• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN HASIL KARYA DAN PRESTASI TERKAIT KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI YANG EFEKTIF SECARA TERTULIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN HASIL KARYA DAN PRESTASI TERKAIT KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI YANG EFEKTIF SECARA TERTULIS"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL KARYA DAN PRESTASI TERKAIT

KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI YANG EFEKTIF SECARA TERTULIS

SMPTQ CITAMULIA

JL. MOH. KAHFI 1 NO. 126 JAGAKARSA JAKARTA SELATAN

2021

(2)

TEKS DAUROH KHUTOBA FATIH ATHALLAH RAFIF KELAS 8

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta'inuhu wa nastaghfiruhu wa na'udzubillahi min syururi anfusina wa min sayyiati amalina, min yahdihillahu fals mudzillalah wa min yudlillah fala hadiyallah, asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna

muhammadarrasulullah, allahumma sholli ala Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.

Jamaah yang dimuliakan Allah .

Pada kesempatan yang mulia ini, kami selaku khatib mengajak kepada hadirin sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Takwa dalam arti kita senantiasa melibatkan Allah dalam setiap persoalan yang kita hadapi dengan cara berdoa, memohon pertolongan dan bermunajat kepadanya. Sehingga akan menimbulkan ketentraman dan ketenangan dalam setiap kehidupan kita.

Allah berfirman dalam Al-Quran Surat Ali Imran, ayat 102 yang artinya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada- Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Dalam Khutbah Jumat singkat ini, mari kita merenung sejenak tentang apa yang terjadi di sekitar kita saat ini, di mana kita sedang menjalani masa pandemi Covid 19 yang sudah berjalan lebih dari setahun. Sudah banyak orang yang meninggal, tid ak sedikit di antara mereka adalah Saudara kita, tiba tiba sahabat kita meninggal dunia, siapa saja dan kapan atau di mana saja bisa meninggal dunia

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati"

Kematian adalah sesuatu yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang menjadi gerbang dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat adalah kematian.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 28, Allah berfirman:

“Kaifa takfuruna billahi wa kuntum amwatan fa ahya kum tsumma yumitukum suma yuhyikum Summa inna ilaihi turja'un"

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

(3)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa ayat ini menjelaskan akan kekuasaan Allah dan sungguh aneh orang yang ingkar kepada Allah sementara manusia awalnya tiada, lalu Allah menjadikannya ada di muka bumi ini. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa kita semua pasti mati. Dan kita semua pasti akan dibangkitkan kembali setel ah kematian itu.

Oleh karenanya kita harus mempersiapkan amal saleh sebagai bekal di akhirat kelak.

Selain berusaha dengan segenap amal saleh untuk mencapai husnul khatimah, kita juga kita juga harus selalu berdo’a agar Allah mewafatkan kita dalam keadaan husnul khatimah.

Akhirnya, semoga kita menjadi hamba Allah yang berhasil dalam mempersiapkan kehidupan kita, yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. dan Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang wafat dalam keadaan husnul khatimah.

Khutbah Kedua

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad wa ala alihi wasohbihi wa man tabinga hada hu, amma ba'du

Ya Allah, wahai Yang Maha Melihat, Maha Agung lagi Perkasa, Engkaulah yang Maha Mengetahui, ampunilah segala dosa kami selama ini, ampuni segelap apapun masa lalu kami, tutupi seburuk apapun aib-aib kami, ampunilah kami ya Allah. Bukakan lembaran - lembaran baru yang bersih yang menggantikan lembaran yang kelam, masa lalu kami.

Ya Allah, ampuni dan selamatkan orang tua kami, darah dagingnya melekat pada tubuh kami, ya Allah. Ampuni jika selama ini kami telah menzhaliminya, jadikan sisa umur kami menjadi anak yang tahu balas budi, ya Allah.

Ya Allah, lindungi kami dari mati su’ul khotimah, lindungi kami dari siksa kubur-Mu ya Allah

Ya Allah, satukanlah hati kami dalam ketaatan dan keistiqamahan dalam menjalankan kewajiban-Mu ya Allah

Rabbana firlana wali Ikhwaninnalladzina sabaquna bil Imaani

Wala taja’l Fi qulubina ghillallilladzina amanu robbana innaka roufur Rohim

Robbana dholamna anfusina wa in lam. taghfirlana watarhamna Lanaku nanna minal khosirin

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(4)

Teks cerpen Laras Izzatunnafs Riadi Li

Pagi yang tenang dan damai. Shiki menghela napas, agak bosan. Ia memutuskan untuk pergi ke Perpustakaan Kota, membaca atau meminjam beberapa buku untuk mengusir bosan mungkin hal yang bagus.

...

(5)

Buk

Shiki menutup buku kesal. Tidak ada yang menarik. Ia bosan. Ia menaruh kembali buku di tempatnya, lalu beranjak pergi dari Perpustakaan.

Ia melirik ke sebuah kedai minuman. Baguslah. Tenggorokannya kering, ia butuh minuman dingin. Beberapa saat setelah membelinya, ia duduk di sebuah bangku taman.

“Apa karena ini kakak menyuruhku untuk mencari teman...” Gumam Shiki. Tiba-tiba, terdengar suara gusrakan. Ia sontak menoleh kesana-kemari.

Suasana kembali hening. Shiki merasa aneh, jadi ia perlahan bangun dari posisi duduknya. Tiba-tiba—

SRAK, BRUK

Sesuatu jatuh, menimpa Shiki yang sekarang entah bagaimana.

“Argh... Noel... Bocah itu...” Orang itu menggaruk kepalanya kesal, beranjak duduk.

“Tapi memangnya tanah di bumi seempuk i—“ Ia terdiam beberapa saat, dan akhirnya menyingkir dari Shiki. Shiki bergetar, ingin rasanya ia menghajar orang itu.

“Seenaknya jatuh, lalu menimpa orang—“ Shiki memelototinya, membuat orang itu bergidik ngeri.

Shiki menyadari ada yang aneh. Rambut putih, manik abu-abu kebiruan, lalu... sayap?

“Kau lagi cosplay?”

“Cosplay? Apa itu?” Shiki mengerjap.

“Omong-omong gadis kecil, apa kau tau cara kembali ke langit?”

Shiki menatapnya bingung. Ngelantur apa orang ini? Apa dia sakit jiwa? “Kau kan punya sayap, kenapa nggak terbang saja?”

“Uh— kau kira terbang ke dunia langit itu mudah? Bakal makan waktu, tahu.”

Ok, disimpulkan orang ini orang aneh. “Halo, ada orang aneh disini—“ “STOP STOP, KAU KIRA AKU INI APA?!”

“Cuma bercanda.” Shiki memperlihatkan ponselnya yang mati. Orang itu hampir melemparnya ke air mancur di dekat mereka karena kesal.

“Sudahlah. Hei bocah, boleh aku minta tolong?”

...

Shiki menghela napas. Apa ini, tiba-tiba dia jadi pemandu dadakan?

“Bocah, apa itu?” Orang aneh itu menunjuk sebuah food truck.

(6)

“Pertama, jangan panggil aku bocah, panggil aku Shiki. Kedua, aku harus tau namamu jadi aku juga tidak memanggilmu orang aneh. Ketiga, bisakah kau hilangkan sayap itu? Kau menarik perhatian.”

Orang itu mendengus bangga. “Duh, wajah tampanku ini sangat menarik perhatian ya.” Shiki menatapnya jijik. “CUMA BERCANDA, JANGAN TATAP AKU BEGITU!”

Ia berdehem. “Kenalkan boc— Shiki, namaku Li, salah satu dari ‘9 Pilar’ Dunia Langit. Apa itu cukup?”

“Sayapmu.”

“Keras kepala seka— baiklah, baik.” Ia menutup mulut melihat tatapan tajam Shiki yang seolah akan mengulitinya.

“Kalau kau sudah puas bermain, cepatlah kembali.” Li mengangguk-angguk.

“Sebentar lagi saja, ya?”

“Shiki, itu kelihatan seperti awan.” Shiki melirik. “Itu namanya permen kapas, gula- gula yang dibentuk menjadi bentuk kapas-kapas seperti itu.” Li menatapnya

penasaran. Shiki menghela napas, membeli 2 untuk mereka.

“Shiki, apa itu?” Shiki mengikuti arah pandang Li. “Mesin itu menyediakan permainan mengambil boneka dengan capitnya.” Li menatapnya berbinar seperti anak-anak.

“Ini paus? Lucu juga.” Li memeluk erat boneka itu. “Anak-anak...” Batin Shiki.

“Shiki, mesin ini rusak.” Shiki menoleh. “Kau harus memasukkan uang dulu.” Shiki memasukkan uang, memencet tombol yang daritadi dipencet Li. Li berdecak kagum.

“Teknologi manusia unik, ya.”

“Primitif...” Batin Shiki.

(7)

“Shiki, benda apa yang berputar itu?” Shiki mendongak. “Bianglala. Mau coba?” Li mengangguk antusias.

Tanpa disadari, waktu telah berlalu sangat lama. Shiki menghembuskan nafas, bersandar di kursi. Li menempel jendela, menatap matahari terbenam dari jendela bianglala.

Shiki yang melihatnya mendengus geli, tersenyum tipis.

...

“Bumi semakin menarik saja.” Li meregangkan tubuhnya. Mereka beristirahat di bawah sebuah pohon besar.

“Shiki, terimakasih lho. Jarang-jarang ada kesempatan jalan-jalan seperti ini.” Shiki hanya mengangguk. Lalu, ia teringat sesuatu.

“Kenapa kau tiba-tiba jatuh dari langit begitu?” Li mengerjap. Ia menggaruk kepalanya.

“Ada siluman rubah nakal bernama Noel yang menendangku jatuh dari Dunia langit.”

Li tersenyum ceria. “Yah, dipikir lagi itu bukan masalah besar. Toh, aku jadi bisa bertemu denganmu.” Ia berdiri, sayapnya yang sedari tadi disembunyikan kembali.

Angin berhembus, menerbangkan daun-daun dan salah satunya mendarat di rambut Shiki. Li mengambilnya dengan lembut.

“Sudah waktunya. Selamat tinggal, kalau takdir berkenan kita akan bertemu lagi.”

Shiki merasakan kantuk tiba-tiba. Pandangannya menggelap, bersamaan dengan lelaki itu menghilang.

...

Shiki membuka mata perlahan. Hari sudah gelap, lampu-lampu dinyalakan, dan dirinya yang duduk bersandar sebuah pohon besar.

"Apa... itu cuma mimpi?"

Manik merah jambunya mengerjap. Ia bangkit dari duduknya, memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya terhenti sejenak. Ia menoleh, menatap tempat itu untuk terakhir kalinya. Diam-diam ia berbisik, "Semoga kita bertemu lagi, Li."

Teks Cerpen M. Zhafran Farrasi Kelas 7

Jojon Si Pemalas

Pada suatu hari. Hidup lah seorang anak bernama Jojon, Dia ada lah anak yang nakal dan pemalas, setiap ibu nya meminta pertolongan Jojon selalu menolak dan dia

(8)

selalu membentak Ibu nya. Ibu nya pun berkata "Wahai anak ku apa kah kamu mau membantu ibu mencuci piring?" Ujar Ibu, Jojon Pun menjawab "Tidak Ibu aku tidak mau menolong Ibu!"

bentak Jojon, Jojon pun pergi mengendarai sepeda dan langsung main di lapangan . Di tengah perjalanan Jojon bertabrak dengan temannya yang bernama Raihan,

Jojon berkata "Woi Raihan nabrak nabrak aja punya mata gak sih?" Ujar Jojon, Raihan pun membalas "Kamu kali yang nabrak" Jawab Raihan, Jojon pun berkata lagi

"Lagian aku lagi kesel di suruh Ibu ku terus" Ujar Jojon, Raihan Pun membalas lagi "Jon gak boleh gitu lah kan itu ibu kamu, kamu harus patuh terhadap oarng tuamu"

Jawab Raihan, Jojon pun membalas "gak mau pokok nya aku males disuruh -suruh" Jojon Pun Langsung Meninggalkan Raihan Begitu saja.

Ditengah jalan, Jojon bertemu seorang Kakek tua yang sedang mengrajut baju, Jojon pun bertanya kepada Kakek tua tersebut

"Permisi, Kakek apa kah kakek sedang merajut baju?" Kakek tua itu pun menjawab "Iya cu, kakek sedang merajut baju" Ujar Kakek, Jojon pun bertanya kepada kake tua tersebut

"Kek, Apakah kakek tidak lelah merajut baju?" Tanya Jojon, Kakek tua itu pun menjawab

"Capek cu, tapi mau gimana lagi takdir kakek untuk berjualan jasa rajut"

Jawab Kakek tua itu, Jojon pun berkata lagi "Kek, Kenapa kakek jual jasa rajut, mengapa tidak yang lain" Kakek tua itu pun menjawab "Karena kakek sudah tua cu

jadi kakek tidak ada pekerjaan lain kecuali jasa rajut, karena jasa rajut lebih mudah cu"

Jawab Kakek tua itu. Jojon pun bertanya lagi

"Kek, kenapa kakek tidak sukses seperti orang-orang seumuran kakek?", Kakek pun menjawab "Dulu kakek waktu seumuran cucu kakek adalah ana yang nakal dan

pemalas jadi Kakek tidak sukses sampai sekarang" Jawab Kakek, Jojon pun menjawab

"Ohh bagitu kek, yaudah kek izin pulang dulu ya Permisi" Kakek pun menjawab

"Iya silahkan cu" Jawab kakek

Ditengah jalan Jojon berkata didalam hati nya, "Benar juga yah kata kakek tua yang tadi itu kalau aku jadi anak pemalas dan nakal aku tidak akan sukses"

Kata Jojon dalam hatinya, Dia pun tidak jadi ke lapangan dan langsung pulang ke rumah nya. Sampai dirumah, Jojon pun langsung meminta maaf kepada ibu nya

(9)

Jojon berkata "Ibu aku minta maaf bu karena sudah membentak ibu dan tidak nurut kepada ibu" Ujar Jojon, Ibu pun menjawab "Iya ibu maafkan lain kali kalo

berbicara sama orang tua harus sopan dan lain kali jangan menolak jika ibu minta tolong ya nak" Ujar Ibu, Jono pun menjawab "Baik bu aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi"

TEKS DAUROH KHUTOBA ZUFAR GHANIM KELAS 8

نِإ َدْمَحْلا ِ ِلل ُهُدَمْحَن ُهُنْيِعَتْسَن َو ُه ُرِفْغَتْسَن َو ُذ ْوُعَن َو ِللاِب ْنِم ِر ْو ُرُش اَنِسُفْنَأ ِتاَئ يَس َو اَنِلاَمْعَأ ْنَم ِهِدْهَي ُالل َلَف ل ِضُم ُهَل ْنَم َو ْلِلْضُي َلَف َيِداَه ُهَل

Amma ba’du …

Hadirin Jamaah Shalat Jumat yang insyaAllah selalu berada dalam naungan rahmat Allah SWT Tak henti-hentinya kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita karunia iman dan Islam; nikmat yang teramat besar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya. Semoga kita selalu mendapatkan hidayah-Nya serta berada dalam keadaan Iman dan Islam hingga akhir hayat kita.

Sebuah pujian yang hanya layak dimiliki oleh Allah. Alhamdu lillah; segala puji hanya milik Allah. Tidak pantas bagi manusia untuk mengharapkan pujian, tidak pantas bagi manusia untuk merasa berjasa, karena sejatinya segala pujian hanya milik-Nya semata.

Dan khotib mengajak dirinya sendiri serta jamaah sekalian untuk terus menguatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.

(10)

اَي اَهُّيَأ َنيِذَّلا اوُنَمآ اوُقَّتا ََّاللَ َّقَح ِهِتاَقُت َل َو َّنُتوُمَت َّلِإ ْمُتْنَأ َو َنوُمِلْسُم

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Al-Quran, Surat Ali Imran, ayat 102)

Dan tentunya, shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya.

Sidang shalat Jumat yang dirahmati Allah SWT

Dalam khutbah Jumat yang singkat ini, mari kita merenung sejenak sejauh mana kita telah berbakti kepada orang tua kita, khususnya ibu kita.

Kehadiran kita di dunia ini, tidak dapat kita pungkiri, adalah dengan sebuah pengorbanan yang sangat besar dari ibu kita. Dalam Al-Quran, Allah SWT menggambarkan dalam surat Luqman ayat 14:

اَنْيَّص َو َو َناَسْنِ ْلا ِهْيَدِلا َوِب ُهْتَلَمَح هُّمُا اًنْه َو ىٰلَع نْه َو هُلاَصِف َّو ْيِف ِنْيَماَع ِنَا ْرُكْشا ْيِل َكْيَدِلا َوِل َو َّيَلِا ُرْي ِصَمْلا

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.

Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.

Hanya kepada Aku kembalimu.

Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah SWT,

Dalam kesempatan khutbah Jumat ini, kita akan melihat 2 peristiwa dari sekian banyak peristiwa, yang menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap ibu.

Peristiwa yang pertama; saat Nabi Ismail A.S. ditinggal bersama ibunya di padang tandus.

Atas perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim A.S. harus meninggalkan Nabi Ismail A.S. yang masih bayi bersama ibunya, siti Hajar di Mekkah yang saat itu begitu tandus.

Siti Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Apakah ini adalah perintah Allah?” Ketika Nabi Ibrahim A.S. mengiyakan, maka siti Hajar menerima perintah tersebut dengan pasrah.

Dalam suasana haus dan terik, siti Hajar lalu berusaha mencari air dari Shafa ke Marwa, hingga 7 kali ulang-alik. Dan Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, akhirnya air Zamzam muncul di tanah dekat kaki Nabi Ismail.

Yang luar biasa adalah, peristiwa seorang ibu ini, yang berusaha untuk mencari air untuk putranya, diabadikan oleh Allah SWT sebagai salah satu ritual dalam ibadah Haji yang disebut sa’i.

Maka siapapun yang telah menunaikan ibadah umrah dan haji selayaknya selalu ingat kebesaran Allah dan kasih sayangnya pada Ibu dan anaknya, serta menghayati betapa besar perjuangan seorang ibu.

(11)

Peristiwa yang kedua adalah: saat Ibu Nabi Musa A.S. mendapat Ilham dari Allah SWT

Saat Fir’aun sedang mencanangkan untuk menghabisi seluruh anak laki-laki di negerinya, ibu Nabi Musa A.S. teramat sedih dan khawatir bahwa putranya akan turut dihabisi.

Namun dengan kekuasaan Allah, Allah memberikan ilham kepada Ibu nabi Musa A.S Seperti yg disebutkan pada quran surat al qasas ayat 7 yang berarti

Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (Al-Quran, Surat Al-Qasas ayat 7)

Akhirnya Nabi Musa A.S. dihanyutkan ke sungai Nil, lalu ia ditemukan oleh istri Fira’un. Dan karena bayi tersebut tidak mau menyusui kepada siapapun, akhirnya Allah mengembalikan bayi tersebut ke pangkuan ibunya untuk disusui oleh ibunya.

Kita lihat betapa sentral peranan Ibu dari Nabi Musa A.S. dalam peristiwa di atas. Bahkan hingga Allah memberikan ilham padanya.

Semua peristiwa di atas sangat jelas menunjukkan betapa besar perhatian Islam kepada seorang Ibu.

Ibu, begitu mulia kedudukannya, lebih berharga dari berlian. Dan dalam tingginya derajatnya itu, cinta Ibu pada kita, sungguh tak bertepi.

Demikianlah khutbah pertama ini. Semoga Allah selalu memberi kita taufiq dan hidayah-Nya.

Khutbah Kedua

Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah,

Dalam khutbah pertama tadi, dari 2 perristiwa tadi, sangat jelaslah betapa kedudukan Ibu sangatlah tinggi dan menghormatinya adalah bukti keimanan kita dan tanda akan kemuliaan seseorang. Tentunya masih banyak lagi peristiwa agung lainnya dalam sejarah Islam yang menunjukkan keutamaan seorang ibu

Dan dalam Kitab Sahih Muslim, diriwayatkan oleh Abu Hurairah, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, siapa yang paling berhak untuk aku berbakti? Rasulullah SAW berkata; Ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, lalu ayahmu, lalu orang-orang yang terdekat denganmu.”

Maka, luangkanlah waktu untuk berbakti kepada ibumu. Bahkan, jadikanlah itu menjadi prioritas waktumu. Jadikanlah berbakti kepada ibu sebagai kesempatan untuk meraih ridho- Nya dan mendapatkan keutamaan pahalanya.

Allahummagh fir lilmuslimiina wal muslimaati, wal mu’miniina wal mu’minaatil ahyaa’I minhum wal amwaati, innaka samii’un qoriibun muhiibud da’waati. Robbanaa laa tuaakhidznaa in nasiinaa aw

(12)

akhtho’naa. Robbanaa walaa tahmil ‘alaynaa ishron kamaa halamtahuu ‘alalladziina min qoblinaa.

Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi, wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina. Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar. Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

NOVEL HAFSA ASHALINA KELAS 9 00—Prolog

Aug 6, 1965.

Wanita itu menyeret tungkainya, memasuki halaman pemakaman dengan sebuah buket bunga mawar merah di tangannya. Dengan balutan pakaian putih tuntutan tempatnya bekerja, ia merasa dirinya semakin tidak pantas untuk dimaafkan. Makam orang yang begitu berharga dalam hidupnya, yang selalu menyadarkannya, yang telah berkorban untuknya, baru sempat dikunjunginya setelah dua puluh tahun kematiannya. Namun tetap saja, studinya di Belanda tidak bisa ia gunakan sebagai alasan.

Langkahnya terhenti, tepat di depan sebuah makam dengan nisan bertuliskan

‘DEBORA ELSKE. AMSTERDAM, 11 JANUARI 1933, OVERL DJAKARTA, 17 AUGUSTUS 1945.’

Mata wanita itu tak bisa menahan lebih lama air mata yang sudah membendung kala tungkainya menapaki tanah pemakaman sore yang sepi. Akhirnya, basahlah kedua pipinya, menghiasi senyum yang selama dua puluh tahun lamanya hilang semenjak kematian sahabatnya, Debora Elske.

(13)

Wanita itu perlahan berjongkok, mengelus nisan sahabatnya seperti sahabatnya mengelus wajahnya dua puluh tahun silam. Seulas senyum terukir di wajahnya. Dengan suara parau, ia berkata, “Halo, Elske.” Ia terkekeh. “We ontmoeten elkaar weer(1), Sudah lama sekali, ya?”

Hening menyambutnya, suara gagak berkoak dari kejauhan terdengar beberapa detik berselang. Wanita itu mengembuskan napas sepelan yang ia bisa, menitikkan air mata merasa bersalah. “Maaf, Elske. Maaf karena aku baru menjengukmu setelah dua puluh tahun menghilang dari “hidupmu yang baru”. Aku sudah bilang, ‘kan, dulu? Setelah kamu pindah ke Indonesia, dan kita menjadi teman, aku merasa ….” Ia menghela napas, ingin meralat kalimat.

“Aku bilang, bahwa aku sangsi jadi orang yang tepat, sebagai temanmu.

“Tapi …,” Wanita itu terisak, “kamu membantah, Elske. Kamu bilang, selamanya kita akan baik-baik saja. Tetapi buktinya, aku … aku baru bisa menemuimu sekarang, dua puluh tahun setelah Insinyur Soekarno membacakan teks proklamasi pada 1945. Aku menghabiskan banyak waktu di Belanda, di tempat seharusnya kamu berada, dan, dan … kamu masih bisa hidup sepertiku, Elske. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf.”

Hening, suara langkah kaki seseorang menghampirinya beberapa detik berselang benar- benar tak digubrisnya. Tak ingin rasanya melepas nisan Debora Elske, apalagi wanita itu memiliki waktu luang, dan di sinilah ia sekarang. Hingga Si Pemilik Langkah itu berkata, barulah wanita itu berpaling dari nisan tua nan berlumut. “Kau … Verbrugge Gottfried Hank?”

Lelaki dengan kemeja putih dan celana cokelat muda itu mengulas senyum tulus.

“Suatu kehormatan bagiku jika kamu memanggilku Henrick, Miss Naresha Nirmala. Semua orang di keluarga besarku memanggilku demikian, kecuali,” Ia menunduk, tersenyum tipis, dan menghela napas, “mijn overladen broer(2),” ujarnya, sama paraunya dengan suara Naresha saat ini.

Naresha mengupayakan dirinya untuk berdiri berhadapan dengan Henrick. Tungkainya, sungguh, jika ia mengizinkannya tumbang, maka tumbanglah ia. “Aku mengerti perasaanmu, Han —maksudku, Henrick. Kita memendam perasaan yang sama, sekarang. Puluhan tahun tidak berada di dekat orang yang kita sayangi, seperti aku dan Elske, dan kamu dengan saudara laki-lakimu.” Naresha mengembuskan napas, lalu kembali memandangi makam sahabatnya.

“Kurasa, aku benar-benar bersalah pada Elske.”

“Jangan merasa bersalah, Naresha. Kematian Elske di luar kekuasaan kita. Itu, adalah takdir yang sudah Tuhan takdirkan untuknya, untuk Kakak, untuk semua orang. Termasuk aku dan kamu nanti.” Henrick tersenyum, yang oleh Naresha dibalas dengan hal serupa. Verbrugge Gottfried Hank itu, sahabat kecil Elske dulu, Naresha pikir dia benar-benar orang yang hebat.

Terakhir—sekaligus pertama—kali mereka bertemu adalah saat Henrick mengantar Elske ke Indonesia, dan kini Naresha paham betul mengapa cowok itu terlihat berwibawa.

Tetapi mengapa kalimatnya terdengar tidak asing, dan juga begitu hangat di telinganya?

Pandangan Henrick mengarah pada bunga mawar merah yang Naresha lupa taruh di makam Elske—masih berada di tangannya. Dua bunga mawar merah kesukaan Elske di sana, yang sepertinya akan sangat bagus jika Elske dan Henrick sama-sama memilikinya. Naresha pikir, karena mereka berdua adalah sepasang sahabat, mereka masih harus saling terhubung.

(14)

“Em, Henrick, kurasa bunga yang satu ini untukmu saja.” Diambilnya satu bunga mawar merah dan diberikannya bunga itu pada Henrick. “Untukmu, dari Naresha, tetapi terikat pada Elske. Terimalah, kumohon.”

Cowok itu termangu. “Eh,” katanya. Lalu, ia mengerjapkan matanya beberapa kali.

Naresha rasa, Henrick baru saja melamunkan sesuatu.

Kening Naresha mengerut. “Ada apa, Henrick?”

“Eh, enggak ada.” Cowok itu menggeleng, berupaya tersenyum, lalu menunduk.

“Terima kasih, Naresha.” Dipandanginya makam Elske oleh mata sayu yang dimiliki cowok itu. Seketika, senyumnya bertambah lebar. “Aku akan selalu merindukanmu, Elske. Kuharap,

“di atas sana” kamu masih ingat denganku, juga dengan Naresha, sahabatmu.” Dialihkannya pandang pada Naresha kemudian. “Ayo, kita pulang. Aku akan mengantarmu.”

“Pulang? Tapi, aku masih harus membayar kesalahanku selama dua puluh tahun kemarin!” bantahnya keras kepala. Alhasil, Henrick menghela napas penus kesabaran.

“Kan sudah kubilang …,” Cowok itu berujar lambat-lambat, “semua ini di luar kekuasaan kita, Naresha. Kamu tahu, kan, arti nama belakangmu adalah ‘kesempurnaan tanpa cacat’? Nama itu doa, Naresha. Harapan. Itu artinya, yang kamu lakukan—meninggalkan Elske selama dua puluh tahun sebab melanjutkan studi di Belanda—bukanlah suatu kesalahan.

Ikhlaskan semuanya. Jalani lembar hidupmu sekarang ini … tanpa Elske. Forgive yourself, Naresha.”

“Tanpa Elske,” ulang Naresha. Dipandangnya makam sahabatnya itu dengan penuh rasa rindu. Setelah dua puluh tahun ia menghilang, ia kembali, dan sahabat kecil almarhumah sahabatnya malah menyuruhnya untuk memaafkan dirinya. Dengan mudah, itu masalahnya.

Bahu Henrick menurun. Disunggingnya senyum tipis dan diarahkannya itu pada Naresha. “Aku, teman masa kecil Elske, belum pernah bertemu dengannya lagi setelah kembali ke Belanda pada 1944. Kurasa, aku melewatkan banyak hal, dan tidak sempat untuk melakukan apa-apa lagi dengan Elske untuk mengenang saat-saat kami masih bisa bersama.” Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus Naresha yang tak kunjung memalingkan pandang dari makam Debora Elske. “Apa kamu keberatan untuk bercerita?”

“Eh? M-memangnya kamu enggak keberatan mendengarkan sejarah? Kuyakin, kamu akan tertidur di tengah cerita.” Naresha bergurau, Henrick tertawa.

“Tidak akan ada yang tertidur selama kamu bercerita, Naresha. Lagipula, aku suka Sejarah. Dan, aku tidak memerangi Indonesia. Asal kamu tahu, jika aku bisa membenci Belanda saat menjajah kalian dulu, aku pasti membencinya.” Henrick tersenyum. “Sekarang, ceritakan. Bagaimana … kenapa kamu bisa berteman dekat dengan sahabat kecilku, Debora Elske?”

“Karena kami menjadi tetangga, Henrick. Kami adalah tetangga,” jawab Naresha singkat. Dipandangnya bunga mawar merah di tangannya dengan penuh kerinduan pada almarhumah sahabatnya. “Semua ini … semua ini terjadi karena kedatangan keluarga Elske, dan kamu, pada 1944 lalu ….”

***

(15)

(1) Kita bertemu kembali.

(2) saudaraku yang telah meninggal.

01

Jan 11, 1944.

“Nak Naresha, nanti halaman depan minta tolong disapu, yo.”

Naresha kecil—13 tahun, saat itu—yang sedang menikmati secangkir teh di teras rumah majikannya, langsung menoleh. “Oh, nggih(3) Bu.” Lalu, ditaruhnya cangkir itu di atas meja. Diambilnya sapu lidi besar di pojok teras, dan berjalanlah ia menuju halaman depan majikannya yang dipenuhi dengan dedaunan kering. Tidak apa-apa. Dengan bekerja keras dan mendapatkan banyak upah, maka Bapak bisa dibawa ke rumah sakit dan penyakitnya akan sembuh, batinnya.

Dipijaknya kaki ke halaman, Naresha mulai menyapu. Semburat jingga khas sore hari membuatnya lebih bersemangat untuk bekerja. Kesannya damai dan hangat, dan ia harap kedamaian itu benar-benar akan datang pada hidupnya.

Sesuatu berwarna hitam yang terlihat begitu mewah dan berkelas datang dari arah kanan, menyita perhatian Naresha. Gadis itu menghentikan aktivitasnya sebentar, mencoba menonton hal menarik yang sedang melintas di hadapannya. Itu … mobil, benda yang tidak semua orang bisa memilikinya, kecuali mereka yang bangsawan dan berharta. Naresha pikir, para penumpangnya adalah orang-orang kaya dari Belanda.

(16)

Pintu sopir terbuka. Seorang pria dengan kemeja putih berjalan memutar untuk membukakan pintu bagian mobil yang lain. Pada pintu pertama yang dibukanya, seorang gadis dengan kemeja putih dan rok hitam mengembang menuruni mobil dengan anggun. Surai pirang berpita putih yang dimilikinya berhasil membuat Naresha merasa iri sejenak.

Seorang lelaki menyusul turun setelah gadis itu berdiri sempurna di atas rerumputan hijau. Tampan.

“Welkom in Nederlandsch Oost-Indie(4), Deboraku sayang.” Dialihkannya pandang pada cowok yang berdiri di belakang Si Gadis. “Dan kamu juga, Tuan Henrick. Bedankt voor het meenemen(5).” Pria itu tersenyum.

Naresha mengerti. Nederlandsch Oost-Indie, atau bisa juga disebut Nederlansch Indie, adalah nama lain Indonesia yang diberikan oleh bangsa Belanda dan cukup populer di dunia pada masanya. Status Indonesia saat itu adalah ‘dalam masa penjajahan Belanda’, setelah penyerangan dari Portugis dan nama ‘Hindia’ mulai terganti. Walau pun ada yang bilang bahwa Indonesia tidak dijajah selama 350 tahun, kependudukan Belanda di Indonesia memang cukup lama hingga mereka memiliki sebutan sendiri untuk Indonesia.

Gadis tadi, yang dipanggil Debora, berdecak malas. “Ja, Vader ….” Ia menyahut lesu, seolah kedatangannya ke Indonesia bukan suatu hal yang menyenangkan.

Naresha tak henti memandangnya, hingga gadis itu balas memandang dan memasang tampang tidak suka. Ia mengamati Naresha, lalu memasang tampang merendahkan yang ditujukan dengan jelas padanya. Tidak heran, karena mereka memang berasal dari dua belahan dunia yang berbeda. Gadis itu adalah putri bangsawan nan berharta, sedangkan Naresha hanyalah seorang pembantu yang selalu tampil seadanya dan tidak rupawan.

Sekali melihatnya saja, Naresha tahu, gadis itu bukan anak yang asyik untuk diajak berteman. Yah, meski mereka berdua sepantaran.

“Debora, kun je me helpen de koffer op te tillen?(6)” Seorang wanita yang sama anggunnya dengan gadis angkuh tadi menyembulkan kepala dari belakang mobil, menatap gadis yang dilihat Naresha tadi. Ketika maniknya tak sengaja bertemu dengan manik Naresha, sebuah senyum langsung mengembang di wajahnya. “Ah, halo, Adik! Selamat sore,” ujarnya baku, lengkap dengan logat Belanda yang begitu kentara.

Naresha balas tersenyum, dan wanita itu kembali berbincang dengan gadis angkuh tadi dengan bahasa Belanda, yang oleh Naresha sama sekali tidak dimengerti.

Kedua perempuan anggun tadi berjalan memasuki rumah bercat putih yang terlihat begitu mewah. Dan, bertepatan dengan saat itu, suara melengking seseorang berhasil mengagetkannya. Naresha menoleh, mendapati Dewina, anak perempuan majikannya, sedang berkacak pinggang. Dewina memandangnya seperti seorang bos memandang pekerjanya, yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari Naresha semenjak keluarga itu pindah ke daerah tempat tinggalnya.

“Kenapa melamun, eh? Halaman depanku masih kotor, Naresh!”

Gadis itu menjengkelkan, dan Naresha yakin ia tidak akan pernah menyukainya.

(17)

“Nona Dewina?” Naresha memutar badan, menghadap Dewina. “Saya sedang membersihkan halaman depan Anda, kok. Sebentar lagi juga selesai.” Naresha berupaya untuk tersenyum, namun gagal.

Dewina melipat kedua tangannya. “Yah, terserah. Pokoknya, halamanku harus bersih seperti halaman rumah orang Belanda yang kulihat di televisi. Awas saja kamu, jika berani menentangku,” ujarnya congkak.

Jika Dewina berada di kutub yang sama dengan Naresha, mungkin mereka sudah berteman sejak lama.

Suara dua orang bercakap-cakap menyita perhatian Dewina. Gadis itu menolehkan kepalanya ke kanan dan mendapatkan dua orang Belanda sedang bercakap-cakap dengan seru.

Debora dan Henrick, para bangsawan dari Amsterdam.

Satu hal konyol yang—bisa-bisanya—terbesit dalam benak Naresha: cowok itu benar- benar terlihat berwibawa.

“Ah,” gumam Dewina. Ditolehkannya kepala, menatap Naresha. “Lihat itu, Naresh?

Mulai sekarang, kita memiliki tetangga baru. Orang Belanda. Aku pasti malu jika mereka mengetahui halaman depanku yang kotor, tidak seperti halaman depan rumah mereka.”

Yep, kembali pada topik awal.

“Pokoknya, aku tidak akan pernah mau memaafkanmu, jika saja kamu berhasil mencuri hati gadis itu … terutama laki-laki di sebelahnya.” Dewina memicingkan mata, menatap Naresha sengit. “Kamu tidak terpikir untuk menyukainya, kan?”

Ingatlah berapa usiamu, Dewina. “Barang sedetik pun, Nona. Saya tidak akan keberatan jika Anda menyukainya. Saya tidak suka bermain cinta, dan karpet merah akan saya gelar mulus agar Anda bisa menyukai laki-laki itu tanpa hambatan. Saya tidak akan mengganggu perasaan Nona Dewina, saya janji.”

Dewina menyipitkan satu matanya. “Tidak ada ‘janji’. Kamu sudah banyak mengganggu hidupku, dan ada baiknya manusia sok suci sepertimu musnah dari muka bumi ini,” ujarnya dramatis, lantas berpaling dan berjalan memasuki rumahnya.

Brakk!

Bukan suatu hal yang memukul hati Naresha seperti saat pertama kali mereka berjumpa.

Bukannya apa-apa, hanya saja dia sudah terbiasa. Omelan Nona Dewina sudah menjadi asupan sehari-harinya. Tetapi jika tidak, siapa yang akan membayar biaya pengobatan penyakit ayahnya?

Urusan halaman depan Naresha selesaikan dengan cepat kemudian. Ia khawatir kedua orang tuanya cemas sebab ia pulang lebih lambat dari biasanya.

***

“Naresha, ayo makan dulu, Nak!”

“Iyaaa!” Naresha menaruh bolpoin di atas buku tulis usang hasil kerja keras ayahnya yang begitu berharga. Meski tidak bagus, Naresha masih bersyukur memilikinya. Ia jadi bisa

(18)

mencatat materi penting yang didapatnya di sekolah, juga sebagai buku harian yang menemaninya di kala bosan menerpa. Tidak ada yang diprotesnya, meski kondisi hidupnya tidak semudah kehidupan Dewina atau Debora.

Oh, iya, Debora.

“Malam, Ibu,” sapa Naresha hangat. Dilihatnya menu yang terhidang di atas meja makan berdebu pemberian almarhumah kakek dan neneknya. Beberapa potong tempe goreng, tumis kangkung, dan sedikit nasi. “Wah, pasti enak!” Ia berupaya terlihat gembira, padahal ia ragu ibunya tidak akan tahu.

“Kamu selalu begitu, Naresha. Sudahlah, tidak usah berpura-pura. Ibu tahu, kamu pasti bosan dengan makanan-makanan ini, kan?” Ibunya menarikkan kursi untuk Naresha duduk.

“Besok, Ibu akan coba ke pasar. Siapa tahu, ada menu baru yang enak dan murah.”

“Sungguh, Ibu, tidak perlu.” Naresha tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya adalah senyum yang tulus. “Aku tidak mau merepotkan Ibu.”

“Ah, tidak, kok. Besok kamu ikut Ibu ke pasar, ya? Kita pilih menu yang kamu suka.

Tapi malam ini …,” Ia menjeda bicaranya, “menunya tempe goreng dan tumis kangkung saja, tidak apa-apa, kan, Nak?”

“Mengapa tidak?” Naresha tersenyum, mengambil sebuah piring kaca di depannya.

“Masakan Ibu, kan, selalu enak. Meski … sekadar tempe goreng.”

Ibunya tersenyum, yang berarti ‘terima kasih’.

Naresha menyendok nasi dan kangkung. Ketika sendoknya sudah separo jalan menuju mulutnya, ia teringat sesuatu. Debora, tetangga baru mereka. Haruskah ia memberitahu kejadian tadi siang pada ibunya?

“Oh, iya, Bu …,” Naresha berkata lambat-lambat, “kita punya tetangga baru, orang Belanda.”

“Ah,” Ibunya mengangguk, “pantas saja tadi Ibu dengar suara mobil. Lalu?”

“Ada anak yang sepantaran denganku, namanya Debora. Tapi, sifatnya begitu angkuh.

Hanya ibunya yang bersikap ramah padaku. Aku … aku enggak mau punya tetangga seperti Debora.”

Ibunya tersenyum sabar. “Naresha, Debora penduduk baru di sini. Kalian belum saling mengenal, jadi tidak saling menyayangi.” Ibunya tersenyum. “Ini hanya masalah waktu. Lama- lama Debora pasti akan mencair. Meski dia juga akan bersekolah dengan orang-orang Belanda lainnya, bukan berarti kamu tidak bisa menjadi temannya. Ajaklah ia. Kamu harus mulai duluan.”

Air muka Naresha bertambah keruh. “Tapi, Debora ….”

Tok, tok, tok!

Refleks, Naresha dan ibunya menoleh pada sumber suara. Ketukan. Masa iya malam- malam seperti ini ada tamu? Bahkan, mereka tidak pernah mendapatkan seorang tamu!

“Eh? Tamu?” gumam Naresha, tetapi ibunya mendengar.

(19)

“Coba bukakan. Siapa tahu itu tetangga baru kita,” gurau ibunya, yang sama sekali tidak disambut dengan hangat oleh Naresha. “Oh, Ibu,” katanya. “Jangan bergurau. Tidak mungkin tamu malam kita ini adalah orang bangsawan seperti—” Tangannya tergerak, menarik kayu pada pintu lapuk yang sudah berdiri selama belasan tahun lamanya.

Dan, pintu itu terbuka, menampilkan seorang gadis dengan surai pirang sebahunya yang sudah Naresha kenal betul pemiliknya. Gadis bangsawan nan berharta asal Belanda.

“—D-Debora?”

Panjang umur.

“Goede nacht. Ah, maksudku, selamat malam,” sapanya congkak. Dengan balutan kaus dan cardigan bermerek, juga dengan rok putih yang kelihatan sama mahalnya dengan kedua pakaian itu, gadis itu memperhatikan penampilan Naresha penuh penilaian. Sungguh, baru kali ini Naresha melihat seseorang yang memakai pakaian mahal pada malam hari.

Naresha mengangguk layaknya orang sakit leher. “Y-ya …. Lalu, apa keperluanmmu datang ke sini, Miss? M-maksudku, ini kan sudah ma—”

“Wah, dasar. Kamu pikir kamu itu siapa, sampai-sampai menanyakan keperluanku datang ke rumahmu? Kamu pikir kedudukanmu lebih tinggi dariku, hah?” ujarnya nyolot, yang untungnya tidak dilihat oleh ibu Naresha.

Naresha menggeleng panik. “T-tidak, Miss. Anda salah mengarti—”

“Kamu tidak usah sok lebih paham begitu, dong! Aku tahu bahasa kalian. Mudah dan cepat untuk dipelajari. Atau … aku yang terlalu hebat? Hm, entahlah.” Debora mengibaskan rambutnya, memamerkan rambut pirangnya yang indah. Ia mendengus kemudian. “Kamu paham, sekarang?”

Kamu yang tidak tahu atau paham apa-apa, Debora. “Tentu, bahkan lebih dari sekadar paham.”

Peraturan tersirat pertama yang Naresha dapatkan dari kelakuan menyebalkan Debora:

jangan pernah membantah atau sok memberi tahu. Karena pada akhirnya, dia yang akan memberitahu kita hal benar menurutnya yang kebenarannya begitu jauh dari realita. Oke, Debora sok tahu.

Cewek Belanda itu tersenyum puas. “Bagus,” komentarnya. “Bagaimana pun, aku datang ke sini untuk memberimu ini.” Ia menyodorkan sebuah tas plastik pada Naresha, yang oleh gadis itu diterima dengan sedikit ragu. Ia mengintip isinya, mendapati beberapa oleh- oleh—yang dia yakin betul—dari Belanda.

“Itu dari Belanda,” ujar Debora, merebut atensi Naresha. Gadis itu mendongak, menatap Debora dan berterima kasih padanya. Setidaknya—meski menyebalkan—cewek Belanda itu masih menganggapnya ada.

Gadis itu mengibaskan tangannya, yang terkesan congkak. “Tidak perlu berterima kasih. Aku senang jika kamu senang menerimanya.”

Sepertinya, Debora sudah mulai mencair. Benar apa kata ibunya, ini hanya masalah waktu. “Ah, begitu …? Lalu … hei, di mana kamu akan bersekolah?”

(20)

Debora mengangkat salah satu sudut bibirnya tinggi-tinggi. “Yang itu,” katanya,

“bukan urusanmu. Yah, nanti kamu juga tahu.”

Mulai lagi.

Cewek Belanda itu mengangkat tangannya, melirik jam tangan merah muda yang melingkar sempurna di tangan kirinya. “Wah, kurasa aku sudah mengganggu jam makan malammu, nih,” gumamnya. Ia menatap Naresha, tersenyum. “Yah, sudahlah, aku mau pulang.

Dah, Nona!”

Naresha termangu, hingga ia kembali tersadar karena lamunannya sendiri.

Ia baru menyadari, Cewek Belanda itu akhirnya mengulas senyum tulus yang benar- benar ditujukan padanya.

***

(3) iya

(4) Selamat datang di Nederlandsch Oost-Indie (5) Terima kasih sudah mau mengantar kami.

(6) Bisakah kamu membantu Mama mengangkat koper?

02

Tidak ada hal yang lebih mengejutkan dibanding seorang tetangga asal Belanda yang membangunkan Naresha langsung lewat jendela pada pukul enam pagi hari. Dengan kain buluk yang digunakan sebagai penutup jendela yang terbuka, mudah saja bagi Debora untuk membangunkan Naresha dengan mengguncang-guncangkan tubuhnya lewat jendela. “Hei, kamu, ayo bangun!”

Sama sekali tidak kepikiran Debora, Naresha beranjak duduk dan mengucek-ucek matanya. Semburat kuning tampak menyelundupkan kepala ke dalam jendela, dan ketika matanya berhasil beradaptasi, Debora sudah memasang tampang menyebalkannya.

“Loh, kamu—”

“Apa yang kamu tunggu, Naresha? Ayo, kita berangkat!” Debora berseru, lantas menunjukkan waktu dengan jam tangan yang melingkar sempurna di tangan kirinya. Pukul enam pagi. Memangnya, mereka punya acara apa sepagi ini?

Naresha mengernyit, pertanda tidak mengerti. “Berangkat … ke mana?”

Naresha bersumpah melihat Debora memutar mata. “Tentu saja ke sekolah, Nona!

Kamu pikir hari ini saatnya kita berlibur? Kalian bahkan tidak memiliki gedung bioskop untuk menonton film!” Debora berkata dengan nada tinggi, yang biasanya hanya Naresha dengar dari Dewina.

Tetangga baru, kebisingan baru?

(21)

“Sungguh, Miss, aku tidak mengerti —ke sekolah apa? Apa maksudmu mengajakku berangkat ke sekolah sepagi ini?” Naresha mencoba bertanya dengan jelas, tetapi gadis Belanda itu malah menunjukkan raut keterkejutan. Gadis itu ingin meledak, namun ekspresinya terganti begitu kain yang dijadikan pintu oleh Naresha dibuka oleh ibunya. Otomatis, wajah wanita paruh baya itu menampakkan keterkejutan.

“Miss Debora?”

Ya Tuhan. “Oh, selamat pagi, Nyonya …?”

“Niesha,” sambar Naresha, membantu Debora melanjutkan kalimatnya. Sekali lirik saja dia tahu, Debora merasa tidak enak.

“Ah, Nyonya Niesha. Ya, ya. Maafkan aku, Nyonya, sudah lancang seperti ini.” Cewek itu memasang cengiran, namun ibu Naresha mengibaskan tangan.

“Santai saja, Miss. Ada keperluan apa Anda ke mari? Oh, iya, silakan masuk!”

Masuk? “Ah, tidak perlu, Nyonya. Saya suka udara pagi yang segar. Dan juga … saya ingin mengajak anak Anda untuk pergi ke sekolah bersama. Apa Anda merasa keberatan, Nyonya?” Diperlihatkannya ekspresi penuh harap pada ibu Naresha, yang membuatnya jadi merasa mual sendiri.

Ibu Naresha mengiyakan dengan senang hati. “Tentu. Mengapa tidak, Miss Debora?”

“Yeah … tentu saja. Naresha, kutunggu kamu di depan rumahku, oke? Sampai nanti, Nyonya Niesha! Dah, Naresha!”

Meninggalkan perkarangan rumah Naresha, gadis Belanda itu menyisakan ruangan yang sepi. Ibu Naresha membenarkan sikap Debora, dan Naresha hanya diam mendengarnya.

Tiap orang, jika bertemu dengan orang tua orang lain, bukannya memang akan melakukan pencitraan penuh seperti itu?

Aktris. Debora adalah seorang aktris.

***

“Jadi, kamu selalu melewati sungai tiap kali berangkat ke sekolah?”

Naresha menoleh dan mendapati Debora sedang meringis. Memang, sih, melewati sungai itu bukan hal yang mudah. Tetapi ini adalah jalan tikus terbaik dan teraman yang Naresha tahu. Setelah sungai ini akan ada hutan, dan setelah itu ada jalan besar. Di seberang jalan besar itulah sekolah Naresha berdiri, tak tergoncang meski sudah berdiri selama lima tahun lebih lamanya.

Ragu, Naresha mengangguk. “Memangnya di Belanda kamu pergi ke sekolah naik apa?”

Debora mengangkat satu sudut bibirnya, dan satu alisnya terangkat. “Yang jelas, tidak jalan kaki,” sarkasnya, membuat Naresha jadi semakin merasa tidak enak. “Oh, iya, lupa.

Kurasa aku belum mengenalkan diri. Aku Debora. Debora Elske.”

“Naresha,” Gadis dengan surai kecokelatan itu membalas, “Naresha Nirmala. Panggil saja aku Naresha, Miss Debora.”

(22)

“Panggil aku Elske.” Gadis asal Belanda itu tersenyum, namun pandangannya tetap tertuju pada sepatunya. Benar, berhati-hati dalam melangkah.

Naresha ikut tersenyum, tapi .… “Elske? Kudengar, ibumu memanggilmu Debora.”

Debora —maksudnya, Elske— mendengus. “Kamu pasti mendengarnya saat keluargaku baru saja tiba di rumah kemarin, kan? Turuti saja kemauanku, apa susahnya, sih?”

Lagi, Naresha hanya bisa tersenyum sabar. “Aku hanya takut melupakan nama barumu, Debor —eh, maskudku, Elske.”

Hening menyambutnya.

“Em, jadi … mengapa keluargamu pindah ke Indonesia?” Naresha membuka pembicaraan. Hanya ini satu-satunya yang terbesit di dalam benaknya dan seharusnya Elske tahu itu.

Dengusan tanda terpaksa yang Naresha dengar dari Elske setelahnya. Selanjutnya, gadis itu menjawab, “Akan seperti pelajaran Sejarah jadinya jika aku menjelaskan, Naresha.

Ayahku yang merupakan direktur sebuah perusahaan adalah biangnya, tetapi aku merasa tidak berhak untuk menyalahkannya.”

“Oh?”

Elske mengangguk. “Ceritaku cukup rumit dan berliku, Naresh. Aku tidak yakin kamu mau mendengarnya sampai hab— Ah, tidak. Belum habis. Hidup ini masih panjang.”

Naresha diam. Matanya terfokus pada langkahnya yang tak henti menapaki satu batu ke batu yang lain. Hingga sampai di sekolah, tidak ada percakapan yang berlangsung antara dia dan Elske.

***

(23)

03

Sudah hari ketiga Elske berada di Indonesia. Anak itu tidak bersekolah di sekolah Belanda dan bersekolah dengan Naresha. Namun, dua hari ini anak itu tidak banyak bicara. Ia tidak dekat dengan siapa pun di sekolah, lantaran anak lain sudah tidak suka duluan padanya. Naresha selalu ingin mengajaknya bicara, namun suara hatinya selalu membuatnya merasa tidak yakin.

“Bagaimana sekolahmu hari ini?”

Membosankan, Naresha ingin menjawab. “Hari keduaku bersekolah dengan Debora?

Dia sudah mulai mencair, tetapi …,” kami sama sekali enggak dekat, “ya, kira-kira seperti itu.”

“Begitu?” Masih fokus dengan sulamannya, ibunya menanggapi. “Oh, iya, boleh tolong antarkan kangkung yang Ibu petik siang tadi pada keluarga Debora?”

Kangkung? “Mereka pasti sudah punya persediaan kangkung. Mereka, kan, kaya.”

“Begitukah?” Ibunya berpaling. “Begitukah caranya menanggapi permintaan ibumu, Naresha?”

Ampuni aku, Tuhan. “Oke, Ibu, aku berangkat sekarang.”

Ibunya tersenyum. “Ya. hati-hati.”

Mendengus pelan, Naresha mengambil beberapa kangkung dan memasukkannya ke dalam tas tenteng. Setelah dikira cukup, ia langsung menuju ruang tamu dan membuka pintu ketika mendapati Elske, yang hendak mengetuk benda itu.

Naresha mengerjapkan matanya beberapa kali. “Elske?” Ia bertanya, sementara tangannya menutup pintu rumahnya yang sudah lapuk. “Apa yang membawamu ke mari? Aku baru saja ingin pergi ke rumahmu.”

“Naresha, ini … ini gawat.” Terlihat raut cemas di wajah Elske, yang membuat Naresha ikut merasa cemas dengan keadaan gadis itu. Tapi, tetap saja ia tidak tahu hal semencemaskan apa yang tengah menghantui pikiran Elske.

Mencoba menenangkan, Naresha bertanya pada cewek Belanda itu setelahnya. “Ada apa? Apa yang terjadi? Kamu … kamu kenapa cemas begini?”

“Vader— maksudku, Ayah! Ayah dibawa ke rumah sakit, Naresha! Apa yang harus kulakukan?”

Mata Naresha membelalak. “Ayahmu masuk rumah sakit?! Di mana?!”

“Rumah sakit … terdekat kantornya. Oh, Naresha, aku enggak tahu nama rumah sakitnya!” Hidung Elske mulai memerah. Matanya berair dan dia mulai menangis. Tangannya

(24)

tergerak, menggamit tangan Naresha dengan permintaan tolong penuh harap. “Naresha, kumohon, tolong aku! Tolong Vader. Tolong ayahku!”

Mulut Naresha terkatup rapat. Sudut matanya tertekan kuat dan tangannya tergerak untuk menepuk bahu temannya itu. “Kita pergi sekarang.”

Elske menyeka air matanya. “Pergi … ke mana?”

Naresha menahan diri untuk tidak memutar mata. Ia hanya menepuk dahi dan menyarkas Elske, “Rumah sakit, Elske, tentu saja! Katakan, di mana kantor ayahmu?”

“Kantor Vader … di, di dekat studio rekaman kota.” Elske menjawab ragu, namun segala tempat umum terdekat sudah mengaung di benak Naresha.

Naresha menaruh tas tentengnya. Ia mengangguk mengerti dan mengayunkan tangannya, mengode Elske untuk pergi.

“Ayo, kita pergi. Sekarang.”

***

Suara tangis Elske tak kunjung menghilang dari pendengaran Naresha setelah satu jam, kurang lebih. Tangis Elske tak kunjung mereda, malah jadi semakin keras. Para perawat rumah sakit yang berjalan lalu-lalang menjadi tontonan paling menarik bagi Naresha, sementara tangannya tak henti mengelus punggung Elske. Bosan. Tetapi jika kehadirannya itu bisa berguna, ya, mengapa ia tidak?

Naresha menatap sosok Elske simpatik. Ia tahu, bagaimana rasanya sedih, hancur, dan berharap untuk suatu hal yang tak bisa dijanjikan. Ayahnya, yang dia panggil ‘Bapak’, adalah sosok yang begitu berjasa setelah ibunya. Kondisinya sekarang sama persis dengan pimpinan keluarga Elske, dan mustahil rasanya tidak bisa ikut merasakan apa yang dirasa oleh gadis Belanda itu.

Komat-kamit doa terucap dari mulut Elske, menggunakan bahasa Belanda yang sangat dipertanyakan artinya oleh Naresha. Tapi, yah, gadis itu sedang tidak tenang sekarang, dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan Naresha untuknya adalah menenangkan.

Surai pirang Elske berayun begitu pemiliknya terkejut akan elusan halus dari tangan Naresha. Ia menatap Naresha tidak percaya, hingga ia tertunduk menyesal yang oleh Naresha sama sekali tidak dimengerti apa penyebabnya hingga satu kata yang begitu berarti terucap dari mulut gadis itu.

Maaf.

Naresha membatin, bahwa temannya itu tidak perlu mengatakan berjuta alasan untuk menjelaskan maksud dari permintaan maafnya. Gadis itu tidak perlu menjelaskan, sebab ia punya dunia untuk mengantarkan semua alasannya pada Naresha. Tapi, gadis itu hanya diam, menunggu gadis bersurai pirang itu untuk kembali berkata.

“Aku benar-benar tidak mengerti, Naresha ….” Elske menolehkan kepalanya perlahan, menatap Naresha dengan mata sayu yang belum pernah ditampilkan olehnya. “Aku benar- benar tidak mengerti, jalan pikirmu, kata hatimu. Kamu benar-benar orang tersabar yang

(25)

pernah kutemui.” Ia menghela napas. “Tuhan telah mengizinkanku untuk berujar maaf, tetapi aku tidak tahu apakah Tuhan mengizinkamu untuk memaafkanku.”

Naresha mengulum bibirnya hingga bibir bawahnya basah. Digigitnya bibir itu, ragu untuk mengatakan hal yang sudah meraung dalam benak dan tertahan dalam pita suara. Ia mau saja memaafkan Elske, tapi Belanda ….

“Kalau kamu enggak mau juga enggak masalah, kok. It’s alright.” Elske tersenyum, namun matanya menunjukkan sebaliknya.

Lagi, hening menyambutnya.

Rasa kantuk menerpa Elske dan bosan menyelimuti Naresha. Keduanya duduk dalam diam, hingga Elske memecah keheningan dengan suaranya. “Naresha, temani aku jalan-jalan, yuk! Aku ngantuk.”

Naresha tidak bersuara untuk memberikan jawaban. Yang ia lakukan hanya tersenyum, mengangguk, dan mengikuti Elske beranjak dari duduk.

***

Rupanya, Elske mengajak Naresha berkeliling kota. Ia memaksa Naresha untuk mau menerima tawarannya —“Ayo, kita naik delman! Kenapa, sih, kamu susah banget dibujuknya?”—, tetapi tetap saja Naresha menang telak. Keduanya berjalan kaki, memandangi kesibukan orang-orang kota yang tiada habis-habisnya. Sesekali Naresha meringis tidak tega ketika melihat beberapa orang Belanda membentak warga negaranya tanpa ampun, sementara Elske terus berpura-pura tidak tahu.

“Sebetulnya,” Suara Elske mengambil atensi Naresha, “ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Naresha diam sejenak. “Apa itu?”

Gantian Elske yang diam. Benar-benar diam. Langkahnya berhenti, bahkan matanya tak berkedip. Naresha menoleh, mendapati Elske yang tertinggal di belakangnya. Gadis itu tertunduk, membuat Naresha bergidik ngeri. “Elske?”

Diangkatnya kepala, gadis Belanda itu tersenyum. Setetes dua tetes air mata membasahi pipinya, menghiasi senyum yang diulasnya. Naresha baru saja ingin bertanya ketika gadis itu berkata, “Kita cari tempat yang pas dulu, oke? Nanti akan kuceritakan semuanya.”

Tidak ada penolakan, Naresha justru mengiyakan dan menarik tangan Elske.

Dibiarkannya gadis bersurai pirang itu memandu jalan, hingga kerutan bingung di dahi Naresha mulai tampak begitu mereka tiba di pinggir sungai seberang hutan—jalan tikus untuk pergi ke sekolah Naresha. Naresha menoleh, mendapati Elske sedang meringis. Lagi-lagi.

“Sebetulnya ….”

“Vader-ku yang sekarang bukanlah ayah pertamaku, Naresha,” potong Elske cepat.

Mendengar ucapannya, Naresha langsung mengerjapkan matanya dan berkata, “Sori?”

Elske mengangguk. “Ayah kandungku meninggalkanku satu tahun lalu. Dia mati … karena kepalanya terbentur dengan bebatuan besar di sungai saat sedang berusaha

(26)

mengambilkan sepatu kesayanganku. Sungainya … seperti ini. Makanya, aku selalu …,” Elske meringis, “nah, itu, meringis, jika melihat sungai seperti ini. Untungnya, tidak dikategorikan sebagai fobia.”

Naresha yakin, Elske tidak seharusnya repot-repot mengajaknya ke tepian sungai itu.

Ia diam, menunggu kelanjutan cerita Elske.

“Setelah kematian ayah, Ibu menikah dengan adik ayah Henrick. Em, Henrick itu …,”

Melihat raut wajah bingung yang dilempar Naresha, gadis itu buru-buru menjawab tanpa ditanya, “laki-laki yang kemarin mengantarku ke sini. Kamu pasti lihat kemarin, saat sedang menyapu.” Ia mendengus.

Tidak ada alasan bagi Naresha tidak mengingat sosok Henrick. Laki-laki itu sangat dikaguminya, hingga tak terlepas dari ingatannya.

“Apa lagi cerita hidupmu yang masih belum kuketahui?”

Elske diam sejenak, mengumpulkan kekuatan. “Awalnya,” Air mata Elske kembali tumpah, “aku tidak setuju dengan pernikahan kali kedua Althea, ibuku. Tapi, aku tidak bisa memenangkan rasa egoisku. Althea adalah satu-satunya orang terkasih yang kupunya, jadi aku membiarkannya menikah dengan Hans, ayahku yang sekarang.

“Kuakui, Hans memperlakukanku sebagai anak tirinya dengan cukup baik. Dia sudah seperti ayahku sendiri, tetapi aku tidak menyukainya.”

“Mengapa tidak?” potong Naresha penasaran.

“Naresha, dia yang memberiku nama Debora!” Kini, air mata Elske mengalir begitu deras. Tidak hentinya ia terisak, membuat Naresha tak sampai hati dan memeluknya erat. Ia berkata Elske tidak perlu melanjutkan ceritanya, namun gadis itu menggeleng kuat-kuat. Ia melepas pelukan Naresha, lalu berkata, “Aku tidak apa-apa. Kurasa, kamu harus tahu.”

Naresha hanya diam, menunggu gadis Belanda itu melanjutkan kisah hidupnya yang sangat … kompleks.

“Sebelum Hans memberiku nama Debora, namaku adalah Althea Elske. Ia memberiku nama Debora untuk mengenang Verbrugge Debora, mendiang ibunya. Tidakkah kamu pikir kedua orangtuaku itu terlalu egois, Resh? Althea dengan cepatnya melupakan ayah kandungku, menikah dengan Hans yang mengganti namaku menjadi Debora Elske.”

“Tunggu, tunggu, tunggu,” potong Naresha. “Mengapa … mengapa kamu tidak menyukai Debora, nenek tirimu? Pasti bukan hanya karena ayahmu, kan?”

“Asal kamu tahu …,” Elske meringis, seolah-olah air sungai di depannya itu adalah darah, “Debora bukanlah orang yang baik, Naresha. Di antara sekian banyaknya cucu, aku heran, mengapa harus aku yang dibenci olehnya? Apakah karena aku berasal dari keluarga yang tidak sekaya keluarga Vader Hans? Entahlah.” Elske mengedikkan bahu. “Sepupu- sepupuku, yang berasal dari keluarga ayah baruku, adalah putra dan putri dari keluarga berharta. Sedangkan aku, aku berasal dari keluarga sederhana, sampai Vader Hans melamar ibuku dan aku menjadi salah satu dari sekian banyaknya cucu nenekku, Debora.

(27)

“Di Belanda, aku disekolahkan di satu sekolah yang sama dengan salah satu sepupuku.

Laki-laki, namanya Ethan. Satu tahun lebih tua dariku tetapi gayanya sudah seperti raja sejagad. Dia tidak pernah suka padaku, sampai-sampai dia menyebarkan fitnah, pada teman sekolahnya, keluarga, sekaligus Debora.” Elske memutar matanya, saat ia mengucapkan kata

‘fitnah’ dengan penuh penekanan. Naresha yakin betul sekarang, Ethan bukanlah orang yang menyenangkan.

Naresha diam sejenak. “Lalu bagaimana?”

“Tidak ada yang suka padaku setelahnya. Sepupu-sepupuku, teman-temanku, semuanya berprasangka buruk padaku. Fitnah itu kejam, tahu?” Elske diam, menatap Naresha.

“Karena itulah … aku mengadukan semuanya, walaupun tidak separah kenyataan yang terjadi, yeah. Lihat, kan? Aku belum melampiaskan semuanya, hingga keluargaku pindah ke sini, ke Indonesia, dan aku melihatmu. Aku menjadikanmu tempat pelampiasan segala egoku.” Ia menghela napas. “Sekali lagi, aku minta maaf.”

Naresha menggigiti bibir. Mulutnya sudah terbuka untuk menyampaikan sesuatu ketika beberapa anak laki-laki datang dan mengusirnya dan Elske. Elske sudah ingin melabrak ketika Naresha mengajaknya untuk pergi. Tidak perlu ditanggapi, yang ada mereka malah melawan, begitu kata Naresha.

Elske sih menurut saja. Dia mengajak Naresha masuk ke dalam sebuah toko. Sekadar menghilangkan rasa haus. Daripada nanti dehidrasi?

Memesan teh manis—ini juga karena Elske memaksa—, Naresha menatap Elske kemudian. Gadis itu, ia rasa, memiliki alur hidup yang sangat berliku. Emosinya seakan bisa berubah kapan saja, tergantung dengan apakah ia sudah berada di tikungan jalan atau belum.

“Kamu tidak ingin memaafkanku, aku tidak masalah, kok, Naresha.” Suara Elske membuat Naresha menoleh padanya, mendapati wajahnya yang seolah-olah berkata aku- memang-pantas-tidak-mendapatkan-maaf-darimu. Hati Naresha menjerit, bilang ia sebetulnya mau memaafkannya. Tetapi, tidakkah kau merasa gelisah memaafkan seseorang yang berasal dari negara yang telah menjajah negaramu secara perlahan?

“Elske, aku ….”

Suara pintu terbuka mengambil atensi mereka. Seorang gadis yang sebaya, dengan surai hitam yang sedikit ikal dihias oleh pita, menampakkan emosi terkejut dan langsung menunjuk Naresha. Mulutnya berteriak, “Kamu!”

Naresha berdiri, hendak kabur. Ia sendiri merasa bingung. Mengapa ia mendadak takut terhadap Dewina? Apakah karena gadis itu telah memperingatkannya untuk tidak dekat-dekat dengan Elske, tetapi dia melanggarnya? Ya Tuhan. Itu semua Elske yang memulai!

“Dewina,” gumam Elske, tetapi Naresha mendengarnya. Ia menatap Elske, yang langsung menutup mulut seolah-olah baru mengatakan hal yang seharusnya tidak ia katakan.

“Elske, kamu …?”

“Dasar tidak tahu diri!” Dari radius lima meter, Dewina berlari. Tangannya dikepal, seakan ingin memukul Naresha habis-habisan. Yang dituju merasa ketakutan. Namun Naresha

Referensi

Dokumen terkait

Nomor antrian dapat dipanggil dengan klik tombol “Panggil Nomor Antrian”, selanjutnya sistem akan merespon dengan membuka koneksi ke database “sistem antrian” dan

Saat kegelapan yang menjadi teman sejati, aku hanya bisa meratapi apa yang nanti akan terjadi.. aku tak lagi dapat melihat keindahan dunia, hanya keterpurukan

Dengan demikian sangat dibutuhkan cara atau media yang harus diinformasikan kepada para siswa tentang teknik pembuatan presentasi yang interaktif dan lebih menarik salah satunya

Konflik penguasaan dan pemilikan tanah kadie di Kelurahan Melai Kecamatan Murhum Kota Baubau sampai saat ini masih sering terjadi, hal itu ditandai dengan makin

E-learning adalah sebuah inovasi dalam pendidikan yang mempunyaikontribusi sangat besar terhadap perubahan proses pembelajaran, dimana proses pembelajaran tidak hanya

melakukan pembelian kepada supplier yang menggunakan mata uang asing, kemudian membayarnya dengan mata uang asing di tanggal yang berbeda dengan tanggal pemesanan, maka

Ia mengatakan, mendapatkan izin pemeriksaan Wali Kota terkait dugaan kasus gratifikasi senilai Rp3 miliar merupakan hal yang tidak mudah, apa lagi saat ini Presiden Susilo

Kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini yaitu perawatan sistem kelistrikan gedung RSG- GAS menggunakan metoda Non Destructive Testing (NDT) dapat dimanfaatkan untuk