BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur
Jamur adalah organisme eukariotik yang tumbuh dengan cara membentuk tunas (khamir) atau filament yang di sebut hifa (kapang) (Kumar, dkk., 2010). Pertumbuhan dalam bentuk kapang terjadi melalui terbentuknya koloni – koloni yang terdiri atas tubulus – tubulus silinder yang bercabang disebut hifa. Kapang biasa berdiameter 2 µm hingga 10 µm. Massa hifa yang saling bertautan dan bertambah disebut miselium (Jawetz, dkk., 2013).
Khamir terdiri dari sel – sel tunggal, biasanya berbentuk sferis dan ellipsoid. Khamir biasa berdiameter mulai 3 µm hingga 15 µm. Kebanyakkan khamir bereproduksi dengan pertunasan. Beberapa spesies menghasilkan tunas yang secara khas tidak dapat melepaskan diri dan memanjang, proses pertunasan yang berkelanjutan ini menghasilkan rantai sel khamir yang panjang dan disebut pseudohifa (Jawetz, dkk., 2013).
2.1.1 Fase pertumbuhan jamur
Jamur mengalami pertumbuhan yang dapat dibagi dalam 4 fase menurut (Pratiwi, 2008) yaitu:
a. Fase lag
Pada saat dipindahkan ke media yang baru, jamur tidak langsung tumbuh dan membelah, meskipun kondisi media sangat mendukung untuk pertumbuhan. Jamur biasanya akan mengalami masa penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan.
Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni jamur akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.
c. Fase stasioner
Pada fase ini jamur berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel mati.
d. Fase kematian
Pada fase ini, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksis.
2.1.2 Jamur Candida albicans
Pada sediaan jaringan, Candida albicans berbentuk khamir, dan pseudohifa. Pseudohifa adalah sel – sel tunas yang tidak dapat melepasan diri sehingga mebentuk rantai – rantai pendek. Semua bentuk dapat berada di satu jaringan. (Kumar, dkk., 2010: Pratiwi, 2008). Candida albicans merupakan flora normal yang membentuk koloni di kulit, membran mukosa, dan saluran gastrointensinal (Jawetz, dkk., 2013).
Menurut Ali (2008) taksonomi dari jamur Candida albicans adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Filium : Ascomycota Kelas : Ascomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
2.1.3 Patogenesis dan patologi kandidiasis
Kandidiasis superfisial (kutaneus atau mukosal) di diagnosis melalui adanya peningkatan jumlah populasi Candida dan kerusakan kulit atau epitel akibat infeksi jamur. Kandidiasis sistemik terjadi ketika Candida memasuki aliran darah dan sistem pertahanan pejamu. Candida dapat menyerang ginjal melalui sirkulasi darah, melekat ke katup jantung prostetik, atau menghasilkan infeksi kandidiasis hampir seperti arthritis, dan meningitis (Jawet, dkk., 2013).
Candida dapat tumbuh sebagai organisme komersal atau patogen. Jamur Candida albicans mengembangkan mekanisme – mekanisme untuk cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pejamu baik akibat terapi antibiotik, respon imun, atau perubahan fisiologi pejamu. Candida dapat mengubah fenotipe
secara reversibel dan acak. Perubahan fenotipe melibatkan regulasi terpadu gen – gen spesifik sehingga mikroorganisme ini mampu beradaptasi dengan
lingkungan (Kumar, dkk., 2013).
2.1.4 Terapi yang digunakan untuk kandidiasis
Kandidiasis selaput lendir mulut dan bentuk kandidiasis mukokutan lain biasanya ditangani dengan nistatin topikal atau ketokonazol atau flukonazol oral. Sedangkan kandidiasis sistemik diterapi dengan amfoterisin B atau kombinasi amfoterisin B dengan flusitosin, flukonazol, atau caspofungin oral. Penyembuhan lesi kulit dipercepat dengan menghilangkan faktor pendukung seperti kelembapan berlebihan (Jawet, dkk., 2013).
2.2 Tanaman Sirih Merah 2.2.1 Morfologi sirih merah
Tumbuhan sirih merah merambat atau menjalar, panjangnya dapat mencapai sekitar 5 – 10 m, batang bulat, hijau merah keunguan, beruas dengan panjang ruas 3-8 cm, pada setiap buku tumbuh satu daun. Daun tunggal, kaku, duduk daun berseling, bentuk daun menjantung, permukaan helaian daun mengkilat, panjang 6,1 – 14,6 cm, lebar daun 4 – 9,4 cm, warna dasar daun hijau pada kedua permukaannya, bagian atas hijau dengan garis – garis merah jambu kemerahan, permukaan bagian bawah hijau merah tua keunguan. Tangkai daun hijau merah keunguan, panjang 2,1 – 6,2 cm, pangkal tangkai daun pada helaian daun agak ketengah sekitar 0,7 – 1 cm dari tepi daun bagian bawah (Astuti, dan Munawaroh, 2011).
Menurut Juliantina, dan kawan -kawan (2010) dan Backer dan Den (1936), taksonomi dari sirih merah adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae Genus : Piper
Species : Piper crocatum Ruiz & Pav.
2.2.2 Kandungan kimia
Daun sirih merah mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, dan minyak atsiri yang bermanfaat bagi kesehatan. Senyawa minyak atsiri yang terdapat dalam daun sirih merah seperti hidoksikavikol, kavikol,
kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, p-simen, sineole, karyofelen, kadimen, estragol, terpen dan fenil propeda (Utami dan Desty, 2013 ).
2.2.3 Khasiat sirih merah
Sirih merah berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis penyakit, seperti diabetes melitus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, prostatitis, radang mata, keputihan, tukak lambung, kelelahan dan nyeri sendi. Senyawa utama dalam sirih merah, seperti flavonoid, alkaloid, tanin, dan minyak atsiri. Selain itu, tumbuhan ini juga mengandung karvakol dan eugenol. Karvakol bersifat disinfektan dan antijamur sehingga dapat digunakan sebagai obat antiseptik dan keputihan. Sementara itu, kandungan eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit (Utami dan Desty, 2013).
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Terdapat beberapa macam metode ekstraksi, diantaranya adalah maserasi, perkolasi dan sokletasi (Ditjen POM, 1979), refluks, digesti, infus, dan dekok (Ditjen POM, 2000).
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umum dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali jumlah bahan (Ditjen POM, 2000).
Keuntungan dari metode ini adalah dapat menarik bahan berkhasiat dari tanaman secara total. Kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan memerlukan biaya yang mahal karena dibutuhkan sejumlah besar pelarut (Agoes, 2007).
c. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temparatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Ditjen POM, 2000).
d. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan adanya pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C (Ditjen POM, 2000).
f. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur pada suhu 96-98°C selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000).
g. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30°C) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.4 Flukonazol
Flukonazol merupakan obat antijamur golongan azol. Dimana mekanisme
kerja obat ini mengganggu sintesis ergosterol, melalui penghambatan enzim – enzim sitokrom P450. Dari beragam azol yang ada, flukonazol
mempunyai penetrasi yang paling baik terhadap sistem saraf pusat. Flukonazol juga dapat larut dalam air sehingga memungkinkan pemberian secara intravena (Jawet, dkk., 2013; Katzung, 2004).
2.5 Nanopartikel
Nanopartikel merupakan ukuran partikel berukuran 10 - 1000 nm yang memiliki sistem potensial yang baik untuk dapat menyempurnakan kelarutan suatu obat sehingga dapat diabsopsi dengan lebih cepat, sehingga cocok digunakan untuk memformulasikan suatu sediaan dengan sistem pengiriman obat terkontrol (Mohanraj dan Chen, 2006).
Nanopartikel didefinisikan sebagai disepersi partikulat atau partikel-partikel padat dengan ukuran dalam rentang 10-1000 nm. Tujuan utama dalam merancang nanopartikel sebagai sistem pemberian adalah untuk mengontrol ukuran partikel, sifat-sifat permukaan dan pelepasan bahan aktif secara farmakologik untuk mencapai tempat tindakan spesifik obat pada laju (Gupta dan Kompella, 2006).
Nanoteknologi berkembang semakin pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri akan ukuran partikel yang semakin kecil. Pemanfaatan teknologi nano tidak luput juga dalam dunia pengobatan herbal. Obat herbal yang berkhasiat biasanya diproduksi dengan menggunakan teknologi modern dan salah satunya adalah teknologi nano. Banyak negara di dunia yang telah mengenal teknologi nano sejak 1990-an, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Di Indonesia teknologi nano baru populer sejak beberapa tahun yang lalu. Pemanfaatannya masih terbatas dan belum maksimal. Meskipun tergolong baru berkembang di Indonesia, namun teknologi nano kini telah merambah berbagai bidang, termasuk bidang produksi makanan dan minuman kesehatan yang berbasis herbal (Yadav, dkk., 2011).
Aplikasi teknologi nano dalam bidang farmasi mempunyai berbagai keunggulan antara lain dapat meningkatkan kelarutan senyawa, mengurangi dosis pengobatan dan meningkatkan absorbsi. Oleh karena itu, bahan nanopartikel banyak digunakan pada sistem penghantaran obat terbaru pada berbagai bentuk sediaan. Sifat pembawa bahan nanopartikel mempunyai berbagai keuntungan seperti meningkatkan efek absorpsi, meningkatkan penetrasi zat aktif dan bersifat lepas terkendali. Teknologi nano dalam bidang farmasi mempunyai berbagai
keunggulan antara lain dapat meningkatkan kelarutan senyawa atau zat aktif, mengurangi dosis pengobatan dan meningkatkan absorbsi obat herbal dibandingkan dengan herbal yang tidak dinanonisasi (Rismana, dkk., 2014).
2.6 Pengujian Aktivitas Antimikroba
Penentuan kepekaan mikroba terhadap antimikroba pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:
a. Metode dilusi
Metode ini mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, dengan media cair dan padat. Mikroba ini diinokulasi ke dalam media cair dan padat lalu diinkubasi. Dimasukkan larutan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi menggunakan 2 cara yaitu dengan menggunakan tabung reaksi dan microdilution plate (Pratiwi, 2008).
b. Metode difusi
Metode yang paling sering digunakan dan biasanya menggunakan cakram. Ada beberapa jenis cakram yaitu cakram kertas, dan cakram silinder. Cakram tersebut yang berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi mikroba uji pada permukaannnya. Setelah diinkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan untuk mengukur kekuatan hambatan obat terhadap mikroorganisme uji (Pratiwi, 2008). c. Metode turbidimetri
Metode turbidimetri dilakukan berdasarkan hambatan pertumbuhan mikroba dalam media cair yang mengandung sampel uji dan mikroba uji.
Hambatan ditentukan dengan cara mengukur serapannya dengan menggunakan alat spektofotometer (Ditjen POM, 1979).