• Tidak ada hasil yang ditemukan

ganda, dan sesekali menambahkan soal esai jika siswa dituntut untuk menjelaskan Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa miskonsepsi pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ganda, dan sesekali menambahkan soal esai jika siswa dituntut untuk menjelaskan Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa miskonsepsi pada"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

ganda, dan sesekali menambahkan soal esai jika siswa dituntut untuk menjelaskan proses.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa miskonsepsi pada konsep Sistem Reproduksi Tumbuhan Biji terdapat di setiap cluster. Persentase miskonsepsi tertinggi sampai terendah adalah pada cluster I, cluster IV, cluster II, dan cluster III.

1. Cluster I

Siswa pada Cluster I mengalami miskonsepsi paling banyak diantara cluster lainnya, yaitu 51 kejadian miskonsepsi yang membentuk 11 pola miskonsepsi, dengan frekuensi 38 kejadian dari 23 orang siswa (76,67%). Miskonsepsi tersebut tersebar pada 9 butir soal. Siswa paling banyak mengalami miskonsepsi pada soal nomor 8 (46,67%), subkonsep siklus hidup tumbuhan biji.

Pada siklus tumbuhan biji siswa harus mampu menghubungkan konsep-konsep yang telah dipelajari, seperti pada siswa nomor tes 29. Setiap konsep-konsep tidak berdiri sendiri, melainkan setiap konsep berhubungan dengan konsep-konsep lainnya (Berg, 1990). Pada umumnya siswa pada cluster I paham tentang bunga, biji, buah, dan kecambah. Namun siswa tidak dapat menjelaskan hubungan antar konsep tersebut, sehingga terjadi miskonsepsi yaitu biji dapat tumbuh menjadi buah dan kecambah. Selain itu konteks mempengaruhi pemikiran siswa (Treagust, 2006), seperti adanya semangka berbiji dan non biji. Siswa berpikir bahwa buah semangka non biji berasal dari perkembangan biji, sehingga pada berukuran

(2)

besar. Semangka berbiji ukurannya kecil sehingga siswa berpikir bahwa hanya sedikit biji yang berkembang menjadi buah.

Miskonsepsi lainnya pada subkonsep siklus hidup tumbuhan biji yaitu buah adalah cadangan makanan embrio. Buah seringkali dianggap sebagai cadangan makanan embrio karena umumnya buah dapat dimakan. Angapan ini tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga pada guru. Siswa yang mengalami miskonsepsi ini ternyata memperoleh konsepsi tersebut dari gurunya saat SMP.

Pada soal nomor 12 pun siswa mengalami miskonsepsi dari gurunya di SMP, yang menjelaskan bahwa air merupakan sumber nutrisi pada perkecambahan. Air mengaktifkan enzim pada biji untuk memulai perkecambahan, bukan sebagai nutrisi. Jika air tidak ada maka biji tetap mengalami dormansi. Miskonsepsi pada siswa maupun guru tersebut dapat disebabkan karena kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang harus menyiram tanaman setiap hari agar tidak mati. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan guru dapat menyebabkan miskonsepsi (Suparno, 2005; Osborn dalam Kwen,2005; Din-Yan, 2010).

Pengetahuan guru dapat diketahui dari cara mengajarnya saat pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan ada siswa yang mengalami miskonsepsi karena cara mengajar guru di SMP. Pada saat mengajar guru sering kali memberikan contoh dan menganalogikan materi yang dipelajari dengan sesuatu yang telah siswa kenali (Morton et al., 2008). Berdasarkan informasi dari siswa, gurunya di SMP memberikan contoh alat reproduksi berbagai macam tumbuhan, sehingga siswa mengetahui berbagai macam bentuk alat reproduksi.

(3)

Dalam hal ini guru tidak mengelompokkan alat reproduksi tersebut menjadi bunga dan strobilus, sehingga siswa mengalami miskonsepsi bahwa strobilus betina dan bunga betina ada pada setiap tumbuhan.

Analogi adalah penalaran induktif dengan membandingkan dua hal yang banyak persamaannya. Analogi biasanya dibuat oleh guru agar siswa paham tentang materi yang dipelajarinya. Menurut siswa, gurunya di SMP mengajarkan bahwa tumbuhan hasil reproduksi aseksual cepat berbuah karena berbatang pendek. Batang yang pendek lebih cepat menyerap makanan dalam tanah, seperti pada manusia pintar yang umumnya pendek. Pada manusia yang pendek makanan dekat dengan otak sehingga bisa pintar. Analogi tersebut salah, bahkan tidak ada hubungannya antara tinggi badan, makanan, dan kepintaran. Tumbuhan pun tidak menyerap makanan dalam tanah, karena bersifat autotrof. Hal ini menunjukkan bahwa cara mengajar guru sangat berpengaruh pada konsepsi siswa (Suparno, 2005). Jika gurunya miskonsepsi maka besar kemungkinan siswa pun akan mengalami miskonsepsi.

Miskonsepsi pada cluster I disebabkan juga karena konteks. Kehidupan sosial siswa dapat menjadi penyebab timbulnya miskonsepsi, seperti bahasa sehari-hari dan temannya (Suparno, 2005). Bahasa sehari-hari seperti biji kopi (soal nomor 11) dan buah melinjo (soal nomor 2) berbeda arti dengan bahasa ilmiah. Kopi menghasilkan buah kopi yang di dalamnya terdapat biji kopi. Hasil reproduksi aseksual pada melinjo menghasilkan biji saja. Walaupun siswa telah belajar tentang reproduksi tumbuhan biji, tetap saja tidak dapat secara langsung

(4)

mengubah konsepsi siswa, karena bahasa di lingkungannya memiliki pengaruh yang cukup besar (Morton et al.,2008).

Selain bahasa sehari-hari, teman yang berada di sekitar siswa dapat menyebabkan miskonsepsi melalui kegiatan diskusi (Suparno, 2005). Miskonsepsi yang muncul seperti pada soal nomor 14, yaitu kambium merangsang pertumbuhan akar. Jika kambium memberikan rangsangan maka ada jaringan yang dirangsang. Dalam hal ini kambiumlah yang langsung membentuk akar, karena kambium bersifat meristematis.

Hasil diskusi siswa pada soal nomor 4 pun menyebabkan miskonsepsi, yaitu penamaan pembuahan/fertilisasi dilihat dari endosperm. Jika endosperm haploid (n) maka disebut pembuahan tunggal, dan jika endosperm lebih dari n maka disebut pembuahan ganda. Siswa yang semula tidak paham, setelah berdiskusi dengan temannya langsung menerima hasil diskusi tersebut. Pada usia remaja, teman merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga tidak heran jika siswa langsung dapat menerima hasil diskusi tersebut.

Penyebab miskonsepsi lainnya yang paling banyak pada cluster I adalah dari pemikiran siswa itu sendiri. Menurut aliran konstruktivisme, struktur kognitif dapat diubah dan disesuaikan yang berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme itu sendiri (Suparno, 2005). Pemikiran siswa yang menyebabkan miskonsepsi pada penelitian ini antara lain generalisasi, kemampuan menghubungkan antar konsep, serta minat siswa terhadap pelajaran.

Generalisasi merupakan penalaran induktif dengan cara menarik kesimpulan secara umum berdasarkan sejumlah data, atau disebut juga sebagai

(5)

proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum (Alwi et al., 2005). Siswa melakukan generalisasi bahwa gametofit pada tumbuhan biji (Gymnospermae dan Angiospermae) menghasilkan ovum dan endosperm pada saat pembuahan (soal nomor 4). Pada tumbuhan biji, ovum dihasilkan dari pembentukan gamet. Endosperm pada Angiospermae dihasilkan dari proses pembuahan, tetapi endosperm pada Gymnospermae dihasilkan dari proses pembentukan gamet.

Kesalahan dalam generalisasi dapat disebabkan karena kurangnya pengalaman siswa dalam mengamati suatu objek atau pun fenomena alam (Hersey, 2004; Strauss dalam Kwen, 2005). Hal ini terjadi pada siswa nomor tes 4 di soal nomor 8. Siswa mengamati bahwa setiap buah memiliki biji. Jika biji atau buah ditanam akan tumbuh menjadi kecambah, maka semua buah berkembang dari biji. Dalam hal ini siswa hanya mengamati kecambah yang tumbuh di atas tanah, tanpa mengamati bagian yang tumbuh menjadi kecambah.

Fenomena alam yang dapat diamati adalah penyerbukan atau polinasi. Polinasi diartikan sebagai peristiwa jatuhnya serbuk sari ke kepala putik. Definisi ini hanya berlaku untuk Angiospermae, tidak untuk Gymnospermae karena tidak memiliki kepala putik. Pengamatan siswa setelah proses polinasi maka beberapa hari kemudian akan muncul buah. Siswa berpikir bahwa buah tersebut muncul karena serbuk sari jatuh ke kepala putik, sehingga siswa menyimpulkan bahwa serbuk sari adalah gamet jantan dan putik adalah gamet betina (soal nomor 5).

Kemampuan siswa dalam menghubungkan antar konsep pun dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa nomor tes 29 di soal nomor 8. Siswa

(6)

paham tentang biji, buah, dan kecambah tetapi tidak dapat menghubungkan hubungannya. Hal ini dapat disebabkan daya tangkap atau IQ siswa yang berbeda-beda.

Daya tangkap atau IQ yang tinggi belum tentu menyebabkan siswa dapat memahami suatu pelajaran jika siswa tersebut tidak menyukai pelajaran tersebut (Suparno, 2005; Din-Yan, 2010). Menurut guru A yang mengajar, siswa di cluster I pada umumnya cerdas dengan IQ rata-rata di atas 100 (cerdas). Siswa nomor tes 11 kurang menyukai pelajaran Biologi. Pada saat pembelajaran, siswa kurang memperhatikan materi yang diajarkan, sehingga siswa menggunakan intuisinya sendiri. Hal inilah yang dapat menyebabkan miskonsepsi.

Pada cluster I miskonsepsi banyak terjadi sebelum pembelajaran. Guru yang mengajar menyatakan bahwa pertanyaan siswa saat pembelajaran menunjukkan siswa mengalami miskonsepsi. Contohnya pada pertanyaan biji berkembang menjadi buah pada semangka, serbuk sari adalah gamet jantan, putik adalah gamet betina, buah sebagai cadangan makanan, buah melinjo, dan air sebagai makanan tumbuhan. Siswa di cluster I cukup kritis dan pertanyaan tersebut sering ditanyakan setiap tahunnya.

Pada cluster I, miskonsepsi paling banyak terjadi sebelum pembelajaran (pretest). Walaupun guru telah menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa dan mencoba meluruskan dalam proses pembelajaran, tidak semua menjadi paham, tetap saja masih ditemukan siswa yang mengalami miskonsepsi pada posttest dan retest. Bahkan miskonsepsi pada retest lebih banyak daripada miskonsepsi pada

(7)

posttest. Hal ini menunjukan bahwa miskonsepsi selalu ada pada setiap jenjang sekolah dan sulit diubah (Tamir, 2011).

Pola miskonsepsi terbanyak pada cluster I adalah pola M-P-P. Pola ini menunjukkan siswa mengalami miskonsepsi pada prakonsepsi dan paham pada tes berikutnya. Berdasarkan wawancara, prakonsepsi ini diperoleh dari pembelajaran di jenjang sebelumnya dan lingkungannya.

Pola miskonsepsi pada cluster I umumnya didominasi oleh konsepsi tidak paham (TP) dan miskonsepsi (M) pada tiap tesnya. Dari pola tersebut dapat diketahui bahwa ketidakpahaman akan menggiring siswa pada miskonsepi. Pola miskonsepsi dengan konsepsi paham (P) pada retest pun dapat mengandung miskonsepsi (M) dan tidak paham (TP) pada tes lainnya. Berdasarkan hasil wawancara, siswa yang paham pada retest ketika ditanya kembali tentang soal sebelumnya yang miskonsepsi ataupun tidak paham akan menjawab paham. Hal ini menunjukkan adanya perubahan konsepsi siswa menjadi paham, karena konsepsi siswa terus berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya (Piaget, 1997).

Pola miskonsepsi pada cluster I terdapat dua anomali, yaitu pola yang seharusnya tidak terjadi karena siswa mengalami miskonsepsi atau tidak paham setelah tes yang menyatakan siswa tersebut paham. Pola TP-P-M pada soal nomor 2 tentang struktur alat reproduksi Gymnospermae yang terdapat pada siswa nomor tes 10. Setelah diwawancara diketahui bahwa pada pretest siswa salah menjawab soal karena siswa berpikir gambar tersebut adalah bunga betina. Pada posttest siswa menjawab benar dan memberikan alasan yang tepat tentang

(8)

mikropil pada Gymnospermae. Pada retest siswa mengalami miskonsepsi, yaitu strobilus betina menghasilkan buah melinjo. Siswa paham bahwa alat kelamin pada Gymnospermae berupa strobilus, tetapi siswa masih mengalami miskonsepsi bahwa tentang buah melinjo. Siswa selalu menyebutnya sebagai buah karena sehari-hari biji melinjo dikenal dengan buah melinjo. Pola miskonsepsi yang anomali ini menunjukkan bahwa konsepsi seseorang dipengaruhi oleh konteks.

Pola anomali lainnya adalah pola M-P-TP nomor 8 tentang siklus hidup tumbuhan biji yang terdapat pada siswa nomor tes 4 dan 24. Pola tersebut menunjukkan bahwa kedua siswa hanya paham tentang siklus hidup Gymnospermae (posttest) dan mengalami miskonsepsi (pretest) dan tidak paham (retest) pada siklus hidup Angiospermae. Setelah diwawancarai ternyata kondisi siswa nomor tes 24 yang kurang sehat menyebabkan siswa tidak dapat memberikan alasan terhadap jawabannya, walaupun siswa tersebut paham. Pada siswa nomor tes 4 yang menjawab benar tetapi tidak menuliskan alasan karena siswa kurang percaya diri dengan alasannya.

Siswa pada cluster I cenderung menuliskan alasan pada setiap soal. Adapun siswa yang tidak menuliskan seperti siswa pada nomor tes 4, 24, dan 17 disebabkan oleh kondisi fisiknya yang kurang baik dan ketidakpercayaan diri siswa dalam menjelaskan alasan. Guru A pada cluster I dalam setiap ulangannya tidak hanya menggunakan soal pilihan ganda, tetapi menggunakan juga soal esai. Menurut guru A, soal esai dapat meningkatkan daya nalar siswa, dan guru dapat mengetahui konsepsi siswa dengan jelas.

(9)

2. Cluster II

Pada cluster II, terdapat 26 kejadian miskonsepsi yang membentuk 8 pola miskonsepsi. Frekuensi pola tersebut sebanyak 23 kejadian pola. Siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak 15 orang siswa (50%). Miskonsepsi tersebut tersebar pada 9 butir soal. Siswa paling banyak mengalami miskonsepsi pada soal nomor 5 (16,67%) subkonsep polinasi, dan soal nomor 12 (16,67%) subkonsep perkecambahan.

Miskonsepsi pada cluster II disebabkan oleh guru, konteks, dan siswa itu sendiri berupa pemikiran siswa terhadap suatu konsep. Pemikiran siswa merupakan penyebab miskonsepsi yang dominan pada siswa di cluster II, seperti intuisi yang salah, generalisasi, dan prakonsepsi. Pemikiran siswa pun dipengaruhi juga oleh minat belajar siswa.

Guru dapat menyebabkan miskonsepsi melalui cara mengajarnya maupun kurangnya pengetahuan guru tentang materi pelajaran tersebut (Suparno, 2005; Din-Yan, 2010). Menurut siswa, guru yang mengajarnya dari SD sampai SMP selalu membawa strobilus betina pinus sebagai contoh tumbuhan Gymnospermae, dan hanya menyebutkan tumbuhan Gymnospermae lainnya. Hal ini menyebabkan siswa mengeneralisir bahwa semua strobilus betina selalu mempunyai sisik seperti strobilus betina pinus, karena kurangnya contoh. Siswa SD membutuhkan contoh yang konkret karena masih berpikir operasional konkret (Piaget dalam Dahar, 1996). Jika di tingkat sekolah dasar siswa kurang mengenal contoh tumbuhan Gymnospermae maka miskonsepsi yang ada akan terus terbawa sampai jenjang yang lebih tinggi. Ketika siswa dihadapkan dengan strobilus betina

(10)

melinjo (soal nomor 2), siswa menjawab dan memberikan alasan ciri-ciri pada pinus, sehingga siswa mengalami miskonsepsi.

Pada pembelajaran guru sering melakukan demonstrasi suatu peristiwa (Morton et al., 2008), salah satunya adalah proses polinasi. Siswa yang mengalami miskonsepsi tentang polinasi mengatakan bahwa miskonsepsi tersebut diperoleh dari gurunya di SMP. Guru tersebut salah dalam mendemonstrasikan proses polinasi sehingga siswa berpikir bahwa polinasi merupakan peristiwa penyatuan benang sari dan putik.

Polinasi yang merupakan salah satu subkonsep terbanyak yang dimiskonsepsi oleh siswa telah dipelajari sejak tingkat SD, namun masih tetap saja masih ada yang mengalami miskonsepsi. Miskonsepsi yang ada sebelum pembelajaran di SMA (prakonsepsi), terus berlanjut karena cara mengajar guru. Menurut siswa, guru B di SMA hanya menjelaskan pengertian polinasi sebagai peristiwa jatuhnya serbuk sari ke kepala putik. Guru B hanya menjelaskan definisinya saja karena subkonsep ini telah dipelajari mulai dari tingkat SD dan SMP, sehingga guru tidak perlu menjelaskan dengan contohnya pada tumbuhan.

Guru B tidak memperhatikan prakonsepsi siswa, terlihat dari tidak pernahnya guru B memberikan pretest kepada siswa sejak pertama masuk sekolah. Seorang guru seharusnya dapat memperhatikan prakonsepsi siswa, agar miskonsepsi tidak terus berlanjut (Treagust, 2006).

Prakonsepsi yang tidak diperhatikan oleh guru adalah istilah benang sari yang diangap sama dengan gamet jantan dan putik sebagai gamet betina (soal

(11)

nomor 1). Menurut siswa, konsepsi ini telah didapatkannya sejak SD dan tidak mengalami perbaikan sampai SMA.

Miskonsepsi dapat dipengaruhi oleh lingkungan (konteks), seperti bahasa sehari-hari dan peristiwa yang sering terjadi di sekitarnya (Suparno, 2005; Strauss dalam Kwen, 2005; Morton et al., 2008). Dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan istilah biji kopi dan buah melinjo, tetapi jarang disebut sebagai buah kopi dan biji melinjo. Hal ini menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi bahwa tumbuhan kopi hanya menghasilkan biji (soal nomor 11), sehingga biji kopi yang dikeluarkan oleh luak dapat tumbuh karena di dalam biji terdapat embrio.

Biji melinjo pun sering dianggap sebagai buah melinjo (soal nomor 10). Melinjo adalah salah satu tumbuhan Gymnospermae, karena tidak memiliki bakal buah sehingga tidak memiliki buah, hanya biji. Siswa paham tentang Gymnospermae, tetapi ketika dihadapkan dengan melinjo masih ada siswa yang menyebut biji melinjo dengan buah melinjo.

Selain peristiwa ataupun pengalaman siswa, pemikiran teman pun dapat menyebabkan miskonsepsi, contohnya analogi yang dibuat secara bersama-sama dalam diskusi. Fungsi air bagi biji dianalogikan seperti fungsi air bagi tumbuhan dewasa. Analoginya adalah tumbuhan membutuhkan air sebagai sumber nutrisi/makanan, maka biji pun sama dengan tumbuhan dewasa, karena biji tidak akan tumbuh jika tidak diberi air (soal nomor 12). Analogi tersebut dapat membentuk miskonsepsi (Morton et al., 2008). Analogi tersebut kurang tepat, karena fungsi air pada tumbuhan dewasa bukan merupakan sumber makanan

(12)

karena tumbuhan bersifat autotrof, begitu pula fungsi air pada biji karena air berfungsi untuk mengaktifkan enzim memulai proses perkecambahan.

Peristiwa yang terjadi di sekitar siswa pun dapat menyebabkan miskonsepsi (Suparno, 2005; Strauss dalam Kwen, 2005; Morton et al., 2008). Pada umumnya siswa masih berpikir konkret, sehingga membentuk konsepsi berdasarkan yang dia lihat, contohnya pada umbi. Hampir semua umbi berada di dalam tanah, sedangkan pemikiran siswa yang ada di dalam tanah adalah akar. Menurut siswa tumbuhan akan mati jika tidak memiliki akar.Hal ini menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi bahwa umbi adalah akar, dan jika ditanam akan tumbuh menjadi individu baru (soal nomor 13).

Peristiwa lain yang dapat teramati adalah proses perkecambahan. Biji dapat berkecambah karena embrio dalam biji mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Namun biji tidak dapat berkembang menjadi buah, karena buah merupakan perkembangan dari bakal buah. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai buah berbiji dan buah non biji. Melihat fenomena tersebut siswa beranggapan bahwa sebagian biji dapat berkembang menjadi buah karena umumnya semua buah memiliki biji dan jika biji ditanam dapat tumbuh menjadi kecambah. Siswa menerima begitu saja sehingga terbentuk miskonsepsi bahwa biji dapat tumbuh menjadi buah dan kecambah.

Peristiwa yang sering siswa lihat tersebut akan membentuk intuisi pada siswa (Suparno, 2005). Intuisi siswa sangat dominan di cluster II. Intuisi adalah perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti (Suparno

(13)

2005). Pada umumnya siswa yang mengalami miskonsepsi pada cluster II memberikan alasan berupa intuisinya yang salah. Siswa secara spontan menulis yang ada dalam pikirannya, baik berdasarkan pengamatannya terhadap suatu peristiwa yang terjadi sehari-hari maupun imaginasi atau karangan yang terlintas di pikirannya. Tidak heran jika dalam mengerjakan soal lebih cepat selesai daripada siswa di cluster I.

Intuisi ini muncul karena siswa di cluster II tidak terbiasa mengemukakan pendapat ataupun alasan, karena siswa tidak terbiasa mengisi soal esai. Guru B selalu memberikan ulangan berupa soal pilihan ganda, sehingga siswa tidak terbiasa ketika diminta untuk menuliskan alasan. Guru mengemukakan bahwa penggunaan soal pilihan ganda lebih praktis dalam menilai, dan di Ujian Nasional pun hanya pilihan ganda yang digunakan.

Miskonsepsi pada cluster II paling banyak terjadi di pretest. Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa siswa di cluster II lebih banyak konsepsi paham. Pada kenyataannya konsepsi tidak paham lebih banyak daripada konsepsi paham. Pada umumnya pola miskonsepsi di cluster II merupakan kumpulan dari konsepsi tidak paham dan miskonsepsi, contohnya pola miskonsepsi yang paling banyak muncul adalah M-TP-TP. Selain itu ada pula pola TP-TP-M. Hal ini menunjukkan bahwa miskonsepsi dapat disebabkan karena ada konsep yang tidak dipahami siswa sehingga berpengaruh pada struktur kognitifnya dan terbentuklah miskonsepsi (Lin, 2004).

Pada cluster II terdapat pola miskonsepsi yang diakhir (pretest) paham, seperti TP-M-P, M-TP-P, dan M-P-P. Siswa yang memiliki pola miskonsepsi

(14)

tersebut paham pada retest. Jika ditanyakan kembali soal sebelumnya maka siswa tersebut dapat menjawab dengan baik. Pola tersebut menunjukkan adanya perubahan konsepsi siswa.

Pola P-M-M merupakan satu pola yang anomali karena siswa sebelumnya paham, tetapi menjadi miskonsepsi pada dua tes berikutnya. Siswa paham pada pretest kemudian mengalami miskonsepsi pada dua tes berikutnya. Pada subkonsep alat reproduksi Gymnospermae, siswa hanya mengetahui tentang alat reproduksi pada pinus saja karena guru selalu memberikan contoh pinus sebagai alat kelamin betina pada Gymnospermae. Siswa pun menerapkan atau mengeneralisir ciri-ciri strobilus pinus pada strobilus melinjo sehingga menyebabkan miskonsepsi. Miskonsepsi pun terjadi ketika siswa menyebutkan bahwa mikropil merupakan bagian dari putik. Hal ini terjadi karena pada awalna siswa tahu tentang mikropil ada pada putik.

Siswa di cluster II lebih cepat menyelesaikan soal daripada siswa di cluster I. Namun alasan yang diberikan siswa pada cluster II pada umumnya berupa intuisi dan pengulangan soal. Bahkan ada siswa yang tidak menuliskan alasannya baik beberapa nomor maupun seluruh nomor. Berdasarkan wawancara pada siswa nomor tes 7, 25, dan 30, mereka menyatakan bahwa kesulitan menuliskan alasan karena sudah terbiasa dengan soal pilihan ganda tanpa alasan. Siswa nomor tes 25 dan 30 berpendapat bahwa soal pada ketiga tes sama saja walaupun kata-katanya berbeda, sehingga siswa malas untuk menuliskan alasannya. Berbeda dengan siswa nomor tes 25 dan 30, siswa nomor tes 7 tidak menuliskan alasan karena merasa bingung dengan perbedaan penjelasan yang

(15)

diberikan guru SMP dan SMA. Gambaran visual yang dicontohkan di SMP berbeda dengan penjelasan guru di SMA.

3. Cluster III

Pada cluster III, siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak 10 orang (33,33%) dalam 20 kejadian miskonsepsi. Kejadian miskonsepsi tersebut membentuk 7 pola miskonsepsi dengan frekuensi 16 kejadian. Cluster ini paling sedikit mengalami miskonsepsi dibandingkan dengan cluster lainnya. Subkonsep yang paling banyak dimiskonsepsi oleh siswa adalah subkonsep polinasi (soal nomor 5) dan subkonsep fertilisasi (nomor 7), masing-masing sebanyak 4 orang (13,33%).

Miskonsepsi pada siswa cluster III banyak disebabkan oleh siswa melalui pemikirannya. Salah satu miskonsepsinya adalah fertilisasi pada Gymnospermae menghasilkan embrio (n) dan enosperm (n). Miskonsepsi ini merupakan intuisi siswa karena dari hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa secara spontan menjawab yang ada di dalam pikirannya (Suparno, 2005).

Miskonsepsi yang disebabkan oleh intuisi siswa lainnya adalah jarak antara biji dengan induk akibat pemencaran dapat menyebabkan biji berkecambah; putik menghasilkan serbuk sari; dan makrospora menghasilkan gametofit jantan dan gametofit betina. Miskonsepsi yang pertama, siswa berpikir jika biji jauh dengan induk maka tidak akan terjadi kompetisi unsur hara dengan induk. Miskonsepsi yang kedua, siswa berpikir bahwa benang sari harus memiliki benang atau tangkai, bagian berwarna kuning pada kembang sepatu tidak

(16)

memiliki benang maka disebut sebagai putik. Miskonsepsi yang ketiga, siswa berpikir bahwa kata makro = besar akan menghasilkan lebih dari satu gametofit.

Intuisi tersebut secara spontan terlintas di pikiran siswa. Pemikiran atau pengertian spontan biasanya didapatkan dari pengalaman sehari-hari (Fosnot dalam Suparno, 1997). Ketika diwawancara siswa hanya mengatakan alasan tersebut tiba-tiba muncul sendiri dalam pikirannya. Siswa membaca soal dan kemudian terlintaslah pemikiran tersebut.

Selain intuisi, miskonsepsi karena siswa pun dapat disebabkan oleh pemikiran asosiatif (Suparno, 2005), kemampuan siswa menghubungkan konsep (Berg, 1990), dan ketidaklengkapan informasi yang diterima siswa (Repi, 2004). Pemikiran asosiasiatif muncul karena perbedaan istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Suparno, 2005). Miskonsepsi karena pemikiran asosiatif terlihat pada siswa nomor tes 8 pada soal nomor 1, benang sari merupakan alat kelamin betina karena berwarna cerah. Miskonsepsi ini merupakan asosiasi siswa yaitu betina diasosiasikan sebagai wanita yang menyukai warna cerah, maka bagian yang cerah pada bagian bunga merupakan alata kelamin betina.

Miskonsepsi yang disebabkan karena kurang mampu dalam menghubungkan antar konsep terjadi pada soal nomor 4. Siswa nomor tes 8 paham tentang terbentuknya endosperm dan zigot yang keduanya merupakan hasil pembuahan. Namun, siswa tidak dapat menghubungkan antara zigot dan endosperm, sehingga siswa menyatakan bahwa endosperm sama dengan zigot.

Ketidaklengkapan informasi yang diterima siswa pun dapat menyebabkan miskonsepsi. Pada soal nomor 11, siswa nomor tes 21 menyatakan buah dapat

(17)

menjadi kecambah. Hal ini disebabkan siswa mendapatkan informasi bahwa dengan kultur jaringan, semua bagian tubuh tumbuhan dapat menjadi individu baru. Siswa tidak mendapatkan lebih lanjut cara menghasilkan individu baru dengan teknik kultur jaringan. Siswa beranggapan bahwa jika buah ditanam akan tumbuh menjadi individu baru.

Pemikiran siswa dapat pula dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama temannya. Diskusi kelompok dapat menyebabkan miskonsepsi, contohnya miskonsepsi yang dialami oleh siswa nomor tes 12, 16, 21, dan 28. Keempat siswa tersebut mengalami miskonsepsi setelah berdiskusi tentang polinasi. Miskonsepsinya yaitu serbuk sari = gamet jantan, dan putik = gamet betina. Miskonsepsi ini merupakan kesimpulan diskusi siswa, mereka berpikir bahwa jika serbuk sari tidak jatuh ke kepala putik maka tidak akan terbentuk buah, seperti halnya sperma dan ovum pada manusia.

Miskonsepsi pada pretest dan posttest lebih sedikit dibandingkan dengan miskonsepsi pada retest. Hal ini menunjukkan bahwa miskonsepsi banyak terjadi setelah pembelajaran. Walaupun semua pola yang konsepsi pada pretestnya adalah miskonsepsi tidak ada yang berakhir dengan miskonsepsi pada retest, tetapi ada pola yang pretestnya tidak paham maupun paham berakhir dengan miskonsepsi. Pola miskonsepsi tersebut antara lain pola TP-M-M (25,00%) yang merupakan pola miskonsepsi terbanyak tersebar pada soal nomor 7 (siswa nomor tes 1, 6, 7, 8), TP-P-M (25,00%) pada soal nomor 5 (siswa nomor tes 12, 16, 21, 27), dan P-TP-M (12,50%) pada soal nomor 11 (siswa nomor tes 21, 28). Hal ini

(18)

menunjukkan bahwa ketidakpahaman akan menggiring siswa ke dalam miskonsepsi (Lin, 2004).

Pola miskonsepsi pada cluster III terdapat dua pola yang anomali karena pada salah satu tes siswa paham kemudian miskonsepsi pada tes berikutnya. Pola miskonsepsi yang anomali yaitu TP-P-M dan P-TP-M. Pola TP-P-M dialami oleh 4 orang siswa (13,33%) yang mengalami miskonsepsi pada retest. Miskonsepsi ini muncul karena siswa menuliskan serbuk sari sebagai gamet jantan dan putik sebagai gamet betina. Siswa yang tidak paham pada pretest, kemudian paham pada posttest, dapat mengalami miskonsepsi pada retest karena pengaruh dari temannya. Miskonsepsi ini diperoleh berdasarkan diskusi antara keempat siswa tersebut. Hal ini membuktikan bahwa teman di lingkungan sekitar dapat menyebabkan perubahan konsepsi siswa (Vigotsky dalam Suparno, 1997).

Pada pola P-TP-M dialami oleh 2 orang siswa (6,67%). Kedua siswa paham pada pemencaran biji kopi, namun salah menjawab pada posttest. Siswa berpikir pemencaran biji dapat meningkatkan variasi genetik, padahal mereka pun tidak yakin dengan jawaban tersebut. Pada retest siswa mengalami miskonsepsi karena ketidaklengkapan informasi (siswa nomor tes 21) dan intuisi yang salah (siswa nomor tes 28). Intuisi tersebut tiba-tiba muncul, bahkan siswa pun tidak tahu alasan dia menuliskannya, yaitu pinus tidak punya buah dan serbuk sari. Ketidaklengkapan informasi dapat menyebabkan miskonsepsi, begitu juga dengan intuisi yang salah.

Siswa pada cluster III memiliki kemiripan dengan siswa pada cluster II yaitu dalam menuliskan alasan. Banyak alasan yang hanya mengulang soal dan

(19)

ada pula yang tidak menuliskan alasan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa nomor tes 12, 16, dan 28, siswa sulit menuliskan alasan karena terbiasa dengan soal pilihan ganda tanpa alasan yang mudah menjawabnya. Siswa mengetahui konsep tersebut tetapi tidak bisa memberikan alasan dari jawaban yang dipilihnya sehingga siswa hanya mengulangi pertanyaan (Abraham et al., 1992). Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada siswa di Indonesia, menurut Tamir (2011) siswa US pun sulit untuk menjelaskan alasan dalam dari jawabannya dibandingkan siswa Israel, karena siswa Israel sangat kritis. Siswa yang kritis cenderung dapat mengungkapkan alasan atas pilhan atau tindakannya (Tamir, 2011). Selain itu siswa kurang percaya diri untuk memberikan alasan (Din-Yan, 2010). Menurut siswa, guru C kurang enak dalam mengajar, sehingga siswa kurang dapat memahami yang dijelaskan guru C. Ketika diminta menuliskan alasan pun siswa menjadi tidak percaya diri karena mereka tidak yakin alasannya benar.

4. Cluster IV

Pada cluster IV, siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak 22 orang (73,33%) dengan 40 kejadian. Kejadian miskonsepsi tersebut membentuk 9 polamiskonsepsi dengan frekuensi 31 kejadian. Subkonsep yang paling banyak mengalami dimiskonsepsi oleh siswa adalah subkonsep perkecambahan (soal nomor 12) pada 7 orang siswa.

Miskonsepsi pada siswa di cluster IV disebabkan oleh guru, konteks, dan siswa. Miskonsepsi yang disebabkan oleh guru adalah cara mengajarnya yang menekankan siswa bahwa perbedaan antara fertilisasi / pembuahan tunggal dan

(20)

ganda terletak dari endospermnya. Pada Angiospermae endospermnya triploid sedangkan pada Gymnospermae endospermnya haploid. Hal ini menyebabkan miskonsepsi pada siswa nomor tes 14 yaitu endosperm pada Gymnospermae merupakan hasil fertilisasi (nomor 4). Berbeda dengan siswa nomor 14, siswa nomor tes 10 mengalami miskonsepsi yang sama, tetapi penyebabnya ada generalisasi yang salah. Gymnospermae sama dengan Angiospermae kecuali endospermnya, pada Gymnosperm tidak dibuahi oleh sperma.

Miskonsepsi pada soal nomor 4 muncul juga pada soal nomor 7 tentang fertilisasi. Miskonsepsi tersebut pun muncul karena penekanan guru selama pembelajaran. Miskonsepsi yang sama (soal nomor 4 dan soal nomor 7) disebabkan oleh faktor yang berbeda (Kose, 2008), yaitu guru dan siswa. Hal ini membuktikan bahwa miskonsepsi dapat terbentuk oleh berbagai faktor.

Pada pembelajaran reproduksi tumbuhan, guru menggunakan metode ekspositori dalam mengajar. Guru memberikan informasi yang ia ketahui. Namun ketidaklengkapan informasi yang diberikan guru dapat menyebabkan miskonsepsi. Pada soal nomor 15 tentang hasil reproduksi aseksual. Guru hanya menjelaskan bahwa hasil reproduksi aseksual cepat berbuah dan selalu manis. Guru tersebut tidak menjelaskan cara mendapatkan individu hasil reproduksi aseksual sehingga menghasilkan sifat yang unggul. Hal inilah yang menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi bahwa semua hasil cangkok akan cepat bebuah dan rasa buahnya selalu manis tanpa melihat sifat induknya.

Guru pada cluster IV paham tentang reproduksi aseksual tetapi dalam pembelajaran tidak menjelaskannya dengan rinci, dengan anggapan reproduksi

(21)

aseksual pada tumbuhan telah dipelajari juga sejak SMP sehingga tidak perlu mendalam. Siswa cluster IV merupakan siswa yang memiliki tingkat kecerdasan paling rendah daripada siswa di cluster I, II, dan III. Guru tersebut pun tidak melihat prakonsepsi siswa sehingga guru mengajar seolah-olah mereka masih mengingat pelajaran di tingkat SMP.

Miskonsepsi tidak hanya disebabkan oleh guru yang mengajar pada jenjang tersebut, namun dapat pula disebabkan oleh guru di jenjang sebelumnya. Siswa nomor tes 11 mengalami miskonsepsi tentang serbuk sari sebagai gamet jantan dan putk sebagai gamet betina (soal nomor 5). Siswa tersebut mengalami miskonsepsi tersebut sejak SD, karena guru SD yang mengajarkannya pertama kali. Miskonsepsi tersebut terbawa sampai jenjang SMA.

Selain guru SD, guru SMP pun dapat menyebabkan miskonsepsi. Miskonsepsinya adalah biji merupakan cadangan makanan embrio (soal nomor 9). Guru tidak menjelaskan struktur biji dan mengeneralisasi bahwa biji merupakan cadangan makan seperti pada biji padi dan nangka yang dapat dimakan.

Pada cluster IV miskonsepsi pun disebabkan oleh konteks. Miskonsepsi yang sering terjadi karena konteks adalah perbedaan bahasa sehari-hari dengan bahasa ilmiah. Miskonsepsi yang ditemukan adalah buah melinjo (soal nomor 2) dan benang sari adalah gamet jantan (soal nomor 1). Biji melinjo disebut dengan buah melinjo dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sulit diubah karena secara spontan siswa akan menyebutnya buah walaupun siswa tahu bahwa melinjo merupakan tumbuhan berbiji terbuka dan tidak memiliki buah. Benang sari sering disebut sebagai jantan dan putik sebagai betina. Istilah tersebut dianggap siswa

(22)

sama dengan gamet jantan dan gamet betina, karena tanpa benang sari dan putik tidak akan terjadi pembuahan.

Selain bahasa sehari-hari, pengalaman siswa dalam mengamati lingkungan sekitar dapat menyebabkan miskonsepsi (Strauss dalam Kwen, 2005; Morton et al., 2008). Penggunaan pupuk kandang pada tumbuhan menyebabkan tumbuhan tumbuh subur. Ketika siswa diberikan konteks biji luak yang dikeluarkan bersama kotoran luak dan tumbuh menjadi kecambah, siswa menganggap bahwa kotoran luak sama seperti pupuk kandang dan menyebabkan biji kopi berkecambah. Biji berkecambah bukan disebabkan karena mikroorganisme yang ada pada kotoran tetapi karena embrio di dalam biji tumbuh.

Miskonsepsi yang disebabkan oleh siswa pada cluster IV karena intuisi siswa, dan kemampuan menghubungkan antar konsep. Intuisi pada siswa di cluster IV menimbulkan miskonsepsi bahwa air merupakan sumber nutrisi / makanan bagi tumbuhan dan kambium bersifat meristematis serta mengandung banyak makanan.

Miskonsepsi air sebagai sumber nutrisi / makanan pada tumbuhan (soal nomor 12) merupakan intuisi siswa. Siswa nomor tes 10 hanya berpikir bahwa tanpa air makhluk hidup tidak bisa hidup. Siswa tidak berpikir panjang lagi karena memang pada kenyataannya makhluk hidup tidak bisa hidup tanpa air. Namun siswa tidak berpikir atau menyelediki lebih lanjut fungsi air bagi tumbuhan, sehingga intuisi ini membentuk miskonsepsi pada siswa.

Miskonsepsi karena intuisi yang salah pun terjadi pada siswa nomor tes 16 pada soal nomor 14. Kambium bersifat meristematis, dapat membentuk floem dan

(23)

xylem sekunder, sehingga batang membesar. Siswa berpikir bahwa membesarnya batang karena banyak terdapat makanan dalam kambium.

Pada umumnya siswa dapat memahami suatu konsep tetapi belum tentu dapat menghubungkan antar konsep tersebut, padahal setiap konsep saling berhubungan (Berg, 1990). Pada soal nomor 12, siswa nomor tes 28 tidak dapat menghubungkan antara konsep biji, embrio dan cadangan makanan pada konteks perkecambahan sehingga siswa mengalami miskonsepsi bahwa embrio dan biji terpisah pada saat perkecambahan.

Generalisasi yang salah seperti generalisasi fertilisasi pada hewan terhadap tumbuhan terjadi pada soal nomor 8 oleh siswa nomor tes 29. Hewan dan tumbuhan merupakan makhluk hidup, keduanya dapat melakukan fertilisasi sehingga menghasilkan individu baru. Siswa berpikir jika gamet pada hewan berfertilisasi pada tubuh ibu menghasilkan bayi di dalam rahim, maka gamet pada tumbuhan berfertilisasi pada biji sehingga menghasilkan embrio, dan buah sebagai cadangan makanan embrio agar dapat tumbuh menjadi kecambah.

Miskonsepsi pada cluster IV paling banyak terjadi pada posttest. Miskonsepsi meningkat dari pretest ke posttest, kemudian menurun pada retest. Pola miskonsepsi yang menunjukkan masih terdapatnya miskonsepsi pada retest (35,48%) adalah pola TP-TP-M pada soal nomor 2 (siswa nomor tes 25 dan 28), TP-M-M yang merupakan pola miskonsepsi terbanyak pada soal nomor 7 (siswa nomor tes 23 dan 28) dan soal nomor 14 (siswa nomor tes 6,7,15, dan 16), dan P-P-M pada soal nomor 12 (siswa nomor tes 17, 23, 28). Pola miskonsepsi tersebut dialami oleh oleh 8 orang siswa (26,67%). Pola miskonsepsi tersebut

(24)

menunjukkan ketidakpaham dan miskonsepsi ada pada suatu pola membentuk pola miskonsepsi.

Hasil wawancara terhadap siswa yang memiliki pola miskonsepsi tersebut menunjukkan bahwa walaupun siswa diberikan tiga kali tes tetap saja tidak ada perubahan konsepsi siswa secara signifikan. Siswa masih tidak paham dan akhirnya mengalami miskonsepsi. Hal ini pun teradi pada pola miskonsepsi TP-M-TP, M-TP-TP, dan M-M-TP.

Pada pola miskonsepsi yang paham pada retest seperti pola TP-P, M-TP-P, dan M-P-P siswa mengalami perubahan konsepsi menuju paham. Ketika diwawancara pun siswa menunjukkan bahwa siswa paham terhadap soal pada tes sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya perubahan konsepsi siswa.

Pola miskonsepsi yang anomali pada cluster IV adalah P-P-M pada soal nomor 12. Siswa paham pada pretest dan postest, tetapi miskonsepsi pada retest. Walaupun siswa sudah paham tentang peranan air dalam perkecambahan biji, tetapi ketika diberikan konteks yang berbeda siswa tidak dapat menghubungkan antar konsep tersebut sehingga terjadi miskonsepsi.

Siswa di cluster IV merupakan siswa yang memiliki kemampuan paling rendah dibandingkan siswa di cluster lainnya. Namun tidak seperti siswa di cluster II dan III, siswa di cluster IV cenderung mengisi alasan pada setiap nomor soal. Alasan yang diberikan ada yang tepat, ada yang berputar-putar tetapi intinya satu, dan ada juga yang hanya mengulang soal. Mereka berharap dengan mengisi penuh alasannya, guru akan memberikan nilai walaupun alasannya salah, seperti pada soal esai yang sering diberikan guru D.

(25)

Siswa di cluster IV terbiasa dengan soal pilihan ganda dan esai, namun ketika ditanyakan alasan siswa sering bingung cara menuliskannya, contohnya pada siswa nomor tes 17 dan 23. Siswa nomor tes 29 lebih suka dengan hitungan dan menganggap biologi sebagai hafalan, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menuliskan alasan. Walaupun siswa menuliskan alasan tetapi kemampuan memberikan alasan pada siswa masih rendah, sehingga mereka menuliskan alasan yang berputar-putar. Selain itu, minat terhadap pembelajaran mempengaruhi terhadap konsepsi siswa.

Berdasarkan pembahasan dari setiap cluster terlihat bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh siswa pada setiap cluster di jenjang SMA. Miskonsepsi tersebut dapat terbentuk dalam setiap jenjang sekolah (Kose, 2008; Cardak, 2009). Cluster I merupakan kumpulan siswa yang pandai, diikuti dengan siwa pada cluster II dan III, dan siswa pada cluster IV yang merupakan siswa kurang pandai. Kepandaian ini dilihat dari nilai siswa saat masuk ke sekolah di cluster tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh siswa yang pandai maupun siswa yang kurang pandai (Berg, 1990).

Siswa pada cluster I dan IV lebih banyak mengalami miskonsepsi daripada siswa cluster II dan III. Siswa pada cluster I dan IV lebih banyak mengisi alasan pada setiap butir soal, sehingga peneliti dapat dengan mudah mengetahui konsepsi siswa. Siswa pada cluster I dan IV terbiasa dengan soal esai sehingga ketika diminta alasannya siswa dapat menuliskannya, walaupun alasan yang diberikan siswa cluster I lebih baik dan sistematis daripada siswa cluster IV. Hal ini disebabkan kemampuan siswa cluster I lebih tinggi daripada siswa cluster IV.

(26)

Siswa pada cluster II dan III tidak terbiasa untuk menjelaskan suatu alasan, karena guru selalu memberikan soal pilihan ganda (tidak beralasan) sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menuliskan alasan. Penulisan alasan sangat diperlukan karena siswa yang paham, tidak paham, maupun miskonsepsi dapat terlihat dari alasan yang diberikannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Driver (Surbakti, 2000) bahwa siswa dikatakan paham terhadap sesuatu jika siswa tersebut memiliki kemampuan untuk menjelaskan situasi atau tindakan.

Banyaknya siswa di cluster II dan III yang tidak memberikan alasan tepat terhadap jawaban pilihannya menunjukkan bahwa siswa tersebut menghafal konsep bukan memahaminya. Hal ini menyebabkan siswa yang menjawab benar tetapi tidak bisa menjelaskan alasannya dikategorikan tidak paham.

Jumlah siswa cluster I dan III yang mengalami miskonsepsi meningkat dari posttest ke retest, begitu juga pada cluster IV yang meningkat pada posttest. Hal ini disebabkan karena pada tes tersebut baru muncul miskonsepsinya, dan mungkin telah dimiliki sebelumnya atau muncul karena adanya pengaruh teman. Contohnya pada siswa nomor tes 12, 16, 21, dan 28 di cluster III yang mengalami miskonsepsi pada soal nomor 5 di retest. Mereka menyebutkan serbuk sari sebagai gamet jantan dan putik sebagai gamet betina. Miskonsepsi ini tidak muncul sebelumnya karena memang tidak ada yang menuliskan miskonsepsi tersebut pada tes sebelumnya, kemudian mereka menuliskannya berdasarkan diskusi antara keempat orang tersebut sebelum retest.

Walaupun terdapat peningkatan dan penurunan jumlah kejadian miskonsepsi dari pretest, posttest, sampai retest, tetapi secara statistik tidak

(27)

terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami siswa bersifat resisten (Berg, 1990).

Subkonsep yang banyak dimiskonsepsi siswa pada setiap cluster berbeda-beda. Di cluster I miskonsepsi terbanyak pada subkonsep siklus hidup tumbuhan biji, cluster II pada subkonsep polinasi dan perkecambahan, cluster III pada subkonsep polinasi dan fertilisasi, dan cluster IV pada subkonsep perkecambahan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kemampuan siswa yang berbeda pada setiap cluster dan perbedaan guru yang mengajarnya (Suparno, 2005; Osborn dalam Kwen, 2005; Din-Yan 2010), walaupun pada umumnya keempat guru tersebut menggunakan metode mengajar yang sama, yaitu ekspositori.

Penyebab miskonsepsi pada setiap cluster pada umumnya berasal dari siswa, guru, dan konteks. Siswa merupakan penyebab terbesar miskonsepsi pada setiap cluster, karena dalam proses pembelajaran siswa aktif menciptakan struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan (Piaget dalam Wilantara, 2005). Siswa secara terus menerus akan membangun pengetahuannya dan menanggapi setiap stimulus yang berasal dari lingkungannya. Interaksi kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Proses penyesuaian terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi (Piaget dalam Wilantara, 2005).

Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat disebabkan oleh prakonsepsi, generalisasi berlebihan, pemikiran intuitif, pemikiran asosiatif, ketidaklengkapan informasi, kemampuan siswa, dan minat belajar siswa. Menurut Pinker, Duit & Treagust (Treagust, 2006), mayoritas siswa sudah mempunyai prakonsepsi dan

(28)

kepercayaan tentang fenomena dan konsep. Prakonsepsi ini biasanya diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa (Suparno, 2005).

Prakonsepsi yang ditemukan pada penelitian ini berupa tidak paham, miskonsepsi, dan hanya sedikit yang paham. Sebagian besar prakonsepsi pada setiap cluster diperoleh dari sekolah awal dan pengalamannya di lingkungan. Prakonsepsi yang beragam akan berinteraksi dengan apapun yang diberikan pada pembelajaran berikutnya sehingga dihasilkan berbagai outcome baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan (Lin, 2004). Outcome yang tidak diharapkan dapat berupa tidak paham dan miskonsepsi.

Pada setiap cluster prakonsepsi paling banyak adalah tidak paham dan miskonsepsi. Sebagian dari prakonsepsi tersebut dipertahankan oleh siswa dalam pembelajarannya (Lin, 2004), dan pada umumnya miskonsepsi bersifat persisten (Tamir, 2011) sehingga pada retest masih tetap ditemukan adanya miskonsepsi.

Pada penelitian ini selain prakonsepsi, generalisasi yang berlebihan (over generalization) pun menyebabkan miskonsepsi. Generalisasi yang sering terjadi pada setiap cluster adalah generalisasi Angiospermae tehadap Gymnospermae. Contohnya cadangan makanan (endosperm) pada Gymnospermae merupakan hasil fertilisasi seperti pada Angiospermae (cluster IV), dan setiap strobilus pada tumbuhan Gymnospermae selalu bersisik seperti pada pinus (cluster II). Hersey (2004) menyatakan bahwa generalisasi yang berlebihan pada pelajaran Biologi adalah untuk mempersempit biodiversitas yang luas. Namun hal tersebut

(29)

menyebabkan miskonsepsi karena tidak semua hal dalam Biologi dapat digeneralisasi.

Siswa melalukan generalisasi yang salah atau berlebihan karena kurangnya pengamatan (Suparno, 2005). Hal ini terjadi pada siswa di cluster IV, karena siswa tidak pernah mengamati strobilus tumbuhan lain selain pinus. Kurangnya contoh dan pengamatan terhadap strobilus menuntun siswa melakukan genaralisasi yang salah dan terbentuklah miskonsepsi.

Miskonsepsi yang berasal dari siswa berupa intuisi atau pemikiran intuitif juga dipengaruhi dari pengamatan benda atau kejadian yang terus menerus, akhirnya secara spontan akan muncul dibenak siswa jika dihadapkan pada suatu persoalan (Suparno, 2005). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), intuitif adalah kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Contoh miskonsepsi yang berasal dari intuisi siswa adalah biji dapat tumbuh menjadi buah dan kecambah (cluster II). Siswa hanya melihat adanya buah berbiji dan non biji. Buah berbiji yang siswa amati umumnya berukuran kecil dan buah non biji berukuran besar. Selain itu jika buah tersebut ditanam maka hanya buah berbiji saja yang dapat tumbuh. Hal ini membentuk intuisi yang salah pada siswa.

Alasan yang didasarkan pada pemikiran intuitif atau intuisi siswa paling banyak terjadi pada cluster II dan III. Hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa menggunakan intuisinya karena mengalami kesulitan dalam menuliskan alasan. Mereka terbiasa membaca dan menghafal tanpa memaknai yang dibacanya. Menurut siswa dengan menghafal mereka dapat menjawab pertanyaan yang

(30)

diberikan guru berupa soal pilihan ganda (tanpa alasan). Hal ini menunjukkan bahwa siswa memiliki reasoning yang rendah karena kebiasaan menggunakan soal pilihan ganda tanpa alasan.

Pada penelitian ini ditemukan juga penyebab miskonsepsi yang berasal dari pemikiran asosiatif siswa. Asosiasi siswa terhadap istilah sehari-hari kadang-kadang dapat membuat miskonsepsi (Arons, Gilbert, Watts, Osborne, Marioni dalam Suparno, 2005). Miskonsepsi tersebut terjadi pada siswa cluster III yaitu betina diasosiasikan dengan wanita, sehingga sifat wanita diterapkan pada alat kelamin betina. Namun asosiasi ini tidak tepat karena sifat wanita yang menyukai warna cerah tidak ada hubungannya dengan warna alat kelamin betina.

Ketidaklengkapan informasi yang diterima siswa pada saat pembelajaran maupun di luar pembelajaran dapat menyebabkan miskonsepsi (Repi,2004). Miskonsepsi ini terjadi pada siswa di cluster III yaitu buah dapat tumbuh menjadi kecambah. Informasi yang diperoleh adalah semua bagian tumbuhan dapat menjadi individu baru dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Siswa tersebut tidak mengetahui informasinya lebih lanjut, kemudian menarik kesimpulan tersebut dan membentuk miskonsepsi.

Miskonsepsi dipengaruhi juga oleh kemampuan siswa. Siswa yang kurang berbakat dalam suatu pelajaran sering mengalami kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses pembelajaran. Meskipun guru telah mengkomunikasikan bahan secara benar dan pelan-pelan, buku teks ditulis dengan benar sesuai dengan pengertian para ahli, namun pengertian yang siswa tangkap dapat tidak lengkap

(31)

bahkan salah. Pengertian ini diyakini oleh siswa sebagai konsep yang benar, maka terbentuklah miskonsepsi (Suparno, 2005).

Siswa di cluster I merupakan siswa yang memiliki kemampuan paling tinggi, dan siswa di cluster IV merupakan siswa yang memiliki kemampuan paling rendah. Alasan yang diberikan siswa di cluster I pada umumnya rasional dan sistematis, sedangkan alasan yang diberikan siswa di cluster IV cenderung berputar-putar. Walaupun demikian miskonsepsi terbanyak ada pada cluster I karena jawaban siswa di cluster IV lebih banyak pada menunjukkan tidak paham.

Pada penelitian ini kemapuan siswa tidak hanya dilihat dari IQ atau nilai UN yang tinggi, tetapi juga kemampuan siswa dalam menghubungkan konsep. Berg (1990) menyatakan bahwa setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan konsep-konsep lainnya. Pada cluster I, siswa mengalami miskonsepsi terbanyak pada siklus hidup tumbuhan biji karena siswa tidak dapat menghubungkan antar konsep pada siklus tumbuhan biji. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara bahwa siswa mengetahui tentang bunga, biji, buah, dan kecambah. Namun siswa tidak dapat menghubungkan antar konsep tersebut, contohnya masih ada siswa yang mengatakan bahwa biji dapat tumbuh menjadi buah dan kecambah.

Kemampuan siswa yang tinggi tidak selalu menentukan bahwa siswa tersebut paham terhadap semua pelajaran. Siswa yang tidak tertarik dengan suatu pelajaran, biasanya kurang berminat untuk belajar dan kurang memperhatikan penjelasan guru. Mereka pun tidak mau mempelajari sendiri bahan pelajaran dari buku. Hal ini mengakibatkan siswa lebih mudah salah menangkap konsep dan

(32)

membentuk miskonsepsi (Suparno, 2005; Din-Yan, 2010). Contohnya pada siswa nomor tes 11 (cluster 1), siswa nomor tes 1dan 18 (cluster II) yang tidak menyukai Biologi sehingga mengalami miskonsepsi. Oleh karena itu, minat siswa juga dapat menyebabkan miskonsepsi.

Miskonsepsi tidak hanya berasal dari siswa, dapat juga berasal dari guru yang pada umumnya disebabkan karena pengetahuan guru tersebut. Arons (dalam Suparno, 2005) dan Din-Yan (2010) menyatakan bahwa guru yang tidak menguasai materi pelajaran atau kurangnya peengetahuan guru akan menyebabkan miskonsepsi. Miskonsepsi tidak hanya dapat diperoleh dari guru pada jenjang SMA, tetapi dapat juga diperoleh dari guru pada jenjang sebelumnya. Contohnya pada siswa nomor tes 11 (cluster I) mendapatkan miskonsepsi dari gurunya di SMP yaitu buah sebagai cadangan makanan embrio, siswa nomor tes 12 yaitu air sebagai nutrisi dalam perkecambahan, dan siswa nomor tes11(cluster IV) yaitu serbuk sari adalah gamet jantan dan putik adalah gamet betina yang diperoleh dari gurunya di SD. Miskonsepsi yang diperoleh dari guru SD dan SMP tersebut terbawa sampai jenjang SMA.

Penyebab miskonsepsi tidak hanya dari dalam diri guru pribadi, tetapi dapat juga disebabkan oleh cara atau metode mengajarnya. Pada penelitian ini metode mengajar pada keempat guru di setiap cluster menggunakan metode ceramah. Pada proses pembelajaran guru selalu memberikan penguatan, namun penguatan yang dilakukan guru telah menyebabkan miskonsepsi pada siswa di cluster IV. Guru memberikan penekanan atau penguatan bahwa perbedaan antara fertilisasi tunggal dan ganda terlihat dari endosperm atau cadangan makanannya,

(33)

sehingga siswa mengalami miskonsepsi bahwa pada Gymnospermae pun endosperm dihasilkan dari hasil fertilisasi.

Metode mengajar guru pada jenjang sebelumnya dapat menyebabkan miskonsepsi. Saat pembelajaran biasanya guru membawa contoh tumbuhan biji, selalu pinuslah yang dibawa oleh guru mulai dari SD sampai SMA. Siswa SD dan SMP selalu membutuhkan contoh karena siswa masih berpikir konkret. Kurangnya contoh yang diberikan guru menyebabkan siswa mengenaralisasi satu contoh untuk semua tumbuhan (cluster III).

Selain itu penggunaan analogi dalam belajar dapat menyebabkan miskonsepsi. Penggunaan analogi dalam membelajarkan konsep, dapat memudahkan siswa memahami konsep, tetapi juga dapat menyebabkan miskonsepsi (Dupin dalam Suparno, 2005; Morton et.al., 2008). Contohnya analogi anak pintar yang pendek dengan individu baru hasil cangkok yang pendek. Analogi tersebut tidak tepat bahkan salah, sehingga terbentuklah miskonsepsi pada siswa.

Metode mengajar demonstrasi yang tidak tepat menyebabkan miskonsepsi pada siswa di cluster II. Metode mengajar demonstrasi tersebut dilakukan oleh gurunya di SMP dengan memberikan gambaran visual berupa penempelan benang sari ke kepala putik. Gambaran visual tersebut tidak tepat sehingga menyebabkan miskonsepsi (Morton et al., 2008). Guru seharusnya menempelkan serbuk sari bukan benang sari.

Selain dari siswa, guru, dan metode mengajar, miskonsepsi pun dapat disebabkan oleh konteks atau lingkungan, seperti pengalaman, teman, dan bahasa

(34)

sehari-hari. Lin (2004), Strauss dan Viennot (Kwen, 2005), Suparno (2005), dan Morton et al (2008) menyatakan bahwa pengalaman dan pengamatan siswa sehari-hari terhadap suatu objek atau peristiwa dapat menyebabkan miskonsepsi. Hal ini terjadi di setiap cluster karena penyesuaian konstruksi pengetahuannya dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatannya di lingkungan sekitar.

Teman merupakan bagian dari lingkungan siswa. Siswa mudah percaya pada gagasan dan pemikiran yang dibuat oleh teman satu gengnya atau teman yang dianggap pintar (Suparno, 2005). Keyakinan siswa terhadap teman membuatnya tidak kritis dan menerima semua gagasan temannya walaupun gagasan tersebut salah. Hal inilah yang menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi.

Miskonsepsi yang berasal dari teman ini terjadi pada setiap cluster. Pada umumnya siswa yang diwawancara menyatakan bahwa miskonsepsi tersebut merupakan hasil diskusi dengan temannya. Hal ini terlihat dari beberapa siswa yang menuliskan alasan serupa dengan temannya. Berarti, informasi yang diperoleh siswa berasal dari satu sumber dalam kondisi dan situasi yang sama, sehingga terjadi keseragaman jawaban. Jika sumber informasi itu mengalami miskonsepsi, maka seluruh siswa penerima informasi akan mengalami miskonsepsi dalam menjawab soal (Sudirman dalam Surbakti, 2000)

Selain teman, bahasa sehari-hari juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Bahasa sehari-hari terkadang mempunyai arti yang berbeda dengan bahasa ilmiah (Suparno, 2005; Morton et al., 2008). Dalam kehidupan sehari- hari, biji melinjo disebut sebagai buah melinjo. Melinjo merupakan tumbuhan Gymnospermae yang

(35)

hanya menghasilkan biji. Namun penggunaan istilah buah melinjo telah lama digunakan sehingga siswa sulit mengubahnya. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara bahwa siswa secara spontan menyebutnya buah melinjo walaupun siswa tahu bahwa melinjo merupakan tumbuhan Gymnospermae.

Bahasa sehari-hari yang diterapkan pada konteks hidup siswa (TV dan radio) ternyata menyebabkan miskonsepsi (Suparno, 2005). Pada iklan kopi di televisi sering disebutkan kopi berasal dari biji kopi pilihan. Hal ini membentuk miskonsepsi pada siswa bahwa tumbuhan kopi menghasilkan biji kopi bukan buah kopi yang di dalamnya terdapat biji kopi.

Pada penelitian ini tidak hanya miskonsepsi dan penyebabnya saja yang dibahas, tetapi juga pola miskonsepsi yang terbentuk dari hasil ketiga tes (pretest, posttest, dan retest). Prakonsepsi siswa di setiap cluster sebelum pembelajaran pada umumnya tidak paham dan miskonsepsi, dan hanya sedikit yang sudah paham. Prakonsepsi yang berbeda-beda tersebut kemudian masuk ke dalam pembelajaran dan berinteraksi dengan apapun yang diberikan dalam pembelajaran sehingga dihasilkan outcome baik yang diharapkan (paham) maupun yang tidak diharapkan (tidak paham dan miskonsepsi) (Lin, 2004).

Pada umumnya siswa yang mengalami miskonsepsi akan mempertahankan miskonsepsi tersebut dalam pembelajaran (Lin, 2004), sehingga miskonsepsi bersifat persisten (Tamir, 2011). Pernyataan Lin dan Tamir memungkinkan terbentuknya pola miskonsepsi yang berbeda pada setiap siswa. Siswa dengan prakonsepsi yang berbeda mengalami pembelajaran dari guru yang berbeda dapat menghasilkan pola miskonsepsi yang berbeda juga.

(36)

Pola miskonsepsi terbanyak pada setiap cluster berbeda-beda. Namun pada umumnya pola miskonsepsi yang terbentuk adalah perpaduan antara tidak paham dan miskonsepsi pada masing-masing tes. Hal ini dapat disebabkan adanya penyesuaian struktur kognitif siswa yang dipengaruhi oleh lingkungan (Piaget dalam Wilantara, 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang tidak paham kemungkinan besar dapat mengalami miskonsepsi, begitupun sebaliknya.

Pada penelitian ini miskonsepsi lebih banyak ditemukan pada pretest. Hal ini harus menjadi perhatian guru, karena rekonstruksi prakonsepsi atau pengetahuan awal tidak mudah (Lin, 2004). Mayoritas guru tidak efektif dalam mendiagnosa permasalahan pembelajaran siswa terutama pada tahap awal proses pembelajaran (Treagust, 2006), sehingga miskonsepsi yang telah ada sebelum pembelajaran akan terus terbawa pada jenjang sekolah berikutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi

Keunggulan sistem keamanan rumah menggunakan Raspberry Pi dengan memanfaatkan layananan webservice yang bekerja secara online ini menjadi sebuah terobosan baru yang

Data yang digunakan dalam pemodelan regresi logistik adalah data skor TPA (ujian tahap ke-1) dan hasil seleksi setiap tahap penerimaan mahasiswa baru D3KPLN tahun

Pada bab ini akan disajikan hasil dari analisis terhadap faktor yang mempengaruhi stunting pada balita yang berada di Posyandu Kebonrejo Kabupaten Kediri. Responden

Berdasarkan sebaran waktu, peneliti membagi dalam 5 kategori waktu (Tabel 1) hal ini karena definisi terlambat di indonesia berdasarkan terapi menurut waktu

Kehidupan remaja yang rentan terhadap NAPZA, untuk itu perlu disikapi dengan memberikan edukasi yang lebih tentang kesehatan dan adanya sanksi hukum bagi pengguna

Communication , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.. program-program itu jangan dilakukan sendiri-sendiri, melainkan dilaksanakan secara terintegrasi dengan tetap

Bagi guru dan lembaga pendidikan, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan pengetahuan dalam penggunaan pembelajaran yang tepat untuk proses