• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan teknik analisis tematik yang digunakan untuk menganalisis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan teknik analisis tematik yang digunakan untuk menganalisis,"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

38

Berdasarkan teknik analisis tematik yang digunakan untuk menganalisis, maka hasil penelitian ini disajikan sesuai dengan tema-tema yang diperoleh dari proses pemberian kode dan penentuan sub tema. Tema-tema tersebut merupakan pertimbangan dari partisipan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III, yang meliputi jaringan sosial, pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap kerentanan penyakit, faktor ekonomi serta pengalaman memanfaatkan jaminan kesehatan. Sebelum uraian hasil dari tema-tema tersebut dipaparkan, disajikan terlebih dahulu karakteristik partisipan dalam penelitian ini.

4.1 Karakteristik Sosial Demografi

Karakteristik partisipan yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam diantaranya jenis kelamin, pendidikan, umur, dan pekerjaan. Jumlah keseluruhan partisipan pada penelitian ini adalah 20 orang yang terdiri dari 13 orang peserta JKN mandiri kelas III sebagai informan kunci yang ingin diketahui pertimbangannya sehingga mengambil keputusannya menjadi peserta JKN mandiri kelas III dan tiga orang partisipan pimpinan wilayah sebagai tokoh masyarakat, tiga orang peserta JKBM serta satu orang petugas penyuluh kesehatan di Puskesmas I Denpasar Utara sebagai informan lain untuk triangulasi data.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari 20 orang partisipan, rentang umur partisipan berkisar antara 23 tahun sampai 58 tahun dengan tingkat

(2)

pendidikan tertinggi adalah S1 dan terendah adalah SD. Pekerjaan partisipan lebih banyak sebagai karyawan swasta pada suatu perusahaan dan sisanya bekerja sebagai pedagang serta ibu rumah tangga. Karakteristik partisipan secara lengkap dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan Penelitian

No. Kode Partisipan Jenis Kelamin Umur (Thn) Pendidikan Pekerjaan

1. RJKN 1 P 38 SMA IRT 2. RJKN 2 P 50 SD Pedagang 3. RJKN 3 P 49 SD Pedagang 4. RJKN 4 L 57 Sanawiyah Swasta 5. RJKN 5 P 32 SMA Swasta 6. RJKN 6 P 23 DIII Swasta 7. RJKN 7 L 48 S1 Swasta 8. RJKN 8 L 25 SMK Swasta 9. RJKN 9 P 44 SMA Swasta 10. RJKN 10 P 27 DIII Swasta 11. RJKN 11 P 40 SMA Swasta 12. RJKN 12 P 31 SMA IRT 13. RJKN 13 P 40 SMA IRT 14 RJKBM 1 P 27 DIII Swasta 15. RJKBM 2 L 28 SMA Swasta 16. RJKBM 3 L 50 SMA Pedagang

17. RTM 1 L 28 SMA Tokoh Masyarakat

18. RTM 2 P 45 S1 Tokoh Masyarakat

19. RTM 3 L 58 DIII Tokoh Masyarakat

20. RPKM P 34 DIII Penyuluh Kesehatan

Sumber : Hasil Pencatatan Wawancara Mendalam, Maret 2015

Setelah penyajian karakteristik partisipan, kemudian dipaparkan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan tema-tema yang ditemukan dari wawancara mendalam. Tema-tema tersebut meliputi :

4.2 Jaringan Sosial

Paparan pada tema jaringan sosial ini merupakan hubungan sosial yang dibentuk oleh partisipan sehingga menunjukkan sumber informasi terkait program

(3)

JKN mandiri. Menurut pernyataan partisipan peserta JKN mandiri kelas III, perolehan informasi tentang JKN didapat dari satu orang ke orang lain, dari media seperti televisi dan brosur, puskesmas, dinas kesehatan serta kelian banjar. Uraian pernyataan partisipan, dituliskan sebagai berikut:

“Ini terus terang hanya dari mulut ke mulut niki, ada program ini dan katanya bagus. Lebih banyak dari mulut ke mulut”

(T1P7, peserta JKN, 48 tahun) “Sosialisasi dari lembaga dinas kesehatan, dari BPJS mensosialisasikan

tentang BPJS. Dari kepala lingkungan, dari tv, dari brosur, dari mulut ke mulut”

(T1P6, peserta JKN, 23 tahun) “Dari sosialisasi di Banjar, di puskesmas juga, dari kelian, dia kan

mendapatkan informasi dari kantor desa, disuruh menyebarkan, kan kita ibu-ibu PKK arisan dikasi penjelasan,..gitu, dari dinas kesehatan pernah di kantor desa penyuluhan”

(T1P9, peserta JKN, 44 tahun) Partisipan petugas puskesmas juga menyatakan telah memberikan sosialisasi saat posyandu atau penyuluhan di masyarakat. Selain itu, tokoh masyarakat menyatakan sering diadakan sosialisasi oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang dihadiri oleh kepala lingkungan, tokoh masyarakat, dan kepala puskesmas. Partisipan tokoh masyarakat menyatakan informasi BPJS hanya sebatas di kantor desa dan diberikan brosur untuk dibagikan kepada warga. Uraian pernyataan masing-masing partisipan, dapat dipaparkan sebagai berikut :

“Setiap waktu, ya misalnya ada posyandu atau penyuluhan di masyarakat tentang apapun pasti kita selipkan informasi tentang JKN, terus kemudian pasien yg berobat kesini pasti kita anjurkan”

(4)

“Untuk masalah JKN ini memang sering kita lakukan sosialisasi oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar, pada waktu itu dihadiri oleh kepala lingkungan, tokoh masyarakat dan juga oleh kepala puskesmas 1 Denut langsung pada saat mengadakan penyuluhan-penyuluhan di masing-masing banjar”

(T1P2, tokoh masyarakat, 45 tahun) “Kalau BPJS belum, baru sampai di desa saja, dia biasanya cuma pakai

selebaran itu kayak brosur-brosur itu disuruh dibagikan ke warga begitu” (T1P1, tokoh masyarakat, 28 tahun) Selain informasi dari orang lain dan lembaga-lembaga terkait, partisipan JKN mandiri kelas III menyatakan menjadi peserta setelah mengetahui pengalaman dari keluarga yang telah menggunakan JKN mandiri kelas III. Uraian pernyataan partisipan dapat dituliskan sebagai berikut :

“Ini kan keponakan saya sendiri hamil, dia baru ikut BPJS jalan dua bulan, dia melahirkan… dia ikut kelas tiga, ternyata ya pelayanannya bagus kayak kelas satu, nggak kena apa-apa”

(T1P3, peserta JKN, 49 tahun) Sebelum pengambilan keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III, sebagian besar partisipan telah merundingkan terlebih dahulu dengan keluarga dan ada juga yang mempercayakan pengambilan keputusan kepada anaknya karena anak lebih banyak mendapatkan informasi tentang JKN. Uraian pernyataan partisipan, dituliskan sebagai berikut :

“Ya saya dengan istri, kan kita harus rundingkan kalau kita ikut program ini”

(T1P7, peserta JKN, 48 tahun) “Saya salah satunya, karena diantara keluarga mungkin saya yang lebih

tahu…jadi saya yang menginformasikan kepada mereka dan mereka mempercayakan semua kepada saya”

(5)

Informasi yang diperoleh partisipan peserta JKN mandiri kelas III setelah mendapatkan sosialisasi dari berbagai pihak, meliputi pendaftaran JKN, biaya iuran dan informasi terkait manfaat fleksibelitas dari program JKN mandiri ini. Uraian pernyataan dapat dilihat seperti di bawah ini :

“Iyaa dikasi tahu gini, caranya fotokopi KTP, KK sama pas foto 3x4 peserta yang ikut, sama kalau kelas tiga 25.500, kalau kelas dua 42.500 sama kelas satu, 59.500, jadinya saya ambil yang kelas tiga aja, Dikasi tau juga kalau ibu mendaftar kelas tiga umpamanya ibu tidak puas pelayanan kelas tiga fasilitasnya, ibu bisa pindah ke kelas dua atau kelas satu”

(T1P9, peserta JKN, 44 tahun) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III memperoleh informasi tentang JKN dari berbagai media seperti televisi dan brosur serta mendengar dari pengalaman orang lain. Sebagian kecil dari partisipan JKN mandiri kelas III, mendapatkan informasi dari lembaga-lembaga terkait seperti puskesmas, dinas kesehatan, BPJS maupun tokoh masyarakat. Pernyataan pertisipan tersebut sejalan dengan pernyataan petugas puskesmas dan tokoh masyarakat bahwa memang benar telah dilakukan sosialisasi JKN oleh dinas kesehatan dan BPJS yang hanya dilaksanakan di kantor desa.

Menurut teori Lawrence Green, jaringan sosial termasuk dalam faktor penguat yang merupakan dukungan sosial dari luar untuk membantu pengambilan keputusan. Dukungan sosial dari luar yang dimaksud adalah dukungan dari tokoh masyarakat, petugas puskesmas maupun keluarga yang bertujuan untuk membantu meyakinkan atau mensosialisasikan suatu program kepada masyarakat. Teori lain yang mendukung pernyataan di atas adalah teori sustainable livelihood

(6)

approach yang menunjukkan bahwa jaringan sosial merupakan aset yang dimiliki seseorang untuk pencarian pengobatan melalui pelayanan kesehatan. Jaringan sosial yang dimaksud adalah hubungan sosial yang dibangun oleh masyarakat sehingga dapat mendukung pengambilan keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri.

Berkaitan dengan teori di atas, peranan dukungan sosial menjadi faktor penguat untuk pengambilan keputusan, dalam hal ini keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Adanya dukungan peran dari orang lain dan keluarga serta sosialisasi dari petugas puskesmas maupun pimpinan wilayah setempat, dapat memberikan keyakinan dalam pengambilan keputusan partisipan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Haile, et al (2014) yang menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kesediaan untuk menjadi peserta jaminan kesehatan.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar peserta JKN mandiri kelas III telah memberikan informasi kepada kerabat terdekatnya. Informasi yang diberikan adalah tentang cara mendaftar sebagai peserta JKN mandiri, pelayanan yang diberikan, dan menginformasikan tentang prinsip gotong royong pada program JKN. Uraian pernyataan partisipan, dituliskan sebagai berikut :

“Saya informasikan kepada saudara-saudara saya terlebih dahulu untuk segera mengikuti BPJS ini”

(7)

“Ya saya kasih ini…cara-caranya, KTP aja, KTP…KK… foto, udah itu aja”

(T1P4, peserta JKN, 57 tahun) “ Ya ceritakan…saya pakai BPJS, anak sakit malam tetap saya bawa ke

RS… pelayanannya cepat, ndak lah dipersulit apa-apa“

(T1P13, peserta JKN, 40 tahun)

“Kalau JKN itu….kita yang sehat membayarkan orang yang sakit…seperti itu, jadi istilahnya kita tidak pernah tahu kita akan sakit atau sehat nantinya… seperti itu”

(T1P10, peserta JKN, 27 tahun) Menurut partisipan peserta JKN mandiri kelas III, sebagian besar orang-orang yang diberikan informasi merasa senang dengan adanya program JKN ini. Uraian pernyataan dapat dipaparkan sebagai berikut:

“Tanggapannya ya bilang seneng dia, yaaa baik dah bu, saya mau ikut… Kebanyakan sih gitu”

(T1P3, peserta JKN, 49 tahun) Kelas rawat inap yang dipilih sebagian besar adalah kelas tiga, namun ada juga yang memilih kelas satu karena merasa mampu untuk membayar iuran. Uraian pernyataan partisipan peserta JKN mandiri kelas III, dapat dipaparkan sebagai berikut:

“Yang saya tahu keluarga sama temen kebanyakan kelas tiga” (T1P9, peserta JKN, 44 tahun) “Kalau mereka sih orangnya cukup mampu, ya kelas satu sama kelas dua”

(T1P5, peserta JKN, 32 tahun) Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar peserta JKN mandiri kelas III telah menginformasikan kembali kepada kerabat lain tentang program JKN, namun informasi diberikan hanya sebatas yang mereka ketahui.

(8)

Hal ini disebabkan karena sosialisasi yang dilakukan hanya sebatas di kantor desa dan hanya dihadiri oleh kepala lingkungan serta kepala dusun di masing-masing wilayah sehingga tidak semua masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap terkait program JKN ini. Dampaknya terlihat pada kerabat yang diberikan informasi juga akan memilih JKN mandiri kelas III dan partisipan peserta JKN mandri kelas III berpotensi untuk memberikan informasi keliru. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Jehu-Appiah et al (2012) bahwa peran dari lingkungan mempengaruhi keikutsertaan masyarakat untuk menjadi peserta jaminan kesehatan, yang dalam hal ini adalah peran dari peserta JKN mandiri kelas III yang memberikan informasi terkait program JKN sehingga dapat meningkatkan cakupan kepesertaan JKN mandiri.

4.3 Pengetahuan

Bagian sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang sumber informasi dari peserta terkait program JKN ini. Tema kedua yang dipaparkan adalah pengetahuan dari partisipan setelah mendapatkan informasi dari berbagai pihak. Hasil pemberian kode yang telah dilakukan, menunjukkan empat sub tema dalam tema pengetahuan, yakni keterbatasan informasi JKBM, pengetahuan tentang JKBM, keterbatasan informasi JKN dan pengetahuan tentang JKN. Sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III menyatakan tidak mengetahui tentang sustainabilitas JKBM. Uraian pernyataan partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut :

(9)

“ Kalau untuk sekilas saya pernah dengar, cuma untuk kelanjutan dan kesinambungan programnya saya tidak tau, belum begitu jelas bukan tidak tahu, belum begitu jelas“

(T2P1, peserta JKN, 38 tahun) Sebagian besar pengetahuan partisipan JKN mandiri kelas III terkait program JKBM hanya sebatas tujuan adanya program JKBM dan persyaratan kepesertaannya di pelayanan dasar serta tingkat lanjutan. Uraian pernyataan partisipan terkait pengetahuan tentang JKBM diantaranya :

”JKBM itu kan untuk menjamin kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah daerah Provinsi Bali, syarat menjadi pesertanya kan harus mempunyai KTP Bali…kalau belum 17 tahun kan harus menyertai KK. Kalau biasanya saya bawa kartu JKBM, KTP. Kalau ndak punya JKBM kan bisa cari ke kepala dusun, terus ke kepala desa, baru cari rujukan ke puskesmas, baru bisa ke rumah sakit.. gitu..”

(T2P11, peserta JKN, 40 tahun)

Menurut partisipan peserta JKN mandiri kelas III, penyakit yang ditanggung oleh JKBM hanya penyakit ringan yang hanya bisa ditangani di Puskesmas. Penyakit yang parah akan segera dibawa ke dokter umum sebelum menjadi peserta JKN mandiri. Uraian pernyataan dituliskan sebagai berikut :

“ Kalau saya gini yaa, karena saya itu kalau untuk sakit yang kecil-kecil itu aja ya mungkin, saya percaya pakai JKBM, Makanya, yaaa pakai KTP itu, kalau mau ke puskesmas aja. Tapi kalau sakit misalnya kayak parah gitu ya langsung aja ke dokter waktu itu, waktu belum punya BPJS itu”

(T2P4, peserta JKN, 57 tahun)

“ JKBM di Puskesmas kan, paling ya gitu…Panas, batuk, pilek, sama kan ada juga yang untuk dokter giginya tuh”

(T2P12, peserta JKN, 31 tahun)

Berdasarkan beberapa uraian di atas, sebagian besar partisipan peserta JKN mempersepsikan bahwa program JKBM merupakan program jaminan kesehatan

(10)

bagi masyarakat kurang mampu dan memberikan layanan bagi penyakit ringan yang hanya dapat ditangani di puskesmas. Persepsi tersebut menunjukkan bahwa partisipan peserta JKN mandiri tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai program JKBM sehingga menyebabkan terbatasnya pengetahuan partisipan peserta JKN mandiri kelas III terhadap program JKBM.

Menurut teori Lawrence Green, pengetahuan merupakan faktor predisposisi yang dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku. Pengetahuan yang terbatas tentang JKBM mengarahkan pengambilan keputusan partisipan peserta JKN mandiri kelas III untuk tidak bertahan menjadi peserta pada program JKBM. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian De Allegri, et al (2006), menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan tentang jaminan kesehatan dapat menjadi alasan masyarakat untuk tidak bersedia menjadi peserta jaminan kesehatan, yang dalam hal ini dinyatakan bahwa kurangnya pengetahuan tentang JKBM sehingga lebih memilih menjadi peserta JKN mandiri kelas III.

Terkait JKN mandiri, sebagian besar partisipan memiliki pengetahuan tentang pendaftaran JKN, pembayaran iuran dan kelas rawat inap di program JKN. Uraian pernyataan partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut:

“Kalau JKN saya harus daftar dulu, Caranya saya menyerahkan copy KTP sama kartu KK, KTP suami isteri sama KK yang isi anggota keluarga semua”

(T2P9, peserta JKN, 44 tahun ) “Kalau yang kelas satu itu 59.500, kalau yang kelas dua itu 42.500, kalau

yang kelas tiga ini…ya karena saya sering bayar, 25.500, dibayarkan perbulan, terakhir tanggal 10. Kalau bayarnya disini mbak..bisa di BRI, bisa di BNI, bisa di Mandiri”

(11)

Pengetahuan lain yang dimiliki oleh partisipan JKN mandiri kelas III meliputi tempat pelayanan JKN dan rujukan JKN. Uraian pernyataan tersebut, dapat dilihat pada paparan di bawah ini :

“Tenaga kesehatan yang tertera untuk dokter umum dan dokter gigi, puskesmas sesuai dengan faskes namanya nggih. Faskes kesehatan sesuai dengan tempat tinggal terdekat”

(T2P7, peserta JKN, 48 tahun) “Yang saya tau dari rujukan itu, kalau kita kerumah sakit harus mendapat

rujukan dari puskesmas, kalau tidak pusksesmas, bisa langsung kerumah sakit. Di rumah sakit daaerah Wangaya, Sanglah, Bhakti Rahayu sama puskesmas. Itu saja sih yang saya tau”

(T2P6, peserta JKN, 23 tahun) Beberapa fakta lain dari keunggulan JKN yang diketahui oleh partisipan peserta JKN mandiri kelas III diantaranya manfaat komperhensif JKN, manfaat fleksibelitas JKN dan manfaat portabilitas JKN. Pernyataannya dari partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut :

“Kalau JKN yang saya tahu kayaknya semua penyakit itu ditanggung, cuma ada kadang beberapa obat yang tidak ditanggung, jadi kita beli di luar”

(T2P9, peserta JKN, 44 tahun) “Daftar kelas tiga kalau memang nanti mau pindah kelas juga boleh

dengan menambah biaya…Seandainya nanti…kadang rumah sakit kan full, boleh pindah kelas dengan tambahan biaya”

(T2P13, peserta JKN, 40 tahun) “Program yang ini bisa dipakai diseluruh Indonesia, maksudnya

kan…saya asalnya dari Jawa, seandainya saya ada pas pulang sakit, bisa berobat disana.. itu dah yang saya pilih”

(T2P3, peserta JKN, 49 tahun) Selain tiga keunggulan JKN di atas, ada beberapa keunggulan dari program JKN yang juga diketahui oleh partisipan peserta JKN mandiri kelas III meliputi

(12)

manfaat sustainabilitas dan prinsip gotong royong dari program JKN. Uraian pernyataan dari partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut :

“BPJS sudah menanggung orang yang sakit. Karena kan BPJS ini sudah secara global. Biarpun sakit atau tidak sakit bilanglah dari perputaran dari segi keuangan di BPJS, itu tidak ada pasang surutlah gitu. Karena ini global jadinya seluruhnya terbantulah gitu”

(T2P6, peserta JKN, 23 tahun) “Ini istilahnya kita menolong yang sakit, lebih baik kita sehat

dibandingkan kita sakit… jadi kita tetap membayar premi meskipun kita nggak sakit. Tapi ketika kita sakit, yang sehat membayar kita, jadi istilahnya sama-sama menguntungkan gitu”

(T2P10, peserta JKN, 27 tahun) Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, partisipan peserta JKN mandiri kelas III, sebagian besar memiliki pengetahuan yang baik terkait program JKN sehingga akhirnya partisipan memilih untuk menjadi peserta JKN mandiri. Berkaitan dengan pembahasan pada tema sebelumnya bahwa adanya dukungan sosial dari berbagai pihak dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman partisipan sehingga mengambil keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri. Hal ini didukung dengan teori Lawrence Green yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor predisposisi untuk mempermudah adanya perubahan perilaku. Selain itu, teori sustainable livelihood approach juga menyatakan bahwa human capital (pengetahuan) merupakan aset yang dimiliki masyarakat untuk pencarian pengobatan melalui pelayanan kesehatan. Pernyataan di atas sejalan dengan penelitian Basaza, et al (2007) yang menyatakan bahwa informasi tentang desain skema asuransi dan operasionalnya mempengaruhi partisipasi untuk mengikuti jaminan kesehatan, dalam hal ini adalah informasi

(13)

tentang JKN mandiri yang memadai, dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang JKN mandiri sehingga mengambil keputusan untuk memilih menjadi peserta pada program JKN mandiri.

Selain pernyataan tentang pengetahuan yang baik, ada sebagian kecil partisipan peserta JKN mandiri kelas III yang menyatakan kurang mendapatkan informasi tentang JKN mandiri sehingga pengetahuan yang dimiliki tidak maksimal. Partisipan menyatakan tidak mengetahui tentang tempat layanan harus sesuai fasilitas kesehatan tingkat I sehingga merasa khawatir terhadap penggunaan JKN di luar Denpasar. Uraian pernyataan partisipan dapat dituliskan sebagai berikut :

“Kemarin pas saya berobat, kan klaim saya di sini di Denut 1, terus saya bawa ke karangasem, pas saya jalan-jalan ke Karangasem, saya bawa ke sana ditolak, saya disuruh bayar, harus sesuai dengan faskesnya saya disuruh, pas sosialisasi dari BPJS saya mendaftar tidak diinformasikan seperti itu”

(T2P8, peserta JKN, 25 tahun)

“Terus kalau misalnya tiang berada, siapa tahu kan tiang juga punya family jauh-jauh kan gitu, sekarang orang tua tiang menggunakan kepesertaan di Denpasar seandainya dia ada di Gianyar ada di Klungkung ataupun di Jawa keluar kota begitu, bisa gak itu JKN?”

(T3P1, peserta JKN. 38 tahun) Keterbatasan informasi menyebabkan pemahaman yang keliru tentang program JKN. Beberapa pengetahuan yang keliru tentang program JKN diungkapkan oleh partisipan JKN mandiri kelas III, diantaranya semua pengobatan ditanggung di JKN dan iuran yang harus dibayarkan pada program JKN. Uraian pernyataannya dapat dituliskan sebagai berikut :

(14)

“Kalau menurut saya dari segi tanggungannya, kalau JKBM kan tidak semuanya ditanggung, kalau untuk JKN semuanya sih ditanggung”

(T2P8, peserta JKN, 25 tahun) “Kalau kelas satu, 50 sampai 60an, kelas dua 45an, kelas tiga 25 500.

Saya tidak terlalu tau dengan kelas yang lain karena saya hanya tau kelas tiga saja”

(T2P6, peserta JKN, 23 tahun) Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil partisipan peserta JKN mandiri kelas III, tidak mendapatkan informasi yang lengkap terkait JKN mandiri sehingga menimbulkan rasa khawatir setelah menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Hal ini berkaitan dengan pembahasan pada tema jaringan sosial sebelumnya yang menyatakan bahwa sosialisasi hanya diberikan di kantor desa dan tidak dihadiri oleh semua masyarakat sehingga informasi hanya diperoleh dari satu orang ke orang lainnya, dapat menimbulkan persepsi keliru terhadap informasi yang diterima oleh partisipan peserta JKN mandiri kelas III. Selain itu, terbatasnya perpanjangan informasi dari tokoh masyarakat setempat kepada masyarakat juga menyebabkan rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap program JKN mandiri.

Berkaitan dengan teori yang digunakan pada penelitian ini yaitu teori Lawrence Green, pengetahuan termasuk dalam faktor predisposisi dalam pengambilan suatu keputusan. Sejalan dengan teori tersebut, pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, yang nantinya akan menghasilkan persepsi terhadap suatu objek. Tingkatan pengetahuan terdiri dari mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensitesis, dan mengevaluasi. Kaitan antara teori dengan hasil penelitian ini yaitu adanya keterbatasan pengetahuan dari

(15)

partisipan peserta JKN mandiri kelas III, akan menghasilkan persepsi yang terbatas terkait informasi yang dipahami sehingga dapat menimbulkan kekeliruan terhadap suatu informasi.

Partisipan peserta JKBM menyampaikan informasi yang berbeda terkait pengetahuannya tentang JKBM. Pengetahuan yang dipahami oleh partisipan peserta JKBM bahwa program JKBM dianggap lebih memberikan manfaat positif sehingga tetap bertahan menjadi peserta JKBM. Partisipan peserta JKBM menganggap program JKBM memiliki manfaat portabilitas dan manfaat komperhensif yang lebih baik dibandingkan program JKN. Selain itu, partisipan peserta JKBM juga mengungkapkan bahwa JKBM ditujukan bagi masyarakat yang belum memiliki jaminan kesehatan dan pendaftaran menjadi peserta lebih mudah. Uraian pernyataan partisipan dapat dinyatakan sebagai berikut:

“Sebetulnya pada awal mulai JKBM itu minim informasinya, cuma tiba-tiba saja dipihak pemerintahan bagus sekali kerjanya sehingga kaling bagikan kartu JKBM, jelaskan kegunaannya, jadi dapat durian runtuhlah. Pastilah JKBM menjangkau warga Bali dimana pun berada sepanjang di tanah air kita, pikiran saya itu,kemudian yang kedua…askes tidak menanggung tentang cuci darah, JKBM menangung berarti lebih luas cakupan JKBM”

(T2P3, peserta JKBM, 50 tahun)

“JKBM itu kan untuk masyarakat yang belum memiliki jaminan kesehatan, dia artinya diluar PNS, Polri, JKBM kan hanya menyertakan foto copy KTP dan KK dan surat keterangan tidak memiliki jaminan, sudah dah dapat kartu. Artinya masyarakat lebih dipermudah dalam hal pendaftaran”

(T2P1, peserta JKBM, 27 tahun)

Partisipan peserta JKBM, juga memiliki pengetahuan yang positif terhadap program JKN. Partisipan peserta JKBM menyatakan bahwa program JKN adalah program jaminan kesehatan yang harus membayar iuran di setiap

(16)

pilihan kelas rawat inapnya, memiliki manfaat tanggungan yang lebih komperhensif, dan cara mendaftar menjadi peserta JKN mandiri. Uraian pernyataan dari partisipan peserta JKBM tersebut, dipaparkan sebagai berikut :

“Yang saya tau BPJS kan sejenis berupa jaminan kesehatan, artinya ya gak jauh beda dengan asuransi kesehatan, ya kita membayar bisa dibilang semacam premi, tapi itu ada tingkatannya sesuai kelas, kelas tiga, kelas dua kelas satu dan preminya itu beda–beda tiap kelas, trus yang ditanggung juga yang saya tau, lebih dari JKBM. JKBM kan ada beberapa yang tidak ditanggung”

(T2P1, peserta JKBM, 27 tahun) “Kalau BPJS kan kita mendaftar langsung ke kantor BPJS dengan

membawa persyaratnya nomor rekening juga dibutuhkan untuk transfer, lalu kartu bisa aktif. Kalau JKBM kita cuma datang ke kelian dinas untuk mendapatkan keterangan, ya JKBM itu lebih gampanglah, jadi aksesnya juga lebih mudah. JKBM itu juga ditanggung oleh pemerintah jadi lebih gampang”

(T2P2, peserta JKBM, 28 tahun) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, sebagian besar peserta JKBM telah memiliki pengetahuan yang positif terhadap program JKN, namun pengetahuan yang positif, tidak mengarahkan adanya pengambilan keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri. Hal ini disebabkan karena partisipan peserta JKBM beranggapan bahwa program JKBM dapat memberikan manfaat dan kemudahan pendaftaran sehingga diasumsikan lebih baik daripada program JKN. Adanya sosialisasi yang intensif dari pemerintah, tidak memberikan pengetahuan benar terkait program JKBM. Hal ini berkaitan dengan pemahaman yang berbeda-beda dari pengetahuan partisipan sehingga aplikasi dan analisis seseorang terhadap suatu informasi juga berbeda-beda. Pernyataan ini didukung oleh teori Lawrence Green yang sejalan juga dengan pembahasan di atas, bahwa pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia, yang terdiri

(17)

dari mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Tingkatan pengetahuan ini memberikan penjelasan bahwa hasil dari pengetahuan dan pemahaman dapat memberikan aplikasi serta analisis sesuai dengan pemahaman seseorang. Menurut pemaparan Kementerian Kesehatan (2014) pada pendahuluan, dikatakan bahwa masyarakat belum memiliki pemahaman terhadap manfaat jaminan kesehatan sehingga sangat diperlukan adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang jaminan kesehatan demi meningkatkan cakupan kepesertaan JKN mandiri.

Selain itu, partisipan di atas juga menyatakan bahwa program JKBM iurannya dibayarkan oleh pemerintah sehingga dianggap lebih mudah dibandingkan dengan program JKN yang mewajibkan pesertanya untuk membayar iuran. Hal ini juga menjadi pertimbangan partisipan peserta JKBM untuk tetap menjadi peserta pada program JKBM. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Jehu-Appiah et al (2012), menyatakan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam pendaftaran jaminan kesehatan dan tetap mempertahankan keputusannya untuk menjadi peserta jaminan kesehatan dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap manfaat, kemudahan dan iuran pada asuransi tersebut, yang dalam hal ini adalah manfaat dan kemudahan serta pembebasan iuran pada program JKBM sehingga partisipan peserta JKBM tetap menjadi peserta JKBM.

4.4 Sikap dan Persepsi Terhadap Kerentanan Penyakit

Setelah dipaparkan pengetahuan partisipan terkait program JKBM dan JKN, tema selanjutnya akan memaparkan sikap dan persepsi terhadap kerentanan penyakit karena sikap dan persepsi timbul dari hasil pengetahuan yang dimiliki.

(18)

Partisipan JKN mandiri kelas III menyatakan khawatir dengan manfaat komperhensif program JKBM, khawatir dengan pelayanan JKBM dan khawatir dengan sustainabilitas JKBM. Uraian pernyataannya dapat dituliskan sebagai berikut:

“Ya kami sebagai masyarakat bawah agak waswas sebenarnya, kalau penyakitnya ringan ya masih bisa yah, nah nanti kalau penyakitnya agak berat kan kita tau biaya ke dokter mahal. Jadi agak waswas juga dengan istilahnya bebas bayar hanya menggunakan KTP”

(T3P7,peserta JKN,48 tahun) “Ya soalnya kalau masuk rumah sakit gak begitu diperhatikan, saya

pernah dengar kalau kita ke rumah sakit ada yg bilang gak ada kamar lah, penangananya lama, jadinya agak was-was juga, makanya saya pake JKN saja”

(T3P9, peserta JKN, 44 tahun) “Untuk sekarang ini udah nggak percaya lagi, takutnya lengser

pemimpinnya, itu hilang…makanya saya pindah ke BPJS, Kalau di JKBM, kalau pemimpinya udah lengser, saya gunakan ndak bisa… tabungan ndak punya, akhirnya keluar uang banyak juga…akhirnya saya beralih ke BPJS”

(T3P13, peserta JKN, 40 tahun) Partisipan peserta JKN mandiri kelas III juga menyatakan khawatir dengan kesulitan administrasi JKBM dan khawatir dengan dampak yang ditimbulkan jika ingin kembali ke program JKBM. Uraian pernyataan partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut :

“Karena kan saya sendiri, terus kalau pakai JKBM itu kan…umpamanya pas sakitnya mendadak kan harus mengurus dulu kan, karena saya kan sendiri… nggak ada yang ngurus, makanya kan saya ikut BPJS nya”

(19)

“Kalau umpamanya JKBM kelas 3 dia tidak membayar iuran dan JKN mandiri kelas 3 membayar iuran dan sekarang rakyat kecil awam begini, bagaimana caranya? Saya balik lagi, bagaimana caranya kalau memang sudah masuk BPJS tiang oper ke JKBM apa bisa? Apa gak ntar ribet jadinya?”

(T3P1, peserta JKN, 38 tahun) Selain rasa khawatir terhadap program JKBM, sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III telah menganggap bahwa kepemilikan JKN mandiri merupakan suatu kebutuhan jaminan kesehatan untuk mengurangi risiko ketika terjadi sakit yang disebabkan karena biaya kesehatan yang semakin meningkat. Uraian pernyataan partisipan, dapat dilihat seperti di bawah ini :

“Disini dah saya lihat banyak masyarakat yang ikut ini, karena kesehatan itu mahal sekali biaya kesehatannya. Jadi masyarakat sekarang lebih memilih untuk BPJS”

(T3P7, peserta JKN, 48 tahun) Adanya rasa khawatir seperti yang telah dipaparkan di atas, maka partisipan peserta JKN mandiri kelas III memiliki kepercayaan terhadap program JKN karena program ini merupakan program pemerintah yang dapat memberikan manfaat lebih baik dan telah banyak memiliki anggota kepesertaan. Uraian pernyataan partisipan dapat dituliskan sebagai berikut :

“Dengan ikut BPJS perasaan menjadi agak nyaman untuk menjaga-jaga bahwa kita sudah membayar sekian untuk asuransi kesehatan, kita lebih tenang kalau ada anggota keluarga yang terkena penyakit atau sakit kita lebih tenang. Karena ini program pemerintah jadi kami jadi percaya gitu, pemerintah berbuat baik untuk rakyatnya, kan ini program pemerintah”

(T3P7, peserta JKN, 48 tahun) “Yaa.. jugaan banyak orang yang pakai. Yaaa.. mudah-mudahan sih lancar

sampai nanti, gitu kan…Sekarang kan juga banyak ya, kalau PNS..PNS itu kan juga beralih sekarang ke BPJS. Kayaknya sih kalau waktu lama nggak ada masalah sih.. semua juga pakai kan”

(20)

Hasil penelitian di atas memaparkan bahwa sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III menunjukkan sikap khawatir dengan sustainabilitas JKBM, khawatir dengan pembatasan layanan dan khawatir dengan pelayanan yang diberikan di program JKBM sehingga lebih percaya untuk menjadi peserta JKN mandiri. Hal ini disebabkan karena banyaknya manfaat yang diperoleh dari JKN mandiri seperti manfaat portabilitas, manfaat sustainabilitas, manfaat komperhensif dan manfaat fleksibelitas serta menggunakan prinsip gotong royong sehingga JKN diyakini dapat memberikan jaminan perlindungan kesehatan secara berkesinambungan. Pernyataan di atas sejalan dengan penelitian Oriakhi, et al (2012) yang menyatakan bahwa kepercayaan terhadap jaminan kesehatan mempengaruhi kemauan masyarakat untuk menjadi peserta jaminan kesehatan. Penelitian De Allegri et al (2006) juga menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian ini yaitu pembatasan layanan dan kurang maksimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan, mempengaruhi kepesertaan jaminan kesehatan

Selain itu, adanya kesadaran tentang pentingnya memiliki jaminan kesehatan untuk mengurangi risiko saat terjadi sakit juga menjadi pertimbangan partisipan beralih menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Kesadaran masyarakat yang semakin meningkat tentang pentingnya menjaga kesehatan dapat meningkatkan cakupan kepesertaan JKN mandiri. Kekhawatiran adanya beberapa risiko di atas, mengarahkan partisipan untuk mempercayakan kepada program JKN mandiri kelas III, dalam membantu memenuhi kebutuhannya terhadap jaminan kesehatan yang lebih baik. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Macha, et al (2014) bahwa inisiatif untuk menjadi peserta secara sukarela dalam

(21)

asuransi kesehatan merupakan sarana untuk meningkatkan akses layanan kesehatan bagi sektor informal, dalam hal ini adalah kesadaran dari partisipan peserta JKN mandiri kelas III menjadi peserta dalam program JKN sehingga dapat meningkatkan akses layanan kesehatan yang lebih baik.

Menurut teori Lawrence Green, sikap khawatir dan kepercayaan terhadap jaminan kesehatan termasuk dalam faktor predisposisi. Hal ini juga didukung oleh teori protection motivation and self efficacy yang menyatakan bahwa keyakinan terhadap perubahan perilaku tertentu akan memberikan hasil yang diharapkan, dalam hal ini keyakinan dalam pengambilan keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri sehingga diharapkan program JKN dapat memberikan jaminan kesehatan yang komperhensif dan lebih baik.

Berbeda halnya dengan yang diungkapkan oleh peserta JKBM bahwa JKBM merupakan hak setiap warga Bali yang pelayanannya diyakini semakin lama akan membaik. Uraian pernyataan tersbut, dituliskan sebagai berikut :

“JKBM ini adalah hak setiap warga bali yang mau dirawat di kelas tiga, jadi sepanjang mau, ya saya sangat mau kerena keyakinan saya pelayanan itu semakin lama akan semakin baik”

(T3P3, peserta JKBM, 50 tahun) Menurut hasil penelitian di atas, seluruh partisipan peserta JKBM menyatakan mempunyai keyakinan akan memperoleh pelayanan yang sama ketika memanfaatkan program JKBM. Hal ini disebabkan karena fasilitas kelas rawat inap di program JKBM tidak membayar iuran, sama dengan fasilitas kelas rawat inap di JKN mandiri kelas III yang harus membayar iuran per bulannya, sehingga seluruh partisipan peserta JKBM belum ingin menjadi peserta JKN mandiri

(22)

sampai terintegrasinya program JKBM ke BPJS. Pernyataan di atas sejalan dengan penelitian Bukola (2013) yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan terhadap jaminan kesehatan berpengaruh kepada kemauan untuk menjadi peserta jaminan kesehatan. Teori yang sejalan dengan hasil penelitian di atas adalah teori Lawrence Green yaitu faktor predisposisi yang dinyatakan dengan adanya keyakinan atau kepercayaan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku. Adanya tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap program JKBM menyebabkan partisipan peserta JKBM berkeinginan untuk tetap bertahan menjadi peserta JKBM.

Pernyataan lain yang menjadi pertimbangan partisipan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III diantaranya kerentanan terhadap penyakit yang parah. Uraian pernyataan partisipan, dapat dilihat sebagai berikut :

“Orang tua saya sering mengeluhkan sakit asam urat begitu, karena cek asam urat kalau pakai JKBM kan bayar, gak murah lagi, seharga premi kelas 3 BPJS makanya saya ikut BPJS”

(T3P8, peserta JKN, 25 tahun) “Bapak memiliki riwayat penyakit yang lumayan komplikasi, kata dokter

paru-parunya rusak. Jadi penggunaan JKN ini sangat berguna sekali karena kan penyakitnya harus dipantau setiap bulan. Jadinya sangat bermanfaat sekali. Ya, karena saya takut juga bapak sakit-sakitan. Bapak juga memiliki riwayat penyakit bilanglah komplikasi, jadinya saya berpikir untuk memasukkan semua keluarga ke BPJS”

(T3P6, peserta JKN, 23 tahun) Berbeda dengan yang disampaikan oleh partisipan peserta JKBM, bahwa tidak memiliki kerentanan terhadap penyakit. Uraian pernyataan partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut :

(23)

“Kalau tingkat keparahan penyakit sih saya belum merasakan langsung dan juga belum pernah ada keluarga yang sakit parah, jadi saya lebih cenderung ke JKBM”

(T3P1, peserta JKBM, 27 tahun)

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pertimbangan partisipan untuk menjadi peserta suatu jaminan kesehatan adalah adanya kerentanan terhadap penyakit. Sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III menyatakan memiliki keluarga dengan penyakit kronis dan rentan terhadap penyakit parah sehingga bersedia menjadi peserta JKN mandiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Macha, et al (2014) menyatakan bahwa status kesehatan yang buruk dan kerentanan terhadap penyakit menyebabkan masyarakat bersedia untuk menjadi peserta jaminan kesehatan.

Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian di atas adalah penelitian oleh Mhere (2013) menyatakan bahwa keluarga yang memiliki penyakit kronis bersedia untuk menjadi peserta jaminan kesehatan. Hasil penelitian ini didukung oleh teori protection motivation and self efficacy dari Rogers (1983). Teori ini merupakan efek fear appeals yang digunakan untuk mempengaruhi, melalui ancaman atau bahaya yang berisiko terjadi pada diri seseorang sehingga dikatakan efektif dalam menghasilkan perubahan sikap dan telah digunakan dalam upaya mengubah perilaku seseorang pada berbagai keadaan. Berkaitan dengan penelitian ini, ancaman kerentanan terhadap penyakit dapat mempengaruhi partisipan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III.

Kerentanan terhadap suatu penyakit dapat menjadi pertimbangan untuk beralih ke JKN mandiri kelas III. Adanya double burden diseases yang menjadi kendala di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sangat memerlukan

(24)

adanya jaminan kesehatan berkesinambungan sehingga dapat memberikan cakupan layanan kesehatan yang lebih komperhensif. Dampak dari double burden diseases ini terlihat dari tingginya kunjungan kasus PTM di Puskesmas I Denpasar Utara yang tercatat pada laporan kunjungan PTM tahun 2014, sehingga dapat membebani pemerintah daerah dalam pengalokasian dana bagi penanganan PTM kronis. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Handayani, dkk (2008) bahwa adanya fenomena peningkatan dana APBD untuk pembiayaan Jamkesda. Hal ini juga dibuktikan dengan laporan rekapan tahunan dari UPT JKMB yang menunjukkan adanya peningkatan serapan dana JKBM melebihi dari anggaran setiap tahunnya. Keunggulan-keunggulan dari program JKN ini khususnya prinsip gotong royong yang mengharuskan iuran wajib bagi pesertanya, dapat mengurangi beban pemerintah daerah dalam pengalokasian dana kesehatan sehingga APBD dapat difokuskan bagi infrastruktur, promotif preventif dan penyiapan kompetensi tenaga kesehatan medis serta non medis untuk persiapan integrasi Jamkesda ke JKN.

Adanya kerentanan penyakit yang dirasakan oleh partisipan JKN mandiri kelas III, mendorong partisipan untuk menyatakan harapannya agar program JKBM terintegrasi ke JKN, proses administrasi cepat dan tidak rumit, pembebasan iuran serta memberikan pelayanan yang lebih baik. Uraian pernyataan dapat dituliskan sebagai berikut :

(25)

“Kalau saya melihat, dengan sudah adanya JKN, sepertinya JKBM…lebih baik kita menyatukan ke JKN…jadi istilahnya satu pintu dia dalam…eee, kita punya jaminan kesehatan itu satu…jadi tidak tumpang tindih..yaa gitu. Apalagi dengan sudah adanya JKN yang lebih simpel dan lebih baik, sepertinya kita satukan saja JKBM itu menjadi JKN”

(T3P10, peserta JKN, 27 tahun) “Harapannya sih agar proses administrasinya cepat dan gak ribet. Itu sih

harapan saya. Agar disamakan kayak BPJS, tapi tetap tidak bayar” (T3P6, peserta JKN, 23 tahun) “ Jangan sampai kita nanti gratis aja, terus gak dihiraukan pelayanannya

kurang puas.. itu kan nanti gak enak. Biarpun gratis kalau udah dari pemerintah kan harus dilaksanakan.. harus itu, memang itu untuk rakyat miskin”

(T3P4,peserta JKN, 57 tahun)

Pernyataan lainnya oleh peserta JKN mandiri kelas III terkait harapan terhadap program JKN diantaranya harapan cakupan universal bagi peserta JKN mandiri, sosialisasi yang lebih intensif ke masyarakat, peningkatan cakupan tanggungan yang lebih komperhensif, dan pengelolaan program JKN yang lebih baik. Uraian pernyataan dapat dituliskan sebagai berikut:

“Harapan untuk masyarakatnya agar semua menggunakan BPJS karena BPJS sangat membantu dan semua tau kelebihan dari BPJS ini.

(T3P6, peserta JKN, 23 tahun) “Sosialisasinya itu harus disampaikan ke dusun atau banjar.. waktu itu kan

cuma sampai di desa aja gitu, kalau penyampaiannya bisa sampai ke dusun dan banjar kan bisa semua warga yang ada di dusun tersebut kan tahu informasi tentang BPJS, kalau cuma sampai sana kan orang cuma dengar dari mulut ke mulut aja atau dari TV, penjelasannya langsung kan nggak tahu jadinya”

(T3P11, peserta JKN, 40 tahun) “Nanti bisa lebih baik lagi supaya semua obat bisa ditanggung, kan

kadang ada yg tidak ditanggung”

(26)

“Sekarang percaya sih saya…mudah-mudahan yang mengelola juga tidak korupsi. Kan zaman sekarang semua bisa dikorupsikan…Mudah-mudahan tidak, ini lebih menjamin BPJS ini…karena kita juga membayar kan”

(T3P13, peserta JKN, 40 tahun) Menurut peserta JKBM, harapan peserta JKBM terhadap program JKN adalah peserta JKBM bisa terintegrasi dan mendapatkan tanggungan dari pemerintah. Uraian pernyataannya, dapat dilihat seperti di bawah ini :

“Untuk masyarakat kecil seperti saya yang tidak punya asuransi kesehatan seandainya pemerintah menggunakan BPJS, masyarakat kecil biar bisalah tercakup, biar gak bayarlah, gimana ye caranya pemerintah seandainya JKBM sudah gak ada, diambil alih dari peserta JKBM ke BPJS tapi ditanggung oleh pemerintah”

(T3P2, peserta JKBM, 28 tahun) Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas, peserta JKBM mempunyai harapan untuk adanya pembebasan iuran saat JKBM terintegrasi ke BPJS. Hal ini disebabkan karena masyarakat peserta JKBM sudah terbiasa mendapatkan pelayanan gratis dengan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah sehingga beranggapan bahwa pembiayaan jaminan kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah. Pernyataan hasil penelitian ini, juga ditemukan pada penelitian Bukola (2013) yang mengatakan bahwa kepala keluarga tidak bersedia menjadi peserta jaminan kesehatan karena masyarakat beranggapan bahwa pembiayaan jaminan kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah.

Selain itu, sebagian besar partisipan juga mengharapkan adanya peningkatan sosialisasi ke masyarakat sehingga dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait program JKN mandiri. Harapan lainnya dari sebagian besar partisipan adalah peningkatan cakupan tanggungan dari program JKN ini karena masih ada beberapa obat dan tindakan yang tidak mendapatkan tanggungan.

(27)

Adanya peningkatan cakupan tanggungan kesehatan diharapkan juga dapat meningkatkan kemauan masyarakat untuk menjadi peserta JKN mandiri. Penelitian yang sejalan dengan pembahasan di atas adalah penelitian Djuhaeni, dkk (2010) menyatakan bahwa layanan kesehatan yang diharapkan akan dijamin oleh jaminan kesehatan dan fasilitas kesehatan yang lengkap pada pelayanan kesehatan primer serta sekunder, dapat mempengaruhi masyarakat untuk menjadi peserta jaminan kesehatan.

4.5 Faktor Ekonomi

Selain jaringan sosial, pengetahuan dan sikap, faktor ekonomi juga berkaitan terhadap pengambilan keputusan menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Faktor ekonomi yang dimaksud adalah faktor ekonomi yang mendukung menjadi peserta JKN dan faktor ekonomi sebagai pertimbangan untuk memilih JKN mandiri kelas III. Hasil wawancara mendalam dengan partisipan JKN mandiri kelas III, menunjukkan pernyataan faktor ekonomi yang mendukung untuk menjadi peserta JKN mandiri adalah pembayaran iuran yang tergolong masih terjangkau. Uraian pernyataan partisipan JKN mandiri kelas III, dapat dituliskan sebagai berikut:

“Adanya JKN ini kan kita kan nggak begitu terbebankan ya, ya cuma kita bayarnya 25.000 per bulan. Kita nggak keberatan lo”

(T4P4, peserta JKN, 57 tahun) Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas, pengambilan keputusan untuk menjadi peserta JKN mandiri berkaitan dengan iuran yang tergolong masih terjangkau. Pernyataan ini menunjukkan bahwa telah ada peningkatan pendapatan

(28)

dari masyarakat sehingga berkeinginan menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, adanya kesadaran partisipan yang menganggap bahwa jaminan kesehatan merupakan suatu kebutuhan sehingga dengan peningkatan pendapatan, masyarakat dapat memikirkan untuk menjaga kesehatannya melalui kepesertaan dalam JKN mandiri kelas III. Penelitian yang mendukung pernyataan di atas adalah penelitian Djuhaeni, dkk (2010) mengungkapkan bahwa besaran iuran yang bisa dibayarkan oleh peserta maksimal Rp.25.000,-. Mereka berpikir jika tidak menjadi peserta JKN mandiri, maka saat sakit dapat menimbulkan catastrophic yang akan membebani perekonomian keluarga. Hal ini sesuai dengan tujuan dibentuknya program JKN yaitu mengatasi berbagai risiko penyakit tanpa adanya hambatan finansial. Adanya pembayaran iuran wajib oleh peserta setiap bulannya, memudahkan pengelolaan kapitasi ke faskes tingkat I sehingga dapat mengendalikan biaya dan mutu pelayanan serta dapat membenahi sistem rujukan.

Faktor ekonomi yang menyebabkan partisipan untuk memilih JKN mandiri kelas III diantaranya pekerjaan dan jumlah anggota keluarga yang ditanggung. Uraian pernyataan partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut:

“Ya terkait pekerjaannya bapak bengkel, jadi untuk bayar 25 kali sekian sudah cukup untuk bayar setiap bulannya. Kalau melebihi itu, mungkin tidak bisa”

(T4P6, peserta JKN, 23 tahun) “Soalnya ekonomi keluarga saya kalau mau ikut yang kelas 2 terlalu

banyak yang ditanggung.. 5 orang yang ditanggung”

(29)

Selain itu, pernyataan lain yang diungkapkan oleh partisipan diantaranya penghasilan kepala keluarga dan banyaknya kebutuhan hidup yang harus ditanggung. Uraian pernyataan partisipan, dipaparkan sebagai berikut :

“Yaaa, karena kan saya kerja sendiri, penghasilannya juga nggak tetap kan dapatnya. Kalau nyari yang kelas dua, kelas satu kan. Yaaa.. lumayan bayarnya, terpaksa nyari yang kelas 3 aja”

(T4P12, peserta JKN, 31 tahun) “Semampunya segitu untuk menyisihkan. Karena banyak biaya juga, anak

sekolah kan…sama nanggung keluarga. Anak sekolah dua orang, bayi satu sama ngurus biaya kesehatan juga. Jadi banyaklah pertimbangan, jadi saya ikut itu aja”

(T4P13, peserta JKN, 40 tahun) Partisipan dalam hal ini memilih menjadi peserta JKN mandiri kelas III karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat, pekerjaan kepala keluarga dan penghasilan kepala keluarga. Hal ini disebabkan karena program JKN wajib untuk membayar iuran per bulannya dan iuran dibayarkan sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang terdaftar pada satu keluarga. Adanya pertimbangan tersebut menyebabkan hanya biaya iuran kelas tiga yaitu Rp.25.500,- yang dirasakan masih terjangkau untuk membiayai jaminan kesehatan. Menurut teori Lawrence Green, faktor ekonomi termasuk dalam faktor pendukung yang menyebabkan pengambilan keputusan untuk mengikuti jaminan kesehatan. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Nosratnejad, et al (2014) yang mengungkapkan bahwa kemauan masyarakat untuk menjadi peserta dan membayar jaminan kesehatan berkorelasi positif dengan pendapatan, pekerjaan kepala rumah tangga dan jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung dalam suatu rumah tangga.

(30)

Demi mewujudkan kemampuan untuk pembayaran iuran, peserta JKN mandiri kelas III mengungkapkan bahwa telah menyisihkan pendapatan untuk membayar iuran dan memiliki usaha lain untuk menunjang pembayaran iuran JKN mandiri kelas III. Uraian pernyataan partisipan, dituliskan sebagai berikut :

“ Ya jadi otomatis kita harus menyisihkan pendapatan kita persiapan untuk pembayaran, kita utamakanlah untuk pembayaran BPJS ini, karena kami sudah berkomitmen ikut, jadi kita harus sisihkan dari penghasilan, Untuk tabungan kita ada sedikit, jadi untuk perkiraan kami, bisalah untuk membayar kelas 3”

(T4P7, peserta JKN, 48 tahun) “ Ada, ya buka warung gitu, untuk menambah pembayaran BPJS”

(T4P6, peserta JKN, 23 tahun) Menurut partisipan peserta JKN mandiri kelas III, biaya untuk pembayaran iuran diambil dari gaji kepala keluarga. Hal ini disebabkan karena sebagian besar partisipan JKN mandiri kelas III bekerja di sektor formal sehingga memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada pekerja informal. Selain itu, besaran iuran yang masih terjangkau oleh partisipan peserta JKN mandiri kelas III juga menjadi pertimbangan sehingga dirasa cukup hanya dengan menyisihkan gaji per bulan untuk membayar iuran kelas III. Hal ini sejalan dengan penelitian Oriakhi et al, (2012) yang menyatakan bahwa masyarakat yang bekerja pada sektor formal dan memiliki pendapatan tinggi, lebih berkeinginan untuk menjadi peserta jaminan kesehatan karena merasa mudah untuk mengakes pembayaran iuran.

Berbeda halnya dengan sebagian kecil dari partisipan yang juga mempunyai usaha lain seperti warung untuk persiapan membayar iuran JKN. Partisipan dalam hal ini merasa penghasilan per bulannya kurang jika harus

(31)

membayar iuran JKN karena pekerjaan non informal yang dijalani oleh kepala keluarganya. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Handayani, dkk (2008) bahwa adanya tabungan kesehatan untuk pelayanan kesehatan, berkaitan terhadap kesediaan menjadi peserta jaminan kesehatan, yang dalam hal ini hasil dari usaha lain tersebut digunakan sebagai tabungan untuk membiayai iuran JKN mandiri kelas III. Pernyataan di atas sejalan dengan teori Lawrence Green yang merupakan faktor pendukung adanya pengambilan keputusan dalam perubahan perilaku yaitu ketersediaan sarana dan prasarana, dalam hal ini adalah biaya yang disiapkan untuk membayar iuran JKN mandiri kelas III. Teori lain yang mendukung pernyataan di atas adalah teori sustainable livelihood approch yang menyatakan bahwa financial capital (keuangan atau biaya), merupakan aset yang dimiliki keluarga sehingga dapat menjadi pertimbangan seseorang untuk mencari pengobatan melalui pelayanan kesehatan.

Pernyataan terkait faktor ekonomi juga diungkapkan oleh peserta JKBM yang menyebabkan tetap memilih menjadi peserta program JKBM diantaranya tabungan yang sedikit, penghasilan yang sedikit dan jumlah anggota keluarga yang ditanggung. Uraian pernyataan dapat dituliskan sebagai berikut:

“Masalahnya tabungan saya minim, penghasilan juga minim, keluarga saya banyak, itu yang pastinya sehingga saya gak bisa langsung menggunakan JKN yang bayar, makanya saya menggunakan JKBM karena gratis sistemnya”

(T4P2, peserta JKBM, 28 tahun)

Peserta JKBM juga mengungkapkan pernyataan bahwa jumlah anggota keluarga yang ditanggung dan penghasilan, dijadikan pertimbangan nantinya untuk

(32)

menjadi peserta JKN serta akan memilih kelas III jika menjadi peserta JKN mandiri. Uraian pernyataan tersebut, dipaparkan sebagai berikut :

“Itu salah satu menjadi pertimbangan juga, karena anggota keluarga saya banyak, lebih dari lima, terus juga penghasilannya kan gak tetap gitu, jadi kalaupun saya gabung dengan JKN, saya akan pilih yang kelas 3”

(T4P1, peserta JKBM, 27 tahun) Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan tetap memilih menjadi peserta JKBM karena penghasilan yang minim dan banyaknya jumlah anggota keluarga sehingga belum mampu untuk menjadi peserta JKN mandiri. Hal ini disebabkan karena menjadi peserta JKN mandiri diwajibkan untuk membayar iuran bagi semua anggota keluarga yang tercantum pada KK sehingga peserta JKBM merasa belum mampu untuk membayar iuran sehingga mengharapkan pembebasan iuran seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Hermanto, dkk (2014) jumlah anggota keluarga dan penghasilan mempengaruhi kemauan masyarakat untuk menjadi peserta program JKN karena banyaknya anggota keluarga akan memperbesar pengeluaran daripada pendapatan perbulannya.

4.6 Pengalaman Memanfaatkan Jaminan Kesehatan

Hasil penelitian melalui wawancara mendalam, menunjukkan bahwa pengalaman memanfaatkan suatu jaminan kesehatan dapat mempengaruhi partisipan untuk mengikuti dan tetap bertahan pada suatu jaminan kesehatan. Partisipan JKN mandiri kelas III menyatakan bahwa prosedur administrasi untuk mendapatkan pelayanan di JKBM lebih sulit dan rumit. Uraian pernyataan dituliskan sebagai berikut :

(33)

“JKBM terlalu ribet prosedurnya untuk mendapatkan pelayanan, Kalau JKBM lagi mondar-mandir lagi nyari KK, lagi ke desa, lagi pakai KTP, jadinya kan susah”

(T5P6, peserta JKN, 23 tahun) Pernyataan terkait pelayanan JKBM diungkapkan oleh partispan peserta JKN mandiri kelas III, diantaranya membutuhkan jadwal ketika ingin dilakukan tindakan operasi dan tidak ditangani oleh spesialis. Uraian pernyataan dapat dipaparkan sebagai berikut:

“Kalau kemarin sih sepengalaman saudara saya yang opname kemarin itu, di JKBM itu kita kalau melakukan tindakan operasi butuh waktu penjadwalan…tidak bisa segera kita melakukan tindakan. Kadang kalau misalnya JKBM itu mungkin seperti di Rumah Sakit Sanglah itu kan ada PPDS yang bersekolah itu ya…kadang juga dia yang mengambil kita, jadi tidak dokter spesialis yang mengambil”

(T5P10, peserta JKN, 27 tahun) Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III merasa kesulitan untuk mengurus persyaratan jika ingin mendapatkan pelayanan di JKBM dan partisipan menganggap pelayanan di JKBM kurang baik. Hal ini disebabkan karena banyaknya persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan layanan di program JKBM terutama saat ingin mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Selain itu, adanya pembatasan cakupan tanggungan penyakit dan jumlah pengguna JKBM yang cukup banyak menyebabkan pelayanan di rumah sakit menjadi kurang baik. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Barnighausen et al (2007) yang menyatakan bahwa pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu, dapat mempengaruhi kemauan masyarakat untuk menjadi peserta dan membayar iuran jamian kesehatan.

(34)

Teori yang sejalan dengan hasil penelitian ini adalah teori Kurt Lewin yaitu pada bagian moving/changing dan refreezing yang menyatakan bahwa adanya ketidakpuasan dengan kondisi yang dialami saat ini dan keinginan untuk membuat beberapa perubahan, memerlukan identifikasi dari sesuatu yang ingin diubah. Tahap refreezing merupakan tahap akhir dari perubahan prilaku baru yang telah menjadi kebiasaan. Kaitannya dengan hasil penelitian ini adalah pengalaman yang tidak memuaskan dari partisipan peserta JKN yang terdahulu saat memanfaatkan program JKBM sehingga beralih untuk mempertahankan keputusannya menjadi peserta JKN mandiri kelas III.

Berbeda dengan yang diungkapkan tentang JKN mandiri bahwa proses administrasi dari program JKN ini berjalan lancar dan mendapatkan tanggungan layanan yang lebih komperhensif serta pelayanan yang diberikan lebih baik. Uraian pernyataan partisipan, dapat dilihat pada paparan di bawah ini :

“Proses administrasinya berjalan lancar biasa saja. Tidak ada hambatan atau apa, cuma kita bawa surat dari perawatnya, bawa ke administrasi tinggal bayar dengan fotokopi kartu JKNnya. Tidak terlalu susah.…Gampang”

(T5P6, peserta JKN, 23 tahun) “Kalau dari JKNnya sendiri sih saya melihat kemarin saudara sakit

kecelakaaan, itu semua ditanggung oleh JKN, dia mengalami fraktur itu ditanggung, terus dari segi obatnya seperti yang saya bilang, dia pemberiannya itu bertahap, kalau misalnya nggak cocok yang ini, bisa diganti yang lebih paten lagi, terus dari segi pelayanan, dari perawatnya sendiri, dia lebih care, lebih tanggaplah untuk merawatnya ….seperti itu”

(T5P10, peserta JKN, 27 tahun) Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas, sebagian besar partisipan peserta JKN mandiri kelas III memiliki pengalaman positif terkait proses administrasi dan pelayanan yang diberikan pada program JKN mandiri. Hal ini

(35)

sejalan dengan penelitian Jehu-Appiah (2012) yang menyatakan bahwa pengalaman positif terhadap kualitas layanan kesehatan dan sikap penyedia layanan dapat mempengaruhi masyarakat untuk mempertahankan keputusannya menjadi peserta jaminan kesehatan, dalam hal ini peserta JKN mandiri kelas III. Pernyataan di atas bertentangan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan peserta JKBM bahwa prosedur pendaftaran JKBM lebih mudah dibandingkan dengan JKN dan tidak dipersulit dalam pelayanan serta tidak ada pembedaan pelayanan. Uraian pernyataan partisipan, dapat dituliskan sebagai berikut :

“Kalau untuk anak sakit, pernah waktu itu saya pakai JKBM saya ke puskesmas dan karena waktu itu saya belum mendapatkan kartu, saya hanya membawa fotokopi KTP dan langsung bisa dilayani. Karena itu saya rasa JKBM ini persyaratan dan pendaftaran lebih mudah terus yang saya rasakan sendiri untuk nyari kartu atau mendaftar itu lebih simpel daripada JKN”

(T5P1, peserta JKBM, 27 tahun) “ Sakit demam sama meriang gitu yang ditanggung JKBM di Puskesmas”

(T5P2, peserta JKBM, 28 tahun) “Pelayanan saya rasa jauh lebih bagus JKBM misalnya saya sakit dengan

mata, telinga dan sebagainya. Dari puskesmas bisa langsung ke Rumah Sakit Indera, sama sekali tidak dipersulit kemudian tidak ada pembedaan pelayanan, baru gratis pelayanannya terakhir….tidak, sangat bagus”

(T5P3, peserta JKBM, 50 tahun) Berdasarkan hasil penelitian di atas, partisipan peserta JKBM menyatakan bahwa persyaratan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di JKBM lebih mudah dan pelayanan yang diberikan di program JKBM dirasakan lebih baik. Hal ini disebabkan karena seluruh partisipan peserta JKBM hanya memanfaatkan program JKBM untuk penyakit yang ringan di puskesmas sehingga semua

(36)

partisipan peserta JKBM belum memiliki pengalaman terkait memanfaatkan fasilitas rawat inap pada program JKBM di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Bukola (2013) yang menyatakan bahwa pengalaman terdahulu terhadap asuransi kesehatan dapat mempengaruhi kemauan masyarakat untuk menjadi peserta asuransi kesehatan, dalam hal ini pengalaman memanfaatkan program JKBM yang hanya sebatas di puskesmas sehingga tetap bertahan menjadi peserta JKBM.

4.7 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak dijelaskan tentang penghasilan dari masing-masing partisipan sehingga tidak dapat dikaitkan dengan pendidikan dan pekerjaan yang dapat mempengaruhi partisipan untuk menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Selain itu, suasana wawancara yang kurang kondusif bagi peneliti, dan terlihat di lampiran foto bahwa ada suami partisipan peserta JKN mandiri kelas III yang ikut mendampingi istri saat wawancara, juga dapat menimbulkan bias pada penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini akan menganalisa mencakup alur kerja perangkat lunak, dan Menganalisa Schnorr Authentication, perancangan tampilan animasi, proses pembentukan kunci, proses

Tabung berisi media pengayaan selektif dengan konsentrasi ganda [5.2.1 a] atau konsentrasi tunggal [5.2.1 b] yang diinkubasikan sesuai 9.2.2, dianggap positif, jika tabung

Dapat disimpulkan bahwa variabel profesionalisme – dimensi pengabdian pada profesi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas, sehingga apabila

a) Kontrak kuliah dilakukan di awal kuliah, dengan cara kesediaan mengikuti aturan perkuliahan di FIB, sekaligus dosen yang bersangkutan mendapatkan jadwal kuliah yang

Hal ini diduga bahwa pada limbah cair sagu terdapat bakteri pengurai yang hidup secara alami dan apa bila suatu zat cair dibiarkan maka kondisinya akan

Penelitian ini merupakan penelitian bidang gizi masyarakat yang meneliti tentang pengaruh pendampingan MP-ASI berdasarkan aspek penge- tahuan ibu dan praktik

Kompleksitas tugas berkaitan erat dengan kualitas audit. Kompleksitas tugas adalah persepsi auditor tentang kesulitan suatu tugas yang disebabkan oleh terbatasnya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rancangan dan meningkatkan akurasi pengklasifikasian spam email dengan menggunakan metode POS tagger dan klasifikasi Naïve