Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan – Badan Litbang dan Inovasi – KLHK
E C O LA B V
olume 14, Nomor 2, November 2020 Hal: 7
9-156
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research, Development and Innovation Agency
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KUALITAS DAN LABORATORIUM LINGKUNGAN Center for Research and Development of Quality and Environmental Laboratory
TANGERANG SELATAN - INDONESIA
ecolab
Ecolab Vol. 14 No. 2 Hal. 79-156 Tangerang Selatan, November 2020 1978-5860ISSN
Pengaruh Pemberian Variasi Bahan Organik Terhadap Peningkatan
Produksi Padi dan Penurunan Emisi Metana (CH
4) di Lahan Sawah Tadah
Hujan
Ika Ferry Yunianti, Hesti Yulianingrum, dan Miranti Ariani
Evaluasi Aplikasi Penghalang Bunyi di Lingkungan Sekolah Dalam
Tinjauan Persepsi dan Ekonomi
Muhamad Yusup Hidayat, Ridwan Fauzi, Budi Purwanto, dan Melania Hanny Aryantie
Pengujian Sulfur Oksida (SO
x) dari Emisi Sumber Tidak Bergerak
Menggunakan Metode Ion Kromatografi
Retno Puji Lestari, Ricky Nelson, Resi Gifrianto, dan Bambang Hindratmo
Model Pengelolaan Air Bersih di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang
Selatan
Alfonsus H. Harianja
Penggunaan IKA-INA dalam Penilaian Kualitas Air dengan Dua Skenario
Kurva Sub-Indeks
Dewi Ratnaningsih, Retno Puji Lestari, Ernawita Nazir, Ridwan Fauzi dan Budi Kurniawan
Pemodelan Dispersi Emisi SO
2menggunakan Gaussian Dispersion
Model (Studi Kasus Cerobong PLTU Kabupaten Probolinggo)
Muhammad Rusydi Arif, Ahmad Erlan Afiuddin, Tarikh Azis Ramadani
Tren Deposisi Amonium di Serpong dan Bandung
Asri Indrawati, Retno Puji Lestari, dan Dyah Aries TantiDiterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Alamat (Address) : Kawasan PUSPIPTEK, Gedung 210, Jl. Raya PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan 15310 Banten, Indonesia Telepon (Phone) : +62-21-7563114 Email : jurnal_ecolab@yahoo.com
Fax (Fax) : +62-21-7563115 Laman (web) : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JKLH Volume 14 Nomor 2, November Tahun 2020
ECOLAB telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No. 30/E/KPT/2019 (Sinta 3). Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, pemantauan, kajian dan pemikiran/tinjauan ilmiah yang berkaitan dengan kualitas lingkungan.Terbit pertama kali tahun 2007. Jurnal ECOLAB terbit dengan frekuensi dua kali setahun (Mei dan November).
Penanggung Jawab : Dr. Nur Sumedi, S.Pi, M.P DEWAN REDAKSI :
Ketua Editor : Rita Mukhtar, M.Si.
Redaktur : Ir. Eva Betty Sinaga, MP
Editor Pelaksana : 1. Ir. Rina Aprishanty, MA (Udara) 2. Dra. Alfrida Ester Suoth (Air)
3. Sri Unon Purwati, S.Si. (Biologi Lingkungan) 4. Retno Puji Lestari, M.Sc. (Udara)
5. Edy Junaidi, SP. M.Si. (Ilmu Tanah, Agroklimatologi dan Hidrologi)
6. Alfonsus H. Harianja, SP, M.Sc. (Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan) 7. Grace Serepina Saragih, S.Hut, M.Sc. (Konservasi Sumber Daya Hutan) 8. Muhammad Yusuf, S.Hut, M.Si. (Manajemen Lingkungan)
9. Ridwan Fauzi, S.Hut, M.Si. (Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan) 10. Melania Hanny A. S.Hut, MT (Manajemen Lingkungan)
11. Fitri Yola Amandita, Ph.D. (Manajemen Lingkungan)
Mitra Bebestari : 1. Prof Dr. Arizono Koji (Kimia Lingkungan - Kumamoto University, Japan) 2. Prof. Nguyen Thi Kim Oanh, Ph.D (Kimia Lingkungan - Asian Institute of
Technology, Thailand)
3. Prof.(r) Dr. Yani Sudiyani (Kimia, Biologi - LIPI) 4. Prof. Dr. Hefni Effendi (Tanah, Air - IPB)
5. Prof. Dr. Budi Haryanto (Kesehatan Masyarakat - UI)
6. Prof. (r) Dr. Gustan Pari (Kimia, Tanah - Badan Litbang Inovasi, KLHK)
7. Prof.(r) Dr. Chairil Anwar Siregar (Hidrologi dan Konservasi Tanah - Badan Litbang Inovasi, KLHK)
8. Prof. (r) Dr. Muhayatun Sentosa (Udara, B3 - BATAN)
9. Dr. Ir . Subarudi, M.Wood. Sc. (Sosiologi Kehutanan - Badan Litbang Inovasi, KLHK)
REDAKTUR PELAKSANA :
Penyunting Bahasa : Rizqika Rahmani, M.Env.
Sekretariat : 1. Medyawati, SKM
2. Siti Nurhomsah 3. Mansur
Penyunting Tata Letak : Suhardi Mardiansyah (Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi)
ecolab
Pertama Terbit : Januari 2007
ec lab
Volume 14 Nomor 2, November 2020DAFTAR ISI
Pengaruh Pemberian Variasi Bahan Organik Terhadap Peningkatan Produksi Padi dan Penurunan Emisi Metana (CH4) di Lahan Sawah Tadah Hujan ... Ika Ferry Yunianti, Hesti Yulianingrum, dan Miranti Ariani
79-90 Evaluasi Aplikasi Penghalang Bunyi di Lingkungan Sekolah dalam Tinjauan Persepsi dan Ekonomi ... Muhamad Yusup Hidayat, Ridwan Fauzi, Budi Purwanto, dan Melania Hanny Aryantie
91-100 Pengujian Sulfur Oksida (SOx) dari Emisi Sumber Tidak Bergerak Menggunakan
Metode Ion Kromatografi ... Retno Puji Lestari, Ricky Nelson, Resi Gifrianto, dan Bambang Hindratmo
101-110 Model Pengelolaan Air Bersih di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan
Alfonsus H. Harianja
111-124 Penggunaan IKA-INA dalam Penilaian Kualitas Air dengan Dua Skenario Kurva
Sub-Indeks ... Dewi Ratnaningsih, Retno Puji Lestari, Ernawita Nazir, Ridwan Fauzi dan Budi Kurniawan
125-135
Pemodelan Dispersi Emisi SO2 menggunakan Gaussian Dispersion Model (Studi Kasus Cerobong PLTU Kabupaten Probolinggo) ... Muhammad Rusydi Arif, Ahmad Erlan Afiuddin, Tarikh Azis Ramadani
137-145 Tren Deposisi Amonium di Serpong dan Bandung...
Asri Indrawati, Retno Puji Lestari, dan Dyah Aries Tanti
147-156 Indeks Penulis ... 157 Indeks Kata Kunci ... 158
p-ISSN 1978-5860
e-ISSN 2502-8812
Volume 14 Nomor 2, November 2020Pengaruh Pemberian Variasi Bahan Organik Terhadap Peningkatan Produksi Padi dan Penurunan Emisi Metana (CH4) di Lahan Sawah Tadah Hujan
Ika Ferry Yunianti, Hesti Yulianingrum, dan Miranti Ariani
ABSTRAK
Budidaya tanaman padi memegang peranan penting dalam peningkatkan produksi pangan di Indonesia dan pembentukan emisi CH4 dari
lahan sawah. Pemberian bahan organik ke dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman, disisi lain dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca. Besaran emisi CH4 akibat pemberian bahan
organik tergantung pada kandungan C organik dan tingkat dekomposisinya. Pemilihan bahan organik yang tepat perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi emisi CH4 tanpa mengabaikan
produktivitas tanah dan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menekan emisi CH4 dari budidaya tanaman padi di
lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016-Januari 2017 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, yang merupakan salah satu daerah tadah hujan di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian disusun secara acak kelompok dengan 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali. Varietas padi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ciherang. Perlakuan terdiri dari : 1) kompos 5 ton/ha, 2) jerami padi 5 ton/ha, 3) biokompos 5 ton/ha, dan 4) tanpa bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi padi yang dihasilkan oleh empat perlakuan secara berturut-turut adalah 4,76; 5,13; 4,72 dan 4,61 ton/ha dengan total emisi CH4 153;
281; 197; 143 kg/ha/musim, sedangkan nilai produksi padi per kg CH4 yang dihasilkan secara
berturut-turut adalah 31,1; 18,3; 24,0 dan 32,2. Pemberian bahan organik berupa kompos berpotensi lebih optimal dalam meningkatkan produksi padi dan menurunkan emisi CH4 di lahan sawah tadah
hujan dibandingkan jerami padi dan biokompos
Kata Kunci: Produksi padi, emisi metana, bahan organik, sawah tadah hujan
ABSTRACT
Rice cultivation has an important role in increasing rice yield and CH4 emissions from paddy fields in Indonesia. The application of organic matter to the soil could increasing soil quality and crop productivity; other than that, it could be causing greenhouse gas emissions. CH4 emission due to the application of organic matters depends on the C organic content and decomposition level. The selection of good organic matters needs to be done to reduce CH4 emission and keep soil and plant productivity. This study aimed to determine the variety of organic matter that can increase rice yield and reduce CH4 emission from rice cultivation in rainfed. The study was conducted in October 2016-January 2017 at the Research Station of the Indonesian Agriculture Environment Research Institute in Jakenan, which is one of the rainfed areas in Pati District, Central Java Province. The study was arranged in a randomized design with four treatments and three replications. The variety used in this study is Ciherang. The treatment consists of 1) compost 5 t/ha, 2) rice straw 5 t/ ha, 3) biocompost 5 t/ha, and 4) without organic matter. The study showed that productivity of these four organic matters were 4,76; 5,13; 4,72 and 4,61 t/ha with total emission of CH4 153; 281; 197; 143 kg/ha/season, while the rice yield per kg of CH4 were 31,1; 18,3; 24,0 and 32,2 respectively. The results suggest that compost were more optimal for increase rice yield and reduced CH4 emission as compared to other organic matters.
Keywords: Rice yield, methane emission, organic matter, rainfed rice field
ABSTRAK
Komunikasi yang efektif antara guru pengajar kepada siswa selaku peserta didik sering terganggu karena kebisingan. Salah satu cara pengendalian kebisingan adalah pengendalian medium perambatan kebisingan dengan sound barrier. Penerapan sound barrier di lingkungan sekolah memerlukan penilaian persepsi siswa dan guru serta analisis ekonomi terhadap bahan atau materialnya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi siswa dan guru serta menghitung nilai ekonomi alat penghalang bunyi (sound barrier) berdasarkan lama waktu pemanfaatan dan biaya produksi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yaitu mendeskripsikan hasil skoring yang dilakukan. Analisis persepsi dilakukan dengan menggunakan analisis Likert. Penyusutan dihitung dengan nilai depresiasi alat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemasangan sound barrier
cukup sesuai untuk diaplikasikan di lingkungan sekolah dan meningkatkan kenyamanan kegiatan belajar mengajar karena mengurangi kebisingan yang dihasilkan dari kendaraan. Bahan sound barrier yang diaplikasikan sudah tetap dan dapat diterima responden namun perlu perbaikan aksesoris untuk meningkatkan estetika. Secara nilai ekonomi, penggunaan material kayu kamper (Dryobalanops sp.) sebagai bahan baku sound barrier cukup efisien jika dibandingkan dengan material berbahan akrilik, karena material kayu tersebut mempunyai nilai penyusutan yang rendah. Persepsi responden terhadap performa alat sound barrier cukup puas dan dapat diterima sebagai alat insulasi kebisingan.
Kata kunci: Komunikasi, ekonomi, medium perambatan, penghalang bunyi.
ABSTRACT
Effective communication between teachers and students is often disrupted by environmental noise. One method to control the noise is by using a sound barrier. Implementation of the school environment's sound barrier requires the assessment of students' and teachers' perceptions, and economic analysis of the materials applied. This study aims to determine the perceptions of students and teachers and calculate the economic value of sound barriers based on its depreciation value and production costs making. This research uses quantitative and qualitative approaches to describe the scoring results. Perception analysis was performed using a Likert analysis. The amount of depreciation expense is analyzed using the depreciation formula. In general, the installation of a sound barrier is effective in a school building as it reduces the noise of passing vehicles, but it needs improvement in aesthetics. In terms of economic value, the use of Kamper wood (Dryobalanops sp.) as the raw material for the sound barrier is sufficiently efficient with a relatively low depreciation value compared to acrylic of the raw material. Respondents are quite satisfied with the sound barrier, and it can be accepted as a tool for noise insulation.
Keywords: Communication, economic, propagation medium, sound barrier
ASBTRAK
Emisi gas buang oksida-oksida sulfur yang terdiri dari SO2 dan SO3 merupakan salah satu
polutan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Sumber SOx umumnya berasal dari
kegiatan emisi sumber tidak bergerak seperti pembangkit listrik, cerobong industri, pembakaran sumber domestik, maupun insinerator. Pengujian konsentrasi gas oksida-oksida sulfur (SOx) dari
emisi sumber tidak bergerak dilakukan sebagai salah satu kegiatan pengkajian metode di Puslitbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) yang berlangsung pada September – Oktober 2018. Laboratorium P3KLL melakukan verifikasi dengan menentukan limit deteksi terhadap metode uji yang diadopsi dari JIS K 0103:2011 Methods for determination of sulfur oxides in flue gas - Annex JC (normative). Instrumen kromatografi ion (IC) DIONEX ICS5000 tersebut dilengkapi dengan detektor konduktivitas, memiliki ukuran loop
sampel 50μL, kolom separator IonPac AS18, kolom penjaga IonPAc AG18 dan suppressor ASRS-II yang dioperasikan pada suhu 35°C. Larutan yang digunakan sebagai eluen adalah campuran 2,7 mM Na2CO3 dan 0,3 mM NaHCO3 pada laju alir 1 L/
menit. Tahapan kegiatan terdiri dari pengambilan contoh uji dari fasilitas cerobong genset dan proses verifikasi metode melalui analisis menggunakan IC. Hasil verifikasi metode pengujian SOx
dalam emisi gas buang sumber tidak bergerak fasilitas genset menggunakan kromatografi ion menunjukkan bahwa limit deteksi, LoD(G) dan limit
kuantifikasi, LoQ(G) yang diperoleh masing-masing
sebesar 4 mg/Nm3 dan 13 mg/Nm3, sedangkan
limit linearitas, LoL sebesar 834 mg/Nm3. Metode
ini telah terverifikasi sesuai persyaratan teknis, dan laboratorium mampu menerapkan metode pengujian tersebut.
Kata kunci : SOx, oksida-oksida sulfur, emisi,
sumber tidak bergerak, genset.
ABSTRACT
The sources of SOx are generally derived from stationary emission sources such as power plants, industrial chimneys, domestic combustion, and incinerators. Determination of sulfur oxides (SOx) gasses from stationary emission was conducted as a part of method study activities at the Center for Quality Research and Environmental Laboratories (P3KLL) which took place in September to October 2018. Laboratory of P3KLL managed to do verification method with determining the detection limit to the testing method which was adopted from JIS K 0103:2011 Methods for determination of sulfur oxides in flue gas - Annex JC (normative). The ion chromatography (IC) instrument DIONEX ICS5000 was equipped with conductivity detector, 50μL size of sample loop, separator column IonPac AS18, guard column IonPAc AG18 and suppressor ASRS-II which was operated at 35°C. The eluent was the mixture of 2,7 mM Na2CO3 and 0,3 mM NaHCO3 at flow rate of 1 L/minute. The step of activities consisted of collecting sample from stack’s genset facility and verifying method through analysis using IC. The verification result of Sox’s testing method from stationary emission genset facility using ion chromatography showed that limit of detection, LoD(G) and limit of quantification, LoQ(G) were 4 mg/Nm3 and 13 mg/ Nm3, respectively, while the limit of linearity, LoL was 834 mg/Nm3. This method was verified based on technical condition and laboratory was able to apply this testing method.
Keywords: SOx, sulfur oxides, emission, stationary source, genset.
ABSTRAK
Kelangkaan sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan penduduk memerlukan sistem pengelolaan yang baik, dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Penelitian ini dilakukan untuk membuat model pengelolaan sumberdaya air bersih di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan dengan menggunakan metode pemodelan
system dinamics. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari dokumen berupa laporan, hasil penelitian dan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang terkait dengan kependudukan dan potensi sumberdaya air bersih pada kecamatan tersebut. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa penyediaan air bersih yang hanya mengandalkan sumber air tanah tidak mencukupi kebutuhan penduduk pada tahun 2019. Rencana pemenuhan kebutuhan dengan penyediaan air oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan memanfaatkan air permukaan mulai tahun 2018 cukup membantu ketersediaan air bersih, namun kemudian mengalami
defisit kembali pada tahun 2021. Skenario
penggunaan kembali grey water merupakan
alternatif pengelolaan air bersih yang lestari yang dibuktikan oleh surplus air bersih sampai
tahun 2023.
Kata kunci: Air bersih, grey water,
pemodelan, system dinamics,
Tangerang Selatan.
ABSTRACT
The growing urban population requires a good water resource management system utilizing available sources. This research was conducted to provide a water resource management model in Pamulang Sub-District, South Tangerang Municipal employing system dynamics. Data used was secondary data such as related reports, research results, and annual statistics provided by Biro Pusat Statistik (BPS). The modeling results show that the business as usual system that relies solely on groundwater sources will not be sufficient in 2019. The local government plan to increase water supply by Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) starting in 2018 at first is adequate to raise the availability of clean water, although it lasts up to 2020. Grey water reuse scenario is an alternative in providing sustainable water sources, as evidenced by a surplus of clean water up to 2023.
Keywords: Clean water, grey water, modeling, South Tangerang, system dynam-ics.
ABSTRAK
Indeks kualitas air merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk penilaian kualitas air. Berbagai indeks kualitas air telah dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
National Sanitation Foundation – Water Quality Index (NSF-WQI) merupakan salah satu formulasi indeks kualitas air yang banyak digunakan sebagai acuan pengembangan indeks baru. Tujuan kajian ini adalah untuk membandingkan penggunaan formulasi IKA-INA dengan skenario I menggunakan kurva sub indeks IKA-INA dan skenario II menggunakan kurva sub indeks kombinasi IKA-INA dan NSF-WQI. Kurva sub-indeks skenario II disusun dengan melakukan kombinasi kurva sub indeks NSF-WQI yang mempunyai parameter sesuai dengan kurva sub indeks IKA-INA. Uji Pearson Correlation
dilakukan pada hasil indeks kualitas air skenario I dan II untuk mengetahui kedekatan dengan nilai indeks kualitas air berdasarkan penilaian pakar di lapangan. Formulasi IKA-INA dengan kurva sub indeks skenario I dan II diaplikasikan di 22 titik lokasi DAS Ciliwung dari hulu wilayah Puncak Bogor sampai ke hilir wilayah DKI Jakarta. Hasil aplikasi menunjukkan bahwa indeks kualitas air di DAS Ciliwung menunjukkan tren yang semakin memburuk ke arah hilir dengan rata-rata nilai indeks di wilayah Jakarta sebesar 38 untuk skenario I dan 32 untuk skenario II. Pemanfaatan dua skenario tersebut memberikan selisih nilai IKA yang lebih rendah untuk skenario II IKA-INA kombinasi dibandingkan skenario I. Hasil analisis menunjukkan bahwa kurva sub indeks IKA-INA masih mempunyai nilai kedekatan yang lebih tinggi dibandingkan IKA-INA kombinasi terhadap hasil IKA penilaian pakar di lapangan, namun kedua skenario tersebut masih berada pada nilai kedekatan yang sangat erat atau mendekati 1, sehingga selain skenario I, formulasi IKA-INA skenario II dengan kurva sub indeks kombinasi juga dapat dijadikan alternatif formulasi penilaian kualitas air sungai.
Kata kunci: Indeks , IKA-INA, NSF-WQI, kurva kombinasi, DAS Ciliwung.
ABSTRACT
Water quality index is an instrument for water quality assessment. Various water quality indices have been developed according to their designations. NSF-WQI is a water quality index formulation that is widely used as a reference for developing new indexes. This study aimed to compare the use of INA formulation with scenario I using IKA-INA sub-index curve and scenario II using the combined IKA-INA and NSF-WQI sub-index curve. The sub-index curve for scenario II is prepared by combining NSF-WQI sub-index curve which has parameters according to IKA-INA sub-index curve. Pearson Correlation was tested to both WQI results in scenario I and II, to determine the proximity to WQI value based on expert judgements in the field. IKA-INA formulation with the sub-index curve for scenarios I and II was applied at 22 points in the Ciliwung watershed location, from the upstream area of Puncak Bogor to the downstream area of DKI Jakarta. The results of the application showed that WQI in the Ciliwung watershed shows a worsening trend downstream with an average index value in the Jakarta area of 38 for scenario I and 32 for scenario II. The use of these two scenarios gives a lower difference in IKA values for scenario II IKA-INA combinations compared to scenario I. The results of the analysis show that IKA-INA sub-index curve still has a higher proximity value than the combined IKA-INA to IKA by expert judgment results, however, both scenarios were still at very close proximity or close to 1, therefore, apart from scenario I, IKA-INA scenario II formulation with a combination sub-index curve can also be used as an alternative formulation for assessing river water quality.
Keywords: Index, IKA-INA, NSF-WQI, Combination curve, Ciliwung watershed.
ABSTRAK
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kabupaten Probolinggo sebagai industri pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara menghasilkan beberapa parameter emisi dari proses industrinya, salah satunya Sulfur Dioksida (SO2). Emisi SO2 ini dikeluarkan
melalui cerobong dimana nantinya akan menyebar ke kawasan sekitar plant. Emisi SO2
ini dapat berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar apabila Flue-Gas Desulfurization (FGD) sebagai instalasi pengendali emisi SO2 sedang bermasalah dan membutuhkan corrective maintenance. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait analisis dispersi emisi SO2 agar dapat mengestimasikan dampak dari
emisi tersebut terhadap lingkungan sekitar. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis dispersi emisi SO2 dari cerobong PLTU Kabupaten Probolinggo Unit 9 pada musim kemarau. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data emisi pada periode pemantauan Bulan Juli – September 2019 dan data meteorologi pada periode pemantauan Januari 2018 – Mei 2020. Pada penelitian ini, Gaussian Dispersion Model dipilih untuk memodelkan dispersi emisi SO2. Software Surfer dan Google Earth digunakan untuk penggambaran pola dispersi emisi SO2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi SO2
terdispersi ke arah selatan dengan stabilitas atmosfer kelas B pada musim kemarau. Konsentrasi tertinggi emisi SO2 berdasarkan hasil model sebesar
107,74 μg/m3 dengan koordinat 7°43’43.452” LS;
113°34’17.766” BT dan memiliki jarak sebesar 1986,87 meter dari cerobong. Setelah sampai di titik maksimum, konsentrasi emisi terus menurun seiring dengan bertambahnya jarak dari cerobong.
Kata kunci: Emisi SO2, cerobong, PLTU, musim kemarau, Gaussian Dispersion Model
ABSTRAK
The coal-fired thermal power plant in Probolinggo district as a coal-fired thermal power plant industry produces several emission parameters from the industrial process, one of which is Sulfur Dioxide (SO2). Emissions of SO2 are released through chimneys which will later disperse to the area around the plant. This emission of SO2 can be dangerous to the public health and environment if the Flue-Gas Desulfurization (FGD) as an SO2 emission control installation is having problems and requires corrective maintenance. Therefore, it is necessary to conduct research related to the analysis of SO2 emissions' dispersion to estimate the impact of these emissions on the surrounding environment. The purpose of this study was to analyze the dispersion of SO2 emissions from the chimney of the 9th coal-fired thermal power plant unit in the Probolinggo district in the dry season. This research was conducted using data monitoring emissions in the period of July – September 2019 and the monitoring of meteorological data for the period of January 2018 – May 2020. In this study, the Gaussian Dispersion Model was chosen to model the dispersion of SO2 emissions. Surfer and Google Earth are used to show the dispersion pattern of SO2 emissions. The results showed that the SO2 emissions were dispersed to the south with the class B atmosphere's stability during the dry season. The highest concentration of SO2 emission based on the model results is 107.74 μg/m3 with
coordinates 7°43'43.452"S; 113°34'17,766"E and has a distance of 1986.87 meters from the chimney. After reaching the maximum point, the emission concentration continues to decrease as the distance from the stack increases.
Keywords: Emissions of SO2, chimney, Coal-fired thermal power plant, dry season, Gaussian Dispersion Model
ABSTRAK
Konsentrasi amonium yang ada dalam air hujan dapat membentuk ion amonium yang berasal dari reaksi amonia dengan air hujan. Ion amonium memiliki faktor netralisasi terhadap nilai keasaman air hujan. Jika konsentrasinya cukup besar, deposisi amonium akan memberikan fenomena lingkungan yang beragam, seperti eutrofikasi dan pengasaman tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat tren deposisi amonium secara temporal, baik bulanan, musiman maupun tahunan di Serpong dan Bandung. Data yang digunakan yaitu data rata-rata tertimbang konsentrasi ion amonium dalam air hujan tahun 2000–2018. Sampel air hujan dianalisis dengan menggunakan kromatografi ion untuk mengetahui besarnya konsentrasi ion amonium, dilanjutkan dengan perhitungan fluks deposisi amonium dan menjalankan model Hybrid Single Particle Lagrangian Integrated Trajectory Model (HYSPLIT) untuk mengetahui trayektori polutan amonia untuk Serpong dan Bandung. Hasil penelitian menunjukkan kenaikan konsentrasi ion amonium dari tahun 2000–2018 untuk Serpong sebesar 2,64%, dengan konsentrasi tertinggi pada tahun 2013 sebesar 83 µmol/L. Sedangkan untuk Bandung mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 87,87% dengan konsentrasi terendah pada tahun 2010 sebesar 32 µmol/L. Karakteristik tren deposisi amonium bulanan menunjukkan kenaikan konsentrasi pada bulan Juli–Oktober. Pada musim penghujan, konsentrasi ion amonium lebih rendah bila dibandingkan dengan musim kemarau. Fluks deposisi amonium berfluktuasi setiap tahunnya dengan mengikuti pola curah hujan, dan mengalami kenaikan dari tahun 2000–2018 sebesar 35% untuk Serpong dan mencapai 272% untuk Bandung. HYSPLIT model menunjukkan trayektori polutan yang berasal dari wilayah Bali dan Nusa Tenggara untuk Serpong pada musim kemarau, sedangkan sumber polutan di Bandung, dapat berasal dari Australia. Pada musim penghujan, sumber polutan baik di Serpong maupun Bandung, berasal dari lautan.
Keywords: Deposisi, amonia, amonium, konsentrasi, tren
ABSTRACT
The concentration of ammonium in rainwater originated from the reaction of ammonia with rainwater forming ammonium ions. Ammonium ion has a neutralization factor for the acidity of rainwater. If the concentration is significantly high, it will cause various environmental phenomenon, such as eutrophication and soil acidification. The purpose of this study was to determine the trend of ammonium deposition temporally, either monthly, seasonally or annually in Serpong and Bandung. The data used are the weighted average data for the concentration of ammonium ion in rainwater from the year 2000 to 2018. Rainwater samples were analyzed using ion chromatography to determine the concentration of ammonium ions, then calculating the ammonium deposition flux and followed by running Hybrid Single Particle Lagrangian Integrated Trajectory Model (HYSPLIT) model to determine the trajectory ammonia in Serpong and Bandung. The results showed that the increased concentration of ammonium ion from 2000 - 2018 in Serpong was 2.64%, with the highest concentration in 2013 (83 µmol/L). Meanwhile, Bandung showed a significant increase of 87,87%, with the lowest concentration in 2010 (32 µmol/L). The monthly deposition trend characteristic showed an increase in ammonium concentration in July - October. As in the rainy season, the concentration of ammonium ion was lower than in the dry season. Ammonium deposition flux fluctuates every year following the rainfall pattern, and increased by 35% during 2000 – 2018 in Serpong and reached up to 272% in Bandung. The HYSPLIT model shows the trajectory of pollutants originating from Bali and Nusa Tenggara regions to Serpong during the dry season and from Australia to Bandung. Meanwhile, in the rainy season, the pollutant source originated fromthe ocean both for Serpong and Bandung. Kata kunci: Teknik analisik nuklir, AAN, PIXE,
XRF, geologi, lingkungan
Pengaruh Pemberian Variasi Bahan Organik
Terhadap Peningkatan Produksi Padi dan Penurunan Emisi Metana (CH
4)
di Lahan Sawah Tadah Hujan
The Effect of Organic Matters Variety on Increase Rice Yield
and Reduced Methane (CH
4) Emission in Rainfed Rice Field
Ika Ferry Yunianti, Hesti Yulianingrum, dan Miranti Ariani Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jawa Tengah
E-mail: bagusent@student.uns.ac.id
Diterima 14 Agustus 2020, direvisi 17 September 2020, disetujui 19 Oktober 2020
ABSTRAK
Pengaruh Pemberian Variasi Bahan Organik Terhadap Peningkatan Produksi Padi dan Penurunan Emisi Metana (CH4) di Lahan Sawah Tadah Hujan.Budidaya tanaman padi memegang
peranan penting dalam peningkatkan produksi pangan di Indonesia dan pembentukan emisi CH4 dari
lahan sawah. Pemberian bahan organik ke dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman, disisi lain dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca. Besaran emisi
CH4 akibat pemberian bahan organik tergantung pada kandungan C organik dan tingkat dekomposisinya.
Pemilihan bahan organik yang tepat perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi emisi CH4 tanpa
mengabaikan produktivitas tanah dan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bahan
organik yang dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menekan emisi CH4 dari budidaya tanaman
padi di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016-Januari 2017 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, yang merupakan salah satu daerah tadah hujan di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian disusun secara acak kelompok dengan 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali. Varietas padi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ciherang. Perlakuan terdiri dari : 1) kompos 5 ton/ha, 2) jerami padi 5 ton/ha, 3) biokompos 5 ton/ha, dan 4) tanpa bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi padi yang dihasilkan oleh
empat perlakuan secara berturut-turut adalah 4,76; 5,13; 4,72 dan 4,61 ton/ha dengan total emisi CH4
153; 281; 197; 143 kg/ha/musim, sedangkan nilai produksi padi per kg CH4 yang dihasilkan secara
berturut-turut adalah 31,1; 18,3; 24,0 dan 32,2. Pemberian bahan organik berupa kompos berpotensi
lebih optimal dalam meningkatkan produksi padi dan menurunkan emisi CH4 di lahan sawah tadah
hujan dibandingkan jerami padi dan biokompos.
Kata kunci:Produksi padi, emisi metana, bahan organik, sawah tadah hujan.
ABSTRACT
The Effect of Organic Matters Variety on Increase Rice Yield and Reduced Methane (CH4 ) Emission in Rainfed Rice Field. Rice cultivation has an important role in increasing rice yield and CH4 emissions from paddy fields in Indonesia. The application of organic matter to the soil could increasing soil quality and crop productivity; other than that, it could be causing greenhouse gas emissions. CH4 emission due to the application of organic matters depends on the C organic content and decomposition level. The selection of good organic matters needs to be done to reduce CH4 emission and keep soil and plant productivity. This study aimed to determine the variety of organic matter that can increase rice yield and reduce CH4 emission from rice cultivation in rainfed. The study was conducted in October 2016-January 2017 at the Research Station of the Indonesian Agriculture Environment Research Institute in Jakenan, which is one of the rainfed areas in Pati District, Central Java Province. The study was arranged
1. Pendahuluan
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hal yang wajib dicapai oleh pemerintah Indonesia untuk menjamin kelangsungan hidup penduduknya. Target Indonesia menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045 menuntut sektor pertanian untuk fokus dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi padi, tentunya dengan tetap menjaga kualitas lingkungan agar terwujud sistem pertanian yang berkelanjutan. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah Indonesia mulai memacu peningkatan produktivitas padi melalui pembukaan lahan sawah baru dan pemanfaatan lahan sub optimal seperti lahan kering dan lahan tadah hujan. Produktivitas dari daerah tadah hujan yang menyumbang sekitar 60% produksi pangan dunia perlu ditingkatkan (Mandal et al., 2020), namun upaya tersebut terkendala oleh rendahnya tingkat kesuburan tanah (Zhang et al., 2016). Lahan tadah hujan tidak dapat langsung dimanfaatkan secara optimal, oleh karenanya diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat. Untuk menciptakan kondisi tanah yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman diperlukan pemberian bahan organik dalam pengelolaannya (Ibrahim et al., 2015; Kasno
et al., 2016). Pemberian bahan organik dapat
memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah melalui peranannya sebagai penyediaan unsur hara, pembentuk struktur tanah serta meningkatkan aktivitas mikroorganisme
dalam tanah (Atmojo, 2003). Bahan organik mempunyai kandungan hara makro, hara mikro, zat pengatur tumbuh, dan asam-asam organik yang baik sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman (Muzaiyanah & Subandi, 2016).
Teknologi pengelolaan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan diperlukan dalam peningkatan produktivitas tanaman pangan, khususnya padi. Budidaya tanaman padi di lahan sawah merupakan salah satu kontributor emisi CH4 (Wassmann & Aulakh, 2000; Zou et al., 2005; Khosa et al., 2010), yaitu sekitar 9-11% dari emisi gas rumah kaca pertanian (Linquist et al., 2012). Metana merupakan gas yang berpengaruh terhadap terjadinya pemanasan global. Emisi CH4 di lahan sawah dipengaruhi oleh jenis tanah dan faktor lingkungan seperti rejim air, temperatur, bahan anorganik, dan bahan organik (Khosa et al., 2010). Pemberian bahan organik secara intensif ke lahan sawah menjadikan kondisi yang ideal bagi berlangsungnya dekomposisi anaerob oleh bakteri metanogen dan salah satu gas yang dihasilkan dari proses mikrobiologis tersebut adalah CH4 (Setyanto, 2002). Emisi CH4 yang dihasilkan dari budidaya tanaman padi di lahan sawah dinyatakan dalam CH4/ m2/hari dengan nilai tengah kurang dari 10 mg CH4/m2/hari (Le Mer & Roger, 2001). Rata-rata emisi CH4 yang dihasilkan dari lahan sawah tadah hujan berkisar antara 19-123 mg CH4/m2/hari, sedangkan dari lahan sawah irigasi berkisar antara 71-217 mg in a randomized design with four treatments and three replications. The variety used in this study is Ciherang. The treatment consists of 1) compost 5 t/ha, 2) rice straw 5 t/ ha, 3) biocompost 5 t/ha, and 4) without organic matter. The study showed that productivity of these four organic matters were 4,76; 5,13; 4,72 and 4,61 t/ha with total emission of CH4 153; 281; 197; 143 kg/ha/season, while the rice yield per kg of CH4 were 31,1; 18,3; 24,0 and 32,2 respectively. The results suggest that compost were more optimal for increase rice yield and reduced CH4 emission as compared to other organic matters.
CH4/m2/hari (Setyanto et al., 2000). Menurut hasil penelitian Wihardjaka (2015), emisi CH4 di lahan sawah tadah hujan dengan pemberian bahan organik yang berupa jerami segar lebih tinggi (340 kg CH4/ha/ musim) dibanding pupuk hijau Sesbania sp. (330 kg CH4/ha/musim), pupuk kandang (225 kg CH4/ha/musim) dan tanpa bahan organik (200 kg CH4/ha/musim).
Proses pembentukan CH4 dari dekomposisi bahan organik di lahan sawah dibantu oleh bakteri metanogen, bakteri bekerja secara optimal pada kondisi tanah yang jenuh air (Zhang et al., 2019). Bahan organik merupakan sumber unsur hara bagi pertumbuhan tanaman padi, namun disisi lain bahan organik juga sumber energi bagi bakteri metanogen dalam menghasilkan CH4. Peran bahan organik tersebut sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya dan tingkat kematangannya (Atmojo, 2003). Penerapan inovasi teknologi ramah lingkungan melalui pemilihan bahan organik yang tepat diharapkan dapat menekan emisi CH4 tanpa mengurangi produktivitas hasil tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas hasil sekaligus menekan emisi CH4 dari budidaya tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah tersedianya informasi mengenai jenis bahan organik yang mampu meningkatkan hasil padi sekaligus menurunkan emisi CH4, sehingga tercipta sistem pengelolaan tanah dan tanaman berkelanjutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
2. Metodologi
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2016-Januari 2017 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jaken, Pati, Jawa Tengah, yang terletak pada ketinggian 15 mdpl dengan titik
koordinat 111o10’ BT dan 6o45’LS. Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian merupakan wilayah tadah hujan dengan curah hujan kurang dari 1.600 mm/ tahun dan suhu rata-rata mencapai 21-30oC. Jenis tanah di lokasi penelitian termasuk dalam tanah Inceptisol yang mempunyai kandungan C organik rendah (1,89%), N total rendah (0,17%), P total rendah (0,04%), K total rendah (5,05%), dan KTK rendah (4,24 cmol/kg). Tekstur tanah Inceptisol adalah lempung berpasir yang tersusun atas 39% pasir, 50% debu, dan 11% liat (Mulyadi & Wihardjaka, 2014).
2. 2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain benih padi Ciherang, kompos, jerami padi, biochar tongkol jagung, pupuk Urea, pupuk SP-18, pupuk KCl, pestisida nabati, gas standar CH4, gas N2, gas H2 dan udara tekan. Biokompos yang digunakan merupakan campuran antara biochar tongkol jagung dan kompos dengan perbandingan 1:4. Alat yang digunakan antara lain bangku jalan, sungkup penangkap gas ukuran 50 x 50 x 100 cm, penampang sungkup ukuran 53 x 53 x 103
cm, syringe ukuran 10 ml, termometer,
penutup karet, baterai, stop watch, pH meter, bagan warna daun, meteran, timbangan, kromatografi gas, dan komputer.
2. 3. Rancangan Penelitian
Penelitian disusun secara acak berkelompok dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 12 plot. Perlakuan terdiri dari: 1) kompos 5 ton/ha, 2) jerami padi 5 ton/ha, 3) biokompos 5 ton/ha, dan 4) tanpa bahan organik.
2.4. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan tanah dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat olah tanah awal dan olah tanah lanjutan bersamaan dengan pemberian bahan organik. Benih padi disemai di lahan terpisah kemudian dipindahtanamkan pada plot berukuran 5 x 4 m dengan 2-3 bibit setiap lubang tanamnya. Jarak tanam yang
digunakan yaitu Jajar Legowo 2:1. Semua perlakuan diberikan tambahan pupuk Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis yang sama, yaitu masing-masing 92 kg N/ha, 60 kg P2O5/ ha dan 90 kg K2O/ha. Pupuk Urea dan KCl diberikan sebanyak 2 kali yaitu pada saat pemupukan dasar dan pemupukan lanjutan berdasarkan bagan warna daun, sedangkan pupuk SP-18 hanya diberikan sebagai pupuk dasar. Penelitian ini dilakukan pada saat musim penghujan 2016/2017 sehingga kebutuhan tanaman akan air dapat terpenuhi dari curah hujan dan kondisi lahan sawah selama periode pengamatan cukup lembab. Pengendalian gulma dan hama penyakit dilakukan dengan cara menyemprotkan pestisida nabati setiap dua minggu sekali pada semua perlakuan.
Penampang sungkup dan bangku jalan dipasang pada titik pengamatan sehari sebelum pengambilan sampel. Penampang sungkup dan bangku jalan dipasang secara permanen sehingga lokasi pengamatan tidak berubah. Pengambilan sampel CH4 di lapangan dilakukan dengan metode sungkup tertutup (Thakur et al., 2015). Pengambilan sampel CH4 dilakukan pada pagi hari
(06.00-07.00 WIB), sebanyak 5 kali yaitu pada fase anakan aktif (19 hari setelah tanam), anakan maksimum (38 hari setelah tanam), bunting (58 hari setelah tanam), pembungaan (74 hari setelah tanam), dan pemasakan (88 hari setelah tanam). Interval waktu yang digunakan dalam pengambilan sampel CH4 adalah 5, 10, 15, 20 dan 25 menit. Sampel CH4 disimpan dalam
syringe ukuran 10 ml yang sudah dilapisi
dengan kertas perak dan penutup karet pada ujung syringe, untuk kemudian dianalisis menggunakan kromatografi gas Shimadzu 8A yang dilengkapi dengan Flame Ionization
Detector (FID).
2. 5. Metode Analisis
Emisi CH4 dianalisa dengan
menggunakan persamaan IAEA (1992):
Dimana E adalah emisi CH4 (mg/m2/ hari), dc/dt adalah perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit), Vch adalah volume boks (m3), Ach adalah luas boks (m2), mW adalah berat molekul CH
4 (g), mV adalah volume molekul CH4 (22,41 l),
...(1)
Sumber : Yunianti et al., 2017
dan T adalah temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (oC).
Total emisi CH4 selama satu musim tanam dihitung menggunakan persamaan:
Dimana E adalah total emisi CH4 (kg/ha/musim), Fn adalah fluks kumulatif CH4 (mg/m2/hari), N adalah umur tanaman saat pindah tanam (hari), Ls adalah umur tanaman saat pengamatan terakhir (hari), dan H adalah umur tanaman dari benih sampai panen (hari).
Indeks produksi padi selama satu musim tanam dihitung menggunakan persamaan:
Parameter yang diamati antara lain pH tanah, jumlah anakan, gabah kering giling, berat 1000 butir, berat gabah isi, berat gabah hampa, biomassa akar dan jerami. Data dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5% menggunakan SPSS.
3. Hasil dan Pembahasan 3. 1. Fluks CH4
Pola fluks CH4 pada setiap fase pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 1. Fluks CH4 terendah dihasilkan oleh perlakuan kompos pada saat fase pembungaan yaitu sebesar 56 mg CH4/ m2/hari, sedangkan fluks CH
4 tertinggi dihasilkan oleh perlakuan biokompos pada saat fase pemasakan yaitu sebesar 714 mg CH4/m2/hari.
Pada awal fase pertumbuhan tanaman padi, bahan organik yang diberikan ke dalam tanah masih mengalami proses dekomposisi sehingga fluks CH4 yang dihasilkan dari empat perlakuan cukup tinggi. Pada fase anakan aktif fluks CH4 tertinggi dihasilkan oleh perlakuan jerami padi (586 mg/m2/ hari), sedangkan terendah pada perlakuan biokompos (152 mg/m2/hari). Jerami padi mempunyai kandungan lignin, hemiselulose, dan selulose yang cukup tinggi, sehingga proses dekomposisi jerami oleh mikroorganisme membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Fluks CH4 dan persen karbon tambahan yang diemisikan
..(2)
...(3)
Sumber Data : Yunianti et al., 2017
sebagai CH4 secara signifikan berkorelasi dengan rasio C:N, rasio lignin:N, kandungan selulosa dan hemiselulosa dari bahan organik yang ditambahkan (Khosa et al., 2010). Pemberian jerami padi meningkatkan laju emisi CH4 musiman sebesar 88%, kehadiran jerami padi sisa pertanaman sebelumnya memberikan sumber tambahan karbon dalam proses metanogenesis yang memacu produksi CH4 dan menghambat oksidasi CH4 sehingga menyebabkan CH4 ke atmosfer dalam jumlah yang besar (Liu et al., 2017).
Pada saat tanaman padi memasuki fase anakan maksimum dan fase pembungaan terjadi penurunan fluks CH4 pada semua perlakuan, hal ini disebabkan karena bahan organik yang diberikan sudah terdekomposisi sempurna. Selain itu pada umur tersebut tanaman padi menguraikan hasil fotosintesis secara efisien untuk pembentukan anakan dan pengisian biji padi. Semakin efisien tanaman padi dalam mengurai hasil fotosintesis maka semakin kecil eksudat akar yang dilepaskan ke dalam tanah sehingga CH4 yang dihasilkan juga semakin rendah (Aulakh et al., 2001). Fluks CH4 mengalami peningkatan saat tanaman padi memasuki fase bunting dan pemasakan. Fluks CH4 yang dihasilkan pada saat tanaman padi berumur 58 hari setelah tanam hampir seragam antar perlakuan yaitu berkisar antara 239-246 mg/m2/hari. Fluks CH
4 yang dihasilkan pada saat fase pemasakan sangat fluktuatif yaitu berkisar antara 135-714 mg/m2/hari, namun antar perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Fluks CH4 tersebut jauh lebih rendah jika dibanding hasil penelitian Kartikawati et al. (2017), dimana fluks CH4 yang diemisikan oleh padi Ciherang pada saat fase reproduktif adalah sekitar 446 mg/m2/hari.
3. 2. Total Emisi CH4
Total emisi CH4 yang dihasilkan tanaman padi disajikan pada Gambar 2. Pemanfaatan bahan organik ke dalam tanah sawah memberikan pengaruh yang baik
terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Adhya et al., 2000; Atmojo, 2003), selain itu juga menghasilkan produk pertanian dengan kualitas yang baik sehingga aman untuk dikonsumsi. Disisi lain, penambahan bahan organik ternyata dapat memberikan dampak yang negatif karena berperan dalam melepaskan emisi CH4 ke atmosfer, utamanya pada bahan organik yang belum terdekomposisi secara sempurna. Emisi CH4 yang dihasilkan akibat pemberian bahan organik bergantung pada kandungan C organik dalam tanah dan tingkat dekomposisi atau rasio C/N dari bahan organik tersebut. Pupuk kandang yang matang dapat digunakan untuk memperbaiki produksi padi dan menurunkan emisi CH4 yang dilepaskan ke atmosfer dari lahan sawah (Wihardjaka, 2015).
Total emisi CH4 tertinggi dihasilkan oleh perlakuan jerami (281 kg/ha/musim), diikuti oleh biokompos (197 kg/ha/musim), kompos (153 kg/ha/musim) dan tanpa bahan organik (143 kg/ha/musim). Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa rata-rata emisi CH4 yang dihasilkan dari keempat perlakuan berbeda secara nyata (P = 0,043 atau <0,05). Emisi CH4 yang dihasilkan oleh perlakuan jerami padi mempunyai perbedaan yang nyata dengan tanpa bahan organik, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kompos dan biokompos. Menurut Sutrisna et al., (2016), hasil dekomposisi jerami berupa asam-asam organik merupakan substrat tersedia bagi bakteri metanogen untuk memproduksi CH4. Perlakuan jerami padi menghasilkan emisi CH4 96,50% lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa bahan organik. Pemberian bahan organik berupa jerami dapat berpengaruh terhadap produksi kumulatif CH4 (Kongchum, 2005). Pemberian jerami padi ke lahan sawah menciptakan kondisi yang menguntungkan dalam proses produksi CH4. Peningkatan emisi CH4 kumulatif yang dipicu oleh penambahan jerami padi disebabkan oleh peningkatan laju pembentukan CH4 atau
penurunan laju oksidasi CH4 pada tanah sawah, mengingat emisi CH4 netto di dalam tanah bergantung pada keseimbangan antara CH4 pembentukan dan oksidasi CH4 (Tan et al., 2018).
Pemberian biokompos menghasilkan emisi CH4 42,64% lebih rendah dibanding jerami. Salah satu bahan penyusun biokompos yang digunakan dalam penelitian ini adalah biochar, dimana biochar ini dapat berfungsi sebagai bahan amelioran. Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam upaya mengurangi emisi emisi gas rumah kaca di lahan pertanian adalah biochar (Lehmann & Joseph, 2012). Biochar memiliki kemampuan dalam melepaskan karbon dan nitrogen secara perlahan, selain itu di dalam biochar juga terdapat pori yang dapat dimanfaatkan sebagai habitat bagi berbagai mikroba tanah (Annisa & Nusyamsyi, 2016). Kompos menghasilkan total emisi CH4 yang paling rendah dibandingkan dengan bahan organik lainnya, hal ini disebabkan karena kompos yang digunakan sudah terdekomposisi secara sempurna sehingga emisi CH4 yang dihasilkan cukup rendah. Menurut Wihardjaka (2015), pupuk organik matang dengan nisbah C/N rendah seperti
kompos dan pupuk kandang menghasilkan emisi CH4 yang lebih rendah dibanding pupuk organik yang memiliki nisbah C/N tinggi seperti jerami dan pupuk hijau.
3. 3.Derajat Kemasaman Tanah (pH)
Hasil pengukuran pH tanah pada setiap fase pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 3. Nilai pH tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa bahan organik yaitu sebesar 6,42 pada saat tanaman padi berumur 19 hari setelah tanam, sedangkan pH terendah dihasilkan oleh perlakuan jerami yaitu sebesar 5,70 pada saat tanaman padi berumur 38 hari setelah tanam. Perlakuan biokompos dapat meningkatkan nilai pH tanah meskipun masih dalam kategori asam, sedangkan perlakuan jerami justru menurunkan pH tanah. Hal ini disebabkan karena biokompos yang diberikan ke dalam tanah sawah sudah dalam keadaan matang. Besaran nilai pH tanah tergantung dari tingkat kematangan bahan organik yang diberikan, jika bahan organik belum matang maka akan menyebabkan penurunan pH tanah dikarenakan bahan organik belum terdekomposisi dengan baik dan masih melepaskan asam-asam organik (Atmojo, 2003).
Sumber Data : Yunianti et al., 2017
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran pH sama dengan pola pada emisi CH4 pada setiap fase pertumbuhan tanaman padi. Penurunan pH yang terjadi pada saat tanaman padi berumur 38 hari setelah tanam menyebabkan terjadinya penurunan emisi CH4. Salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi aktivitas bakteri metanogen dan metanotrof adalah pH tanah (Jeffery et al., 2016). pH tanah mengatur reaksi kimia dan enzim pada mikroorganisme (Luo & Zhou, 2006). Sebagian besar bakteri metanogen adalah neutrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH optimum antara 6-8 (Jeffery
et al., 2016). Perubahan kecil pada pH tanah
akan menyebabkan perubahan pembentukan CH4.
3. 4.Jumlah Anakan
Jumlah anakan padi setiap fase pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Tabel 1. Jumlah anakan padi yang terbentuk oleh semua perlakuan pada saat fase pertumbuhan yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena tanaman padi yang digunakan dalam penelitian ini hanya satu varietas saja sehingga tidak ada perbedaan
faktor genetik. Pada saat fase anakan aktif jumlah anakan yang dihasilkan hanya berkisar antara 5-7 anakan. Jumlah anakan tanaman padi mulai mengalami peningkatan saat memasuki fase anakan maksimum, kemudian mulai berkurang jumlahnya saat memasuki fase bunting, fase pembungaan, dan fase pemasakan. Hal ini disebabkan karena ketersediaan air pada saat fase awal pertumbuhan tanaman padi masih tercukupi dengan baik jika dibandingkan dengan fase bunting yang ketersediaan airnya semakin berkurang. Pengelolaan air pada budidaya padi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan anakan padi, terutama pada saat fase vegetatif (Muttaqien et al., 2018).
Sifat morfologi tanaman seperti jumlah anakan merupakan salah satu faktor yang berhubungan langsung dengan besar kecilnya CH4, karena berperan dalam proses transportasi CH4 (Zhang et al., 2015). Jumlah anakan maksimum terjadi saat tanaman berumur 38 HST dimana jumlahnya meningkat sebesar 45%, 36%, dan 27% secara berturut-turut pada perlakuan biokompos, kompos dan jerami dibanding tanpa bahan organik. Meningkatnya jumlah anakan akan Sumber Data : Yunianti et al., 2017
berpengaruh terhadap besarnya emisi CH4 yang dihasilkan. Biasanya jumlah anakan mempunyai hubungan yang positif dengan kapasitas transportasi CH4 oleh tanaman padi, dimana semakin banyak jumlah anakan maka emisi CH4 yang dilepaskan ke atmosfer juga akan semakin besar, hal ini dikarenakan kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima yang berfungsi sebagai jalan keluarnya CH4 juga semakin meningkat (Aulakh et al., 2002). Namun penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu saat jumlah anakan maksimum fluks CH4 yang dihasilkan justru mengalami penurunan di semua perlakuan. Hal ini disebabkan karena selain jumlah anakan masih terdapat faktor lain yang bisa mempengaruhi emisi CH4 seperti proses yang terjadi di bawah permukaan tanah. Tanaman padi bagian atas bisa mempengaruhi emisi CH4 karena dapat berfungsi sebagai saluran transportasi CH4 (Zhang et al., 2015) namun belum tentu memainkan peranan utama karena transportasi bukanlah faktor pembatas dari emisi CH4. Emisi gas rumah kaca khususnya CH4 umumnya lebih disimulasi oleh proses biogeokimia yang terjadi di sawah (Zhang et al., 2011).
3. 5.Produksi Padi
Berat 1000 butir, berat gabah hampa, berat gabah isi, biomassa atas, biomassa bawah tanaman padi pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Perlakuan kompos
menghasilkan berat 1000 butir dan berat gabah isi yang cukup tinggi namun belum bisa menghasilkan gabah yang maksimum. Hal ini disebabkan karena berat gabah hampa yang dihasilkan pada perlakuan ini juga lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Biomassa atas dan bawah terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa bahan organik, faktor rendahnya biomassa inilah yang juga berkontribusi terhadap rendahnya emisi CH4 yang dihasilkan oleh perlakuan tanpa bahan organik. Biomassa memberi pengaruh terhadap emisi gas rumah kaca (Wang et al., 2017). Biomassa akar yang rendah pada perlakuan tanpa bahan organik kemungkinan karena eksudat akar yang dihasilkan rendah sehingga ketersediaan substrat bagi bakteri metanogen dalam mengasilkan CH4 juga menjadi rendah.
Produksi padi terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa bahan organik (4,61 ton/ha), sedangkan yang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan jerami (5,13 ton/ha). Perlakuan kompos dan biokompos masing-masing menghasilkan gabah sebesar 4,76 dan 4,72 ton/ha. Perlakuan jerami menghasilkan gabah 11,28% lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa bahan organik. Perlakuan kompos dan biokompos masing-masing menghasilkan gabah 3,25% dan 2,39% lebih tinggi dibandingkan tanpa bahan organik. Perlakuan jerami menghasilkan emisi CH4 96,50% lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa bahan organik. Perlakuan kompos dan
Tabel 1. Jumlah Anakan Pada Setiap Fase Pertumbuhan Tanaman Padi
Perlakuan Fase anakan Jumlah Anakan Tanaman Padi
aktif Fase anakan maksimum Fase bunting pembungaanFase pemasakan Fase
Kompos 5a 15a 13a 13a 11a
Jerami 6a 14a 11a 11a 10a
Biokompos 7a 16a 13a 13a 11a
Tanpa Bahan
Organik 5a 11a 10a 8a 9a
biokompos masing-masing menghasilkan emisi CH4 6,99% dan 37,76% lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa bahan organik.
Nilai produksi padi per kg CH4 disajikan pada Tabel 2. Perlakuan jerami menghasilkan produksi padi yang tertinggi dibanding perlakuan lainnya, namun disisi lain perlakuan ini juga menghasilkan emisi CH4 tertinggi. Peningkatan produksi padi harus diselaraskan juga dengan upaya untuk menekan emisi gas rumah kaca, sehingga aspek kelestarian lingkungan dapat terwujud secara berkelanjutan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan pemanfaatan bahan organik yang dapat memberikan produksi padi yang optimal sekaligus dapat menekan emisi CH4 yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan organik yang dapat menghasilkan produksi padi yang optimal sekaligus dapat menekan emisi CH4 secara berturut-turut adalah kompos, biokompos dan jerami yang masing-masing menghasilkan nilai produksi padi per kg CH4 sebesar 31,11; 23,95 dan 18,25. Dengan demikian perlakuan bahan organik yang dianjurkan dalam budidaya padi di lahan sawah tadah hujan adalah kompos, kerena mampu meningkatkan produksi padi dan menurunkan emisi CH4.
4. Simpulan
Pemberian bahan organik pada lahan sawah menghasilkan emisi CH4 yang lebih besar dibanding tanpa bahan organik. Adanya bahan organik berpengaruh terhadap besaran emisi CH4 yang dihasilkan dari proses dekomposisi. Oleh karena itu penggunaan bahan organik yang tepat perlu dilakukan untuk menekan emisi CH4 sekaligus meningkatkan produktivitas tanaman. Bahan organik berupa kompos berpotensi menekan emisi CH4 dan menghasilkan produksi padi yang lebih optimal dibandingkan jerami padi dan biokompos.
5. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Jumari, Yono, dan Susanto selaku teknisi yang membantu selama kegiatan di lapang, serta Ibu Titi Sophiawati, Sri Wahyuni, dan Hilda Amelia selaku analis yang membantu selama kegiatan di laboratorium.
6. Kepengarangan
Penulis mempunyai kontribusi yang berbeda dalam makalah ini. Ika Ferry Yunianti adalah kontributor utama dalam pengolahan data statistik dan penyusunan makalah. Hesti Yulianingrum dan Miranti Ariani adalah kontributor anggota yang
Tabel 2. Produksi Padi di Lahan Sawah Tadah Hujan
Perlakuan Komponen Hasil Biomas Atas (g) Biomas Bawah (g) GKG (ton/ ha) Produksi Padi per Kg CH4 Berat 1000 Butir (g) Berat Gabah Hampa (g) Berat Gabah Isi (g)
Kompos 28,58a 3,94a 30,09a 38,10a 7,57a 4,76ab 31,11
Jerami 26,95a 2,84a 25,88a 28,96a 4,95a 5,13a 18,25
Biokompos 27,61a 2,92a 30,35a 37,90a 5,42a 4,72ab 23,95
Tanpa Bahan
Organik 27,84a 2,14a 24,21a 28,23a 3,62a 4,61b 32,23
membantu dalam mencari literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Adhya, T. K., Bharati, K., Mohanty, S. R., Ramakrishnan, B., Rao, V. R., Sethunathan, N., & Wassmann, R. (2000). Methane
emission from rice fields at Cuttack, India. Nutrient Cycling in Agroecosystems, 58(1–3), 95–105. doi://10.1023/A:1009886317629. Annisa, W., & Nusyamsyi, D. (2016). Pengaruh
amelioran, pupuk dan sistem pengelolaan tanah sulfat masam terhadap hasil padi
dan emisi metana. Jurnal Tanah dan
Iklim, 40(2), 135–145. doi://10.21082/jti. v40n2.2016.135-145.
Atmojo, S. W. (2003). Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan
upaya pengelolaannya. Sebelas Maret
University Press, 36. doi://10.1017/ CBO9781107415324.004.
Aulakh, M. S., Wassmann, R., Bueno, C., Kreuzwieser, J., & Rennenberg, H. (2001). Characterization of root exudates at different
growth stages of ten rice (Oryza sativa L.)
cultivars. Plant Biology, 3(2), 139–148.
doi://10.1055/s-2001-12905.
Aulakh, M. S., Wassmann, R., & Rennenberg, H. (2002). Methane transport capacity of
twenty-two rice cultivars from five major
Asian rice-growing countries. Agriculture,
Ecosystems and Environment, 91(1–3), 59– 71. doi://10.1016/S0167-8809(01)00260-2.
IAEA. (1992). Manual on measurement of
methane and nitrous oxide emission from agriculturure. Manual on Measurement ofMethane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural. Austria: International Atomic Energy Agency.
Ibrahim, M., Cao, C. G., Zhan, M., Li, C. F., & Iqbal, J. (2015). Changes of CO2 emission
and labile organic carbon as influenced
by rice straw and different water regimes.
International Journal of Environmental Science and Technology, 12(1), 263–274. doi://10.1007/s13762-013-0429-3.
Jeffery, S., Verheijen, F. G. A., Kammann, C., & Abalos, D. (2016). Biochar effects on
methane emissions from soils: A
meta-analysis. Soil Biology and Biochemistry,
101, 251–258. https://doi.org/10.1016/j.
soilbio.2016.07.021.
Kartikawati, R., Yunianti, I. F., & Wihardjaka, A. (2017). Pemanfaatan lahan tadah hujan untuk budidaya padi unggul dalam menghadapi
perubahan iklim. Jurnal Lahan Suboptimal,
6(2), 142–149.
Kasno, A., Rostaman, T., & Setyorini, D. (2016). Increasing productivity of rainfed area with N, P, and K fertlizers and use of high yielding varieties. Journal of Soil and Climate, 40(2), 147–157.
Khosa, M. K., Sidhu, B. S., & Benbi, D. K. (2010). Effect of organic materials and rice cultivars
on methane emission from rice field. Journal of Environmental Biology, 31(3), 281–285. Kongchum, M. (2005). Effect of plant residue
and water management practices on soil redox chemistry, methane emission, and
rice productivity. A Doctoral Dissertations.
Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College, 1–202.
Le Mer, J., & Roger, P. (2001). Production, oxidation, emission and consumption of
methane by soils: A review. European Journal
of Soil Biology, 37(1), 25–50. doi://10.1016/ S1164-5563(01)01067-6.
Lehmann, J., & Joseph, S. (2012). Biochar for
environmental management: Science and technology. Biochar for Environmental Management: Science and Technology. doi://10.4324/9781849770552.
Linquist, B., Van Groenigen, K. J., Adviento-Borbe, M. A., Pittelkow, C., & Van Kessel, C. (2012). An agronomic assessment of greenhouse gas emissions from major
cereal crops. Global Change Biology,
18(1), 194–209.
doi://10.1111/j.1365-2486.2011.02502.x.
Liu, G., Ma, J., Yang, Y., Yu, H., Zhang, G., & Xu, H. (2017). Effects of straw incorporation methods on nitrous oxide and methane emissions from a wheat-rice rotation system.
Pedosphere, 29(2), 204–215. doi://10.1016/ S1002-0160(17)60410-7.
Luo, Y., & Zhou, X. (2006). Soil respiration
and the environtment. California, USA: Academic Press in an imprint of Elsevier.
Mandal, S., Vema, V. K., Kurian, C., & Sudheer, K. P. (2020). Improving the crop productivity in rainfed areas with water harvesting
structures and deficit irrigation strategies. Journal of Hydrology, 586(March), 124818. doi://10.1016/j.jhydrol.2020.124818.
Mulyadi, & Wihardjaka, A. (2014). Emisi gas rumah kaca dan hasil gabah dari tiga varietas padi pada lahan sawah tadah hujan bersurjan.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 33(2), 116. doi://10.21082/jpptp. v33n2.2014.p116-121.
Muttaqien, K., Ariffin, & Wardiyati, T. (2018).
Evaluasi dampak sistem pengelolaan air pada
budidaya padi ( Oryza sativa L .). Jurnal
Produksi Tanaman, 6(8), 1810–1817.
Muzaiyanah, S., & Subandi. (2016). Peranan bahan organik dalam peningkatan produksi kedelai
dan ubi kayu pada lahan kering masam. Iptek
Tanaman Pangan, 11(2), 149–158.
Setyanto, P., Makarim, A. K., Fagi, A. M., Wassmann, R., & Buendia, L. V. (2000). Crop management affecting methane emissions from irrigated and rainfed rice
in Central Java (Indonesia). Nutrient
Cycling in Agroecosystems, 58(1–3), 85–93. doi://10.1023/A:1009834300790.
Setyanto, Prihasto. (2002). Mitigasi gas metan dari lahan sawah. In Lahan Sawah dan Pengelolaannya. Badan Litbang Pertanian (pp. 289–305).
Sutrisna, N., Surdianto, Y., & Marbun, O. (2016). Pengaruh pemberian jerami dan varietas padi inbrida terhadap emisi gas rumah kaca di
lahan sawah irigasi. Jurnal Tanah dan Iklim,
40(2), 79–85. doi://10.2017/jti.v40i2.5517.
Tan, W., Yu, H., Huang, C., Li, D., Zhang, H., Jia, Y., … Xi, B. (2018). Discrepant responses of methane emissions to additions with different organic compound classes of rice
straw in paddy soil. Science of the Total
Environment, 630, 141–145. doi://10.1016/j. scitotenv.2018.02.230.
Thakur, A. K., Kassam, A., Stoop, W. A., Uphoff, N., Barton, L., Wolf, B., … Yagi,
K. (2015). Guidelines for measuring CH4
and N2O emissions from rice paddies by a
manually operated closed chamber method.
Scientific reports (Vol. 235). doi://10.1016/j. agee.2016.10.011.
Wang, C., Lai, D. Y. F., Sardans, J., Wang, W., Zeng, C., & Peñuelas, J. (2017). Factors related with
CH4 and N2O emissions from a paddy field:
Clues for management implications. PLoS
ONE, 12(1), 1–23. https://doi.org/10.1371/
journal.pone.0169254.
Wassmann, R., & Aulakh, M. S. (2000). The role of rice plants in regulating mechanisms of
methane missions. Biology and Fertility
of Soils, 31(1), 20–29. doi://10.1007/ s003740050619.
Wihardjaka, A. (2015). Mitigation of methane emission through lowland management.
Journal Litbang Pertanian, 32(2), 95–104. Zhang, D., Pan, G., Wu, G., Kibue, G. W., Li,
L., Zhang, X., … Liu, X. (2016). Biochar helps enhance maize productivity and reduce greenhouse gas emissions under balanced fertilization in a rainfed low fertility
inceptisol. Chemosphere, 142, 106–113.
doi://10.1016/j.chemosphere.2015.04.088. Zhang, H., Liu, H., Hou, D., Zhou, Y., Liu, M.,
Wang, Z., … Yang, J. (2019). The effect of integrative crop management on root growth
and methane emission of paddy rice. The
Crop Journal, 7, 444–457.
Zhang, Y., Jiang, Y., Li, Z., Zhu, X., Wang, X., Chen, J., … Zhang, W. (2015). Aboveground morphological traits do not predict rice
variety effects on CH4 emissions. Agriculture,
Ecosystems & Environment, 208, 86–93. doi://10.1016/j.agee.2015.04.030.
Zhang, Y., Wang, Y. Y., Su, S. L., & Li, C. S.
(2011). Quantifying methane emissions
from rice paddies in Northeast China by integrating remote sensing mapping with
a biogeochemical model. Biogeosciences
Discussions, 8(1), 385–414. doi://10.5194/ bgd-8-385-2011.
Zou, J., Huang, Y., Jiang, J., Zheng, X., & Sass,
R. L. (2005). A 3-year field measurement
of methane and nitrous oxide emissions from rice paddies in China: Effects of water regime, crop residue, and fertilizer
application. Global Biogeochemical Cycles,