• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fadhlan Nur Hakiem, M.Si. 1, Sabri Ulvianda 2. Universitas Darussalam Gontor, Universitas Darussalam Gontor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fadhlan Nur Hakiem, M.Si. 1, Sabri Ulvianda 2. Universitas Darussalam Gontor, Universitas Darussalam Gontor"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERAN CRISIS MANAGEMENT INITIATIVE (CMI) DALAM MONITORING IMPLEMENTASI NOTA KESEPAHAMAN (MEMORANDUM OF UNDERSTANDING) ANTARA PEMERINTAH

INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) 2015-2020 Fadhlan Nur Hakiem, M.Si.1, Sabri Ulvianda2

Universitas Darussalam Gontor, Universitas Darussalam Gontor

fadhlanhakiem@unida.gontor.ac.id, sabriulvianda96@gmail.com

Abstract

This journal aims to explain the role of CMI in monitoring the implementation of the Memorandum of Understanding between the Government of Indonesia and GAM in 2015-2020. CMI not only helped in the negotiation process between the Indonesian government and GAM, but also in the process of peace building after the conflict With the details of the Helsinki MoU that has not been realized by the Indonesian government and there is a difference of view between the Indonesian government and GAM in interpreting the Helsinki MoU so as to cause a referendum discourse from gam to separate Aceh from Indonesia as a solution. Demanding cmi to play a role in solving the problem so that the peace that has been established can survive and continue without causing new conflict in Aceh. Therefore, this research will focus on what roles and efforts have been made by the international organization CMI in the process of monitoring the implementation of the Memorandum of Understanding between the Government of Indonesia and GAM. To answer this research the author uses the concept of mediation, using descriptive data types, and the method used is qualitative method. While the data source used is the type of primary and secondary data that wants to be proven in this thesis is the role of CMI in monitoring the implementation of the Memorandum of Understanding between RI and GAM. The results of this study show that what CMI has done is quite influential in monitoring the implementation process of the Helsinki MoU that has not been realized, namely by building effective dialogue between the two parties.

Keywords : Crisis Management Initiative, Free Aceh Movement, Memorandum of Understanding, Monitoring, Implementation.

1 Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor 2 Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor

(2)

2

Abstract

Jurnal ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran CMI dalam monitoring implementasi Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan GAM tahun 2015-2020. CMI tidak hanya membantu dalam proses perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM, namun juga dalam proses bina damai ( peace building) pasca konflik Dengan adanya butir-butir MoU Helsinki yang belum direalisasikan oleh pemerintah Indonesia serta adanya perbedaan pandangan antara pemerintah Indonesia dan GAM dalam menafsirkan MoU Helsinki sehingga menimbulkan wacana referendum dari pihak GAM untuk memisahkan Aceh dari Indonesia sebagai penyelesaianya. Menuntut CMI untuk kembali berperan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut agar perdamaian yang sudah terjalin mampu bertahan dan berkelanjutan tanpa menimbulkan konflik baru di Aceh. Untuk itu penelitian ini akan difoskuskan pada peranan dan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh organisasi internasional CMI dalam proses monitoring implementasi Nota Kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan GAM. Untuk menjawab penelitian ini penulis mengunakan konsep mediasi, menggunakan jenis data deskriptif, dan metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah jenis data primer dan sekunder hal yang ingin dibuktikan dalam skripsi ini adalah peranan CMI dalam

monitoring implementasi Nota Kesepahaman antara RI dan GAM. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan CMI cukup berpengaruh dalam memantau berjalanya proses implementasi MoU Helsinki yang belum direalisasikan yaitu dengan terbangunya dialog yang efektif antara kedua belah pihak.

Kata Kunci : Crisis Management Initiative, Gerakan Aceh Merdeka, Memorandum of

Understanding, Monitoring, Implementasi.

A. Pendahuluan

Konflik yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan Aceh sudah berlangsung sejak Masa Daud Beureueh3 ditandai dengan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI\TII), sejarah terjadinya konflik ini didasari oleh kekecewaan rakyat Aceh kepada Pemerintah Indonesia, masyarakat Aceh merasa tidak mendapatkan hak yang semestinya mereka peroleh.

Sebagaimana yang kita ketahui Aceh merupakan salah satu daerah yang paling terdepan dalam membatu Indonesia meraih kemerdekaan, masyarakat Aceh sampai rela mengumpulkan emas dan uang mereka untuk membeli dua pesawat terbang.4 kemudian pada tahun 1949 rakyat Aceh kembali memberikan sumbangan uang kontan 250.000 dolar AS kepada angkatan perang Republik Indonesia dan 250.000 dolar AS untuk keperluan pemerintahan presiden Sukarno.5 Dapat kita

3 Teunku Daud beureueh adalah mantan Gubernur militer Aceh langkat dan wilayah karo

dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

4 Wahyu Abdinata Syamsul Hadi,Andi Widjajanto,Rori Permadi, Nurul

Rochayati,Supriyanto, Suzane Maria A, Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik Lokal Dan

Dinamika Internasional, 1st ed. (Jakarta: FISIB UI dan Yayasan Obor Indonesia, 2006). Hal 45.

5 Pane Neta S, Sejarah Dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka. Solusi Harapan Dan Impian

(3)

3

cermati bagaima sumbangsih dan pengorbanan rakyat Aceh untuk mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia, sejatinya rakyat Aceh hanya meminta diberikan Otonomi Khusus dan penyelengaraan syariaat Islam.6

Awalnya Presiden Soekarno menyetujui permintaan tersebut agar masyarakat Aceh mau membantu Indonesia, namun setelah Indonesia Merdeka Soekarno malah mengkhianati janjinya tersebut dengan tidak diterimanya usulan pembentukan syari’at islam sebagai dasar negara indonesia.7 bahkan Aceh dijadikan bagian dari provinsi Sumatra Utara. Kemudian diperparah pada masa orde baru dengan mengekploitasi hasil alam Aceh tetapi tidak ada pemerataan pembagunan dan Ekonomi antara Aceh dan daerah lainya di indonesia. Sehingga Pada tanggal 4 Desember 1976 Hasan Tiro Resmi mendeklarasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Halimun sebagai wujud perlawanan kepada pemerintah Indonesia atas kekecewaan yang mereka alami.8

Kemunculan GAM ditangapi oleh pemerintah orde baru dengan mengirimkan ribuan pasukan Tantara Nasional Indonesia (TNI) untuk memberantas GAM yang dinilai sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Konflik yang berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dan GAM berdampak pada berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat seperti Ekonomi, Politik dan Sosial, dintara kasusnya adalah banyak terjadi pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM). korban yang berjatuhan pada saat itu tidak hanya dari pihak militer aja namun dari masyarakat sipil juga ada yang menjadi korban.

Pada tahun 1990-1998 termasuk yang paling banyak mnimbulkan korban jiwa dari rakyat sipil, selama delapan tahun saja sekitar 12.000 korban, kemudian pada tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus penyiksaan dirumah Geudong di pidie pembantaian masal di bumi flora, Aceh Timur dan simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan masal di bener meriah Aceh Tengah.9 adapun korban yang tercatat secara keseluruhan mencapai 22.356

6 Neta S. Hal 5.

7 Aceh Foundation, “Kisah Daud Beureueh Yang Dikhianati,” Aceh Media News, April,

https://achehmedia.wordpress.com/2015/04/28/kisah-tgk-daud-beureueh-yang-dikhianati/.

8 Risky Arie Kurniawan, “Peran Management Initiative (CMI) Dalam Resolusi Konflik

Antara Gerakan Aceh Merdeka Dan Pemerintah Indonesia Tahun 2005-2012,” Global & Policy 4, no. 1 Januari-Juni (2016). Hal 12.

9 Getty, “Dosa Tentara DI Serambi Makkah,” Deutsche Welle (DW) Indonesia, 2015,

(4)

4

orang meninggal, 14.932 orang cacat. Pola ini dinilai tidak hanya melakukan pelanggaran HAM biasa melainkan sudah menjadi suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).10

Akibat munculnya GAM ini banyak rakyat Aceh yang tidak berani untuk mencari nafkah, sehingga banyak took-toko tutup dan perekonomian. Berbagai jenis usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi antara GAM dan pemerintah yang sudah berlangsung selama 30 tahun. Pada periode presiden Abdurrahman Wahid mulai menggunakan pendekatan soft power berupa dialog dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai mediator yaitu Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) namun belum berhasil menyelesaikan konflik di Aceh.

Kemudian dilanjutkan pada periode presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kembali melibatkan pihak ketiga yang berbeda yaitu mempercayakan Non Governmnet Organization (NGO) asal Finlandia yaitu Crisis Management Initatiative (CMI). CMI merupakan NGO internasional yang bergerak dibidang resolusi konflik, yang berlokasi dipusat kota Helsinki, yang berdiri pada tahun 2000, GAM dan pemerintah Indonesia menyetujui CMI sebagai penengah dalam resolusi konflik antara RI dan GAM. CMI menjadi satu-satunya organisasi Non-pemerintah yang berhasil memainkan perananya dalam upaya menyelesaikan konflik RI dan GAM, peran CMI tidak hanya sekedar mendamaikan saja namun pasca perjanjian damai, Memorandum of Understanding (MoU) CMI masih memainkan perananya dalam memantau berjalanya rekonsiliasi dan Implementasi MoU Helsinki antara TNI dan GAM.11

Tercapainya perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM tidak serta merta diperoleh begitu saja tanpa pengorbanan dan perjuangan yang panjang antara kedua belah pihak, begitu juga dari pihak GAM mereka menyetujui perjanjian damai karena ada beberapa tuntutan yang mereka usulkan tertuang dalam

10 Wahed, “RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (RPB) TAHUN 2012 -

2017,” BADANPENANGGULANGAN BENCANA ACEH BANDA ACEH, April 2012, https://bpba.acehprov.go.id/uploads/2_DOKUMEN_RPB_ACEH.pdf. Hal 56.

11 Iskandar Zulkarnain, “Peran Pihak Ketiga Dalam Penyelesain Konflik Di Aceh; Analisa

Kegagalan HDC Serta Prospek Damai MoU Helsinki,” Aceh Insitute, January 2010, www.acheinstitute.org. Hal 5.

(5)

5

Nota kesepahaman MoU Helsinki dan disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat perundingan berlangsung.

Dengan memperhatikan permasalahan-permasalahan yang kembali mencul pasca perdamain di Aceh terkait dengan butir-butir perjanjian damai MoU Helsinki yang belum direalisasikan CMI Kembali memainkan peranya untuk memantau implementasi MoU Helsinki yang belum direalisasikan oleh pemerintah pusat melalui proyek Monitoring implementasi MoU Helsinki. Permasalahan ini tentu tidak terlepas dari keterlibatan CMI untuk terus memantau kondisi Aceh pasca damai dengan melakukan kujungan ke Aceh untuk mencari fakta kepada kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian damai MoU Helsinki guna mendapatkan informasi-informasi penting yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menyelesaikan persoalan ini.12

CMI mempunyai tanggung jawab moral terhadap seluruh kesepakatan yang di prakarsainya tersebut, mengingat bahwasanya CMI adalah Organisasi Non Pemerintah yang telah berhasil memainkan peranya dalam mendamaikan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh merdeka, di khawatirkan apabila masalah ini dibiarkan, masyarakat Aceh akan kembali merasa dikecewakan untuk yang kesekian kalinya oleh pemerintah Indonesia dan akan berdampak mencidrai perdamaian, pemantauan oleh CMI tantunya bertujuan untuk memanimalisir potensi-potensi konflik itu terjadi kembali, dan sudah menjadi tugas CMI untuk memastikan bahwa perdamain yang sudah berlangsung ini mampu bertahan dan berkelanjutan, peran monitoring yang dilakukan CMI pasca perdamain sangat diharapkan bisa menuntaskan Butir-butir perjanjian damai MoU Helsinki sehingga bisa direalisasikan dan dirasakan mamfaatnya oleh masyarakat

B. Kerangka Konseptual

Untuk membahas permasalah yang terjadi mengenai Peran Crisis Management Initiative (Cmi) Dalam Monitoring Implementasi Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) Antara Pemerintah Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdeka (Gam) 2015-2020. Penulis menggunakan teori dan konsep yang berfungsi untuk membantu dalam menganalisis dan memberikan kerangka berfikir

12 Crisis Management Initiative (CMI), “The Aceh Peace Process Follow-Up Project”

(6)

6

yang dapat dipahami berdasarkan guna memberikan penjelasan terhadap fenomena yang ada.

a. Konsep Mediasi

Dalam ruanglingkup studi hubungan internasional, mediasi merupakan salah satu perangkat dalam proses negosiasi penyelesaian konflik menggunakan pihak ketiga yang netral untuk mendekatkan kedua belah pihak yang bertikai hingga tercapai suatu kompromi yang win-win solution.13 Definisi mediasi menurut ahli resolusi konflik Laurence bolle yaitu:

“sebuah proses pengambilan keputusan antara pihak yang bertikai mendapatkan pertolongan dari mediator untuk menhhasilkan beberapa keputusan supaya outcome yang dikeluarkan dapat diterima oleh pihak-pihak yang sedang berkonflik”14

Dalam definisi klasik, mediasi dianggap sebagai proses di mana pihak ketiga yang netral, dapat diterima oleh semua pihak yang berselisih, memfasilitasi komunikasi yang memungkinkan para pihak untuk mencapai penyelesaian yang dinegosiasikan. Proses negosiasi dapat dimodifikasi dengan keterlibatan pihak ketiga. Partisipasi seorang mediator dalam negosiasi menciptakan dinamika yang berbeda dari negosiasi lurus. membantu para pihak mencapai kesepakatan secara sukarela tanpa menggunakan kekuatan fisik, Fungsi mediator yang paling penting adalah menciptakan suasana yang kondusif untuk negosiasi dengan fasilitasi komunikasi yang mengarah pada melonggarnya ketegangan. bantuan pihak ketiga yang netral dalam negosiasi dirancang untuk mendukung komunikasi yang terhambat oleh konflik. Pihak ketiga akan menciptakan itikad baik dan kepercayaan diri dalam mencapai kompromi yang dapat diterima akal dengan membantu komunikasi mereka. Fungsi mediasi yang paling utama adalah adopsi strategis keterampilan untuk menjaga komunikasi mengalir seimbang, objektif, dan produktif.

13 Marvin, “Mediation as a Method of Conflict Resolution,” Two Case, Cambridge

University Press., (2009), Hal 75.

14 Lina Nur Annisa, “Implementasi Prinsip Neutrality Dalam Proses Mediasi,” Sekolah

(7)

7

Karena mediasi adalah sarana negosiasi yang berkelanjutan, seorang mediator harus mempunyai ketrampilan berkomunikasi yang baik dan kompetensi untuk mengelola hubungan permusuhan untuk mencapai kesepakatan. Dengan mengirimkan informasi tentang kemungkinan kebutuhan dan minat, seorang mediator membantu para partisan dalam mengungkapkan keprihatinan mereka dan mengidentifikasi kebutuhan spesifik yang harus ditangani. 15

Kerangka Kerja Mediasi.16

Literatur mediasi pada dekade terakhir ini disusun dalam enam area topical: faktor-faktor penentu mediasi, mediasi pada pada hakikatnya sendiri adalah pendekatan yang digunakan oleh mediator, saat proses mediasi berjalan, mediator bisa memilih berbagai pendekatan dimana pendekatan ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lingkungan, pelatihan mediator, karakteristik dari pihak yang bertikai, dan sifat dasar dari konflik tersebut. Keberhasilan mediasi bergantung kepada kesediaan kedua belah pihak untuk berdamai. Calvin Smith memandang ketidak berhasilan berasal dari ketidakmauan pihak yang bertikai. Sehingga diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk menemukan pengetahuan untuk menjalankan praktik mediasi sensitive terhadap kultur konflik.17

15 Ho-won Jeong, Conflict Management and Resolution, 1st ed. (New York: Group,

Taylor & Francis, 2010). Hal 183

16 Jr James A. Wall, “Mediation, a Current Review and Theory Development” (Columbia,

2008). Hal 65.

17 Smith, Calvin, Facilitating ‘Perspectival Reciprocity’ in Mediation: Some Reflection

on a Failed Case. Springer ( January, 2002) Intraksi Pihak yang bertikai Penentu mediasi Mediasi Pendekatan Penentu Pendekatan Mediasi Penentu Hasil

Mediasi Hasil bagi

pihak bertikai

Hasil bagi Pihak Ketiga

Hasil bagi Mediator

(8)

8

C. Metode Penelitian

Penelitian yang bertajuk : Peran Crisis Management Initiative (Cmi) Dalam Monitoring Implementasi Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) Antara Pemerintah Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdeka (Gam) 2015-2020. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan bersifat deskriptif atau data-data yang dikumpulkan bukan angka-angka melainkan berupa kata-kata dan gambar yang bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai gambaran secara sistematis, aktual serta faktual dari fakta-fakta yang ada. Dalam penelitian ini penulisakan berfokus pada Crisis Magement Intituative (CMI) sebagai subjek dari monitoring yang dilakukan pasca perjanjian damai dan upaya yang dilakukan untuk merealisasikan isi perjanjian tersebut. Peneliti mengumpulkan data sekunder dan informasi melalui studi literatur (literature research) dari bebarapa jurnal, skripsi, buku, laporan, surat kabar online, tabloid online dan website yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu akan melakukan wawancara kepada beberapa aktifis dan simpatisan Aceh yang berperan dalam upaya merealisasikan butir-butir perjanjian damai HoU Helsinki dengan jarak jauh atau secara daring. Penulis mengklsifikasikan data dengan memisahkan antara data yang perlu digunakan dan yang tidak perlu digunakan. Setelahnya mereduksi data sebagai proses analisa dengan memilih, memusatkan, menyederhanakan, menyimpulkan data dan ditrasfomasikan sebagaimana yang ada pada catatan lapangan. Selanjutnya menganalisa yang telah diperoleh dengan memaknainya menggunakan kerangka konseptual Mediasi untuk menghasilkan jawaban atas penelitian ini.

D. Hasil Penelitian

CMI adalah Non Governmental Organization (NGO) asal Finlandia, CMI merupakan NGO internasional yang didirikan oleh Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, dan juga seorang mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, pada tahun 2000 bergerak dibidang resolusi konflik, serta memiliki kemitraan yang erat dengan Kementerian Luar Negeri Finlandia, dan organisasi internasional utama, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa. Dalam hal ini akan dijelaskan bagaimana upaya dan apa saja peran yang dilakukan oleh CMI dalam menangani kasus antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

(9)

9

a. Peran Yang Dilakukan CMI Dalam Memantau Implementasi Nota Kesepahaman Antara Pemrintah Indonesia GAM

Dengan mempertimbangkan segala permasalahan yang terjadi di Aceh setelah perdamaian Direktur CMI Martti Ahtisaari, sebagai mediator perundingan RI dan GAM merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap permasalahan yang terjadi di Aceh, Martti Ahtisaari, menyimpulkan bahwa perlu dikukan sebuah proses dialog yang disegarkan, sistematis dan konstruktif agar implementasi MoU yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan GAM pada tahun 2005 di Helsinki tercapai secara memuaskan. Kedua belah pihak penandatanganan perjanjian perdamaian jika dilihat dalam pandangan hukum harus mematuhi perjanjian yang sudah mereka setujui, Dan harus diselesaikan untuk perdamaian Aceh yang berkelanjutan. pada tahun 2012 direktur CMI Martti Ahtisaari dan anggota CMI menuju Indonesia untuk merencanakan monitoring Nota kesepahaman antara RI dan GAM.18

Dalam monitoring ini Ahtisaari selaku direktur CMI secara khusus berperan sebagai Partner diskusi bagi kedua belah pihak, dan Mediator untuk membantu proses monitoring ini berjalan dengan baik. Diharapkan Supaya terbangunya sebuah mekanisme dialog yang efektif antara pihak penandatanganan MoU. CMI mengajukan sebuah pendekatan yang terstuktur dan menyediakan tenaga ahli dalam bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan Isu-isu MoU yang belum terimplementasikan. Disamping itu CMI juga mengadakan dialog secara berskala dengan rakyat Aceh, pemerintah Aceh dan dewan perwakilan rakyat Aceh kemudian melakukan diskusi dengan perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil.19

b. Sebagai Partner Diskusi

Dalam menjalankan peran monitoring Implementasi Nota Kesepahaman RI dan GAM, Direktur CMI Martti Ahtisaari sering menyapaikan bahwa CMI bersedia

18 Risky Arie Kurniawan, “Peran Management Initiative (CMI) Dalam Resolusi Konflik

Antara Gerakan Aceh Merdeka Dan Pemerintah Indonesia Tahun 2005-2012.” Hal 16.

19 Oktaviani, “Peran Management Initiative (CMI) Melalui Proyek Tindak Lanjut Proes

(10)

10

untuk menjadi partner diskusi dalam penyelesaian permasalahan di Aceh.20 Dengan menjadi partner diskusi CMI lebih mudah mendapat informasi yang lebih akurat terkait permasalahan yang dihadapi dan memungkinkan CMI untuk menemukan solusi yang tepat. Beberapa diskusi yang telah berlangsung antara CMI dan pemangku Kepentingan di Aceh diantaranya, Berdiskusi dengan masyarakat sipil, membentuk Grup Diskusi dengan RI dan GAM.

c. Bediskusi Dengan Kelompok Masyarakat Sipil

Martti Ahtisaari dan CMI sebagai partner diskusi tidak hanya berdiskusi dengan pihak GAM dan pemerintah pusat saja akan tetapi sudah beberapa kali berdiskusi dan berkonsultasi dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil di Aceh dengan menyelenggarakan pertemuan meja bundar selama proses ini, membahas sejumlah isu seperti Hak Asasi Manusia (HAM) gender, pembangunan ekonomi dan peran masyarakat sipil dalam proses perdamaian. Organisasi-organisasi masyarakat sipil secara konsisten menuntut agar mereka lebih banyak terlibat sebagai aktor dalam proses perdamaian.21

CMI beranggapan bahwa organisasi-organisasi masyrakat sipil dapat berkontribusi untuk mendukung dialog tanpa kekerasan dan memfasilitasi rekonsiliasi antara kelompok-kelompok yang sebelumnya saling bertikai. Namun pada umumnya yang terjadi di Aceh, upaya-upaya yang dilakukan organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak menjadi berita atau tidak menarik perhatian umum, seharusnya kegiatan-kegiatan masyarakat sipil didukung. Karena pada dasarnya Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Aceh memiliki fokus yang kuat terhadap isu-isu HAM, dan dalam konteks ini, supaya terbentuknya sistem keadilan dimana penderitaan rakyat di masa konflik mendapat tanggapan dan seluruh kasus pelanggaran HAM di Aceh mampu diselesaikan.22

Dari beberapa diolog tersebut kemudian menghasilkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM, yang sangat

20 Taufan Mustofa, “CMI: Perdamaian Aceh Harus Berlanjut,” Acehtrend, n.d.,

https://www.acehtrend.com/2018/10/18/cmi-perdamaian-aceh-harus-berlanjut/. Hal 2.

21 Oktaviani, “Peran Management Initiative (CMI) Melalui Proyek Tindak Lanjut Proes

Perdamaian Aceh Dalam Proses Bina Damai Di Aceh.” Hal 82.

(11)

11

penting untuk Aceh yang menjadi keprihatinan masyarakat sipil di Aceh. Koalisi organisasi-organisasi masyarakat sipil dari Aceh dan Jakarta yang bernama Koalisi Aceh untuk Kebenaran telah menyiapkan sebuah konsep dan merancang sebuah sistem untuk KKR, yang telah diserahkan kepada pemerintah. Pekerjaan yang sangat penting juga telah dilakukan oleh beberapa organisasi-organisasi masyarakat sipil yaitu mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran HAM.23

d. Membentuk FGD (focus grup discussions)

Untuk mempermudah proses diskusi antara kedua belah pihak RI dan GAM, CMI membentuk sebuah forum diskusi yaitu Focus Group Discussion (FGD). untuk melakukan dialog tentang butir-butir MoU yang berlum terselesaikan, pada prinsipnya kedua belah pihak setuju bahwa:

1. Pertemuan FGD akan membahas dan menyelesaikan isu-isu MoU yang belum terselesaikan.

2. FGD akan diselenggarakan secara berkala setiap tiga bulan atas undangan Ketua Desk Aceh, yang juga akan memimpin pertemuan-pertemuan tersebut.

3. Peserta pertemuan FGD akan dibatasi jumlahnya dan pada prinsipnya akan berasal dari Desk Aceh dan Pihak Penandatangan kedua peserta lainnya misalnya dari kementerian sektoral dan instansi Pemerintah yang lain akan diundang sesuai kebutuhan.

4. Agenda dari setiap pertemuan FGD akan didiskusikan dan disepakati diantara para perwakilan pihak Penandatangan dan Ketua FKK melalui suatu pertemuan persiapan di Banda Aceh.

5. Hasil dan kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan FGD akan didokumentasikan dan ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari kedua belah pihak.

6. Pelaksanaan komitmen yang mengharuskan tindakan nyata oleh salah satu pihak akan dievaluasi pada saat pertemuan FGD berikutnya.24

23 Crisis Management Initiative (CMI), “The Aceh Peace Process Follow-Up Project.”

Hal 35-36.

(12)

12

Apabila terdapat komitmen yang belum terpenuhi atau jika ada ketidaksepahaman diantara kedua belah pihak yang terlibat tentang cara peneyelesaian komitmen tersebut, para pihak yang terlibat dapat mempertimbangkan untuk membawa isu tersebut kepada pengambil keputusan di tingkat yang lebih atas, yang biasanya adalah Menko Polhukam, namun terdapat pengecualian bagi pihak GAM apabila permasalahan yang tidak dapat diselesaikan maka pihak GAM berhak meminta untuk mengajukan isu-isu tersebut kepada Presiden Republik Indonesia.25

Suatu kesepakatan penting yang telah dicapai melalui proses tersebut sejauh ini adalah terbentuknya sebuah tim bersama untuk mempelajari kembali implementasi MoU dan UUPA. Tim tersebut dibentuk oleh Sesmenko Polhukam dan menyertakan lima anggota yang mewakili pihak Penandatangan dari pemerintah Indonesia berasal dari Kemenko Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Kemendagri, serta lima anggota yang mewakili pihak Penandatangan dari GAM, termasuk seorang mantan anggota DPR-RI yang terlibat dalam perancangan UUPA. Tim tersebut akan berfokus untuk mengumpulkan informasi tentang persepsi masyarakat Aceh mengenai implementasi MoU dan UUPA, dan harus menyerahkan laporannya kepada Sesmenko Polhukam.26

e. Menjadi Partnr Diskusi Elit GAM

Para mantan perunding dari GAM membentuk tim white Helsinki dengan tujuan melakukan memonitor perkembangan perdamaian dan menyampaikan langsung kepada direktur CMI. sebagai upaya memupuk tanggung jawab setelah penandatanganan MoU. tahun 2018, banyak perkembangan yang terjadi di Aceh. Banyak hal yang perlu disampaikan dengan para pihak yang terlibat perundingan MoU Helsinki termasuk CMI sebagai mediator perdamaian. Oleh karena itu, atas inisiatif bersama, para mantan perunding GAM menilai diperlukan ada yang memberikan informasi terkini. Kemudian mereka berangkat ke Finlandia untuk bertemu langsung dengan direktur CMI, setelah mendapatkan respon positif dan

25 Ibid. Hal 31-32. 26 Ibid. Hal 33.

(13)

13

diberikan jadwal kunjungan. Bahkan, staff CMI menulis di ujung emailnya: best from white Helsinki.27

Mereka banyak berdiskusi tentang pembangunan di Aceh. Pesannya sangat kuat yaitu,

“Aceh itu kaya sumber daya maritim, pemerintah dan masyarakat harus menjaga laut dan pesisir pantai dengan baik.”28

Delegasi dari mantan GAM tersebut pergi menuju kantor CMI. Mereka disambut Presiden Ahtisaari Beliau bercerita tentang kesuksesan CMI setelah perdamaian Aceh dan keterlibatannya di berbagai negara untuk mendorong perdamaian. Mereka menyampaikan maksud kedatangan dengan menjelaskan berbagai perkembangan terkini Aceh termasuk permasalah-permasalahan yang muncul pasca perdamaian, Martti Ahtisaari mendengarkan dengan serius, dan mencatat dengan baik apa yang mereka sampaikan. Kemudian Ahtisaari menyampaikan dengan tegas bahwa:

“Satu yang menjadi kunci perdamaian, ketulusan ke dua belah pihak yang bertikai”.29

Ahtisaari masih menyakini bahwa GAM dan pemerintah Indonesia masih tulus untuk melanjutkan dan mempertahankan perdamaian.30

f. Mempersiapkan Tenaga Ahli

Dalam Peran Monitoring implementasi Nota Ksesepahaman ini CMI juga mempersiapkan tenaga ahli yang bertujuan untuk memberikan bantuan keahlian, seperti seorang Ahli tentang konflik Aceh, DR timo Kivimaki dari Nordic Institute of Asian Studies di Denmark, untuk memberikan keterangan kepada tim CMI. Dia tahu lebih banyak tentang konflik Aceh dan tim mediator dari CMI juga diarahkan ke sumber yang tepat,yaitu dengan berdiskusi dengan berbagai kalangan dari masyarakat sipil baik aktifis dan akademisi. Keterlibatan Jakko Oksanen juga

27 White Helsinki, “Perjalanan Para Perunding,” Aceh Trend, 2018,

https://www.acehtrend.com/2018/01/25/white-helsinki-perjalanan-para-perunding/. Hal 1.

28 Helsinki. Hal 2. 29 Ibid. Hal 3. 30 Ibid. Hal 1.

(14)

14

sangat penting untuk Ahtisaari. Pengalaman prakteknya yang lama di bidang manajemen krisis menjadikan kontribusinya sangat dibutuhkan.31

Kehadiran jokko Oksanen dan mina kokonen juga bertujuan supaya adanya peningkatan pengetahuan dan menyediakan informasi agar pihak RI dan GAM lebih dipersiapkan untuk bisa terlibat secara efektif dalam proses dialog. Masing-masing pengkajian tersebut telah dilaksanakan dan hasilnya menjadi masukan yang berharga bagi tim CMI tidak hanya dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai penasehat bagi para pihak penandatangan MoU, tetapi juga untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai isu-isu penting yang terkait dengan proses perdamaian. Tim ahli CMI juga memberikan masukan dan saran. Country Coordinator CMI juga ikut terlibat langsung dalam beberapa pertemuan FGD dan pertemuan-pertemuan lainya dalam proses monitoring ini. tim CMI juga mengadakan diskusi dengan kedua belah pihak mengenai hasil-hasil pertemuan dan tidak-lanjut yang diperlukan.32

g. Melibatkan Perempuan Dalam Proses Perdamaian

Salah satu hal yang juga menjadi perhatian CMI adalah partisipasi perempuan dalam proses bina damai Aceh. CMI mengiginkan perempuan di Aceh dapat berpartisipasi secara aktif menyuarakkan keinginan mereka baik dalam ranah politik atau LSM. Mengenai masalah peran perempuan dalam bina damai di Aceh, CMI melihat bahwa masih perlu dorongan untuk mengutamakan peran perempuan dalam proses pemulihan keadaan pasca damai sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa perempuan di Aceh juga banyak yang menjadi korban konflik baik itu pemerkosaan, penyiksaan dan janda korban konflik yang kenudian bergabung menjadi anggota GAM.

Peran perempuan di Aceh, baik sebagai aktor menciptakan perdamaian maupun sebagai kombatan GAM. Menurut CMI selama masa konflik, perempuan telah diremehkan dan sangat dikesampingkan dari lembaga-lembaga dan inisiatif-inisiatif yang penting dalam menangani proses perdamaian. Perempuan, termasuk

31 Oktaviani, “Peran Management Initiative (CMI) Melalui Proyek Tindak Lanjut Proes

Perdamaian Aceh Dalam Proses Bina Damai Di Aceh.” Hal 84.

32 Crisis Management Initiative (CMI), “The Aceh Peace Process Follow-Up Project.”

(15)

15

para mantan kombatan GAM, masih berjuang untuk menemukan jalan yang memungkinkan para perempuan menjadi peserta dan aktor-aktor dalam kehidupan politik pasca konflik di Aceh. Peran perempuan dalam proses perdamaian dan partisipasi mereka dalam kehidupan politik merupakan sebuah tantangan yang harus diperhatikan secara lebih serius oleh pemerintah pusat dan daerah.33

Partisipasi perempuan juga didukung oleh peraturan daerah di Aceh seperti Qanun Aceh tentang “Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan” dan Qanun Aceh tentang “Pembentukan Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak”. Disamping itu CMI juga membentuk Sebuah pengkajian yang dilaksanakan atas nama CMI dalam proses monitoring ini, dengan tema :

“Partisipasi Perempuan dalam Proses Pengambilan Keputusan Paska Konflik di Aceh”

Dari pertemuan tersebut CMI menyimpulkan bahwa peran perempuan dalam partisipasi politik juga mengacu pada perdebatan seputar wacana publik dan bagaimana nilai-nilai sosial dan budaya Aceh di-implementasikan dan ditampilkan pada tingkat dasar hingga tingkat pemerintahan formal. Masih harus dilakukan banyak upaya untuk merubah persepsi masyarakat mengenai peran perempuan dalam kehidupan politik. meskipun ada mekanisme untuk memungkinkan keterlibatan perempuan, para perempuan yang terlibat dalam pertemuan tersebut juga telah menyampaikan bahwa perempuan butuh peningkatan kapasitas dan pelatihan agar dapat membangun keahlian yang diperlukan untuk mengejar posisi dalam politik.34

Dalam konsep mediasi dijelaskan bahwa mediasi merupakan bantuan kepada dua atau lebih pihak yang sedang bertikai ditenggahi oleh pihak ketiga yang biasanya tidak punya kewenangan untuk memaksakan hasil.35

Dalam proses perundingan penyelesaian butir-butir MoU yang belum direalisasikan CMI banyak berperan sebagai penengah saat berlangsungnya

33 Riski Affiat, “Women’s Participation In Decision Making Processes In Post-Conflict

Aceh” (Finlandia, 2016). Hal 8.

34 Risman Arahman, “Tahapan Perdamaian Aceh” (Banda Aceh, 2015). Hal 40. 35 Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin Pruitt, “Teori Konflik Sosial,” 1st ed. (Yogyakarta:

(16)

16

pertemuan antara pihak RI dan GAM seperti dalam beberapa pertemuan, CMI akan diundang untuk memantau berjalanya negosiasi antara kedua belah pihak, baik secara langsung atau tidak langsung dalam membicarakan butir-butir MoU Helsinki yang belum terselesaikan, salah satunya pada saat pertemuan FGD, dan dalam beberapa proses negosiasi lainya yang berlangsung secara bertahap di Aceh, dalam hal-hal yang sangat serius dan menemui kebuntuan sehinga perlu adanya penengah.36

Negosiasi antara pemerintah indonesia dan pemerintah Aceh berlangsung dalam empat putaran masing-masing putaran membicarakan persoalan yang berbeda, dari masalah berdirinya Komite Peralihan Aceh (KPA) sampai dengan pemberian tanah bagi mantan kombatan GAM yang belum direalisasikan, semua belangsung dengan baik walaupun masih ada permasalahan yang menemui jalan buntu, seperti masalah Bendera dam Lambang.

Dalam hal ini negosiasi dilakukan dalam empat putaran, yaitu :

Putaran Pertama :

Pada putaran pertama proses negosiasi ini berlangsung pada tahun 2012 di Aceh. Pihak pemerintah pusat menyapaikan protes kepada mantan anggota GAM yaitu tentang keberadaan Komite Peralihan Aceh (KPA) sebagai sebuah gerakan tidak resmi dengan struktur, simbol-simbol, dan istilah-istilah yang cenderung bernuansa militer. Menanggapi protes tersebut pihak GAM menjelaskan bahwa Pada awalnya KPA dibentuk oleh GAM tanpa pengakuan pemerintah pusat sebagai sebuah wadah informal untuk memfasilitasi proses transisi mantan kombatan GAM kedalam kehidupan sipil. Kemudian Pemerintah pusat secara tegas meminta kepada pihak GAM mentransformasi KPA menjadi organisasi yang benar-benar non-militer dan meminta agar KPA didaftarkan secara resmi menjadi sebuah ormas, dan yang memimpin dapat diminta pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya.37

Dari perundingan tahap pertama ini CMI meminta kepada pihak GAM supaya sepakat KPA dileburkan menjadi Organisasi Masyarakat (ORMAS) seperti yang

36 Oktaviani, “Peran Management Initiative (CMI) Melalui Proyek Tindak Lanjut Proes

Perdamaian Aceh Dalam Proses Bina Damai Di Aceh.” Hal 87.

37 Crisis Management Initiative (CMI), “The Aceh Peace Process Follow-Up Project.”

(17)

17

di mintah oleh Pemerintah Indonesi, dan kedua belah pihak sepakat bahwa KPA akan dileburkan menjadi ormas/orsospol dan tidak akan menggunakan pakaian yang meniru dan menggunakan atribut militer, sebagaimana diamanatkan oleh MoU.38

Putaran Kedua

Dalam putaran kedua perundingan ini membahas tentang penggunaan simbol-simbol daerah bagi Aceh sebagai daerah istimewa yang tercantum dalam butir MoU Helsinki yaitu:

“1.1.5 Aceh memiliki hak untuk mengunakan simbol-simbol wilayah termasuk Bendera Lambang dan Hymne.’’39

Mengenai bendera Aceh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dua tahun lalu telah mengesahkan Qanun Aceh Nomor 3 tentang lambang dan bendera Aceh. Bentuk bendera tersebut yaitu warna dasar merah dengan garis putih dan hitam. Di tengahnya, terdapat bulan sabit dan bintang berwarna putih. Masyarakat Aceh sudah beberapa kali mengibarkan bendera tersebut meski akhirnya diturunkan oleh aparat keamanan. Walaupun sudah disahkan menjadi bendera Aceh.40

Dalam proses negosiasi ini Pemerintah juga menawarkan akan memberikan sebagian kewenangan kepada pemerintah Aceh, apabila, pemerintah Aceh mengkehendaki perubahan pada benderanya yang memiliki unsur GAM. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM mengatakan terdapat sejumlah kewenangan-kewenangan pusat yang akan diserahkan kepada daerah. Jika daerah daerah tersebut mematuhi untuk melaksanakan kewenangan pusat. Ada beberapa yang diminta akan diberikan apabilah daerah Aceh menyetujui perubahan bendera, bendera Aceh saat ini tidak boleh digunakan karena warna dan bentuknya menyerupai dengan bendera GAM. kewenangan yang diberikan kepada pemerintah Aceh tersebut berupa pengelolaan pesisir pantai di pulau-pulau. Apabila pemerintah Aceh menginginkan akan diberikan sebagian. Namun perubahan pada bentuk

38 Ibid. Hal 14.

39 Ikhsan, “Perjanjian Helsinki RI-GAM.” Hal 5.

40 ANSHAR, “DPRA Sahkan Bendera Aceh,” tribunnews, n.d.,

(18)

18

bendera menjadi Persyaratannya, dan merupakan timbal balik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.41

Putaran Ketiga

Dalam putaran ketiga proses negosiasi ini berlangsung pada bulan Juni 2020. Dalam perundingan ini tidak kalah pentingnya yaitu pembahasan tentang tapal batas wiliyah Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956 sebagaimana yang tercantum dalam MoU Helsinki yaitu :

“1.1.4 Perbatasan Aceh dengan Sumatra Utara merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.”.42

Poin tersebut Sudah tercantum dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yakni tetap berbatas dengan Sumatera Utara. Komisi I DPR Aceh, batas wilayah yang menjadi sengketa terletak di kabupaten Aceh tamiang, Gayo Lues, Aceh Tenggara, serta kota Subulussalam, terkait Tapal batas Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 17 juni 2020 DPR Aceh mengadakan pertemuan dengan sejumblah pemangku kepentingan, dalam rapat tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi I DPR Aceh, Wakil Ketua DPR Aceh, Sekretaris, dan anggota DPR Aceh lainya, turut hadir juga Anggota. dari Kodam Iskandar Muda, Irdam Kodam Iskandar Muda Brigjend. TNI. A. Faizal dan Katopdam Iskandar Muda Kolonel Hendro Sukmono. Sedangkan dari Pemerintah Aceh hadir Asisten satu Sekda Aceh, Mewakili Kanwil BPN Aceh, Kepala Biro Tapem, Mewakili Biro Hukum, Mewakili Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Kadis Pertanahan, Mewakili Dinas Kelautan dan Perikanan, Mewakili Bappeda.43

Dan sampai akhir proses negosiasi ini berlangsung masing-masing pihak tetap mempertahan pendapat mereka masing-masing dan belum ada penyelesaian, dalam proses negosiasi ini pihak dari CMI tidak terlibat secara langsung, namun tetap memberikan masukan dan saran agar pemerintah Aceh mencari sumber yang

41 Dessy Suciati Saputri, “Aceh Diberi Kewenangan, Asal Ganti Bendera,” Republika,

accessed September 12, 2020, https://republika.co.id/berita/nfabl5/aceh-diberi kewenangan-asal-ganti-bendera.. Hal 2.

42 Ikhsan, “Perjanjian Helsinki RI-GAM.” Hal 4.

43 Taufan Mustofa, “DPRA Menyoal Tapal Batas Aceh 1 Juli 1956,” Aceh Trend, n.d.,

(19)

19

jelas tentang batas wilayah Aceh merujuk pada 1 Juli 1956 jika benar-benar ingin direalisasikan dengan nyata supaya ada landasan yang kuat, menanggapi saran dari CMI, pihak Pemerintah Aceh melakukan kerjasama dengan Universitas syahkuala Banda Aceh terkait batas Aceh 1 Juli 1956 untuk menyajikan dokumen agar bisa mengadvokasi batas Aceh yang sesuai denga isi perjanjian MoU Helsinki.44

Putaran Keempat

Pada putaran yang keempat ini sangat berbeda dengan putaran-putaran perundingan sebelumnya pada putaran ini permasalahan yang dibahas lebih komplek yaitu membicarakan seluruh tuntutan dari butir-butir MoU Helsinki dan seperti apa tindak lanjut dari permasalahan ini. Sebelumnya pada bulan November 2018 Tim dari CMI Jaako Oksanen dan Mina Kokkonen yang diutus oleh Martti Ahtisaari Direktur CMI bertemu dengan sejumblah pemangku kepentingan MoU Helsinki dari pihak GAM termasuk Wali Nanggroe Aceh Malik mahmud AL-Haytar dalam pertemuan tertutup.45

Dalam pertemuan tersebut pihak elit GAM banyak membicarakan tentang persoalan MoU Helsinki yang belum terselesaikan, pihak CMI memberikan masukan supaya permasalahan ini diselesaikan melalui jalur politik, kemudian atas rekomentasi dari CMI tersebut pada bulan Februari tahun 2020 pihak elit GAM diantaranya Wali nanggroe Aceh dan Mualem selaku mantan panglima GAM berangkat menuju Istana kepresidenan untuk bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo, dalam pertemuan tersebut Wali Nanggroe menyampaikan sejumblah Nota Kesepahaman yang belum dijalankan pemerintah pusat kepada mantan kombatan GAM berupa pembagian tanah, yang tercantum dalam butir MoU yaitu:

“3.2.5 Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan Dana yang memadai kepada pemerintah Aceh untuk diberikan kepada semua mantan pasukan GAM, semua tahanan politik yang

44 Mustofa, “DPRA Menyoal Tapal Batas Aceh 1 Juli 1956.” Hal 1. 45 “CMI Jaga Damai Aceh,” Aceh Tribun News, November ,

(20)

20

memperoleh amnesti dan rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian jelas akhibat konflik”.46

Kemudian beliu juga menyampaikan persoalan investasi kepada presiden Joko Widodo beliu mengatakan masih ada kesalahpahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh terkait investasi, Respon Presiden Jokowi dalam pertemuan tersebut sangat baik, presiden Jokowi menyapaikan supaya diberikan waktu untuk mempelajari dan mendiskusikan Kembali butir-butir MoU yang belum direalisasikan mengingat beliu juga tidak terlibat langsung Ketika proses perdamaian. Kemudian beliu mengintruksikan kepada kepala staff kepresidenan Moeldoko untuk menyelesaikan masalah ini dan membentuk tim khusus dalam menyelesaikan persoalan ini, presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa dalam jangka waktu 3 bulan kedepan sudah ada formula-formula yang bisa jadi solusi, Moeldoko menyatakan siap dan akan bekerja secara intensif dengan Tim dari Aceh.47

E. Kesimpulan

Peran Crisis Management Initiative (CMI) dalam Monitoring Implementasi Nota Kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). CMI berusaha untuk menjaga dan membina perdamaian di Aceh, agar tidak hilang atau terputus sampai di penandatanganan MoU Helsinki saja. Bagi CMI, sebagai organisasi yang bergerak di bidang resolusi konflik, kesepakatan antara kedua pihak yang bertikai yakni GAM dan pemerintah indonesia, merupakan langkah awal untuk menuju Aceh yang lebih baik. Sebagai pihak ketiga, CMI berusaha memfasilitasi dialog-dialog yang mampu mempertemukan semua pihak yang memiliki kepentingan agar bisa menyatakan keluhanya masing-masing. Salah satunya adalah tentang pengimplementasian MoU yang menemui kendala di beberapa bidang, karena perbedaan pandangan antara pemerintah Indonesia dan GAM dalam menafsirkan interpretasi MoU Helsinki. Sesuai dengan tujuan awal

46 Ikhsan, “Perjanjian Helsinki RI-GAM.” Hal 3.

47 Rahmat Nur Hakim, “Temui Jokowi, Wali NAD Tagih Janji Negara Soal Tanah Untuk

Eks Kombatan GAM,” KOMPAS, 2020,

https://amp.kompas.com/nasional/read/2020/02/13/21181831/temui-jokowi-wali-nad-tagih-janji-negara-soal-tanah-untuk-eks-kombatan-gam. Hal 1.

(21)

21

peran monitoring CMI yakni supaya kedua pihak bisa mengimplementasikan seluruh butir-butir MoU Helsinki.

CMI memperjelas keinginan dan interpretasi masing-masing pihak terhadap butir-butir MoU Helsinki, terutama butir-butir MoU yang belum terlaksana, di beberapa bidang. Tantangan dan strategi, faktor kapasitas lokal, resolusi konflik, rehabilitasi dan pembangunan, serta demokratisasi. Dengan dialog, transparansi dan komunikasi yang terjalin antara kedua pihak, diharapkan pencapaian keinginan antara kedua belah pihak lebih mudah di masa yang akan datang, karena telah mengetahui apa yang menjadi fokus dan prioritas masing-masing.

F. Daftar Pustaka

Abdinata, Wahyu Syamsul Hadi,Andi Widjajanto,Rori Permadi, Nurul Rochayati,Supriyanto, Suzane Maria A, Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik Lokal Dan Dinamika Internasional, 1st ed.

(Jakarta: FISIB UI dan Yayasan Obor Indonesia, 2006). Hal 45. Aceh Foundation, “Kisah Daud Beureueh Yang Dikhianati,” Aceh Media

News, April, https://achehmedia.wordpress.com/2015/04/28/kisah-tgk-daud-beureueh-yang-dikhianati/.

Affiat, Riski, “Women’s Participation In Decision Making Processes In Post-Conflict Aceh” (Finlandia, 2016). Hal 8.

ANSHAR, “DPRA Sahkan Bendera Aceh,” tribunnews, n.d., https://aceh.tribunnews.com/2013/03/23/dpra-sahkan-bendera-aceh. Hal 1.

Arahman, Risman, “Tahapan Perdamaian Aceh” (Banda Aceh, 2015). Hal 40. Calvin, Smith, Facilitating ‘Perspectival Reciprocity’ in Mediation: Some

(22)

22

Crisis Management Initiative (CMI), “The Aceh Peace Process Follow-Up Project” (Finlandia, 2012). Hal 25.

Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin Pruitt, “Teori Konflik Sosial,” 1st ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). hal 34

Getty, “Dosa Tentara DI Serambi Makkah,” Deutsche Welle (DW) Indonesia, 2015, https://www.dw.com/id/dosa-tentara-di-serambi-mekah/g-19267252. Hal 3. Hakim, Rahmat Nur, “Temui Jokowi, Wali NAD Tagih Janji Negara Soal

Tanah Untuk Eks Kombatan GAM,” KOMPAS, 2020, https://amp.kompas.com/nasional/read/2020/02/13/21181831/temui- jokowi-wali-nad-tagih-janji-negara-soal-tanah-untuk-eks-kombatan-gam. Hal 1.

Helsinki, White, “Perjalanan Para Perunding,” Aceh Trend, 2018, https://www.acehtrend.com/2018/01/25/white-helsinki-perjalanan-para-perunding/. Hal 1

Ikhsan, “Perjanjian Helsinki RI-GAM.” Hal 4.

Jeong, Ho-won, Conflict Management and Resolution, 1st ed. (New York: Group, Taylor & Francis, 2010). Hal 183

Jr James A. Wall, “Mediation, a Current Review and Theory Development” (Columbia, 2008). Hal 65.

Kurniawan, Risky Arie, “Peran Management Initiative (CMI) Dalam Resolusi Konflik Antara Gerakan Aceh Merdeka Dan Pemerintah Indonesia Tahun 2005-2012,” Global & Policy 4, no. 1 Januari-Juni (2016). Hal 12.

Marvin, “Mediation as a Method of Conflict Resolution,” Two Case, Cambridge University Press., (2009), Hal 75.

(23)

23

Mustofa, Taufan, “DPRA Menyoal Tapal Batas Aceh 1 Juli 1956,” Aceh Trend, n.d., https://www.acehtrend.com/2020/06/19/dpra-menyoal-tapal-batas-aceh-1-juli-1956/. Hal 2.

Nur, Annisa, Lina, “Implementasi Prinsip Neutrality Dalam Proses Mediasi,” Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, (2016), Hal 55.

Oktaviani, “Peran Management Initiative (CMI) Melalui Proyek Tindak Lanjut Proes Perdamaian Aceh Dalam Proses Bina Damai Di Aceh.” Hal 79.

S, Pane Neta, Sejarah Dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka. Solusi Harapan Dan Impian (Jakarta: Gransindo, 2001). Hal. 5.

Saputri, Dessy Suciati, “Aceh Diberi Kewenangan, Asal Ganti Bendera,”

Republika, accessed September 12, 2020,

https://republika.co.id/berita/nfabl5/aceh-diberi kewenangan-asal-ganti-bendera.. Hal 2.

Wahed, “RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA (RPB) TAHUN 2012 - 2017,” BADANPENANGGULANGAN BENCANA ACEH

BANDA ACEH, April 2012,

https://bpba.acehprov.go.id/uploads/2_DOKUMEN_RPB_ACEH.pdf. Hal 56.

Zulkarnain, Iskandar, “Peran Pihak Ketiga Dalam Penyelesain Konflik Di Aceh; Analisa Kegagalan HDC Serta Prospek Damai MoU Helsinki,” Aceh Insitute, January 2010, www.acheinstitute.org. Hal 5.

Referensi

Dokumen terkait

selain penelitian terdahulu temuan di lapangan pada hasil kuesioner yang diisi dengan 70 orang responden dan total pernyataan pada bagian sikap untuk menggunakan

Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi (Studi Kasus di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri

Banyak peneliti yang telah menggabungkan temuan-temuan tersebut kedalam model yang diusulkan untuk kepuasan pengguna akhir dalam memberikan pandangan yang lebih baik dari metode

Secara umum variabel-variabel bebas yaitu : kepemimpinan, budaya organisasi dan motivasi kerja mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel terikat yaitu

Rumus merupakan bagian terpenting dari Program Microsoft Excel , karena setiap tabel dan dokumen yang kita ketik akan selalu berhubungan dengan rumus dan

c. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang diharapkan akan

Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa sering dibuat dalam bentuk kontrak standar, dimana suatu kontrak telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak dan pihak yang

Untuk mencapai tujuan perusahaan, maka manajemen melakukan beberapa kebijakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Kebijakan piutang yang dilakukan