• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka* 1. SEBUTAN PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM SEBAGAI "CODE OF CONDUCT"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka* 1. SEBUTAN PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM SEBAGAI "CODE OF CONDUCT""

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim sebagai Penjaga Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka*

Bagir Manan**

1.    SEBUTAN PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM SEBAGAI "CODE OF CONDUCT"

Hanya menyebut "code of conduct", tidak begitu tepat, karena sebutan tersebut bersifat umum yang berlaku bagi semua profesi atau perkumpulan profesi (code of conduct dokter, wartawan, termasuk hakim). Untuk menghindari salah pengertian, atau supaya jelas, maka umumnya dilekati dengan kata "judicialy" atau "kekuasaan kehakiman" yaitu "code of judicial conduct"1.

Ada pula yang menggunakan sebutan (nama) lain, seperti

canons of judicial ethics

(Negara Bagian Alabama, Negara Bagian Montana), atau

code of judicial ethics

(Negara Bagian California).

2.    HUBUNGAN ANTARA PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM DENGAN "CODE OF JUDICIAL ETHICS"

Mengapa pedoman tingkah laku hakim ditempatkan sebagai peraturan etika (rules of ethics)?

Secara normatif, pedoman tingkah laku hakim, memang bukan sebuah aturan hukum. Baik ditinjau dan wewenang membuat atau menetapkan, isi (materi muatan), cara menetapkan, dan cara menegakkan pedoman tingkah laku hakim tidak memenuhi syarat sebagai ketentuan hukum (legal norms).

Pedoman tingkah laku hakim adalah aturan moral (etik) yang bertujuan untuk membangun dan memperkukuh standar moral (etik) tingkah laku hukum. Sebagai aturan moral (etik), pedoman tingkah laku hakim—di mana pun—lebih menekankan segi-segi kewajiban yang wajib diemban dan dipikul oleh hakim baik secara individual maupun secara kolektif (bersama-sama).

(2)

Sebagai kode etik, pedoman tingkah laku hakim semata-mata dibuat sebagai pedoman, petunjuk, atau guidance yang mengatur tingkah laku hakim melalui tindakan-tindakan disiplin. Karena itu pedoman tingkah laku hakim lazim juga disebut sebagai aturan disiplin (

disciplinary rules

). Pedoman (peraturan) tingkah laku hakim sebagai kode etik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai dasar pertanggungjawaban hukum baik keperdataan atau pidana.

2

Sudah semestinya pula tidak dimaksudkan menjadi dasar pertanggungjawaban menurut hukum administrasi baik melalui forum "administratiefberoep", maupun "administratief rechtspraak".

3.  PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM DAN KAIDAH HUKUM

Pada Rubrik 2 telah dicabut, Pedoman Tingkah Laku Hakim adalah kaidah etik bukan hukum. Sebagai kaidah etik, Pedoman Tingkah Laku Hakim memuat beberapa karakteristik. Pertama; Pedoman Tingkah Laku Hakim atau

Code of Judicial Conduct

, hanya mengatur kewajiban-kewajiban moral yang harus diperhatikan dan dijalankan hakim, baik secara individual maupun secara kolektif.

3

Kedua

; Pedoman Tingkah Laku Hakim atau Code of Judicial Conduct, semata-mata dimaksudkan untuk membangun dan memperoleh standar etik dan disiplin hakim baik secara individual atau kolektif. Ketiga; Pedoman Tingkah Laku Hakim atau Code of Judicial Conduct, tidak ditegakkan dengan penindakan secara hukum (keperdataan, pidana, administrasi), melainkan dengan cara membangun keinsyafan dan tanggung jawab untuk menjadi hakim yang baik.

4

Sebagai "disciplinary rules", Pedoman Tingkah Laku Hakim ditegakkan melalui tindakan pendisiplinan.

Dalam buku-buku maupun penyajian ilmu hukum diakui dan diterima, kemungkinan

menjalankan dan menegakkan kaidah etik lebih sulit daripada menegakkan kaidah hukum. Membangun keinsyafan atau kesadaran etik, selain membutuhkan waktu, juga sangat

tergantung pada lingkungan dan kenyataan sosial maupun kultural, sistem keyakinan, pribadi maupun yang hidup dalam masyarakat. Bahkan, faktor-faktor politik, ekonomi, dan tatanan pemerintahan akan sangat memengaruhi keinsyarafan etik seseorang atau masyarakat pada umumnya. Karena itu, upaya menanamkan dan memperkukuh ketaatan pada kaidah etik, tidak sekadar agar menghafal berbagai kaidah etik atau dengan mendengung-dengungkan ancaman. Tidak kalah penting adalah menciptakan sistem dan suasana, sehingga setiap orang terdorong untuk memedomani kaidah atau aturan etik.

(3)

Kalau demikian haknya, mengapa tidak dicukupkan dengan berusaha melengkapi dan memperkukuh aturan-aturan hukum yang lebih mungkin ditegak-kan secara efektif dibandingkan dengan menegakkan kaidah etik?

Sepanjang berkaitan dengan hakim, akan didapati beberapa hal berikut:

Pertama; ada sejumlah tingkah laku hakim yang tidak diatur bahkan tidak mungkin diatur secara (oleh) hukum. Sekadar ilustrasi dapat diberikan beberapa contoh:

1. Para hakim acapkali dikuliahi ungkapan "justice delay, is justice denied" (menunda-nunda proses atau putusan sama dengan tidak menegakkan keadilan). Ungkapan ini bersifat moral belaka. Memang ada undang-undang yang mengatur jadwal proses peradilan. Tetapi, lebih banyak dilanggar daripada ditaati. Mengapa? Adakalanya pembentukan undang-undang

sekadar memasang bedak politik daripada mempertimbangkan kenyataan, seperti kompleksitas perkara, faktor-faktor di luar hukum, dan lain sebagainya.

2. Putusan hakim acapkali dipersoalkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan tidak memadai ( onvoldoende gemotiveerd). Lengkap atau tidak lengkap suatu pertimbangan

tidak dapat menjadi dasar untuk menuntut tanggung jawab hukum, terhadap hakim atau majelis hakim, yang bersangkutan. Pertimbangan-pertimbangan hakim adalah bagian dari kebebasan hakim. Ketelitian adalah suatu tuntutan etik, bukan tuntutan hukum.

3. Sejumlah hakim sengaja meninggalkan persidangan yang sedang berjalan, sebagai proses terhadap ketua sidang. Mungkin para hakim yang bersangkutan berdalih sebagai wujud kebebasan hakim. Perbuatan ini penting tidak sangat nyata bertentangan dengan kewajiban etik hakim di persidangan. Apalagi kalau perbuatan itu diselubungi suatu sikap mempolisisasi persidangan (politicking) untuk mempermalukan atau mencerminkan atau merendahkan martabat seseorang. Selain mencerminkan persidangan, perbuatan itu merugikan seseorang yang disidangkan karena kebebasan hakim menjadi perbuatan sewenang-wenang (arbitrary), dan termasuk pula "justice delay, justice denied".

Kedua; kaidah etik diperlukan di samping kaidah hukum bersumber pada perlindungan terhadap kebebasan hakim.

Dalam sejumlah tulisan atau keterangan, saya pernah mengatakan: "kebebasan hakim seperti pedang bermata dua". Kalau dipergunakan secara tidak wajar, tidak layak, apalagi untuk

(4)

menyalahgunakan kekuasaan, kebebasan tersebut menjadi sewenang-wenang (arbitrary, wille

keur )

. Ketidakwajaran, ketidakpantasan, bahkan penyalahgunaan kekuasaan, tidak selalu terjangkau oleh hukum. Seorang hakim yang mengajukan pertanyaan yang menjerat tidak melanggar hukum, tetapi sangat nyata melanggar prinsip-prinsip etik dalam membaca perkara. Demikian pula hakim yang makan di restoran disertai advokat atau orang yang sedang beperkara, adalah sebuah kebebasan yang tidak layak atau tidak pantas yang akan menimbulkan dugaan

pelanggaran atas prinsip "impartiality" atau "fairness".

4.  PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM SEBACAI PENJAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pada rubik-rubik terdahulu sudah tersirat beberapa prinsip hubungan antara tingkah laku hakim dengan kekuasaan kehakiman.

Dalam pembukaan code of judicial conduct, beberapa Negara Bagian Amerika Serikat (Wyoming Wisconsin, Vermont, dan Iain-lain) disebutkan:

"... that judges, individually and collectively, must respect and honor the judicial office as a public trust and strive to enhance and maintain confidence in our legal system. The judge is an arbiter of facts and law for the resolution or dispute and a highly visible symbol of government under the rule of law"5.

Pada negara-negara demokrasi yang dijalankan berdasarkan hukum (democracy under the rule of law, democratische rechtsstaat), ada beberapa pilar utama kekuasaan kehakiman yang hams dihormati dan dijunjung tinggi, yaitu: independent, impartial, fair, competant.

Kita sudah sangat banyak disuguhi dan mempelajari berbagai aspek mengenai independensi, impasialitas, dan fair, sehingga tidak perlu diuraikan lagi.

Akan diberikan sedikit catatan mengenai kompetensi. Untuk mewujudkan suatu putusan yang

(5)

lebih-lebih kalau dikaitkan dengan mutu putusan diperlukan hakim yang kompeten dalam arti memiliki wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang tinggi untuk mewujudkan suatu putusan yang benar dan adil. Kewibawaan pengadilan ditentukan oleh kesanggupan hakim memutus atau menyelesaikan sengketa dengan kualitas yang tinggi.

Menghormati dan menjujung tinggi independen (kemerdekaan) kekuasaan kehakiman, selain untuk menjamin rule of law, sekaligus menjamin kebebasan hakim. Tanpa kekuasaan

kehakiman yang independen tidak akan pernah ada hakim yang merdeka, Menghormati dan menjunjung tinggi imparsialitas dan fairness berarti memelihara kepercayaan publik kepada peradilan yang pada gilirannya menjamin kepercayaan publik terhadap hukum.

Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban di atas, selain memelihara tingkah laku

independensi, tidak berpihak, fair, dan memiliki kompetensi yang tinggi, hakim juga mempunyai kewajiban etik lain, yaitu:

(1)    memelihara integritas (integrity),

(2)    menjauhkan diri dari perbuatan tidak layak atau tercela (impropriety).

(3)    dalam memutus perkara, hakim tidak boleh bias atau didasarkan pada purbasangka. (4)    harus senantiasa menjaga kehormatan (dignity).

(5)    harus selalu teliti, tekun, hali-hati (deligent).

(6)    harus selalu sabar dan memelihara sopan santun.

(7)    tidak turut serta dalam kegiatan politik, tetapi kalau dianjurkan mengikuti kegiatan sosial untuk mengembangkan hukum (menjadi dosen dan Iain-lain).

Apabila kaidah-kaidah etik di atas disatukan, maka kewajiban hakim menghormati dan menjunjung tinggi peradilan, akan terdiri dari:

(1)    memiliki kompetensi (pengetahuan dan keterampilan yang tinggi (competent). (2)    imparsial dan fair.

(3)    menjauhkan diri dari perbuatan tidak layak atau tercela.

(4)    dalam memutus perkara, hakim tidak boleh bias atau atas dasar purbasangka. (5)    harus selalu teliti, tekun, dan hati-hati.

(6)    harus selalu sabar dan memelihara sopan santun. (7)    harus selalu menjaga kehormatan,

(8)    harus selalu menjaga integritas.

(9)  tidak ikut dalam kegiatan polilik, tetapi diajurkan ikut serta dalam kegiatan sosial yang bertujuan mengembangkan hukum (seperti kegiatan ilmiah di bidang hukum).

(6)

Menuju akhir uraian, saya akan menyampaikan sesuatu yang pernah terjadi dan dilakukan di Inggris untuk memperkukuh prinsip-prinsip etik pejabat publik Inggris.

Pada tahun 1994, dibentuk sebuah komite yang bertugas merumuskan standar etik untuk pejabat publik. Komite ini dibentuk atas dasar banyaknya pemberitaan mengenai perbuatan tidak layak senonoh (sleaze) yang dilakukan pejabat publik termasuk anggota-anggota parlemen yang melanggar "Code of Conduct of Parliament".

Salah satu hasil, komite berupa standar-standar etik yang harus dipedomani pejabat publik. Standar-standar tersebut meliputi:

(1) Selflessness (tidak mementingkan diri sendiri)

Pejabat publik membuat keputusan untuk kepentingan publik semata. Pejabat publik tidak boleh membuat keputusan demi suatu keuntungan finansial atau keuntungan materi lainnya, baik untuk diri, keluarga, atau sahabat.

(2)    Integrity (integritas)

Setiap pejabat publik tidak akan menempatkan atau menyerahkan soal-soal keuangan atau kewajiban lain kepada orang-orang atau badan yang meme-ngaruhinya dalam menjalankan tugas-tugas publik.

(3)    Objectivity (objektif)

Setiap melaksanakan pekerjaan publik termasuk pengangkatan dalam jabatan, memberikan kontrak, merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan atau suatu manfaat, harus didasarkan pada alasan yang layak atau pantas.

(4)    Accountability (tanggung jawab)

Setiap pejabat publik harus dapat mempertanggungjawabkan keputusan atau tindakan, dan terbuka untuk dinilai (dicermati).

(7)

(5)    Openess (terbuka)

Setiap pejabat publik sedapat mungkin terbuka atas semua keputusan dan tindakannya.

Pembatasan keterbukaan dilakukan kalau ada alasan demi suatu kepentingan publik yang lebih besar.

(6)    Honesty (jujur)

Pejabat publik berkewajiban mengumumkan setiap kepentingan publik yang berkaitan dengan kewajiban publik yang diembannya dan melakukan tindakan meniadakan setiap konflik

kepentingan yang akan melindungi kepentingan publik.

(7)    Leadership (kepemimpinan)

Setiap pejabat publik wajib memajukan dan mendukung prinsip-prinsip di atas melalui kepemimpinan dan keteladanan.6

Varia Peradilan No. 282 Met 2009

* Disajikan pada acara memperingati hari jadi IKAHI, di Jakarta, 22 April 2009. * Ketua Mahkamah Agung RI periode 2001-2008.

1 Misalnya, Negara Bagian Wyoming, Negara Bagian Texas, Negara bagian Wisconsin, Negara

Bagian Colorado, dan Iain-lain.

2 Lihat (antara lain) Preamble Wyoming Code of Judicial Conduct, atau Vermont Code of

Judicial Conduct.

3 Inilah perbedaan antara kaidah etik dan kaidah hukum. Kaidah etik hanya berupa kumpulan

kewajiban-kewajiban. Kaidah hukum selain mengatur (memuat) kewajiban dimungkinkan

memuat ketentuan-ketentuan tentang hak (reghts, rechten), bahkan wewenang ( bevoegdheid,

authority ) dan kekuasaan ( power , macht ), di samping kewajiban ( duties ,

(8)

plichten

).

4 Lihat, Bagir Manan, menjadi Hakim Yang Baik    

5 Para hakim, baik perorangan maupun bersama-sama wajib menghormati dan menjunjung

tinggi badan peradilan sebagai sebuah lembaga kepercayaan publik dan berusaha

sekuat-kuatnya membesarkan dan memelihara kepercayaan sesuai dengan sistem hukum yang yang berlaku. Hakim adalah seorang arbiter baik menyangkut fakta-fakta atau hukum untuk menyelesaikan sengketa, dan menampakkan diri sebagai simbol utama negara berdasarkan hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini hendak memberikan legal problem solving terhadap permasalahan penumpukan perkara pidana di Indonesia yang hingga saat ini belum mampu terpecahkan,

Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya factor pendukung sehingga perubahan dapat terjadi dengan baik.... •

Larutan yang digunakan pada konsentrasi 40 ppm dengan berat bulu ayam yang teraktivasi maupun yang tidak teraktivasi adalah 0,3 gram dan waktu kontak selama

sidang pengadilan secara bebas. Pada prinsipnya, pemeriksaan di sidang pengadilan tidak dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Hal ini berlaku bagi semua tindak

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Model Quantum Learning Fisika Materi Teori Kinetik Gas Bermuatan

Data bulan Oktober 2012 dilakukan pengolahan menggunakan software Res2Dinv maka diperoleh gambar 4.2 yang menunjukkan lintasan I dinding Embung sisi selatan

Berdasarkan kajian berbagai teori yang berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan kemudian dirancang model perangkat tes keterampilan bermain bola basket untuk

Bahwa Pimpinan STIESIA dalam Rapat Pleno tanggal 14 September 2012 telah menerima konsep Rencana Strategis (Renstra) Prodi S3 Ilmu Manajemen Tahun 2012-2016, dan sesuai