• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Syari ah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Syari ah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PENOLAKAN MASYARAKAT TERHADAP PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN

MAQASHID SYARIAH

(STUDI KASUS GEREJA SANTA CLARA DI BEKASI UTARA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun oleh :

Nakia Hana Sakova

11150430000048

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2020 M/1441 H

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Nakia Hana Sakova 11150430000048, PENOLAKAN MASYARAKAT

TERHADAP PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN MAQASHID SYARIAH (STUDI KASUS GEREJA SANTA CLARA DI BEKASI UTARA) Jurusan Perbandingan Mazhab,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/ 1440 H.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap penolakan masyarakat Bekasi Utara terhadap pendirian Greja Santa Clara dilihat dalam perspektif hak asasi manusia dan maqashid syariah. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris, sehingga dalam penyelesainnya harus dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan peristiwa faktual yang teradi di lapangan. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa buku-buku, Al-Qur’an dan Hadist, jurnal serta website yang berhubungan dengan tema penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, sikap penolakan masyarakat Bekasi Utara terhadap pendirian Gereja Santa Clara dilihat dalam perspektif hak asasi manusia tidak sesuai dan melanggar HAM karena kebebasan beragama memang telah diberikan jaminan oleh negara dengan beberapa aturan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan harus dihargai diantaranya UUD 1945 Pasal 28E , Pasal 28J ayat (1) dan (2), Pasal 29E ayat (2), Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) ayat (1), Pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipol. Dan dilihat dalam perspektif maqashid syariah telah sesuai karena didalam pemeliharaan kelima unsur pokok terdapat Al-Muhafazhah

ala al-din (menjaga atau memelihara keselamatan agama), ialah jaminan agar

tetap hidup dan berkembang baik budi pekerti serta agamanya. Dari sini bisa dilihat bahwa sikap masyarakat Bekasi Utara yang menolak didirikannya Gereja Santa Clara dengan berbagai alasan tersebut yaitu untuk menjaga atau melindungi agamanya (hifz al-din) dari berbagai kemudhorotan atas pendirian gereja tersebut yang dibangun seperti ada misi dbalik pembangunannya tersebut yang dikhawatirkan akan mempangaruhi umat muslim yang berada diwilayah tersebut.

Kata Kunci : Pertanahan, Sengketa, Ganda, PTUN Jakarta. Pembimbing : 1. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A.

2. Fathudin, S.H.I., SH., MA.Hum., M.H. Daftar Pustaka: 1965 – 2019.

(6)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

b be

خ

t te

ث

ts te dan es

ج

j Je

ح

h ha dengan garis bawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r Er

س

z zet

س

s es

(7)

vi

ش

sy es dan ye

ص

s es dengan garis bawah

ض

d de dengan garis bawah

ط

t te dengan garis bawah

ظ

z zet dengan garis bawah

ع

koma terbalik di atas hadap kanan

غ

gh ge dan ha

ف

f ef

ق

q Qo

ك

k ka

ل

l el

م

m em

ن

n en

و

w we

ه

h ha

ء

apostrop

ي

y ya b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

(8)

vii Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ـــــَـــــ a fathah ـــــِـــــ i kasrah ـــــُـــــ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َي

ـــــَـــــ ai a dan i

و

ـــــَـــــ au a dan u c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ــــَـا

â a dengan topi di atas

ــــِـى

î i dengan topi atas

ـــُــو

û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam )لا), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf

syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: داهثجلإا =al-ijtihâd

(9)

viii e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: حعفشلا = al-syuî

‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1

حعٌزش

syarî ‘ah

2

حٍملاسلإا حعٌزشلا

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah

3

ةهاذملا حنراقم

Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, يراخثلا= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

(10)

ix

No Kata Arab Alih Aksara

1

خارىظحملا حٍثت جروزضلا

al-darûrah tubîhu almahzûrât 2

ًملاسلإا داصتقلإا

al-iqtisâd al-islâmî

3

هقفلا لىصأ

usûl al-fiqh

4

ححاتلإا ءاٍشلأا ىف لصلأا

al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah 5

حلسزملا ححلصملا

al-maslahah al-mursalah

(11)

x

KATA PENGANTAR الله الرحمن الرحيم مسب

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi. Shalawat beriring salam penulis curahkan kepada Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Dan tak lupa pula kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Penolakan Masyarakat Terhadap Pendirian

Rumah Ibadah Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Maqashid Syariah (Studi Kasus Gereja Santa Clara di Bekasi Utara) merupakan karya tulis

penutup di tingkatan Strata 1 dari semua pembelajaran yang sudah penulis dapatkan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga lahirnya karya tulis ini dapat menambah khazanah keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi para akademisi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi dukungan secara keilmuan, pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dukungan mereka sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan hambatan yang ada dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. KH. Ahmad Thalabi Karlie, S.Ag., S.H., M.H., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Hj Siti Hanna, M.A, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Bapak Hidayatullah, S.H. M.H, Sekretaris Prodi yang telah membantu

(12)

xi

segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A. dan Fathudin, S.H.I., SH., MA. Hum., M.H. selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktunya bagi penulis sehingga skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.

4. Bapak Dr. Fuad Thohari, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas memberikan ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyambung ilmu baik dalam dunia pekerjaan maupun akademik ditingkat lebih tinggi. 6. Pimpinan beserta staf jajarannya Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan

Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini berupa buku dan literatur lainnya seingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

7. Teruntuk Kedua Orang Tua, Ibu Rita Roaita dan Bapak Bunyamin yang sangat penulis cintai, yang telah mencurahkan segalanya baik itu yang bersifat dukungan moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan, kesehatan dan kemulian di dunia maupun akhirat atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis atas segalanya, semoga dapat membahagiakan, membanggakan, dan menjadi anak yang berbakti.

8. Teruntuk sahabat Zakiyah Arwani dan Euis Laelatussa’adah, yang selalu menemani dan membantu segenap jiwa dan raga dari titik awal hingga saat ini. Terimakasih telah berbagi kesedihan kesusahan dan kesenangan selama hidup di Ciputat.

9. Teruntuk Muhammad Taqiyuddin, yang senantiasa telah memberikan dukungan, semangat, dan motivasi sehingga penulis mampu berjung untuk menyelesaikan skripsi ini.

(13)

xii

10. Teruntuk sahabat-sahabat PMII kofaksyahum terkhusus Ratna Dwi Cahyani, Siti Nur Aini, dan Nabilah Alharamain. Terimakasih telah hadir dan memberikan semua pengalaman dan pembelajaran berharganya diluar bangku perkuliahan selama ini.

11. Teruntuk keluarga besar Perbandingan Mazhab 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah saling membantu disegala keadaan dan menjadi tempat bertukar fikiran dengan penuh semangat dan kerja keras.

12. Ucapan terakhir penulis tujukan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada kekuasaan Allah SWT yang Maha Segalanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriiq

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ciputat, 05 Februari 2020

Penulis

Nakia Hana Sakova NIM. 11150430000048

(14)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN LITERASI ... vi

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tinjauan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Review Pustaka Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KERANGKA TEORI A. Rumah Ibadah 1. Pengertian Rumah Ibadah ... 16

2. Persyaratan Mendirikan Rumah Ibadah ... 18

B. Hak Asasi Manusia 1. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 19

2. Hak Asasi Manusia dalam Islam ... 22

3. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia ... 28

(15)

xiv

5. Hak Atas Kebebasan Beragam dan Berkeyakinan dalam

Konteks HAM ... 34 C. Maqashid Syariah

1. Pengertian Maqashid Syariah ... 38 2. Pembagian Maqashid Syariah ... 40

BAB III KETENTUAN HUKUM PENDIRIAN RUMAH IBADAH

A. Perizinan Rumah Ibadah ... 47 B. Pendapat Para Fuqaha Terhadap Pendirian Rumah Ibadah Non Muslim di Wilayah Muslim ... 54 C. Penolakan Masyarakat Terhadap Pendirian Gereja Santa Clara .... 57

BAB IV ANALISIS PENOLAKAN MASYARAKAT TERHADAP PENDIRIAN GEREJA SANTA CLARA

A. Kedudukan Hukum Pendirian Gereja Santa Clara di Bekasi Utara 61 B. Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penolakan Masyarakat .... 64 C. Perspektif Maqashid Syariah Tentang Penolakan Masyarakat ... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Rekomendasi ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(16)

1

Bangsa Indonesia dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai penduduk yang bercorak plural. Pluralitas itu ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang beraneka ragam baik dari segi suku, ras, maupun agama. Dari segi agama khususnya, Indonesia ditempati oleh penduduk dengan latarbelakang agama yang berbeda-beda baik agama mondial (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), maupun agama Lokal (Sunda Wiwitan, Kaharingan, Marapu, dan sebagainya). Semua agama tersebut hidup dan tumbuh subur di Indonesia dengan jumlah pemeluk yang bervariasi. Dengan adanya pluralitas dalam segi agama, maka semua kelompok agama berupaya mengekspresikan keberagaman yang menjadi keyakinan agama masing-masing.

Keragaman budaya, suku bangsa, ideologi, politik, dan agama merupakan fenomena yang khas dalam masyarakat Indonesia. Keragaman ini tentu saja positif kalau saja setiap subjek dalam keragaman tersebut dapat mensinergikan potensi masing-masing dan mengartikulasinya kedalam realitas masyarakat Indonesia secara konstruktif. Satu realitas yang dapat diimajinasikan sebagai realitas ideal dimana toleransi dan keharmonisan menjadi bekal bagi pembangunan masyarakat madani Negara ini. Namun, justeru dengan keragaman ini masyarakat Indonesia tidak jarang terlibat dalam pertikaian di ladang-ladang konflik dan kekerasan. Pengalaman sejarah yang tentu saja malah mendorong nilai kemanusiaan kita terjelembab dan jatuh ke dasar yang paling hina. Saat Islam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan konsekuensi tentu saja, setiap orang bebas juga melaksanakan keyakinannya yakni beribadah menurut keyakinannya itu. Dan tentu saja, setiap agama memiliki waktu, benda dan tempat peribadatannya sendiri, maka tidak tepat pula rasanya jika terdapat larangan total untuk non Muslim menggunakan fasilitas keagamaan mereka tersebut.

(17)

2

Kalau kita membaca sejarah, maka kita akan menyaksikan bahwa dalam setiap penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam, selalu mengedepankan penghormatan pada agama setempat. Tidak ada pemaksaan untuk masuk Islam dan tidak ada penghancuran tempat-tempat peribadatan. Kalau pun ada itu hanya beberapa kasus saja. Karena itulah sampai kini kita masih bisa menyaksikan tempat-tempat peribadatan berbagai agama seperti kuil, gereja, dan lainnya di daerah-daerah yang dulunya dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Hal ini jelas karena konsepsi Islam menegaskan dalam peperangan sekalipun, tidak boleh menyerang orang-orang yang berada atau berlindung di tempat-tempat peribadatan mereka.

Sejatinya, keragaman agama-agama diharapkan dapat menjadi dasar pembangunan kemanusiaan Indonesia sebab agama-agama memiliki nilai-nilai yang bisa mendorong pada terciptanya harmoni hidup umat manusia. Namun justru keragaman ini tidak dapat dikreasikan secara positif oleh masyarakat agama-agama di Negara ini. Masyarakat justru seringkali terlibat dalam ketegangan, kecurigaan, konflik bahkan kekerasan secara fisik. Ekskluvisme dan fanatisme tidak jarang mewarnai hubungan masyarakat agama-agama. Dua agama, Kristen dan Islam, yang memiliki potensi besar bagi pembangunan masyarakat agama-agama di Indonesia ini masih seringkali terlibat dalam kecurigaan, konflik, bahkan kekerasan.1

Negara berkewajiban memfasilitasi masyarakat yang hidup di dalam wilayahnya untuk dapat hidup rukun berdampingan. Pancasila sebagai dasar Negara berusaha mewujudkan kerukunan penduduk termasuk di dalamnya kerukunan dalam beragama. Pancasila telah disepakati menjadi dasar negara dan berfungsi untuk mengayomi kemajemukan agama di Indonesia. Sila-sila dalam pancasila diperincikan lagi ke dalam Undang-Undang Dasar yang disebut UUD 1945 melalui pasal-pasalnya. Negara menjamin kebebasan semua warga negaranya untuk melaksanakan kepercayaannya masing-masing seperti tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: ”Negara menjamin

1 Leo Suryadinta, Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik,

(18)

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu”2

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 12 disebutkan bahwa; Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan HAM.3 Disamping hak beragama dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin, di hormati, dan dilindungi, namun dalam melaksanakan hak beragama tidak boleh membahayakan ketentraman, ketertiban, dan keselamatan umum, moralitas publik, kesehatan publik, kepentingan keadilan, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokrasi.4

Perbedaan agama menjadi sebuah dinamika sosial yang menimbulkan disharmonisasi didalam interaksi hubungan bermasyarakat, karena masing-masing agama mengklaim bahwa agama merekalah yang paling benar, memang sejak zaman dahulu problematika yang terjadi karena masalah agama ini sudah membudidaya hingga saat ini, tentunya permasalahan ini membutuhkan perhatian serius dari Pemerintah untuk membuat kebijakan melalui Peraturan, sama seperti halnya problematika pendirian rumah ibadah juga merupakan suatu permasalahan yang acap kali kita temui. Penutupan secara paksa sekelompok orang terhadap kehadiran dan keberadaan suatu tempat peribadatan, biasanya dimulai dengan adanya alasan terganggunya kenyamanan, ketertiban serta keharmonisan hubungan antara umat beragama di lingkungan tersebut, lambat laun ketidakharmonisan tersebut dapat memicu emosi masyarakat menjadi suatu gerakan massa yang dapat merugikan umat beragama lainnya. Berdirinya rumah ibadah yang tidak tepat pada tempatnya, misalnya berada di tengah-tengah

2 Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2). 3

Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), h. 76.

4 Pieter Radjawane, Kebebasan Beragama Sebagai Hak Konstitusi di Indonesia, Jurnal

(19)

4

pemukiman padat penduduk, sehingga menyebabkan setiap ada kegiatan peribadatan, penduduk setempat merasa terganggu ketenteramannya dengan suara bising kendaraan hilir musik, terlebih lokasi rumah ibadah tersebut terletak pada ruas jalan sempit yang tidak memadai, serta yang terpenting. Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama 2 Menteri sebagai acuan mendirikan rumah ibadat yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBMA dan MDN) No. 8 Tahun 2006 dan No. 9 Tahun 2006, selanjutnya disebut SKB 2 Menteri, yang membahas tentang pendirian rumah ibadat dan pedoman penyiaran agama.

Agama sendiri juga merupakan kontrol sosial, sekaligus menempatkan agama sebagai kritik atas dirinya sendiri sehingga agama tidak menjadi tirani.5 Agama merupakan nilai-nilai yang menjadi muatan subtansial. Seperti dicontohkan oleh Piagam Madinah yang dibuat Muhammad SAW. Dalam konteks kemudharatan, agama memperkenalkalkan juga pilihan-pilihan, seperti mendahulukan upaya menyingkirkan yang bersifat primer atas yang sekunder. Misalnya menyingkirkan ancaman yang menyangkut agama. Dan karena itu, tingkat kemudharatan yang berbeda-beda dala bentuk dan dampaknya. Dari sini lahirlah rumus-rumus bahwa: kemudharatan harus dicegah, namun kemudharatan yang lebih ringan dan karena itu pula dapat dibenarkan melakukan sesuatu yang mengandung kemudharatan yang ringan atau terbatas demi mencegah kemudharatan yang besar bersifat umum

Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap sebagai loncatan sejarah yang luar biasa dalam perjanjian multikultural, karena sifatnya inklusif. Piagam Madinah berhasil mengakhiri kesalahpahaman antara pemeluk agama selainIslam dengan jaminan keamanan yang dilindungi konstitusi negara.6 Menurut Munawir Sjadzali Piagam Madinah adalah suatu konstitusi negara Madinah yang mampu memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang majemuk di

5

Hendro Prasetyo, Islam & Civil Society, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 5.

6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:

(20)

Madinah. Landasan tersebut adalah; pertama, semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan. Kedua, hubungan komunitas muslim dan hubungan ekstern antara komunitas muslim dengan non-muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling menasehati dan menghormai kebebasan beragama.7

Meskipun kebebasan beragama secara jelas telah diatur di dalam konstitusi dan perundangan nasional Indonesia, namun ternyata masih terdapat banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat pembatasan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dilakukan oleh penduduk di Indonesia.8 Upaya mewujudkan kesejahteraan pada masyarakat merupakan cita-cita dari pembangunan agama. Kesejahteraan dalam hal ini mencakup dimensi lahir batin, material dan spiritual. Lebih dari itu agama menghendaki agar pemeluknya menjalani kehidupan yang aman dan damai. Oleh karena itu pembangunan agama diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera. Sejalan dengan realitas kehidupan beragama yang berkembang di masyarakat dengan pengembangan nilai-nilai keagamaan serta peningkatan kerukunan umat beragama.

Berpijak pada paparan di atas, Seperti halnya kasus penolakan pendirian rumah ibadah di berbagai tempat, warga Muslim banyak yang menolak karena berbagai alasan, terutama yaitu demi menjaga agamanya, melindungi agamanya, khawatir terjadinya kemudharatan bagi warga Muslim setempat. Kasus serupa juga terjadi di Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, dengan didirikannya Gereja Santa Clara di Bekasi Utara terjadi penolakan oleh masyarakat muslim dengan berbagai alasan, mereka ingin Walikota mencabut semua rekomendasi perijanjian yang berkenaan dengan pembangunan gereja, bahkan mereka malukakan demo tolak pendirian tempat ibadah di Bekasi Utara.

7

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 15-16

8 Rizky Adi Pinandito, Implementasi Prinsip Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di

(21)

6

Unjuk rasa penolakan pendirian Gereja Santa Clara di Bekasi, Jawa Barat, oleh sekelompok orang berlangsung ricuh pada Jumat 24 Maret 2017.9 Unjuk rasa ini dilakukan massa yang tergabung dalam Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi (MSUIB), serta Front Pembela Islam (FPI) Bekasi Raya. Mereka merasa keberatan dengan adanya izin pembangunan Gereja Santa Clara di Jalan Lingkar Utara RT 02 dan RT 03/RW 06, Kelurahan Harapanbaru,‎ Bekasi Utara

Menurut Ustadz Imam Faturoham koordinator Aksi Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi (MSUIB) alasan masyarakat Bekasi Utara menolak didirikannya Gereja Santa Clara karena Bekasi Utara dihuni mayoritas umat Muslim dan banyak Pondok Pesantren, dengan adanya rencana pembangunan gereja terbesar se-Asia tersebut dianggap melukai perasaan umat Islam. Masyarakat Bekasi mengatakan mereka tidak melarang adanya pembangunan gereja tapi mohon pembangunan gereja jangan di tempat mayoritas dihuni umat Muslim. Mereka juga kecewa terkait dengan tudingan manipulasi tanda tangan dukungan warga dalam persyaratan pendirian rumah ibadah, pihaknya sudah memiliki bukti. “Hampir ada 20 orang yang membuat surat keterangan, mencabut dukungan atas pemalsuan data pembangunan gereja. Beberapa dari warga ada yang mengatakan, tidak tahu apa-apa diberi surat kosong, disuruh tanda tangan tiba-tiba dibilang menyetujui pembangunan gereja. Ini dari mana?, warga merasa dubohongi,” imbuhnya.10

Ustadz Aang Kunaifi tokoh agama di Ponpes At-Taqwa mempertanyakan apa motivasi mereka membangun Gereja Santa Clara diantara Pesantren At Taqwa dan Psantren An-Nur, Pesantren besar yang ada Di Utara lalu di tengah-tengah dibangun gereja besar.11

Pemerintah Kota Bekasi menyatakan tidak akan mencabut izin pembangunan Gereja Katolik Santa Clara di Kecamatan Bekasi Utara. Pencabutan izin hanya dapat dilakukan melalui proses Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Walikota Bekasi Utara mengatakan bahwa pemerintah terbuka bagi

9Https://megapolitan.kompas.com/read/2017/03/25/08254701/keteguhan.wali.kota.beka

s.pertahankan.gereja.santa.clara. Pada 9 Agustus 2019, Pukul 21:20.

10

Https://Www.Beritasatu.Com/Megapolitan/421380/Ini-Alasan-Massa-Tolak-Pembangunan-Gereja-Santa-Clara. Diakses Pada 9 Agsutus 2019, Pukul 14:22.

(22)

siapa saja yang menolak untuk menempuh jalur hukum, Pemerintah tidak sembarangan dalam mengeluarkan Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan (SIPMB) kepada warga. Ada mekanisme dan tahapan yang harus dilalui untuk menerbitkan SIPMB tersebut. Pemberian SIPMB kepada panitia pembangunan Gereja Katolik Santa Clara oleh pemerintah daerah sudah selesai sejak Juli 2015 lalu," ujar Rahmat.12

Sebelumnya, Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi menyatakan telah merekomendasikan pembangunan Gereja Santa Clara. Mereka mengklaim telah menjalankan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Sementara itu, saat menghadiri Kongres Nasional Kebebasan beragama dan Berkeyakinan yang digelar Komnas HAM, Rahmat Effendi menyatakan tidak akan mencabut IMB yang diterbitkannya untuk Gereja Santa Clara. Gereja Santa Clara berada di Bekasi Utara. Mereka mendapatkan izin mendirikan bangunan pada 28 Juli 2015. Sebelum izin itu terbit, Pemkot Bekasi belum pernah memberikan legalitas untuk Gereja Katolik di Bekasi Utara. Panitia pembangunan Gereja tersebut menyebut Gereja Santa Clara memiliki setidaknya sembilan ribu umat. Selama gereja itu dibangun, para umat itu beribadah di rumah toko yang berada di Perumahan Taman Wisma Asri. Ruko itu hanya dapat menampung tidak lebih dari 300-an orang.13

Berdasarkan pada uraian di atas, penolakan masyarakat terhadap pendirian rumah ibadah di Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara menjadi menarik untuk dijadikan sebuah penelitian. Dimana banyak di antara masyarakat muslim memepermasalahkan hal tersebut. tetapi Walikota Bekasi bersihkeras bahwa pendirian rumah ibadah telah sesuai dengan peraturan yang ada. Sehingga penulis maengangkat sebuah penelitian dengan judul “Penolakan Masyarakat

12

Https://wartakota.tribunnews.com/2017/03/24/pemkot-bekasi-tidak-akan-cabut-izin-pembangunan-gereja Pada 8 Oktober 2019, Pukul 12:02.

13

(23)

8

Terhadap Pendirian Rumah Ibadah Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Maqashid Syariah (Studi Kasus Gereja Santa Clara Di Bekasi Utara).”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka identifikasi masalahnya sebagai berikut :

1. Penolakan masyarakat terhadap pendirian Rumah Ibadah di Kelurahan Harapan Baru.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam kasus pendirian Rumah Ibadah. 3. Penyelesaian konflik atas penolakan masyarakat terhadap pendirian

Rumah Ibadah.

4. Penolakan masyarakat muslim di Bekasi Utara menurut hukum positif. 5. Penolakan masyarakat muslim di Bekasi Utara menurut hukum islam 6. Apakah pendirian Rumah Ibadah di Kelurahan Harapan Baru telah sesuai

dengan peraturan.

7. Hukum islam memandang pendirian tempat ibadah non Muslim.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. disini penulis akan membahas bagaimana penolakan masyarakat terhadap pendirian tempat ibadah di Kelurahan Harapan Baru ditinjau dari Hukum Positif yang berlaku di Indonesia dan dalam Hukum Islam dalam maqasid syariah (Studi Kasus Pendirian Rumah Ibadah di Bekasi Utara).

Adapun rumusan masalah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan yaitu:

1. Bagaimana kedudukan hukum pendirian rumah ibadah Gereja Santa Calara di Bekasi Utara?

(24)

2. Bagaimana pandangan Hak Asasi Manusia terhadap sikap penolakan masyarakat Bekasi Utara?

3. Bagaimana pandangan maqashid syariah terhadap sikap penolakan masyarakat Bekasi Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahuii kedudukan hukum pendirian rumah ibadah Gereja Santa Calara di Bekasi Utara.

b. Untuk mengetahui pandangan Hak Asasi Manusia terhadap sikap penolakan masyarakat Bekasi Utara.

c. Untuk mengetahui pandangan maqashid syariah terhadap sikap penolakan masyarakat Bekasi Utara.

2. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat, diantaranya:

a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa/i yang ingin mengkaji lebih jauh tentang perizinan tempat ibadah sesuai dengan peraturan yang ada.

b. Menambah wawasan keilmuan dibidang hukum islam.

c. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang signifikan bagi seluruh masyarakat khususnya bagi umat muslim untuk menjaga keharmonisan dan toleransi di Negara yang beraneka ragam..

D. Review Pustaka Terdahulu

Untuk menghindari terjadinya kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya maka penyusun mengadakan penulusuran terhadap penelitian-penelitan yang telah ada sebelumnya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Skripsi yang ditulis oleh AH. Syafi‟i yang berjudul “Pembangunan

Rumah Ibadah dalam Masyarakat Plural Agama di Dusun Plumbon Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul.” Skripsi ini membahas

(25)

10

tentang pengaruh pembangunan Rumah Ibadah dalam masyarakat plural di Dusun Plumbon Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Yogyakarta. Pada skripsi AH. Syafi‟i membahas pendirian Rumah Ibadah dan tidak menganalisisnya dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tetapi hanya pada pengaruh pembangunan Rumah Ibadah pada masyarakat plural.14 Perbedaannya jelas bahwa karena pada skripsi penulis menjelaskan tentang penolakan masyarakat terhadap pendirian tempat Ibadah dalam perspektif hukum positif dan hukum islam.

2. Tesis Nela Sumika Putri dengan judul, Pelaksanaan Kebebasan Beragama

di Indonesia (External Freedom) di Hubungkan Izin Pembangunan Rumah Ibadah, dalam skripsinya dapat disimpulkan yaitu PBM Tahun 2006

terkait pembangunan Rumah Ibadah terkait ketertiban umum berdasarkan HAM yang tidak absolut.15 Permasalahannya tentu berbeda dengan penelitian ini yang menitik beratkan kepada aspek hukum islam dan hukum formil.

3. Skripsi Bisril Hadi dengan Judul, Problematika Pendirian Rumah Ibadah Di Aceh (Analisis Terhadap Peraturan Gubernur Nomer 25 Tahun 2007), dalam skripsinya dapat disimpulkan yaitu dikeluarkannya pergub aceh no 25 tahun 2007 memiliki dasar undang-undangan dalam pemerintah Aceh pasal 127 ayat (4) yang berisi pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari pemerintah Aceh dan atau pemerintah kabupaten/kota, semenjak dikeluarkannya pergub ini banyak rumah ibadah yang diterbitkan karena tidak sesuai dengan aturan dan peruntukannya.

4. Jurnaldari Ahsanul Kholikin dengan judul “Pendirian Rumah Ibadah

Dalam Perspektif PBM Nomor 9 Dan 8 Tahun 2006 (Kasus Pencabutan IMB Gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul, Kec. Limo Kota Depok).”

14 AH. Syafi‟i, Pembangunan Rumah Ibadah Dalam Masyarakat Plural Agama di

Dusun Plumbon Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul, Skripsi: UIN SUKA Yogyakarta,

2006.

15 Nela Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama Di Indonesia (External

Freedom) Di Hubungkan Izin Pembangunan Rumah Ibadah, Tesis: Fakultas Hukum Universitas

(26)

Kasus pencabutan IMB Gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok dilakukan untuk meredam aksi konflik antar umat beragama. Namun, langkah tersebut di nilai bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan tindakan diskriminatif aparat serta ditengarai desakan golongan tertentu. Pemerintah Daerah membuat keputusan khusus mencabut IMB pendirian gereja HKBP. Padahal pihak pembangunan Gereja HKBP sudah mengantongi IMB SETWILDA Bogor, pada saat Depok masih menjadi bagian wilayah Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan mengapa terjadi pencabutan itu. Berbeda dengan penelitian ini, karena masalah ini bukan mecabut izin pembangunan, tetapi penolakan masyarakat terhadap pembangunan Rumah Ibadah dalam ditinjau dari perundang-undangan dan hukum islam.

Dari penelusuran penulis penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Karena penelitian-penelitian ini membahas Penolakan Masyarakat

Terhadappendirian Rumah Ibadah Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Maqashid Syariah.

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penyusun menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan

Jenis pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan sosioligis. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat dan mengamati gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat terhadap pendirian gereja santa calara di bekasi utara. Pendekatan sosiologis menjadikan suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.16

(27)

12

2. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.17 Dan penelitian deskriptif yang menggambarkan data informasi berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan.18 Metode kualitatif, menurut Boy dan Taylor (1975) merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati19. Serta metode komperatif, yaitu metode yang mengkomparasikan antara Hukum Positif dan Hukum Islam yang berlaku dalam menelaah masalah yang sedang diteliti. Data yang dikumpulkan berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.20

3. Sumber Data

a. Data primer

Merupakan bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui wawancara serta pengamatan secara langsung pada obyek yang menjadi fokus penelitian. Teknis pengamatan dilakukan terhadap pendirian rumah ibadah di Bekasi Utara. Adapun data primer tersebut yang pertama adalah UU No. 39 tahun 1999, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2 Menteri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pendirian Rumah Ibadah, kitab-kitab fiqih, ayat, Al-Qur‟an, hadis, serta perundang-undangan yang terkait dengan pembahasan ini dan yang kedua yaitu hasil wawancara.

17 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004), h. 134.

18 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.

ke-2, h.309.

19 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 2001), h.3.

(28)

b. Data Skunder

Merupakan bahan penelitian sebagai bahan pendukungyang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: Buku-buku literatur, jurnal, artikel, karya ilmiyah, berita.

c. Data Tersier

Data tersier yaitu data penunjang yang dapat memberi penunjuk dan penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus dan ensiklopedia Metode Pengumpulan Data.21

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dimaksud di atas, maka penulis akan menggunakan data sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Suatu pengumpulan data dengan cara mempelajari buku-buku kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan cara mengiventarisasi dan mempelajari serta mengutip dari buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini atau berbagai bahan hukum yang sesuai dengan kajian tersebut di atas.

b. Studi Lapangan

Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang diteliti guna mendapatkan data primer, yang diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan menganalisa berbagai sumber yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Studi lapangan dilakukan dengan wawancara dan observasi. Wawancara merupakan suatu metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab yang bersifat sepihak, yang dilakukan secara sistematis didasarkan pada tujuan penelitian. Wawancara dilakukan dengan Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi dan masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah di Bekasi Utara.

5. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul maka data yang telah ada dikumpulkan dianalisis secara kualitatif yaitu suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara memadukan

21 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

(29)

14

antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan serta menafsirkan dan mendiskusikan data-data primer yang telah diperoleh dan diolah sebagai satu yang utuh.

6. Teknik penulisan

Dalam penulisan penelitian ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan

Dalam memudahkan penyusunan proposal skripsi ini dan untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis menyusun proposal skripsi ini dalam beberapa bab-bab terdiri dari sub-sub dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I, Merupakan Bab Pendahuluan, bab ini meliputi terkait latar

belakang masalah, identifikasi masalah batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, riview kajian terdahulu, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II, Bab ini terdiri dari tiga sub bab, bab yang pertama yaitu,

menjelaskan tentang pengertian rumah ibadah dan syarat mendirikan rumah ibadah, bab yang kedua menjelaskan tentang pengertian hak asasi manusia, macam-macam hak asasi manusia, prinsip-prinsip HAM, Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam konteks HAM, Hak Asasi Mnanusia dalam islam, dan bab yang ketiga yaitu, pengertian maqashid syariah dan pembagian maqashid syariah.

BAB III, Bab ini terdiri dari tiga sub bab, bab yang pertama menjelaskan

tentang ketentuam hukum pendirian rumah ibadah menurut peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006, bab yang kedua menjelaskan pendirian rumah ibadah menurut para fuqaha, dan bab yang ketiga yaitu penolakan masyarakat terhadap pendirian Gereja Santa Clara

(30)

BAB IV Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu, menganalisis bagaimana

kedudukan hukum pendirian Gereja Santa Clara, dan bagaimana penolakan masyarakat terhadap pendirian Gereja Santa Clara dalam perspektif Hak Asaasi Manusia dan maqashid syariah,

BAB V Penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran. Dalam bab ini di

buat kesimpulan yang bersifat reflektif berdasarkan data-data informasi dan keseluruhan uraian dan berdasarkan refleksi ini dikemukakan suatu saran yang diharapkan dapat sebagai masukan dari semua pihak untuk memperbaiki keadaan dan untuk mencegah tidak berulang kejadian serupa di masa mendatang. Selain uraian substansi di atas. Pada bagian akhir laporan di susun daftar kepustakaan dan sejumlah lampiran-lampiran yang dipandang relevan.

(31)

16

BAB II

KERANGKA TEORI A. Rumah Ibadah

1. Pengertian Rumah Ibadah

Rumah ibadah merupakan sarana keagamaan yang penting bagi pemeluk agama di suatu tempat. Selain sebagai simbol “keberadaan” pemeluk agama, rumah ibadah juga sebagai tempat penyiaran agama dan tempat melakukan ibadah. Artinya fungsi rumah ibadah di samping sebagai tempat peribadahan diharapkan dapat memberikan dorongan yang kuat dan terarah bagi jamaahnya, agar kehidupan spiritual keberagamaan bagi pemeluk agama tersebut menjadi lebih baik.

Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.22 Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah Kelurahan/Desa. Pendirian rumah ibadah tesebut dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk yang digunakan adalah batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.23

Tempat ibadah, rumah ibadah, atau tempat peribadatan adalah sebuah tempat yang digunakan oleh umat beragama untuk beribadah menurut ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-masing, rumah ibadah merupakan salah satu sarana yang sangat penting untuk kegiatan keagamaan. Rumah ibadah

22 Peraturan Bersama 2 Menteri Nomor 9 Tahun 2006, Pasal 1 Ayat (3).

(32)

tempat untuk mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta, maka siapapun yang berada di rumah ibadah, seharusnya orang-orang yang meneladani sifat-sifat Tuhan yang penuh kasih sayang.Indonesia merupakan negara multicultural dengan masyarakat majemuk yang menganut beragam agama dan kepercayaan.

Fungsi rumah ibadah selain untuk tempat persembahyangan, yang justru lebih besar adalah dijadikannya rumah suci tesebut sebagai pusat pembinaan iman, pusat pendidikan bahkan pusat pelayanan sosial. Fenomena menunjukkan fungsi rumah ibadat sebagai pusat pengendalian umat. Sejarah agama-agama telah mencatat, bagaimana rumah-rumah ibadat itu telah juga menjalankan fungsi sosial dan bahkan pengembangan sumberdaya manusia. Keadaan yang paling dinamik dari ruamah-rumah ibadah itu adalah pada fungsi yang dikenal sangat multidimensi. Dinamika lingkungan yang menyertai kefungsian adalah pada kegiatan kegiatan yang memancar dari semangat missionary. Lingkungan rumah ibadat, baik dalam arti terbatas atau dalam arti luas, digerakkan oleh potensi lingkungan sekitar dengan segala macam corak budaya dan insfrastruktur yang ada. Dari sana hampir-hampir rumah ibadat menjadi simbol di mana potensi umat depresentasikan.

Departemen agama telah meresmikan bahwa hanya ada enam agama yang diakui oleh Pemerintah, yaitu Islam dan tempat ibadahnya yaitu Masjid, Katolik dan tempat ibadahnya yaitu Gereja, Kapel, Protestan dan tempat ibadahnya yaitu Gereja, Budha dan tempat ibadahnya yaitu Vihara, Hindu dan tempat ibadahnya yaitu Pura, dari sejak Januari 2006. Konghucu, Atheisme tidak diakui karena benar-benar bertentangan dengan konsep dasar agama yaitu keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Kelompok-kelompok keagamaan yang tidak terdaftar tidak memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah.24

24 Rafi Sapuri, Agama-Agama di Indonesia, (Jakarta: Multi Kreasi Satudelapan, 2010),

(33)

18

2. Persyaratan Mendirikan Rumah Ibadah

Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan kebudayaan yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur (sacral). Dalam pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan yang harus mengacu pada PBM Tahun 2006 dan tetap harus ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pendirian rumah ibadat wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, juga harus memenuhi persyaratan khusus, meliputi:25

1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;

2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.

Jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat. Kemudian, Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.26 Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.

25 Peraturan Bersama 2 Menteri Nomor 9 Tahun 2006, Pasal 14 Ayat (2). 26 Peraturan Bersama 2 Menteri Nomor 9 Tahun 2006, Pasal 14 ayat (1) dan (2).

(34)

Kehidupan beragama di Indonesia harus didasari saling toleransi, saling pengertian, saling menghormati dan menghargai. Sehingga dalam melaksanakan ibadah agama, kerukunan umat beragama ini wajib dijaga. Contohnya, bagi yang beragama non-Muslim wajib menghormati warga masyarakat lain yang Muslim saat menjalankan ibadat (shalat 5 waktu dengan suara adzan maghrib yang menandakan waktu ibadat umat Islam). Demikian pula bagi yang beragama non-Kristiani wajib menghormati warga masyarakat lain yang non-Kristiani saat mereka menjalankan ibadat (kebaktian atau persekutuan). Demikian pula dengan penganut agama-agama lainnya berlaku hal yang sama.

B. Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati nurani.27 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batas-batas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik, miskin, maupun kaya, laki-laki ataupun perempuan, normal maupun penyandang cacat dan sebaliknya, dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagiann dari kemanuisaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya.28 Hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, biasa dirumuskan sebagai hak kodratih yang melekat dimiliki oleh manusia sebagai karunia pemberian tuhan kepada insan manusia dalam menopang dan mempertahankan hidup dan prikehidupannya dimuka bumi.29

Menurut Miriam Budiarjo yang dikutip yahya ahmad zein (2012:10). Hak asasi manusia adalah hak manusia yang telah diperoleh dan dibawa bersamaan dengan kelahirannya dalam kehidupan masyarakat. Hak tersebut bersifat universal

27 Suryadi Radjab, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PBHI, 2002), h. 7. 28

Soetandyo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan

Pengertiannya Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: Elsam, 2007), h. 1.

29 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar

(35)

20

karena pemilikan hak tersebut tidak didasarkan atas suku bangsa, ras, agama, dan jenis kelamin.30

HAM adalah hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia hakiki dan martabat.31 HAM mencangkup pengertian yang luas, yaitu melingkupi hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial budaya. Selain itu HAM juga melampaui batas-batas Negara, agama, dan jenis kelamin (gender). HAM, karenanya, merupakan sebuah konsep universal yang tidak terbatas kepada warga negara yang terkait dalam suatu negara tertentu. HAM merefleksikan sebuah konsep hak-hak fundamental yang dapat diklaim oleh semua manusia, dimanapun mereka berada.32

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1), Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap hak asasi manusia negara sebagai pelindung warganya diharapkan mengkomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut.

Jika HAM merupakan hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia ditakdirkan lahir sebagai manusia, maka lain halnya dengan hak dasa, sebagai suatu hak yang diperoleh setiap manusia sebagai kinsekuensi ia menjadi warga negara dan suatu negara.dirujuk dari sumbernya, HAM berasal dari Tuhan, sedangkan hak dasar, asalnya dari negara atau pemerintah. HAM bersifat universal, sedangkan hak dasar bersifat domestik. Fungsi HAM adalah mengawal hak dasar (legal rights). Filosofis HAM adalah kebebasan yang berbasisi atas penghormatan atas kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan HAM tidak terbatas, oleh karena takkala memasui wilayah kebebasan orang lain maka

30 Wahyu Sri Handayani, Hak Asasi Manusia, (Klaten: Cempaka Putih, 2019), h. 1. 31

Adnan Buyung Nasution, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Islam Dan Barat, Dalam Buku Agama Dan Dialog Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 108.

32 Sukron Kamil Dkk, Syariah Islam Dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap

(36)

daya kebebasan itu berakhit. Prof. Aswanto, mengutip pendapat DF. Scheltens, mengemukakan bahwa hakikat HAM adalah kebebasan, akan tetapi kebebasan itu akan berakhir ketika mulai merambah ke wilayah kebebasan orang lain.33

Dari masa ke masa, kehidupan peradaban manusia mengalami banyak perkembangan. Salah satu hal yang lahir dari proses peradaban manusia itu adalah adanya pengertian dan pemahaman tentang hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks hak asasi manusia, negara menjadi subjek hukum utama, sebab negaramerupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia. Dalam hukum HAM, pemangku hak (rights holder) adalah individu, sedangkan pemangku kewajiban (duty bearer) adalah negara. Negara memiliki tiga kewajiban generik terkait hak asasi manusia, yaitu menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi (obligation to fulfil). Individu di sisi lain diikat oleh kewajiban untuk tidak mengganggu hak asasi manusia individu lainnya.34

Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan konsep tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa yang dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia akan sulit dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu lainnya yang bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih adil, makmur, sejahtera, aman, tertin dan tentram tidak akan mudah diraih.35 Pengembangan dan perlindungan HAM untuk semua orang dan seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya perbedaan konsepsional dalam perumusan HAM.

33

Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 17.

34 Victorio H. Situmorang, Kebebasan Beragamasebagai Bagian Dari Hakasasi Manusia

(Freedom Of Religion As Part Of Human Rights), Jurnal HAM, Vol. 10, Nomor 1, Juli 2019, h.

59.

35 A. Masyhur Effendy, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (Ham) dan Proses

Dinamika Penyusunan Hukun Hak Asasi Manusia (HAKHAM), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005),

(37)

22

Hakekat HAM merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antar individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer dan Negara).36

2. Hak Asasi Manusia dalam Islam

Seiring dengan menuatnya kesadaran global akan arti penting HAM dewasa ini, persoalan tentang universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dalam perbincangan wacana HAM kontemporer. Harus diakui bahwa agama berperan memberikan landasan etik kehidupan manusia.37

Perkembangan wacana global tentang HAM memberikan penilaian tersendiri bagi posisi islam. Hubungan antara islan dan HAM muncul menjadi isu penting mengingat, kecuali didalamnya terdapat interpensi yang beragam yang terkesan mengundang perdebatan yangswngit, perkembangan politik global memberikan implikasi tersendiri antara hubungan Islam dan Barat. Meskipun aspek terakhir ini tidak memberikan konsekuensi yang sigmifikan bagi munculnya interpretasi terhadap hubungan islam dan HAM, namun perlu dicatat bahwa faktor tersebut tidaklah dapat dipandang kecil. Islam dan barat, menurut A.K. Brohi, sebenarnya mengupayakan tercapainya pemeliharaan HAM dan kemerdekaan fundamental individu dalam masyarakat, namun perbedaan terletak pada pendekatan yang digunakan.38

36 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta:

Prenada Media, 2003), h. 200.

37 Lihat Lebih Lanjut Rasjidi, Sumbangan Agama Terhadap Hak-hak Asasi Manusia

dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Madjalah Persahi, No. 2 Thn Viii, 1968), h. 85-96.

38 Madja El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945

Sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,

(38)

HAM yang dikemukakan oleh Harun Nasution adalah: tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka, harta benda dan pelayanan-pelayanan mereka dipandang perlu untuk mencapai harkat kemanusiaan, yaitu hak asasi manusia pada dasarnya merupakan suatu hak atau kepunyaan seseorang yang sama sekali tidak dapat ditarik dari dalam diri seseorang.39

Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat syariah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syaria‟ah manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara secara eksistensi tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. 40

Jika HAM dalam pandangan dunia Barat dan Amerika bersandar pada ideologi individualistik dan sosialis komunis bersandar pada ideologi kolektifitas atau komunal, maka islam tidak terjebak alternatif salah satu dari paham tersebut, melainkan memilih toleransi demi kepentingan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai ciptaan yang diberi derajat tertinggi dimuka bumi. Islam mengakui dan menghormati hak-hak personal individual manusia sebagai nikmat karunia yang dianugerahkan Tuhan Allah SWT dan mengakui dan menghormati hak-hak kolektivitas sebagai hak publik dalam rangka menata kehidupan di muka bumi dengan konsep hablum minannas wahablum minallah. Islam meletakkan hak-hak individu dan penggunaannya memberi manfaat baik bagi manusia individu maupun bagi manusia lainnya (manusia yang baik yang dapat memberi manfaat bagi manusia lainnya). Hak-hak publik yang dikelola oleh negara harus memberi maslahat bagi ,asyarakat luas termsuk individu0individu yang harus ditanggung

39

Harun Nasution dan Bakhtiar Efendy, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka. Firdaus, 1987), h.19.

40 M. Luqman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993),

(39)

24

oleh negara. Pandangan islam tentang HAM dengan tegas dan jelas dapat dicermati dalam Piagam Madinah (konstitusi madinah sebagai perjanjian yang dilakukan ole Rasulullah Muhammad SAW dengan beberapa golongan dikala itu, yang secara substansial mengakomodir HAM di bidang politik, di bidan sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

Penegasan tentang pandangan islam tentang HAM di dunia internasional dideklarasikan di Kairo pada Tahun 1990 (Cairo Declaration On Human Rights

In Islam 1990). Naskah tentang HAM deklarai Kairo disusun selama 13 tahun

dengan perundingan-perundingan yang diadakan oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi islam sedunia. Secara garis besar HAM yang diatur dalam Deklarasi tersebut meliputi HAM di bidang Ekonomi, bidang persamaan atau equal, bidang gender, bidang hak hidup atau life, bidang pekerjaan, medis dan kesehatan, penghidupan yang laak dan pendidikan.

Selain butir konsepsi HAM dalam pandangan islam tersebut di atas, menarik diurai dan dibentangkan dengan merujuk pada nas Al-Qur‟an. Hak untuk hidup (rifgt of life) menurut Al-Qur‟an, nyawa manusia itu suci. Dalam firman Allah:

اًؼي ًَِج َطاَُّنا َمَرَق اًََََّؤَكَف ِض ْسَ ْلْا يِف ٍداَغَف َْٔأ ٍظْفََ ِشْيَغِت اًغْفََ َمَرَق ٍَْي

(٢٣:جذئاًنا

جسٕع

) اؼي

ًَِج َطاَُّنا اَيْحَأ اًََََّؤَكَف اَْاَيْحَأ ٍَْي َٔ

Artinya: “Barangsiapa membunuh seseorang selain karena membunuh

orang lain atau karena membuat kekacauan di atas bumi, ia seolah-olah telah membunuh seluruh umat manusia, barang siapa memberikan kehidupan kepada suatu jiwa, ia seakan-akan telah menghidupkan seluruh manusia”. (QS.

Al-Maidah 5:32).

Hak untuk memperoleh keadilan (rights to justice), merupakan salah satu tugas kerasulan Nabi Muhaammad SAW. Tugas utama dan pertama Nabi Muhammad SAW, adalah untuk menegakkan keadilan. Tugas ini merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat dan badam-badan pemerintahan. Firman Allah:

(40)

َٰٗهَػ ٍو َْٕق ٌُآََُش ْىُكََُّي ِشْجَي َلَ َٔ ۖ ِظْغ ِقْناِت َءاَذَُٓش ِ َّ ِلِلّ ٍَيِيا ََّٕق إَُُٕك إَُُيآ ٍَيِزَّنا آَُّيَأ اَي

ٌُٕهًَْؼَذ اًَِت ٌشيِثَخ َ َّاللَّ ٌَِّإۚ َ َّاللَّ إُقَّذا َٔ ۖ ٰٖ َْٕقَّرهِن ُبَشْقَأ َُْٕ إُنِذْػا ۚ إُنِذْؼَذ َّلََأ

)٨ :جذئاًناجسٕع(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berdiri teguhlah untuk Allah,

sebagai saksi dalam keadilan dan jangan sampai rasa permusuhan suatu golongan terhadap kamu menjadikan kamu bertindak atau berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat dengan taqwa. Dan takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Tahu tentang apa yang mereka lakukan. (QS.

Al-Maidah 5:8).

Hak persamaan (equal rights), dalam Al-Qur‟an hanya menunjukkan satu kriteria yang dapat menjadikan seseorang lebih tinggi dari yang lainnya, yaitu kelebihan taqwanya. Perbedaan atau dasar keturunan, kesukuan, warna kulit atau tanah air tidak diperhitungkan. Firman Allah:

ٌَِّإ ۚ إُف َساَؼَرِن َمِئاَثَق َٔ اًتُٕؼُش ْىُكاَُْهَؼَج َٔ َٰٗثَُْأ َٔ ٍشَكَر ٍِْي ْىُكاَُْقَهَخ اََِّإ ُطاَُّنا آَُّيَأ اَي

(٣٢

:خاشجحنا جسٕع)

شي

ِثَخ ٌىيِهَػ َ َّاللَّ ٌَِّإ ۚ ْىُكاَقْذَأ ِ َّاللَّ َذُِْػ ْىُكَي َشْكَأ ٌٌ

Artinya: “Hai manusia! Kami telah menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan, dan kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling berkenalan. Sesungguhnya yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Sadar (QS. 49:13).

Hak Kebebasan dalam kepercayaan adalah pilihan spiritual bagi manusia sesuai fitrah kemanusiannya. Firman Allah:

ِخُٕ ادَّوناِت ْشدُفْكَي ٍْ دًََف ۚ ِ ّيدَغْنا ٍَ دِي ُذدْش ُّشنا ٍََّيَثَذ ْذَق ۖ ٍِيِّذنا يِف َِا َشْكِإ َلَ

ادددََٓن َواددَ ِفَْا َلَ َٰٗقْص ُٕدددْنا ِج َٔ ْشُؼْناددِت َردددَغ ًَْرْعا ِذددَقَف ِ َّلِلّادددِت ٍْ ِي ْمددُي َٔ

ُ َّاللَّ َٔ

ٌغي ًَِع

ٌىيِهَػ

)

جشقثناجسٕع

:

٦٥٢

(

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak

(41)

26

akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2:256).

Ajaran islam memberikan tempat yang layak dan perlindungan yang memadai terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan tersebut. Ayat diatas mengandung penghormatan terhadap hak ssetiap orang untuk memeluk suatu agama ataua keyakinan. Tidak seorangpun yang berhak untuk memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama atau keyakinan, meskipun secara objektif agama yang ditawarkannya adalah agama yang paling benar dan sempurna. Allah SWT menegaskan bahwa islam adalah agama yang sempurna dan diridhai oleh Alah SWT. Ajaran islampun menyuruh umatnya untuk mengajak manusia untuk memeluk agama islam. Akan tetapi, semua itu tidak berarti ada hak untuk memekasakan ajaran islam kepada seseorang. Islam harus disebarkan melalui cara-cara yang baik dan bijaksana. Islam memberikan penghargaan kepada siapa yang menerima dakwah islam. Islampun menhormati orang-orang yang menolak ajaran-ajaran islam.41

Hak untuk menyatakan kebenaran atau pendapat (riht tp truth). Bagi orang beriman terlekat kewajiban baginya untuk menyatakan kebenaran, pendapat yang benar tanpa harus merasa takut meskipun itu pahit baginya. (QS. An-Nisa 4:135). Hak mendapatkan perlindungan terhadap penindasan karena perbedaan agama, merupakan konsekuensi dari dilarangnya suatu paksaan dalam beragama. (QS. 5:48 & QS. 6.108). Hak untuk mendapatkan kehormatan dan nama baik, merupakan salah satu unsur kelanggengan masyarakat, karenanya dalam islam, perlindungan terhadap nama baik dan kehormatan anggota masyarakat merupakan unsur utama dalam nilai-nilai sosial yang harus dijaga oleh setiap orang, terutama badan-bdan pemerintahan (QS. 33:60-61 &QS. 49:12).

Hak ekonomi (righta to economic), dalam islam telah digariskan bahwa setiap orang berkewaajiban memperoleh pendapatan dan penghasilan secara legal,

41 Ikhwan, Hak Aasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), h.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu himpunan dikatakan terhitung jika himpunan tersebut hingga atau memiliki kardinalitas yang sama dengan. himpunan bilangan

Meskipun gugatan Pelawan ditolak oleh Hakim Pengadilan Jakarta Pusat, 19 namun hal tersebut menjadi ketertarikan sendiri bagi peneliti untuk mengkaji putusan

Kendala yang dihadapi oleh Kompolnas dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsinya bahwa, Kendala-kedala yang dihadapi oleh Kompolnas khususnya yang berada di Padang adalah

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam atas segala nikmat yang telah diberikan kepada makhuk-Nya karena dengan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: Peran Unit Pelaksana Teknis

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Thurau (2004) yang menyatakan bahwa dengan kinerja karyawan yang baik dilihat dari dimensi COSE yaitu ketrampilan

Penelitian Setyowati (2004) mengenai Analisis Ekonomi Basis Sektor Pertanian di Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten, dimana analisis yang digunakan adalah

Penelitian analisis program drama Jtoku pada televisi internet Layaria TV merupakan penelitian yang mengamati sebuah fenomena mengenai televisi internet, kemudian