurangan yang terjadi. Pada saat waktu kepercayaan hilang, maka tuntunan mereka semakin banyak aspek diluar ekonomi-keuangan.

b) Beberapa aspek kebijakan makro, moneter dan fiskal untuk mengatasi masalah nilai tukar inflasi dan memburuknya perekonomian, restruksturisasi keuangan dan perbankan, termasuk rekstuturisasi pinjaman perusahaan dan rekstuturisasi perusahaan, kebijaksanaan rekstuturisasi sektor riil, kebijakan restrukturisasi kelembagaan dan penanggulangan dampak sosial krisis dengan program jaringan sosial.

c) Langkah positif harus dilakukan pemerintah, akan tetapi masalah pemerintahan yang ‘legal’ belum ‘ligtimate’, kredibilitas yang bagus.

Krisis kepercayaan terhadap pimpinan nasional terhadap lembaga legislatif, yudikatif, dan ABRI sangat mencolok.

d) Untuk keluar dari krisis terlebih dahulu harus ada titik balik suatu

“turniting point”, dari pesimisme menjadi optimisme dari

(14)

11

ketidakpercayaan menjadi percaya dari tanpa harapan menjadi penuh harapan.

Titik balik harus dimulai dari pemerintah yang dipercayai masyarakat dengan semua unsur di dalam negeri dan dipercaya oleh negara-negara maju serta negara-negara lain dan lembaga multilateral, dan para kreditor serta investor sangat dibutukan Indonesia untuk bangkit kembali.

2.5 Cara Agar tidak Terjadi Krisis Ekonomi Kembali

Krisis Indonesia merupakan gabungan dari faktor ekstern dan kelemahan didalam yang secara bergandengan menimbulkan proses ‘’contagion’’ secara meluas dan mendalam menyebabkan krisis yang dialami Indonesia menjadi paling buruk di antara negara-negara yang krisis. Banyak hal yang bisa dipelajari dari terjadinya krisis di Indonesia, yaitu:

A. Kelemahan di Bidang Ekonomi : Kepercayaan pasar, baik domestik maupun asing serta kepercayaan masyarakat luas sangat tipis terhadap rupiah yang melemah da n tidak kunjung menguat. Hal serupa dengan perbankan dan lembaga keuangan, serta kemampuan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah pinjaman mereka.

1) Besarnya pinjaman perusahaan jangka pendek dalam mata uang asing (dollar) tanpa ada perlindungan. Praktek pembiayaan usaha sangat mengandalkan pinjaman debt to equity ratio di Indonesia terlalu tinggi (higly leveraging). Dana ini digunakan untuk investasii yang kurang baik didalam resikonya mempunyai sifat menggelembung (bubble), bahkan spekulatif seperti properti.

penghasilan investasi dalam rupiah padahal sumber dananya yang dari dalam negeri.

2) Lemahnya sistem perbankan di Indonesia yaitu banyaknya bank dengan permodalan yang tidak kuat besranya kridit dan kepatuhan peraturan kehati-hatian yang kurang tranparansi dengan pengawasa yang tidak kuat, serta ‘governance’yang lemah di perbankan sendiri maupun otoritasnya.

(15)

3) Kelemahan sektor riil akibat dari ‘crony capitalism’ dengan ketidakefisienan praktek monopoli dan oligopoli serta kebocoran karena korupsi dan keobcoran lain,

B. Di Luar Ekonomi

1) Adanya kelemahan struktur sosial dan politik. Sistim kenegaraan kita yang terpusat pada kekuasaan eksekutif dan mementingkan kestabilan sosial dan politik dengan cara yang represif . segala bentuk oposisi dan beda pendapat (dissent) di kehidupan bernegara dan bermasyarakat menghasilkan kestabilan yang semu. Kestabilan semu ini rontok yang sangat cepat pada waktu di Indonesia di landa krisis ekonomi mengungkap lemahnya kelembagaan sosial dan politik di Indonesia. Sebagaimana keuangan (kurs) mengungkap lemahnya kelembagaan perbankan dan keuangan Indonesia. Pada waktu keadaan ekonomi bagus kelemahan ini diketahui kebanyakan orang tidak perlu ahli atau pakardan gampang dilupakan.

2) Untuk dapat ‘suistanable’ sistem ekonomi (pasar) menuntut adanya kelembagaan yang kuat seperti keuangan dan perbankan, sistem kepemilikan, sistem hukum baik ketentuan perundangan, penegakan, pengadilan serta saksi dan itu semua merupakan proses demokrasi.

2.6 Utang Luar Negeri sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Nasional Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara yang sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya ekonomi. Bahkan banyak negara dunia ketiga yang memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Tetapi kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat potensial, yang berarti belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya manusianya yang sangat besar dan belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan ketrampilannya, untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan berproduktivitas tinggi.

(16)

13

Pada kondisi yang seperti itu sangat dibutuhkan adanya sumberdaya modal yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan. Dengan adanya sumberdaya modal, maka semua potensi kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan.

Tetapi, pada banyak negara yang sedang berkembang dan ketidaktersediaan sumberdaya modal sehingga seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri. Beberapa penyebabnya antara lain (1) pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan, juga rendah.

(2) Lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan dana masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif. (3) Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan dana murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung peningkatan pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan.

Adapun solusi untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik yaitu dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor).

Modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.

Banyak pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal asing dalam menunjang pembangunan nasionalnya, tetapi

(17)

tidak semua berhasil mendapatkannya, kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain (ML. Jhingan : 1983, halaman 643-646): 1. Ketersediaan dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara industri maju. 2. Daya serap negara penerima (debitur). Artinya, negara debitur akan mendapat bantuan modal asing sebanyak yang dapat digunakan untuk membiayai investasi yang bermanfaat.

Daya serap mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan, mengubah struktur perekonomian, dan mengalokasikan kembali resources. Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional yang ada akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara. 3. Ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia di negara penerima, karena tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal asing secara efektif. 4. Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment). 5. Kemauan dan usaha negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk memanfaatkan dengan benar oleh negara penerima. Sebagaimana dikatakan Nurkse (1961:

83), bahwa modal sebenarnya dibuat di dalam negeri. Sehingga, peranan modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi keinginan suatu negara.

2.7 Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia

Indonesia ialah salah satu negeri dunia ketiga. Saat sebelum terbentuknya krisis moneter di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki laju perkembangan ekonomi yang lumayan besar. Perihal ini sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi yang di informasikan oleh pemerintah pada waktu itu, yang menempatkan perkembangan ekonomi yang lumayan besar selaku sasaran prioritas pembangunan ekonomi nasional. Perkembangan ekonomi Indonesia semenjak akhir tahun 1970- an senantiasa positif, dan tingkatan pemasukan per kapita yang relatif rendah, menimbulkan sasaran perkembangan ekonomi yang relatif besar tersebut tidak lumayan dibiayai

(18)

15

dengan modal sendiri, namun wajib ditunjang dengan memakai dorongan modal asing.

Namun permasalahannya tingkatan perkembangan ekonomi yang lumayan besar dalam sebagian tahun tersebut tidak diiringi dengan penyusutan jumlah utang luar negara (growth with prosperity), kecuali pada tahun 1994/1995 hingga 1995/1996 (yang tertera di Tabel 1). Pemerintah yang pada awal mulanya jadi mobilisasi utama pembangunan terus menaikkan utang luar negerinya supaya bisa digunakan buat membiayai pembangunan ekonomi nasional guna menggapai sasaran tingkatan perkembangan ekonomi yang lumayan besar tersebut, tanpa diiringi dengan kenaikan keahlian buat memobilisasi modal di dalam negara. Perihal ini menunjukkan terdapatnya korelasi yang positif antara keberhasilan pembangunan ekonomi pada tingkatan makro serta kenaikan jumlah utang luar negara pemerintah (growth with indebtedness).

Pada awal mulanya, utang luar negara Indonesia lebih banyak dicoba oleh pemerintah. Pinjaman yang diterima pemerintah tersebut dalam wujud hibah dan soft loan dari negara-negara serta lembaga-lembaga supra nasional, baik secara bilateral ataupun multilateral (IGGI serta CGI). Sehabis itu bersamaan dengan terus menjadi berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman luar negara bersyarat lunak jadi terus menjadi terbatas diberikan, sehingga buat keperluan-keperluan tertentu serta dalam jumlah yang terbatas, pemerintah mulai memakai pinjaman komersial serta obligasi dari kreditur swasta internasional.

Sebab terus menjadi pesatnya pembangunan serta terbatasnya keahlian pemerintah buat secara terus menerus jadi penggerak utama pembangunan nasional, paling utama semenjak krisis harga minyak dunia dini tahun 1980- an, menimbulkan pemerintah wajib mengambil langkah-langkah deregulasi di bermacam zona pembangunan. Perihal tersebut dimaksudkan buat membagikan dorongan kepada kedudukan dan swasta dalam pembangunan perekonomian Indonesia, lewat kenaikan atensi investasi di bermacam zona pembangunan yang diizinkan. Dengan terus menjadi besarnya atensi investasi

(19)

swasta, tetapi tanpa didukung oleh sumber-sumber dana investasi di dalam negara yang mencukupi, sudah mendesak pihak swasta melaksanakan pinjaman ke luar negara, baik dalam wujud pinjaman komersial ataupun investasi portofolio, yang pasti saja pada biasanya dengan persyaratan pinjaman yang tidak lunak (bertabiat komersial), baik suku bunga ataupun jangka waktu pembayaran kembali.

Tabel 1.

Pinjaman Pemerintah Dan Penerimaan APBN (dalam milyar rupiah)

Dari data Tabel 1 dapat diketahui, bahwa selama kurun waktu tahun 1984 sampai dengan tahun 1998 pinjaman luar negeri pemerintah rata-rata menyumbang 19,25% pada sektor penerimaan APBN RI. Bahkan pada tahun anggaran 1999/1998, dari total realisasi penerimaan APBN RI yang sebesar Rp 215.130 milyar, 28,97%-nya dibiayai oleh pinjaman luar negeri, juga untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir jumlah utang luar negeri untuk bantuan program melebihi bantuan proyek. Pinjaman luar negeri pemerintah

(20)

17

yang sedemikian banyak pada tahun anggaran tersebut digunakan untuk menutup defisit anggaran yang besar, akibat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang menyebabkan pengeluaran total pemerintah meningkat 68,47%

dari anggaran tahun sebelumnya. Penyumbang terbesar kenaikan pengeluaran pemerintah yang sedemikian besar tersebut adalah kenaikan pada pos pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunganya yang jatuh tempo menjadi sebesar Rp 55,578 trilyun atau meningkat 88,55% dari pos yang sama pada anggaran tahun sebelumnya, sebagai akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, menyebabkan pemerintah kembali harus menjadi penggerak utama untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang terancam kebangkrutan, menggantikan peranan sektor swasta yang merosot setelah beberapa tahun sebelum krisis sempat mendominasi perekonomian nasional. Sehingga, pemerintah membutuhkan tambahan dana yang besar untuk membiayai peningkatan pengeluarannya.

Oleh karena itu untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri secara drastis maupun melakukan pinjaman dalam negeri (internal debt) tidak memungkinkan, sebab beban ekonomi yang diterima rakyat sudah begitu berat akibat krisis ekonomi, maka jalan alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan berusaha memperoleh tambahan dana pinjaman dari luar negeri. Hingga pada akhir tahun 1998 posisi utang luar negeri pemerintah seluruhnya telah mencapai US $ 67.32 milyar, yang diperoleh dari pinjaman komersial dan pinjaman non komersial (non-ODA dan ODA), atau 44,61 % dari total utang luar negeri Indonesia yang mencapai US $ 150.9 milyar.

2.8 Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Pembangunan Nasional

Semenjak krisis dunia pada tahun 1980-an, permasalahan utang luar negara banyak negeri dunia ketiga salah satunya Indonesia, terus menjadi memburuk. Negara- negara tersebut terus menjadi terjerumus dalam krisis utang luar negara, meski terdapat kecenderungan kalau sudah terjalin revisi ataupun kemajuan perekonomian di negara-negara itu. Kenaikan pemasukan per kapita ataupun laju perkembangan ekonomi yang besar di negara- negara tersebut belum berarti kalau pada negara-negara tersebut dengan sendirinya

(21)

sudah bisa dikategorikan jadi suatu negeri yang maju, dalam makna struktur ekonominya sudah berganti jadi struktur ekonomi industri serta perdagangan luar negerinya yang berhasil. Karena pada realitasnya, besar-kecilnya jumlah utang luar negara yang dipunyai oleh banyak negeri yang lagi tumbuh lebih diakibatkan oleh terdapatnya defisit current account, kekurangan dana investasi pembangunan yang tidak bisa ditutup dengan sumber-sumber dana di dalam negara, angka inflasi yang besar, serta ketidakefisienan struktural di dalam perekonomiannya.

Beban utang luar negara bisa diukur salah satunya dengan memandang proporsi penerimaan devisa pada current account yang berasal dari ekspor yang diserap oleh segala debt service yang berbentuk bunga serta cicilan utang.

Bila rasio antara penerimaan ekspor serta debt service jadi terus menjadi kecil, ataupun debt service ratio (jumlah pembayaran bunga serta cicilan pokok utang luar negara jangka panjang di untuk dengan jumlah penerimaan ekspor) terus menjadi besar, hingga beban utang luar negara terus menjadi berat serta sungguh-sungguh. Tetapi, arti dari besarnya angka DSR ini tidak absolut demikian, karena terdapat negeri yang DSR-nya 40%, namun relatif tidak menemui kesusahan dalam perekonomian nasionalnya. Kebalikannya, dapat terjalin sesuatu negeri dengan DSR yang cuma sebesar kurang dari 10%

mengalami kesusahan yang lumayan sungguh-sungguh dalam perekonomiannya. Sepanjang terdapat kepercayaan dari negeri kreditur (investor) kalau sudah terjalin pertumbuhan ekonomi yang baik di negeri debiturnya, hingga pembayaran kembali pinjaman diprediksikan hendak bisa dituntaskan dengan baik oleh negeri debitur.

Tabel 2.

Debt Service Ratio (DSR) Pemerintah Indonesi

(22)

19

Bagi Susan George (1992), utang luar negara secara pragmatis malah jadi bomerang untuk negeri penerima (debitur). Perekonomian di negara-negara penerima utang tidak jadi terus menjadi baik, melainkan dapat terus menjadi sirna. Perihal tersebut ialah salah satu kesimpulan dari hasil penelitiannya yang membuktikan, kalau pada tahun 1980-an arus modal yang mengalir dari negara-negara industri maju, yang biasanya ialah negeri kreditur, ke negara- negara yang lagi tumbuh dalam wujud dorongan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, serta arus modal swasta, semacam dorongan bilateral serta multilateral; investasi swasta langsung (PMA);

portfolio invesment; pinjaman bank; serta kredit perdagangan (ekspor/impor), lebih kecil daripada arus aliran dana dari negara- negara yang lagi tumbuh ke negara- negara maju tersebut dalam wujud cicilan pokok utang luar negara serta bunganya, royalti, deviden, serta keuntungan repatriasi dari perusahaanperusahaan negeri maju yang terletak di negara-negara yang lagi tumbuh.

Riset Susan George ini menguatkan argumentasi yang sempat di informasikan Gram. J. Meier (1970), kalau arus modal asing dari negeri maju ke negeri dunia ketiga tidak sempat bertambah, serta permasalahan pelunasan utang luar negara terus menjadi memberatkan, sebab itu surplus impor yang ditunjang modal asing terus menjadi merosot, serta pengalihan sumber-sumber di luar impor yang didasarkan pada ekspor jadi relatif tidak berarti untuk sebagian besar negeri dunia ketiga. Sepanjang hambatan devisa ini tidak dapat diatasi, negeri kurang maju tidak bisa penuhi kebutuhan impornya untuk program pembangunan. Dampaknya negeri dunia ketiga itu terpaksa menempuh salah satu ataupun gabungan dari kebijaksanaan berikut ini: kurangi

(23)

laju pembangunan negeri, meningkatkan ekspor serta melaksanakan subtitusi impor buat membetulkan term of trade, ataupun memicu arus dorongan luar negara lebih besar lagi.

Tabel 3.

Pembayaran Utang Luar Negeri Dan Pengeluaran APBN (dalam milyar rupiah)

Berdasarkan data Tabel 3, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri pemerintah dan bunganya selama 15 tahun terakhir rata-rata 25,47% dari total pengeluaran dalam APBN RI. Hal tersebut dirasa cukup memberatkan APBN RI.

Bercermin pada dampak negatif dari akibat membesarnya utang luar negeri yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, masa sekitar krisis ekonomi di Meksiko, pada tahun 1996 pemerintah Indonesia sebenarnya telah merencanakan untuk membayar sebagian besar jumlah utang luar negerinya lebih cepat dari waktu pembayaran yang sebenarnya. Hal ini dimaksudkan

(24)

21

sebagai tindakan preventif agar Indonesia terhindar dari krisis utang luar negeri. Juga, agar dapat lebih mempersiapkan diri memasuki tahap tinggal landas (take-off), sebab menurut W.W. Rostow (1985), suatu negara bisa tinggal landas jika tidak lagi tergantung kepada utang luar negeri. Dia berpendapat, bahwa masalah utang luar negeri sebagai kendala serius bagi banyak negara yang sedang berkembang untuk bisa masuk dalam tahap take- off. Hal ini dibuktikan dalam pengamatannya yang dilakukan selama tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1980-an, dengan kesimpulan bahwa banyak negara yang sedang berkembang yang diperkirakan akan masuk ke tahap tinggal landas justru semakin tergantung dan terjerat masalah utang luar negeri.

Tapi tampaknya komitmen pemerintah tersebut tidak berlangsung lama karena terjadinya krisis moneter di Asia Tenggara dan Timur pada pertengahan tahun 1997.

Pada tahun anggaran 1998/1999, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo meningkat 136,07% dari tahun anggaran sebelumnya sebagai akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap dolar Amerika. Pembayaran kembali utang luar negeri yang meningkat dalam jumlah besar tersebut dilakukan oleh pemerintah tidak semata-mata dengan menggunakan dana dari penerimaan dalam negeri, tetapi dengan terpaksa juga menggunakan bantuan dana (utang luar negeri) dari IMF.

Jadi, utang luar negeri yang lama dibayar dengan utang luar negeri yang baru.

Ini artinya Indonesia telah terjerumus dalam krisis utang luar negeri.

2.9 Contoh Kasus

Krisis moneter yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi hingga terjadinya Reformasi pada 21 Mei 1998 tersebut adalah peristiwa besar yang masih menyisakan luka mendalam dan traumatik bagi masyarakat Indonesia.

Bank Dunia mengindentifikasi bahwa akumulasi utang swasta luar negeri Indonesia yang begitu cepat dari 1992 hingga Juli 1997 dengan jatuh tempo rata-rata hanya 18 bulan adalah salah satu penyebab utama krisis di era itu. Hal ini memunculkan idiom bahwa utang laksana tokoh antagonis yang merusak ekonomi sebuah negara.

(25)

Saat ini gelombang krisis ekonomi tersebut telah dilalui dengan baik melalui reformasi birokrasi sistem keuangan dan kebijakan fiskal. Walaupun demikian jumlah utang masih menghantui masyarakat. Terlebih menurut data Kementerian Keuangan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) April 2019, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 4.567 triliun.

Seringkali jumlah utang ini dibagi dengan penduduk untuk memperlihatkan seberapa besar utang yang ditanggung setiap individu atau sering dinyatakan sebagai National Debt Per Citizen. Hasilnya setiap individu di Indonesia diperkirakan menanggung utang sebesar Rp 13 Juta. Sebuah angka yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Tetapi relevansi perhitungan tersebut kepada kualitas perekonomian suatu negara sepertinya masih sangat lemah. Terlebih jika kita melihat utang negara raksasa ekonomi lain yang jauh lebih besar.

Hingga akhir April 2019, Singapura memiliki utang sebesar 544 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 7.500 triliun (Comodity.com). Apabila dibagi dengan jumlah penduduknya yang hanya 5.5 juta jiwa, maka utang setiap individu mencapai 97 ribu dolar AS atau lebih dari satu miliar rupiah. Beralih ke negeri ekonomi besar di dunia yaitu AS. Dengan perhitungan yang sama, setiap individu di negeri Paman Sam berutang sebesar 65 ribu dolar AS atau sekitar Rp 900 Juta. Hal yang cukup kontradiktif mengingat negara ini adalah pemain utama dalam perekonomian dunia.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa besarnya utang belum mempunyai korelasi terhadap kuatnya perkonomian negara. Relevansi yang dibangun selama ini hanya membangkitkan trauma masyarakat terhadap krisis ekonomi 1998.

(26)

24 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, yang didahului oleh krisis moneter di Asia Tenggara, telah banyak merusakkan sendi-sendi perekonomian negara yang telah dibangun. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ialah ketimpangan neraca pembayaran internasional.

Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang.

3.2 Saran

Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Sebagai penulis, saya menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Penulis berasumsi bahwa makalah ini akan terus berkembang lebih baik. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembahasan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada semua dan menambah ilmu pembaca.

(27)

25

DAFTAR PUSTAKA

Karmeli, E. dan Fatimah, S. (2008). KRISIS EKONOMI INDONESIA. Jurnal of Indonesian Applied Economics Volume 2 No. 2 Oktober 2008, 164-173.

Atmadja, A. S. (2000). UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH INDONESIA : PERKEMBANGAN DAN DAMPAKNYA. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000, 83-94.

Arfiyansyah , Sintong. (2019). “Utang dan Trauma Krisis Ekonomi 1998”.

https://news.detik.com/kolom/d-4558270/utang-dan-trauma-krisis-ekonomi- 1998, diakses pada 13 November 2021 pukul 00.30.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di desa Badak Mekar Kecamatan Muara Badak tentang sarana dan prasarana kesehatan dibutuhkan biaya yang cukup

Kemudian dilakukan uji skrining secara KL T pada fraksi kloroform dan fraksi etil asetat ekstrak etanol daWl sesuru (Euphorbia antiquorum L) dimana pada fraksi klorofonn

101 Tahun 2014, Pengujian kuat tekan produk solidifikasi diperoleh hasil tertinggi 155,5 Mpa dengan komposisi (semen+abu sekam) : lumpur Lapindo 90 %: 10% yang dapat

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali tarif pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 2l bagi pejabat Negara,

Dalam penelitian ini karena metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasi dan variabel yang diukur lebih dari satu, maka dalam menganalisis data penulis

Makanan masuk melalui rongga mulut yang dicerna secara mekanik oleh gigi dan secara kimiawi oleh air liur. Setelah melalui rongga mulut lalu masuk ke kerongkongan dengan gerakan

Mufarrikah, Implementasi Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) pada Mata Pelajaran PAI dalam Meningkatkan Motivasi Belajar, Keaktifan

٣ ٧ Berpijak pada pandangan ini, maka selama analisi data kualitatif yang peneliti kerjakan adalah mencermati seluruh kata-kata dan perbuatan informan sebagai data hasil