TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Hutan dan Manfaatnya
Hutan menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2 adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Manfaat hutan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan, dinikmati secara langsung oleh masyarakat antara lain berupa kayu yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan seperti rotan, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang secara tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri seperti: mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, pariwisata, estetika dan memberikan manfaat dalam bidang pertahanan dan ketahanan (Salim, 2003).
Hutan Tanaman Industri
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan bahwa
pendayagunaan sumber daya alam hutan harus dilaksanakan secara teratur,
rasional, optimal, bertangungjawab dan sesuai dengan kemampuan daya
dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan industri hasil hutan menuntut
kebutuhan bahan baku yang makin besar. Namun, hal ini akan semakin sulit
dipenuhi oleh hutan alam yang potensinya makin menurun. Menurunnya potensi hutan alam antara lain disebabkan luas hutan makin berkurang, kerusakan hutan akibat kebakaran, pencurian kayu, perladangan secara berpindah-pindah dan lain- lain. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut, selain peranan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan alam, maka pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan bahan baku (Departemen Kehutanan, 1996).
Sejarah pembangunan hutan di Indonesia, khususnya hutan tanaman telah berlangsung sejak era sebelum memasuki era kemerdekaan. Berbagai kebijakan ditetapkan sebagai landasan hukum kegiatan pembangunan hutan tanaman. Pada dekade 1990, dimulai pembangunan hutan tanaman yang dilakukan secara terintegrasi dengan industri kehutanan. Melalui program Hutan Tanaman Industri diharapkan terwujudnya sasaran bagi terpenuhinya peningkatan produktivitas dan kualitas lahan, pasokan bahan baku kayu bagi kepentingan industri serta penyerapan tenaga kerja dan lapangan berusaha. Mengingat luasnya Indonesia, tidak setiap kawasan dapat dibangun hutan tanaman sekaligus industri pengolahan bahan bakunya. Penentuan lokasi industri kehutanan di Indonesia sangat sulit dilakukan karena sebagian besar lokasi hampir tidak ditopang oleh sektor ekonomi lainnya, misalnya sektor energi, sektor sumber daya manusia dan sektor pengangkutan (Iskandar, dkk, 2003).
Menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1990, Hutan Tanaman Industri
(HTI) adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur itensif untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Hak Pengusahaan HTI
adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengelolaan dan pemasaran.
Adapun tujuan pembangunan HTI adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment);
2. Mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp dan paper, meubel dan lain-lain) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor (Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, 2009).
Menurut Zain (1997), persyaratan keberhasilan pembangunan HTI pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat aspek penting, yakni:
1. Aspek pengaturan yang jelas dan berkesinambungan baik dalam perencanaan makro dan jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
2. Aspek lokasi, masalah tumpang tindih berbagai penggunaan dan hak, persyaratan teknis pemilihan lokasi dan jenis, serta aspek social, ekonomi dan budaya termasuk hukum.
3. Aspek pengelolaan, mulai dari perencanaan, penataan, anggaran biaya, pendekatan seluruh kultur dan upaya rekayasa lahan untuk mendapatkan riap yang sebesar-besarnya.
4. Aspek pendanaan, seperti pengaturan masing-masing pendanaan dengan
prosedur dan tata cara yang merangsang dan tidak menghambat.
Hutan Tanaman Industri (HTI) dikelola dan diusahakan berdasarkan prinsip pemanfataan yang optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan sumber daya alamiah serta dengan menerapkan prinsip ekonomi dalam pengusahaannya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Pengelolaan satu kesatuan HTI yang disebut unit HTI merupakan unit pengusahaan yang terdiri dari satu atau lebih kelas perusahaan. Kelas perusahaan pada pengusahaan HTI ada empat kelas, yaitu:
1. Kelas perusahaan kayu pertukangan 2. Kelas perusahaan kayu serat
3. Kelas perusahaan kayu energi
4. Kelas perusahaan kayu perusahaan hasil hutan bukan kayu (Departemen Kehutanan, 1996).
Dalam pembangunan HTI di setiap unit usaha telah diatur tata penggunaan lahannya/tata ruangnya sebagai berikut :
a. Areal Tanaman Pokok ± 70 % b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 % c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 % d. Kawasan Lindung ± 10 %
e. Sarana Prasarana ± 5 % (Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, 2009).
Adapun beberapa ciri pokok HTI, di antaranya adalah:
1. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah tebang habis dengan penanaman kembali.
2. Komposisi jenisnya murni atau campuran.
3. Potensi produksi yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitasnya, yang dicapai dengan penerapan silvikultur intensif.
4. Pengusahaan HTI adalah pengusahaan hutan dalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan tegakan, pemungutan hasil, pengolahan sampai pemasarannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka jenis-jenis pohon yang diusahakan dalam pembangunan HTI diupayakan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Kesesuaian dengan tempat tumbuhnya (iklim, tipe tanah, kesuburan tapak).
2. Kayunya sesuai dengan kebutuhan industri yang akan dipasok.
3. Memiliki riap tinggi dan diharapkan cepat tumbuhnya.
4. Dikuasai teknologi budi dayanya (Hartini, K.S., 2010).
Implementasi pembangunan HTI merupakan sebuah usaha yang sangat diatur oleh pemerintah (heavily regulated), bahkan cenderung sangat kaku (rigid).
Untuk mengatur penyaluran dana reboisasi ke perusahaan patungan saja hampir setiap tahun terbut Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Yang dimaksud dengan perusahaan patungan adalah perseroan terbatas yang dibentuk oleh BUMN kehutanan dengan Badan Usaha Milik Swasta.
Pemegang izin HTI berkewajiban memabangun HTI di areal kerjanya yang telah ditetapkan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut.
1. Membuat Rencana Karya Pengusahaan HTI selambat-lambatnya delapa belas bulan setelah terbitnya SK. HPHTI.
2. Membuat Rencana Karya Tahunan HTI sesuai pedoman.
3. Melaksanakan penataan batas areal kerjanya.
4. Mengelola areal pengusahaan HTI berdasarkan Rencana Karya dan ketentuan di bidang kehutanan yang berlaku.
5. Membayar iuran HPHTI dan iuran hasil atas hutan yang dipungut dari areal kerjanya.
6. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun sejak terbit SK HPHTI, pemegang hak membuat tanaman sidikit-dikitnya sepersepuluh dari luas areal yang diberikan.
7. Selambat-lambatnya jangka waktu 25 tahun seluruh HPHTI yang telah diberikan harus ditanami.
8. Segera menanami kembali setelah melakukan penebangan sesuai ketentuan yang berlaku.
9. Untuk mempekerjakan secukupnya tenaga-tenaga ahli kehutanan yang memenuhi persyaratan menurut penilaian menteri di bidang:
a. Perencanaan hutan b. Silvikultur
c. Pengelolaan Hutan
10. Kewajiban membina masyarakat di dalam dan di sekitar arealnya (Departemen Kehutanan, 1996).
Hak Pengusahaan HTI dapat dicabut apabila:
1. Pemegang izin HTI tidak melaksanakan secara nyata selambat-lambatnya dalam dua belas hari sejak terbitnya SK. HPHTI.
2. Pemegang izin HTI tidak menyerahkan Rencana Karya Pengusahaan HTI
dan/atau Rencana Karya Tahunan HTI selambat-lambatnya delapan belas
bulan sejak terbitnya SK. HPHTI atau sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Pemegang HPHTI menghentikan pekerjaannya dan meninggalkan arealnya selama 24 bulan terus-menerus sebelum HPHTI berakhir.
4. Pemegang HPHTI tidak membayar iuran hasil hutan terhadap hasil hutan yang telah diambil dari areal kerjanya.
5. Berdasarkan penilaian Menteri Kehutanan setelah lebih dari lima tahun sejak diterbitkan SK. HPHTI pembangunan HTI yang dilaksanakan tidak berhasil karena kelalaian yang bersangkutan.
6. Pemegang HPHTI dalam jangka waktu paling lama 24 bulan tidak melaksanakan kegiatan penanaman setelah penebangan.
(Departemen Kehutanan, 1996).
Deskripsi Eukaliptus
Eucalyptus sp. termasuk famili Myrtaceae yang terdiri dari ± 700 jenis.
Jenis eukaliptus dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai ketinggian
puluhan meter. Umumnya berbatang bulat, lurus, tidak berbanir dan sedikit
bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk ramping, ringan dan banyak
meloloskan sinar matahari. Daun berbentuk lanset hingga bulat telur memanjang
dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Letak daun pada pohon yang masih
muda berhadapan dan ukurannya sering berbeda dan lebih besar daripada pohon
tua. Eukaliptus merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi
terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang
cukup tinggi untuk dipakai sebagai finir, plywood, furniture, dan bahan baku
pembuatan pulp dan kertas. Eukaliptus merupakan spesies yang cepat tumbuh
(Litbang, 1994).
Adapun taksonomi tanaman eukaliptus adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Class : Myrtales Famili : Mrytaceae Genus : Eucalyptus Spesies : Eucalyptus sp.
Hutan Tanaman Industri Pola PIR Eukaliptus
Hutan Tanaman Industri pola PIR Eukaliptus adalah suatu usaha pelaksanaan pembangunan hutan tanaman industri dengan menggunakan lahan kawasan hutan sebagai inti dan lahan masyarakat baik lahan milik/adat/marga sebagai plasma. Pada dasarnya seluruh kegiatan produksi dibiayai oleh Perusahaan Inti mulai dari penyediaan bibit, pupuk dan bimbingan teknis di lapangan. Selain itu mereka juga akan memperoleh upah apabila mereka mengerjakan sendiri seluruh aspek kegiatan produksi seperti persiapan/pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemeliharaan tegakan dan pemanennya (TPL, 2004 dalam Nahampun, 2005).
Hutan Rakyat dan Manfaatnya
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) yang telah dimulai pada
tahun 2003 masih perlu dilanjutkan mengingat masih adanya lahan tidak produktif
di luar kawasan hutan dengan kondisi masyarakatnya yang masih adanya lahan
tidak produktif di luar kawasan hutan dengan kondisi masyarakatnya yang masih
memerlukan pemberdayaan. Melalui pembangunan hutan rakyat yang
berkelanjutan dari tahun ketahun serta pengelolaannya diarahkan sebagai usaha kelompok tani secara mandiri, diharapkan akan mempercepat upaya rehabilitasi lahan, perbaikan lingkungan, pemenuhan kebutuhan kayu sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan disekitar hutan. Agar pelaksanaan pembuatan tanaman hutan rakyat kegiatan GNRHL/Gerhan dapat lebih terarah, berdaya guna dan berhasil guna maka perlu disusun pedoman yang merupakan penyempurnaan dari petunjuk pelaksanaan sebelumnya (Permenhut, 2004)
Tujuan pembuatan tanaman hutan rakyat adalah terwujudnya tanaman hutan rakyat sebagai upaya rehabilitasi, untuk meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan dan non kayu, memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kualitas lingkungan melalui percepatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Sasaran lokasi pembuatan tanaman hutan rakyat adalah lahan milik rakyat, tanah adat atau lahan di luar kawasan hutan yang memiliki potensi untuk pengembangan hutan rakyat, dapat berupa lahan tegalan dan lahan pekarangan yang luasnya memenuhi syarat sebagai hutan rakyat dalam wilayah DAS Prioritas (Permenhut, 2004).
Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan UU No.41/1999) adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.
Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang
tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dari sudut
pandang pemerintah mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat
karena ada dukungan progam penghijauan dan kegiatan pendukung seperti
demplot dan penyuluhan. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang
ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga
terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980 ).
Sebagian besar penulis artikel dan peneliti tentang hutan rakyat sepakat bahwa secara fisik hutan rakyat itu tumbuh dan berkembang di atas lahan milik pribadi, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga, untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam.
Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia sebagai inisiatif masyarakat adalah antara lain : hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan rakyat suren (Awang, 2001).
Hutan rakyat itu sendiri mempunyai manfaat seperti:
1. Upaya meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
2. Memanfaatkan secara secara maksimal dan lesatari lahan yang tidak
produktif dan mengelolanya agar menjadi lahan yang subur sehingga akan
lebih baik untuk usaha tanaman pangan.
3. Meningkatkan produksi kayu bakar dalam mengatasi kekurangan kayu bakar, penyediaan kebutuhan kayu perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga.
4. Untuk penyediaan bahan baku industri pengolahan yang memerlukan bahan baku kayu, seperti pabrik kertas, pabrik korek api dan lain-lain.
5. Menambah lapangan kerja bagi penduduk di pedesaan.
6. Membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis dalam mewujudkan terbinanya lingkungan hidup sehat dan kelestarian sumber daya alam (Departemen Kehutanan, 1996).
Sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria :
1. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari 30%;
2. Areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman pangan semusim;
3. Areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan;
4. Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim (Jaffar, 1993).
Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat sampai saat ini diusahakan
oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan
berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara
langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara
tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Ekonomi pedesaan yang dimaksud disini lebih diartikan sebagai ekonomi yang berlaku di wilayah pedesaan. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10%
pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia (Darusman dan Hardjanto, 2006).
Hutan rakyat juga memiliki peranan penting dalam memasok kebutuhan kayu bagi industri kayu di Indonesia. Salah satu contoh Hutan Rakyat di Jawa berpotensi memasok bahan baku kayu sampai 40 persen dari kebutuhan nasional yang kini mencapai 43 juta meter kubik per tahun (Antara News, 2010).
Deskripsi Pinus
Pinus pada umumnya memiliki pohon besar, batang lurus, silindris.
Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua
mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid,
setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua
berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25
cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina
dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di
bagian bawah tajuk Kayunya untuk berbagai keperluan, konstruksi ringan, mebel,
pulp, korek api dan sumpit. Sering disadap getahnya. Pohon tua dapat
menghasilkan 30-60 kg getah, 20-40 kg resin murni dan 7-14 kg terpentin per
tahun. Cocok untuk rehabilitasi lahan kritis, tahan kebakaran dan tanah tidak subur (Dephut, 2001).
Adapun taksonomi tanaman pinus adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae Class : Dicotylodinae Family : Pinaceae Genus : Pinus
Spesies : Pinus merkusii
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi geografis
Dusun Marubun Pane terletak di Kelurahan Tiga Runggu, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dengan luas ± 200 Ha.
Secara geografis, Dusun Marubun Pane berbatasan dengan:
Sebelah Timur : Kecamatan Raya Sebelah Barat : Desa Urung Pane Sebelah Utara : Kecamatan Raya
Sebelah Selatan : Kecamatan Dolok Pardamean
Secara Umum kondisi dan kemiringan lahan Kelurahan Tigarunggu terletak pada ketinggian ± 1300 mdpl, dimana kawasan ini adalah daerah datar, bergelombang, dan berbukit serta memiliki bentang alam yang tinggi. Pada umumnya, tanah di daerah ini dikategorikan sedang hingga subur. Iklim di daerah ini dikategorikan sebagai iklim tropis dengan curah 139 mm/tahun dengan suhu
0 0
Gambar 1. Suasana lokasi penelitian Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Tata guna lahan di Dusun Marubun Pane didominasi oleh perladangan, yaitu tanaman-tanaman pertanian (tanaman pangan semusim) seperti padi, palawija, jagung, dan lain sebagainya. Selain itu digunakan juga untuk tanaman kopi. Lahan PIR eukaliptus maupun hutan rakyat pinus merupakan lahan yang kurang produktif. Gambar 2 berikut merupakan salah satu lahan peserta PIR eukaliptus.
Gambar 2. Lahan PIR eukaliptus di Dusun Marubun Pane
Lahan PIR eukaliptus biasanya berada lahan miring (kurang produktif) seprti terlihat pada Gambar 2 di atas. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanah, dapat mencegah erosi, dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Demikian juga halnya dengan lahan hutan rakyat pinus juga berada pada lahan miring seperti (kurang produktif) seperti terlihat pada Gambar 3 berikut :
Gambar 3. Hutan rakyat pinus di Dusun Marubun Pane
Berdasarkan data monografi desa tahun 2010, jumlah penduduk Dusun
Marubun Pane adalah sebanyak 305 jiwa, 73 KK dengan rincian penduduk yang
berumur 0-9 tahun sebanyak 110 orang, umur 10-19 tahun sebanyak 45 orang,
umur 20-29 sebanyak 50 orang, umur 30-39 sebanyak 44 orang, umur 40-49
sebanyak 19 orang, umur 50-59 sebanyak 25 orang, umur 60 tahun ke atas
sebanyak 12 orang. Sebagian besar penduduk Dusun Marubun Pane bermata
pencaharian sebagai petani. Hanya sebagian kecil saja yang bermata pencaharian
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha ataupun wiraswasta. Tata guna
lahan di Dusun Marubun Pane didominasi oleh perladangan, yaitu tanaman- tanaman pertanian seperti padi, palawija, dan kopi.
Persentase jumlah penduduk di Dusun Marubun Pane dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :
Gambar 4. Persentase jumlah penduduk berdasarkan usia Aksesibilitas
Dusun Marubun Pane, Kelurahan Tigarunggu bisa dicapai dengan
menggunakan mobil maupun kendaraan bermotor. Adapun jarak dari Dusun Marubun Pane ke Ibukota Kecamatan adalah 6 km, dari ibukota kabupaten 50 km,
dan dari ibu kota provinsi 140 km.
Sarana dan Prasarana
Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Dusun Marubun Pane seperti jalan sebagai sarana perhubungan, rumah ibadah, dan sekolah dasar.
Sarana jalan sangat dibutuhkan di dusun ini untuk kelancaran pengangkutan hasil- hasil pertanian dari dusun tersebut. Dusun Marubun Pane belum memiliki saran telepon, tapi pada umumnya penduduk Dusun Marubun Pane sudah memiliki dan
110
45
30
44
19 25
12
0 20 40 60 80 100 120
Usia 0-9 Tahun
Usia 10- 19 Tahun
Usia 20- 29 Tahun
Usia 30- 39 Tahun
Usia 40- 49 Tahun
Usia 50- 59 Tahun
Usia 60 Tahun ke
atas