TINJAUAN PUSTAKA
EFEK NYERI TERHADAP SISTEM ORGAN LAIN
Oleh:
Desak Putu Gayatri Saraswati Seputra (1302006061)
Pembimbing:
dr. Kadek Agus Heryana Putra, Sp.An
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Efek Nyeri terhadap Sistem Organ Lain” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tinjauan pustaka ini. Tinjauan pustaka ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Untuk itu, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian/SMF dan dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN selaku Koordinator Pendidikan di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan saya kesempatan untuk belajar di bagian ini;
2. dr. Kadek Agus Heryana Putra,Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan, kritik, dan saran dalam pembuatan tinjauan pustaka ini;
3. Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing dalam pembelajaran mengenai tinjauan pustaka ini; dan
4. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, Maret 2017
` Penulis
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II PEMBAHASAN ... 3
2.1 Definisi nyeri ... 3
2.2 Fisiologi respon stres ... 3
2.2.1 Axis neural:respon stres melalui inervasi saraf organ target ... 3
2.2.2 Axis neuroendokrin : respon fight or flight... 5
2.2.3 Axis endokrin ... 5
2.2.3.1 Axis korteks adrenal ... 6
2.2.3.2 Axis somatotropin... 7
2.2.3.3 Axis tiroid ... 8
2.2.3.4 Axis pituitari posterior ... 8
2.2.3.5 Axis endokrin pankreas ... 8
2.2.4 Sindroma adaptasi umum ... 8
2.3 Efek nyeri terhadap sistem organ lain ... 9
2.3.1 Sistem kardiovaskular ... 9
2.3.1 Sistem respirasi ... 9
2.3.1 Sistem gastrointestinal ... 10
2.3.2 Sistem hematologi ... 11
2.3.3 Sistem genitourinari ... 11
2.3.4 Sistem imunitas... 11
2.3.5 Sistem muskuloskeletal ... 12
2.3.6 Respon psikologi dan kognitif ... 12
BAB III SIMPULAN ... 13
DAFTAR PUSTAKA ... 14
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Efek aktivitas saraf otonom pada organ target ... 4
Tabel 2.2 Efek hormon glukokortikoid dan aktivasi sistem HPAC ... 6
Tabel 2.3 Proporsi manifestasi klinis sindroma Cushing ... 7
Tabel 2.4 Sindroma adaptasi umum ... 9
BAB I PENDAHULUAN
Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan, dapat terjadi dalam berbagai variasi derajat keparahan dan merupakan konsekuensi dari suatu cedera atau penyakit.
Nyeri sering timbul sebagai manifestasi klinis pada suatu proses patologis, dimana keluhan nyeri merupakan penyebab tersering seorang pasien datang ke rumah sakit atau ke tempat pelayanan kesehatan. Nyeri terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor nyeri yang kemudian diikuti oleh proses elektro-fisiologis nosisepsi berupa transduksi, transmisi, modulasi, dan pada akhirnya terjadilah persepsi nyeri.1 Nyeri dapat timbul karena adanya rangsangan termal, mekanik, elektrik ataupun rangsangan kimiawi. Nyeri dikatakan sebagai suatu perasaan subjektif oleh karena setiap individu memiliki ambang nyeri yang berbeda-beda.2
Nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan dikatakan sebagai nyeri kronik.3 Nyeri kronik memberikan dampak yang serius terhadap kondisi pasien itu sendiri, karena nyeri yang tidak tertangani dengan baik dapat memperburuk kondisi fisik maupun mental pasien. Setiap persepsi nyeri yang timbul akan membuat suatu respon tubuh, yang kemudian akan mempengaruhi sistem organ secara keseluruhan.4
Respon tubuh terhadap trauma atau nyeri disebut sebagai respon stres.
Stimulus noksius atau nyeri merupakan suatu stresor yang dapat mempengaruhi homeostasis tubuh. Respon stres adalah respon fisiologis tubuh yang bekerja sebagai mediator yang menghubungkan stresor terhadap efek pada organ target, sedangkan stresor adalah peristiwa yang menimbulkan respon stres itu sendiri.5
Respon stres merupakan mekanisme kompensasi dan memberikan keuntungan dalam menjaga keseimbangan tubuh karena dapat meningkatkan fungsi kardiovaskuler, menjaga keseimbangan cairan dan kebutuhan energi yang cukup untuk kebutuhan tubuh yang meningkat selama dibawah stresor. Respon adaptif terhadap stress melibatkan perubahan-perubahan fisiologis yang diperlukan dan pada tahap awal berpotensi untuk menyelamatkan nyawa. Keadaan katabolik, stimulasi simpatis dan imunosupresi adalah hallmark dari respon stres. Respon stres
meningkatkan sekresi hormon katabolik dan menurunkan hormon anabolik yang menimbulkan kondisi hipermetabolisme.6
Respon stres memiliki tiga fase yaitu fase alarm, fase pertahanan (resistence), dan jika stresor berkelanjutan, berakhir pada fase kelelahan (exhaustion).7 Jika respon stres dibiarkan berlanjut, efek berbahaya yang melibatkan berbagai sistem tubuh mungkin terjadi dan berpotensi mengancam nyawa.8 Kondisi hipermetabolik yang terus menerus akan menimbulkan kelelahan pada komponen-komponen penting di dalam tubuh seperti, glukosa, lemak, protein, dan mineral, serta menimbulkan penurunan berat badan, kelelahan, menurunnya daya tahan tubuh, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas.6
Oleh karena dampaknya yang luas terhadap sistem organ lain, dikatakan bahwa tujuan manajemen nyeri selain untuk meredakan nyeri tersebut adalah juga untuk meminimalisasi efek buruk respon stres terhadap berbagai sistem organ tubuh.9 Organ target yang dapat dipengaruhi oleh respon stres meliputi sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, hematologi, genitourinari, imunitas, muskuloskeletal, serta psikologi dan kognitif. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas efek nyeri melalui respon stres terhadap organ target tersebut.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi nyeri
Nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP) didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan, atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.10 Nyeri merupakan kondisi yang dapat terjadi pada setiap orang, tanpa memandang umur, jenis kelamin, ras, status sosial, dan pekerjaan.
Nyeri berperan dalam mekanisme proteksi tubuh dan sebagai penunjang diagnostik.1
2.2 Fisiologi respon stress
2.2.1 Axis neural: respon stress melalui inervasi saraf organ target
Respon stres neural meliputi tiga axis neural yaitu sistem saraf simpatis, parasimpatis dan neuromuskular. Jalur neural ini merupakan axis yang pertama kali teraktivasi dalam respon stres dan bersifat langsung.
Pada umumnya pelepasan neurotransmiter norepinerfrin dari saraf simpatis bertanggung jawab terhadap sebagian besar perubahan aktivitas organ target. Efek aktivasi simpatis umumnya berupa aktivasi dari organ target disebut sebagai reaksi ergotropik. Efek parasimpatis berupa inhibisi atau perlambatan dari organ target disebut sebagai tropotropik. Meskipun sebagian besar bentuk respon stres adalah berupa reaksi ergotropik, namun dikatakan bahwa efek simpatis dapat disertai dengan aktivasi reaksi tropotropik parasimpatis. Otot skeletal juga merupakan target aktivasi langsung dari respon stres. Aktivasi ini apabila terjadi secara berlebihan dapat menimbulkan disfungsi neuromuskular.11 Efek stimulasi simpatis dan parasimpatis pada organ target tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Efek aktivitas saraf otonom pada organ target12
Organ Target Stimulasi simpatis Stimulasi parasimpatis
Mata
Otot radialis iris Otot sfingter iris Otot siliaris Jantung
Kontraksi (dilatasi pupil; midriasis) -
Relaksasi untuk penglihatan jauh
laju jantung
kontraksi jantung
konduksi jantung
-
Kontraksi (konstriksi pupil; miosis) Kontraksi untuk penglihatan dekat
laju jantung
konduksi jantung
Arteriole Kulit
Viscera abdomen Ginjal
Otot rangka
Konstriksi kuat Konstriksi kuat Konstriksi kuat Konstriksi lemah
- - - -
Limpa Kontraksi
Paru
Saluran napas Kelenjar
Bronkodilatasi
sekresi Bronkokonstriksi
sekresi
Hepar Glikogenolisis
Glukoneogenesis
- -
Jaringan adiposa Lipolisis -
Kelenjar keringat produksi keringat -
Otot piloerektor Kontraksi -
Medula adrenal sekresi epinefrin, norepinefrin -
Kelenjar saliva Sekresi K+ dan air Sekresi K+ dan air; sekresi amilase Gastrointestinal
Motilitas Sfingter sekresi
kontraksi
Relaksasi
Kandung empedu relaksasi Kontraksi
Pankreas Eksokrin Endokrin
sekresi enzim
sekresi insulin
sekresi enzim
sekresi insulin Kandung kemih
Otot detrusor Sfingter uretra
Relaksasi kontraksi
Kontraksi Relaksasi
Ginjal sekresi renin -
Efek aktivasi saraf otonom pada organ target bersifat segera tetapi tidak berkelanjutan. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan saraf simpatik untuk terus melepaskan neurotransmiter dibawah efek stimulasi yang berkepanjangan. Oleh
karena itu, diperlukan aktivasi axis respon stres lainnya yaitu berupa axis neuroendokrin (respon fight or flight).11
2.2.2 Axis neuroendokrin: respon fight or flight
Respon fight or flight dianggap sebagai mobilisasi tubuh dalam menanggapi suatu ancaman. Mekanisme ini memungkinan tubuh untuk melawan (fight) atau menghindar (flee) dari ancaman tersebut. Organ yang penting dalam respon ini adalah medula adrenal. Kelenjar adrenal terdiri dari dua komponen fungsional dan histologis yaitu korteks dan medula. Medula adrenal yang terletak di bagian tengah kelenjar adrenal terdiri dari sel kromafin (feokromoblas). Sel kromafin dapat memproduksi katekolamin melalui proses katekolaminogenesis. Terdapat dua jenis katekolamin medula adrenal yaitu norepinefrin (noradrenalin) dan epinefrin (adrenalin). Sel medula adrenal terdiri dari dua tipe yaitu sel A yang mensekresi epinefrin, dan sel N yang mensekresi norepinefrin. Sekitar 80% aktivitas katekolamin medula adalah akibat dari aktivitas epinefrin. Efek katekolamin medula adrenal adalah peningkatan aktivitas adrenergik, yang secara fungsional identikal dengan inervasi langsung oleh simpatis. Katekolamin medula adrenal memerlukan onset yang lebih lama untuk menimbulkan efek dengan durasi efek sepuluh kali lebih lama dibandingkan inervasi simpatis.11
2.2.3 Axis endokrin
Respon terhadap stres yang bersifat berkelanjutan adalah berasal dari axis endokrin.
Axis endokrin yang telah diketahui kaitannya dengan respon stress adalah:
1. Axis korteks adrenal 2. Axis somatotropik 3. Axis tiroid
4. Axis posterior pituitari 5. Axis endokrin pankreas
Axis tersebut diatas tidak hanya bersifat kontinu namun juga memerlukan intensitas stimulasi yang lebih kuat untuk aktivasinya.11
2.2.3.1 Axis korteks adrenal
Corticotrophin-releasing hormone (CRH) dilepaskan sebagai hasil dari stimulasi oleh
norepinefrin, dan diangkut ke kelenjar hipofisis anterior yang selanjutnya merangsang biosintesis adrenocorticotropic hormone (ACTH). ACTH melalui sirkulasi sistemik mencapai organ target yaitu korteks adrenal. ACTH berkerja pada tiga lapisan atau zona korteks adrenal. Pada zona retikularis dan zona fasikulata, ACTH menstimulasi pelepasan glukokortikoid kortisol and kortikosteron.11 Kortisol adalah glukokortikoid utama yang mengatur metabolism sel normal. Kortisol mempunyai fungsi dalam mempertahankan kadar gula darah dan metabolisme energi selama periode stres.
Kortisol mensupresi respon inflamasi dengan menghambat aktivitas prostaglandin.
Glukokortikoid juga dikatakan berperan dalam mencegah terjadinya perubahan berlebih yang disebabkan oleh stres. Peningkatan konsentrasi kortikosteroid adrenal merupakan regulator utama dalam respon adaptif terhadap stres, yang pada jangka pendek bersifat menguntungkan, namun dalam jangka panjang bersifat membahayakan oleh karena efeknya yang luas pada hampir sebagian besar organ tubuh.8
Paparan berkepanjangan oleh kortisol berlebih disebut sebagai sindroma Cushing.13 Tabel 2.2 menunjukkan efek hormon glukokortikoid dan aktivasi dari system hypothalamic-pituitary-adrenal cortical (HPAC). Tabel 2.3 menunjukkan manifestasi klinis dari hiperkortisolemia.
Tabel 2.2 Efek hormon glukokortikoid dan aktivasi sistem HPAC11 Peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis)
Eksaserbasi iritasi lambung Peningkatan produksi urea
Peningkatan pelepasan asam lemak bebas ke sirkulasi sistemik Peningkatan risiko aterosklerosis
Peningkatan risiko nekrosis miokard nontrombotik Supresi mekanisme imunitas
Peningkatan produksi badan keton Supresi napsu makan
Tabel 2.3 Proporsi manifestasi klinis sindroma Cushing13
Manifestasi Proporsi (%)
Obesitas atau peningkatan berat badan 95
Plethora pada wajah 90
Penurunan libido 90
Wajah bulat (moon face) 90
Penipisan kulit 85
Menstruasi irregular 80
Hipertensi 75
Hirsutisme 75
Depresi 70
Mudah lebam 65
Intoleransi glukosa 60
Kelemahan 60
Osteopenia/fraktur/erosi dental 50
Nefrolitiasis 50
Pada zona glomerulosa, ACTH menstimulasi pelepasan mineralokortikoid aldosteron dan deoksikortikosteron. Efek utama dari aldosteron adalah peningkatan absorbsi sodium dan klorida pada tubulus ginjal dan menurunkan ekskresinya melalui kelenjar saliva, kelenjar keringat dan traktus gastrointestinal. Aldosteron juga meningkatkan deposit glikogen pada hati dan menurunkan jumlah eosinofil di sirkulasi.11
2.2.3.2 Axis somatotropin
Somatrotropin releasing factor (SRF) menstimulasi pituitari anterior untuk melepaskan hormon pertumbuhan (hormon somatotropik). Peranan hormon pertumbuhan pada respon stres masih kurang jelas dipahami. Hormon pertumbuhan dikatakan mempunyai efek langsung terhadap aktivitas selular dan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Peningkatan pemecahan protein menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif yang dapat memperlambat penyembuhan jaringan yang rusak.8 Hormon pertumbuhan juga dikatakan menimbulkan efek diabetic-like insulin-resistant dan mobilisasi cadangan lemak pada tubuh. Efek akhirnya adalah peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan glukosa dalam darah.11
2.2.3.3 Axis tiroid
Tyrothropin releasing factor (TRF) menstimulasi pituitari anterior untuk melepaskan thyroid-stimulating hormone (TSH) ke sirkulasi sistemik. TSH kemudian menstimulasi kelenjar tiroid untuk melepaskan hormon tiroid yaitu triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Hormon tiroid dapat meningkatkan metabolisme, laju dan kontraktilitas jantung, resistensi vaskuler perifer dan sensitivitas jaringan tertentu terhadap katekolamin.11
2.2.3.4 Axis pituitari posterior
Pituitari posterior menerima impuls saraf dari hipotalamus dan melepaskan hormon vasopresin (hormon antidiuretik atau ADH) dan oksitosin ke sirkulasi sistemik. ADH meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga menimbulkan retensi air.
Peranan oksitosin pada respon stress masih kurang jelas.11
2.2.3.5 Axis endokrin pankreas
Respon stres menyebabkan peningkatan kadar glukagon yang akan meningkatkan laju metabolik dan menurunkan kadar insulin. Hasil akhir dari proses ini adalah hiperglikemia dan gangguan toleransi glukosa, bersamaan dengan pemecahan karbohidrat, protein dan lemak. Peningkatan glukagon dan katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan pelepasan glukosa dari hepar ke sirkulasi untuk penggunaan segera oleh organ-organ vital seperti otak.8
2.2.4 Sindroma adaptasi umum
Terdapat tiga fase respon tubuh terhadap suatu stresor yang umum disebut sebagai sindroma adaptasi umum. Fase pertama adalah fase alarm yaitu reaksi tubuh awal segera setelah terjadinya perubahan homeostasis tubuh. Fase kedua adalah fase perlawanan (resistence) dimana terjadi penurunan drastis pada proses yang terjadi di fase alarm dan tubuh berusaha untuk mengembalikan dan mempertahankan homeostasis tubuh. Fase pertama dan kedua dapat berulang dalam suatu siklus hingga terjadi fase pemulihan (recovery). Apabila stress berlangsung lama mekanisme
adaptasi tubuh tidak dapat diteruskan dan akan memasuki fase kelelahan (exhaustion). Hal ini dapat dilihat dari manifestasi gejala penyakit dan disfungsi dari organ target.11 Pada tabel 2.4 tertera perubahan tubuh pada setiap fase sindroma adaptasi umum.
Tabel 2.4 Sindroma adaptasi umum11 Fase alarm
Aktivasi system saraf simpatis Stimulasi medulla adrenal Pelepasan ACTH
Pelepasan kortisol
Pelepasan hormon pertumbuhan Peningkatan aktivitas kelenjar tiroid Peningkatan aktivitas gonadotropin Anxietas
Fase pertahanan (resistence)
Penurunan aktivitas korteks adrenal Penurunan aktivitas sistem saraf simpatis Pengembalian homeostasis tubuh
Fase kelelahan (exhaustion) Pembesaran struktur limfatik
Manifestasi gangguan/disfungsi organ target Peningkatan risiko penyakit oportunistik Kelelahan psikologis:depresi
Kelelahan fisiologis:penyakit kematian?
2.3 Efek nyeri terhadap sistem organ lain 2.3.1 Sistem kardiovaskular
Stimulus nyeri akan menyebabkan pelepasan katekolamin, aldosteron, kortisol, antidiuretic hormone (ADH), dan aktivasi angiotensin II yang berdampak pada sistem kardiovaskular.1 Efek nyeri pada sistem kardiovaskular yang sering timbul antara lain hipertensi, takikardia, peningkatan iritabilitas miokard, dan peningkatan resistensi vaskuler sistemik.4 Pelepasan angiotensin II akan menyebabkan vasokonstriksi. Pelepasan katekolamin menyebabkan takikardia, peningkatan kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Aldosteron dan ADH akan menyebabkan retensi natrium dan air
sehingga timbul risiko gagal jantung kongesti. Takikardia yang terjadi serta adanya disritmia dan peningkatan resistensi perifer akan meningkatkan kontraktilitas dan kebutuhan miokard akan oksigen sehingga dapat menimbulkan iskemia miokard.1
2.3.2 Sistem respirasi
Peningkatan konsumsi oksigen tubuh dan produksi CO2 membutuhkan respon berupa peningkatan ventilasi. Peningkatan laju ventilasi selanjutnya akan meningkatkan usaha napas, terutama pada pasien dengan penyakit paru. Nyeri yang diakibatkan oleh insisi pada daerah dada atau abdomen akan membahayakan fungsi paru akibat peningkatan tonus otot atau spasme otot skeletal di daerah tersebut dalam usaha untuk mengurangi nyeri. Menurunnya gerakan pada dinding dada akan mengurangi volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mendorong terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan hipoventilasi. Berkurangnya kapasitas vital paru menyebabkan batuk, kesulitan bernapas dan gangguan proses pengeluaran sputum.4
2.3.3 Sistem gastrointestinal
Peningkatan aktivitas simpatis dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal.
Peningkatkan tonus sfingter menyebabkan perlambatan pengosongan lambung dan menurunkan motilitas usus dengan kemungkinan terjadinya ileus paralitik.8
Hipersekresi dari asam lambung dapat menimbulkan ulserasi, bersamaan dengan penurunan motilitas menyebabkan kecenderungan terjadinya pneumonitis aspirasi berat. Distensi abdomen akan memperburuk penurunan volum paru dan disfungsi pulmoner. Mual, muntah, dan konstipasi cukup umum ditemukan pada pasien nyeri.4
Jika reseptor nyeri pada system saraf pusat (SSP) terstimulasi, pusat muntah pada otak akan teraktivasi, menyebabkan muntah terjadi. Gangguan pada saluran pencernaan dapat mengaktifkan pelepasan neurotransmiter 5-hidroksitriptamin (5- HT3), yang juga dapat menyebabkan refleks muntah. 5HT3 melalui sistem sirkulasi
akan mencapai kemoreseptor di batang otak dan selanjutnya berakhir di pusat muntah.8
2.3.4 Sistem hematologi
Nyeri dapat memberi dampak pada fungsi koagulasi yaitu menimbulkan peningkatan viskositas darah, dan fungsi trombosit.1 Hal tersebut dimulai dari adanya pelepasan katekolamin dan angiotensin berlebih sebagai respons tubuh terhadap nyeri yang dapat menimbulkan vasokonstriksi, meningkatkan aktivasi trombosit, perlekatan trombosit, kecepatan koagulasi dan mengurangi fibrinolisis sehingga terjadi kondisi hiperkoagulabilitas. Jika terjadi imobilisasi dalam jangka waktu yang lama akibat nyeri, maka akan mudah terjadi komplikasi trombosis.2,4 Peningkatan aktivitas koagulasi akan menimbulkan risiko terutama pada individu dengan penyakit vaskular aterosklerosis, hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan kekentalan darah, agregasi trombosit, dan pelepasan faktor vasokonstriksi yang dapat mengurangi aliran darah pada pembuluh darah yang stenosis.2
2.3.5 Sistem genitourinaria
Peningkatan aktivitas simpatik akan meningkatkan tonus sfingter sehingga terjadi penurunan pasase atau motilitas saluran kemih yang kemudian dapat menyebabkan retensi urin.4 Nyeri dapat meningkatkan pelepasan hormon seperti katekolamin, aldosteron, ADH, kortisol, angiotensin II dan prostaglandin. Hormon-hormon tersebut membantu regulasi produksi urin, cairan dan keseimbangan elektrolit serta volum dan tekanan darah. Pelepasan hormon-hormon tersebut diatas dapat menyebabkan retensi natrium dan air, yang pada akhirnya menimbulkan retensi urin.
Selain itu terjadi peningkatan ekskresi kalium yang menyebabkan hipokalemia.8
2.3.6. Sistem imunitas
Respons stres neuroendokrin akan menghasilkan limfopenia, leukositosis dan depresi reticuloendothelial system (RES). Hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan resistensi terhadap organisme patogen, sehingga menjadi faktor predisposisi
terjadinya infeksi. Respons stres yang diakibatkan oleh nyeri juga dapat menyebabkan imunodepresi sehingga mungkin juga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan metastasis.1,4 Keseimbangan nitrogen negatif dan sekresi kortisol yang berkepanjangan akan menyebabkan gangguan klinis yang signifikan dalam penyembuhan luka dan imunokompetensi.2
2.3.7 Sistem muskuloskeletal
Respon involunter terhadap stimulus noksius dapat menyebabkan refleks spasme otot pada lokasi kerusakan jaringan. Gangguan fungsi otot dan kelelahan otot dapat menyebabkan imobilitas, yang pada akhirnya dapat menimbulkan stasis vena dan peningkatan koagulabilitas darah. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya deep vein thrombosis (DVT).
Nyeri menyebabkan limitasi pergerakan otot thorakal dan abdominal sebagai usaha untuk mengurangi nyeri otot, suatu fenomena yang dikenal sebagai “splinting”.
Dampaknya pada otot pernapasan dapat berpotensi pada penurunan fungsi respirasi.8
2.3.8 Respons psikologi dan kognitif
Pada pasien yang menderita nyeri berat, akan terjadi gangguan kecemasan, rasa takut dan gangguan tidur. Hal tersebut disebabkan oleh rasa ketidaknyamanan akan kondisinya, dimana pasien tersebut menderita dengan rasa nyeri yang dialaminya dan tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Seiring bertambahnya durasi dan intensitas nyeri, pasien tersebut dapat mengalami depresi, bahkan bisa disertai rasa marah terhadap keluarga, dokter, dan dirinya sendiri karena nyeri yang dialaminya.4 Kondisi seperti cemas dan rasa takut akan menyebabkan terjadinya pelepasan kortisol dan katekolamin. Hal tersebut dalam jangka panjang akan bersifat merugikan oleh karena dampaknya pada sistem organ lain. Gangguan sistem organ yang terjadi kemudian akan membuat memperburuk kondisi umum dan psikologis penderita nyeri.
Nyeri yang berkelanjut juga dapat menyebabkan individu mengalami gangguan kognitif seperti disorientasi, kebingungan, dan penurunan kemampuan konsentrasi.8
BAB III SIMPULAN
Nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP) didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan, atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Nyeri terjadi akibat adanya rangsangan oleh zat analgensik pada reseptor nyeri yang kemudian diikuti oleh proses elektro-fisiologis nosisepsi berupa transduksi, transmisi, modulasi, dan pada akhirnya terjadilah persepsi nyeri.
Respon tubuh terhadap trauma atau nyeri disebut sebagai respon stres. Respon stres merupakan mekanisme kompensasi dan memberikan keuntungan dalam menjaga keseimbangan tubuh. Organ target yang dapat dipengaruhi oleh respon stres meliputi sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, hematologi, genitourinari, imunitas, musculoskeletal, serta psikologi dan kognitif. Oleh karena dampaknya yang luas terhadap sistem organ lain, manajemen nyeri hendaknya juga bertujuan untuk meminimalisasi efek buruk respon stres terhadap berbagai sistem organ tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
2. Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM. 1992. Acute Pain Mechanisms &
Management. Mosby Year Book.
3. Bonica JJ, Loeser JD. 1990. The Management of Pain. Third Edition.
Philadelphia: Lippincot William Wilkins.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. New York: Mc Graw Hill Education.
5. Black PH. Central nervous system-immune system interactions:
psychoneuroendocrinology of stres and its immune consequences. Antimicrob Agents Chemother.1994;38:1–6.
6. Speight KL. 1993. Perioperative stres response suppression in cardiothoracic surgery. Pain management in cardiothoracic surgery. Philadelphia: Lippincot William Wilkins.
7. Chapman CR, Tuckett RP, Song CW. Pain and Stress in a Systems Perspective:Reciprocal Neural, Endocrine and Immune Interactions. J Pain. 2008;
9(2):122–145.
8. Middleton,C. Understanding the physiological effects of unrelieved pain. Nursing Times. 2003; 99(37):28.
9. Chetty S, Frohlich E, Penfold P, Hodgson E, Raff M, Kluyts H,Travers A, Lee C, Wallis L, Lundgren C, Milner A. Acute Pain Guidelines . S Afr Pharm J. 2016;
83(9):15-33.
10. International Association for the Study of Pain. 2012. IASP Taxonomy. Diakses pada: http://www.iasp-pain.org/Taxonomy#Pain (22 maret 2017).
11. Everly GS, Lating JM. 2002. A Clinical Guide to the Treatment of Human Stress Response. Second Edition. Boston: Kluwer Academic Publisher. h. 17-51.
12. McCorry LK. Physiology of the Autonomic Nervous System. American Journal of Pharmaceutical Education. 2007;71(4):1-10.
13. Tennant F. The Physiologic Effects of Pain on the Endocrine System. Pain Ther.
2013;2:75–86.