• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PENDIDIKAN TAMAN SISWA; STUDI KASUS PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA. Dheny Wiratmoko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM PENDIDIKAN TAMAN SISWA; STUDI KASUS PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA. Dheny Wiratmoko"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENDIDIKAN TAMAN SISWA;

STUDI KASUS PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA

Dheny Wiratmoko

Dosen STKIP PGRI Pacitan E-mail: dhenywiratmoko@yahoo.com

Abstrak: Politik Ethis bagi bangsa Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam upaya untuk merebut kemerdekaan. Pendidikan sebagai salah satu sila dalam Politik Ethis, memungkinkan bangsa Indonesia dapat merasakan pendidikan formal, seperti bangsa lainnya. Dengan pendidikan, masyarakat Indonesia akan dapat berkembang, serta dapat meraih ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang didapat oleh masyarakat Barat. Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia , bersama dengan rekan-rekannya, berjuang melalui gelanggang politik yaitu dengan membentuk organisasi pergerakan yang diberi nama Indische Partij. Sedangkan perjuangan melalui gelanggang pendidikan dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dengan mengemukakan konsep pendidikan yang diberi nama Taman Siswa. Sekolah Taman Siswa menjadi tempat untuk mencetak kaum cerdik pandai bangsa Indonesia , yang bertumpu pada kemerdekaan berpikir dan berbudaya Indonesia . Kata kunci: Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, dan Taman Siswa

Rangkaian perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia telah mengantarkan bangsa Indonesia pada era kemerdekaan. Suatu era di mana kedaulatan sebuah negara menjadi dasar untuk mengisi pembangunan di kancah dunia global. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga dalam menghadapi pemerintah kolonial, menjadi sebuah semangat untuk membuktikan diri, bahwa bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa lain. Sebagai akibat dari penjajahan, bangsa Indonesia menjadi lahan eksploitasi bagi bangsa penjajah, baik eksploitasi sumber daya alam maupun eksploitasi sumber daya manusia. Berbagai kebijakan dari pemerintah kolonial diterapkan semata-mata untuk menindas bangsa Indonesia. Watak imperialisme dan kapitalisme diterapkan dengan berbagai kebijakan, di antaranya adalah cultuurstelsel. Hasil dari kebijakan cultuurstelsel adalah finansial yang digunakan untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Reaksi terhadap penerapan kebijakan cultuurstelsel memunculkan

beberapa perdebatan di parlemen Belanda. Ada golongan yang berusaha untuk memperjuangkan nasib penduduk jajahan yang dilakukan oleh kaum ethis. Nama tersebut dipakai untuk menyebut politik kolonial yang baru, yaitu Politik Ethis. Salah seorang penggagasnya adalah Van Deventer, yaitu penulis artikel yang berjudul “Hutang Budi”. Politik Ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia banyak berorientasi pada kepentingan bangsa Belanda. Hal tersebut tentu akan memunculkan kesenjangan yang demikian besar terhadap masyarakat Indonesia. Politik Ethis, yang di dalamnya terkandung usaha untuk memajukan pendidikan bagi bangsa Indonesia, menjadi pintu untuk mengusahakan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Upaya tersebut bertujuan untuk menciptakan kaum cerdik pandai yang akan menjadi tulang punggung dalam mengisi kemerdekaan. Dalam

(2)

kajian ini akan difokuskan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara terkait sistem pendidikan Taman Siswa.

METODE

Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (library research) artinya data penelitian berasal dari sumber-sumber kepustakaan berupa buku-buku, makalah, jurnal, majalah dan sumber lain yang koheren dengan obyek bahasan. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni berusaha menggambarkan secara jelas dan sistematis obyek kajian lalu menganalisis bahasan penelitian. Data yang terkumpul atau tersusun dianalisis, kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Hal ini memungkinkan untuk mencari relevansi atau titik-temu kedua konsep tersebut.

Sumber data terdiri dari primer dan sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah buku karangan Darsiti Soeratman, dengan judul “Ki Hajar Dewantara”, sedangkan data sekundernya adalah berbagai buku, majalah, jurnal dan sumber-sumber lain yang terkait. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, teknik yang digunakan adalah pengumpulan data literer (studi kepustakaan), yaitu pengumpulan informasi yang segaris lurus dengan obyek bahasan guna mendapatkan konsep yang utuh (Bisri, 1998: 61). Analisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian guna menghasilkan suatu kesimpulan yang konkret berdasar dari hasil telaah (Suryabrata, 1998: 85).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Sketsa Hidup Ki Hajar Dewantara R.M. Suwardi Suryaningrat adalah nama lain dari Ki Hajar

Dewantara. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889, sebagai putra dari K.P.H. Suryaningrat, dan cucu dari Paku Alam III. Pada tanggal 23 Februari 1928, R.M. Suwardi Suryaningrat secara resmi berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Beliau adalah pelopor berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. Setelah tamat dari E.L.S. (Europeesche Lagere School), Ki Hajar Dewantara kemudian melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), yaitu sekolah untuk mendidik calon dokter-dokter bangsa Indonesia di Jakarta, namun tidak sampai lulus. Sekolah tersebut lalu ditinggalkannya, dan kemudian Ki Hajar Dewantara bekerja menjadi asisten apoteker. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga menekuni dunia jurnalistik sebagai seorang wartawan, dan membantu beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo ( surat kabar berbahasa Jawa), serta Midden Java dan De Express (keduanya adalah surat kabar berbahasa Belanda) (Soemarsono, 1991: 41).

Pada tanggal 18 Agustus 1913, Ki Hajar Dewantara bersama-sama dengan rekan-rekannya ditangkap dan dibuang ke negeri Belanda. Selama dieksternir (dibuang) ke negeri Belanda, aktifitasnya digunakan sebagai kesempatan untuk mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran dengan mendalam, sehingga ia mencapai ijazah Hoofdacte (Kepala Sekolah S.R. Belanda) dan juga berhasil memperoleh Europeesche Akte (semacam ijasah pendidikan). Meskipun keputusan pengasingan telah dicabut pada tanggal 14 Agustus 1917, beliau baru kembali ke Indonesia pada tanggal 6 September 1919 . Begitu tiba di Indonesia , beliau terjun kembali ke medan perjuangan kemerdekaan, sehingga sempat meringkuk di dalam penjara di daerah Semarang dan Pekalongan.

(3)

Ki Hajar Dewantara menikah dengan R.A. Sutartinah, putra ke-6 dari K.P.H. Haryo Sasraningrat yang lahir pada tanggal 14 September 1890 di Yogyakarta. Beliau seorang tokoh pendiri organisasi Wanita Taman Siswa. Kiprahnya dalam Perguruan Taman Siswa adalah sebagai pembina Taman Indira (Taman Kanak-Kanak) dan Taman Muda (Sekolah Dasar). Sekitar tahun 1960, ikut berperan dalam pendirian Perguruan Sarjana Wiyata Taman Siswa dan menjabat sebagai rektor pada tahun 1965. Pada tahun 1960, nama R.A. Sutartinah diganti menjadi Nyi Hajar Dewantara (Sulistya, 2002: 44).

Ki Hajar Dewantara wafat di Yogyakarta pada tanggal 28 April 1959, dan dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Yogyakarta. Untuk mengenang jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan tanggal 2 Mei (tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara), sebagai Hari Pendidikan Nasional yang diperingati di seluruh Indonesia. Di samping itu, Ki Hajar Dewantara juga dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan SK Presiden No. 305/1959, tanggal 28 November 1959 (Soemarsono, 1991: 43).

Dasar Fisofis Taman Siswa

Sistem pendidikan Taman Siswa muncul akibat kegagalan pemerintah memenuhi atau menyalurkan sistem pendidikan Barat. Sejumlah besar apa yang dikatakan sebagai “Sekolah Liar”, telah lahir. Sekolah-sekolah ini tidak memenuhi syarat, baik tenaga pengajar, maupun kurikulum sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah. Lebih jauh, sekolah ini terarah menentang sifat dan prinsip pemerintah kolonial. Sekolah-sekolah ini hampir selalu didirikan oleh orang Indonesia yang terpelajar dan idealis dan tidak mau bekerja sama

dengan pemerintah kolonial (Van Niel, 1984: 286).

Sejalan dengan perluasan bidang pemerintahan beserta administrasi dan pelayanannya di pihak lain, timbullah kebutuhan akan tenaga, baik dalam bidang administrasi maupun dalam pelbagai bidang teknik dan kejuruan. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan itulah, pemerintah kolonial Belanda secara lambat laun mendirikan sekolah-sekolah. Pada awalnya, sekolah yang dibuka hanya terbatas pada sekolah tingkat rendah saja, akan tetapi seiring perkembangan zaman, dibukalah sekolah-sekolah menengah sampai sekolah tingggi (Kartodirdjo, 1999: 74). Akan tetapi, sekolah-sekolah tersebut tetap hanya diperuntukan bagi golongan tertentu saja, misalnya bagi anak para pejabat, maupun elit yang berkuasa.

Ditengah pertikaian tentang “Sekolah Liar” dan sekolah bentukan pemerintah kolonial Belanda tersebut, sebuah lembaga yang metoda, kedalaman tujuan, dan vitalitasnya berbeda dengan yang lain muncul. Sekolah ini bernama Taman Siswa. Sekolah ini didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Selama dibuang di negeri Belanda dari tahun 1913-1918, Ki Hajar Dewantara mengajukan permohonan untuk melanjutkan sekolah dan kemudian mendapatkan ijazah guru sebelum pulang ke tanah air. Harapan akan Indonesia yang berotonomi, dan yang telah mengilhaminya semasa di dalam Indische Partij tidak luntur, tetapi pandangannya tentang bagaimana hal ini dapat dicapai, berubah secara radikal. Kegagalan prinsip asosiasi pada Indische Partij yang sudah diperbaharui sesudah perang, dan kemunduran organisasi-organisasi Indonesia ke dalam forum-forum untuk pergulatan politik oleh pribadi-pribadi yang bermain sendiri, barangkali memperkuat keyakinan bahwa cara pendekatan lain sangat diperlukan (Van Niel, 1984: 287). Setelah melihat adanya

(4)

bangsa-bangsa Asia yang ternyata lebih maju dalam hal pendidikannya, maka Ki Hajar Dewantara segera mengambil sikap untuk memperjuangkan kemerdekaan, serta meningkatkan taraf pendidikan bangsa Indonesia (Media, Edisi Mei, 1996: 39). Upaya tersebut semata-mata untuk memperjuangkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa lain.

Kesadaran diri yang tumbuh pada orang Indonesia terjalin dalam kehampaan, perlu mendapatkan isi bagi perasaan yang baru ini. Ki Hajar Dewantara merasa bahwa pendidikan pemuda Jawa melalui garis-garis nasional Jawa adalah cara yang dapat diandalkan untuk melapangkan jalan ke arah otonomi dan menyatakan kepribadian. Di dalam kebingungan kultural ini, Ki Hajar Dewantara dalam mengemukakan prinsip sekolahnya yaitu, “Jadikanlah sejarah kebudayaan kita suatu pangkal tolak untuk maju. Hanya berdasarkan kebudayan kita sendiri, pekerjaan membangun dapat dijalankan dengan aman. Biarkan bangsa kita muncul di pentas hubungan internasional di dalam suatu bentuk nasional yang bukan tiruan”.

Dengan dasar tersebut, sekolah Taman Siswa menyebarkan akarnya di dalam tradisi kebudayaan Jawa. Sifat fisik sekolah ini memberi pengarahan kepada suatu bentuk yang tidak dikenal di sekolah Barat. Banyak tekanan diletakkan pada keterampilan dan nilai-nilai kehidupan Jawa, musik, tari, dan pembentukan watak dinilai tinggi sebagaimana mata pelajaran Barat yang biasa. Sekali dasar pendidikan diletakan di dalam kehidupan Jawa, maka harus ada penerapan unsur-unsur kebudayaan Barat yang berguna untuk mempersiapkan memenuhi tuntutan hidup modern. Hanya degan cara inilah, suatu kebudayaan baru dapat dibentuk, kebudayaan yang mungkin dijadikan hak milik rakyat semua. Nasionalisme kebudayan inilah merupakan suatu

cita-cita Taman Siswa, tetapi nasionalisme ini hanya dapat berlaku apabila terlibat di dalamnya perjuangan individu menuju integrasi yang harmonis di dalam hidup. Tujuan Taman Siswa paling baik dinyatakan dalam suatu kata, kata yang sama dan paling banyak memberi ciri kehidupan Jawa yaitu harmoni (Van Niel, 1984: 288). Kebudayaan Jawa dipilih sebagai representasi kebudayaan Indonesia, dan sekaligus sebagai pelecut gerakan untuk memujudkan Indonesia merdeka.

Praktek yang sebenarnya, sekolah Taman Siswa telah dibebani oleh kesulitan-kesulitan. Pada waktu pembentukannya (3 Juli 1922) pemerintah tidak mempunyai pendirian tertentu dan ragu-ragu, bahkan nyaris menentang terhadap jenis sekolah seperti ini. Dalam beberapa tahun, dengan adanya perubahan sikap dari pemerintah dan dengan perbaikan mutu sekolah, sikap ini telah demikian diperlunak sampai sebelum pecah Perang Dunia Kedua, ketika Taman Siswa menerima subsidi pemerintah. Dengan tidak adanya dana pada tahun-tahun permulaan, guru-guru yang dikumpulkan oleh Ki Hajar Dewantara lebih banyak bekerja untuk keyakinan dari pada untuk keuntungan meteri. Menyusun sebuah perkumpulan pelajar pun tidak mudah, karena sekolah ini tidak diakui, tetapi orang-orang yang sedikit berkuasa, termasuk anggota keluarga kerajaan, percaya pada eksperimen Ki Hajar Dewantara dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah itu (Van Niel, 1984: 288). Perjuangan Ki Hajar Dewantara memunculkan suatu harapan untuk mewujudkan kedaulatan bangsa melalui sektor pendidikan.

Dirasakan penting untuk berkompromi demi cita-cita, karena tuntutan yang besar adalah pendidikan cara Barat. Sekolah-sekolah Taman Siswa berurutan membentuk program pendidikan yang bersamaan dengan

(5)

sekolah dasar Barat, sehingga tamatan Taman Siswa dapat berkompetisi masuk ke sekolah-sekolah menengah pemerintah. Secara ideal bukanlah ini yang menjadi tujuan utama Taman Siswa, tetapi ini menjadi salah satu fungsi pokoknya dan barangkali menjadi akar penunjang keuangan yang perlu untuk mempertahankan hidup. Sungguhpun demikian, Taman Siswa tetap berlainan dari sekolah cara Barat yang biasa dan ia hanya dapat dipandang bersifat Jawa. Taman Siswa tetap berada di luar cakarawala politik. Dalam arti tertentu, ia dapat pula dipandang sebagai satu segi cita-cita. Sekolah Taman Siswa tentu saja memberi pengaruh dalam membentuk kesadaran nasional yang positif di kalangan orang Indonesia (Van Niel, 1984: 289).

Sebelum Berdirinya Taman Siswa Sebelum memasuki gelanggang pendidikan, Ki Hajar Dewantara juga berjuang dalam gelanggang politik. Beliau mendirikan organisasi pergerakan kemerdekaan yang bersifat revolusioner dan diberi nama Indische Partij bersama-sama dengan dua rekan perjuangannya yaitu dr. E.F.E. Douwes-Dekker (dr. Setyabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo pada tanggal 25 Desember 1912, yang kemudian terkenal dengan sebutan ”Tiga Serangkai” (Simbolon, 2006: 265). Adapun tujuan dari pendirian organisasi pergerakan tersebut adalah untuk mencapai Indonesia merdeka.

Berdirinya organisasi pergerakan tersebut menandakan munculnya perkembangan baru dalam sejarah pergerakan kemerdekaan. Organisasi pergerakan ini didasarkan atas rasa nasionalisme serta merupakan sarana membangun semangat kebangsaan Indonesia. Sikap pergerakan ini terhadap pemerintah Belanda dengan tegas menyatakan antipati dan non-kooperasi. Hal ini muncul karena

diilhami oleh perasaan tidak puas atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Para pemimpin Indische Partij adalah orang-orang yang agresif dan berani dalam menentang pemerintah kolonial Belanda. Banyak tulisan-tulisan para pemimpin Indische Partij yang bernada kritik pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dimuat dalam surat kabar De Express asuhan dr. E.F.E. Douwes-Dekker. Di antaranya adalah tulisan Ki Hajar Dewantara yang berjudul: “Als Ik Een Nederlandsch Was” (seandainya saya seorang Belanda), yang isinya: “tidak selayaknya bangsa Indonesia yang ditindas Belanda ikut-ikutan merayakan kemerdekaan bangsa yang menindas”. Tulisan tersebut berupa kritikan terhadap pemerintah kolonial Belanda untuk memprotes akan adanya perayaan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Belanda yang ke-100 tahun, pada tahun 1913, yang biayanya dikumpulkan dari rakyat Indonesia (Tim Materi Pameran Bersama, 2007: 35).

Mengapa demikian? Karena tulisan yang bernada kritik keras tersebut dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, maka tulisan tersebut dijadikan alasan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melarang atau membubarkan Indische Partij. Tidak sebatas melarang atau membubarkan, pemerintah kolonial Belanda juga menindak tegas dengan mengasingkan para pemimpin Indische Partij. Namun atas permintaan mereka sendiri, pemerintah kolonial Belanda memperkenankan mereka dipindah ke negeri Belanda.

Sejarah Berdirinya Taman Siswa Pada tahun 1921, Ki Hajar Dewantara meninggalkan gelanggang politik dan memasuki gelanggang pendidikan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut, sistem pendidikan yang berlaku banyak berorientasi pada kepentingan bangsa

(6)

Belanda dibandingkan dengan kepentingan Indonesia. Kepincangan ini menjadi tantangan bagi kaum pergerakan pemerhati pendidikan di Yogyakarta. Selanjutnya, mereka kemudian membentuk forum untuk membicarakan masalah-masalah nasib bangsa Indonesia. Forum tersebut kemudian dikenal dengan istilah “Perkumpulan Selasa Kliwon”, yang berpusat di Yogyakarta, yaitu terdiri dari orang-orang atau pemimpin yang berkumpul tiap-tiap malam Selasa Kliwon untuk membicarakan kebudayaan Jawa (Sulistya, dkk. 2002: 32)..

Tujuan dari gerakan ini tersimpul dalam semboyannya yaitu memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning manungsa, (melindungi keselamatan diri, keselamatan bangsa dan keselamatan manusia). Hal tersebut dapat diartikan: kemerdekaan bangsa harus berlandaskan jiwa merdeka yaitu jiwa kebangsaan (nasionalisme) dan harus dibina secara kontinyu dan sistematis, sehingga memiliki keyakinan yang teguh dalam menghadapi rintangan-rintangan. Perkumpulan ini juga membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan usaha-usaha menaikan derajat dan martabat bangsa Indonesia (Soeratman, 1983/1984: 85). Forum ini beranggotakan antara lain: RM. Soetatmo Soerjokoesoemo, RM. Soerjopoetro, BRM. Soebono, Ki Pronowidigdo, Ki Hajar Dewantara, Ki Ageng Soerjo Mataram, Ki Soetopo Wonoboyo, dan RM. Gondo Atmodjo

Seiring berjalannya waktu, Ki Hajar Dewantara salah seorang tokoh “Perkumpulan Selasa Kliwon”, tanggal 3 Juli 1922 mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa di Tanjung Weg 32 (sekarang Jl. Gadjah Mada 32 Yogyakarta). Dalam menjalankan proses pendidikannya dengan menggunakan “Sistem Among” yang mendasarkan pada: Pertama,

kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir batin, sehingga dapat hidup berdiri sendiri. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya (Sulistya, 2002: 32).

Pada tanggal 6 Januari 1923, dalam National Onderwijs Instituut Taman Siswa dibentuk majelis yang disebut “Instituutraad”, yang bertugas memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensinya di Yogyakarta tanggal 20-22 Oktober 1923, perguruan ini memperluas Institut menjadi Hoofdraat (Majelis Luhur). Pada tahun 1930, National Onderwijs Instituut Tamansiswa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa. Moto Pendidikan Taman Siswa adalah ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” (seorang pendidik yang apabila berdiri di depan harus mampu memberi teladan yang baik, apabila berdiri di tengah harus dapat memberikan semangat dan kemauan, dan apabila berdiri di belakang harus dapat memberikan dorongan atau pengaruh yang baik terhadap peserta didik). Moto ini kemudian dipakai sebagai lambang Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Sulistya, dkk. 2002: 33-34).

Sesudah Berdirinya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara menjalankan sistem pendidikan Taman Siswa dengan bertumpu pada dasar kemerdekaan. Mula-mula yang dibuka hanya bagian Taman Kanak-Kanak dan kursus guru saja. Seiring berjalannya waktu, beberapa rintangan mulai menghadang. Tahun 1924, Ki Hajar Dewantara dikenakan pajak rumah tangga, tetapi beliau tidak mau membayarnya. Akibatnya barang-barang Taman Siswa dilelang di muka umum. Tetapi pajak itu kemudian dikembalikan

(7)

setelah Ki Hajar Dewantara mengajukan protes. Dan atas kedermawanan para pembeli, barang-barang yang sudah dilelang itupun diserahkan kembali.

Rintangan berikutnya adalah berupa “Ordonansi Sekolah Liar” yang muncul pada tanggal 1 Oktober 1932. Isi ordonansi itu adalah: sekolah partikelir harus minta izin lebih dahulu, guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar, dan isi pelajarannya harus sesuai dengan sekolah negeri. Ki Hajar Dewantara menentang dan mengajukan protes, dan akhirnya pada tahun 1933, ordonansi tersebut dibatalkan.

Ada lagi rintangan lainya, yaitu adanya onderwijsverbod (larangan mengajar) selama 2 tahun (1934-1936). Sehingga ada 60 orang guru Taman Siswa menjadi korban, bahkan ada cabang yang ditutup sama sekali selama 1 tahun. Februari 1935, timbul masalah tentang tunjangan anak. Peraturan menetapkan bahwa mulai tahun 1935 tunjangan anak hanya diberikan pada pegawai negeri yang anak-anaknya sekolah pada sekolah negeri. Perjuangan ini baru berhasil tahun 1938. Pada zaman Jepang yang diperbolehkan dibuka hanya sekolah-sekolah kejuruan saja. Karena itu, Taman Dewasa diubah menjadi Taman Tani, sedangkan Taman Madya dan Taman Guru dibubarkan.

Pada zaman pendudukan Jepang, peranan Ki Hajar Dewantara juga telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Beliau diangkat sebagai salah seorang pemimpin ”Empat Serangkai”, bersama dengan Ir. Sukarno, Drs Muhammad Hatta, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Empat serangkai ini memperoleh kepercayaan dari Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk memimpin organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), yaitu tahun 1943. Pada tahun 1944, ia diangkat menjadi Naimubu Bunkyoku Sanjo (Kepala Kebudayaan).

Pada zaman kemerdekaan, berturut-turut ia menjadi Menteri

Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, dan Anggota Parlemen. Pada tanggal 19 Desember 1956, ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa (Doktor Kehormatan) dalam Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada. Akhirnya pada tanggal 28 April 1959, beliau wafat dalam usia yang ke 70 tahun. Menurut penuturan Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya pendidikan adalah bagi tiap-tiap bangsa berarti pemeliharaan guna mengembangkan benih keturunan dari bangsa itu, agar dapat berkembang dengan sehat lahir dan batin. Untuk itu, manusia individu harus dikembangkan jiwa raganya dengan mempergunakan segala alat pendidikan yang berdasar adat-istiadat rakyat. Sistem pendidikannya bersandarkan atas kebudayaan kita sendiri dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Intelektualisme harus dijauhi, dan dipraktikan “Sistem Among”, yang menyokong kodrat alam anak-anak. Jadi tidak dengan perintah paksaan, tetapi dengan tuntunan, agar berkembang hidup lahir batin menurut kodratnya sendiri-sendiri (Ahmadi, 1975: 43).

Pembahasan

Sistem Pendidikan dan Pengajaran Berdasarkan kajian tersebut di atas, menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran Ki Hajar Dewantara mempunyai nilai-nilai filosofis yang mendalam. Hal ini dapat dilihat secara jelas pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan, baik pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan. Sistem Among adalah idenya untuk memonitor dan berkomunikasi dengan siswa didiknya. Dalam hal ini sitem among terdiri dua dasar, yaitu: Pertama, Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin, hingga dapat hidup merdeka (dapat berdiri sendiri). Adanya dasar

(8)

kemerdekaan adalah dasar suatu usaha untuk mendidik murid-murid agar bersikap mental, serta bekerja keras dalam batas-batas tujuan mencapai tertib damainya hidup bersama. Dalam hal ini bukan hanya dikenakan pada sikap perilaku, tetapi dilaksanakan pula pada kebebasan anak-anak untuk berpikir; Kedua, Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman harus diganti dengan sistem pendidikan yang berdasar pada kodrat alam. Anak didik baru dapat berkembang secara optimal apabila ia diberi kebebasan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaan yang ada dalam dirinya (Media, Edisi Mei 1996: 39).

Sedangkan dasar pendidikan dan pengajaran dari Taman Siswa ialah “Panca Dharma Taman Siswa”, yang disusun pada tahun 1947. Dasar-dasar itu ialah: 1) asas kemerdekaan, maksudnya bahwa disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri, atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat; 2) asas kodrat alam, berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini. Ia tidak bisa lepas dari kehendaknya, tetapi akan mengalami bahagia, jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Karena itu, hendaklah tiap anak dapat berkembang dengan sewajarnya; 3) asas kebudayaan, hal ini tidak berarti asal memelihara kebudayaan kebangsaan, tetapi pertama-tama membawa kebudayaan kebangsaan ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia, dan kepentingan hidup rakyat lahir batin. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara menganjurkan untuk mengembangkan kebudayaan lokal dalam arti kebudayaan

sendiri, di mana si anak tersebut tinggal; 4) asas kebangsaan. Maksudnya, tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, bahkan harus menjadi bentuk dan perbuatan kemanusiaan yang nyata. Dan oleh karena itu, tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju ke arah kebahagiaan lahir batin seluruh bangsa; 5) asas kemanusiaan. Artinya, menyatakan bahwa dharma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang harus terlihat pada kesucian hatinya dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya.

Nilai Luhur Pandangan Ki Hajar Dewantara

Berilah kemerdekaan pada anak-anak kita, bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas pada tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata, dan menuju ke arah kebuadayaan, yakni keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Dan agar kebuadayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan. Akan tetapi, jangan sekali-kali dasar ini bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan (Ahmadi, 1975: 45). Taman Siswa merupakan lembaga pendidikan yang menanamkan jiwa merdeka di hati sanubari peserta didik. Dalam suatu masyarakat yang sedang dijajah, melaksanakan pendidikan semacam itu tentu merupakan perjuangan yang luar biasa. Peserta didik dibantu untuk menikmati gerak jiwa, pikiran, dan tenaga badan yang terlibat secara bebas dalam setiap mata pelajaran. Dalam asas Taman Siswa juga disebutkan bahwa hak mengatur diri sendiri dengan mengindahkan tuntutan kebersamaan yang serasi, merupakan asas yang utama (Simbolon, 2006: 666).

(9)

Sedangkan sebutan dan adat-adat Ke-Taman Siswa-an mempunyai karakteristik sangat unik dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Paling tidak ada lima nilai-nilai kekhususan Taman Siswa, yaitu; 1) Sebutan Ki, Nyi dan Ni. Maksudnya yaitu menghilangkan perbedaan tingkat pada anggota keluarga Taman Siswa, dan karenanya malaksanakan prinsip demokrasi dalam hidup pergaulan sehari-hari. Ki sebutan bagi anggota kaum pria; Nyi sebutan bagi anggota kaum wnita yang sudah bersuami; dan Ni sebutan bagi anggota wanita yang belum bersuami; 2) tantang menghilangkan konsep “majikan-buruh”. Guru-guru tidak menerima gaji, tetapi mendapat nafkah, yakni biaya hidup yang diperhitungkan menurut kebutuhan-kebutuhan hidup yang nyata; 3) tentang urusan kekeluargaan. Hampir seluruh aturan tentang kekeluargaan Taman Siswa tidak bersandarkan pada peraturan-peraturan tertulis, namun pada mula-mulanya semata-mata timbul sebagai adat kebiasaan, sedangkan dasar-dasarnya ialah demokrasi serta keadilan sosial dalam lingkungan cita-cita perikemanusian dan kodrat alam; 4) sebutan ibu dan bapak. Murid-murid menyebut ibu atau bapak kepada guru-gurunya atau pamongnya; 5) pengertian demokrasi. Yang dimaksud bukan demokrasi secara Barat yang diterima secara mentah-mentah, melainkan harus ditempatkan di bawah pimpinan kebijaksanaan.

Disamping sistem among, penyebutan dan adat-adat, Taman Siswa pun mempunyai kekhususan dibidang semboyan-semboyan Taman Siswa. Semboyan-semboyan diberikan dalam bentuk sastra, lukisan, atau kesenian lainnya, sehingga anak lebih mudah mengingatnya. Hal ini penting untuk perkembangan pribadi anak-anak, bukan saja pikirannya, tetapi juga perasaannya. Semboyan-semboyan itu antara lain: Pertama, “Lawan Sastra Ngesti Mulya”.

Artinya, dengan kecerdasan jiwa menuju ke arah kesejahteraan. Inilah semboyan Taman Siswa yang pertama dan yang menjelaskan maksud berdirinya Taman Siswa tahun 1922 (1852 tahun Jawa); Kedua, “Suci Tata Ngesti Tunggal”. Maknanya, dengan kesucian dan ketertiban menuju kesatuan. Menjelaskan terjadinya Taman Siswa pada tahun 1923; Ketiga, “Ing Ngarsa Sung Tuladha”. Artinya, seorang pemimpin kalau berada di depan harus memberi teladan yang baik bagi yang dipimpinya; Keempat, “Ing Madyo Mangun Karsa”. Maknanya, seorang pemimpin kalau berada di tengah harus dapat membangun motivasi dan kemauan orang yang dipimpinya; Kelima, “Tut Wuri Handayani”. Artinya, seorang pemimpin kalau berada di belakang harus dapat memberi pengaruh. Maksudnya, biarkan anak mencari jalan sendiri, sesuai dengan kemampuannya. Bila anak salah jalan barulah sang pemimpin (pamong) boleh mengarahkannya. Kemajuan sejati hanya dapat diperoleh dengan perkembangan kodrati. Dasar kodrat alam dan dasar kemerdekaan kemudian mewujudkan “Sistem Among”. Tugas guru sebagai “pamong” ialah tetap mengarahkan anak didik dengan memberi kesempatan kepadanya untuk berjalan sendiri. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalan anak-anak, apabila mereka sendiri tidak bisa menghindari bahaya-bahaya yang mengancam keselamatannya; Keenam, “Tertib dan Damai”. Artinya, taman Siswa mendasarkan pendiriannya kepada tertib dan damai yaitu lahirnya tiada perintah, batinnya dapat memerintah sendiri, dan juga berdiri atas kekuatan sendiri;

Ketujuh, “Kita Berhamba Kepada Sang Anak”. Artinya, pendidik dengan ikhlas dan tidak terikat oleh apapun juga, mendekati si terdidik untuk mengorbankan diri kepadanya. Jadi guru untuk murid, dan bukan sebaliknya;

(10)

Kedelapan, “Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung”. Artinya, cita-citanya adalah menciptakan Indonesia merdeka dan berdaulat. Segala yang menghalangi akan dihancurkan. Semboyan itu akan dipakai untuk memperteguh kemauan; Kesembilan, “Tetep, Antep, dan Mantep”. Artinya, ketetapan pikiran dan batin menentukan kualitas seseorang. Jika tetep dan antep telah ada, maka mantep akan datang juga; Kesepuluh, “Ngandel, Kandel, Kendel, dan Bandel”. Artinya, percaya akan memberikan pendirian yang tegak. Maka kemudiannya kendel (berani) dan bandel (tidak lekas ketakutan) akan menyusul sendiri; Kesebelas, “Neng, Ning, Nung, dan Nang”. Artinya, kesucian pikiran dan kebatinan yang didapat dengan ketenangan hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan. Dan kalau sudah ada ketiga-tiganya itu, maka kemenangan akan menjadi bagian kita; Keduabelas, “Bibit, Bebet dan Bobot”. Artinya, menganjurkan pemilihan yang seksama di dalam menentukan anak menantu. Pilihlah bibit yang sehat, jenis yang baik, dan berisi (cukup materi). Kurikulum dan Jenis Sekolah

Kurikulum sekolah di Taman Siswa, dirancang untuk memberikan pembelajaran kepada peserta didik agar dapat menunjukkan jati dirinya masing-masing. Kurikulum tersebut di antaranya yaitu: 1) isi kurikulum atau rencana pelajaran Taman Siswa bersifat kultural nasional. Tiap-tiap mata pelajaran diberikan sebagai bagian dari peradaban bangsa, dan di mana perlu harus memperbaiki syarat-syarat keadaban untuk disesuaikan dengan zaman. Pemuda-pemuda tidak boleh dikekang oleh ikatan tradisi dan konvensi-konvensi yang dapat menghambat pesatnya kemajuan bangsa; 2) segala pelajaran harus dapat membangkitkan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa. Untuk ini, dipentingkan sekali nyanyian-nyanyian tradisional,

cerita-cerita pahlawan bangsa, darmawisata, dan sebagainya; 3) di samping pendidikan kecerdasan, dipentingkan juga penjagaan dan latihan kesusilaan, serta pendidikan kebudayaan yang bersifat kebangsaan; 4) bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa pengantar diwajibkan, dan bahasa daerah yang penting diajarkan secukupnya dalam daerahnya masing-masing. Adapun bahasa asing diberikan untuk keperluan melanjutkan pelajaran dan menambah perhubungan dengan luar negeri.

Sedangkan jenis-jenis sekolah yang diadakan oleh Taman Siswa terdiri dari beberapa sekolah dengan tingkatan yang berbeda-beda. Jenis-jenis sekolah tersebut di antaranya adalah: 1) Taman Indriya (Taman Kanak-Kanak Taman Siswa): umur 5-6 tahun; 2) Taman Anak (kelas I-III) umur 6-10 tahun; 3) Taman Muda (Kelas IV-VI): umur 10-13 tahun; 4) Taman Dewasa (SMP); 5) Taman Madya (SMA); 6) Taman Guru B I: Calon Guru SD, dibagi menjadi tiga, yaitu: a) Taman Guru B II: (1 tahun sesudah Taman Guru B I) ; b) Taman Guru B III: (1 tahun sesudah Taman Guru B II); c) Taman Guru Indriya: (SLTP + 2 tahun); 7) Taman Masyarakat, Taman Tani, dan Taman Rini (untuk wanita); 8) Taman Karti untuk pertukangan, (diadakan di beberapa tempat saja)

Bentuk Organisasi Pendidikan Sesuai dengan sifat pendidikannya (kultural nasional), maka Taman Siswa sebagai organisasi pendidikan berbentuk: 1) Perguruan, adalah tempat berguru, yaitu tempat murid-murid mendapatkan pendidikan, dan juga tempat kediaman guru. Jadi gedung perguruan, di samping tempat mengajar, juga tempat anak-anak berkumpul dengan gurunya sehabis berguru. Juga tempat pertemuan, perayaan dan sebagainya. Ruang-ruangnya dibuat praktis, dinding-dinding

(11)

antar kelas mudah dibuka, sehingga merupakan ruangan yang luas; 2) Pondok-Asrama. Selain guru-guru, juga murid-murid yang berasal dari tempat lain, berdiam di perguruan yang sudah bersifat asrama. Pondok-asrama ini menjadi salah satu alat pendidikan di Taman Siswa. Pondok untuk anak laki-laki disebut Wisma Priya, sedang untuk anak-anak perempuan disebut Wisma Rini. Pondok itu selalu berada di bawah pengawasan para guru dan sifat kekeluargaan tetap terpelihara.

Menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, pendidikan dengan “Sistem Among” memakai cara pondok-asrama, karena dengan cara itu dapatlah ketiga lingkungan pendidikan bekerja bersama-sama yaitu lingkungan keluarga, perguruan, dan perkumpulan pemuda. Persatuan ketiga corak ligkungan pendidikan tersebut penting sekali untuk sempurnanya pendidikan (Sistem Tri Pusat Pendidikan). Di sisi yang sama pendidikan Taman Siswa juga identik dengan model Tri Pusat Pendidikan, yang meliputi alam keluarga, alam perguruan dan alam pemuda. Alam keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan yang terpenting. Tugasnya adalah mendidik budi pekerti dan tingkah laku sosial. Alam perguruan merupakan pusat pendidikan yang berkewajiban untuk mengusahakan kecerdasan pikiran dan memberi ilmu pengetahuan. Alam pemuda merupakan pusat pendidikan yang membantu menuju kecerdasan jiwa maupun budi pekerti. Sistem pendidikan yang mengemukakan adanya tiga pusat pendidikan itulah yang dinamakan “Sistem Tri Pusat” (Soeratman, 1983/1984: 85).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Ki Hajar Dewantara telah dikenal secara luas sebagai tokoh pergerakan nasional yang berperan dalam mewujudkan kemerdekaan

bangsa Indonesia . Di Indonesia, khususnya di kalangan para pendidik, beliau dikenal sebagai tokoh yang berjuang untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan: “Pendidikan apakah yang paling cocok untuk anak-anak Indonesia ?” Jawaban yang paling tepat untuk masalah itu adalah: Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional merupakan sebuah ikhtiar untuk memajukan bangsa Indonesia agar bebas dari belenggu penjajahan.

Usaha menyalenggarakan pendidikan nasional tersebut yaitu dengan mendirikan Perguruan Kebangsaan Taman Siswa di Yogyakarta. Melalui perguruan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan nusa dan bangsa. Taman Siswa melaksanakan kerja duta dan membantu. Tugas yang pertama dimaksudkan untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, untuk menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka. Tugas yang kedua, kerja membantu, dimaksudkan untuk membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada saat itu sangat dibutuhkan oleh rakyat, sedang jumlah sekolah yang disediakan oleh pemerintah Belanda sangat terbatas.

Taman Siswa dalam menjalankan sistem pendidikannya selalu menerapkan kebijakan non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, Taman Siswa tidak mau menerima subsidi dari pemerintah kolonial Belanda. Hal tersebut dilakukan, agar Taman Siswa dapat hidup dengan merdeka dalam bertindak dan agar dapat dengan leluasa melaksanakan apa yang telah digariskan sesuai dengan dasar-dasar pendidikan nasional. Sebagai konsekuensinya, Taman Siswa berjalan dengan kekuatan sendiri (mandiri) dengan mendayakan

(12)

seluruh kemampuannya untuk menjalankan pendidikannya tersebut. Untuk itu, pejuang-pejuang Taman Siswa harus berani hidup sederhana penuh pengabdian. Ki Hajar Dewantara selalu mengingatkan, bahwa tugas para pemimpin Taman Siswa ialah terjun ke dalam kalangan masyarakat, menyatukan diri dengan hidup dan penghidupan rakyat, serta menggerakkan rakyat ke arah kemajuan. Dengan demikian, tugas seorang pemimpin adalah untuk membawa orang yang dipimpin menjadi manusia yang merdeka sepenuhnya.

Saran

Pada prinsipnya mengkaji pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak lekang oleh zaman, apalagi pemikirannya dibidang pendidikan. Hanya saja, tidak banyak para pengkaji yang benar-benar inten mengurai filosofis berdiri dan perjuangan Taman Siswa pra dan pasca kemerdekaan. Kajian ini pun, harus diakui bagian darinya. Harapannya para pengkaji berikutnya, dapat mengkajinya secara utuh dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi. 1975. Sejarah Pendidikan. Semarang: Toha Putra.

Agus Sulistya, V., dkk. 2002. Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya.

---. 2002. Buku Panduan Museum Perjuangan Yogyakarta (Museum Benteng Vredeburg Unit II). Yogyakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata

Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya.

Darsiti Soeratman. 1984. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Depdikbud. “Mengenang Ki Hajar Dewantara Bapak

Pendidikan Nasional Kita”, dalam Media, Edisi 1996. Niel, Robert Van. 1984. The Emergence

of the Modern Indonesian Elite. Ab. Zahara Deliar Noer. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta : Pustaka Jaya.

Parakitri T. Simbolon. 2006. Menjadi Indonesia . Jakarta: Kompas. Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar

Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Soemarsono. 1991. Riwayat Juang Para

Pahlawan Bangsa. Surabaya : Karunia.

Tim Materi Pameran Bersama 2007 Jejak-Jejak Perjuangan Pemuda Pelajar 1908-1959. Yogyakarta .

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui persepsi petani terhadap pelaksanaan dan manfaat program UPSUS Kedelai, (2) Untuk mengetahui faktor pendorong dan faktor

Data dari tabel 3 dan 4 menunjukkan insidensi kekambuhan menurut derajat pterygium pada perbedaan antara operasi bare sclera dengan transplantasi limbal stem

Dengan demikian, budaya korporat berfungsi sebagai perekat sosial dalam mempersatukan anggota-anggota dalam mencapai tujuan organisasi berupa ketentuan- ketentuan atau nilai-nilai

Manusia yang meyakini adanya malaikat, maka tidak perlu memiliki. perasaan takut pada saat berkumpul dengan orang lain maupun pada

Berdasarkan hasil penelitian dikaitkan dengan hasil analisis dan pengujian hipotesis yang ada dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : “Terdapat

• Siswa mampu dan mengerti tentang Sistem Operasi Berbasis TEXT • Siswa mampu dan mengerti tentang prosedur Instalisasi S/O TEXT • Siswa dapat mengetahui proses instalisasi

Periodontitis kronis adalah suatu peradangan kronik yang terjadi pada jaringan periodontium yang disebabkan oleh penumpukan plak pada gigi yang nantinya akan menyebabkan

Berdasarkan hasil penelitian, bermain video game tipe First Person Shooter dapat memberi pengaruh positif yaitu membuat seseorang memiliki waktu reaksi yang lebih cepat.. Hal ini