BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran ( Soemitro, 2005 ). Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan terbesar Negara, telah memberi manfaat. Pajak telah banyak memberikan manfaat, yaitu untuk membiayai pengeluaran Negara.
Beberapa pengeluaran pemerintah menggunakan dana pajak di antaranya belanja pegawai dan Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi (Ermawati, 2013).
Pemberlakuan Undang-Undang tentang Desentralisasi Fiskal sejak tanggal 1 Januari 2001 memberi mandat luas kepada Pemerintah Daerah (PemDa) untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam menyelenggarakan fungsi birokrasinya guna menaikkan kesejahteraan masyarakat. Bersanding lurus dengan itu, melekat perluasan kewenangan Pemerintah Daerah (PemDa) untuk mengoptimalkan penerimaan daerah berdasarkan potensi ekonomi. Desentralisasi fiskal daerah diberi kekuasaan lebih jauh untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan memperoleh transfer dari pusat dalam bentuk dana perimbangan (Ermawati, 2013).
Penerapan pengenaan tarif Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Jepara diharapkan bisa menekan volume kendaraan. Dengan pajak ini, pemilik kendaraan pribadi membayar pajak lebih mahal untuk memilikan kendaraan kedua dan selanjutnya.
Alasan teoritis pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah penggunaan jalan raya yang merupakan barang public (public good) untuk masyarakat. Penggunaan jalan raya menimbulkan biaya (cost) baik secara langsung maupun tidak langsung. Saat ini konsumen sudah cukup dibebani dengan berbagai jenis pajak saat pembelian kendaraan baru. Mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Untuk kendaraan import dikenakan pajak tambahan berupa bea masuk dan PPN Import. Kini dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan secara progresif, yakni 1,5% terhadap nilai jual untuk pembelian kendaraan bermotor pertama dan 2-10% terhadap kendaraan kedua dan seterusnya. Pemerintah harus berhati- hati dalam mengeluarkan kebijakan tersebut dan mempertimbangkan apakah kebijakan ini sudah sesuai dengan Asas-asas Pemungutan Pajak (Fajariani, 2013).
Dengan diterapkan kebijakan ini maka diharapkan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dapat berkurang. Penerapan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor merupakan salah satu upaya pembatasan jumlah kendaraan. Dengan adanya tarif Progresif, warga Jepara diajak berfikir untuk tidak memiliki kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat lebih dari satu.
Berlakunya tarif Pajak Progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor menimbulkan dampak bagi masyarakat, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak
positif dari berlakunya Pajak Progresif Kendaraan Bermotor ini yaitu berkurangnya jumlah kendaraan bermotor. Sedangkan bagi pemerintah daerah, dengan berlakunya pajak Progresif untuk kendaraan bermotor menyebabkan bertambahnya jumlah Pendapatan Daerah dari sektor Pajak Daerah. Dampak negatif yang terjadi dalam masyarakat yaitu masyarakat sebagai wajib pajak melakukan penyelundupan hukum untuk menghindari pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor yang lebih besar (Nugraha, 2012).
Penghindaran Pajak merupakan usaha untuk mengurangi hutang Pajak yang bersifat legal (Lawful), sedangkan Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal (Unlawful) (Xynas, 2011). Oleh karenanya persoalan Penghindaran Pajak merupakan persolan yang rumit dan unik. Di satu sisi Penghindaran Pajak diperbolehkan, tapi di sisi yang lain Penghindaran Pajak tidak diinginkan. Dalam konteks pemerintah Indonesia, telah dibuat berbagai aturan guna mencegah adanya Penghindaran Pajak. Salah satu aturan tersebut misalnya terkait transfer pricing, yakni tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Perdirjen No. PER-43/PJ/2010, 2010). Prospect Theory dan Expected Utility Theory sebagai alternatif dalam mengambil keputusan Penghindaran (Sumartaya, 2003).
Dari hasil penelitian terdahulu, yang dilakukan Yunus (2010), menghasilkan kesimpulan bahwa Tunggakan Pajak Kendaraan Bermotor pada UPTB/Samsat Kabupaten Bone Bolango setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tunggakan Pajak Kendaran Bermotor pada UPTB/Samsat Kabupaten Bone Bolango sangat dipengaruhi
oleh jumlah kendaraan bemotor roda 2 dan roda 4 serta jumlah kendaraan bermotor lainnya. Hasil penelitian Febriati (2011), menunjukkan bahwa Sistem Internal Control Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilakukan Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Kota Singkawang cukup efektif, dengan terpenuhinya unsur efektivitas Sistem Internal Control.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fajariani (2013), menyatakan bahwa “The Four Maxims” yang dikemukakan oleh Adam Smith kelihatannya masih relevan untuk diterapkan dan sebaiknya harus tetap diacu dalam perpajakan, yaitu kesamaan dan keseimbangan (equality), kepastian hukum (certainty), kenyamanan untuk membayar (convenience), maupun efisiensi (efficiency). Hasil Penelitian Eka Ermawati (2013), menyatakan bahwa Pengenaan Tarif Pajak Progresif Kendaraan Bermotor memiliki hubungan yang kuat dan positif terhadap Perilaku Penghindaran Pajak di DKI Jakarta.
Kabupaten Jepara merupakan sebuah Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah.
Kabupaten Jepara memiliki potensi yang besar dalam menggali sumber pendapatan daerah dimana Kabupaten Jepara memiliki luas wilayah sebesar 1.004,132 km2 dengan panjang garis pantai 72 km, yang terdiri dari 14 kecamatan dibagi lagi menjadi 183 desa, 11 kelurahan dan jumlah penduduk 1.335.789 jiwa (http://dppad.jatengprov.go.id).
Jumlah Kendaraan Bermotor di Jepara pada tahun 2012 sebanyak 27.784 unit, tahun 2013 sebanyak 30.425 unit, ditahun 2014 sebanyak 34.568 unit (Samsat Jepara). Dengan jumlah Kendaraan Bermotor yang semakin meningkat setiap pertahun maka dimanfaatkan oleh Kota Jepara untuk menarik tarif Pajak Progresif Kendaraan Bermotor
kepada pemilik dan/atau penguasa kendaraan bermotor, demi meningkatkan sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Jepara.
Penelitian ini merupakan penelitian replika dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ermawati (2013). Perbedaan dalam penelitian ini terletak pada objek penelitian. Objek penelitian terhadulu yaitu di DKI Jakarta sedangkan pada penelitian sekarang di Jepara. Persamaan menggunakan variabel yang sama yaitu pajak progresif.
Berdasarkan kondisi diatas peneliti ingin mencoba meneliti kembali dengan judul penelitian “Dampak Pengenaan Tarif Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di Jepara”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor berpengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak di Jepara.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk membuktikan secara emperis bahwa pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor berpengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak di Jepara.
1.4 Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh khususnya dibidang perpajakan, serta penelitian ini juga deapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
b. Bagi SAMSAT
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah bersama Kantor Samsat Jepara sehingga bisa meningkatkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dimasa yang akan datang.
c. Bagi Akademik
Penelitian ini dapat menjadi pengetahuan dan wawasan untuk para pembaca.
1.5 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun lima bab yang terdiri:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini berisi tentang landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis penelitian.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi tentang identitas responden, tanggapan responden, uji validasi dan reabilitas, pengujian hipotesis, koefisien determinasi serta pembahasan.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh, saran yang ingin dikemukakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Perilaku Pajak
Perilaku diindikasikan dengan pola sikap yang ditunjukkan oleh wajib pajak sebagai respon terhadap kewajiban perpajakan yang secara psikologis merupakan beban yang mengurangi keuntungan atau penghasilan. Pola perilaku tersebut timbul dan dianggap sebagai suatu kewajiban sepanjang tidak mengarah kepada kejahatan dalam bidang fiskal. Direktorat Jendral Pajak (DJP) mempelajari pola perilaku tersebut dengan tujuan meredam, dengan pengaturan terhadap perilaku yang mengarah kepada kejahatan atau kaitannya dengan sistem pemungutan pajak (Sumartaya, 2003).
Perilaku wajib pajak terhadap pelaksanaan kewajiban berbeda dipandang dari sisi wajib pajak. Perilaku timbul sebagai respon terhadap suatu kewajiban yang harus dipenuhi sebagai warga negara, dan kewajiban ini merupakan faktor biaya yang mengurangi tingkat keuntungan atau penghasilan (Sumartaya, 2003).
2.1.2 Prospect Theory dan Expected Utility Theory
Prospect Theory dan Expected Utility Theory sebagai alternatif dalam mengambil keputusan yang terdapat resikonya. Relevansi aspek dan Prospect Theory adalah dengan keputusan dalam melakukan penghindaran pajak dan pentingnya penerapan sanksi.
Prospect Theory berpegang pada kenyataan bahwa pengambilan keputusan mengandung resiko dengan berdasarkan pada fungsi-fungsi value masing-masing individu yang terkadang dalam menyeleksi alternative tidak konsisten dengan tujuan memaksimalkan
manfaat dan pilihan. Fungsi value memiliki dua kemungkinan yang pertama, value diterapkan pada potensi kerugian dan keuntungan, yang kedua timbangan keputusan yang mencerminkan persepsi individu terhadap profitabilitas menggantikan probabilitas yang sebenarnya. Jadi oleh pihak yang berwenang terhadap masalah penyalahgunaan dan pembangkangan pajak dapat diambil suatu tindakan hukum sesuai dengan undang- undang hukum pajak yang berlaku (Sumartaya, 2013).
2.2 Pengertian Pajak
Menurut Feldman dalam Suandy (2005) pajak adalah prestasi yang dipaksakan oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang diterapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Menurut Smeets dalam Suandy (2005) pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya konstraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individu maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Menurut Soemahamidjaja dalam Suandy (2005) pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Menurut Soemitro dalam suandy (2005) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
a. Pajak peralihan kekayaan dari orang/ badan ke pemerintah.
b. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
d. Pajak dipungut oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi publik.
f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.
g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.
2.3 Fungsi Pajak
Menurut Suandy, (2005) Fungsi Pajak yaitu:
1. Fungsi budgetair /Finansial
Memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas Negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.
2. Fungsi Regulerend/ Fungsi Mengatur
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengukur baik masyarakat dibidang ekonomi, social maupun politik dengan tujuan tertentu.
2.4 Pemungutan Pajak
2.4.1 Asas-asas pemungutan pajak
Menurut Suandy, (2005) Asas pemungutan pajak yaitu:
1. Equality
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equality, tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesame Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dalam keadaan berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda.
2. Certainty
Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya.
3. Convenience of Payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat yang paling dekat dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Economics of Collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat dan seefisie mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri, karena pemungutan pajak tidak akan ada artinya kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
2.4.2 Teori pemungutan pajak
Teori pemungutan pajak sebagai dasar menyatakan keadilan kepada hak Negara untuk memungut pajak dari rakyat. Beberapa teori pemungut pajak sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
1. Teori Asuransi
Negara melindungi kesehatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan ( misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara, semakin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya.
Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memung pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara.
Selanjutnya Negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.4.3 Dasar pemungutan pajak
Dasar pemungutan pajak merupakan bentuk operasional dari pengakuan dan pengukuran keadaan objek pajak atau stelsel. Beberapa dasar pemungutan pajak sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel nyata ini adalah pajak yang dikenakan lebih realities.
Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
2. Stelsel Anggapan (fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat diterapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel riil dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.4.4 Sistem pemungutan pajak
Menurut Mardiasmo, (2002) sistem pemungutan pajak yaitu:
1. Official Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirnya, wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fikus, wajib pajak bersifat pasif, utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fikus.
2. Self Asessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya, wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri, wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. Withholding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya, wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.4.5 Hambatan-hambatan pemungutan pajak
Menurut Mardiasmo,(2002) Hambatan-hambatan pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang,
b. Tax Evasion, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hambatan-hambatan pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Sumartaya (2003) merupakan pola sikap yang ditunjukkan oleh wajib pajak sebagai respon terhadap kewajiban perpajakan yang merupakan beban bagi wajib pajak sehingga mengurangi keuntungan dan penghasilannya.
2.5 Jenis Pajak
Dalam “Hukum Pajak” terdapat berbagai jenis pajak, cara membedakannya dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu:
1) Menurut Golongannya : a. Pajak Langsung
Pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain.
2) Berdasarkan Sifat a. Pajak Subjektif
Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan wajib pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya yaitu gaya pikul.
b. Pajak Objektif
Pajak yang awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain, pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memerhatikan kondisi objeknya saja.
3) Berdasarkan Wewenang Pemungut:
a. Pajak Pusat / Pajak Negara
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak.
b. Pajak Daerah
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Dalam Undang-undang No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri dari 5 jenis pajak Daerah Provinsi dan 11 Jenis Daerah Kabupaten/Kota, yaitu:
1) Pajak Provinsi
Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Pemukaan; dan Pajak Rokok.
2) Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.6 Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo,(2002) ada empat macam tarif pajak yaitu:
1) Tarif Pajak Proposional/Sebanding
Tarif berupa persentase tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
2) Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
3). Tarif Progresif
Tarif pajak yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif Progresif dibagi:
1. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar 2. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap
3. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil
Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 Undang-undang PPh tersebut diatas termasuk tarif pajak progresif progresif.
4) Tarif degresif
persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), terhitung mulai tanggal 01 Januari 2011, Tarif Pajak Kendaraan Bermotor di Provisnsi Jawa Tengah ditetapkan sebagai berikut:
1. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor Kepemilikan Pribadi berdasarkan Nama dan/atau Alamat yang sama dikenakan tarif Pajak Progresif sebesar: (1) Kendaraan Pertama 1,5%;
(2) Kendaraan Kedua 2%; (3) Kendaraan Ketiga 2,5%; (4) Kendaraan Keempat dan seterusnya 4%.
2. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor Untuk: (1) TNI/Polri, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan tarif Pajak sebesar 0,50%; (2) Angkutan umum, ambulans, mobil jenazah dan pemadam kebakaran dikenakan tarif {ajak sebesar 0,50%; (3) Sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan dikenakan tarif Pajak sebesar 0,50%.
3. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat berat dan besar dikenakan tarif Pajak sebesar 0,20%.
2.7 Dasar Pengenaan Pajak
Menurut Waluyo, (2005) Dasar Pengenaan Pajak yaitu:
1. Harga Jual
Harga Jual ialah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian
Penggantian ialah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP (Jasa Kena Pajak), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
3. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor ialah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya harga yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
4. Nilai Impor
Nilai Impor ialah nilai berupa uang, yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM.
5. Nilai Lain
Nilai Lain yang dapat digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 sebagai penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yaitu hasil perkalian dari dua unsur unsur pokok:
1. Nilai Jual Kendaraan Bermotor
Besarnya Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan harga pasaran umum, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber yang akurat. Harga pasaran umum dimaksud pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember tahun Pajak sebelumnya. Khusus Kendaraan Bermotor yang digunakan diluar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, Dasar Pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor adalah nilai jual kendaraan bermotor. Penghitungan dasar pengenaan pajaknya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan, demikian penghitungan dasar pengenaan pajak juga akan ditinjau kembali setiap tahun.
2. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Bobot ini dinyatakan dalam koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih dari 1 (satu) berarti penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
Bobot ini dihitung berdasarkan faktor-faktor:
a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as roda, dan berat kendaraan bermotor.
b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan
c. Jenis penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.
2.8 Pajak Progresif Kendaraan Bermotor
Pajak Progresif adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Pajak Progresif adalah pajak yang sistem pemungutannya dengan cara menaikkan persentase kena pajak yang harus dibayar sesuai dengan kenaikan Objek Pajak yang dalam hal ini adalah Pajak Progresif Kendaraan Bermotor.
Pajak Kendaraan Bermotor yang disebut PKB menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002 adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan Kendaraan Bermotor (Ermawati, 2013). Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energy tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
Pembahasan mengenai aspek Pajak Kendaraan Bermotor maka tidak akan terlepas dari berbagai macam aktivitas yang terdapat pada kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor dan jalan merupakan salah satu yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat menggunakan kendaraan bermotor sebagai sarana mobilisasi kegiatan sehari-hari. Dalam penggunaan kendaraan bermotor tersebut diperlukan sarana penunjang berupa jalan raya.
Berdasarkan hal tersebut maka cukup wajar apabila masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor dibebankan secara wajib dari segi material oleh pemerintah sehingga alokasi pembebanan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan jalan raya.
Alasan teoritis pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah penggunaan jalan raya yang merupakan barang public (public good) untuk masyarakat. Penggunaan
jalan raya menimbulkan biaya (cost) baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung yaitu kerusakan terhadap badan jalan sehingga menimbulkan biaya bagi pemerintah dan sedangkan biaya tidak langsung (spillover cost) antara lain yaitu polusi udara dan polusi suara serta kemacetan. Pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor yaitu dibebankan kepada pemilik kendaraan bermotor yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu unit kendaraan. Pajak tersebut diberlakukan bagi pemilik kendaraan dengan nama dan alamat yang sama. Pajak diberlakukan untuk semua jenis mobil pribadi , dan kendaraan roda dua atau sepeda motor yang memiliki cc diatas 200.
2.9 Penghindaran Pajak
Perencanaan pajak dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Ada dua hal yang sering dilakukan untuk menghemat jumlah pajak yang dilakukan perusahaan yaitu: tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Jika dipandang dari segi hukum, jelas bahwa tax avoidance adalah sah sepanjang tidak ditemukan unsur kejahatan pada saat pemeriksaan, tetapi untuk tax evasion jelas merupakan pelanggaran hukum. (Ermawati, 2013) Beberapa penghindaran pajak antara lain:
a. Tax planning
Upaya wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang terhutang melalui skema yang memang sudah jelas diatur dalam peraturan Undang-Undang Perpajakan dan tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan Otoritas Pajak.
b. Tax Avoidance
Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara sehingga ahli pajak menyatakan legal karena tidak melanggar peraturan perpajakan.
c. Tax evasion
Suatu skema memperkecil pajak yang terhutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal).
2.10 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah hasil penelitian terdahulu, yang telah dilakukan peneliti sebelumnya:
TABEL 2.1
PENELITIAN TERDAHULU
Peneliti Judul Hasil
Eka Ermawati dan Ni Putu Eka Widiastuti (2013)
Dampak pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor di Provinsi DKI Jakarta.
Pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor memiliki hubungan yang kuat dan positif terhadap perilaku penghindaran pajak di DKI Jakarta.
Fajariani (2013) Pengenaan tarif pajak progresif pada pajak kendaraan bermotor berdasarkan “The Four Maxims”
Pemungutan pajak kendaraan dengan tarif progresif di Jawa Timur, semua wajib pajak diperlakukan sama, baik dalam hal pelayanan ataupun yang lainnya yang dilaksanakan di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur.
Mughal &
Muhammad Alram (2012)
Reasons Of Tax
Avoidance and Tax Evasion: Reflections From Pakistan.
Central limit theorem, ada 100%
kemungkinan dari semua variabel mengenai alasan, cara,dan efeksosial dan ekonomi sudah benar. Selanjutnya, berdasarkan beban faktor, peringkat lima tertinggi alasan/penyebabnya adalah: pertama, tidak ada sosialisasi ke masyarakat, kedua, kurangnya insentif pajak yang memadai, ketiga, hubungan yang buruk antara wajib pajak dan otoritas pajak; keempat, proliferasi pajak, dan kelima, ketidaktahuan atas perhitungan pajak.
Febriati (2011) Analisis Sistem Pengendalian Pemungutan
Pajak Kendaraan
Bermotor Dalam
Peningkatan PAD pada
Dispenda Kota
Singkawang.
Sistem Internal Control pemungutan pajak kendaraan bermotor yang dilakukan Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Kota Singkawang cukup efektif, dengan terpenuhinya unsur efektivitas Sistem Internal Control.
Scott D. Dyreng, dkk (2010)
The Effects of Executives on Corporate Tax Avoidance penelitian dilaksanakan di United States of America.
Individual executives berpengaruh positif terhadap Firms’ tax avoidance di United States of America.
Yunus (2010) Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Kabupaten Bone Bolango di Provinsi Gorontalo.
Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bone Bolango di Provinsi Gorontalo relatif besar selama 4 (empat) tahun terakhir yaitu tahun 2006 s/d 2009.
Tunggakan pajak kendaran bermotor pada UPTB/Samsat Kabupaten Bone Bolango sangat dipengaruhi oleh jumlah kendaraan bemotor roda 2 dan roda 4 serta jumlah kendaraan bermotor lainnya.
Joel Slemrod (2007)
Creating Ourselves: The Economics of Tax Evasion”penelitian yang dilakukan di U.S.
Department of the Treasury, Internal Revenue Service.
Variasi dalam kepatuhan dan kejujuran dapat menjelaskan beberapa dari keseluruhan individu dan mungkin, kebanyakan di seluruh Negara melakukan penggelapan. Namun perbedaan mencolok dalam tingkat kepatuhan keseluruhan objek pajak yang berkaitan erat dengan tingkat deteksi sangat menunjukkan bahwa pencegahan merupakan faktor kuat dalam keputusan penggelapan.
Sumber: diolah Peneliti
Dari tabel perbandingan antar penelitian di atas, terlihat bahwa dari keenam penelitian yang terpilih sebagai tinjauan pustaka memiliki kesamaan tema/topik dengan dengan skripsi ini yaitu mengenai Pajak Kendaraan Bermotor. Dari permasalahan yang diangkat, skripsi ini memiliki perbedaan dari keenam penelitian sebelumnya. Skripsi sebelumnya mengangkat permasalahan yang berfokus tentang pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan “The Four Maxims”, Analisis Sistem Pengendalian Pemungutan Pajak, penghindaran dan penggelapan, Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor,
sedangkan penelitian ini menguji kembali penelitian terdahulu yaitu tentang Dampak Pengenaan Tarif Pajak Progresif Kendaraan Bermotor.
2.11 Kerangka Konseptual (Pemikiran)
Kerangka pemikiran didalam penelitian ini adalah mengenai dampak pengenaan tarif pajak progresif di Jepara. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pengenaan Tarif Pajak Progresif dan Perilaku Penghindaran Pajak .
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual atau penggantian atau nilai Impor atau nilai Ekspor atau nilai lain yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang (waluyo, 2005). Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor yaitu hasil perkalian dari nilai jual kendaraan bermotorpertumbuhan jumlah kendaraan dan bobot. Dasar pengenaan tarif pajak progresif yaitu dibebankan kepada pemilik kendaraan yang mempunyai lebih dari satu unit kendaraan, dengan nama dan alamat yang sama.
Perilaku diindikasikan dengan pola sikap yang ditunjukkan oleh wajib pajak sebagai respon terhadap kewajiban perpajakan yang secara psikologis merupakan beban yang mengurangi keuntungan atau penghasilan. Pola perilaku tersebut timbul dan dianggap sebagai suatu kewajiban sepanjang tidak mengarah kepada kejahatan dalam bidang fiskal. Direktorat Jendral Pajak (DJP) mempelajari pola perilaku tersebut dengan tujuan meredam, dengan pengaturan terhadap perilaku yang mengarah kepada kejahatan atau kaitannya dengan sistem pemungutan pajak (Sumartaya, 2003). Penghindaran Pajak ialah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan
memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara sehingga ahli pajak menyatakan legal karena tidak melanggar peraturan perpajakan.
Berdasarkan uraian teoritis dan hasil-hasil penelitian maka kerangka pemikiran dari penelitian adalah sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
GAMBAR 2.1
KERANGKA KONSEPTUAL
2.12 Hipotesis Penelitian
Hipotesis didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji.
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat disimpulkan ringkasan hipotesis.
a. Pengaruh pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor terhadap perilaku penghindaran pajak di Jepara.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fajariani (2013), mengenai pengenaan tarif pajak progresif pada pajak kendaraan bermotor berdasarkan asas “The Four Maxims” yang dikemukakan oleh Adam Smith kelihatannya masih relevan untuk diterapkan dan sebaiknya harus tetap diacu dalam perpajakan, yaitu kesamaan dan keseimbangan (equality), kepastian hukum (certainty), kenyamanan untuk membayar
Pengenaan tarif pajak progresif
Perilaku Penghindaran
Pajak
(convenience), maupun efisiensi (efficiency). Dilihat dari asas kesamaan dan keseimbangan (equality), pemungutan pajak kendaraan dengan tarif progresif di Jawa Timur, semua wajib pajak diperlakukan sama, baik dalam hal pelayanan ataupun yang lainnya yang dilaksanakan di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur.
Penelitian Ermawati (2013), terdapat pengaruh yang signifikan antara pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor terhadap perilaku penghindaran pajak di DKI Jakarta. Semakin diberlakukannya pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor maka tingkat perilaku penghindaran pajak di DKI Jakarta semakin meningkat, dan begitu juga sebaliknya jika pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor semakin tidak diberlakukan, maka tingkat perilaku penghindaran pajak di DKI Jakarta semakin rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Febriati (2011), meneliti Analisis Sistem Pengendalian Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor Dalam Peningkatan PAD pada Dispenda Kota Singkawang. Hasil penelitian menunjukan Sistem Internal Control pemungutan pajak kendaraan bermotor yang dilakukan Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Kota Singkawang cukup efektif, dengan terpenuhinya unsur efektivitas Sistem Internal Control, yaitu: Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tepat yang membagi tanggung jawab fungsional kepada unit-unit organisasi yang dibentuk dalam melaksanakan kegiatan pokok organisasi. Sistem otorisasi dan prosedur pencatatan yang baik dan konsisten yang berguna dalam pengawasan akuntansi yang cukup terhadap asset organisasi. Praktek yang sehat dalam
melakukan tugas dan fungsi-fungsi setiap bagian dalam organisasi. Penempatan pegawai sesuai dengan kecakapan pegawai yang sesuai dengan tanggung jawabnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Scott D. Dyreng. dkk (2010), meneliti mengenai The Effects of Executives on Corporate Tax Avoidance penelitian dilaksanakan di United States of America. Hasil penelitian menunjukan individual executives berpengaruh positif terhadap Firms’ tax avoidance di United States of America.
Kesimpulan dari pernyataan di atas terdapat pengaruh yang signifikan antara pengenaan tarif pajak progresif kendaraan bermotor terhadap Perilaku Penghindaran Pajak.
: terdapat Pengaruh Pengenaan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor terhadap Perilaku Penghindaran Pajak di Jepara.
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan defenisi Operasional 3.1.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah construct yang diukur dengan berbagai macam nilai untuk memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai fenomena-fenomena. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah
Variabel dependen (Y) yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen adalah:
Y= Perilaku penghindaran pajak progresif
Variabel Independen (X) adalah variabel yang mempengaruhi Y adalah
= Pengenaan tarif pajak progresif.
3.1.2 Defenisi Operasional
Definisi operasional adalah penentuan construct sehingga menjadi variabel yang dapat diukur.
Variabel Independen dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Pengenaan tarif pajak progresif
Pengenaan pajak progresif kendaraan bermotor yaitu dibebankan kepada pemilik kendaraan bermotor yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu unit kendaraan.
Pajak tersebut diberlakukan bagi pemilik kendaraan dengan nama dan alamat yang sama.
pajak diberlakukan untuk semua jenis mobil pribadi , dan kendaraan roda dua atau
sepeda motor yang memiliki cc diatas 200. Penerapan pajak progresif kendaraan bermotor merupakan salah satu upaya pembatasan jumlah kendaraan.
Variabel pengenaan tarif Pajak Progresif dapat di ukur dengan indikator (Ermawati, 2013):
1. Pajak Progresif.
2. Asas The Four Maxims.
3. Objek dan subjek pajak.
4. Jenis mobil dan kendaraan.
5. Kendaraan yang mempunyai cc diatas 200.
6. Nilai jual dibawah 25 tahun.
7. Pemilik kendaraan lebih dari satu.
8. Nama dan alamat yang sama.
9. Peraturan Undang-Undang.
10. Pengenaan Tarif 2% setiap kendaraan kedua orang pribadi.
11. Pengenaan Tarif 0,50% Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
12. Kemampuan membayar pajak progresif.
13. Masyarakat yang berpendapatan tinggi.
14. Pengetahuan tentang Undang-Undang Pengenaan Pajak Progresif.
Instrumen ini terdiri lima item dengan lima poin skala Likert. Setiap responden diminta untuk menyatakan persepsinya dengan memilih salah satu pilihan yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Ragu-ragu (RG), Setuju (S) atau sangat setuju (SS) atas pertanyaan yang berhubungan dengan Penghindaran Pajak.
Variabel dependen dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Perilaku Penghindaran Pajak Progresif (Y)
Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara sehingga ahli pajak menyatakan legal karena tidak melanggar peraturan perpajakan.
Variabel perilaku Penghindaran Pajak dapat diukur dengan indikator (Ermawati, 2013):
1. Meminimalkan membayar Pajak Kendaraan Bermotor.
2. Tarif Pajak terlalu tinggi.
3. Kemampuan membayar Pajak.
4. Ketahuan Perilaku Penghindaran Pajak kecil untuk diperiksa.
5. Kurangnya Pengetahuan tentang pentingnya Pajak Progresif.
6. Tidak melanggar Undang-Undang.
Instrumen ini terdiri lima item dengan lima poin skala Likert. Setiap responden diminta untuk menyatakan persepsinya dengan memilih salah satu pilihan yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Ragu-ragu (RG), Setuju (S) atau sangat setuju (SS) atas pertanyaan yang berhubungan dengan Penghindaran Pajak.
3.2 Penentuan Populasi dan sampel 3.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang menjadi perhatian, pengamatan dan penyedia data. Populasi dalam Penelitian ini yaitu wajib pajak kendaraan bermotor yang membayar pajak di Kantor Bersama SAMSAT Jepara. Karena
populasi sangat besar, maka kerap kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi, sehingga perlu diadakan pengambilan sampel.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagaian elemen-elemen dari populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini sampel data diambil melalui kuesioner yang disebarkan kepada wajib pajak yang melakukan pengurusan pajak kendaraan bermotor di SAMSAT Jepara, khususnya wajib pajak yang melakukan pengurusan pajak kendaraan bermotor di SAMSAT Jepara yang memiliki kendaraan lebih dari satu unit, jenis kendaraan roda dua, empat atau lebih. Penentuan teknik sampel dalam peneliti ini dengan menggunakan purposive sampling, yaitu memilih responden yang terseleksi oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri khusus yang dimiliki sampel tersebut yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri dan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Rumus Slovin adalah sebagai berikut :
Dimana :
n : Jumlah sampel N : Jumlah Populasi
Batas ketelitian yang diinginkan
=
= 40.81
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data primer yaitu sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli atau tidak melalui perantara.
Dalam hal ini Pengumpulan data primer diperoleh langsung melalui kuesioner yang dibagikan kepada wajib pajak yang melakukan pengurusan pajak kendaraan bermotor di SAMSAT Jepara yang memiliki kendaraan lebih dari satu unit.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yaitu metode pengumpulan data primer yang memerlukan adanya komunikasi antara peneliti dengan responden. Dalam penelitian ini kuesioner dipilih sebagai teknik pengumpulan data yang dianggap cocok diterapkan. Teknik ini memberikan tanggung jawab kepada responden untuk membaca dan menjawab pertanyaan. Kuesioner ini dibagikan secara personal.
Dengan mendatangi satu persatu calon responden, mengecek apakah calon memenuhi persyaratan sebagai calon responden dan menanyakan kesediaan untuk mengisi kuesioner. Prosedur ini penting dilaksanakan karena peneliti ingin menjaga agar kuesionernya hanya diisi oleh responden yang memenuhi syarat dan bersedia dengan sesungguhan.
3.5 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah:
1) Data kualitatif
Yaitu data yang tidak berbentuk angka tetapi berbentuk keterangan-keterangan dari petugas SAMSAT Jepara.
2) Data Kuantitatif
Yaitu data yang berupa jumlah kendaraan bermotor di Jepara.
3.5.1 Uji Kuesioner 1. Uji Validitas
Uji Validitas untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali,2013).
2. Uji Reabilitas
Uji reabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorng terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu, (Ghozali, 2013). Alat untuk mengukur reabilitas dengan uji statistik Cronboch Alpha. Suatu kontruk atau variabel dikatakan reliable, jika memberikan nilai Cronboch Alpha > 0,60 Nunnally (1994) dalam Ghozali (2001).
3.5.2 Analisis Korelasi
Analisis Korelasi bertujuan untuk mengukur mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear antara dua variabel. Korelasi tidak menunjukkan hubungan fungsional atau dengan kata lain analisis korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel independen.
3.5.3 Uji Koefisien Determinasi
Pada umunya Koefisien determinasi ) digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel-variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai ) yang kecil berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang waktu (cressection), relatif rendah kerena adanya variasi yang besar antara masing-masing pengamatan sedangkan untuk data runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi (Ghozali, 2013).
3.5.4 Uji Hipotesis
1. Uji Statistik F/Uji Model
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen/terikat.
Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji adalah apakah suatu parameter dalam model sama dengan nol, atau:
Ho : b1 = b2 = …… = bk = 0
Artinya, variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatifnya (HA) tidak semua parameter secara simultan sama dengan nol, atau:
HA : b1 ≠ b2 ≠……. ≠ bk ≠ 0
Artinya, variabel independen merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.
2. Uji Statistik t / Uji Hipotensi
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen dalam menerangkan variasi variabel dependen. Hipotesis nol (Ho) yang hendak diuji adalah apakah suatu parameter (bi) sama dengan nol, atau
Ho : bi = 0
Artinya apakah suatu variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatifnya (Ha) parameter suatu variabel tidak sama dengan nol, atau:
HA : bi ≠ 0
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Perusahaan
Kabupaten Jepara merupakan sebuah Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah.
Kabupaten Jepara memiliki potensi yang besar dalam menggali sumber pendapatan daerah dimana Kabupaten Jepara memiliki luas wilayah sebesar 1.004,132 km2 dengan panjang garis pantai 72 km, yang terdiri dari 14 kecamatan dibagi lagi menjadi 183 desa, 11 kelurahan dan jumlah penduduk 1.335.789 jiwa.
Kantor SAMSAT Jepara terletak di Jl. MT Haryono No.2 Jepara. Kantor SAMSAT ini berdiri sejak Mei 2008. Kantor SAMSAT Jepara mempunyai letak yang strategis sehingga warga Jepara tidak kesulitan untuk mencari Kantor SAMSAT Jepara.
4.1.2 Visi dan Misi a. Visi
Terwujudnya Pelayanan Prima Berbasis Teknologi Informasi Menuju Pemerintahan Yang Bersih.
b. Misi
a) Meningkatkan Kwalitas Pelayanan Kepada Masyarakat.
b) Meningkatkan Sumber Daya Manusia.
c) Meningkatkan Identifikasi dan Keamanan Kepemilikan Kendaraan Bermotor.
d) Meningkatkan Penerimaan Daerah dan Pusat.
4.1.3 Struktur Organisasi
Gambar 4.1
Struktur Organisasi Kantor SAMSAT Jepara 1. Tugas dan Wewenang Kepala UP3AD
a) Merencanakan Program kegiatan Pelayanan Pendapatan dan Pemberdayaan Aset Daerah.
b) Mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, keputusan, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk Teknis masalah Pelayanan Pendapatan dan Pemberdayaan Aset Daerah.
c) Memberikan petunjuk, arahan dan mendistrubusikan tugas kepada bawahan.
Kepala UP3AD Njoto Legowo, SE,
MM
Sub.Bag Tata Usaha Sarimin, SE
Seksi Penagihan dan Pemberdayaan Aset
Sutarno, SE Seksi Pembukuan
dan Pelaporan Diana Yustiva, SE Seksi Pendapatan
Lain-lain Mustolih, SH, MM Seksi Pajak dan
BBNKB Ponidi, SE
d) Melaksanakan koordinasi dengan instansi, dinas terkait guna kelancaran pelaksanaan tugas, dan koordinasi UP3AD Kabupaten/Kota di lingkungan DPPAD Provinsi Jawa Tengah dan Instansi terkait dengan maksud dan tujuan untuk persamaan persepsi dan peningktan PAD.
e) Menyusun rencana dan melaksanakan kebijakan teknis operasional pelayanan pajak dan BBNKB, pendapatan lain-lain, pembukuan, pelaporan, penagihan dan pemberdayaan Aset Daerah.
f) Memantau, menginventarisir, Pembina, membimbing, mengevaluasi, menilai dan memberikan arahan kepada staf guna kelancaran tugas.
g) Melaporkan pelaksanaan tugas program kegiatan seksi Pelayanan Pendapatan dan Pemberdayaan Aset Daerah secara lesan maupun tertulis.
h) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepada Dinas yang terkait dengan tugas dan fungsi.
2. Tugas dan Wewenang Kasubag. Tata Usaha
a) Merencanakan program kegiatan program, kepegawaian, keuangan, ketatausahaan, rumah tangga dan perlengkapan UP3AD.
b) Mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, keputusan, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk Teknis program, kepegawaian, keuangan, ketatausahaan, rumah tangga dan perlengkapan UP3AD.
c) Memberikan petunjuk, arahan dan mendistrubusikan tugas kepada bawahan.
d) Melaksanakan koordinasi kepada kepala seksi, instansi, dinas terkait untuk menyamakan persepsi dan mencari terobosan-terobosan baru yang maksud dan tujuannya untuk meningkatkan PAD dan kemajuan.
e) Menyusun rencana teknis operasional, mengonsep dan memantau kegiatan untuk penyelenggaraan pengelolaan administrasi program, kepegawaian, keungan, ketatausahaan, rumah tangga, dan perlengkapan.
f) Menginvestarisir permasalahan yang timbul dan mencari solusi pemecahaan.
g) Membina, membimbing, mengevaluasi, dan menilai kinerja bawahan sebagai pemacu prestasi kerja staf.
h) Memberikan saran dan pertimbngan kepada Kepala UP3AD secara lisan maupun tertulis mengenai masalah teknis maupun kebijakan.
i) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala UP3AD yang terkait dengan tugas dan fungsi.
3. Tugas dan Wewenang Kepala Seksi Pajak dan BBNKB
a) Merencanakan program kegiatan dan menyiapkan bahan rencana dan program seksi pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor.
b) Mempelajari dan menjabarkan petunjuk, disposisi atasan guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
c) Mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, keputusan, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis program kegiatan seksi pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor.
d) Melaksakan koordinasi dengan instansi terkait guna kelancaran pelaksanaan tugas kegiatan.
e) Melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan yang meliputi pengelolaan administrasi pajak kendaraan bermotor.
f) Menyiapkan bahan dan menyusun bahan kebijakan teknis seksi pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor.
g) Menyiapkan bahan pelaksanaan dan pelayanan administrasi dan teknis seksi pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor.
h) Menyiapkan bahan, pelaksanaan dan fasilitasi seksi pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor.
i) Mengkaji dan menggembangkan teknis program kegiatan seksi pajak dan bea balik nam kendaraan bermotor.
j) Melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan seksi pajak dan bea balik nama kendaraan.
k) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala UP3AD yang terkait dengan tugas dan fungsi.
4. Tugas dan Wewenang Kepala Seksi Pendapatan Lain-Lain
a) Menyiapkan bahan rencana dan program kegiatan seksi pendapatan lain-lain.
b) Menyiapkan atau menyusun kebijakan teknis pendapatan lain-lain.
c) Mempelajari dan menjabarkan petunjuk, disposisi atasan guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
d) Menyiapkan bahan pelaksanaan dan pelayanan administrasi dan teknis seksi pendapatan lain-lain.
e) Menyiapkan bahan, pelaksanaan dan fasilitasi untuk menyelenggarakan pengelolaan administrasi pendapatan lain-lain.
f) Melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan yang meliputi pengelolaan administrasi pendapatan lain-lain.
g) Memantau pungutan koordinatif (Ret./PLL) dari Dinas-dinas terkait, pungutan bagi hasil (PBB, UPPBB, dan BPHTB) bagian Provinsi dan Kota/ Kabupaten.
h) Mengkaji dan mengembangkan teknis program kegiatan seksi pendapatan lain-lain.
i) Melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan seksi pendapatan lain-lain.
j) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala UP3AD yang terkait dengan tugas dan fungsi.
5. Tugas dan Wewenang Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan
a) Menyiapkan bahan rencana dan program kegiatan seksi pembukuan dan pelaporan.
b) Menyiapkan, menyusun kebijakan teknis seksi pembukuan dan pelaporan.
c) Mempelajari dan menjabarkan petunjuk, disposisi atasan guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
d) Menyiapkan bahan pelaksanaan dan pelayanan administrasi dan teknis seksi pembukuan dan pelaporan.
e) Menyiapkan bahan, pelaksanaan dan fasilitas seksi pembukuan dan pelaporan.
f) Menginventarisir data penerimaan yang dikelola oleh UP3AD, crosscek tembusan Ben 9 dari PT Bank Jateng tentang kebenaran setoran dalam masing-masing rekening.
g) Membukukan Penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, peneriamaan lain-lain dan penerimaan koordinatif.
h) Monitoring 10 harian dan bulanan yang ada di Bendahara Penerimaan Pembantu dan Monitoring target Penerimaan aerah, Retribusi Daerah, Penerimaan lain-lain.
i) Mempertanggungjawabkan laporan secara rutin 10 harian maupun bulanan.
j) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh UP3AD terkait tugas dan fungsi.
6. Tugas dan Wewenang Kepala Seksi Penagihan dan Pemberdayaan Aset
a) Menyiapkan bahan rencana dan program seksi penagihan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penanganan Pemberdayaan Aset Daerah.
b) Mempelajari dan menjabarkan petunjuk, disposisi atasan guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
c) Mempelajari data Penagian Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penanganan Pemberdayaan Aset Daerah sesuai dengan metode teknik yang telah ditentukan guna perumusan kebijakan.
d) Mengumpulkan data yang diterima guna pengembangan metode dan teknis Penagihan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penanganan Pemberdayaan Aset Daerah.
e) Melaksanakan Monitoring dan evaluasi kegiatan seksi Pajak Daerah, Retribusi daerah dan penanganan pemberdayaan asset daerah.
f) Menyusun konsep telaahan data Penagihan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penanganan Pemberdayaan Aset Daerah sesuai petunjuk teknis yang telah ditentukan.
g) Menyiapkan bahan evaluasi pelaksanaan kegiatan Penagihan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penanganan Pemberdayaan Aset Daerah sebagai bahan pelaporan pelaksanaan tugas kegiatan.
h) Melaksanakan koordinasi dengan kepala seksi terkait maupun instansi terkait sehubungan dengan Penagihan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penanganan Pemberdayaan Aset Daerah guna kelancaran pelaksanaan tugas kegiatan.
i) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala UP3AD yang terkait dengan tugas dan fungsi.
4.2 Identitas Responden
Berikut ini akan dijabarkan identitas responden yang merupakan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Progresif di Jepara sebanyak 50 Responden, dimana data diperoleh dari penyebaran kuesioner.
4.2.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Identitas responden berdasarkan jenis kelamin yang merupakan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Progresif di Jepara dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
JENIS KELAMIN JUMLAH PROSENTASE
Laki-laki 31 62%
Perempuan 19 38%
Total 50 100%
Sumber : Data yang diolah
Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang merupakan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Progresif di Jepara berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31 Responden (62%), dan yang berjenis perempuan sebanyak 19 Responden (48%).
4.2.2 Identitas Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan dapat menjadi tolak ukur atau ciri atas seseorang yang membedakan satu orang dengan yang lainnya yang dipandang dari sudut social ekonomi. Karakteristik berdasarkan pekerjaan responden yang merupakan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Progresif di Jepara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Identitas Responden Berdasarkan Pekerjaan
PEKERJAAN JUMLAH PRESENTASE
Petani 7 14%
Pedagang 4 8%
PNS 10 20%
Guru 13 26%
Nelayan 2 4%
Lain-lain 14 28%
Total 50 100%
Sumber : Data yang diolah
Dari tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar pekerjaan dari responden penelitian ini adalah Lain-lain Yaitu sebanyak 14 responden (28%).
4.2.3 Identitas Responden Berdasarkan Umur
Identitas responden berdasarkan umur yang merupakan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Progresif di Jepara dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.3
Identitas Responden Berdasarkan Umur
UMUR JUMLAH PRESENTASE
20 - 30 Tahun 6 12%
31- 40 Tahun 10 20%
41 – 50 Tahun 22 44%
51- 60 Tahun 12 24%
Total 50 100%
Sumber : Daya yang diolah
Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa sebagian besar umur responden dalam penelitian ini adalah umur 41-50 tahun yaitu sebanyak 22 responden (44%).
4.2.4 Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan seseorang menjadi salah satu faktor yang diperlu diperhatikan untuk menentukan tolak ukur tingkat kepatuhan seseorang atas kewajiban tertentu yang dimilikinya. Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.4
Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan
PENDIDIKAN JUMLAH PRESENTASE
SMP 3 6%
SMA 22 44%
Diploma 0 0%
Sarjana 25 50%
Total 50 100%
Sumber : Data yang diolah
Dari tabel 4.4 dapat diketahui bahwa mayoritas responden Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Progresif di Jepara bertamatan Sarjana yaitu sebanyak 25 responden (50%).
4.3 Hasil Analisis Data 4.3.1 Deskripsi Hasil Penelitian
Deskripsi hasil penelitian ini akan mengungkapkan persepsi dari responden mengenai Pengenaan Pajak Progresif yang mempengaruhi Perilaku Penghindaran Pajak di Jepara dapat dilihat dari nilai rata-rata pernyataan responden pada setiap pertanyaan/kuesioner yang diajukan dan untuk penilaiannya dilakukan dengan rentang skala sebagai berikut:
Nilai Maksimum : 5 Nilai Minimum :1 Rentang Skala : = 0.8
Kategoti:
1. 1.0 - 1.80 = Sangat rendah/sangat buruk 2. 1.81 - 2.60 = Rendah/buruk
3. 2.61 - 3.40 = Sedang/cukup 4. 3.41 - 4.20 = Baik/tinggi
5. 4.21 - 5.00 = Sangat baik/sangat tinggi 4.3.2 Tanggapan
Berdasarkan hasil jawaban diatas kuesioner yang dibagikan kepada para responden terhadap variabel-variabel yang diteliti, dapat diketahui jumlah orang maupun prosentasinya sebagai berikut:
a. Tanggapan Terhadap Variabel Pengenaan Pajak Progresif (X1)
Tanggapan responden mengenai Pengenaan Pajak Progrosif dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.5
Tanggapan tentang Pengenaan Pajak Progresif (X1)
No
Indikator Variabel Pengenaan Pajak
Progresif
Skor Jawaban 1
(STS
2 (TS)
3 (RG)
4 (S)
5 (SS)
rerata F Sco
re
F Sco re
F Sco re
F Sco re
F Score
1 Pajak Progresif 0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
2 Asas The Four Maxims
0 0 0 0 3 9 19 76 28 140 4,5
3 Objek dan subjek pajak
0 0
0 0 0 3 9 19 76 28 140 4,5
4 Jenis mobil dan kendaraan
0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
5 Kendaraan yang 0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
mempunyai cc diatas 200
6 Nilai jual dibawah 25 tahun
0 0 0 0 3 9 19 76 28 140 4,5
7 Pemilik kendaraan lebih dari satu
0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
8 Nama dan alamat yang sama
0 0 0 0 2 6 14 56 34 170 4,64
9 Peraturan Undang- Undang
0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
10 Pengenaan Tarif 2%
setiap kendaraan kedua orang pribadi
0 0 0 0 3 9 19 76 28 140 4,5
11 Pengenaan Tarif 0,50% Pemerintah
Pusat dan
Pemerintah Daerah
0 0 0 0 3 9 19 76 28 140 4,5
12 Kemampuan
membayar pajak progresif
0 0 0 0 2 6 14 56 34 170 4,64
13 Masyarakat yang berpendapatan tinggi
0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
14 Pengetahuan tentang Undang-Undang Pengenaan Pajak Progresif
0 0 0 0 3 9 14 56 33 165 4,6
Nilai r2erata table 4,57
Sumber : Data yang diolah
Secara umum dari tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa responden memberikan persepsi yang sangat baik/sangat tinggi terhadap Pengenaan Pajak Progresif dengan nilai rata-rata secara keseluruhan menunjukkan nilai 4,57. Hal ini menunjukkan responden bersepsi bahwa Pengenaan Pajak Progresif yang diwakili dari Pajak Progresif, Asas The Four Maxims, Objek dan subjek pajak, Jenis mobil dan kendaraan, Kendaraan yang mempunyai cc diatas 200, Nilai jual dibawah 25 tahun, Pemilik kendaraan lebih dari satu, Nama dan alamat yang sama, Peraturan Undang-Undang, Pengenaan Tarif 2%
setiap kendaraan kedua orang pribadi, Pengenaan Tarif 0,50% Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Kemampuan membayar pajak progresi, Masyarakat yang berpendapatan tinggi, Pengetahuan tentang Undang-Undang Pengenaan Pajak Progresif.
Sementara itu persepsi responden untuk masing-masing indikator adalah sebagai berikut:
a. Pada item pertanyaan ke Pertama, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
b. Pada item pertanyaan ke dua , sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 28 orang (56%) dan nilai rata-ratanya 4,5 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan Asas The Four Maxims berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
c. Pada item pertanyaan ke tiga, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 28 orang (56%) dan nilai rata-ratanya 4,5 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan objek dan subjek pajak berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
d. Pada item pertanyaan ke empat, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif yang diberlakukan untuk semua jenis mobil dan kendaraan berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
e. Pada item pertanyaan ke lima, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan kendaraan yang mempunyai cc diatas 200 berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
f. Pada item pertanyaan ke enam, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 28 orang (56%) dan nilai rata-ratanya 4,5 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan nilai jual dibawah 25 tahun berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
g. Pada item pertanyaan ke tujuh, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif terhadap pemilik kendaraan lebih dari satu berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
h. Pada item pertanyaan ke delapan, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 34 orang (68%) dan nilai rata-ratanya 4,64 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan nama, alamat yang sama berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak di Jepara.
i. Pada item pertanyaan ke sembilan, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong
sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif berdasarkan peraturan Undang-Undang berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
j. Pada item pertanyaan ke sepuluh, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 28 orang (56%) dan nilai rata-ratanya 4,5 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif 2% kendaraan kedua orang pribadi berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
k. Pada item pertanyaan ke sebelas, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 28 orang (56%) dan nilai rata-ratanya 4,5 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan tarif pajak progresif 0.50% setiap kendaraan Pemerintah Pusat dan Daerah berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
l. Pada item pertanyaan ke duabelas , sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 34 orang (68%) dan nilai rata-ratanya 4,64 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak yang dikenakan Pajak Progresif berarti memiliki kemampuan membayar pajak berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
m. Pada item pertanyaan ke tigabelas, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak yang dikenakan Pajak Progresif dikategorikan masyarakat berpendapatan tinggi berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
n. Pada item pertanyaan ke empatbelas, sebagian responden menjawab sangat setuju sebanyak 33 orang (66%) dan nilai rata-ratanya 4,6 sehingga indikator ini tergolong sangat baik/sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan tentang Undang-Undang Pengenaan Pajak Progresif berpengaruh terhadap perilaku penghindaran pajak.
Tabel 4.6
Tanggapan tentang Perilaku Penghindaran Pajak Progresif (Y)
No
Indikator Variabel Penghindaran Pajak
Progresif
Skor Jawaban 1
(STS
2 (TS)
3 (RG)
4 (S)
5 (SS)
Rerata F Sco
re
F Sco re
F Sco re
F Sco re
F Sco re 1 Meminimalkan
membayar Pajak
Kendaraan Bermotor
4 4 26 52 15 45 5 20 0 0 2,42
2 Tarif Pajak terlalu tinggi
3 3 31 62 14 42 2 8 0 0 2,3
3 Wajib pajak tidak
mampu membayar
Pajak
4 4 21 42 23 69 2 8 0 0 2,46
4 Ketahuan Perilaku Penghindaran Pajak kecil untuk diperiksa
4 4 25 50 18 56 3 12 0 0 2,44
5 Kurangnya
Pengetahuan tentang pentingnya Pajak Progresif
0 0 21 42 24 72 5 20 0 0 2.68
6 Tidak melanggar Undang-Undang
4 4 26 52 17 51 3 12 0 0 2.38
Nilai rerata table 2.44
Secara umum dari tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa responden memberikan persepsi yang rendah/buruk terhadap perilaku penghindaran pajak dengan nilai rata-rata secara