• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Baing pada Majelis Jemaat Gereja "X" Lampung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Baing pada Majelis Jemaat Gereja "X" Lampung."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai derajat Psychological Well-Being pada majelis jemaat Gereja ‘X’ di Lampung. Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka rancangan yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan karakteristik populasi keseluruhan yang berjumlah 40 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) dari Carol Ryff (1989) yang sudah dimodifikasi peneliti agar sesuai dengan kebutuhan penelitian. Alat ukur ini terdiri atas 84 item. Setelah dilakukan uji validitas dengan SPSS Statistics 20.0, maka diperoleh 74 item yang valid dengan validitas item berkisar antara 0.317-0.780. Dan reliabilitas alat ukur tersebut adalah 0.951.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa 57.5% responden memiliki derajat Psychological Well-Being yang rendah sementara 42.5% nya tinggi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar majelis jemaat Gereja ‘X’ di Lampung memiliki derajat Psychological Well-Being yang rendah dan derajat Psychological Well-Being cenderung memiliki keterkaitan dengan faktor agreeableness trait dan neuroticism trait.

(2)

vi

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This research was conducted to determine the degree of Psychological Well-Being on Assembly of the church ‘X’ in Lampung. In accordance with the objectives of this research, researcher used descriptive method as the design with survey techniques. Selection of the samples in this research using accidental sampling which consists of the 40 people.

The measuring tool used is an adaptation of the Psychological Welfare Scale (SPWB) from Carol Ryff (1989) that has been modified by researchers in accordance with the needs of research. This measuring tool is made up of 84 items. After validity test with SPSS Statistics 20.0, 74 valid items with item validity ranged from 0,317-0,780. And the reliability of the measuring instrument is 0.951.

Based on the results of data processing, it was found that 57.5% of respondents have a low level of Psychological Well-Being while 42.5% is high. The conclusion of this study is that most of the 'X' church assemblies in Lampung have low Psychological Well-Being level and Psychological Well-Being level tend to be related to the factors of agreeableness trait and trait neuroticism.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9

1.5 Kerangka Pikir ... 9

(4)

viii

Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psychological Well-Being ... 18

2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being ... 18

2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being ... 18

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychologicacl Well-Being ... 23

2.2 Majelis Jemaat ... 29

2.3.4 Perkembangan Sosio-emosional ... 34

2.4 Teori Perkembangan Dewasa Madya ... 35

(5)

ix

3.3.1 Variabel Penelitian ... 41

3.3.2 Definisi Operasional ... 41

3.4 Alat Ukur ... 42

3.4.1 Alat Ukur Psychological Well-Being ... 42

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 45

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 45

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 45

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 46

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 46

3.5.1 Populasi Sasaran ... 46

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 47

3.6 Teknik Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 48

4.1.1 Jenis Kelamin ... 48

4.1.2 Usia ... 49

4.1.3 Pendidikan Terakhir ... 49

4.1.4 Gambaran Pekerjaan ... 50

4.1.5 Gambaran Status Pernikahan Responden ... 51

4.1.6 Gambaran Taraf Status Sosio Ekonomi Responden ... 51

4.2 Hasil Penelitian ... 52

4.2.1 Gambaran Psychological Well-Being Subyek dan Dimensinya ... 52

(6)

x

Universitas Kristen Maranatha BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran ... 64

5.2.1 Saran Teoritis ... 64

5.2.2 Saran Praktis ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Sistem Penilaian ... 43

Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Psychological Well Being ... 44

Tabel 4.1 Gambaran Jenis Kelamin Responden ... 48

Tabel 4.2 Gambaran Usia Responden ... 49

Tabel 4.3 Gambaran Pendidikan Terakhir Responden ... 49

Tabel 4.4 Gambaran Pekerjaan ... 50

Tabel 4.5 Gambaran Status Pernikahan Responden ... 51

Tabel 4.6 Gambaran Taraf Status Sosio Ekonomi Responden ... 51

(8)

xv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

(10)

1 Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama Islam, 7% memeluk agama Kristen Protestan, 3% memeluk agama Kristen Katolik, 2% memeluk agama Hindu, 0,7% memeluk agama Budha, dan yang memeluk agama Kong Hu Cu 0,05% (http://ilmupengetahuanumum.com/agama-agama-di-indonesia/2015).

Kristen Protestan, sebagai agama yang memiliki presentase kedua di Indonesia, memiliki gereja yang beraliran Protestanisme menurut denominasinya. Dalam Kekristenan terdapat tiga macam aliran yaitu Katholik, Ortodok dan Protestanisme. Dalam Protestanisme terdiri dari berbagai macam denominasi dan pemikir dengan berbagai macam penafsiran kitab suci termasuk Lutheranisme, Anglikanisme, Calvinisme, Pentakostalisme, Methodis, Gereja

Baptis Karismatik, Presbyterian, Anabaptis, Reformed dsb.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Kekristenan).

Gereja “X” merupakan salah satu gereja Reformasi di Lampung yang sudah berdiri

(11)

2

jemaat di gereja ini tercatat sebanyak 1287 (sampai bulan Desember 2015), sedangkan rata-rata orang yang beribadah setiap minggunya sekitar 800 orang (berdasarkan data yang didapat dari Tata Usaha Gereja “X”).

Gereja “X” dibantu oleh majelis jemaat dalam mengkoordinir kegiatan-kegiatan gereja. Majelis jemaat adalah pimpinan dalam lingkungan jemaat yang bertugas menjalankan fungsi kepemimpinan dalam jemaat setempat. Majelis jemaat dibentuk dari tim formatur akan memilih anggota jemaat setempat yang memenuhi syarat sebagai calon majelis jemaat. Pemilihan tersebut dilaksanakan selama beberapa pekan dan diumukan kepada anggota jemaat setempat untuk memperkenalkan calon majelis jemaat. Calon majelis jemaat dipilih langsung oleh anggota jemaat setempat pada ibadah umum. Masa pelayanan majelis jemaat yaitu tiga tahun dalam satu periode dan dapat menjabat selama maksimal dua periode berturut-turut. Hal ini berdasarkan buku Tata Gereja “X” tahun 2011 (Tata pasal 25 butir 1 dan 3). Sebagai majelis jemaat mereka melakukan pelayanan gerejawi secara sukarela. Jumlah keseluruhan majelis jemaat di Gereja “X” 42 orang. (Tata Gereja “X” Tahun 2011).

Majelis jemaat merupakan suatu peran yang sifatnya sukarela. Majelis jemaat dipimpin oleh ketua majelis. Dalam struktur organisasi, majelis jemaat dibagi ke dalam Jabatan yang terdiri dari Bidang Ibadah (Ibadah dan Musik Paduan Suara), Bidang Pembinaan (Pembinaan dan Pengembangan Pelayanan), Bidang Humas (Humas dan Kebersamaan Komisi), Bidang Pelayanan (Diakonia dan Pos ibadah dan Misi), Bidang Perlengkapan. Mereka bertanggung jawab terhadap kelancaran pelaksanaan kegiatan dalam bidang masing-masing dan membuat anggaran program per tahun untuk kemudian diserahkan pada saat rapat majelis jemaat. (Tata Gereja “X” Tahun 2011).

Majelis jemaat memiliki beberapa tugas dan wewenang yang tercantum dalam Tata Gereja “X”, yaitu : sebagai koordinator terhadap bidang dan komisi yang dibawahi,

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha memelihara dalam kehidupan sehari-hari isi pada ajaran Alkitab, wajib mengikuti rapat majelis serta acara-acara gerejawi terutama tugas yang dibawahinya, wajib menyimpan rahasia jabatan dan bersatu padu dalam menjalankan keputusan yang diambil, memberi persetujuan atas permohonan attestasi jemaat, bertanggung jawab pemeliharaan dan pengelolahan harta milik dan keuangan Gereja (harta milik terdiri dari uang, surat berharga, barang bergerak dan tidak bergerak serta kekayaan intelektual) , memberlakukan dan melaksanakan peraturan-peraturan Gereja.

Untuk menjadi seorang majelis jemaat perlu memiliki sejumlah persyaratan atau kriteria tertentu. Persyaratan seorang majelis jemaat adalah berusia antara 30-65 tahun dan telah menjadi anggota jemaat Gereja “X penuh minimal tiga tahun, pandai mengajar dan membimbing, lembut hati, tidak berbantahan, tidak tamak harta, punya pengalaman pelayanan dalam kepengurusan dan aktif dalam peribadatan dalam lingkup Gereja “X” (dalam Tata Gereja “X” bagian Jabatan Gerejawi pasal 28). Dalam pemilihannya majelis jemaat diatur

dalam tim formatur yang terdiri dari gembala sidang, hamba Tuhan dan mantan majelis jemaat setempat menseleksi calon-calon majelis jemaat sesuai dengan kriteria yang ada sebelum dipilih oleh jemaat setempat. Sebagian besar majelis jemaat juga memiliki peran dan pekerjaan lain diluar tanggung jawab mereka sebagai majelis jemaat.

(13)

4

bersedia menjalin relasi dari setiap anggota jemaat tanpa membedakan status ekonomi. Majelis jemaat di harapkan dapat bertanggung jawab dengan tugas yang di percayakan dalam suatu periode.

Harapan jemaat dapat mempengaruhi kondisi majelis jemaat dalam mengevaluasi pengalaman hidupnya. Tantangan hidup para majelis jemaat adalah bagaimana majelis jemaat memperhatikan kebutuhan dirinya di balik setiap tuntutan yang didapat dari peran sebagai majelis jemaat dalam lingkungan Gereja untuk melakukan tanggung jawab yang ada sehingga mereka tetap memiliki kesejahteraan secara psikologis. Setiap pengalaman hidup, baik itu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan akan dihayati dengan berbeda. Setiap majelis jemaat akan mengevaluasi pengalaman dalam hidupnya berbeda-beda.

Berdasarkan hasil wawancara kepada satu orang mantan majelis jemaat, terdapat kasus pengunduran diri sebanyak satu atau dua dari majelis jemaat selama tiga periode terakhir. Hal-hal tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal ada yang dikarenakan terdapat kesalahpahaman antar sesama rekan majelis jemaat maupun dengan hamba Tuhan, ada pula yang pindah gereja lain karena mengikuti keluarnya hamba Tuhan dari Gereja “X” yang dekat

dengan majelis jemaat tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara kepada tiga orang majelis mengatakan bahwa merasa tidak memiliki kekuatan dalam berpendapat karena merasa memiliki status ekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih rendah dibanding dengan rekan majelis jemaat lain. Hal tersebut menyebabkan majelis jemaat merasa enggan untuk berpendapat atau mengajukan saran karena merasa pendapatnya tidak akan didengar.

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha jemaat. Evaluasi majelis jemaat di Gereja “X” Lampung mengenai pengalaman hidupnya

yang sulit dan tidak menyenangkan menggambarkan bagaimana psychological well-being-nya.

Psychological well-being, yaitu evaluasi atau penilaian atas pengalaman dan kualitas hidupnya yang di lihat dari 6 dimensi yaitu self-acceptance, positive relations with other, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Dimensi self-acceptance adalah situasi dimana majelis jemaat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya baik masa lalu maupun masa kini. Dimensi kedua adalah positive relation with others menjelaskan bahwa majelis jemaat menghayati bahwa dirinya mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang hangat dan saling percaya baik dengan orang lain.

Dimensi ketiga autonomy adalah bagaimana majelis jemaat dapat memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi ketika mengambil berbagai keputusan penting dalam hidupnya tanpa mencari penerimaan dari orang lain. Dimensi keempat environmental mastery menjelaskan majelis jemaat menghayati bahwa dirinya mampu menguasai lingkungan dan memilih atau menciptakan lingkungan sesuai kondisi fisiknya.

Dimensi kelima purpose in life menjelaskan keyakinan (belief) majelis jemaat akan penghayatannya terhadap tujuan dan makna dalam hidup. Dimensi keenam personal growth menjelaskan bagaimana majelis jemaat mengahayati dirinya untuk mengupayakan perkembangan keterampilan, potensi dan wawansan yang dimilikinya untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang majelis jemaat. Perbedaan majelis jemaat dalam mengevaluasi pengalaman hidupnya akan nampak dalam kebahagiaan majelis jemaat dalam menjalani perannya.

(15)

6

jemaat (37,5%) mengatakan bahwa mereka pesimis dengan kemampuannya untuk dapat berbicara di depan umum ataupun memimpin suatu kelompok panitia atau group komsel dan merasa tidak dapat melakukan tugas dengan baik karena tidak sesuai dengan passion dan merasa masih ada hal-hal yang harus diubah dalam hidupnya sedangkan lima orang majelis jemaat (62,5%) mengatakan menerima dirinya dan tidak ada yang tidak disukai dalam diri sehingga tahu dimana letak kelebihan dan kekurangan dirinya dan berharap dalam melakukan tugas sebagai majelis jemaat sesuai yang di harapkan (self-acceptance).

Sebanyak tujuh orang majelis jemaat (87,5%) merasa memiliki orang-orang terdekat yaitu keluarga ataupun teman dalam lingkup gereja yang memberi dukungan kepada majelis jemaat berupa mendengar permasalahan mereka, memberi semangat ketika jenuh dalam bekerja. Sebanyak satu orang majelis jemaat (12,5%) jarang menceritakan permasalahannya kepada orang lain atau keluarganya sendiri sehingga mereka lebih sering menyelesaikan masalah sendiri. Sebanyak lima orang (62,5%) majelis jemaat mengaku memiliki masalah dengan rekan kerja sesama majelis karena perbedaan pendapat ataupun kesulitan menjalin komunikasi karena perbedaan usia yang cukup jauh. Sedangkan sebanyak tiga orang (37,5%) mengaku tidak memiliki masalah baik besar ataupun kecil dengan rekan kerja sesama majelis. Sebanyak empat orang majelis jemaat (50%) merasa lebih dekat dengan jemaat daripada dengan Hamba Tuhan karena merasa jemaat lebih perlu diperhatikan supaya tidak ada jarak antara majelis jemaat dengan jemaat yang ada. Sebanyak empat orang majelis jemaat (50%) merasa lebih dekat dengan Hamba Tuhan untuk berdiskusi mengenai masalah sehari-hari dan merasa tidak terlalu dekat dengan jemaat (positive relation with others).

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha lingkup gereja. Mereka sulit mengambil keputusan karena dipengaruhi oleh berbagai saran yang ada (autonomy).

Sebanyak dua orang majelis jemaat (25%) mampu mengatasi kejadian yang ada digereja seperti acara penting digereja ataupun mengunjungi jemaat yang sedang sakit atau berduka. Sedangkan sebanyak enam orang majelis jemaat (75%) kesulitan dalam mengatasi masalah yang terjadi didalam jemaat ataupun sesama majelis dan juga pembagian waktu terhadap tuntutan peran sebagai majelis jemaat, pekerjaan dan anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari dan seringkali harus mengorbankan salah satu tugas (environmental master).

Sebanyak delapan orang majelis jemaat (100%) memiliki tujuan dalam hidup, namun tiga orang (37,5%) dari jumlah tersebut memiliki tujuan hidup untuk melayani Tuhan, melayani jemaat gereja, memperbaiki kekurangan yang ada dalam diri dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah dan doa setiap hari, sedangkan lima orang majelis jemaat (62,5%) memiliki tujuan hidup untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya diluar tugas sebagai majelis dan membuat target-target yang akan dicapai baik dalam waktu dekat ataupun jangka panjang (purpose in life).

Sebanyak enam orang (75%) majelis jemaat memiliki keinginan untuk menyempatkan waktu untuk mengikuti seminar di gereja atau pergi ke gereja lain untuk mengikuti seminar. Akan tetapi satu dari empat majelis jemaat yang rata-rata datang untuk mengikuti seminar yang ada di Gereja “X” sedangkan dua orang (25%) majelis jemaat enggan untuk mengikuti

(17)

8

datang ke tempat jemaat yang sakit atau meninggal karena bukan bagian dari tugasnya atau tidak mengenal jemaat yang sakit atau meninggal tersebut (personal growth).

Majelis jemaat yang memiliki derajat psychological well-being akan lebih mampu menguasai lingkungan dan mempunyai kemandirian tetapi majelis jemaat yang rendah kadang-kadang lebih dipengaruhi oleh jemaat dan tidak percaya diri dalam mengambil keputusan, namun ada malejis yang mampu sesuai psychological well-being dalam survei awal yang sudah dilakukan.

Berdasarkan uraian diatas, majelis jemaat Gereja ”X” Lampung memiliki gambaran

yang bervariasi untuk setiap dimensi yang akan memengaruhi psychological well-being mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran psychological well-being pada majelis jemaat Gereja ”X” di Lampung.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological well-being pada majelis jemaat Gereja “X” di Lampung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Mengetahui psychological well-being pada majelis jemaat Gereja “X” di Lampung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

• Memberikan tambahan informasi mengenai dimensi psychological well-being pada majelis

jemaat ke dalam bidang ilmu Positive psychology.

• Memberikan informasi tambahan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan

penelitian lanjutan mengenai psychological well-being pada majelis jemaat Gereja “X” di Lampung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada sinode Gereja “X” di Lampung mengenai psychological

well-being majelis jemaat. Majelis jemaat memiliki kemampuan untuk dapat berlerasi positif dengan orang lain, memiliki keinginan mengembangkan diri dan memiliki tujuan hidup. Informasi ini dapat dijadikan acuan dalam pemilihan majelis berikutnya atau menolong majelis jemaat untuk dapat mengembangkan diri dalam kemampuannya.

• Memberikan informasi mengenai gambaran psychological well-being yang dimiliki para

majelis jemaat kepada pihak Gereja “X” Lampung, agar dapat menjadi acuan bagi pihak Gereja ‘X’ Lampung dalam memberikan kegiatan (outbond) atau program pengembangan

diri (seminar) untuk para majelis jemaat yang diharapkan dapat membantu para majelis jemaat untuk memiliki penghayatan yang lebih positif terhadap kualitas diri dan hidup mereka secara keseluruhan yang mengacu ke kondisi psychological well-being yang lebih tinggi.

1.5 Kerangka Pemikiran

(19)

10

dan relasi pada jemaat, menjaga dan memelihara dalam kehidupan sehari-hari isi pada ajaran Alkitab, wajib mengikuti rapat majelis serta acara-acara gerejawi terutama tugas yang dibawahinya, wajib menyimpan rahasia jabatan dan bersatu padu dalam menjalankan keputusan yang diambil, memberi persetujuan atas permohonan attestasi jemaat, bertanggung jawab pemeliharaan dan pengelolahan harta milik dan keuangan Gereja (harta milik terdiri dari uang, surat berharga, barang bergerak dan tidak bergerak serta kekayaan intelektual) , memberlakukan dan melaksanakan peraturan-peraturan Gereja.

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai evaluasi individu bahwa dirinya dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungan dan memiliki tujuan dalam hidup ( Ryff, 1989). Ada 6 dimensi psychological well-being yang diungkapkan oleh Ryff, yaitu self acceptance (penerimaan diri), positive relation with other (hubungan yang baik dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environmental mastery (kemampuan mengatur lingkungan), personal growth (pengembangan diri) dan purpose in life (tujuan hidup).

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha Dimensi positive relation with others yaitu evaluasi individu terhadap hubungan interpersonalnya. Seorang majelis jemaat yang memiliki positive relation with others tinggi merasa puas dan percaya untuk berhubungan dengan orang lain di dalam organisasi gereja maupun di luar organisasi gereja ataupun dalam keluarga. Majelis jemaat dengan positive relation with others tinggi akan memiliki kedekatan dan empati dengan rekan majelis, hamba Tuhan dan juga jemaat dan dapat bekerjasama dengan rekan sekerja di dalam Gereja. Sedangkan majelis jemaat yang memiliki positive relation with other yang rendah hanya akan memiliki beberapa orang dekat yang dapat ia percayai, memiliki masalah dengan rekan kerja dan tidak memiliki kepedulian dengan jemaat Gereja.

Dimensi autonomy, majelis jemaat yang memiliki derajat tinggi mampu kemampuan untuk menentukan hal-hal bagi diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku, memiliki inisiatif untuk melakukan tugas, mengerjakan tugas tanpa diminta terlebih dahulu, memegang prinsip alkitab dalam pengambilan keputusan tidak mudah terpengaruh dengan masukan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, mampu mempertahankan prinsipnya dari pengaruh lingkungan seperti saat pengambilan keputusan tidak perpengaruh pada pendapat orang lain atau kritik-kritik yang ada. Sedangkan jika seorang majelis jemaat yang memiliki derajat rendah kurang memiliki inisiatif dalam mengerjakan tugas dan harus diminta terlebih dahulu, mudah terpengaruh terhadap pendapat yang tidak sesuai dengan ajaran alkitab dan lebih mengikuti suara terbanyak dalam pengambilan keputusan penting menunjukkan rendahnya autonomy yang dimiliki majelis jemaat tersebut.

(21)

12

Dimensi environmental mastery menggambarkan evaluasi individu terhadap kemampuannya mengatasi dan mengendalikan kejadian-kejadian yang ada di dalam gereja. Majelis jemaat yang environmental masterynya tinggi mampu mengatasi kejadian yang terjadi di gereja baik masalah di jemaat atau di dalam sesama majelis, menyempatkan diri untuk mengunjungi jemaat yang sedang sakit atau berduka, dan dapat mengatasi perbedaan pendapat di lingkungan gereja ataupun saat rapat. Sedangkan majelis jemaat memiliki derajat environmental mastery yang rendah maka akan mengalami kesulitan untuk mengatasi kejadian-kejadian yang ada di gereja seperti acara-acara penting gereja, tidak menyempatkan diri untuk mengunjungi jemaat yang sedang sakit ataupun berduka. Sebagai seorang majelis jemaat, diharapkan juga kreatif untuk mengatur kegiatan di lingkungannya, bagaimana ia mampu untuk mengatur kehidupan rohani di tengah-tengah tugasnya melayani Tuhan.

Pada dimensi purpose in life, seorang majelis jemaat memiliki visi dan misi yang jelas dalam menjalankan tugasnya sebagai majelis. Majelis jemaat yang memiliki derajat tinggi dalam dimensi purpose in life memiliki visi dan misi dan melakukan tugas-tugas sesuai dengan visi dan misi yang telah dibuat. Ia dapat membayangkan karya apa yang akan dilakukan dalam peranannya sebagai seorang majelis jemaat. Sedangkan seorang majelis jemaat yang memiliki derajat rendah dalam dimensi purpose in life tidak memiliki visi dan misi dalam menjalankan tugas sebagai majelis jemaat, tidak memiliki harapan-harapan yang akan dicapai selama menjadi majelis jemaat yang diharapkan jemaat ataupun lingkungan di gereja. Majelis jemaat merasa bahwa dengan keadaan saat ini tidak memiliki banyak harapan untuk dapat memiliki kehidupan yang lebih baik.

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha dengan belajar alkitab, mengikuti seminar keagamaan di gereja-gereja menunjukkan dimensi personal growth yang tinggi. Sedangkan apabila ia merasa kehidupannya terpaku, tidak adanya peningkatan dari waktu ke waktu, merasa hidup itu membosankan dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan kemampuan baru dalam hidupnya menunjukkan derajat personal growth yang rendah.

Menurut Ryff, ada empat hal yang mempengaruhi psychological well-being seseorang yaitu usia, status sosial ekonomi, perubahan status marital dan kepribadian. Usia akan mempengaruhi peningkatan pada dimensi autonomy dan environmental mastery individu (Ryff dalam Inggrid E. Wells, 2010 : 88). Hal ini karena semakin bertambahnya usia makan akan semakin banyaknya pula pengalaman hidup, baik itu yang positif maupun yang negatif. Apabila usia yang semakin bertambah maka kemampuannya dalam menguasai lingkungan pun akan semakin terlatih. Begitu pula halnya dengan autonomy-nya. Seiring dengan pertambahan usia, maka seseorang memiliki prinsip hidup yang semakin kokoh guna menyesuaikan diri dengan lingkungan. Seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan majelis jemaat di Gereja “X” untuk menetapkan tujuan hidup (purpose in life) dan keinginan

untuk mengembangkan diri, keterbukaan terhadap pengalaman baru (personal growth) akan mengalami penurunan khususnya dari mid-life ke old-age (Ryff,1989). Masa tua merupakan masa seseorang idealnya menikmati apa yang telah dikerjakan dalam kehidupannya. Jarang dari mereka mencari tujuan baru dalam hidup dan perkembangan diri.

Status sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi evaluasi majelis jemaat di Gereja “X”

mengenai penerimaan dirinya sendiri, termasuk kelebihan dan kelemahannya (self-acceptance) (Wells, 2010). Status sosial seperti tingkat pendidikan mewakili kelas sosial seseorang di lingkungan masyarakat. Majelis jemaat di Gereja “X” yang memiliki pendidikan

(23)

14 pengalaman masa lalunya dibandingkan majelis jemaat di Gereja “X” yang memiliki tingkat

pendidikan dan status sosial ekonomi yang mengengah ke bawah. Status sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi personal growth majelis jemaat di Gereja “X” (.Wells, 2010). Majelis jemaat yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi cenderung memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Majelis jemaat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih yakin terhadap tujuan hidupnya dibangdingkan dengan golongan kelas ekonomi bawah yang cenderung memiliki tekanan hidup yang lebih besar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara psychological well-being dengan relasi yang positif dengan pasangan (Wells, 2010) Perubahan status marital seperti perceraian, kematian pasangan akan membawa pengalaman negatif yang mendalam terhadap majelis jemaat gereja “X” (Barchrach,1975; Bloom, Asler dan White, 1978).

Keyes dan Ryff (1995) menemukan bahwa kepribadian individu dapat memengaruhi psychological well-being seseorang. Berdasarkan penelitian Costa and McCrae (1984) yang dilaporkan kembali pada tahun 1996, ditemukan bahwa menggunakan trait the big five personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism dan Openess to experience) memiliki hubungan dengan psychological well-being seseorang. Faktor kepribadian adalah suatu bawaan yang melekat dalam diri individu sehingga akan mempengaruhi individu dalam bereaksi terhadap lingkungan serta pengalamannya. Majelis jemaat Gereja “X” yang memiliki trait kepribadian neurotic memiliki peluang yang lebih besar untuk mengevaluasi dirinya secara negatif dibandingkan dengan majelis jemaat yang memiliki trait extraversion akan mempengaruhi dimensi self-acceptance. Majelis jemaat Gereja “X” yang memiliki trait extraversion cenderung lebih didominasi oleh perasaan

positif, energik dan dorongan untuk menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya.

Majelis jemaat Gereja “X” yang memiliki trait openness to experience cenderung

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha yang disertai rasa imajinasi, pemikiran yang luas dan apresiasi yang tinggi terhadap seni. Majelis jemaat Gereja “X” yang memiliki trait agreeableness biasanya akan ramah, pemaaf,

penyayang, memiliki kepribadian selalu mengalah dan berkaitan dengan dimensi positive realtion with others. Dimensi autonomy dipengaruhi oleh trait neuroticism. Majelis jemaat Gereja “X” yang memiliki trait neuroticism biasanya akan menunjukkan self-esteem yang

rendah, mudah cemas, mudah marah dan reaktif sehingga menghambatnya untuk mandiri dalam membuat keputusan (autonomy) (Keyes dan Shmotkin, 2002).

Keenam dimensi dan berbagai faktor-faktor yang dimiliki majelis jemaat akan memengaruhi psychological well-being mereka sehingga dapat diketahui apakah majelis jemaat tersebut memiliki psychological well-being yang tinggi atau rendah. Pada akhirnya majelis jemaat yang memiliki psychological well-being tinggi akan menunjukkan perilaku puas pada dirinya, menerima berbagai aspek diri, mampu untuk melihat kemajuan diri dari waktu ke waktu, menyadari potensi yang dimiliki, keterbukaan terhadap berbagai pengalaman baru, memiliki tujuan dan arah hidup, mampu mengatur lingkungannya, mampu menghadapi tekanan sosial, memiliki empati, dan memikirkan kesejahteraan orang lain.

(25)

16

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Rendah Tinggi

Dimensi-dimensi : 1. Self acceptance

2. Positive relation with other 3. Autonomy

4. Environmental Mastery 5. Personal Growth 6. Purpose in life Majelis Jemaat Gereja

“X” Lampung Psychological

well-being Faktor yang

mempengaruhi: 1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Status sosial ekonomi 4. Status marital

(26)

17

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

1. Psychological well-being ini terdiri dari 6 dimensi yaitu self acceptance, positive relation with others, environmental mastery, personal growth, autonomy dan purpose in life.

2. Dimensi-dimensi psychological well-being dapat memiliki derajat yang cenderung tinggi atau cenderung rendah.

3. Faktor seperti usia, status sosial ekonomi, perubahan status marital dan kepribadian individu dapat mempengaruhi derajat dimensi psychological well-being.

(27)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

1. Lebih dari setengah majelis jemaat Gereja “X” Lampung menunjukan derajat psychological well-being yang rendah.

2. Tiap-tiap dimensi yang ada memiliki kecenderungan keterkaitan dengan derajat psychological well-being pada majelis jemaat Gereja “X” Lampung

3. Majelis jemaat di Gereja “X” Lampung menunjukkan derajat psychological well-being tinggi pada umumnya menunjukkan derajat tinggi pula pada dimensi Purpose in Life. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi sebagai majelis jemaat yang memiliki tujuan hidup untuk melayani Tuhan seumur hidup dengan sepenuhati sehingga berpengaruh pula pada penilaian diri bahwa mereka mampu mencapai arah dan tujuan dalam hidup.

4. Faktor usia, jenis kelamin dan sosio-ekonomi menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan dimensi-dimensi psychological well-being majelis jemaat Gereja “X” Lampung.

(28)

64

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Perlu dipertimbangakn melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi faktor yang mempengaruhi psychological well-being terhadap derajat psychological well-being-nya. 2. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi kepribadian Big

Five Personality dengan psychological well-being pada majelis jemaat di Gereja “X” Lampung.

3. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi dimensi-dimensi psychological well-being terhadap derajat psychological well-being secara keseluruhan.

4. Untuk penelitian berikutnya, dapat dilakukan wawancara terhadap jemaat dan hamba Tuhan mengenai keluhan-keluhan yang dirasakan terhadap pelayanan majelis jemaat di gereja untuk memperdalam masalah.

5. Bagi yang tertarik untuk melakukan penelitian selanjutnya, perlu dipertimbangkan untuk mengaitkan karakteristik sampel terhadap derajat psychological well-being serta profil dimensi-dimensinya.

5.2.2 Saran Praktis

(29)

65

(30)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAJELIS JEMAAT

GEREJA “X” LAMPUNG

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Menempuh Sidang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Disusun Oleh : RAY FARANDY

1230048

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI

(31)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya akhirnya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi penelitian ini yang berjudul “Studi Deskriptif gambaran Psychological Well-being pada Majelis Jemaat Gereja ”X” di Lampung.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Dalam penyusunan Skripsi ini, peneliti sadar bahwa masih banyak kekurangan mengingat keterbatasan ilmu dan pengalaman yang peneliti miliki. Berbagai kendala yang peneliti hadapi dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

3. Eveline Sarintohe, M.Si. selaku dosen pembimbing satu yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan, saran, semangat, motivasi dan kesabaran serta koreksi yang bermanfaat dalam penyusunan Skripsi ini.

4. Kristin Rahmani, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing dua yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan, saran, semangat, motivasi dan kesabaran serta koreksi yang bermanfaat dalam penyusunan Skripsi ini.

(32)

viii

6. Kepada Sinode Gereja “X” yang sudah memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.

7. Para Majelis jemaat selaku responden penelitian yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang terkait dengan penelitian ini.

8. Kedua orangtua dan kakak-kakak peneliti. Terimakasih atas doa dan dukungan baik moril maupun materil yang selalu kalian berikan selama ini

9. Sahabat-sahabat tercinta : Alfon, Sella, Lulu, Novi, Marsela, Davin, Rendra, Martin, Esa dan Angie, terimakasih banyak teman-teman yang telah memberikan dukungan, semangat, dorongan, masukan dan bantuan yang sangat berguna selama peneliti menyusun Skripsi ini.

10. Teman-teman PWB : Lulu, Esa, Disha dan Karin, Terimakasih banyak telah memberikan dukungan dan informasi yang sangat berguna selama peneliti menyusun Skripsi ini. 11. Teman-teman ES squad : Bani, Lydia, Eveline, Terimakasih banyak telah memberikan

dukungan dan informasi selama proses bimbingan hingga terselesaikan Skripsi ini.

12. Teman-teman pemuda dan hamba Tuhan GKT di Lampung. Terimakasih untuk dukungan, semangat dan bantuan yang diberikan selama ini.

13. Teman-teman Fakultas Psikologi, khususnya angkatan 2012 yang telah berbagi ilmu, informasi dan saran atau masukan yang membantu dalam proses penyusunan Skripsi penelitian ini.

(33)

ix

Atas perhatiannya, peneliti mengucapkan terimakasih.

Bandung, Mei 2017

(34)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA MAJELIS JEMAAT

GEREJA “X” LAMPUNG

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Menempuh Sidang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Disusun Oleh : RAY FARANDY

1230048

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI

(35)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya akhirnya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi penelitian ini yang berjudul “Studi Deskriptif gambaran Psychological Well-being pada Majelis Jemaat Gereja ”X” di Lampung.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Dalam penyusunan Skripsi ini, peneliti sadar bahwa masih banyak kekurangan mengingat keterbatasan ilmu dan pengalaman yang peneliti miliki. Berbagai kendala yang peneliti hadapi dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

3. Eveline Sarintohe, M.Si. selaku dosen pembimbing satu yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan, saran, semangat, motivasi dan kesabaran serta koreksi yang bermanfaat dalam penyusunan Skripsi ini.

4. Kristin Rahmani, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing dua yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan, saran, semangat, motivasi dan kesabaran serta koreksi yang bermanfaat dalam penyusunan Skripsi ini.

(36)

viii

6. Kepada Sinode Gereja “X” yang sudah memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.

7. Para Majelis jemaat selaku responden penelitian yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang terkait dengan penelitian ini.

8. Kedua orangtua dan kakak-kakak peneliti. Terimakasih atas doa dan dukungan baik moril maupun materil yang selalu kalian berikan selama ini

9. Sahabat-sahabat tercinta : Alfon, Sella, Lulu, Novi, Marsela, Davin, Rendra, Martin, Esa dan Angie, terimakasih banyak teman-teman yang telah memberikan dukungan, semangat, dorongan, masukan dan bantuan yang sangat berguna selama peneliti menyusun Skripsi ini.

10. Teman-teman PWB : Lulu, Esa, Disha dan Karin, Terimakasih banyak telah memberikan dukungan dan informasi yang sangat berguna selama peneliti menyusun Skripsi ini. 11. Teman-teman ES squad : Bani, Lydia, Eveline, Terimakasih banyak telah memberikan

dukungan dan informasi selama proses bimbingan hingga terselesaikan Skripsi ini.

12. Teman-teman pemuda dan hamba Tuhan GKT di Lampung. Terimakasih untuk dukungan, semangat dan bantuan yang diberikan selama ini.

13. Teman-teman Fakultas Psikologi, khususnya angkatan 2012 yang telah berbagi ilmu, informasi dan saran atau masukan yang membantu dalam proses penyusunan Skripsi penelitian ini.

(37)

ix

Atas perhatiannya, peneliti mengucapkan terimakasih.

Bandung, Mei 2017

(38)

66

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Hidalgo, Jesus L.T., Bravo, Beatris N., Martinez, Ignacio P., Pretel, Fernando A., Postigo, Jose M.L., Rabadan, Fransisco E. (2010). Psychological Well-Being, Assesment Tools and Related Factors. Dalam Wells, Inggrid E. Psychological Well-Being. Psychology of Emotions, Motivations and Actions. Nova Science Publishers, Inc.

Hidayat, S., Prasetya, P.H., Handayani, V., Savitri, J., Azizah, E., Wardani, R., Rajagukguk, R.O. (2015). Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi – Juli 2015. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Johansloo, Mohsen A. & Samaneh. Big Five Personality Traits as Predictors of Eudaimonic Well-Being in Iranian University Students. (2010). Dalam Wells, Inggrid E. Psychological Well-Being. Psychology of Emotions, Motivations and Actions. Nova Science Publishers, Inc.

Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indoneisa. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta : Himpunan Psikologi Indonesia.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 (6), 1069-1081.

Ryff, C.D. (2014). Psychological well-being revisited: Advances in the science and practice of eudaimonia. Psychotherapy and Psychosomatics, 83 (1), 10-28.

Ryff, C.D., & Keyes, C.L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality & Social Psychology, 69 (4), 719-727.

Ryff, C.D., & Singer, B.H. (2006). Best news yet on the six-factor model of well-being. Social Science Research, 35, 1103-1119.

Ryff, C.D., & Singer, B.H. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9 (1), 13-39. Santrock, John W. (2002). Life Span Development edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Wells, Ingrid. E. (2010). Psychological Well-Being. New York : Nova Science Publishers,

(39)

DAFTAR RUJUKAN

Angelo, Raissa Dewiyanti. (2015). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being pada Lansia di panti jompo “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Tritunggal. (2011). Tata Dasar dan Tata Laksana Gereja Kristen Tritunggal. Bandar Lampung.

Hutauruk, Christine Hartaty. (2016). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada pengurus PMK di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Ilmu Pengetahuan. Agama-Agama di Indonesia. (http://ilmupengetahuanumum.com/agama-agama-di-indonesia/. Diakses tanggal 21 September 2015).

Ismunandar, Fariza D. (2014). Studi Deskriptif Mengenai Derejat Dimensi Religiusitas Pada Majelis Jemaat Gereja “X” di Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Purnama, Ida Ayu. (2012). Studi Deskriptif Mengenai Dimensi Psychological Well-Being Pada Frater di Seminari Tinggi “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Sionhanjaya, Felicia. (2013). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being Pada Rohaniawan Kristen (Hamba Tuhan) Perkumpulan Gereja “X” di Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Valeria, Neysa T. A,. (2011). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Single-Mothers di Komunitas “X”. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Wikipedia. Gereja Di Indonesia menurut Denominasi.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_di_Indonesia#Menurut_Denominasi. Diakses tanggal 21 September 2015).

Gambar

Tabel 3.1
Gambar 3.1
Gambar 1.1  Bagan Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu untuk meneliti bagaimana sebenarnya gambaran dari Psychological Well-Being yang

Sedangkan mantan pecandu yang menilai diri dari pengalaman yang dialaminya secara lebih negatif maka memiliki psychological well-being yang rendah, sehingga memiliki

Berdasarkan data yang diambil pada awal tahun 2013 dan tahun 2014, sebanyak lima belas orang jemaat yang mengikuti kebaktian di gereja “X” Bandung, delapan orang

Apabila lansia memiliki PWB yang tinggi, maka ia akan dapat menerima secara positif keadaan dirinya dan segala perubahan yang terjadi pada dirinya ketika menjadi seorang lansia,

Sedangkan pensiunan Bank “X” yang memiliki personal growth rendah merasa tidak mengalami perkembangan di dalam dirinya, mereka juga kurang menyadari potensi yang ada di

1) Majelis Jemaat yang berada pada tahap perkembangan dewasa madya memiliki derajat religiusitas yang tinggi pada dimensi pengalaman agama dan pengamalan agama. Hampir

Karyawan yang memiliki penghayatan cukup terhadap penghasilan perbulan sebanyak 59% memiliki psychological well-being yang tinggi. Karyawan level asisten yang memiliki

Keenam dimensi dan berbagai faktor yang dimiliki oleh perempuan lajang usia dewasa madya di Gereja “X” Kota Bandung akan membentuk Psychological Well-being mereka,