• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah (Quthb dalam Sangidu,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah (Quthb dalam Sangidu,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi dan pengajaran (Sangidu, 2004: 35). Secara leksikal sastra dapat diartikan sebagai alat atau sarana untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi dalam hal apapun yang diimajikan serta harapan pengarang. Karya sastra adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah (Quthb dalam Sangidu, 2004: 38). Dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri-ciri khas kesusatraan (Ratna, 2010: 5).

Wujud karya sastra mempunyai dua aspek penting, yaitu isi dan bentuk. Isinya adalah tentang pengalaman hidup manusia, sedangkan bentuknya adalah segi-segi yang menyangkut cara penilaian, yaitu cara sastrawan memanfaatkan bahasa yang indah untuk mewadahi isinya (Semi, 1988: 8). Menurut Teeuw (1984: 136), karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya memiliki ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri.

Novel merupakan salah satu contoh karya sastra. Novel memiliki struktur cerita yang panjang jika dibandingkan dengan cerpen. Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita. Menurut Edgar Allan Poe (via Nurgiyantoro, 2007: 10) cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira

(2)

berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit. Membaca sebuah novel, untuk sebagian besar orang hanya ingin menikmati cerita yang disuguhkan. Mereka hanya akan mendapat kesan secara umum dan sama tentang plot dan bagian cerita tertentu yang menarik (Nurgiyantoro, 2007: 12).

Fisik novel yang panjang akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil salah satunya alur cerita, padahal setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode. Setiap episode tersebut terdiri atas berbagai macam topik yang berlainan. Episode-episode dan bab-bab tersebut sangat mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain (dari segi tema ataupun topik pembicaraan). Istilah episode dalam fiksi hampir mirip dengan adegan dalam drama. Pergeseran dari satu episode ke episode lain bisa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter (Stanton, 2007: 90-91).

Noruwei no Mori merupakan salah satu contoh karya fiksi novel yang ditulis oleh pengarang asal Jepang bernama Haruki Murakami. Novel Noruwei no Mori dinamakan sama seperti lagu The Beatles, “Norwegian Wood (The Bird Has Flown)”. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Toru Watanabe. Watanabe selalu terbayang akan masa lalunya ketika mendengar alunan lagu Norwegian Wood.

(3)

Pada novel ini, pembaca diajak melihat gambaran kehidupan anak muda di Jepang pada dekade 1960-an dengan tokoh “aku” atau yang bernama Toru Watanabe sebagai pengarahnya. Pada awal cerita, Watanabe adalah laki-laki berusia delapan belas tahun yang ingin memulai kehidupan baru setelah sahabatnya semasa SMA yang bernama Kizuki bunuh diri. Menghindari persaingan ketat memasuki perguruan tinggi negeri di Jepang, ia memilih melanjutkan studinya di jurusan teater sebuah universitas swasta biasa di Tokyo. Watanabe pun tinggal di sebuah asrama dan ia mulai bertemu dan tanpa disadari menjalin keterikatan dengan teman-teman yang tidak biasa dengan masalah dan keunikan mereka masing-masing.

Salah satu teman Watanabe adalah Naoko. Naoko adalah kekasih dari Kizuki, sahabat Watanabe sewaktu SMA yang meninggal karena bunuh diri. Ketika menjalani masa studinya di perguruan tinggi, tanpa sengaja Watanabe bertemu lagi dengan Naoko di kereta menuju lenchuo. Dari pertemuan itu Watanabe lalu menjalin hubungan yang sangat dekat namun tidak bisa juga dikatakatan sebagai hubungan sepasang kekasih dengan Naoko. Hubungan ini mengalami banyak rintangan karena kondisi Naoko yang mengalami masalah kejiwaan yang cukup serius. Hal ini pun berpengaruh pada kondisi Watanabe yang akhirnya menjadi labil dan mudah terbawa oleh lingkungan.

Selain itu juga diceritakan perkenalan Watanabe dengan seorang gadis bernama Midori yang satu kelas pelajaran Sejarah Drama II dengannya. Midori mempunyai sifat yang berbanding terbalik dengan Naoko. Ia adalah seorang gadis yang ceria dan selalu terbuka pada siapa saja. Sifat Midori inilah yang membuat

(4)

Watanabe tertarik karena mampu memberikan Watanabe sebuah keceriaan yang selama ini tidak pernah dia temukan bersama Naoko. Perkenalannya dengan Midori pun berlanjut jauh menjadi suatu hubungan yang bisa dibilang istimewa. Meskipun begitu, Watanabe tidak bisa begitu saja mencintai Midori dikarenakan perasaannya yang masih mendalam terhadap Naoko dan keinginannya untuk menunggu Naoko sembuh dari penyakitnya. Di sisi lain, Naoko meminta Watanabe untuk tidak menunggu dirinya karena Naoko sendiri merasa ia mengalami masalah kejiwaan yang sangat parah dan sudah sangat mengakar sehingga sulit untuk mencapai kesembuhan total. Watanabe seperti dihadapkan pada pilihan yang sulit antara tetap bertahan pada masa lalunya atau maju menatap masa depannya.

Haruki Murakami adalah seorang penulis novel yang terkenal di Jepang pada era 1980-an. Dia lahir di Kyoto pada 1949 dan besar di Shukugawa, Kobe. Pada usia 18 tahun, Murakami masuk Universitas Waseda jurusan seni drama Yunani namun, dia lebih senang membaca naskah film di perpustakaan daripada mengikuti perkuliahan.

Haruki Murakami merupakan salah satu sastrawan Jepang yang karya-karyanya dipengaruhi oleh kesusastraan Inggris dan Amerika. Noruwei no Mori merupakan novel keempat dari Haruki Murakami yang terbit pada tahun 1987, kemudian muncul novel terjemahan bahasa Inggrisnya dua tahun kemudian. Novel Noruwei no Mori mampu membawa Murakami menjadi sastrawan terkenal tidak hanya di Jepang namun di beberapa negara lainnya. Sebelumnya,

(5)

penghargaan Gunzo Prize (1979) telah diterima Murakami untuk novel pertamanya yang berjudul Kaze no Uta o Kike (Hear The Wind Sing).

Noruwei no Mori mampu menarik pembaca untuk terus membacanya sampai akhir. Penyajian Noruwei no Mori membantu pembaca lebih peka melihat situasi sosial di Jepang pada era tahun 1960-an. Novel ini memberikan sajian westernisasi yang sangat kental di Jepang pada era tersebut. Hal ini ditandai dengan seks bebas, minum-minuman keras, dan jenis-jenis musik seperti The Beatles, Stevie Wonder, Bob Dylan, Simon and Garfunkel, serta para pemusik sejamannya yang mengalun mengiringi penceritaan dari novel ini. Murakami sepertinya ingin memberikan kesan “negeri barat” di Jepang yang dituangkannya dalam novel ini. Penulis ingin tahu lebih banyak apa yang membuat Noruwei no Mori menarik pembaca untuk membaca terus sampai akhir. Menurut penulis, kekuatan penyajian novel ini berperan besar dalam menghasilkan daya pikat dan daya gugahnya. Oleh karena itu penulis akan menelusuri plot novel Noruwei no Mori.

Penelitian mengenai masalah penyajian Noruwei no Mori perlu dilakukan karena masalah penyajian merupakan masalah penting dan tidak dapat dikesampingkan dalam penciptaan karya sastra yang baik. Penelitian ini dibatasi pada plot. Alasannya plot merupakan unsur yang paling menonjol dalam memunculkan aspek estetis penyajian Noruwei no Mori. Menurut penulis, plot Noruwei no Mori mampu membuat pembacanya terlibat secara emosional. Plot juga membuat pembaca tidak dapat berhenti sampai tuntas membaca karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang menimbulkan rasa ingin tahu pada apa

(6)

yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan keingintahuan yang lengkap tentang apa yang sedang terjadi. Selain itu, plot merupakan tulang punggung cerita. Penelitian plot Noruwei no Mori dapat memberikan informasi unsur-unsur lain, yaitu latar, tokoh, penokohan, tema, dan sarana sastra sekaligus.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian adalah struktur plot Noruwei no Mori dan aspek estetis yang dimunculkannya, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur plot Noruwei no Mori?

2. Bagaimanakah aspek estetik yang dimunculkan oleh struktur plot novel Noruwei no Mori?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan pokok yaitu tujuan teoritis atau tujuan ilmiah dan tujuan praktis atau tujuan pragmatis.Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk mencari aspek estetis yang dimunculkan oleh struktur plot Noruwei no Mori menggunakan teori struktur plot Robert Stanton.Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah meningkatkan apresiasi pembaca terhadap Noruwei no Mori.

1.4 Tinjauan Pustaka

Karya Sastra yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haruki Murakami dengan judul Noruwei no Mori. Novel

(7)

ini sebelumnya pernah dianalisis oleh Dhian Ekowati sebagai skripsi mahasiswi Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011. Dhian mengambil judul Motif Bunuh Diri Tokoh Naoko dalam Novel Noruwei no Mori.Penelitian tersebut menggunakan teori personologi Henry Murray yang merumuskan teori kebutuhan atau teori motif di mana kebutuhan-kebutuhan tersebut mendorong manusia untuk bertindak atau berperilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan atau motif yang ada pada diri Naoko adalah kebutuhan otonomi, kebutuhan mengimbangi, kebutuhan sex, dan kebutuhan penolakan. Keputusan Naoko bunuh diri dipengaruhi oleh motif-motif tersebut.

Novel Noruwei no Mori juga pernah diteliti sebagai tesis oleh mahasiswa jurusan Regional Studies-East Asia Hardvard University, Jacqueline Ostrofsky (2011) dengan judul Progressive Women and non-Mainstream Men; Analyzing Feminist Elements in Haruki Murakami Novels. Jacqueline memfokuskan penelitian pada tiga karya Murakami yaitu Norwegian Wood, Sputnik Sweatheart, dan The Wind-Up Bird Chronicle dengan melihat bagaimana wanita selalu diposisikan sebagai sexual minorities dan selalu menjadi korban dari perbedaan gender.

Dian Annisa Nur Ridha dari Pascasarjana Ilmu Sastra UGM, dalam tesisnya yang berjudul Pandangan Dunia dalam Novel Noruwei no Mori Karya Murakami Haruki: Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann pada tahun 2013. Dalam penelitian tersebut, Dian meneliti struktur novel Noruwei no Mori dan mengetahui pandangan dunia kelas sosial yang ada didalamnya menggunakan teori Lucien Goldmann. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa judul

(8)

novel Noruwei no Mori sama dengan judul lagu Norwegian Wood karya The Beatles. Persamaan yang ada di dalam judul dan lagu berupa struktur isi yaitu unsur masa lalu yang dikenang, masa kini, dan tokoh manusia yang memilih di antara keduanya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang selalu mempertahankan harmoni sebagai nilai-nilai otentik dalam kehidupannya demi keseimbangan antara dirinya sendiri dengan manusia di sekelilingnya dan dengan alamnya.

Selain itu, Sarah Matari juga merupakan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra UGM dalam tesisnya yang berjudul Makna Seksualitas dalam Novel Noruwei no Mori karya Haruki Murakami: Analisis Feminisme Psikoanalisis pada tahun 2014. Penelitian ini menggunakan teori Feminism Psikoanalisis dari Juliet Mitchell guna melihat bagaimana makna seksualitas di dalam kehidupan seorang individu. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa seksualitas digunakan oleh pengarang sebagai reaksi terhadap perubahan sosial yang terjadi di Jepang Pasca Perang Dunia II. Selain itu, makna seksualitas yang ada di dalam novel juga dapat diketahui bagaimana redefinisi makna seksualitas, seksualitas pada akhirnya dijadikan kekuatan dari kesadaran pengarang untuk menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan.

Salsabila Avinandita (2015) dalam novel Lalita karya Ayu Utami melalui skripsi yang berjudul “Novel Lalita Karya Ayu Utami: Analisis Alur Menurut Robert Stanton”. Masalah yang diangkat oleh penulis yaitu alur, termasuk alur episode, tahapan alur, konflik, suspense, ending, dan unity. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alur episodis yang tidak beraturan tersebut menyebabkan

(9)

adanya penundaan penyelesaian suatu peristiwa. Konflik yang terjadi menyebabkan suspense yang tinggi dan open ending sehingga peristiwa-peristiwa di dalam Lalita tidak bisa dipisahkan. Tahapan alur yang tidak beraturan memiliki peristiwa masa kini berkaitan dengan peristiwa masa lampau yang merupakan jawaban dari seluruh rangkaian cerita. Lalita memiliki cerita di dalam cerita dan keseluruhan unsur alur merupakan kesatuan yang utuh dan saling mendukung.

Berbeda dengan penelitian-penelitian dengan objek novel Noruwei no Mori sebelumnya, penelitian ini akan membahas Novel Noruwei no Mori dari segi penyajiannya yang difokuskan pada plot.

1.5 Landasan Teori

Strukturalisme atau disebut juga pendekatan struktural, menurut Hawkes, merupakan cara pikir tentang dunia kesusastraan yang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda (Hawkes dalam Pradopo, 1987: 19-20). Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalis Praha. Pendekatan struktural karya sastra diadopsi dari teori struktural Saussure yang diterapkan dalam studi linguistik. Studi linguistik struktural tidak menekankan pada sejarah perkembangannya (diakronik), tetapi pada hubungan antarunsurnya (sinkronik). Masalah yang diutamakan dalam pendekatan struktural adalah unsur dan hubungan antarunsur. Cara kerja yang demikian, yaitu adanya pandangan keotonomian terhadap suatu objek, dibawa ke dalam studi sastra.

Karya sastra merupakan sebuah struktur, sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunannya. Struktur karya sastra,

(10)

menurut Abrams (1981:68), dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Menurut Nurgiyantoro (2007: 36), struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur intrinsik yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Setiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Unsur-unsur karya sastra, menurut Stanton (1965: 11-36), antara lain fakta cerita, sarana sastra, dan tema. Fakta cerita berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita dan bukanlah bagian yang terpisah dari sebuah cerita (Stanton, 1965: 12). Fakta cerita terdiri atas plot, tokoh/penokohan, dan latar. Plot adalah rangkaian peristiwa yang terhubung secara kausal (Stanton, 1956: 14). Peristiwa kausal adalah peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran dan tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.

Plot merupakan tulang punggung cerita. Plot dapat membuktikan dirinya sendiri. Sebuah cerita tidak akan seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan plot, hubungan kausalitas, dan

(11)

keberpengaruhannya. Plot memiliki hukum-hukum sendiri, yakni memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 1965: 15).

Novel, oleh karena bentuknya yang panjang, mampu menghadirkan perkembangan karakter tokoh, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit tokoh, dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam secara merinci. Bentuk novel yang panjang itu juga akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari plot (Stanton, 1965: 4).

Sebuah novel pada umumnya terbagi atas beberapa bab. Setiap bab mengandung beberapa episode. Setiap episode terdiri atas berbagai macam topik yang berlainan. Episode-episode dan topik-topik tersebut dapat dileburkan dalam satu bab karena suatu alasan tertentu. Sekuen-sekuen bab tersebut nantinya akan membentuk kelompok yang kemudian akan membentuk kelompok-kelompok yang lebih besar lagi sampai pada akhirnya kita paham akan keseluruhan bagian dari novel bersangkutan. Sebaliknya, setiap episode atau bab yang tidak beruntun belum tentu tidak berhubungan. Episode-episode dan bab-bab tersebut sangat mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain dari segi tema maupun topik pembicaraan. Oleh karena itu, setiap episode dalam novel hendaknya diulas secara individual maupun secara general. Sebuah episode dalam sebuah novel memperoleh efek serta maknanya dari keseluruhan struktur tempat episode tersebut menjadi salah satu bagiannya (Stanton, 2007: 91-92).

(12)

Istilah episode dalam fiksi hampir mirip dengan adegan dalam drama. Di dalam drama, istilah adegan merupakan babak yang ditandai oleh perubahan jumlah tokoh ataupun perubahan yang dibicarakan. Pergeseran dari satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau tokoh-tokoh.

Untuk dapat lebih memahami novel, perlu dibuat daftar setiap peristiwa pada tiap-tiap bab. Kerangka ini akan membantu memahami kaitan satu episode dengan episode lain, baik episode yang berdekatan maupun episode yang berjauhan, dan melacak perantaraannya, baik topik, tema, ataupun plot yang paralel. Dengan pencatatan secara teratur, kecerobohan dalam membaca dapat dikurangi dan akan lebih mampu memahami pola dan struktur novel. Terakhir, harus dikenali prinsip kebersatuan novel. Pola struktur novel bisa jadi memiliki makna. Hal ini berkaitan dengan alasan pengarang membagi topiknya sedemikian rupa. Kebersatuan berarti seluruh aspek dari karya harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema. Dunia dalam novel sangat memadahi untuk menampung berbagai jenis pengalaman. Dunia novel adalah kombinasi berbagai elemen seperti nilai-nilai, hukum-hukum, kemungkinan-kemungkinan, dan masalah-masalah yang cukup besar untuk ditampung ke dalam satu wadah. Setiap tokoh, peristiwa, dan adegan yang digambarkan dalam dunia tersebut harus dapat dimaknai. Dunia tersebut berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Apa yang terjadi pada novel serupa dengan apa yang terjadi pada ilmu pengetahuan. Kesimpulan dari sebuah penelitian bersifat tidak terikat dari maksud pengarang sebagai pengumpul data-data (Stanton, 1965: 46-49).

(13)

Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (midle), dan tahap akhir (end) (Abrams, 1981: 138). Ketiga tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah plot karya fiksi yang bersangkutan. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut dengan tahap perkenalan. Pada tahap ini umumnya berisi informasi yang berkaitan dengan pengenalan latar dan tokoh. Pada tahap awal cerita, di samping untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan (Nurgiyantoro, 2007: 142-145)

Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari karya fiksi yang bersangkutan. Pada bagian inilah inti cerita disajikan yakni tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwa-peristiwa penting dikisahkan, konflik semakin berkembang dan menegangkan kemudian mencapai klimaks. Tahap akhir cerita berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimana kesudahan cerita dan bagaimana akhir dari sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 145-147).

Elemen dasar yang membangun plot adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal yang tampak jelas yang hadir melalui hasrat dua tokoh atau hasrat seorang tokoh dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu konflik utama yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya. Konflik utama selalu bersifat

(14)

fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan tertentu. Konflik inilah yang menjadi inti cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan plot yang terus-menerus mengalir. Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam plot. Konflik utama selalu terikat teramat intim dengan tema cerita, bahkan bisa sangat identik (Stanton, 2007: 31-32).

Klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana pertentangan tersebut dapat terselesaikan. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. Klimaks utama tersebut sering kali sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri. Bahkan, bila konflik sebuah cerita mewujud dalam berbagai bentuk atau cara dan melalui beberapa fase yang berlainan, akan sangat tidak mungkin menentukan satu klimaks utama. Akan tetapi, memilih satu tentu tidak akan ada ruginya karena pilihan tersebut masih dapat merangkum struktur cerita secara menyeluruh (Stanton, 2007: 32).

Plot mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca, terkait keingintahuan, harapan, maupun rasa takut (suspense). Seorang pengarang yang terampil akan mengeksploitasi pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca untuk menajamkan dan mengendalikan perhatian. Salah satu usaha tersebut adalah ending yang tidak terduga. Ending yang tidak terduga dapat

(15)

membius pembaca karena kejadian-kejadian yang ditampilkan tidak sesuai dengan harapan pembaca. Sifat tidak terduga ini dapat selalu dinikmati meski cerita tersebut sudah dibaca berulang kali (Stanton, 2007: 28-31).

Plot hendaknya masuk akal (plausible). Masuk akal bukan berarti „realistis‟, melainkan dapat diimajinasikan, mungkin ada, konsisten, dan tak terhindarkan. Cerita yang masuk akal bukan berarti sma dengan kehidupan, melainkan koheren. Koherensi tersebut akan tampak meyakinkan karen bertaut stu sama lain, terhubung oleh hukum sebab-akibat (Stanton, 1965: 13-14).

Sebuah cerita yang bagus memiliki plot yang rekat dan padat. Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan memengaruhi hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. Reaksi yang ditimbulkan oleh tokoh-tokoh lain itu selanjutnya akan balik memengaruhinya. Sebaliknya, ada pula novel yang mengetengahkan episode-episode yang renggang dan melibatkan beragam tokoh yang muncul sekali saja. Novel jenis ini cenderung ingin menonjolkan kerumitan masyarakat, alam, atau semesta (Stanton, 1965:14).

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara, strategi untuk memahami realitas, atau langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat (Ratna, 2008: 34). Dalam sebuah penelitian sastra, metode penelitian mutlak perlu. Hal ini disebabkan karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang semakin beragam, sehingga dengan sendirinya memerlukan cara-cara yang berbeda untuk memahaminya (Ratna, 2008: 40). Metode penelitian dapat memudahkan

(16)

upaya-upaya untuk mencapai hasil penelitian. Selain itu, penggunaan metode dapat membuat klasifikasi masalah secara tepat dan mempermudah perumusan masalah dalam sebuah penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan (Ratna, 2008: 53). Penelitian ini merupakan penelititian kepustakaan. Oleh sebab itu, pengumpulan data dilakukan dengan cara eksplorasi dan observasi.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Pembagian bahasan tiap-tiap bab tersebut seperti dibawah ini:

Bab I berisi pendahuluan yang mencakup (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) landasan teori, (6) metode penelitian, (7) sistematika penulisan.

Bab II berupa analisis plot episodis Noruwei no Mori Bab III berupa analisis tahapan plot

Bab IV berupa analisis konflik dan klimaks, suspense, dan surprise ending, plausible, dan rekat

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan “ Citraan atau imaji apasajakah yang terdapat dalam lima sajak pada kumpulan puisi Terkenang Topeng Betawi karya Ajip Rosidi..

Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

Penelitian tentang nilai-nilai dalam ungkapan tradisional masyarakat Ciacia di Kabupaten Buton memberikan gambaran atau pencerminan tentang kepribadian masyarakat

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan. © Resti Nurajijah 2014 Universitas

Dengan ini memberi kuasa kepada RS Mitra Keluarga Surabaya untuk memberikan data-data medis saya / keluarga saya, kepada:. Nama : ASI

kalau plagiarisme yang menjiplak karya orang kalau plagiarisme yang menjiplak karya orang lain saja masih marak. | Plagiarism

Pengetahuan ilmiah ini secara terus menerus dikembangkan dan dikaji manusia secara mendalam, sehingga melahirkan apa yang disebut filsafat ilmu (philosophy of

Penelitian ini merupakan lanjutan dari Bagan dan Road Map Penelitian sebelumnya yaitu: Model Knock Down Sistem Semi Ploating media Sphagnum Moss, namun masih perlu